PENDAHULUAN
Latar Belakang
Resolusi konflik yang ditinjau berdasarkan sisi budaya telah lama menarik
minat, tidak hanya bagi para psikolog dan antropolog, namun juga bagi para peneliti di
bidang diplomasi dan bisnis internasional serta bidang akuntansi. Bidang-bidang
tersebut melibatkan interaksi dan transfer manusia antarbatas-batas negara dan budaya,
sehingga penghargaan terhadap pentingnya perbedaan budaya menjadi prioritas tinggi.
Penelitian terhadap variasi lintas budaya ini telah menemukan bahwa masyarakat dari
budaya berbeda secara signifikan menggunakan strategi resolusi konflik yang berbeda.
(lihat misalnya Fletcher, et al. 2000; Tse et al., 1994;).
Konflik adalah keniscayaan, yang muncul ketika individu atau kelompok merasa
kepentingan, harapan atau tujuannya tidak terpenuhi dan direaksi secara negatif oleh
kepentingan individu atau kelompok lain (DiPaola dan Hoy, 2001). Salah satu profesi
yang akan selalu berhadapan dengan sebuah kepentingan adalah auditor. Profesi auditor
(akuntan publik) seringkali dihadapkan pada dua kepentingan yang berbeda, di satu sisi
harus mempertahankan kredibilitas dan etika profesi, tetapi di sisi lain harus
menghadapi tekanan untuk memenuhi kepentingan klien. Kepentingan-kepentingan
tersebut akhirnya akan memicu kemunculan konflik yang oleh Bazerman et al. (1991)
disebut sebagai konflik antara tanggung jawab kepada pengguna laporan audit dengan
keuntungan finansial untuk memuaskan klien.
Kontribusi audit adalah untuk menyajikan akuntabilitas, apakah laporan
keuangan suatu entitas atau organisasi menyajikan hasil operasi yang wajar dan apakah
informasi keuangan tersebut disajikan dalam bentuk yang sesuai dengan kriteria atau
aturan-aturan yang telah ditetapkan. Peran itulah yang dilakukan oleh para auditor.
Laporan keuangan auditan sebenarnya merupakan hasil dari konflik antara auditor
dan klien (Antle dan Nalebuff, 1991). Proses audit melibatkan negosiasi antara dua
pihak dalam menyelesaikan isu-isu yang menjadi perselisihan yang berpusat pada
kebutuhan untuk membuat penyesuaian pada laporan keuangan dari penyimpangan
terhadap prinsip-prinsip akuntansi dan kecukupan pengungkapan. Sikap auditor
terhadap konflik semacam ini memiliki pengaruh yang signifikan terhadap audit
independence serta kredibilitas laporan keuangan (Goodwin, 2000).
Ketika auditor terjebak dalam situasi konflik dia akan menghadapinya dengan
beberapa kemungkinan gaya (style). Gaya auditor dalam meng-handle konflik
kompromi
(compromising),
bersaing
(competing/
kultur
mempengaruhi
gaya
konflik
menunjukkan
bahwa
kultur
Orientasi kolektivis lebih mengarah kepada kerjasama kelompok untuk saling bantu
antara satu dengan lainnya. Kepentingan kelompok menjadi unsur utama dalam kultur
kolektivis (Hofstede, 1997).
Hasil studi Fletcher, et al. (2000) tentang resolusi konflik ditemukan, bahwa
dalam penyelesaian konflik orang Asia lebih memilih kompromi dan menghindar
daripada kolaborasi dan akomodasi, sedangkan orang Australia lebih memilih bersaing.
Orang Asia dan Australia menunjukkan preferensi yang sama terhadap kompromi,
namun orang Asia menunjukkan preferensi yang lebih kuat terhadap kompromi dan
menghindar daripada orang Australia untuk segala strategi. Hal tersebut menunjukkan
bahwa berkompromi dan berkolaborasi secara fungsional ekuivalen untuk orang
Australia, berkompromi dan menghindar secara fungsional ekuivalen untuk orang Asia.
Individualis lebih memilih menghindar dan berkompromi untuk akomodasi, sebaliknya
kolektivis lebih menyukai semua strategi untuk bersaing. Sebagai tambahan, kolektivis
menunjukkan preferensi yang lebih kuat untuk berkolabirasi, berkompromi dan
akomodatif daripada individualis. Fletcher et al. (2000) juga menemukan pengaruh
individualism-kolektivisme terhadap gaya resolusi konflik.
Berdasarkan uraian di atas permasalahan yang muncul dalam riset ini adalah:
1. Kultur auditor yang bagaimanakah yang ada di Indonesia?
2. Gaya konflik apa yang cenderung digunakan oleh auditor dalam merespon konflik
dengan klien ?
3. Apakah kultur tersebut berpengaruh terhadap kegiatan profesinya (sebagai auditor)
dalam merespon konflik dengan klien?
TINJAUAN TEORI
Konflik Auditor dan Klien
Tujuan akuntansi adalah memberikan informasi yang berguna sebagai dasar
pengambilan keputusan stakeholder. Untuk mencapai tujuan ini, akuntansi harus
memberikan informasi finansial yang layak. Masyarakat memberikan otoritas kepada
akuntan dan auditor untuk memberikan jaminan secara terbatas atas laporan keuangan
suatu perusahaan. Dalam konteks ini, auditor sering disebut sebagai watchdog of
capitalism. Berkaitan sebagai tugas yang diamanatkan oleh masyarakat dan external
stakeholder, auditor diharapkan dapat menjalankan fungsi sosialnya dengan baik.
Artinya, bagaimana auditor dapat memuaskan masyarakat melalui pelaksanaan tugas
monitoring yang independen.
Sementara itu De Ruyter dan Wetzels (1999) menyatakan bahwa, konstruk dari
komitmen telah diketahui memiliki peranan yang sentral dalam hubungan bisnis. Mereka
telah meneliti, faktor apa sajakah yang memotivasi para klien untuk melanjutkan
hubungan mereka dengan suatu kantor akuntan. Dan mereka menemukan bahwa ada
anteseden dan konsekuensi (antecedents and consequences) dari komitmen dalam
hubungan antara auditor dengan kliennya. Serta bahwa dalam hubungan tertentu,
komitmen yang bersifat afektif memainkan peranan yang penting.
Menurut mereka, perubahan relasional adalah suatu fenomena yang banyak
menarik perhatian para akademisi maupun praktisi, sebagaimana yang disarankan oleh
Dwyer et al. (1987) dalam De Ruyter dan Wetzels, (1999), bahwa komitmen merupakan
konstruk sentral dalam hubungan pemasaran. De Ruyter dan Wetzels (1999)
menemukan bahwa ada dukungan terhadap hubungan positif antara anteseden dengan
komitmen afektif. Mutu jasa yang diberikan, sebagaimana juga kepercayaan, memiliki
dampak yang positif terhadap komitmen afektif dalam hubungan auditor-klien. Tingkat
hubungan auditor-klien ini berkaitan erat dengan salah satu karakteristik utama yang
diharapkan dari seorang auditor, yakni independensi. Riset dari Bernardi (1994) yang
direspon dan diberikan komentar berturut-turut oleh Davidson (1994) dan Pincus (1994)
pun menegaskan hal tersebut dalam studinya tentang deteksi terhadap kecurangan
(fraud) dengan memasukkan independensi ini sebagai salah satu aspek cognitive style
dalam hipotesisnya. Dari sisi yang lain, konflik dalam hubungan auditor-klien dapat
dilihat dan dikaitkan pula dengan pendekatan honor (audit fee); lihat misalnya OKeefe
et al. (1994); Sanders et al. (1995); Walo (1995); Francis dan Simon (1987) serta Simon
dan Francis (1988); Trompeter (1994), dan Simunic dan Stein (1996)].
Mautz dan Sharaf (1993) mengajukan sebuah tentative postulates of auditing
dalam upayanya memperjuangkan auditing sebagai sebuah teori sebagaimana
accounting theory. Postulat kedua yang dibuat menyatakan: There is no necessary
conflict of interest between the auditor and the management of the enterprise under
audit. Lebih lanjut dijelaskan bahwa manajemen berkepentingan terhadap kemajuan
dan kemakmuran perusahaannya, sedangkan auditor menyediakan jasa untuk
memberikan suatu jaminan bahwa data keuangan perusahaan tersebut layak (reliable)
bagi berbagai keputusan penting. Pemberian jasa ini diharapkan dapat memberikan
keuntungan kepada berbagai pihak termasuk di dalamnya manajemen. Dalam berbagai
hal (misalnya, upaya untuk memperoleh kredit, mencari tambahan modal baru, dan
sebagainya), manajemen membutuhkan laporan keuangan yang sudah diverifikasi oleh
auditor independen. Atas dasar inilah perlunya postulat bahwa tidak terdapat konflik
kepentingan antara auditor dan manajemen. Apabila terdapat konflik kepentingan,
tentunya auditor akan sangat sulit untuk menjalankan tugasnya.
Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam jangka pendek masih
terdapat konflik antara auditor dan klien. Dalam kondisi tertentu, manajemen bisa jadi
merasa perlu untuk sedikit mencurangi auditor dengan maksud agar tujuan jangka
pendek mereka terpenuhi. Misalnya, ketika manajemen dihadapkan pada peluang kredit
yang bagus, atau peluang untuk meningkatkan bonus yang terkait dengan angka-angka
laporan keuangan, ia cenderung membuat dan menuntut laporan keuangan yang cantik
agar proses pemberian kredit ataupun peningkatan bonus diperoleh secara mudah dan
cepat. Di sisi lain, auditor secara normatif dan legal menjalankan tugasnya untuk
memverifikasi kewajaran laporan keuangan yang disiapkan oleh manajemen. Dalam
kondisi seperti ini memungkinkan timbul konflik kepentingan antara auditor dan klien.
Konflik antara Auditor dan klien baru muncul saat Auditor sebagaimana ketentuan
profesi harus mempertanggungjawabkan tindakannya kepada stakeholders yang bisa
jadi berbeda dengan kepentingan manajemen. Auditor independen tentunya sudah harus
menyadari kemungkinan ini. Oleh karena itu, postulat yang dirancang oleh Mautz dan
Sharaf (1993) ini berbunyi no necessary conflict dan bukan the impossibility of
conflict.
Lebih jauh lagi, ketika melaksanakan tugasnya auditor menghadapi konflik secara
nyata dengan pihak manajemen klien. Konflik ini terjadi ketika dalam proses review
laporan keuangan terdapat beberapa item yang memerlukan pertimbangan. Dalam
kondisi ini, kecenderungan yang terjadi adalah manajemen berupaya memaksakan
keinginannya kepada auditor, yaitu berupaya mempengaruhi auditor agar memuaskan
tujuan manajemen klien. Hal ini menimbulkan suatu konflik mengingat auditor terikat
pada etika profesi yang harus mempertahankan obyektivitas dan independensinya, dan
di pihak lain, auditor juga harus memuaskan perusahaan klien.
Tujuan pemuasan klien ini terkait erat dengan mekanisme insentif (yaitu fee)
auditor yang tergantung pada klien (manajemen perusahaan). Hal inilah yang
mendorong munculnya conflict of interest yang dihadapi auditor. Di satu sisi auditor
harus memuaskan masyarakat, di sisi lain ia harus memuaskan kliennya yang juga
merupakan fungsi dari welfare auditor.
Opini yang beredar di masyarakat dan pengamat adalah bahwa financial rewards
merupakan faktor yang sangat dipertimbangkan dan dipertaruhkan dalam hubungan
auditor dan kliennya. Secara umum, auditor menginginkan untuk dikontrak kembali
oleh kliennya guna menjaga kontinuitas income, dan laporan auditan yang kurang (atau
tidak) berkenan dengan keinginan manajermen klien mendorong munculnya perubahan
dan pengalihan auditor dari auditor lama ke baru (Levinthal dan Fichman, 1988 dalam
Moore et al., 2001). Kondisi ini diperburuk dengan pemberian jasa konsultasi yang
diberikan oleh kantor akuntan publik yang seringkali menghasilkan profit yang jauh
lebih besar dibandingkan jasa audit. Faktor finansial yang dimiliki auditor dalam proses
mempertahankan hubungan yang baik dengan klien memberikan prima facie evidence
untuk conflict of interest (Bazerman, et al.1991).
Keseluruhan konflik yang dihadapi oleh auditor tersebut bersumber dari adanya
accounting uncertainty dalam standar akuntansi keuangan (SAK) yang menuntut
perusahaan dan auditor memilih suatu prosedur akuntansi yang justifiable. Mayhew et
al. (2001) menemukan bukti yang kuat bahwa accounting uncertainty mempengaruhi
perilaku auditor. Ketika tidak terdapat accounting uncertainty, auditor melaksanakan
tugas audit secara obyektif. Ketika terdapat accounting uncertainty, auditor harus
mengkaji secara mendalam apakah prosedur akuntansi dan disclosure yang dipilih
manajer klien sesuai dengan prinsip akuntansi dan SAK, serta bisa dijustifikasi. Dalam
kondisi ini muncul pertentangan dan masalah yang harus dipecahkan oleh auditor.
Dalam proses resolusi, klien cenderung berupaya mempengaruhi (mempersuasi) auditor
untuk menerima posisi klien. Conflict of interest yang dihadapi auditor mendorong ia
untuk bernegosiasi dengan klien. Ketika melakukan negosiasi, auditor dihadapkan pada
incentive to cooperate dan incentive to compete (Murninghan dan Bazerman, 1990),
dan
ketika
terdapat
accounting
uncertainty,
derajat
obyektivitas
auditor
PENELITIAN TERDAHULU
Conflict-handling strategy terkait erat dengan proses negosiasi antar pihak-pihak
yang terlibat dalam perselisihan. Penelitian tentang negosiasi di bidang akuntansi dan
auditing relatif sedikit. Murningham dan Bazerman (1990) mengajukan suatu proposisi
bahwa interaksi yang terjadi di akuntansi dan auditing dapat dipandang sebagai suatu
sistem negosiasi besar. Pengertian negosiasi ini tidak dalam arti sempit seperti halnya
negosiasi kontrak, pembelian rumah/mobil, dan sejenisnya. Murninghan dan Bazerman
(1990) mendefinisikan negosiasi sebagai dua pihak atau lebih yang memiliki preferensi
berbeda membuat keputusan secara bersama-sama yang dapat mempengaruhi welfare
kedua belah pihak.
Antle dan Nalebuff (1991) menggunakan game theory untuk menguji peran
negosiasi auditor-klien dalam menghasilkan laporan keuangan klien. Model negosiasi
dalam akuntansi telah dikembangkan oleh Gibbins et al. (2000) yang memuat beberapa
fitur dasar semua sistem negosiasi. Model Gibbins terdiri dari 3 elemen, yaitu masalah
(issue), proses auditor-klien dan outcome akuntansi. Salah satu bagian penting dari
proses elemen dalam negosiasi untuk memecahkan perselisihan adalah strategi
bargaining yang diadopsi oleh pihak-pihak yang terlibat (Gibbins, et al., 2000).
Penelitian
yang
mencoba
menyelidiki
pemecahan
konflik
dengan
Goodwin (2000). Penelitian ini bertujuan mengeksplorasi negosiasi dan resolusi konflik
dari perspektif perilaku (behavioral) dengan memfokuskan perselisihan dengan klien
terkait dengan masalah-masalah laporan keuangan. Goodwin (2000) menggunakan gaya
manajemen konflik sebagaimana yang digambarkan oleh Rahim (1995). Hasilnya
menunjukkan bahwa auditor cenderung (sering) menggunakan gaya kolaborasi untuk
memecahkan perselisihan. Bersaing dan kompromi digunakan pada tingkat yang lebih
rendah, sedangkan akomodasi dan menghindar jarang sekali digunakan.
Penelitian yang dilakukan oleh sarjana-sarjana akuntansi, telah menemukan
pengaruh budaya terhadap pengembangan sistem dan praktik akuntansi di negaranegara yang berbeda di seluruh dunia. Mueller, et al. (1992) dalam Goowin (2000)
mengikutsertakan daftar variabel-variabel lingkungan dan menjelaskan perbedaanperbedaan dalam praktik-praktik akuntansi. Radebaugh dan Sydney (1997) dalam
Goowin (2000) memperluasnya dan membuat sebuah framework yang menyeluruh
(komprehensif) dalam usahanya menyatukan model lingkungan bisnis menjadi sebuah
model akuntansi preliminari (preliminary accounting model).
Gray (1988) dalam Goodwin (2000) membuat suatu usaha yang signifikan untuk
mengembangkan sebuah model dengan mengidentifikasi mekanisme di mana nilai-nilai
strata sosial terkait dengan sub budaya akuntansi, yang secara langsung mempengaruhi
praktik-praktik akuntansi. Gray menggunakan dimensi-dimensi nilai sosial yang
berdasarkan budaya Hofstede sebagai dasar analisisnya. Dia juga mengidentifikasi
empat dimensi nilai sub-budaya akuntansi, yang juga terkait dengan nilai-nilai sosial,
yaitu : professionalism, unifomity, conservatism dan secrecy.
Salah satu dari perkembangan yang paling signifikan dalam kajian dan analisis
terhadap sistem dan praktik akuntansi di berbagai negara yang berbeda adalah
tumbuhnya kesadaran yang kian tinggi akan pentingnya faktor-faktor budaya dalam
membentuk sistem dan praktik akuntansi di suatu negara. Hal ini mendorong usahausaha untuk mengidentifikasi faktor-faktor budaya yang relevan dan bagaimana faktorfaktor tersebut mempengaruhi dan membentuk sistem dan praktik akuntansi.
Penelitian yang membandingkan preferensi resolusi konflik sampel kolektivis
(orang Asia) dan individualis (orang Australia) telah dilakukan Fletcher, et al. (2000).
Responden dari negara-negara Asia dan Australia telah melengkapi daftar pertanyaan
Thomas-Kilmann MODE dan Triandis INDCOL. Analisis pendahuluan menunjukkan
tidak adanya perbedaan skor individualisme dan kolektivisme dari sampel negaranegara Asia, yang kemudian dalam penelitian ini dikelompokkan bersama-sama. Hasil
analisis menunjukkan bahwa orang Asia lebih memilih kompromi dan menghindar
daripada kolaborasi dan akomodasi, sebaliknya orang australia lebih memilih bersaing.
Orang Asia dan Australia menunjukkan preferensi yang sama terhadap kompromi,
namun orang Asia menunjukkan preferensi yang lebih kuat terhadap kompromi dan
menghindar daripada orang Australia untuk segala strategi. Sedang pada dimensi kultur
individuali-kolektivis ditemukan,
Individualis lebih
memilih
menghindar dan
mempengaruhi
cara
para
individualis
melakukan
negosiasi
konflik
KERANGKA KONSEPTUAL
Dalam konteks organisasi, Hofstede (1994) menyebut kultur sebagai ...
collective mental programming: it is that part of our conditioning that we share with
other members of our nation, region, or group but not with members of other nations,
regions, or groups. Definisi kultur ini menguatkan pendapat bahwa dimensi konflik
auditor-klien bisa dilihat dari setting kultur (culture) tertentu. Lebih lanjut menurut
Hofstede (1994), kultur bisa dikaji dari dimensi individualis-kolektivis. Individualisme
dan kolektivisme ini bersangkut-paut dengan cara bagaimana anggota kelompok
menempatkan kepentingan pribadi di atas kepentingan kelompok.
Hofstede (1994) menyatakan masyarakat di Asia mempunyai kecenderungan
budaya kolektivisme, sedangkan masyarakat di Australia mempunyai kecenderungan
budaya individualisme, Orang-orang Indonesia mempunyai index individualism pada
urutan 47/48 dengan IDV Score 14, Orang-orang Australia mempunyai index
individualism pada urutan 2 dengan IDV Score 90.
Para individualis sering menempatkan sasaran personal di atas sasaran kelompok
dan membuat konsesi (berkompromi) hanya jika diperlukan untuk memperoleh
kesepakatan (Carnevale et al., 1996). Faktor ini menunjukkan karakterisitik individualis
10
budaya
dan
preferensi
resolusi
konflik
individu,
yaitu
dengan
11
PENGEMBANGAN HIPOTESIS
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yaitu Hofstede (1994) ditemukan bahwa
masyarakat di Australia mempunyai kecenderungan budaya individualis, sedangkan
masyarakat di Asia termasuk Indonesia mempunyai kecenderungan kuat mempunyai
kultur kolektivis.
Penelitian
mendapatkan hasil bahwa auditor cenderung mengambil gaya resolusi konflik dengan
gaya resolusi konflik kolaborasidan bersaing. Berdasarkan kedua penelitian tersebut
dapat ditarik hipothesis alternatif
H1 : Auditor yang individualis di tiga kota besar Indonesia (Malang, Surabaya
dan Jakarta) akan cenderung memilih gaya resolusi konflik kolaborasi dan
bersaing.
Penelitian Fletcher, et al., (2000) yang menganalisis resolusi konflik berdasarkan
aspek budaya yang dimiliki menghasilkan: Orang-orang Australia secara fungsional
cenderung berkompromi dan berkolaborasi, sedangkan, berkompromi dan menghindar
secara fungsional ekuivalen untuk orang Asia. Kolektivis lebih memilih menghindar
dan berkompromi daripada akomodasi, sebaliknya responden yang cenderung berkultur
Individualis lebih menyukai semua strategi untuk bersaing. Collectivism menunjukkan
preferensi yang lebih kuat untuk berkolaborasi, berkompromi dan akomodatif daripada
individualis yang memilih akomodatif (Fletcher, et al., 2000). Berdasarkan penelitian
Fletcher, et al., (2000) tersebut dapat ditarik hipothesis alternatif
H2: Auditor yang collectivism tiga kota besar Indonesia (Malang, Surabaya dan
Jakarta) akan cenderung memilih gaya resolusi konflik kompromi dan
Menghindar
Penelitian yang membandingkan preferensi resolusi konflik sampel kolektivis
(orang Asia) dan individualis (orang Australia) telah dilakukan Fletcher, et al. (2000).
Responden dari negara-negara Asia dan Australia telah melengkapi daftar pertanyaan
Thomas-Kilmann MODE dan Triandis INDCOL, dari hasil penelitian diperoleh pada
dimensi kultur individuali-kolektivis ditemukan, individualis lebih memilih menghindar
dan berkompromi untuk akomodasi, sebaliknya kolektivis lebih menyukai semua
strategi untuk bersaing. Sebagai tambahan, kolektivis menunjukkan preferensi yang
lebih kuat untuk berkolaborasi, berkompromi dan akomodatif daripada individualis.
Fletcher, et al. (2000) juga menemukan pengaruh individualise-kolektivisme terhadap
gaya resolusi konflik. Dari hasil penelitian tersebut dapat ditarik hipothesis alternatif
12
METODE PENELITIAN
Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah Akuntan yang bekerja di kantor akuntan
publik sebagai auditor. Pemilihan sampel menggunakan kriteria sebagai berikut:
Manajer, partner, atau supervisor audit yang telah menangani jasa audit minimal selama
2 (dua) tahun. Kriteria tersebut untuk memastikan bahwa para auditor yang akan
menjadi responden benar-benar kredibel dan telah memiliki pengalaman dalam
melakukan proses audit yang besar kemungkinannya telah mengalami situasi konflik
dengan klien. Domisili auditor dipilih 3 diantara kota besar di Indonesia, yaitu kota
Malang, Surabaya dan Jakarta.
Model pengambilan sampel yang digunakan adalah sampel secara acak, dimana
setiap anggota populasi mempunyai peluang yang sama untuk dipilih menjadi anggota
sampel. Sedangkan metode yang digunakan adalah metode kluster (cluster sampling),
sub populasi mewakili anggota sampel di setiap kota. Untuk menentukan jumlah sampel
yang diambil digunakan rumus Slovin (Sugiyono, 1999), yang menyatakan jumlah
minimal sampel yang dibutuhkan jika jumlah populasi diketahui :
n=
N
1 + N e2
13
Tabel 1
Jumlah Populasi dan Sampel Penelitian
No
Kota
KAP
TOTAL
POPULASI
1 Malang
12
60
2 Surabaya
83
415
451
2300
576
2775
Jakarta dan
3 sekitarnya
TOTAL
Sumber : Directory IAI - KAP
Dari rumus Slovin di atas dengan tingkat kelonggaran ketelitian sebesar 0.05 atau
5%, didapatkan sejumlah 350 auditor sebagai sampel.
Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan untuk pengumpulan data dalam penelitian
ini adalah : (1) Kuisioner, merupakan seperangkat pertanyaan yang disusun untuk
diajukan pada responden. Kuisioner ini dimaksudkan untuk memperoleh informasi
secara tertulis dari responden berkaitan dengan kultur yang dimiliki oleh auditor dan
gaya resolusi konflik yang diambil auditor (2) Observasi, yaitu mengamati aktivitas
auditor secara langsung dalam melaksanakan tugasnya. (3) Wawancara, yaitu
melakukan diskusi/wawancara langsung dengan auditor.(4) Studi literatur, yaitu
mempelajari dan mengumpulkan informasi dari buku-buku atau hasil-hasil penelitian
yang berhubungan dengan kultur individualis dan kolektivis serta literatur tentang gaya
resolusi konflik auditor.
Variabel Penelitian
Variabel bebas penelitian ini adalah : Merupakan adopsi dari instrumen Triandis
INDCOL (Triandis et al., 1995) yaitu: Kultur Auditor yang terdiri dari individualise dan
kolektivisme. Sedangkan variabel terikat : Merupakan adopsi dari instrument ThomasKilmann MODE (Goodwin, 2000) yaitu: Gaya resolusi konflik yang terdiri dari :
menghindar, akomodasi, kolaborasi, kompromi, dan bersaing.
14
Pengukuran Instrumen
Instrumen yang menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data dengan
memberikan sejumlah pertanyaan tertulis digunakan untuk memperoleh informasi yang
diperlukan dari responden. Penelitian ini menggunakan skala likert.
r11 =
t 2 = varians total
Tarif signifikan digunakan 5%. Jika r hitung (r alpha) > r tabel, maka instrumen
tersebut dinyatakan reliabel. Sebaliknya jika r alpha positif dan r alpha < r tabel maka
buitr atau variabel tersebut tidak reliabel. Sugiyono (1999) menyebutkan bila r hitung (r
alpha) > 0,600, maka instrumen tersebut dinyatakan reliabel. Arikunto (1989), tingkat
reliabelitas instrumen bisa dilihat dari r hitung (r alpha))
Teknik Analisis Data
Sesuai dengan hipotesis yang diajukan, maka langkah dalam pengolahan data
sebagai berikut :
Pertama mengkategorikan kultur auditor ke dalam kecenderungan individualis atau
kolektivis, dengan meminta responden melengkapi kuisioner INDCOL (Triandis, et al.,
15
1995), Pada setiap variabel akan dihitung skor rata-rata berdasarkan item-item yang
terbukti valid. Klasifikasi seorang auditor tergolong berkultur individualis atau
kolektivis dilakukan dengan membandingkan rata-rata kedua skor. Seorang auditor
diklasifikasikan berkultur individualis jika skor rata-rata individualis adalah lebih tinggi
dari skor rata-rata kolektivis. Dan sebaliknya seorang auditor diklasifikasikan berkultur
kolektivis jika skor rata-rata kolektivis adalah lebih tinggi dari skor rata-rata
individualis.
Kedua mengkategorikan gaya resolusi konflik auditor ke dalam kecenderungan:
kolaborasi, kompromi, bersaing, menghindar dan akomodasi. Responden diminta
melengkapi kuisioner Thomas-Kilmann MODE (Goodwin, 2000). Kemudian dihitung
skor rata-rata untuk setiap item yang terbukti valid. Klasifikasi resolusi konflik
dilakukan berdasarkan skor maksimal yang bisa dicapai pada setiap solusi, yaitu
klasifikasi = maks {bersaing, kolaborasi, kompromi, menghindar, akomodasi)
Ketiga, melakukan analisis tabulasi silang (crosstabulation) antara kultur dengan
resolusi konflik dan penarikan kesimpulan dengan menggunakan uji chi square (2).
Keempat, melakukan pemetaan hubungan dengan corresponden analysis
Uji Chi Square (2)
Uji chi square dilakukan untuk membuktikan adanya hubungan antara dua
variabel yang bersifat kategori. sm.
Hipotesis statistik yang berhubungan dengan uji chi square ini adalah :
H0
Ha
2
hitung
(O
=i 1 =j 1
ij
Eij )
Eij
dengan
O ij
E ij
( Nbi ) ( N kj )
N
16
Nilai 2 hitung berdistribusi 2 (;(baris-1)(kolom-1)) = 2 tabel , H 0 akan ditolak jika 2 hitung >
2 tabel ,
Correspondence Analysis
Analisis ini merupakan pengembangan teknik analisis interdependensi yang
menyediakan fasilitas pengurangan dimensi dan pemetaan. Hal ini bisa diklasifikasikan
menjadi perceptual map yang didasarkan pada hubungan antara obyek
dengan
Kultur Auditor
Kultur auditor terbagi atas dua kelompok yaitu individualis dan kolektivis. Pada
12 item kultur auditor individualis yang ada pada kuisioner, hanya 11 item yang dapat
digunakan untuk menghitung skor kultur individualis. Rata-rata skor yang diperoleh
adalah 3,69 dengan rentang skor antara 2,64 4,09. Sedangkan pada 14 item kultur
auditor kolektivis yang ada pada kuisioner,
menghitung skor kultur kolektivis. Rata-rata skor yang diperoleh adalah 3,69 dengan
rentang skor antara 2,64 4,09.
Secara deskiptif nilai rata-rata kultur individualis adalah lebih tinggi dari
kolektivis. Hasil perbandingan kedua skor diperoleh ada
17
individualis lebih tinggi dari kolektivis, sedangkan 211 auditor lainnya memiliki skor
kolektivis yang lebih tinggi dari individualis. Sehingga dapat diperoleh bahwa 31,3%
auditor dari Malang, Surabaya dan Jakata yang diteliti berkultur individualis dan 68,7%
lainnya berkultur kolektivis.
Resolusi Konflik
Resolusi konflik terbagi atas lima pilihan yaitu kolaborasi, kompromi, bersaing,
akomodasi dan menghindar. Pada 7 item resolusi konflik kolaborasi yang ada pada
kuisioner,
kolaborasi. Rata-rata skor yang diperoleh adalah 4,28 dengan rentang skor antara 3,14
4,71. Pada resolusi konflik kompromi 4 item yang ada pada kuisioner, seluruhnya dapat
digunakan untuk menghitung skor resolusi konflik kompromi. Rata-rata skor yang
diperoleh adalah 3,83 dengan rentang skor antara 2,75 5,00. Pada resolusi konflik
bersaing hanya 4 item pada kuisioner yang dapat digunakan untuk menghitung skor
resolusi konflik bersaing. Rata-rata skor yang diperoleh adalah 3,82 dengan rentang
skor antara 2,50 4,75. Resolusi konflik akomodasi diukur dengan 4 item dengan ratarata skor adalah 3,56 dengan rentang antara 2,20 4,80. Sedangkan pada resolusi
konflik menhindar yang diukur dengan 6 item dipeoleh rata-rata skor sebesar 3,51
dengan rentang antara 2,17 4,50.
Secara deskiptif nilai rata-rata dari tertinggi hingga terendah adalah resolusi
kolaborasi, bersaing, kompromi, akomodasi dan menghindar. Klasifikasi resolusi
konflik yang dipilih oleh seorang auditor didasarkan pada skor maksimal yang ada pada
kelima resolusi kohnflik. Selanjutnya diperoleh hasil bahwa 43,3% auditor dari Malang,
Surabaya dan Jakata yang diteliti lebih banyak memilih resolusi konflik kolaborasi,
28,3% bersaing, 13,4% kompromi, 10,4% menghindar dan 4,6% akomodasi.
18
Karakter yang berbeda ada pada kelompok auditor yang kolektivis. Dari 211
audiotor di kelompok ini, sebagian besar memilih kolaborasi (56,9%) dan bersaing
(24,2%). Kultur kolektivis nampaknya sangat menghindari resolusi konflik dengan
menghindar, hal ini nampak jelas karena hanya ada 1,9% auditor kolektivis yang
memilih menghindar. Resolusi lainnya yang dipilih adalah kompromi (11,4%) dan
akomodasi (5,7%).
Hasil uji 2 (pada lampiran 1) dengan nilai sebesar 83,669 dan p-value 0,000
telah menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara kultur auditor dengan
resolusi konflik. Di kelompok individualis kecenderungan kuat untuk memilih bersaing,
sedangkan kelompok kolektivis
kultur auditor dengan resolusi konflik dihitung dengan koefisien korelasi phi dan
menghasilkan nilai sebesar 0,522.
Eksplorasi hubungan kultur auditor dengan resolusi konflik dipetakan dengan
menggunakan correspondence analysis. Gambar menunjukkan perceptual mapping
berdimensi 2. Pemetaan yang dihasilkan oleh correspondence analysis adalah tidak jauh
berbeda dengan hasil tabulasi silang yang ada pada lampiran 2. Dalam peta ini kultur
individualis sangat dekat dengan resolusi konflik menghindar, sedangkan pada kultur
kolektivis lebih memilih kolaborasi.
Beberapa resolusi konflik dipilih oleh kedua kultur auditor seperti akomodasi,
bersaing dan kompromi. Dari perceptual mapping resolusi akomodasi lebih dekat
dengan kultur kolektivis, sedangkan kompromi dan bersaing lebih dekat dengan kultur
individualis.
PEMBAHASAN
Kultur Auditor
Kultur merujuk pada sekumpulan nilai, norma, dan keyakinan yang dibagi
bersama dalam sebuah kelompok atau organisasi. Berdasarkan tingkat kohesivitasnya,
kultur dibagi menjadi dua orientasi, yaitu: individualis dan kolektivis. Perbedaan atas
dimensi kultur individualis-kolektivis berhubungan dengan faktor-faktor lingkungan
geografi, ekonomi, demografi, dan variabel sejarah (Hofstede, 1994).
Indonesia
beserta
sebagian
besar
negara-negara
di
Asia
mempunyai
19
4,06 sedangkan rata-rata nilai pilihan individualis adalah 3,69. Temuan di atas konsisten
dengan apa yang dipetakan oleh Hofstede (1994) dan Fletcher (2000) di mana orang
Asia, termasuk Indonesia, mempunyai kecenderungan kolektivis.
Budaya kolektivis di Indonesia dapat dipandang dari cara menyelesaikan atau
memecahkan sesuatu permasalahan, yaitu dengan musyawarah. Dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat di Indonesia mempunyai ciri-ciri yaitu terbiasa untuk hidup
dalam harmoni. Masyarakat Indonesia tidak terbiasa untuk mengatakan tidak. Jika
diperintahkan untuk mengerjakan sesuatu selalu mengatakan Ya. Hal tersebut
menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia cenderung untuk menghindari terjadinya
konfrontasi.
Kolektivis adalah individu yang mendefinisikan dirinya sebagai bagian yang tidak
terpisah dari kelompok atau individu lainnya. Individualis adalah individu yang
mendefinisikan dirinya sebagai bagian yang terpisah dari kelompok atau individu
lainnya. Seorang individualis sangat menghargai kebutuhan dan kepentingan individu di
atas kepentingan kelompok. Kultur ini berupaya mendiferensiasi dirinya dari yang lain
dan menempatkan tujuan individu sebagai segala-galanya.
Dimensi Kultur Kolektivis-Individualis dan Gaya Resolusi Konflik Auditor
Dalam penelitiannya tentang konflik peranan (role conflict) yang dialami oleh
para auditor di Korea, Chi dan Ho (1999) menemukan bahwa para auditor di Korea
menghadapi suatu situasi konflik peranan yang substansial. Konflik tersebut muncul
karena para auditor ini mencoba untuk tetap menjaga norma-norma profesional mereka,
namun pada saat yang bersamaan juga tetap memperhatikan keinginan para manajer
dari perusahaan milik klien mereka.
Chi dan Ho (1999) menyatakan bahwa, konflik peranan ini terjadi ketika peran
yang saling bertentangan diminta untuk dijalankan oleh satu individu dalam sebuah
organisasi. Dengan dihadapkan pada ekspektasi yang mutually exclusive, maka individu
yang bersangkutan akan mengalami suatu konflik peranan dan tidak dapat membuat
suatu judgment yang layak tentang peranan mana yang harus ia puaskan. Dalam konteks
auditor, konflik peranan ini terjadi karena auditor harus memuaskan kebutuhan sosial
dari pihak ketiga di samping kebutuhan dari perusahaan (Chi dan Ho, 1999; mengutip
Rizzo et al., 1970 serta Sorenson dan Sorenson, 1974). Jika salah satu pihak terpenuhi
keinginannya, maka pihak yang lain akan tertinggalkan. Ketika pihak ketiga
mengharapkan auditor untuk dapat menemukan dan melaporkan kecurangan dalam
penyajian laporan keuangan serta untuk memonitor para manajer, maka sebaliknya
20
manajer menginginkan bahwa para auditor membiarkan saja manipulasi yang mereka
temukan dalam laporan keuangan. Keinginan kedua belah pihak yang saling
bertentangan ini tidak dapat dipenuhi secara bersama-sama, sehingga di sini para auditor
harus menentukan pilihan.
Riset ini dilakukan untuk memperoleh bukti empiris, bagaimana para auditor di
tiga kota besar di Indonesia (Jakarta, Surabaya, dan Malang) memposisikan diri mereka,
serta resolusi konflik apakah yang mereka pilih ketika dihadapkan pada kondisi
ekspektasi yang oleh Chi dan Ho (1999) disebut sebagai mutually exclusive seperti
tersebut di atas. Hasil yang diperoleh dan disajikan pada subbagian Hasil, ternyata
melaporkan bahwa auditor di tiga kota besar di Indonesia cenderung meresolusi konflik
dengan gaya kolaborasi dan bersaing, diikuti oleh kompromi dengan tingkat
kecenderungan yang lebih rendah. Hasil ini konsisten dengan temuan Goodwin (2000)
yang melaporkan bahwa auditor di New Zealand dan Australia (yang dipetakan oleh
Hofstede (1994) sebagai individualis) cenderung memilih strategi resolusi konflik
kolaborasi, dengan bersaing, namun berbeda dengan perolehan Fletcher et al.(2000)
yang melaporkan bahwa kelompok kolektivis (umumnya orang-orang Asia, termasuk
Indonesia) cenderung meresolusi konflik dengan gaya kompromi dan akomodasi.
Temuan yang berbeda dengan Fletcher et al.(2000) ini dapat dijelaskan, secara
spekulatif, bahwa kelompok profesi auditor memiliki preferensi yang berbeda dengan
umumnya kelompok di luar profesi auditor. Fletcher et al.(2000) melakukan studi
terhadap kelompok mahasiswa S1, sedangkan Goodwin (2000), sebagaimana riset ini,
melakukan studi secara spesifik terhadap kelompok profesi auditor. Chi dan Ho (1999)
menyatakan bahwa auditor memiliki konflik peranan yang tidak ditemukan pada
kelompok profesi lainnya. Situasi demikian memaksa auditor untuk memilih resolusi
yang bisa memuaskan kedua belah pihak (kolaborasi); dan jika berada pada situasi yang
tidak memungkinkan untuk memuaskan kedua belah pihak tersebut, maka dipilih
resolusi yang akan memberikan pengorbanan (cost) paling kecil sebagaimana
diimplikasikan oleh teori transaction costs economics dari Williamson (Morrill dan
Morrill, 2003; Pitelis dan Pseiridis, 1999; Covaleski et al., 2003; Martinez dan Dacin,
1999; Hobbs, 1996). Teori tersebut menyatakan bahwa suatu pihak akan cenderung
memilih transaksi yang memberikan konsekuensi biaya paling rendah. Dengan
demikian adalah logis jika auditor mengambil pilihan resolusi bersaing dalam
konfliknya dengan klien, ketika kondisi kolaborasi tidak dapat dicapai. Ini mudah
dipahami jika kita mengasumsikan bahwa auditor menganggap sanksi yang akan
21
diperolehnya dari asosiasi profesi serta konsekuensi hukum yang akan dihadapinya
merupakan biaya yang terlalu tinggi jika dibandingkan dengan suatu kondisi ekstrim
yang mengharuskan mereka kehilangan satu klien.
Analisis lebih lanjut dengan memilah auditor berdasarkan kecenderungan kultur
kolektivis-individualis, memperoleh hasil yang menyatakan bahwa auditor dengan
kultur individualis cenderung meresolusi konflik mereka dengan gaya bersaing dan
menghindar, diikuti oleh kompromi dan memiliki kecenderungan yang kecil terhadap
akomodasi. Temuan ini tidak sejalan dengan Hipotesis 1 bahwa auditor dengan kultur
individualis akan cenderung memilih gaya konflik kolaborasi dan kompetisi. Auditor
dengan kultur kolektivis, dilaporkan cenderung meresolusi konflik mereka dengan gaya
kolaborasi dan bersaing, diikuti pada urutan selanjutnya oleh kecenderungan gaya
kompromi. Perolehan ini juga tidak sejalan dengan Hipotesis 2 bahwa auditor yang
kolektivis akan cenderung memilih gaya resolusi konflik compromising dan
accommodating.
Hasil-hasil tersebut di atas memang berbeda dengan perolehan Fletcher et al.
(2000) yang melaporkan bahwa kelompok individualis cenderung bergaya resolusi
compromising dan avoiding, disusul dengan competing; sedangkan kelompok kolektivis
lebih berpreferensi terhadap compromising dan accommodating yang diikuti oleh
avoiding. Namun hasil yang diperoleh dalam riset ini justru konsisten dengan premis
dari kerangka yang dikembangkan oleh Hofstede (Hofstede dan Bond, 1979), bahwa
kultur individualist lebih mengarah atau cenderung mengedepankan kepentingan
individu daripada kelompok. Tujuan individu menjadi tujuan utama dibandingkan
dengan tujuan kelompok, sedangkan kultur collectivist cenderung untuk lebih
mengutamakan kepentingan atau tujuan grup/kelompok. Keterikatan dalam grup
menjadi hal utama dalam kultur collectivist. Kerangka pemahaman seperti ini dapat
menjelaskan, mengapa para auditor dengan kultur individualis cenderung memilih gaya
resolusi konflik yang competing sebagai perwujudan perwatakan egosentrisme dalam
kultur individualis; sedangkan kecenderungan kedua untuk avoiding dapat dipahami
sebagai sebuah pilihan oleh auditor dalam bentuk pengunduran diri dari penugasan audit
ketika berhadapan dengan kondisi konflik karena tidak dapat menegakkan independensi
(misalnya) sebagai auditor.
Temuan pada kelompok auditor dengan kultur kolektivissebagai jumlah
mayoritas dalam populasi responden (211 orang dari 307 responden)telah selaras
dengan temuan Goodwin (2000). Sedikit catatan adalah Goodwin (2000) tidak membuat
22
pembedaan kultur atas gaya resolusi konflik auditor yang distudinya di New Zealand
dan Australia tersebut. Secara umum temuan ini mengindikasikan bahwa kelompok
profesi auditor memang menghadapi situasi konflik peranan yang membuatnya berbeda
dalam meresolusi konfliknya dibandingkan dengan kelompok (profesi/masyarakat)
lainnya sebagaimana telah didiskusikan di atas.
Hasil analisis korespondensi (correspondence analysis) meskipun tidak jauh
berbeda dengan hasil cross tabulation yang sudah dibahas di atas, tetapi bisa digunakan
untuk menjelaskan persamaan hasil penelitian ini dengan temuan Fletcher et al. (2000).
Dari pemetaan kultur individualis-kolektivis dan resolusi konflik menunjukkan
kedekatan kultur individualis dengan resolusi avoiding dibanding kultur kolektivis dan
kultur kolektivis lebih dekat dengan collaborating dibanding individualis, temuan ini
menunjukkan karakter kecenderungan individualiskolektivis terhadap resolusi konflik
yang secara ektrim bisa dipakai untuk membedakan keduanya. Hal ini bisa juga dilihat
dari temuan Fletcher et al. (2000) yang menyimpulkan individualis lebih memilih
avoiding dan berkompromi untuk accommodating dan kolektivis menunjukkan
preferensi yang lebih kuat untuk collaborating dari pada individualis.
23
konflik, dimana budaya menjalankan suatu pengaruh terpisah dan unik terhadap
preferensi resolusi konflik (Fletcher et al., 2000).
PENUTUP
Simpulan
Sepanjang pengetahuan Peneliti tidak banyak studi yang dilakukan oleh para
peneliti di Indonesiadi bidang audit dan akuntansi pada umumnyayang
mengaitkannya dengan budaya. Dengan demikianmeskipun tidak besarriset ini
diharapkan dapat memberikan kontribusinya dalam mengeksplorasi preferensi auditor
sehubungan dengan gaya resolusi konflik mereka berdasarkan kultur yang
melingkupinya.
Konflik dalam organisasi dapat menimbulkan masalah serius. Konflik yang tidak
ditangani dengan baik dapat menciptakan keresahan yang pada tingkat paling parah
menimbulkan terganggunya mekanisme kerja dalam organisasi. Namun di sisi lain,
konflik juga dapat memberikan dampak positif, seperti meningkatnya gairah kerja
akibat adanya persaingan kerja, termasuk meningkatkan keefektifan kerja kelompok
(Esquivel dan Kleiner, 1996). Konflik antara auditor dan klien baru muncul saat auditor
sebagaimana ketentuan profesi harus mempertanggungjawabkan tindakannya kepada
stakeholders yang bisa jadi berbeda dengan kepentingan manajemen yang diaudit
(auditee).
Hasil yang diperoleh penelitian ini menunjukkan bahwa auditor di 3 kota besar
Malang, Surabaya dan Jakarta, cenderung bersifat collectivist, yang dipilih oleh sekitar
68,7% responden dan 31,3% cenderung bersikap individualis. Hasil ini memperkuat
temuan Fletcher et al. (2000) dan Hofstede (1994) bahwa umumnya orang-orang Asia,
termasuk Indonesia, cenderung bersikap kolektivis.
Hasil eksplorasi terhadap gaya resolusi konflik yang dipilih oleh auditor juga
konsisten dengan perolehan Goodwin (2000). Sebagian besar (43,3%) auditor dari
Malang, Surabaya dan Jakarta yang diteliti lebih banyak memilih resolusi konflik
kolaborasi, sedangkan 28,3% cenderung memilih sikap bersaing, 13,4% lebih memilih
kompromi, 10,4% bersikap menghindar, dan 4,6% akomodasi. Terdapat preferensi kuat
dari auditor untuk tidak memilih gaya konflik akomodasi dan menghindar.
Kultur yang dimiliki oleh auditor berpengaruh sangat nyata terhadap resolusi
konflik yang diambil oleh auditor. Di kelompok auditor yang individualis, dari 96
auditor di kelompok ini, sebagian besar memilih bersaing (37,5%) dan menghindar
24
Implikasi
Hasil yang diperoleh penelitian ini, dengan tetap memperhatikan keterbatasanketerbatasannya, menampilkan pemetaan preferensi auditor dalam meresolusi
konfliknya dengan klien berdasarkan pendekatan kultural. Ia menunjukkan bahwa ada
kecenderungan terhadap strategi resolusi tertentu yang melatarbelakangi keputusan
seorang auditor dalam mengani konfliknya dengan auditee. Namun di luar itu para
auditor ini diharapkan tetap mampu memberikan keyakinan dan jaminan (assurance)
kepada para pengguna laporan keuangan bahwa mereka telah menggunakan seluruh
prosedur yang diperlukan untuk sampai kepada opini yang mereka nyatakantermasuk
25
aktif
dalam
mendukung
riset-riset
yang
dilakukan
oleh
akuntan
Keterbatasan
Beberapa keterbatasan harus menjadi perhatian untuk menafsirkan hasil penelitian
ini. Pertama, penelitian ini bisa jadi mengandung bias akibat penetapan responden
(auditor) yang berpartisipasi dalam riset dengan beragam posisi pada KAP masingmasing, mekipun posisi terbesar dari mereka adalah staf audit. Hal ini sebagai
konsekuensi dari metode sampling yang purposive sekaligus convenience yang
diterapkan dalam riset ini. Peneliti memang memberikan batasan bahwa partisipan
harus telah menjalankan profesi sebagai auditor lebih dari dua tahun pada KAP. Namun
berkaitan dengan masalah yang diriset (konflik auditor dengan auditee), agaknya akan
lebih sesuai jika para responden penelitian ini adalah para akuntan yang berposisi
sebagai partner atau mereka yang berhak mengambil keputusan berkait dengan konflik
antara KAP dengan kliennya, bahkan tanpa memperhatikan lamanya pengalaman
sebagai auditor.
Kedua, partisipan atau responden dalam riset ini diharapkan orang-orang yang
benar-benar mengetahui dan dapat menghayati permasalahannya. Oleh karena itu
penentuan calon responden tidak dilakukan secara sepenuhnya acak, melainkan dengan
cara disengaja (purposive), dalam hal ini auditor dengan masa kerja di atas dua tahun.
26
Saran
Penelitian ini menganalisis preferensi auditor dalam resolusi konflik dengan
responden yang terdiri dari auditor dengan beragam posisi di KAP masing-masing saat
mereka diminta mengisi kuesionernya. Ada ekspektasi bahwa konfigurasi yang
demikian akan dapat memperkaya nuansa judgment yang diberikan oleh para auditor
partisipan, namun sesungguhnya yang ingin ditangkap dalam studi ini adalah judgment
yang diberikan oleh auditor berkaitan dengan resolusi atas konflik natara KAP/auditor
dengan pihak klien. Dengan demikian, mungkin akan diperoleh hasil yang berbeda jika
dilakukan penelitian dengan partisipan yang murni terdiri dari auditor yang benar-benar
berposisi sebagai partner atau decision maker di KAP.
Masalah dalam riset ini pun akan menarik jika didekati dengan metodologi riset
yang non-mainstream. Oleh karena masalah budaya dalam topik riset ini akan dapat
dikaji lebih mendalam dan mungkin lebih sesuai jika dibedah dengan alat-alat analisis
dari genre non-mainstream. Dengan demikian, para peneliti di bidang audit dan
akuntansi pada umumnya didorong untuk mengaplikasikannya dalam riset dengan
kajian masalah budaya ini.
27
Studi lain yang dapat direkomendasikan ialah dengan mengkaji lebih jauh aspek
individualism-collectivism dari Hofstede (1994) dengan menambahkan kajian terhadap
pengaruh dari tiga dimensi lainnya, yaitu Masculinity-Femininity, Power Distance dan
Strong-weakness Uncertainty Avoidance.
28
DAFTAR PUSTAKA
Antle, R, dan B. Nalebuff, 1991, Conservatism and Auditor-Client Negotiations,
Journal of Accounting Research 29 (Supplement): 3154.
Bazerman, M., K. Morgan, dan G. Loewenstein, 1991, The Impossibility of Auditor
Independence, Sloan Management Review (Summer): 8994.
Bernardi, Richard A. 1994. Fraud Detection: The Effect of Client Integrity and
Competence and Auditor Cognitive Style. Auditing: A Journal of Practice &
Theory, Vol.13, Supplement.
Bernardi, Richard A. 1994. Reply: Fraud Detection: The Effect of Client Integrity and
Competence and Auditor Cognitive Style. Auditing: A Journal of Practice &
Theory, Vol.13, Supplement.
Burhan, N., Gunawan, Marzuki, Statistik Terapan Untuk Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2002.
Chi, Mo Koo dan Ho Seog Sim. 1999. On The Role Conflict of Auditors in Korea.
Accounting, Auditing & Accountability Journal, Vol. 12 No. 2, hal. 206-219.
Cohen, R. (1991). Negotiation across cultures. Washington, D.C.: U.S. Institute of
Peace.
Covaleski, M.N, Dirsmith, M.W, Samuel, Sajay, 2003, Change in the institucional
environment and the institutions of governance: extending the contributions of
transaction cost economicc within the management control literatura,
Accounting, Organizations and Society : 28 (2003), 417-441.
Davidson, A. Scott. 1994. Discussion of: Fraud Detection: The Effect of Client
Integrity and Competence and Auditor Cognitive Style. Auditing: A Journal of
Practice & Theory, Vol.13, Supplement.
De Cieri, H & Dowling, PJ. 1997. Strategic international human resource management:
aAn Asia-Pasific perspective Management International Review, 37 (1)
(Special Issue): 21-42.
De Ruyter, Ko, dan Martin Wetzels. 1999. Commitment in Auditor-Client
Relationships: Antecedents and Consequences. Accounting, Organizations and
Society, Vol. 24, Issue 1, Januari, hal. 57-75
DiPaola, M. dan W. Hoy, 2001, Conflict and Change: Five Dimensions on School
Leadership, AERA Presentation, April
Doo, L. (1973). Dispute settlement in Chinatown. Cambridge, Mass: Harvard Law
Esquivel, M. A., dan B. H. Kleiner, 1996, The Importance of Conflict in Workteam
Effectiveness, Empowerment in Organizations, Vol. 4, No. 4: 10-15.
Falk, H., B. Lynn, S. Mestelman, dan M. Shehata, 1999, Auditor Independence, SelfInterested Behavior and Ethics: Some Experimental Evidence, Journal of
Accounting and Public Policy 18: 395428.
Fletcher, L., M. Olekalns, dan H. DeCieri, 2000, Cultural Differences in Conflict
Resolution: Individualism and Collectivism in the Asia-Pasific Region, Working
Paper in OS, The University of Melbourne. http://www.ecom.unimelb.edu.au/
Francis, Jere R., dan Daniel T. Simon. 1987. A Test of Audit Pricing in the SmallClient Segment of the U.S. Audit Market. The Accounting Review, Vol.LXII,
No.1, Januari.
Geertz, C., 1973, Interpretation of Cultures. New York: Basic Books
Gelfand, M.J., and Dyer, N. (2000). A cultural perspective on negotiation: Progress,
pitfalls, and prospects. Applied Psychology: An International Review, 49(1), 6299.
29
30
OKeefe, Terrence B., Raymond D. King, dan Kenneth M. Gaver. 1994. Audit Fees,
Industry Specialization, and Compliance with GAAS reporting Standards.
Auditing: A Journal of Practice & Theory, Vol. 13 No. 2. Fall.
Pincus, Karen V. 1994. Discussion of: Fraud Detection: The Effect of Client Integrity
and Competence and Auditor Cognitive Style. Auditing: A Journal of Practice
& Theory, Vol.13, Supplement.
Pitelis Christons, N., Pseiridis Anastasia, N., 1999, Transaction cost versus resource
value?, Journal of Economic Studies, 26,3.
Pitt, H. L., dan D. F. Birenbaum, 1997, ISB Principles and Illustrative Guidelines,
dalam Independence Standard Board (ISB) Working Paper, 1991, Serving the
Public Interest: A New Conceptual Framework for Auditor Independence.
Rahim, M. A., 1995, A Measure of Styles of Handling Interpresonal Conflict, Academy
of Management Journal 26: 368376.
Robbins, Stephen R. 2001, Organizational Behavior, ninth edition, Prentice Hall, New
Jersey.
Sanders, George, Arthur Allen, dan Leon Korte. 1995. Municipal Audit Fees: Has
Increased Competition Made a difference? Auditing: A Journal of Practice &
Theory, Vol. 14 No. 1. Spring.
Sekaran, Uma 1995, Research Methods for Business : A Skill-Building Approach, 2nd
Edition, John Wiley & Sons, Inc. NY.
Simon, Daniel T., dan Jere R. Francis. 1988. The Effects of Auditor Change on Audit
Fees: Tests of Price Cutting and Price Recovery. The Accounting Review, Vol.
LXIII, No. 2, April.
Simunic, Dan A., dan Michael T. Stein. 1996. The Impact of Litigation Risk on Audit
Pricing: A Review of the Economics and the Evidence. Auditing: A Journal of
Practice & Theory, Vol. 15, Supplement.
Subroto, B. 2001, Kode Etik Akuntan dan Kepatuhan Akuntan terhadap Kode Etik,
Jurnal Ekonomi dan Manajemen , 1/2 Desember, 165-171.
Sudibyo, Bambang, 1995, Reduksi Norma Evidencial Matter Menjadi Norma Evidence
serta Dampaknya pada Kualitas Audit dan Pembukuan di Indonesia. Jurnal
Keuangan dan Moneter, vol.2 No. 2.
Sugiyono, 1999, Metode Penelitian Bisnis, Alfabeta, Bandung,
Thomas, K. W. dan R. H. Kilmann, 2001, Thomas-Kilmann Conflict Mode Instrument,
Consulting Psychologists Press, Inc.
Triandis, H. C., 1994, Culture and Social Behavior, New York: McGraw-Hill, Inc.
Triandis, H. C., dan M. Gelfand, 1998, Convergent Measurement of Horizontal and
Vertical Individualism and Collectivism, Journal of Personality and Social
Psychology 74: 118128.
Trompeter, Greg. 1994. The Effect of Partner Compensation Schemes and Generally
Accepted Accounting Principles on Audit Partner Judgment. Auditing: A
Journal of Practice & Theory, Vol. 13 No. 2. Fall.
Tse, D.K., Francis J. dan Walls, J. 1994. Cultural differences ini conducting intra- and
inter-cultural negotiations: a Sino Canadia comparation. Journal of
International Business Studies, 25:537-555.
Veeger, K. J., 1990, Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial atas Hubungan IndividuMasyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi. Jakarta: Gramedia.
Walo, Judith C. 1995. The Effects of Client Characteristics on Audit Scope. Auditing:
A Journal of Practice & Theory, Vol. 14 No. 1. Spring.
Wolfe, A. & Yang, H. (1996). Anthropological contributions to conflict Resolution.
Athens: University of Georgia Press.
31