Anda di halaman 1dari 13

Pterigium Ocula Sinistra pada Laki-laki 62 Tahun

Juliana Dewi Hadi


10.2012.316
Kelompok : F8
Blok 23: Special Sense
Mahasiswi, Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Kampus II, Jl. Terusan Arjuna Utara No. 6, Jakarta Barat 11510
Email: juli_dewi94@yahoo.com

Pendahuluan
Pterigium merupakan pertumbuhan proliferatif dari konjungtiva bulbi yang dapat
menyebabkan terjadanya astigmatisma serta menimbulkan gangguan lain seperti menurunnya
tajam penglihatan, iritasi kronik, inflamasi rekuren, penglihatan ganda, serta gangguan
pergerakan bola mata. Prevalensi pterigium cukup tinggi, terutama pada daerah sabuk
pterigium yang membentang dari 30 derajat utara hingga 30 derajat selatan ekuator. Daerah
sabuk pterygium ini merupakan daerah dengan paparan radiasi matahari yang tinggi,
sehingga membuat masyarakatnya lebih rentan untuk terkena paparan ultraviolet yang
merupakan faktor resiko terjadinya pterygium. Terdapat banyak faktor resiko pterigium yang
dapat dihindari jika orang dari sarana pelayanan kesehatan memberikan perhatian yang lebih
dalam penatalaksanaannya
Isi
Kasus
Seorang pria 68 tahun, nelayan, datang ke poliklinik dengan keluhan utama kedua
mata kiri merah sejak 2 minggu yang lalu. Keluhan disertai mata sedikit berair, perih terasa
seperti mata berpasir. Keluhan ini sudah sering dirasakan dan sering hilang timbul.
Anamesis
-

Identitas : nama, umur, jenis kelamin, alamat, agama, suku bangsa


Keluhan utama : mata kiri perih, berair, dan terasa berpasir.

RPS :Selain itu perlu juga ditanyakan adanya riwayat mata merah berulang, riwayat
banyak bekerja di luar ruangan pada daerah dengan pajanan sinar mathari yang tinggi,

serta dapat pula ditanyakan riwayat trauma sebelumnya.


Riwayat lingkungan dan kebiasaan : lingkungan yang terpapar sinar UV dan
kebiasaan hidupkarena hal ini berhubungan dengan besarnya paparan sinar ultraviolet

yang mengenainya.
Riwayat trauma sebelumnya

Pemeriksaan fisik
Pada inspeksi pterygium terlihat sebagai jaringan fibrovaskular pada permukaan konjuntiva.
Pterygium dapat memberikan gambaran yang vaskular dan tebal tetapi ada juga pterygium
yang avaskuler dan flat. Perigium paling sering ditemukan pada konjungtiva nasal dan
berekstensi ke kornea nasal, tetapi dapat pula ditemukan pterygium pada daerah temporal.1
Hasil pemeriksaan pasien:

Keadaan umum
: compos mentis
TTV normal
Status khusus : Visus 20/20 ODS
OS:
Palpebra normal;
Konjungtiva bulbi sedikit hiperemis;
Terdapat selaput hiperemis pada daerah nasal;
Limbus, kornea dan lensa jernih;
COA dalam
TIO 15 mmHg
OD:

Palpebra, konjungtiva, limbus, kornea dan lensa jernih


COA dalam
TIO 17 mmHg

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterygium adalah topografi kornea
untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa astigmtisme ireguler yang disebabkan oleh
2

pterygium. Adapula pemeriksaan slit lamp untuk mengklasifikasikan pterigium berdasarkan


terlihatnya pembuluh darah episklera di pterigium :
a. T1 (atrofi)

: pembuluh darah episkleral jelas terlihat

b. T2 (intermediet)

: pembuluh darah episkleral sebagian terlihat

c. T3 (fleshy, opaque) : pembuluh darah tidak jelas.


Anatomi Konjungtiva.
Konjungtiva merupakan membran mukosa yang transparan dan tipis yang membungkus
permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan permukaan anterior sklera
(konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersambungan dengan kulit pada tepi palpebra (suatu
sambungan mukokutan) dan dengan epitel kornea dilimbus.2
Sesuai dengan namanya, konjungtiva menghubungkan antara bola mata dan kelopak mata.
Dari kelopak mata bagian dalam, konjungtiva terlipat ke bola mata baik dibagian atas
maupun bawah. Refleksi atau lipatan ini disebut dengan forniks superior dan inferior. Forniks
superior terletak 8-10 mm dari limbus sedangkan forniks inferior terletak 8 mm dari limbus.
Lipatan tersebut membentuk ruang potensial yang disebut dengan sakkus konjungtiva, yang
bermuara melalui fissura palpebra antara kelopak mata superior dan inferior. Pada bagian
medial konjungtiva, tidak ditemukan forniks, tetapi dapat ditemukan karunkula dan plika
semilunaris yang penting dalam sistem lakrimal. Pada bagian lateral, forniks bersifat lebih
dalam hingga 14 mm dari limbus.3
Secara anatomi, konjungtiva terdiri atas 3 bagian:3
1. Konjungtiva Palpebra
Mulai pada mucocutaneus junction yang terletak pada bagian posterior kelopak mata yaitu
daerah dimana epidermis bertransformasi menjadi konjungtiva. Dari titik ini, konjungtiva
melapisi erat permukaan dalam kelopak mata. Konjungtiva palpebra dapat dibagi lagi
menjadi zona marginal, tarsal, dan orbital. Konjungtiva marginal dimulai pada mucocutaneus
junction hingga konjungtiva proper. Punktum bermuara pada sisi medial dari zona marginal
konjungtiva palpebra sehingga terbentuk komunikasi antara konjungtiva dengan sistem
lakrimal. Kemudian zona tarsal konjungtiva merupakan bagian dari konjungtiva palpebralis
yang melekat erat pada tarsus. Zona ini bersifat sangat vaskuler dan translusen. Zona terakhir
3

adalah zona orbital, yang mulai dari ujung perifer tarsus hingga forniks. Pergerakan bola mata
menyebabkan perlipatan horisontal konjungtiva orbital, terutama jika mata terbuka. Secara
fungsional, konjungtiva palpebra merupakan daerah dimana reaksi patologis bisa ditemui.3
2. Konjungtiva Bulbi
Menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera dibawahnya. Konjungtiva bulbi dimulai
dari forniks ke limbus, dan bersifat sangat translusen sehingga sklera dibawahnya dapat
divisualisasikan. Konjungtiva bulbi melekat longgar dengan sklera melalui jaringan alveolar,
yang memungkinkan mata bergerak ke segala arah. Konjungtiva bulbi juga melekat pada
tendon muskuler rektus yang tertutup oleh kapsula tenon. Sekitar 3 mm dari limbus,
konjungtiva bulbi menyatu dengan kapsula tenon dan sklera. 3
3. Konjungtiva Forniks
Merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi. Lain halnya
dengan konjungtiva palpebra yang melekat erat pada struktur sekitarnya konjungtiva forniks
ini melekat secara longgar dengan struktur di bawahnya yaitu fasia muskulus levator palpebra
superior serta muskulus rektus. Karena perlekatannya bersifat longgar, maka konjungtiva
forniks dapat bergerak bebas bersama bola mata ketika otot-otot tersebut berkontraksi.3

Gambar 1. Anatomi Konjungtiva.


Konjungtiva di vaskularisasi oleh arteri ciliaris anterior dan arteri palpebralis. Kedua arteri ini
beranastomosis dengan bebas dan bersama banyak vena konjungtiva yang umumnya
mengikuti pola arterinya membentuk jaring-jaring vaskrsarafan dari percabangan nervus
trigeminus yaitu nervus oftalmikus. Saraf ini memiliki serabut nyeri yang relatif sedikit. 3

Secara histologis konjungtiva terdiri atas epitel dan stroma. Lapisan epitel konjungtiva terdir
atas 2-5 lapisan sel epitel silindris bertingkat, superfisial dan basal. Lapisan epitel
konjungtiva di dekat limbus, diatas caruncula, dan di dekat persambungan mukokutan pada
tepi kelopak mata terdiri atas sel-sel epitel skuamous bertingkat. Sel-sel superfisial
mengandung sel-sel goblet bulat dan oval yang mensekresi mukus. Mukus yang terbentuk
mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk dispersi lapisan air mata prakornea
secara merata.3
Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat dibandingkan sel-sel superfisial dan di dekat limbus
dapat mengandung pigmen. Lapisan stroma di bagi menjadi 2 lapisan yaitu lapisan adenoid
dan lapisan fibrosa. Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan di beberapa tempat
dapat mengandung struktur semacam folikel tanpa sentrum germinativum. Lapisan adenoid
tidak berkembang sampai setelah bayi berumur 2-3 bulan. Hal ini menjelaskan konjungtivitis
inklusi pada nenonatus bersifat papilar bukan folikular dan mengapa kemudian menjadi
folikular. Lapisan fibrosa tersusun dari jaringan penyambung yang melekat pada lempeng
tarsus. Hal ini menjelaskan gambaran reaksi papilar pada radang konjungtiva. Lapisan fibrosa
tersusun longgar pada bola mata. Kelenjar lakrimal aksesorius (kelenjar krause dan wolfring),
yang struktur fungsinya mirip kelenjar lakrimal terletak di dalam stroma. Sebagian besar
kelenjar krause berada di forniks atas, sisanya di forniks bawah. Kelenjar wolfring terletak di
tepi tarsus atas.3
Epidemiologi
Pterygium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan
kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering. Faktor yang sering
mempengaruhi adalah daerah dekat dengan ekuator yaitu daerah <370 lintang utara dan
selatan dari ekuator. Prevalensi tinggi sampai 22 % di daerah dekat ekuator dan <2 % pada
daerah di atas lintang 400.4
Di Amerika Serikat, kasus pterygium sangat bervariasi tergantung pada lokasi
geografisnya. Di daratan Amerika Serikat, prevalensinya berkisar kurang dari 2% untuk
daerah di atas 40o lintang utara sampai 5-15% untuk daerah garis lintang 28-36o. Sebuah
hubungan terdapat antara peningkatan prevalensi dan daerah yang terkena paparan ultraviolet
lebih tinggi di bawah garis lintang. Sehingga dapat disimpulkan penurunan angka kejadian di
lintang atas dan peningkatan relatif angka kejadian di lintang bawah. Pasien di bawah umur
15 tahun jarang terjadi pterygium. Prevalensi pterygium meningkat dengan umur, terutama
5

dekade ke 2 dan 3 kehidupan. Insiden tinggi pada umur antara 20-49 tahun. Pterygium
rekuren sering terjadi pada umur muda dibandingkan dengan umur tua. Laki-laki 4 kali lebih
berisiko daripada perempuan dan berhubungan dengan merokok, pendidikan rendah dan
riwayat paparan lingkungan di luar rumah.
Working diagnosis
Pterygium berasal

dari bahasa

Yunani

yaitu

Pteron

yang

artinya

sayap

(wing). Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular subkonjungtiva yang bersifat


degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal
ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke kornea berbentuk segitiga dengan pucak
dibagian sentral atau didaerah kornea. Pterigium mudah meradang dan bila terjadi iritasi,
akan bewarna merah dapat mengenai kedua mata.5
Pterigium terdiri dari tiga bagian yang berbeda: cap (tutup), kepala, tubuh / ekor.
Bagian cap / tutup / ujung terdepan adalah zona datar pada kornea yang sebagian besar terdiri
atas fibroblas yang menginvasi dan menghacukan membran Bowman; Bagian kepala adalah
area vaskular yang terletak dibelakang cap ( tutup ) dan menempel kuat pada kornea; Bagian
tubuh / ekor adalah area yang dapat bergerak pada konjungtiva bulbar, yang dapat
dipotong/dipisahkan dari jaringan dibawahnya.5
Garis Stocker, yang merupakan desposisi besi pada lapisan basal epitel kornea yang
berada anterior dari cap (tutup), menandakan pterigium kronis.5
Klasifikasi pterigium:
-

Pterigium simpleks: jika terjadi hanya di nasal/temporal saja.


Pterigium dupleks: jika terjadi dinasal dan temporal

Derajat pertumbuhan pterigium ditentukan berdasarkan bagian kornea yang tertutup oleh
pertumbuhan pterigium, dan dapat dibagi menjadi 4 (Gradasi klinis menurut Youngson):

Derajat 1
Derajat 2

Derajat 3

Derajat 4

: jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea


: jika pterigium sudah melewati limbus kornea teapi tidak lebih dari 2
mm melewati kornea.
: jika pterigium sudah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi
pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil
sekitar 3-4 mm).
: jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga
mengganggu penglihatan.
6

Differential diagnosis
a. Pseudopterigium. Perlekatan konjungtiva dengan kornea yang cacat. Pseudopterigium
ini sering ditemukan pada proses penyembuhn ulkus kornea, sehingga konjungtiva
menutupi kornea. Pseudopterigium ini terletak pada daerah konjungtiva yang terdekat
dengna proses kornea sebelumnya.
Perbedaan dengan pterigium adalah selain letaknya, pseudopterigium tidak harus pada
celah kelopak atau fisura palpepra, ini dapat diselipkan sonde dibawahnya. Pada
anamnesis pseudopterigium selamanya akan ada kelainan kornea sebelumnya, seperti
ulkus kornea.
b. Pinguecula. Penebalan terbatas pada konjungtiva bulbi, berbentuk nodul yang
berwarna putih kekuningan, lesi biasanya bilateral, pada konjungtiva ditemukan
berdekatan dengan nasal atau limbus temporal. Suatu proliferasi yang tumbuh lambar
pada jaringan ikat konjungtiva mata, tidak ganas, terkait degnan paparan sinar UV
yang tinggi dari matahari.
Pinguecula biasanya tidak membutuhkan pengobatan kecuali tetesan steroid yang
ringan untuk mengurangi inflamasi.
c. Skleritiis. Penyakit peradangan kronis, sakit, dan berpotensi membutakan yang
ditandai dengan edema dan infiltrasi seluler dari jaringan skleral dan episkleral.
Biasanya terkait dengan gangguan autoimun sistemik.

Gambar 2. Pseudopterigium.

Gambar 3. Pinguecula

Gambar 4. Skleritis
Etiologi.
Pterigium diduga disebabkan iritasi kronis akibat debu, cahaya sinar matahari,dan udara
panas. Etiologinya tidak diketahui dengan jelas dan didugamerupakan suatu neoplasma,
radang, dan degenerasi.6
Pterygium diduga merupakan fenomena iritatif akibat sinar ultraviolet,pengeringan dan
lingkungan dengan angin banyak. Faktor lain yangmenyebabkan pertumbuhan pterygium
antara lain uap kimia, asap, debu danbenda-benda lain yang terbang masuk ke dalam mata.
Beberapa studimenunjukkan adanya predisposisi genetik untuk kondisi ini.

Patofisiologi
Konjungtiva bulbi selalu berhubungan dengan dunia luar. Kontak denganultraviolet,
debu, kekeringan mengakibatkan terjadinya penebalan dan pertumbuhan konjungtiva bulbi
yang menjalar ke kornea.7
Pterigium ini biasanya bilateral, karena kedua mata mempunyai kemungkinan yang sama
untuk kontak dengan sinar ultraviolet, debu dan kekeringan. Semua kotoran pada konjungtiva
akan menuju ke bagian nasal, kemudian melalui pungtum lakrimalis dialirkan ke meatus nasi
inferior.7
Daerah nasal konjungtiva juga relatif mendapat sinar ultraviolet yang lebihbanyak
dibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain, karena di sampingkontak langsung,
bagian nasal konjungtiva juga mendapat sinar ultra violet secara tidak langsung akibat
pantulan dari hidung, karena itu pada bagian nasalkonjungtiva lebih sering didapatkan
pterigium dibandingkan dengan bagian temporal.7
Patofisiologi pterygium ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen danproliferasi
fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epithelium, Histopatologi kolagen abnormal
8

pada daerah degenerasi elastotik menunjukkanbasofilia bila dicat dengan hematoksin dan
eosin. Jaringan ini juga bisa dicatdengan cat untuk jaringan elastic akan tetapi bukan jaringan
elastic yangsebenarnya, oleh karena jaringan ini tidak bisa dihancurkan oleh elastase.1
Histologi, pterigium merupakan akumulasi dari jaringan degenerasi subepitel yang basofilik
dengan karakteristik keabu-abuan di pewarnaan H & E .Berbentuk ulat atau degenerasi
elastotic dengan penampilan seperti cacingbergelombang dari jaringan yang degenerasi.
Pemusnahan lapisan Bowman oleh jaringan fibrovascular sangat khas. Epitel diatasnya
biasanya normal,tetapi mungkin acanthotic, hiper keratotik, atau bahkan displastik dan sering
menunjukkan area hiperplasia dari sel goblet.1
Manifestasi klinis
Pada awal proses penyakit, pterigia biasanya asimtomatik; namun bisa terdapat tandatanda mata kering (seperti rasa terbakar, gatal atau keluarnya air mata berlebih atau
menangis) karena lesi menyebabkan pembahasan ireguler pada permukaan okuler. Seiring
dengan progresi penyakit, ukuran lesi meningkat dan menjadi lebih jelas terhadap mata dan
dapat terlihat kurang baik secara kosmetik pada pasien. Pertumbuhan lebih lanjut dapat
menyebabkan gejala visual dikarenakan astigmatisme yang diinduksi atau gangguan langsung
kepada langsung kepada axis visual.5
Penatalaksanaan
Pasien dengan pterigium dapat diobservasi untuk melihat pertumbuhannya menuju ke pusat
kornea atau pasien dengan munculnya gejala yang signifikan seperti kemerahan,
ketidaknyamanan, atau perubahan pada fungsi visual. Pterigium dapat dihilangkan untuk
alasan kosmetik / kecantikan, dan juga apabila ada fungsi penglihatan yang abnormal atau
ketidaknyamanan.1
1. Konservatif
Pada pterigium yang ringan tidak perlu di obati. Untuk pterigium derajat 1-2 yang
mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes matakombinasi antibiotik dan
steroid 3 kali sehari selama 5-7 hari.Diperhatikan juga bahwa penggunaan
kortikosteroid tidak dibenarkan pada penderita dengan tekanan intraokular tinggi atau
mengalami kelainan pada kornea.
2. Bedah
Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi pterigium. Sedapat
mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian konjungtiva bekas pterigium tersebut
9

ditutupi dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari konjugntiva bagian superior
untuk menurunkan angka kekambuhan. Tujuan utama pengangkatan pterigium yaitu
memberikan hasil yang baik secara kosmetik, mengupayakan komplikasi seminimal
mungkin, angka kekambuhan yang rendah. Penggunaan Mitomycin C(MMC)
sebaiknya hanya pada kasus pterigium yang rekuren, mengingat komplikasi dari
pemakaian MMC juga cukup berat.
Indikasi Operasi:
- Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus.
- Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepipupil.
- Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dansilau karena
-

astigmatismus.
Kosmetik, terutama untuk penderita wanita

Pada prinsipnya, tatalaksana pterygium adalah dengan tindakan operasi. Ada berbagai
macam teknik operasi yang digunakan dalam penanganan pterygium di antaranya
adalah:5,8
1. Bare sclera : bertujuan untuk menyatukan kembali konjungtiva dengan permukaan
sklera. Kerugian dari teknik ini adalah tingginya tingkat rekurensi pasca pembedahan
yang dapat mencapai 40-75%.
2. Simple closure : menyatukan langsung sisi konjungtiva yang terbuka, dimana teknik
ini dilakukan bila luka pada konjungtiva relatif kecil.
3. Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas eksisi untuk
memungkinkan dilakukannya penempatan flap.
4. Rotational flap : dibuat insisi berbentuk huruf U di sekitar luka bekas eksisi untuk
membentuk seperti lidah pada konjungtiva yang kemudian diletakkan pada bekas
eksisi.
5. Conjungtival graft : menggunakan free graft yang biasanya diambil dari konjungtiva
bulbi bagian superior, dieksisi sesuai dengan ukuran luka kemudian dipindahkan dan
dijahit atau difiksasi dengan bahan perekat jaringan (misalnya Tisseel VH, Baxter
Healthcare, Dearfield, Illionis).
3. Terapi tambahan
Tingkat kekambuhan tinggi yang terkait dengan operasi terus menjadi
masalah, dan terapi medis demikian terapi tambahan telah dimasukkanke dalam
pengelolaan pterygia. Studi telah menunjukkan bahwatingkat rekurensi telah jatuh
cukup dengan penambahan terapi ini,namun ada komplikasi dari terapi tersebut.5
MMC telah digunakan sebagai pengobatan tambahan karena kemampuannya
untuk menghambat fibroblas. Efeknya mirip denganiradiasi beta. Namun, dosis
10

minimal yang aman dan efektif belum ditentukan. Dua bentuk MMC saat ini
digunakan: aplikasiintraoperative MMC langsung ke sclera setelah eksisi pterygium,
danpenggunaan obat tetes mata MMC topikal setelah operasi. Beberapa penelitian
sekarang menganjurkan penggunaan MMC hanya intra operatif untuk mengurangi
toksisitas.5
Beta iradiasi juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan,karena
menghambat mitosis pada sel-sel dengan cepat dari pterygium,meskipun tidak ada
data yang jelas dari angka kekambuhan yangtersedia. Namun, efek buruk dari radiasi
termasuk nekrosis scleral ,endophthalmitis dan pembentukan katarak, dan ini telah
mendorong dokter untuk tidak merekomendasikan terhadap penggunaannya.5
Untuk mencegah terjadi kekambuhan setelah operasi, dikombinasikan dengan pemberian:7
1. Mitomycin C 0,02% tetes mata (sitostatika) 2x1 tetes/hari selama5 hari, bersamaan
dengan pemberian dexamethasone 0,1% : 4x1tetes/hari kemudian tappering off
sampai 6minggu.
2. Mitomycin C 0,04% (o,4 mg/ml) : 4x1 tetes/hari selama 14 hari,diberikan bersamaan
dengan salep mata dexamethasone.
3. Sinar Beta.
4. Topikal Thiotepa (triethylene thiophosphasmide) tetes mata : 1tetes/ 3 jam selama
6minggu, diberikan bersamaan dengan salepantibiotik Chloramphenicol, dan
steroidselama 1 minggu
Komplikasi
Komplikasi pterygium meliputi sebagai berikut:1
Pra-operatif:
1. Astigmat
Salah satu komplikasi yang disebabkan oleh pterygium adalah astigmat karena
pterygium dapat menyebabkan perubahan bentuk kornea akibat adanya mekanisme
penarikan oleh pterygium serta terdapat pendataran dari pada meridian horizontal
pada kornea yang berhubungan dengan adanya astigmat. Mekanisme pendataran itu
sendiri belum jelas. Hal ini diduga akibat tear meniscus antara puncak kornea dan
peninggian pterygium. Astigmat yang ditimbulkan oleh pterygium adalah astigmat
with the rule dan iireguler astigmat.
2. Kemerahan
11

3. Iritasi
4. Bekas luka yang kronis pada konjungtiva dan kornea
5. Keterlibatan yang luas otot ekstraokular dapat membatasi penglihatan dan
menyebabkan diplopia.
Intra-operatif:
Nyeri, iritasi, kemerahan, graft oedema, corneoscleral dellen (thinning), dan
perdarahan subkonjungtival dapat terjadi akibat tindakan eksisi dengan conjunctival
autografting, namun komplikasi ini secara umum bersifat sementara dan tidak mengancam
penglihatan.
Pasca-operatif:
Komplikasi pasca eksisi adalah sebagai berikut:
1.

Infeksi,

reaksi

bahan

jahitan,

diplopia,

jaringan

parut,

parut

kornea,graft konjungtiva longgar, perforasi mata, perdarahan vitreus dan ablasi


2.

retina.
Penggunaan mitomycin C post operasi dapat menyebabkan ektasia atau nekrosis

3.

sklera dan kornea


Pterygium rekuren.

Pencegahan.
Pada

penduduk

di

daerah

tropik

yang

bekerja

di

luar

rumah

seperti

nelayan,petani yang banyak kontak dengan debu dan sinar ultraviolet dianjurkanmemakai
kacamata pelindung sinar matahari.7

Kesimpulan
Hipotesis diterima.

12

Daftar pustaka

1. Jerome

Fisher,

Pterygium. 2013.

[diunduh:

22

Maret

2015].

http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview
2. Riordan, Paul. Dan Witcher, John. Vaughan & Asburys Oftalmologi Umum: edisi 17.
Jakarta : EGC. 2010. Hal 119.
3. Anatomi
Konjungtiva.
[online]

2009.

[diunduh:

22

Maret

2015].

http://PPM.pdf.com/info-pterigium-anatomi
4. Laszuarni. Prevalensi Pterygium di Kabupaten Langkat. Tesis Dokter Spesialis Mata.
Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
2009.
5. Ardalan Aminlari, MD, Ravi Singh, MD, and David Liang, MD. Management of
Pterygium. Opthalmic Pearls.2010
6. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2007.hal:2-6,
116 117
7. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Bag / SMF Ilmu Penyakit Mata. Edisi III penerbit
Airlangga Surabaya. 2006. hal: 102 104
8. Cason, John B., .Amniotic Membrane Transplantation. 2007. [diunduh: 22 Maret
2015]. http://eyewiki.aao.org/Amniotic_Membrane_Transplant

13

Anda mungkin juga menyukai