Anda di halaman 1dari 28

Presentasi Kasus Bedah Anak

SEORANG ANAK PEREMPUAN 6 TAHUN DENGAN


MEGACOLON KONGENITAL

Disusun Oleh:
Ida Ayu Sinthia Pradnya Swari
G99151009

Pembimbing :
dr. Guntur Surya Alam, Sp.B, Sp.BA

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2016

BAB I
STATUS PASIEN
A. Anamnesis
1. Identitas Pasien
Nama

: An. C

Umur

: 6 Tahun

Jenis kelamin

: Perempuan

Agama

: Islam

Alamat

: Sukoharjo

Tanggal Masuk

: 31 Maret 2016

Tanggal Periksa

: 7 Maret 2016

No. RM

: 010964xx

2. Keluhan Utama
Sulit buang air besar sejak 3 hari SMRS
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan sulit buang air besar sejak 3 hari
SMRS dan perut juga terlihat semakin membesar. BAB lunak, BAK tidak
ada keluhan, demam (-).

Pasien juga mengeluh mual dan muntah.

Muntah disertai makanan yang dimakan dengan frekuensi 1-2 kali


dalam satu hari dengan volume

100cc, muntah darah (-). Sejak

umur 5 hari pasien memeliki keluhan serupa dan oleh dokter yang
merawat di diagnosis Megacolon Congenital, Selama ini pasien
melakukan rawat jalan di RSU Sukoharjo.
2 bulan SMRS pasien mengeluh keluhan serupa dan berobat ke RSU
Sukoharjo dan disarankan untuk operasi namun karena keterbatasan

sarana di rujuk ke RS Dr. Moewardi dan dirawat selama 1 bulan lalu


diperbolehkan pulang.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat keluhan yang sama : (+) sejak usia 3 tahun
Riwayat operasi

: disangkal

Riwayat trauma

: disangkal

Riwayat mondok

: (+) di RSU Sukoharjo dan RS Dr.Moewardi dengan


Megacolon Congenital

Riwayat alergi

: disangkal

5. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat keluhan yang sama : disangkal
Riwayat hipertensi

: disangkal

Riwayat diabetes melitus

: disangkal

Riwayat alergi

: disangkal

6. Riwayat Kelahiran
Pasien lahir dari ibu berusia 35 tahun, G2P2A0, lahir normal dengan usia kehamilan
36 minggu. Bayi menangis kuat (+), nafas spontan (+), ketuban jernih, tidak berbau,
berat badan lahir 2700 gram.
7. Riwayat Kehamilan dan ANC
Riwayat sakit saat hamil

: rutin di bidan

Riwayat perdarahan

: disangkal

Riwayat konsumsi jamu

: disangkal

Riwayat alkohol, merokok : disangkal


B. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum
2. Vital Sign

: Compos mentis

TD

: 100/70mmhg

Temperature

: 36,8C

Respiration Rate

: 24x/ menit

Heart Rate

: 98x/ menit

Saturasi O2

: 99 %

3. Kepala

: mesocephal

4. Mata

: konjungtiva anemis (-/-), air mata (+/+), sklera ikterik (-/-)

5. Telinga

: sekret (-/-), darah (-/-)

6. Hidung

: bentuk simetris, nafas cuping hidung (-), sekret (-), darah (-)

7. Mulut

: mukosa basah (+), sianosis (-), jejas (-)

8. Leher

: pembesaran tiroid (-), pembesaran limfonodi (-)

9. Thoraks

: bentuk normochest, retraksi (-)

10. Jantung
Inspeksi

: ictus cordis tampak

Palpasi

: ictus cordis kuat angkat

Perkusi

: batas jantung kesan tidak melebar

Auskultasi

: bunyi jantung I-II intensitas normal reguler, bising (-)

11. Pulmo
Inspeksi

: pengembangan dada kanan sama dengan kiri

Palpasi

: fremitus raba kanan sama dengan kiri

Perkusi

: sonor/ sonor

Auskultasi

: suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-)

12. Abdomen
Inspeksi

: distensi (+), vena dilatasi

Auskultasi

: bising usus (+)

Perkusi

: timpani

Palpasi

: supel, hepar dan lien tidak teraba

13.

Genitourinaria : anus (+), BAK darah (-), BAK nanah (-), nyeri BAK (-).

14. Rectal Toucher


15. Ekstremitas

: TMSA (+), Ampula longgar, mukosa licin, STLD (-), feses(+)

Capillary refill time kurang dari 2 detik


-

Status Lokalis
Regio Abdomen
Inspeksi
Auskultasi
Perkusi
Palpasi

: Distensi (+)
: Bising usus (+)
: timpani
: tegang, hepar dan lien tidak teraba

C. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium Darah (1 April 2016) di RS Dr. Moewardi
Pemeriksaan

Hasil

Satuan

Rujukan

HematologiRutin
Hemoglobin

12.9

g/dl

13.4-19.8

Hematokrit

39

50-82

Leukosit

9.7

Ribu/ul

5.0-19.5

Trombosit

446

Ribu/ul

150-450

Eritrosit

5.02

Juta/ul

3.90-5.90

88

mg/dl

60-100

PT

14.0

detik

10.0 -15.0

APTT

31.3

detik

20.0 40.0

INR

1.100

Kimia Klinik
Gula Darah Sewaktu
Homeostasis

Elektrolit
Natrium darah

139

mmol/L

132-145

Kalium darah

3.4

mmol/L

3.1-5.1

Chlorida darah

110

mmol/L

98-106

Calsium Ion

1.03

mmol/L

1.17 1.29

Serologi
Hepatitis
HbsAg

Nonreactive

Nonreactive

2. Colon in loop ( 25 Februari 2016) di RS Dr. Moewardi

Hasil:
Foto polos abdomen : tak tampak distensi sistema usus, gambaran udara bebas,
pneumatisasi intestinal dan ground glass appeareance, fecal material prominent, mottled
sign (+) di sistema kolorectal.

Single contrast : tampak kontras mengisi dan melumuri sistema colorektal, refluks (+),
kaliber rektum tampak sempit, dinding licin, RS index < 1, kaliber lumen sistema
colorectal yang lain normal, Tak tampak additional defek, tak tampak filling defek.
Kesan:
Hipoganglion rektum short segmen

D. Assesment
Megacolon Congenital
E. Plan
1.
2.
3.
4.
5.

MRS
Antasida syr 3x1 cth
Domperidon 3x1 cth
Wash out
Pro TAERPT

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A.

Definisi
Megakolon kongenital adalah pembesaran abnormal atau dilatasi
kolon karena tidak adanya sel-sel ganglion myenterik pada usus besar
segmen distal (aganglionosis). Sel-sel ganglion bertanggung jawab atas
kontraksi ritmik yang diperlukan untuk mencerna makanan yang masuk.
Hilangnya

fungsi

motorik

dari

segmen

ini

menyebabkan

dilatasi

hypertropik massive kolon proximal yang normal sehingga terjadi


kesulitan defekasi dan feses terakumulasi menyebabkan Megakolon.
Kondisi ini dapat segera terlihat segera setelah lahir ditandai dengan
gagalnya penundaan pasase awal dari mekonium sehingga terjadi distensi
abdominal, yang disertai dengan muntah dalam waktu 48 jam sampai 72
jam. Pada banyak kasus, segmen aganglionic terdapat pada rectum dan
kolon sigmoid. Ancaman terhadap hidup yang utama pada kelainan ini
adalah terjadinya enterocolitis, dengan gangguan cairan dan elektrolit
serta perforasi pada kolon yang membesar dan tegang atau pada
apendiks dengan peritonitis.1,6,7

Gambar 2.1 Ilustrasi megacolon congenital


B.

Etiologi

Sekitar 10% kasus penyakit Hirschsprung timbul secara herediter


melalui mutasi sporadik di dalam gen, angka ini dapat lebih tinggi pada
pasien dengan segmen penyakit yang lebih panjang. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa seseorang dengan riwayat keluarga terpapar penyakit
Hirschsprung beresiko lebih tinggi.
Penyakit Hirschsprung ditemukan pada kelainan-kelainan Kongenital
sebagai berikut:
1.

Sindroma Down

2.

Sindroma Neurocristopathy

3.

Sindroma Waardenburg-Shah

4.

Sindroma buta-tuli Yemenite

5.

Piebaldism

6.

Sindroma Goldberg-Shprintzen

7.

Neoplasia endokrin multiple tipe II

8.

Sindroma hypoventilasi Kongenital terpusat

9.

Cartilage-hair hypoplasia

10.

Sindroma hypoventilasi entral primer (Ondines curse)

11.

Penyakit

Chagas,

pada

penyakit

ini

tripanosoma

menginvasi langsung dinding usus dan menghancurkan pleksus.


Penyakit Hirschsprung juga bisa timbul karena ibu polyhidramnion
saat hamil ; adanya obstruksi usus organik karena neoplasma dan
penyempitan usus karena inflammasi; toxic Megakolon komplikasi dari
colitis ulceratif atau penyakit Crohn ; dan gangguan psychosomatic
fungsional. Kondisi-kondisi ini tidak berhubungan dengan berkurangnya
ganglia dinding usus.1
C.

Patofisiologi
Penyakit Hirschsprung timbul karena adanya aganglioner Kongenital
pada saluran pencernaan bagian bawah. Aganglioner diawali dari anus,
yang merupakan bagian yang selalu terlibat, dan berlanjut ke arah
proximal dengan jarak yang bervariasi. Plexus myenterik (Auerbach) dan

submucosal

(Meissner)

yang

tidak

terbentuk

mengakibatkan

berkurangnya fungsi dan kemampuan usus untuk melakukan gerakan


peristaltik. Hingga saat ini, mekanisme pasti tentang perkembangan
penyakit Hirschsprung masih belum diketahui.7
Embriologi sel-sel ganglion enteric berasal dari neural crest, yang
apabila berkembang normal, akan ditemukan neuroblast di usus pada
minggu ke 7 kehamilan dan mencapai usus besar pada minggu ke 12
kehamilan. Salah satu etiologi penyakit Hirschsprung ini adalah adanya
gangguan migrasi dari neuroblast yang menuju ke distal usus. Adapun
etiologi lain mengatakan bahwa migrasi tersebut berjalan normal, namun
ada kegagalan dari neuroblast untuk bertahan, berproliferasi atau
berdifferensiasi di bagian distal aganglionik segmen. Distribusi abnormal
menyebabkan

usus

dan

komponen-komponennya

membutuhkan

pertumbuhan dan perkembangan secara neuronal, seperti fibronectin,


laminin,

neural

cell

adhesion

molecule

(NCAM),

dan

faktor-faktor

neurotropik.1
Tiga plexus neuronal yang menginervasi usus: plexus submucosal
(Meissner), plexus intermuscular (Auerbach) dan plexus mucosal yang
lebih kecil. Ketiga plexus ini akhirnya tergabung dan berpengaruh pada
segala aspek dari fungsi bowel, termasuk absorpsi, sekresi, motilitas dan
aliran darah.
Gerakan usus yang normal, secara primer dikendalikan oleh neuron
intrinsic. Fungsi bowel tetap adequate, meskipun innervasi ekstrinsik
hilang. Ganglia ini mengendalikan kontraksi dan relaksasi otot polos,
dengan dominasi relaksasi. Pengendalian ekstrinsik utamanya melalui
serat-serat kolinergik dan adrenergik. Serat kolinergik menimbulkan
kontraksi, dan serat adrenergik utamanya menimbulkan inhibisi.
Pada pasien penyakit Hirschsprung, sel-sel ganglion tidak terbentuk,
sehingga terjadi peningkatan innervasi usus ekstrinsik. Kedua innervasi,
baik kolinergik maupun adrenergik berjalan 2-3 kali normal. Sistem
adrenergik (excitator) diduga lebih mendominasi dari pada sistem

kolinergik (inhibitor) sehingga terjadi peningkatan kerja otot polos.


Dengan hilangnya nerves inhibitory enteric intrinsic, kerja otot polos yang
meningkat tidak tertanggulangi dan menyebabkan ketidakseimbangan
kontraktilitas otot polos, peristaltik yang tidak terkoordinasi dan obstruksi
fungsional.6
D.

Klasifikasi
Menurut letak segmen aganglionik maka penyakit ini dibagi dalam :
1 Megakolon kongenital ultra short-segmen
Bila segmen aganglionik meliputi rektum distal-anus
2 Megakolon kongenital segmen pendek (short-segment)
Bila segmen aganglionik meliputi rektum
3 Megakolon kongenital tipikal
Bila segmen aganglionik meliputi rektum sampai sigmoid (70-80%).
4 Megakolon kongenital segmen panjang (long-segment)
Bila segmen aganglionik lebih tinggi dari sigmoid (20%), dapat
mencapai colon descenden atau flexura hepatica.
5 Kolon aganglionik total
Bila segmen aganglionik mengenai seluruh kolon (5-%)
F.

Manifestasi Klinis
Gambaran

klinis

penyakit

Hirschsprung

dapat

kita

bedakan

berdasarkan usia gejala klinis mulai terlihat :


Periode Neonatal
Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni pengeluaran
mekonium yang terlambat, distensi abdomen, dan muntah berwarna
hijau. Pengeluaran mekonium yang terlambat (lebih dari 24 jam
pertama) merupakan tanda klinis yang signifikan. Muntah hijau dan
distensi abdomen biasanya dapat berkurang manakala mekonium dapat
dikeluarkan

segera.

Sedangkan

enterokolitis

merupakan

ancaman

komplikasi yang serius bagi penderita penyakit Hirschsprung ini, yang

dapat menyerang pada usia kapan saja, namun paling tinggi saat usia 24 minggu, meskipun sudah dapat dijumpai pada usia 1 minggu.
Gejalanya berupa diarrhea, distensi abdomen, feces berbau busuk dan
disertai demam. Swenson mencatat hampir 1/3 kasus Hirschsprung
datang dengan manifestasi klinis enterokolitis, bahkan dapat pula terjadi
meski telah dilakukan kolostomi. 1,3,5
Anak
Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah
konstipasi kronis dan gizi buruk (failure to thrive). Dapat pula terlihat
gerakan peristaltik usus di dinding abdomen. Jika dilakukan pemeriksaan
colok dubur, maka feces biasanya keluar menyemprot, konsistensi semiliquid dan berbau tidak sedap. Penderita biasanya buang air besar tidak
teratur, sekali dalam beberapa hari dan biasanya sulit untuk defekasi.
Kasus yang lebih ringan mungkin baru akan terdiagnosis di kemudian
hari.3
G. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan
fisik dan penunjang.
Anamnesis
Pada neonatus :
1. mekonium keluar terlambat, > 24 jam
2. tidak dapat buang air besar dalam waktu 24-48 jam setelah lahir
3. perut cembung dan tegang
4. muntah
5. feses encer
Pada anak :
1. Konstipasi kronis
2. Failure to thrive (gagal tumbuh)
3. Berat badan tidak bertambah
4. Nafsu makan tidak ada (anoreksia)

Pemeriksaan Fisik
Pada inspeksi abdomen terlihat perut cembung atau membuncit
seluruhnya, didapatkan perut lunak hingga tegang pada palpasi, bising
usus melemah atau jarang. Pada pemeriksaan colok dubur terasa ujung
jari terjepit lumen rektum yang sempit dansewaktu jari ditarik keluar
maka feses akan menyemprot keluar dalam jumlah yang banyak dan
kemudian kembung pada perut menghilang untuk sementara.
Pemeriksaan penunjang
1.Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan yang penting
pada penyakit Hirschsprung. Pada foto polos abdomen dapat dijumpai
gambaran obstruksi usus letak rendah, meski pada bayi sulit untuk
membedakan
merupakan

usus

standard

halus
dalam

dan

usus

besar.

menegakkan

Pemeriksaan

diagnosa

yang

Hirschsprung

adalah barium enema, dimana akan dijumpai 3 tanda khas :


a. Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang
panjangnya bervariasi;
b. Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan
ke arah daerah dilatasi;
c. Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi.1
Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas
penyakit Hirschsprung, maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi
barium, yakni foto setelah 24-48 jam barium dibiarkan membaur
dengan feces. Gambaran khasnya adalah terlihatnya barium yang
membaur dengan feces kearah proksimal kolon. Sedangkan pada
penderita yang bukan Hirschsprung namun disertai dengan obstipasi
kronis, maka barium terlihat menggumpal di daerah rektum dan
sigmoid.

Gambar 2.2. Terlihat gambar barium enema penderita Hirschsprung.


Tampak rektum yang mengalami penyempitan,dilatasi sigmoid dan
daerah transisi yang melebar.
2. Manometri anus yaitu pengukuran tekanan sfingter anus dengan cara
mengembangkan balon di dalam rektum
3. Biopsi rektum menunjukkan tidak adanya ganglion sel-sel saraf.
I.

Penatalaksanaan
1. Tindakan Non Bedah
Pengobatan non bedah dimaksudkan untuk mencegah serta
komplikasi-komplikasi yang mungkin terjadi atau untuk memperbaiki
keadaan umum penderita sampai pada saat operasi definitif dapat
dikerjakan. Pengobatan non bedah diarahkan pada stabilisasi cairan,
elektrolit, asam basa dan mencegah terjadinya overdistensi sehingga
akan

menghindari

terjadinya

sepsis.

terjadinya

perforasiusus

Tindakan-tindakan

non

serta

bedah

mencegah
yang

dapat

dikerjakan adalah pemasangan pipa nasogastrik, pemasangan pipa


rektum, pemberian antibiotik, lavase kolon dengan irigasi cairan,
koreksi elektrolit sertap engaturan nutrisi.1

2. Tindakan Bedah
a. Tindakan Bedah Sementara
Tindakan

bedah

sementara

dimaksudkan

untuk

dekompresi abdomen dengan cara membuat kolostomi pada


kolon yang mempunyai ganglion normal bagian distal. Tindakan
dimaksudkan guna menghilangkan obstruksi usus dan mencegah
terjadinya enterokolitis yang diketahui sebagai penyebab utama
terjadinya kematian pada penderita penyakit Hirschsprung.
Manfaat lain dari kolostomi adalah menurunkan angka kematian
pada saat dilakukan tindakan bedah definitif dan mengecilkan
kaliber usus pada penderita Hirschsprung yang telah besar
sehingga memungkinkan dilakukan anastomose.3,5
b.
1)

Tindakan Bedah Definitif


Prosedur Swenson
Proseduriniadalahprosedurpertamauntukoperasipenyaki
tHirschsprungdenganmetode

pull-through.Tehnik

ini

diperkenalkan pertama kali oleh Swenson dan Bill pada


tahun 1948. Segmen yang aganglionik direseksi dan puntung
rektum ditinggalkan 2-4 cm dari garis mukokutan kemudian
dilakukan anastomosis langsung diluar rongga peritoneal.
Pada prosedur ini enterokolitis masih dapat terjadi sebagai
akibat spasme puntung rektum yang ditinggalkan. Untuk
mengatasi hal ini Swenson melakukan sfingterektomi parsial
posterior. Prosedur ini disebut prosedur Swenson I.1, 9
Pada

1964

Swenson

memperkenalkan

prosedur

Swenson II dimana setelah dilakukan pemotongan segmen


kolon yang aganglionik, puntung rektum ditinggalkan 2 cm di
bagian anterior dan 0,5 cm di bagian posterior kemudian
langsung dilakukan sfingterektomi parsial langsung. Ternyata

prosedur ini sama sekali tidak mengurangi spasme sfingter


ani dan tidak mengurangi komplikasi enterokolitis pasca
bedah dan bahkan pada prosedur Swenson II kebocoran
anastomosis
Swenson I.

lebih

tinggi

dibanding

dengan

prosedur

1,9

Prosedur Swenson dimulai dengan approach ke intra


abdomen, melakukan biopsi eksisi otot rektum, diseksi
rektum ke bawah hingga dasar pelvik dengan cara diseksi
serapat mungkin ke dinding rektum, kemudian bagian distal
rektum diprolapskan melewati saluran anal ke dunia luar
sehingga saluran anal menjadi terbalik, selanjutnya menarik
terobos

bagian

kolon

proksimal

(yang

tentunya

telah

direseksi bagian kolon yang aganglionik) keluar melalui


saluran anal. Dilakukan pemotongan rektum distal pada 2 cm
dari anal verge untuk bagian anterior dan 0,5-1 cm pada
bagian posterior, selanjunya dilakukan anastomose end to
end dengan kolon proksimal yang telah ditarik terobos tadi.
Anastomose dilakukan dengan 2 lapis jahitan, mukosa dan
sero-muskuler.

Setelah

anastomose

selesai,

usus

dikembalikan ke kavum pelvik / abdomen. Selanjutnya


dilakukan reperitonealisasi, dan kavum abdomen ditutup.1,5
2) Prosedur Duhamel
Prosedur ini diperkenalkan Duhamel tahun 1956 untuk
mengatasi kesulitan diseksi pelvik pada prosedur Swenson.
Prinsip dasar prosedur ini adalah menarik kolon proksimal
yang ganglionik ke arah anal melalui bagian posterior rektum
yang aganglionik, menyatukan dinding posterior rektum
yang aganglionik dengan dinding anterior kolon proksimal
yang ganglionik sehingga membentuk rongga baru dengan
anastomose end to side.3

Prosedur Duhamel asli memiliki beberapa kelemahan,


diantaranya

sering

terjadi

stenosis,

inkontinensia

dan

pembentukan fekaloma di dalam puntung rektum yang


ditinggalkan
dilakukan

apabila
beberapa

terlalu

panjang.

modifikasi

Oleh

sebab

prosedur

itu

Duhamel,

diantaranya :
a.Modifikasi

Grob

(1959)

Anastomose

dengan

pemasangan 2 buah klem melalui sayatan endoanal


setinggi 1,5-2,5 cm, untuk mencegah inkontinensia;
b.Modifikasi

Talbert

dan

Ravitch:

Modifikasi

berupa

pemakaian stapler untuk melakukan anastomose side to


side yang panjang;
c. Modifikasi Ikeda: Ikeda membuat klem khusus untuk
melakukan anastomose, yang terjadi setelah 6-8 hari
kemudian;
d.Modifikasi Adang: Pada modifikasi ini, kolon yang ditarik
transanal

dibiarkan

prolaps

sementara.

Anastomose

dikerjakan secara tidak langsung, yakni pada hari ke-7-14


pasca bedah dengan memotong kolon yang prolaps dan
pemasangan 2 buah klem; kedua klem dilepas 5 hari
berikutnya. Pemasangan klem disini lebih dititikberatkan
pada fungsi hemostasis.1
3) Prosedur Soave atau Endorectal Pull Through
Prosedur ini sebenarnya pertama sekali diperkenalkan
Rehbein tahun 1959 untuk tindakan bedah pada malformasi
anorektal letak tinggi. Namun oleh Soave tahun 1966
diperkenalkan untuk tindakan bedah definitif Hirschsprung.
Tujuan utama dari prosedur Soave ini adalah membuang
mukosa rektum yang aganglionik, kemudian menarik terobos
kolon proksimal yang ganglionik masuk kedalam lumen
rektum yang telah dikupas tersebut.3

4) Prosedur Rehbein
Prosedur ini tidak lain berupa deep anterior resection,
dimana dilakukan anastomose end to end antara usus
aganglionik dengan rektum pada level otot levator ani (2-3
cm diatas anal verge), menggunakan jahitan 1 lapis yang
dikerjakan intraabdominal ekstraperitoneal. Pasca operasi,
sangat penting melakukan businasi secara

rutin guna

mencegah stenosis.3
5) Prosedur Boley.
Prosedur Boley sangat mirip dengan prosedur Soave akan tetapi
anastomosis dilakukan secara langsung tanpa memprolapskan kolon
terlebih dulu.1
6) Prosedur miomektomi anorektal.
Pada pasien-pasien dengan megacolon congenital segmen ultra
pendek, pengangkatan satu strip otot pada linea mediana dinding posterior
rektum dapat dilakukan dan prosedur ini disebut miomektomi anorektal,
dimana dengan lebar 1 cm satu strip dinding rektum ekstramukosa
diangkat, mulai dari proksimal linea dentata sampai daerah yang
berganglion.1
7) Prosedur Transanal Endorectal Pull-Through.
Teknik ini dilakukan dengan pendekatan lewat anus. Setelah
dilakukan dilatasi anus dan pembersihan rongga anorektal dengan
povidone-iodine, mukosa rektum diinsisi melingkar 1 sampai 1,5 cm
diatas linea dentata. Dengan diseksi tumpul rongga submukosa yang
terjadi diperluas hingga 6 sampai 7 cm kearah proksimal. Mukosa yang
telah terlepas dari muskularis ditarik ke distal sampai melewati anus
sehingga terbentuk cerobong otot rektum tanpa mukosa. Keuntungan
prosedur ini antara lain lama pemondokan dan operasi lebih singkat,
waktu operasi lebih singkat, perdarahan minimal, feeding dapat diberikan
lebih awal, biaya lebih rendah, skar abdomen tidak ada. Akan tetapi masih
didapatkan komplikasi enterokolitis, konstipasi dan striktur anastomosis.1

J.

Komplikasi
Secara garis besarnya, komplikasi pasca tindakan bedah penyakit
Hirschsprung dapat digolongkan atas kebocoran anastomose, stenosis,
enterokolitis dan gangguan fungsi spinkter. Beberapa hal dicatat sebagai
faktor predisposisi terjadinya penyulit pasca operasi, diantaranya : usia
muda saat operasi, kondisi umum penderita saat operasi, prosedur
bedah yang digunakan, keterampilan dan pengalaman dokter bedah,
jenis dan cara pemberian antibiotik serta perawatan pasaca bedah.
1.

Kebocoran Anastomose
Kebocoran anastomose pasca operasi dapat disebabkan oleh
ketegangan yang berlebihan pada garis anastomose, vaskularisasi
yang tidak adekuat pada kedua tepi sayatan ujung usus, infeksi dan
abses sekitar anastomose serta trauma colok dubur atau businasi
pasca operasi yang dikerjakan terlalu dini dan tidak hati-hati.Kartono
mendapatkan angka kebocoran anastomese hingga 7,7% dengan
menggunakan prosedur Swenson, sedangkan apabila dikerjakan
dengan prosedur Duhamel modifikasi hasilnya sangat baik dengan
tak satu kasuspun mengalami kebocoran.1
Manifestasi klinis yang terjadi akibat kebocoran anastomose ini
beragam.

Kebocoran

anastomosis

ringan

menimbulkan

gejala

peningkatan suhu tubuh, terdapat infiltrat atau abses rongga pelvik,


kebocoran berat dapat terjadi demam tinggi, pelvioperitonitis atau
peritonitis umum , sepsis dan kematian. Apabila dijumpai tandatanda dini kebocoran, segera dibuat kolostomi di segmen proksimal.
1,3,4

2.

Stenosis
Stenosis yang terjadi pasca operasi dapat disebabkan oleh
gangguan penyembuhan luka di daerah anastomose, infeksi yang
menyebabkan terbentuknya jaringan fibrosis, serta prosedur bedah

yang

dipergunakan.

Stenosis

sirkuler

biasanya

disebabkan

komplikasi prosedur Swenson atau Rehbein, stenosis posterior


berbentuk oval akibat prosedur Duhamel sedangkan bila stenosis
memanjang biasanya akibat prosedur Soave.
Manifestasi yang terjadi dapat berupa gangguan defekasi yaitu
kecipirit, distensi abdomen, enterokolitis hingga fistula perianal.
Tindakan yang dapat dilakukan bervariasi, tergantung penyebab
stenosis, mulai dari businasi hingga sfinkterektomi posterior. 3,4
3.

Enterokolitis
Enterokolitis merupakan komplikasi yang paling berbahaya, dan
dapat berakibat kematian. Swenson mencatat angka 16,4% dan
kematian akibat enterokolitis mencapai 1,2%. Kartono mendapatkan
angka 14,5% dan 18,5% masing-masing untuk prosedur Duhamel
modifikasi dan Swenson. Sedangkan angka kematiannya adalah
3,1% untuk prosedur Swenson dan 4,8% untuk prosedur Duhamel
modifikasi. Tindakan yang dapat dilakukan pada penderita dengan
tanda-tanda enterokolitis adalah :
a.

Segera melakukan resusitasi cairan dan elektrolit,

b.

Pemasangan pipa rektal untuk dekompresi,

c.

Melakukan wash out dengan cairan fisiologis 2-3 kali perhari

d.

Pemberian antibiotika yang tepat.


Sedangkan

untuk

koreksi

bedahnya

tergantung

penyebab/prosedur operasi yang telah dikerjakan. Businasi pada


stenosis, sfingterotomi posterior untuk spasme spingter ani dapat
juga dilakukan reseksi ulang stenosis. Prosedur Swenson biasanya
disebabkan spinkter ani terlalu ketat sehingga perlu spinkterektomi
posterior. Sedangkan pada prosedur Duhamel modifikasi, penyebab
enterokolitis biasanya adalah pemotongan septum yang tidak
sempurna sehingga perlu dilakukan pemotongan ulang yang lebih
panjang.1,3

Enterokolitis dapat terjadi pada semua prosedur tetapi lebih kecil


pada pasien dengan endorektal pullthrough. Enterokolitis merupakan
penyebab kecacatan dan kematian pada megakolon kongenital,
mekanisme timbulnya enterokolitis menurut Swenson adalah karena
obtruksi parsial. Obtruksi usus pasca bedah disebabkan oleh stenosis
anastomosis, sfingter ani dan kolon aganlionik yang tersisa masih
spastik. Manifestasi klinis enterokolitis berupa distensi abdomen
diikuti tanda obtruksi seperti muntah hijau atau fekal dan feses
keluar eksplosif cair dan berbau busuk. Enetrokolitis nekrotikan
merupakan komplikasi paling parah dapat terjadi nekrosis, infeksi
dan perforasi. Hal yang sulit pada megakolon kongenital adalah
terdapatnya gangguan defekasi pasca pullthrough, kadang ahli
bedah dihadapkan pada konstipasi persisten dan enterokolitis
berulang pasca bedah.1
4.

Gangguan Fungsi Sfinkter


Hingga saat ini, belum ada suatu parameter atau skala yang
diterima universal untuk menilai fungsi anorektal ini. Fecal soiling
atau kecipirit merupakan parameter yang sering dipakai peneliti
terdahulu untuk menilai fungsi anorektal pasca operasi, meskipun
secara teoritis hal tersebut tidaklah sama. Kecipirit adalah suatu
keadaan keluarnya feces lewat anus tanpa dapat dikendalikan oleh
penderita, keluarnya

sedikit-sedikit

dan

sering.

Untuk

menilai

kecipirit, umur dan lamanya pasca operasi sangatlah menentukan


(Heikkinen

dkk,1997;

Lister,1996;

Heij

dkk,1995).

Swenson

memperoleh angka 13,3% terjadinya kecipirit, sedangkan Kleinhaus


justru lebih rendah yakni 3,2% dengan prosedur yang sama. Kartono
mendapatkan angka 1,6% untuk prosedur Swenson dan 0% untuk
prosedur Duhamel modifikasi. Sedangkan prosedur Rehbein juga
memberikan

angka

0%.Pembedahan

dikatakan

penderita dapat defekasi teratur dan kontinen.1

berhasil

bila

K. Prognosis
Secara umum prognosisnya baik jika gejala obstruksi segera diatasi, 90%
pasien

dengan

penyakit

hirschprung

yang

mendapat

tindakan

pembedahan mengalami penyembuhan dan hanya sekitar 10% pasien


yang masih mempunyai masalah dengan saluran cernanya sehingga
harus dilakukan kolostomi permanen. Angka kematian akibat komplikasi
dari tindakan pembedahan pada bayi sekitar 20% .1

DAFTAR PUSTAKA
1. Kartono D. 1993. PenyakitHirschsprung :Perbandinganprosedur Swenson
dan Duhamel modifikasi. Disertasi. Pascasarjana FKUI
2. Heikkinen M, Rintala R, Luukkonen. 1997. Longterm anal spincter
performance after surgery for Hirschsprungs disease. J PediatrSurg; 32:
1443-6.
3. Fonkalsrud. 1997. Hirschsprungs disease. In:Zinner MJ, Swhartz SI, Ellis
H, editors. Maingots Abdominal Operation. 10th ed. New York: PrenticeHall intl.inc.;p.2097-105.
4. Swenson O. 2002. Hirschsprungsdisease : A Review. J Pediatr;109:914918.
5. Swenson

O,

Raffensperger

RaffenspergerJG,editor.

JG.

1990.

Swensons

Hirschsprungs

pediatric

surgery.

disease.
5th

In:
ed.

Connecticut:Appleton& Lange: 555-77.


6. Farid Nur Mantu. 1993. Catatan Kuliah Ilmu Bedah Anak. Jakarta: EGC
7. Sjamsuhidajat dan Wim de jong. 2004. Tindakan Bedah: organ dan sistem
organ, usus halus, apendiks, kolon, dan anorektum, Kelainan bawaan, In:
Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC;908-10.
8. Snell, Richard S. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran.
Jakarta: EGC
9. Lee,

Steven

L.

2005.Hirschprung

http://emedicine.medscape.com/article/178493-overview

disease,

TUGAS :
1. Manifestasi Klinis Megacolon Congenital
Gambaran klinis penyakit Hirschsprung

dapat

kita

bedakan

berdasarkan usia gejala klinis mulai terlihat :


Periode Neonatal
Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni pengeluaran
mekonium yang terlambat, distensi abdomen, dan muntah berwarna
hijau. Pengeluaran mekonium yang terlambat (lebih dari 24 jam
pertama) merupakan tanda klinis yang signifikan. Muntah hijau dan
distensi abdomen biasanya dapat berkurang manakala mekonium
dapat dikeluarkan segea.
Anak
Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah
konstipasi kronis dan gizi buruk (failure to thrive). Dapat pula terlihat
gerakan

peristaltik

usus

di

dinding

abdomen.

Jika

dilakukan

pemeriksaan colok dubur, maka feces biasanya keluar menyemprot,


konsistensi semi-liquid dan berbau tidak sedap. Penderita biasanya
buang air besar tidak teratur, sekali dalam beberapa hari dan biasanya
sulit untuk defekasi. Kasus yang lebih ringan mungkin baru akan
terdiagnosis di kemudian hari.

2. Tatalaksana Megacolon Congenital

a. Tindakan Non Bedah

Pengobatan non bedah dimaksudkan untuk mencegah serta


komplikasi-komplikasi yang mungkin terjadi atau untuk memperbaiki
keadaan umum penderita sampai pada saat operasi definitif dapat
dikerjakan. Pengobatan non bedah diarahkan pada stabilisasi cairan,
elektrolit, asam basa dan mencegah terjadinya overdistensi sehingga
akan

menghindari

terjadinya

sepsis.

terjadinya

perforasi

Tindakan-tindakan

usus

serta

nonbedah

mencegah

yang

dapat

dikerjakan adalah pemasangan pipa nasogastrik, pemasangan pipa


rektum, pemberian antibiotik, lavase kolon dengan irigasi cairan,
koreksi elektrolit serta pengaturan nutrisi.
b. Tindakan Bedah
a. Tindakan Bedah Sementara
Tindakan

bedah

sementara

dimaksudkan

untuk

dekompresi abdomen dengan cara membuat kolostomi pada


kolon yang mempunyai ganglion normal bagian distal.
c.

Tindakan Bedah Definitif


1) Prosedur Swenson
Prosedur ini adalah prosedur pertama untuk operasi
penyakit

Hirschsprung

dengan

metode

pull-through.

Segmen yang aganglionik direseksi dan puntung rektum


ditinggalkan

2-4

cm

dari

garis

mukokutan

kemudian

dilakukan anastomosis langsung diluar rongga peritoneal..


2) Prosedur Duhamel
Prosedur ini diperkenalkan Duhamel tahun 1956 untuk
mengatasi kesulitan diseksi pelvik pada prosedur Swenson.
Prinsip dasar prosedur ini adalah menarik kolon proksimal
yang ganglionik ke arah anal melalui bagian posterior rektum
yang aganglionik, menyatukan dinding posterior rektum
yang aganglionik dengan dinding anterior kolon proksimal

yang ganglionik sehingga membentuk rongga baru dengan


anastomose end to side.3
Prosedur Duhamel asli memiliki beberapa kelemahan,
diantaranya

sering

terjadi

stenosis,

inkontinensia

dan

pembentukan fekaloma di dalam puntung rektum yang


ditinggalkan apabila terlalu panjang.
3) Prosedur Soave atau Endorectal Pull Through
Prosedur ini sebenarnya pertama sekali diperkenalkan
Rehbein tahun 1959 untuk tindakan bedah pada malformasi
anorektal letak tinggi. Namun oleh Soave tahun 1966
diperkenalkan untuk tindakan bedah definitif Hirschsprung.
Tujuan utama dari prosedur Soave ini adalah membuang
mukosa rektum yang aganglionik, kemudian menarik terobos
kolon proksimal yang ganglionik masuk kedalam lumen
rektum yang telah dikupas tersebut.
4) Prosedur Rehbein
Prosedur ini tidak lain berupa deep anterior resection,
dimana dilakukan anastomose end to end antara usus
aganglionik dengan rektum pada level otot levator ani (2-3
cm diatas anal verge), menggunakan jahitan 1 lapis yang
dikerjakan intraabdominal ekstraperitoneal. Pasca operasi,
sangat penting melakukan businasi secara

rutin guna

mencegah stenosis.
5) Prosedur Boley.
Prosedur Boley sangat mirip dengan prosedur Soave akan tetapi
anastomosis dilakukan secara langsung tanpa memprolapskan kolon
terlebih dulu.
6) Prosedur miomektomi anorektal.
Pada pasien-pasien dengan megacolon congenital segmen ultra
pendek, pengangkatan satu strip otot pada linea mediana dinding posterior
rektum dapat dilakukan dan prosedur ini disebut miomektomi anorektal,

dimana dengan lebar 1 cm satu strip dinding rektum ekstramukosa


diangkat, mulai dari proksimal linea dentata sampai daerah yang
berganglion.
7) Prosedur Transanal Endorectal Pull-Through.
Teknik ini dilakukan dengan pendekatan lewat anus. Setelah
dilakukan dilatasi anus dan pembersihan rongga anorektal dengan
povidone-iodine, mukosa rektum diinsisi melingkar 1 sampai 1,5 cm
diatas linea dentata. Dengan diseksi tumpul rongga submukosa yang
terjadi diperluas hingga 6 sampai 7 cm kearah proksimal. Mukosa yang
telah terlepas dari muskularis ditarik ke distal sampai melewati anus
sehingga terbentuk cerobong otot rektum tanpa mukosa. Keuntungan
prosedur ini antara lain lama pemondokan dan operasi lebih singkat,
waktu operasi lebih singkat, perdarahan minimal, feeding dapat diberikan
lebih awal, biaya lebih rendah, skar abdomen tidak ada. Akan tetapi masih
didapatkan komplikasi enterokolitis, konstipasi dan striktur anastomosis.
3. Komplikasi Operasi TAERPT
Enterokolitis

Konstipasi

Striktur anastomosis

Anda mungkin juga menyukai