Diktat Virologi
Diktat Virologi
REPLIKASI VIRUS
Virus merupakan parasit obligat intraseluler dimana dalam replikasinya sangat
bergantung pada system metabolisme sel inang. Pengetahuan mengenai replikasi virus
saat ini sangat rinci dan terus berkembang, sehingga kini kita ketahui bahwa setiap
keluarga virus memiliki strategi replikasi yang unik, dan untuk mengetahui strategi
replikasi tersebut dapat dilakukan dengan mempelajari siklus replikasi virus melalui
One Step Growth curve (pola pertumbuhan satu langkah)
Gambaran unik perkembangbiakan virus adalah segera setelah interaksi
dengan sel inang, virion yang menginfeksi dirusak dan infektivitas virus yang dapat
diukur hilang. Fase siklus pertumbuhan ini disebut fase eklipsis, lamanya bervariasi
tergantung pada virus maupun sel inang. Fase ini diikuti oleh interval kecepatan
akumulasi dari keturunan partikel virus yang infeksius. Fase eklipsis sesungguhnya
merupakan satu dari aktivitas sintesis intensif karena sintesis sel dialihkan untuk
memenuhi kebutuhan virus. Pada beberapa kasus segera setelah asam nukleat virus
memasuki sel inang, metabolisme seluler dialihkan secara eksklusif kepada sintesis
partikel virus baru dan sel akan dirusak.
One step growth curve merupakan kajian klasik, seluruh sel di dalam biakan
ditulari secara bersamaan menggunakan infeksi keberagaman yang tinggi, selanjutnya
dilakukan pengamatan terhadap peningkatan jumlah virus menular sepanjang waktu
melalui penghitungan titer, kemudian dititrasi secara berurutan. Virus yang bebas di
dalam media dapat dititrasi secara sepihak dari virus yang tetap terikat sel. Segera
sesudah infeksi, virus yang diinokulasikan menghilang, partikel menular tidak dapat
dideteksi pada media (intrasel). Fase eklipsis ini berlanjut sampai virion turunan
pertama dapat dideteksi beberapa jam kemudian. Masa eklipsis biasanya berkisar
1
antara 3 sampai 12 jam untuk virus dari berbagai famili. Diketahui bahwa fase
eklipsis Orthomyxoviridae adalah 4 jam.
Kajian awal yang bergantung atas pengujian virion menular secara kuantitatif
dengan mikroskop elektron dan uji virion menular, memberikan informasi tentang
peristiwa awal dan akhir dari siklus replikasi (pelekatan, penembusan, pendewasaan
dan pelepasan) tetapi tidak mengenai apa yang terjadi pada fase eklipsis. Penyidikan
mengenai ekspresi dan replikasi genom virus dimungkinkan hanya dengan pengenalan
metode biokimia untuk menganalisis asam nukleat virus dan protein, dan kini semua
teknik biologi molekuler yang canggih sudah digunakan untuk memecahkan masalah
ini. Tujuan akhir dari one step growth curve adalah untuk mengukur waktu yang
diperlukan dari replikasi virus hingga keluarnya virus per sel selama putaran infeksi
setahap.
1.2.Translasi
Setelah proses transkripsi tercapai, virus menggunakan komponen sel untuk
mentranslasikan mRNA. Selama replikasi virus, semua makromolekul khusus
virus disintesis dalam urutan yang sangat teratur.
Transkripsi mRNA virus berguna untuk translasi protein virus (NP dan NS1)
sedangkan translasi mRNA hospes diblok. Sintesis RNA virus berguna sebagai
cetakan transkripsi kedua mRNA virus sehingga dihasilkan M1, HA, dan NA.
Selanjutnya HA dan NA menuju permukaan sel dan menyatukan diri dengan
membran sel.
Rantai RNA pendek berpolaritas negatif ditranslasikan ke dalam beberapa
protein virus dan proses itu memerlukan enzim untuk pembentukan partikel
virus baru, sedangkan RNA rantai penuh berpolaritas positif berfungsi sebagi
template untuk pembentukan progeni.
BAB II
EPIDEMIOLOGI INFEKSI VIRUS
Epidemiologi dapat dipandang sebagai bagian dari biologi lingkungan yang berusaha
menggabungkan berbagai faktor itu menjadi satu kesatuan.
Tingkat Kejadian
Kejadian adalah ukuran dari frekuensi dalam suatu waktu. Misalnya tingkat
kejadian bulanan atau tahunan dan sangat penting artinya untuk penyakit akut dalam
waktu singkat.
Untuk infeksi akut, ada tiga parameter dalam menentukan tingkat kejadian infeksi:
1. Proporsi hewan yang rentan
2. Proporsi hewan rentan yang terinfeksi
3. Persentase hewan terinfeksi yang menjadi sakit
Proporsi hewan pada populasi yang rentan terhadap virus tertentu menunjukan
riwayat pendedahan terdahulu terhadap virus dan jangka waktu imunitas. Proporsi
hewan rentan yang terinfeksi selama setahun atau satu musim dapat sangat beragam,
ditentukan oleh faktor seperti jumlah dan kerapatan, infeksi arbovirus dan populasi
vektor. Dari jumlah hewan yang terinfeksi, hanya beberapa yang mudah diketahui .
Tingkat Kejadian =
Prevalensi
Adalah gambaran kilat dari frekuensi suatu penyakit, yang berlaku pada suatu
saat tertentu. Ini merupakan fungsi dari kejadian dan jangka waktu penyakit.
Seroprevalensi berkaitan dengan proporsi hewan dalam populasi yang mempunyai
antibodi terhadap virus tertentu. Karena antibodi penetral seringkali tetap ada sampai
beberapa tahun, maka tingkat seroprevalensi dapat menunjukkan pengalaman
kumulatif terpapar virus.
Tingkat Prevalensi =
Tingkat Kematian
Kematian karena penyakit dapat dikatagorikan dalam dua bentuk :
1. Angka kematian spesifik-penyebab.
Jumlah kematian karena penyakit pada tahun tertentu, dibagi dengan
keseluruhan populasi pada pertengahan tahun. Biasanya dinyatakan per
100.000.
2. Angka fatalitas-kasus.
Persentase hewan penderita penyakit tertentu yang mati karena penyakit itu
sendiri.
mana dapat mengacaukan status imunologi dan berbagai peubah fisiologi. Pengupulan
data yang cermat tetang terjadinya penyakit adalah cukup sulit. Bahkan data untuk
denominator, yaitu populasi keseluruhan seringkali tidak tersedia. Yang ada hanya
informasi mengenai jumlah kasus.
Endemik
Pada hewan dipakai istilah enzootik, yaitu suatu penularan penyakit yang
mengakibatkan terjadinya penyakit secara berkesinambungan pada populasi disuatu
daerah terbatas selama periode waktu tertentu.
Epidemik
Pada hewan dipakai istilah epizootik, yaitu puncak dari kejadian penyakit
yang melampaui batas endemik atau tingkat penyakit yang diperkirakan.
Pandemik
Pada hewan dipakai istilah panzootik, yaitu epizootik yang terjadi diseluruh
dunia. Seperti panzootik parvovirus anjing yang terjadi diseluruh dunia diawal tahun
1980-an.
Masa Inkubasi
Adalah jangka waktu antara infeksi dgn mulai terjadinya gejala klinis
penyakit. Pada banyak penyakit, sperti influenza unggas, masa inkubasi sangat
singkat, kurang lebih hanya sehari akan muncul gejala klinis. Hewan yang terinfeksi
akan mengeluarkan virus dan tetap menular dalam jangka waktu tertentu. Periode
kemenularan (infektifitas), tergantung pada macam penyakitnya.
Infektifitas biasanya singkat pada penyakit akut dan sangat lama pada infeksi kronis.
Sebagai contoh pada infeksi lentivirus seperti infeksi virus imunodefisiensi kucing,
masa inkubasinya berlangsung sampai tahunan, tetapi hewan yang terinfeksi bersifat
menular jauh sebelum munculnya gejala penyakit. Pada infeksi yang demikian,
tingkat penularanya munkin rendah, tapi karena masa menularnya sedemikian lama,
virus dengan mudah dipertahankan dalam populasi.
10
Kajian seksi-silang
Dapat dilakukan dengan cepat dan menyajikan data tentang prevalensi
penyakit tertentu pada populasi.
Kajian prospektif
Penyidikan dimulai dengan adanya perkiraan penyebab penyakit dan populasi
yang terpapar oleh virus. Penyebab yang diperkirakan itu dipantau untuk
adanya bukti penyakit.
Tipe kajian ini memerlukan pembuatan data baru dan pemilihan kelompok
kontrol yang semirip mungkin dengan kelompok terpapar, kecuali tidak ada
kontak dengan virus penyebab yang diperkirakan itu.
Kajian prospektif, tidak menghasilkan analisis yang cepat, karena hasil harus
diikuti sampai penyakit dapat diamati , seringkali dalam jangka waktu lama
sehingga menyebabkan kajian ini mahal. Namun, bila kajian prospektif
berhasil dengan baik, pembuktian hubungan penyebab dan pengaruhnya tidak
dapat dibantah.
11
Kajian sentinel
Dapat digunakan
arbovirus. Bila digunakan untuk mengevalasi vaksin atau obat, kajian jangka
panjang itu mempunyai keuntunan yaitu menyangkut semua peubah yang
berpengaruh pada sitem peternakan secara keseluruhan.
12
1. Infeksi laten
2. Infeksi kronis
3. Infeksi lambat
1. Infeksi Laten
Suatu infeksi dimana virus menular tiadk dapat diamati kecuali apabila terjadi
pengaktifan kembali. Infeksi Laten biasanya terjadi setelah kesembuahn
hewan dari suatu penyakit namun virus masih bertahan dalam beberapa organ
tubuhnya.
Contohnya :
-
Herpes virus
Pseudorabies
2. Infeksi Kronis
Suaru kejadian dimana virus menular selalu dapat diamati dan sering kali
dikeluarkan walaupun penyakitnya sendiri tidak dapat diamati.
Contoh penyakit virus yang bersifat kronis :
-
13
3. Infeksi Lambat
Adalah suatu infeksi virus menular yang secara berangsur-angsur meningkat
selama fase praklinis yang sangat panjang dan pada akhirnya mengakibatkan
penyakit yang mematikan.
Contoh :
-
14
BAB III
ONKOGENESIS VIRUS
3.1 Onkologi
Adalah ilmu yang mempelajari mengenai Tumor. Tumor dapat dibedakan menjadi :
1. Tumor Tenang
Adalah pertumbuhan yang disebabkan olehperbanyakan sel tidak semetinya,
yang tetap terbatas dan tidak menyerang jaringan sekitarnya
2. Tumor Ganas
Merupakan perbanyakan sela yang tidak semestinya, yang biasanya menyebar
secara local mungkin bersifat metastasis yaitu dapat menyebar keseluruh
bagian tubuh melalui pembuluh darah atau system limfe. Tumor ganas sering
disebut kanker. Tumor ganas bersal dari sel epitel disebut Kasinoma, yang
berasal dari sel masenkin sarcoma. Dan yang bersal dari leukosit
limfoma (Jika hanya terdiri dari sel-sel tumor) atau leukemia (Jika sel yang
beredar terlibat).
3.2 Onkogenesis
Tumor dirangsang oleh perubahan salah satu, dari banyak gen yang mengatur
pertumbuhan asam pembelahn sel.
Perubahan secara genetis mungkin disebabkan oleh :
-
Bahan kimia
Fisik
Virus tertentu
15
Onkogen adalah setiap elemen genetic yang terkait dengan pertumbuhan tumor.
3.3 Transformasi Sel
Virus onkogen sangat mengubah sifat pertumbuhan dari biakan sel dan proses
ini disebut dengan transformasi sel yang secara invito sama denagn pembentukan
tumor. Transformasi oleh virus DNA biasanya tidak produktif yaitu sel yang
bertransformasi tidak menghasilkan virus turunan yang menular sedangkan
taransformasi oleh retrovirus sering bersifat produktif DNA virus atau provirus pada
sel yang bertransformasi terintergrasi ke dalam DNA sel, kecuali pada kasus DNA
papiloma virus dan herves virus yang tetap bersifat episoma
Sel yang bertranformasi dalam banyak hal akan berbeda denagn sel normal.
Salah
Virus DNA
F Papovavirdae :
Adenovirus
16
Rhadinovirus
F Poxviridae
Leporipoxvirus
: fibroma kelinci
- Virus RNA
Retroviridae : Virus leukemia sapi
Tipe mamalia
Tipe unggas
17
BAB IV
DASAR-DASAR DIAGNOSIS PENYAKIT VIRUS
Diagnosis penyakit virus sangat bermanfaat dalam penentuan :
Penyakit eksotiki
Penyakit zoonosis
18
yang memerlukan waktu lebih dari satu hari harus menggunakan es kering dengan
temperatur -70oC.
Spesimen yang tepat untuk diagnosis laboratorium dari berbagai gejala klinis
suatu hewan seperti tabel dibawah ini :
Gejala
Pernapasan
Spesimen
Usapan hidung, tenggorokan, sedotan nasofaring
Pencernaan
Tinja
Kelamin
Usapan kelamin
Mata
Usapan konjungtiva
Kulit
Umum
___________________________________________________________________________
Untuk mendeteksi virus, antigen virus atau asam nukleat virus dapat dilakukan
dengan berbagai cara uji laboratorium. Uji laboratorium harus memenuhi lima kriteria
yaitu : cepat, sederhana, sensitif, spesifik dan murah. Beberapa cara deteksi virus
adalah:
1. Deteksi Virion dengan mikroskop elektron.
2. Deteksi Antigen Virus dengan :
19
Radioimunoasai
Imunofluoresensi
Pewarnaan imunoperoksidase
Presipitasi
Fiksasi komplemen
Metode diagnostik
Isolasi virus
Keuntungan
Memungkinkan kajian agen
Lebih jauh; biasanya sangat
sensitif; gampang diperoleh
Kerugian
Lambat, makan waktu
mungkin sulit; tidak
berguna bagi virus yang
tidak berdaya hidup;
pemilihan tipe sel,dll,
mungkin sangat penting
artinya.
mikroskop elektron
termasuk mikroskop
imunoelektron
20
memberikan informasi
Misalnya, ELISA
diperoleh, seringkali
berupa kit diagnostik
dengan PCR)
semua virus
Perimbangan antibodi
(serum akut dan
kesembuhan)
Lambat, penafsiran
terlambat (retrospektif)
penyakit
mungkin sulit
21
22
(misalnya : pedet, anak babi dan anak ayam), dapat digunakan untuk isolasi virus
yang belum dapat dibiakkan secara in vitro, tetapi terbatas pada studi patogenesis atau
pengujian vaksin, mengingat terjadinya infeksi yang serius bila diagnosisnya meleset.
Prinsip
_____________________________________________________________________
Imunoasai enzim
berlabel-enzim
berikatan
23
dengan
Radioimunoasai
Western blot
Panetralan virus
Antibodi
menetralkan
kemenularan
Hambatan hemaglutinasi
Antibodi
menghambat
hemaglutinasi
virus.
Imunofluoresensi
24
Imunodifusi
Antibodi
dan
antigen
terlarut
25
BAB V
INAKTIVASI VIRUS
Formalin
Asam nitrat
Hidroksilamin
Suhu panas
PH asam
26
Sinar
Reaksi fotodinamik
27
Sebagian besar virus dapat diinaktifkan pada suhu 56oC selama 30 menit atau
100oC selam beberapa detik karena terjadi proses denaturasi proses virus.
Perbedaan ketahanan terhadap suhu panas dipakai sebagai patokan dalam
mengklasifikasikan virus.
Penambahan garam yang mengandung kation bivalen atau sedikit protein
dapat meningkatkan kestabilan virus terhadap tempratur yang tinggi
2. Perubahan pH
Secara umum sebagian besar virus tetap vidup pada pH 5-9. akan tetapi virus
akan cepat rusak atau inaktif pada pHyang terlalu asam atau terlalu basa.
Beberapa perkecualian sepertivirus Rhimo akan rusak pada pH 5,3 sedangkan
virus entero tetap aktif pada pH 2,2.
Asam kuat dan basa kuat menyebabkan denaturasi protein virus dank arena itu
sangat efektif untuk membasmi virus. Misalnya Natrium hidroksida 2%
(caustic soda) digunakan untuk disenfeksi virus Penyakit Mulut dan Kuku.
3. Radiasi Ultraviolet
Sinar matahairi langsung mematikan mikroorganisme karena mengandung
sinar ultraviolet. Berdasarkan panjang gelombangnya sinar ultraviolet dapat
dikelompokan menjadi : 3150-4000A, 2800-3150A dan kurang dari 2800A.
Sinar ultraviolet kurang dari 2800A, mempunyai efek fermisidal (merusak
mokroorganisme ) dan dapat menyebabkan peradangan kulit (erythema) dan
peradangan mata (conjuctivitis).
Sinar ultraviolet 2600A merusak asam inti, sedangkan yang paling panjang
gelombangnya 2350A merusak protein virus.
28
4. Formaldehid
Larutan formaldehid, yaitu fermalin yang banyak digunakn untuk pembuatan
vaksin inaktif. Bahan ini bereaksi terutama dengan mengganti atom H pada
gugus amino dari asam inti dan protein. Akan tetapi karena asam inti serabut
ganda biasanya tidak memiliki gugus amino bebas untuk kontak dengan
formalin, maka hanya asam inti serabut tunggal (RNA) yang dapat
diinaktifkan dengan formalin.
Pada virus yang asam intinya DNA, inaktifasi oleh formalin terjadi melalui
reaksi dengan proteinnya.
5. Pelarut lemak
Virus-virus yang mengandung lemak pada amplopnya dapat diinaktifkan oleh :
ether, kloroform, natrium deoksikolat, fosfolifase dan bahan pelarut lemak
lainnya.
6. Desinfektan
29
a. Oxidizing agent
Yaitu bahan kimia mengosidasikan gugus sulfadril. Misalnya chlor
dalam hypochlorite, yodium
30
e. Deterjen
Terdapat dua macam deterjen yaitu ionik dan non-ionik.
Deterjen ionic bereaksi dengan lemak dan struktur polar. Deterjen lebih
berguna sebagai pembersih daripada sebagai dsinfektan, walaupun
dapat menginaktifkan virus-virus beramplop. Untuk meningkatkan
daya penetrasi deterjen dapat di campur dengan formalin atau
glutaraldehid.
31
BAB VI
CARA MENGAWETKAN VIRUS
Untuk tujuan penelitian, pembuatan vaksin, dan keperluan lainnya, maka virus
perlu diawetkan sehingga bisa disimpan dalam jangka waktu yang cukup lama.
Beberapa cara yang dapat digunakan supaya kualitas partikel virus tidak berubah
adalah :
1. Temperatur
2. Bahan kimia
3. Proses kering beku
6.1 Temperatur
Kebanyakan virus tahan hidup selama beberapa hari dalam tempratur 4 oC.
Keuntungan penyimpanan virus dalam suhu ini ialah dapat menghindari proses
pembekuan dan pencairan(freeze-thawing) suspensi virus yang dapat merusak partikel
virus. Untuk penyimpanan virus dalam waktu lama (berbulan-bulan atau sampai
bertahun-tahun ) digunakan tempratur -70oC (dalam freezer) atau -196oC (dalam
tabung berisi nitrogen cair. Bagi virus-virus yang berada dalam sel (Cell associated)
perlu ditambahkan serum atau gliserol sampai 10% untuk mengawetkan sel-sel
tersebut sehingga virus tetap hidup.
1. Bahan Kimia
a. Jika virus disimpan pada tempratur -70oC, bahan kimia yang dapat
dipakai untuk mengurangi kerusakan virus adalah DMSO dengan
konsentrasi 10%
32
33
BAB VII
PENCEGAHAN DAN PENANGANAN PENYAKIT VIRUS
Pengobatan pada ternak yang terinfeksi virus tidak memberikan hasil yang
efektif. Pemberian antibiotika termasuk dosis tinggi juga tidak memberikan hasil yang
baik, maka tindakan pencegahan menjadi prioritas utama. Pencegahan penyakit virus
yang efektif pada hewan adalah melalui vaksinasi.
7.1 Vaksinasi
Adalah tindakan memasukkan bibit penyakit atau antigen yang sudah
dilemahkan atau dimatikan virulensinya kedalam tubuh dengan tujuan menggertak
tubuh agar secara aktif
membentuk zat kebal.
Vaksin
Adalah sediaan yang mengandung antigen (virus, bakteri dan protozoa), baik
merupakan kuman mati ataupun hidup, yang dilumpuhkan virulensinya tanpa merusak
potensi antigennya, dengan maksud untuk menimbulkan kekebalan aktif yang spesifik
terhadap kuman atau toxinnya.
Ada dua jenis vaksin yang dikenal yaitu vaksin aktif dan vaksin inakif. Vaksin aktif
yaitu vaksin yang mengandung virus hidup atau virus yang telah dilemahkan.Vaksin
inaktif yaitu vaksin yang virusnya telah dimatikan.
34
VAKSIN AKTIF
Setelah masuk kedalam tubuh, harus berkembangbiak dalam sel target, baru
kemudian menggertak terbentuknya antibodi seperti halnya pada infeksi alam.
Kekebalan yang terbentuk lebih cepat, tapi tidak bertahan lama, sehingga
memerlukan vaksinasi ulangan.
Umumnya berbentuk kering beku dan dapat diberikan secara massal melalui
air minum,spray, tetes mata/tetes hidung/tetes mulut dan suntikkan
VAKSIN INAKTIF
35
Aplikasi Vaksin
1. Tetes mata / Tetes hidung
Untuk memberikan hasil yang lebih baik, vaksin diberikan dalam 2 pase,
dengan selang waktu 1- 2 jam.
Diberikan pada ayam umur lebih dari 3 minggu, untuk ampul 1000 dosis,
dilarutkan dengan 10-15 lt, sehingga tiap ekor mendapatkan 10 -15 ml.
Untuk mencapai hasil yang lebih baik, perlu ditambahkan susu skim,
dengan dosis 29 gram dalam 10 liter air.
36
Untuk kandang terbuka, dilakukan pagi hari (early morning), atau sesudah
matahari terbenam (late evening)
4. Disuntikkan
Pada hewan lain sesuai dengan, jenis hewan dan jenis vaksin
Catatan :
tetapi
kekurangannya
dapat
menimbulkan
cekaman
1. Faktor vaksinnya
2. Faktor hewannya
37
sehingga
3. Faktor Vaksinatornya
1. Faktor Vaksinnya
Untuk mengetahui mutu / kualitas vaksin perlu dilakukan uji vaksin seperti :
Kevakuman
Kevakuman vial vaksin dapat diuji dengan electrotester coil dalam ruang
gelap. Bila
vakum.
Fisik
Dilakukan pemeriksaan warna, bau dan keutuhan vaksin yang dibeku
keringkan (freese dried) serta daya larutnya dalam bahan pengencer.
Sterilitas
Diuji dengan cara membiakkan vaksin yang telah diencerkan pada media
blood agar dan Mc conkey agar dan setelah diinkubasikan 24 jam media
diperiksa untuk mengetahui ada tidaknya koloni kuman kontaminan.
Identifikasi
Vaksin ditumbuhkan pada telur ayam berembrio, kemudian cairan
alantoisnya
Keamanan (Safety)
Dengan mengamati keadaan ayam-ayam yang telah divaksin, terhadap
timbulnya gejala-gejala klinis.
Potensi
Dengan memeriksa serum darah hewan yang telah divaksin, dengan uji HI
untuk mengetahui adanya titer antibodi.
1. Faktor Hewannya
Maternal antibodi
Vaksinasi pada hewan yang masih memiliki kekebalan asal vaksinasi
sebelumnya / kekebalan bawaan (maternal antibodi) yang masih tinggi,
tidak akan memberikan kekebalan yang sempurna karena akan terjadi
netralisasi vaksin.
Misalnya
-Tidak infeksius
Bisa terjadi karena : tatalaksana pemeliharaan yang jelek,
stress,
2. Faktor Vaksinatornya
Vaksinator harus memiliki dasar-dasar ilmu kedokteran hewan. Khususnya
ilmu imunologi. Vaksinasi tidak boleh dilakukan oleh sembarangan orang.
Vaksinator yang tidak memiliki dasar ilmu kedokteran hewan akan merusak
program vaksinasi.
Vaksinator harus memahami cara :
-
memilih vaksin
mengangkut vaksin
mencampur/melarutkan vaksin
40
aplikasi vaksin
dosis vaksin
Pembiakan virus tergantung pada metabolisme sel induk semang, jadi obat
penghambat infeksi virus harus dapat menghambat proses biosintesis virus tanpa
merusak sel, misalnya dengan cara merusak enzim yang spesifik virus yang hanya
dibutuhkan oleh virus untuk pembiakannya.
Selain interferon, terdapat sejumlah bahan kimia yang menghambat multiplikasi virus
dan dapat digunakan mengobati infeksi virus antara lain :
1. Amantadine ( Adamantanamine).
Bahan ini menghambat multiflikasi virus, seperti virus Influenza dan Rubella
dengan cara mengganggu proses pelepasan asam inti virus (uncoating). Bila
diberikan pada awal infeksi dapat menghambat infeksi virus.
41
2. Cyclooctylamine hydrochloride
Bahan ini memiliki sifat yang mirip dengan amantadine hydrochloride dan karena
itu juga menghambat pertumbuhan virus-virus ARN.
3. Isoquinolines
In vitro bahan ini menghambat enzim neuraminidase yang terdapat pada
permukan
4. Iododeoxyuridine (IUDR)
Senyawa halogen pirimidin telah lama diketahui menghambat sintesis asam inti
sel jaringan dan virus dengan cara menghambat masuknya basa thymine ke dalam
serabut ADN atau mengganti thyme dalam serabut ADN sehingga terbentuk
serabut ADN palsu yang tidak berfungsi. IUDR biasanya bekerja pada tingkat
akhir replikasi virus karena itu ia dapat juga menghambat daya keja enzim DNAdependent RNA polymerase dam pembentukan messeger RNA (m-RNA) dengan
akibat terbentuknya enzim yang tidak sempurna dan protein kapsid yang tidak
lengkap. Dalam gambaran mikroskop elektron dari sel terinfeksi virus Herpes
yang telah diberikan IUDR, terlihat banyak partikel virus yang kosong
ditengahnya menujukan
42
5. Methisazone
Bahan ini disebut juga marboran, telah terbukti berhasil mencegah timbulnya
gejala penyakit Cacar pada orang yang berhubungan atau kontak dengan orang
penderita Penyakit Cacar (Small Pox). Akan tetapi pada orang yang telah
menunjukan gejala penyakit, marboran tidak bermanfaat karena sudah terlalu
banyak sel jaringan yang rusak.
6. Aranotin
Bahan ini diperoleh dari jamur Arachniotus aureus, dapat menghambat replikasi
virus Polio invitro dan invivo dengan hanya sedikit efek toksik terhadap sel
mamalia. Bahan yang sama yang diperoleh dari Aspergillus terrens, menghambat
multiplikasi virus Coxsackie, Parainfluensa tipe 1,2 dan 3 serta sejumlah anggota
genus Rhinovirus. In vivo bahan ini melindungi tikus terhadap infeksi yang
mematikan oleh virus Coxsackie dan Influensa.
Aranotin , dan menghambat ARN yang dihasilkan virus yaitu RNA-dependent
RNA polymerase tanpa mengganggu enzim DNA dependent RNA polymerase
yang terdapat pada sel normal.
43
DAFTAR PUSTAKA
44