Anda di halaman 1dari 72

Laporan Skenario 1

Kelompok 5

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat dan
hidayahNya kami dapat menyelesaikan Laporan Tutorial Pertama sebagai suatu laporan atas
hasil diskusi kami yang berkaitan dengan kegiatan tutorial pada Blok XII semester IV ini.
Pada skenario yang berjudul fever and cough, kami membahas masalah yang berkaitan
dengan proses menentukan diagnosa terkait skenario tersebut Selain itu, dilakukan
pembahasan mengenai anatomi sistem saluran nafas atas.
Kami mohon maaf jika dalam laporan ini terdapat banyak kekurangan dalam
menggali semua aspek yang menyangkut segala hal yang berhubungan dengan scenario
pertama ini baik pada Learning Objective yang kami cari ataupun pada pembahasan yang
kurang memuaskan. Karena ini semua disebabkan oleh keterbatasan kami sebagai manusia.
Tetapi, kami berharap laporan ini dapat memberi pengetahuan serta manfaat kapada para
pembaca.

Mataram, 9 Juni 2009

Laporan Skenario 1
Kelompok 5

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...............................................................................................................1


DAFTAR ISI .............................................................................................................................2
SKENARIO 1.............................................................................................................................3
LEARNING OBJECTIVES.......................................................................................................4
CONCEPT MAP .......................................................................................................................5
pendekatan diagnosa pada skenario...........................................................................................6
anatomi saluran nafas atas.........................................................................................................8
otitis media...............................................................................................................................18
common cold ...........................................................................................................................26
sinusitis .................................................................................................................................. 30
faringitis.................................................................................................................................. 37
laringitis ..................................................................................................................................45
epiglotitis................................................................................................................................. 50
tonsilitis....................................................................................................................................53
hipertrofi adenoid ....................................................................................................................64
TB anak ...................................................................................................................................61
pneumonia................................................................................................................................69
KESIMPULAN .....................................................................................................................................71
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................................72

Laporan Skenario 1
Kelompok 5

SKENARIO

FEVER AND COUGH


A medical intern who is stationed in a Puskesmas is observing an examination
in the outpatient clinic. The Puskesmas physician is examining a 4-year-old girl
who is brought by her mother with the complaints of fever since two days
before, also cough and running nose. Since the last six month, the child has
been suffering the same symptoms twice. Mother usually only gives her cough
syrup and never bring her to physician. She also shows low appetite and
restlessness during sleep. The physician prescribes amoxycillin dry syrup for
three days, cough syrup and paracetamol.
After the patient leaves, the physician mentions that respiratory disease is the
most frequent disease found in the outpatient clinic in that health center,
especially among under-five children

Laporan Skenario 1
Kelompok 5

LEARNING OBJEKTIF

1. mahasiswa mengetahui struktur anatomi saluran nafas anak dan dewasa


2. mahasiswa mampu menentukan diagnosa dari masalah yang ada pada skenario
3. mahasiswa mengetahui gambaran klinis dari berbagai penyakit saluran pernafasan
terutama penyakit infeksi yaitu common cold, laringitis, faringitis, tonsilitis, pneumonia
dan TB anak

Laporan Skenario 1
Kelompok 5

MAPPING CONCEPT

demam, batuk, pilek

anatomi
saluran nafas

simptom
onset
durasi
pola
gejala
gejala penyerta
sign
........C

PENEGAKAN DIAGNOSA

anamnesis

pemeriksaan
fisik

pemeriksaan
penunjang

definisi

Diagnosa Kerja
common cold

etiologi
faktor resiko
klasifikasi

faringitis

cara penularan

tonsilitis

patogenesis

otitis media
TB anak

perjalanan alamiah penyakit


gambaran klinis
tatalaksana
komplikasi

Laporan Skenario 1
Kelompok 5

PENDEKATAN DIAGNOSA PADA


SKENARIO

ANAMNESIS
RPS
RPD
RPK
REVIEW SISTEM

PEMERIKSAAN FISIK
tampakan umum pasien
vital sign
inspeksi
palpasi
perkusi
auskultasi

jika diagnosa belum ditentukan, maka lakukan


pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan sputum,
CT, dsb

Laporan Skenario 1
Kelompok 5

ANAMNESIS
Riwayat
penyakit
sekarang
gali mengenai

digali mengenai:
1. onset dan durasi
2. kronologis
3. kualitas

keluhan utama
terlebih dahulu:
1. demam
2. batuk
3. pilek

4. kuantitas
5. faktor yang memperberat keluhan
6. faktor yang memperingan keruhan
7. keluhan penyerta misalnya sesak, nyeri,
nforok,dsb

Riwayat penyakit

1. riwayat keluhan serupa sebelumnya

dahulu

2. riwayat penyakit turunan


3. riwayat konsumsi obat-obatan

Riwayat penyakit

1. keluhan serupa pada keluarga

keluarga

2. penyakit turunan pada keluarga

Riwayat pribadi

1. riwayat kelahiran
2. riwayat persalinan
3. riwayat imunisasi
4. riwayat tumbuh kembang
5. riwayat makanan dan nutrisi
6. lingkungan sosial dan tempat tinggal

Review sistem

keluhan terkait sistem GI, sistem saraf, keluhan


terkait sistem kardiovaskuler, dsb

Laporan Skenario 1
Kelompok 5

Pemeriksaan Fisik
beberapa hal yang dapat dinilai pada pemeriksaan fisik antara lain:
1. mukosa hidung apakah hiperemi atau bengkak
2. adakah pembesaran tonsil, seberapa besar?
3. adakah limfadenopati, dsb

penentuan diagnosa pada skenario yaitu:


1. berdasarkan keluhan utama yaitu demam, batuk dan pilek maka dicurai adanya
gangguan sistem respirasi tepat terjadi infeksi karena keluhan ini memang umum pada
gangguan sistem respirasi
2. pasien anak dengan tanpa gangguan tumbuh kembang serta pemeriksaan kardiovaskuler
dan respirasi dalam batas normal namun dijumpai adanya hiperemi faring, pembesaran
tonsil, pembengkakan limfonodi bilateral pada anterior servikal serta adanya otitis media
maka didiagnosa sebagai faringotonsilitis komplikasi otitis media

Laporan Skenario 1
Kelompok 5

ANATOMI SALURAN NAPAS

1. Hidung
Hidung meliputi bagian eksternal yang menonjol dari wajah dan bagian internal berupa
rongga hidung sebagai alat penyalur udara. Hidung bagian luar tertutup oleh kulit dan
disupport oleh sepasang tulang hidung. Rongga hidung terdiri atas :

Vestibulum yang dilapisi oleh sel submukosa sebagai proteksi

Dalam rongga hidung terdapat rambut yang berperan sebagai penapis udara

Struktur konka yang berfungsi sebagai proteksi terhadap udara luar karena strukturnya
yang berlapis

Laporan Skenario 1
Kelompok 5

Sel silia yang berperan untuk mlemparkan benda asing ke luar dalam usaha untuk
membersihkan jalan napas (Seeley,2004)

Bagian internal hidung adalah rongga berlorong yang dipisahkan menjadi rongga hidung
kanan dan kiri oleh pembagi vertikal yang sempit, yang disebut septum. Masing-masing
rongga hidung dibagi menjadi 3 saluran oleh penonjolan turbinasi atau konka dari dinding
lateral. Rongga hidung dilapisi dengan membran mukosa yang sangat banyak mengandung
vaskular yang disebut mukosa hidung. Lendir di sekresi secara terus-menerus oleh sel-sel

Laporan Skenario 1
Kelompok 5

goblet yang melapisi permukaan mukosa hidung dan bergerak ke belakang ke nasofaring oleh
gerakan silia. (Seeley,2004)

Rongga hidung dimulai dari Vestibulum, yakni pada bagian anterior ke bagian posterior
yang berbatasan dengan nasofaring. Rongga hidung terbagi atas 2 bagian, yakni secara
longitudinal oleh septum hidung dan secara transversal oleh konka superior, medialis, dan
inferior. (Seeley,2004)
Hidung berfungsi sebagai saluran untuk udara mengalir ke dan dari paru-paru. Jalan
napas ini berfungsi sebagai penyaring kotoran dan melembabkan serta menghangatkan udara
yang dihirupkan ke dalam paru-paru. Hidung bertanggung jawab terhadap olfaktori atau
penghidu karena reseptor olfaksi terletak dalam mukosa hidung. Fungsi ini berkurang sejalan
dengan pertambahan usia. (Seeley,2004)

Laporan Skenario 1
Kelompok 5

Terdapat 3 fungsi Rongga Hidung, antara lain :


a. Dalam hal pernafasan, udara yang diinspirasi melalui rongga hidung akan menjalani tigs
proses yaitu penyaringan (filtrasi), penghangatan, dan pelembaban. Penyaringan
dilakukan oleh membran mukosa pada rongga hidung yang sangat kaya akan pembuluh
darah dan glandula serosa yang mensekresikan mukus cair untuk membersihkan udara
sebelum masuk ke Oropharynx. Penghangatan dilakukan oleh jaringan pembuluh darah
yang sangat kaya pada ephitel nasal dan menutupi area yang sangat luas dari rongga
hidung. Dan pelembaban dilakukan oleh concha, yaitu suatu area penonjolan tulang
yang dilapisi oleh mukosa. (Seeley,2004)
b. Epithellium olfactory pada bagian meial rongga hidung memiliki fungsi dalam
penerimaan sensasi bau. (Seeley,2004)
c. Rongga hidung juga berhubungan dengan pembentukkan suara-suara fenotik dimana ia
berfungsi sebagai ruang resonansi. (Seeley,2004)

2.

Faring
Faring merupakan saluran yang memiliki panjang kurang lebih 13 cm yang

menghubungkan nasal dan rongga mulut kepada larynx pada dasar tengkorak.
nasofaring

ada saluran penghubung antara nasopharinx dengan


telinga bagian tengah, yaitu Tuba Eustachius dan Tuba
Auditory

ada Phariyngeal tonsil (adenoids), terletak pada


bagian posterior nasopharinx, merupakan bagian dari

orofaring

jaringan Lymphatic pada permukaan posterior lidah


Merupakan bagian tengah faring antara palatum lunak
dan tulang hyoid. Refleks menelan berawal dari orofaring
menimbulkan dua perubahan, makanan terdorong masuk
ke saluran pencernaan (oesephagus) dan secara simultan
katup menutup laring untuk mencegah makanan masuk

Laporan Skenario 1
Kelompok 5

laringofaring

ke dalam saluran pernapasan (Seeley,2004)


Merupakan posisi terendah dari faring. Pada bagian
bawahnya, sistem respirasi menjadi terpisah dari sistem
digestil. Makanan masuk ke bagian belakang, oesephagus
dan udara masuk ke arah depan masuk ke laring.

2. Laring

Laring tersusun atas 9 Cartilago ( 6 Cartilago kecil dan 3 Cartilago besar ). Terbesar
adalah Cartilago thyroid yang berbentuk seperti kapal, bagian depannya mengalami
penonjolan membentuk adams apple, dan di dalam cartilago ini ada pita suara. Sedikit di
bawah cartilago thyroid terdapat cartilago cricoid. Laring menghubungkan Laringopharynx
dengan trachea, terletak pada garis tengah anterior dari leher pada vertebrata cervical 4
sampai 6. (Seeley,2004)
Fungsi utama laring adalah untuk memungkinkan terjadinya vokalisasi. Laring juga
melindungi jalan napas bawah dari obstruksi benda asing dan memudahkan batuk. Laring
sering disebut sebagai kotak suara dan terdiri atas:
Epiglotis

daun katup kartilago yang menutupi ostium ke arah

Glotis
Kartilago Thyroid

laring selama menelan


ostium antara pita suara dalam laring
kartilago terbesar pada trakea, sebagian dari

Laporan Skenario 1
Kelompok 5

Kartilago Krikoid

kartilago ini membentuk jakun ( Adams Apple )


satu-satunya cincin kartilago yang komplit dalam

Kartilago

laring (terletak di bawah kartilago thyroid )


digunakan dalam gerakan pita suara dengan

Aritenoid
Pita suara

kartilago thyroid
ligamen yang dikontrol oleh gerakan otot yang
menghasilkan bunyi suara; pita suara melekat pada
lumen laring. (Seeley,2004)

Ada 2 fungsi lebih penting selain sebagai produksi suara, yaitu :


a. Laring sebagai katup, menutup selama menelan untuk mencegah aspirasi cairan atau
benda padat masuk ke dalam tracheobroncial
b. Laring sebagai katup selama batuk

Laporan Skenario 1
Kelompok 5

3. Trakea

Trakea merupakan suatu saluran rigid yang memeiliki panjang 11-12 cm dengan
diametel sekitar 2,5 cm. Terdapat pada bagian oesephagus yang terentang mulai dari cartilago
cricoid masuk ke dalam rongga thorax. Tersusun dari 16 20 cincin tulang rawan berbentuk
huruf C yang terbuka pada bagian belakangnya. Didalamnya mengandung pseudostratified
ciliated columnar epithelium yang memiliki sel goblet yang mensekresikan mukus. Terdapat
juga cilia yang memicu terjadinya refleks batuk/bersin. Trakea mengalami percabangan pada
carina membentuk bronchus kiri dan kanan. (Seeley,2004)

Laporan Skenario 1
Kelompok 5

PERBEDAAN SALURAN NAPAS ANAK


DAN DEWASA

Tuba Eustachius
Tuba eutachius adalah saluran yang menghubungkan rongga telinga tengah dengan
nasofaring. Fungsi tuba ini adalah untuk ventilasi, drenase secret dan menghalangi masuknya
secret dari nasofaring ke telinga tengah. Bila tuba terbuka maka terasa udara masuk ke dalam
rongga telinga tengah yang menekan membran timpani ke arah lateral. (Rusmarjono,
Soepardi, 2007).
Tuba biasanya dalam keadaan tertutup dan baru terbuka apabila oksigen diperlukan
masuk ke telinga tengah atau pada saat mengunyah, menelan dan menguap.gangguann fungsi
tuba dapat terjadi oleh beberapa hal, seperti tuba terbuka abnormal yang memungkinkan
infeksius bisa masuk. (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Pada anak tuba lebih pendek, lebih lebar dan kedudukannya lebih horizotal dari tuba
orang dewasa. Panjang tuba orang dewasa 37,5 mm dan pada anak di bawah 9 bulan adalah
17,5 mm. Perbedaan inilah yang memungkinkan lebih cepat terjadinya infeksi pada anak
dibawah 9 bulan karena secret lebih cepat masuk ke tuba eutachius dari hidung sehingga
kemungkinan anak untuk terkena infeksi telinga lebih besar seperti otitis media.
(Rusmarjono, Soepardi, 2007).

Laring
Ukuran laring bayi sama pada laki-laki dan perempuan. Akan tetapi lebih kecil
perbandingannya dengan ukuran tubuh daripada laring dewasa. Pada bayi, kerangka tulang
rawang laring lebih lunak, dan ligamen yang menyangganya lebih longgar, membuat laring
lebih mudah mengempis jika mendapat tekanan negatif di bagian dalam. (Ballenger,1994)

Laporan Skenario 1
Kelompok 5

Bagian laring

Anak

Pubertas

Dewasa
Pria

Wanita

Pita suara

Panjang

Bag.

6-8 mm

12-15 mm 17-23 mm

12,5-17 mm

3-4 mm

7-8 mm

11,5-16 mm

8-11,5 mm

3-4 mm

5-7 mm

5,5-7 mm

4,5-5,5 mm

3 mm

5 mm

8 mm

6 mm

6 mm

12 mm

19

13 mm

Membran

Bag. Kartilago

Glotis

Lebar
istirahat

Maksimum

Infraglotis

Sagital

5-7 mm

15 mm

25 mm

18 mm

Transversal

5-7 mm

15 mm

24 mm

17 mm

Jaringan epithel krang padat, lebih banyak dan lebih bervaskuler pada bayi, yang
cendrung

mengakumulasi

cairan

jaringan.

Hal

ini

merupakan

faktor

penting

penyebabterjadinya obstruksi daerah infraglotik dan supraglotik akibat edem inflamasi pada
anak kecil. (Ballenger,1994)
Beberapa struktur laring mempunyai perbedaan bentuk pada bayi. Epiglotis cendrung
berbentuk huruf omega, maka akan cendrung lebih besar untuk menutup vestibulum bila
terjadi edema.

Tepi epiglotis yang berbentuk huruf omega kurang menopang plika

ariepiglotik dibandingkan tepi epiglotis yang rata pada orang dewasa yang dapat
membantumenahan plikaariepiglotik tersebut pada posisi lateral. (Ballenger,1994)

Laporan Skenario 1
Kelompok 5

Gangguan Fungsi Telinga Tengah

Gangguan Fungsi Tuba Eustachius


Rongga telinga tengah dengan nasofaring dihubungkan oleh tuba eustachius yang
sekaligus berfungsi sebagai ventilasi, drenase secret, dan menghalangi masuknya sekret ke
telinga tengah. Anak memiliki struktur tuba yang khas, yaitu lebih pendek, lebih lebar, dan
kedudukannya lebih horizontal dari tuba dewasa. (Djafaar,dkk:2007)
Secara normal tuba tertutup. Menguyah, menelan, menguap, dan keadaan-keadaan
yang memerlukan oksigen masuk ke telinga tengah maka tuba akan terbuka dengan dibantu
oleh otot tensor palatine. Jadi, gangguan fungsi tuba dapat terjadi karena tuba terbuka
abnormal, myoklonus palatal, palatoskisis, dan obstruksi tuba. (Djafaar,dkk:2007)

OTITIS MEDIA
Djafaar dkk dalam Buku Ajar THT-KL menyebutkan otitis media ialah peradangan
sebagian atau seluruh mukosa telinga, tuba Eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid.
(Djafaar,dkk:2007)

Epidemiologi
Faktor-faktor yang mempenfaruhi angka kejadian otitis media yaitu usia, jenis kelamin,
ras, latar belakang genetik, status sosioekonomi, jenis susu saat bayi, derajat paparan
terhadap rokok, ada tidaknya alergi pada sistem respirasi, musim, dan status vaksinasi
pneumokokus

Laporan Skenario 1
Kelompok 5

Patogenesis

Sembuh/
normal

Gangguan tuba

Tekanan negative
telinga tengah

Efusi

Etiologi:

Fungsi
tuba tetap
terganggu
Infeksi (-)

Perubahan tekanan udara tibatiba

Infeksi

Fungsi tuba
tetap
terganggu

Sumbatan: sekret, tampon, tumor

Infeksi (+)

Alergi

OME (otitis
media efusi)

OMA (otitis media akut)

Sembuh

OME

OMSK (otitis media


supuratif kronik)

1. Otitis Media Akut


a. Factor pencetus terjadinya otitis media akut menurut Djafaar dkk.:
Terganggunya factor pertahanan tubuh, yaitu terganggunya silia pada mukosa tuba
Eustachius
Sumbatan tuba Eustachius
Infeksi saluran napas atas, semakin sering terkena ISPA maka makin besar
kemungkinan anak mengalami OMA.
Pada anak anatomi tuba Eustachius juga terlibat mempermudah terjadinya OMA.

Laporan Skenario 1
Kelompok 5

Bakteri piogenik merupakan penyebab utama OMA (otitis media akut), seperti
Streptococcus

haemolyticus,

Stafilococcus

aureus,

pneumakokus.

Kadang-

kadang

Haemophylus influenza ditemukan juga. (Djafaar,dkk:2007)


b. Djafaar dkk. Membagi OMA dalam beberapa 5 stadium
Stadium

Oklusi -

Tuba Eustachius

Retraksi membran timpani karena adanya


tekanan negatif di telinga tengah akibat absorpsi
udara.

kadang membran timpani tampak normal atau


berwarna keruh pucat

stadium

efusi tidak dapat dideteksi

stadium ini sukar dibedakan dengan otitis

media serosa karena virus atau alergi


Pelebaran pembuluh darah di membran

hiperemis
(stadium

timpani tampak hiperemis dan edem


pre- -

supurasi)

stadium supurasi

Terbentuk

sekret

yang

mungkin

bersifat

eksudat serosa sukar terlihat


-

Edema hebat pada mukosa telinga tengah, sel


epitel

superfisialis

hancur,

terbentuk

eksudat

purulen di kavum timpani membran timpani


menonjol ke arah telinga luar
-

Pasien terlihat sangat sakit, peningkatan nadi


dan suhu, pertambahan nyeri telinga

Jika tekanan di kavum tidak berkurang karena


tekanan nanah iskemik, tromboflebitis pada
vena-vena kecil, nekrosis mukosa dan submukosa
daerah ini tampak kekuningan dan lebih lembek
akan terjadi ruptur

stadium perforasi

Ruptur membran timpani sekret mengalir ke


liang telinga luar Anak menjadi tenang dan dapat
tidur nyenyak

Laporan Skenario 1
Kelompok 5

stadium resolusi

Bila membran timpani tetap utuh akan kembali


normal secara perlahan-lahan

Dapat terjadi tanpa pengobatan bila daya tahan


tubuh baik atau virulensi kuman rendah

Bila peeforasi menetap dan sekret keluar terusmenerus atau hilang timbul OMSK

Bila skret menetap dalam kavum timpani dan tidak


terjadi perforasi OM serosa

c. Gejala Klinik OMA

Tergantung pada stadium penyakit dan usia pasien

Pada bayi: suhu tinggi mencapai 39,5C (pada stadium supurasi), gelisah,
sukar tidur
Pada anak yang sudah dapat berbicara: nyeri di dalam telinga dan demam,

biasanya terdapat riwayat batuk pilek sebelumnya


Pada anak yang lebih besar atau dewasa: nyeri di dalam telinga, rasa penuh

di telinga, rasa kurang dengar


Tiba-tiba anak menjerit waktu tidur, diare, kejang-kejang, dan kadang

memegang telinga yang sakit

d. Diagnosis
Kerschner mengatakan diagnosis OMA membutuhkan:
a. Penggalian anamnesis mengenai tanda dan gejala
b. Adanya efusi telinga tengah (MEE)
c. Tanda dan gejala inflamasi telinga tengah

Kerschner juga mendifinisikan OMA sebagai:


a. Onset yang tiba-tiba dan baru dari tanda dan gejala inflamasi telinga tengah dan MEE

Laporan Skenario 1
Kelompok 5

b. Adanya MEE diindikasikan oleh


Tonjolan membran timpani
Keterbatasan atau tidak adanya mobilisasi membran timpani
Air-fluid level dibelakang membran timpani
Otorrhea
c. Inflamasi telinga tengah diindikasikan oleh
Erythema membran timpani yang nyata
Otalgia yang nyata

e.

Terapi
Tergantung pada stadium penyakitnya

Stadium oklusi

o Tujuan: membuka tuba tekanan negatif


telinga tengah hilang
o Diberi obat tetes hidung : HCl efedrin 0,5%
dalam larutan fisiologik (<12 tahun), atau
HCl efedrin 1% dalam larutan fisiologik (>12
tahun, dan dewasa)
o Obati sumber infeksi

Stadium
presupurasi

o Antibiotik

(minimal

selama

hari)

golongan penicilin (lini pertama) (awalnya


diberikan

secara

IM

sehingga

didapat

konsentrasi yang adekuat dalam darah


tidak

terjadi

mastoiditis

terselubung,

gangguan pendengaran sebagai gejala sisa,


maupun kekambuhan).
Jika alergi pensilin, beri eritromisin.
Dosis ampisilin anak: 50-100 mg/kgBB/hari
dibagi dalam 4 dosis
Atau amoksisilin (anak)

40 mg/kgBB/hari

Laporan Skenario 1
Kelompok 5

daibagi dalam 3 dosis


Atau eritromisin (anak) 40 mg/kgBB/hari
o Obat tetes hidung
o Analgetika
Stadium supurasi

o Antibiotika
o Miringotomi (bila membran timpani masih
utuh): dapat menghindari ruptur, gejala
klinis lebih cepat hilang
o Miringotomi ialah tindakan incisi pada pars
tensa
drenase

membran
sekret

itmpani
dari

agar

telinga

terjadi

tengah

ke

telinga luar
o Miringotomi memiliki banyak komplikasi (ex.
Perdarahan, trauma pada n. Facialis)
tidak perlu dilakukan bila terapi antibiotik
yang adekuat dapat diberikan
Stadium perforasi

o Obat cuci telinga H2O2 3% selama 3-5 hari


serta antibiotik yang adekuat
o Biasanya Dalam 7-10 hari sekret akan
hilang dan perforasi dapat menutup kembali

Jika

tidak

resolusi

terjadi

o Lanjutkan antibiotik hingga 3 minggu jika


sekret masih tetap banyak mungkin
terjadi mastoiditis

Jika sekret terus keluar >3 minggu otitis


media supuratif subakut
Jika perforasi menetap dan sekret terus keluar
>1,5-2 bulan otitis media supuratif kronik

Laporan Skenario 1
Kelompok 5

(OMSK)

Laporan Skenario 1
Kelompok 5

Subcommittee on Management of Acute Otitis Media menggambarkan alur terapi OMA


sebagai berikut:
Anak (2 bl 12 tahun)
dengan OMA tanpa
komplikasi

Diagnosis OMA:
Tanda dan gejala dengan onset akut
Efusi telinga tengah (+)
Tanda dan gejala inflamasi telinga tengah (+)

Menilai nyeri pada


pasien
Nyeri (-)

Nyeri
(+)
Rekomendasikan pengobatan
untuk mengurangi nyeri pada
pasien

Apakah observasi
merupakan pilihan tepat
terapi awal? *

Apakah anak memiliki


demam 39,5C
dan/atau otalgia berat
atau sedang?

Tidak

Tidak

Iya
Iya
Anak diobservasi selama 48-72
jam dg jaminan follow-up yang
tepat

Anak ditatalaksana
dengan terapi antibiotik
yang tepat

Amoxicillin dosis 8090 mg/kg/hari


sebagai terapi awal
antibiotik pada
sebagian besar anak

Apakah pasien berespon terhadap intervensi tatalaksana awal (baik terapi antibiotik
maupun observasi)?
Iya

Tidak

Follow-up pasien dg
tepat

Penaksiran ulang dan


konfirmasi lagi diagnosis OMA

Diagnosis OMA telah dikonfirmasi


(dipastikan)

Diagnosis OMA tidak


dapat dipastikan

Menilai kemungkinan
penyebab lain dari keluhan
pasien dan tangani dg tepat

Pasien dg terapi awal observasi: segera mulai terapi


antibiotik
Pasien dg terapi awal antibiotik: ubah antibiotik dengan
yang lain

Laporan Skenario 1
Kelompok 5

d.

Komplikasi
Abses sub-periosteal hingga meningitis dan abses otak merupakan komplikasi OMA
sebelum ada terapi antibiotik.
Setelah ada antibiotik, semua jenis komplikasi didapat sebagai komplikasi OMSK.

Laporan Skenario 1
Kelompok 5

COMMON COLD

1. Definisi
Common Cold ialah infeksi primer di nasofaring dan hidung yang sering dijumpai
pada bayi dan anak. Pada infeksi lebih luas, mencakup daerah sinus paranasal, telinga tengah
samping nasofaring disertai demam tinggi. (Rusmarjono, Soepardi, 2007).

2. Faktor predisposisi
Kelelahan, gizi buruk, anemia dan kedinginan, walaupun umur bukan faktor yang
menentukan daya rentan, namun infeksi sekunder purulen lebih banyak dijumpai pada anak
kecil. Penyakit ini lebih sering diderita pada pergantian musim(Rusmarjono, Soepardi, 2007).

3. Etiologi
Berbagai virus yang berbeda menyebabkan terjadinya common cold:

Rhinovirus

Virus influenza A, B, C

Virus Parainfluenza

Virus sinsisial pernafasan.


Semuanyanya mudah ditularkan melalui ludah yang dibatukkan atau dibersinkan oleh
penderita.

Common cold biasanya tidak berbahaya dan kebanyakan dapat sembuh dengan
sendirinya. Belum diketahui apa yang menyebabkan seseorang lebih mudah tertular pilek
pada suatu saat dibandingkan waktu lain. Kedinginan tidak menyebabkan pilek atau
meningkatkan resiko untuk tertular. Kesehatan penderita secara umum dan kebiasaan makan
seseorang juga tampaknya tidak berpengaruh. (Rusmarjono, Soepardi, 2007).

Laporan Skenario 1
Kelompok 5

4. Perjalanan Penyakit
Pada stadium prodromal yang berlangsung beberapa jam, didapatkan rasa panas,
kering dan gatal di dalam hidung. Kemudian akan timbul bersin berulang-ulang, hidung
tersumbat dan ingus encer, yang biasanya disertai dengan demam dan nyeri kepala.
(Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Permukaan mukosa hidung tampak merah dan membengkak. Sumbatan hidung
menyebabkan anak bernafas melalui mulut dan anak menjadi gelisah. Pada anak yang lebih
besar kadang-kadang didapat rasa nyeri pada otot, pusing dan anoreksia. Kongesti hidung
disertai selaput lendir tenggorok yang kering menambah rasa nyeri. (Rusmarjono, Soepardi,
2007).
Stadium pertama biasanya terbatas tiga hingga lima hari. Secret hidung mula-mula
encer dan banyak, kemudian menjadi mukoid, lebih kental dan lengket. Penyakit dapat
berakhir di titik ini. Namun pada kebanyakan pasien, penyakitnya berlanjut ke stadium invasi
bakteri sekunder dicirikan oleh suatu rinore purulen, demam dan sering kali sakit
tenggorokan. Mukosa yang merah, bengkak dan ditutupi secret mudah diamati intranasal.
Sensasi kecap dan bau berkurang. Mengendus dan menghembuskan napas secara berulang
menyebabkan kemerahan lubang hidung dan bibir atas. Stadium ini dapat berlangsung hingga
dua minggu, sesudahnya pasien akan sembuh tanpa menemui dokter. Dokter biasanya hanya
dihubungi bilamana terjadi komplikasi lanjut seperti pneumonia, laryngitis, infeksi telinga
tengah atau sinusitis purulen.Penyebaran flu yang disebabkan oleh berbagai virus terutama
melalui infeksi droplets dan bukan karena tertelan. (Rusmarjono, Soepardi, 2007).

5. Gejala dan Tanda


Sesak nafas dengan/ tanpa sumbatan hidung, bersin-bersin, tenggorokan gatal, hidung
meler, batuk, suara serak, lemas, sakit kepala, demam (biasanya ringan). Gejala mulai timbul
dalam waktu 1-3 hari setelah terinfeksi. Biasanya gejala awal berupa rasa tidak enak di
hidung atau tenggorokan. Kemudian penderita mulai bersin-bersin, hidung meler dan merasa
sakit ringan. (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Biasanya tidak timbul demam, tetapi demam yang ringan bisa muncul pada saat
terjadinya gejala. Hidung mengeluarkan cairan yang encer dan jernih dan pada hari-hari
2

Laporan Skenario 1
Kelompok 5

pertama jumlahnya sangat banyak sehingga mengganggu penderita.Selanjutnya sekret hidung


menjadi lebih kental, berwarna kuning-hijau dan jumlahnya tidak terlalu banyak.
(Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Gejala biasanya akan menghilang dalam waktu 4-10 hari, meskipun batuk dengan
atau tanpa dahak seringkali berlangsung sampai minggu kedua. (Rusmarjono, Soepardi,
2007).

6. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan tandanya.

7. Pengobatan

Usahakan untuk beristirahat dan selalu dalam keadaan hangat dan nyaman, serta
diusakahan agar tidak menularkan penyakitnya kepada orang lain.

Jika terdapat demam atau gejala yang berat, maka penderita harus menjalani tirah
baring di rumah.

Minum banyak cairan guna membantu mengencerkan sekret hidung sehingga lebih
mudah untuk dikeluarkan/dibuang.

Untuk meringankan nyeri atau demam dapat diberikan asetaminofen atau ibuprofen.

Pada penderita dengan riwayat alergi, dapat diberikan antihistamin

Menghirup uap atau kabut dari suatu vaporizer bisa membantu mengencerkan sekret
dan mengurangi sesak di dada.

Mencuci rongga hidung dengan larutan garam isotonik bisa membantu mengeluarkan
sekret yang kental

Batuk merupakan satu-satunya cara untuk membuang sekret dan debris dari saluran
pernafasan. Oleh karena itu sebaiknya batuk tidak perlu diobati, kecuali jika sangat
mengganggu

dan

menyebabkan

penderita

susah

tidur.

Batuk yang produktif (pada bronchitis dan trakeitis) merupakan kontraindikasi

Laporan Skenario 1
Kelompok 5

pemberian antitusif (misal kodein) karena terjadi depresi pusat batuk dan pusat
muntah,

mudah

terjadi

pengumpulan

secret

sehingga

mudah

terjadi

bronkopneumoniaDekongestan oral mengurangi secret hidung yang banyak, membuat


pasien merasa nyaman, namun tidak menyembuhkan

Antibiotik tidak efektif untuk mengobati common cold, antibiotik hanya diberikan jika
terjadi suatu infeksi bakteri.

Pada bayi cara terbaik penyaluran secret ialah dengan mengusahakan posisi bayi
prone position, pada anak besar dapat diberikan tetes hidung larutan efedrin 1%.
(Rusmarjono, Soepardi, 2007).

8. Komplikasi

Pneumonia
Laryngitis
Infeksi telinga tengah (otitis media)
Sinusitis purulen (Rusmarjono, Soepardi, 2007).

9. Pencegahan

Jagalah kebersihan diri dan lingkungan

Sebaiknya sering mencuci tangan, membuang tisu kotor pada tempatnya serta
membersihkan permukaan barang-barang.

Vitamin C dosis tinggi (2000 mg per hari) belum terbukti bisa mengurangi resiko
tertular atau mengurangi jumlah virus yang dikeluarkan oleh seorang penderita.
(Rusmarjono, Soepardi, 2007).

Laporan Skenario 1
Kelompok 5

SINUSITIS

Sinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktek dokter seharihari, bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di seluruh
dunia.Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus parasanal. Umumnya disertai
atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut rinosinusitis. Penyebab utamanya ialah
selesma (common cold) yang merupakan infeksi virus, yang selanjutnya dapat diikuti oleh
infeksi bakteri (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua
sinus parasanal disebut pansinusitis. Yang paling sering terkena ialah sinus etmoid dan
maksila, sedangkan sinus frontal lebih jarang dan sinus sfenoid lebih jarang lagi.
(Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Sinus maksila disebut juga antrum Highmore, letaknya dekat akar gigi rahang atas,
maka infeksi gigi mudah menyebar ke sinus, disebut sinusitis dentogen. Sinusitis dapat
menjadi berbahaya karena menyebabkan komplikasi ke orbita dan intrakranial, serta
menyebabkan peningkatan serangan asma yang sulit diobati (Rusmarjono, Soepardi, 2007).

1. Etiologi dan faktor predisposisi


Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus, bermacam
rinitis terutama rinitis alergi, rinitis ormonal pada wanita hamil, polip hidung, kelainan
anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan kompleks ostio-meatal
(KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologi, diskinesia silia seperti pada sindroma
kartagener dan di luar negeri adalah penyakit fibrosis kistik (Rusmarjono, Soepardi, 2007).

Laporan Skenario 1
Kelompok 5

Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor penting penyebab sinusitis sehingga
perlu dilakukan adenoidektomi untuk menghilangkan sumbatan dan menyembuhkan
rinosinusitisnya. Hipertrofi adenoid dapat didiagnosis dengan foto polos leher posisi lateral
(Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara dingin dan
kering serta kebiasaan merokok. Keadaan ini lama-lama menyebabkan perubahan mukosa
dan merusak silia (Rusmarjono, Soepardi, 2007).

2. Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya klirens
mokosiliar (muccociliary clearance) di dalam KOM. Mukus juga mengandung substansi
antimikrobial dan zat-zat yang bersifat sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman
yang masuk bersama udara pernafasan (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi edema,
mukosa yang berhadapan akan saling bertemu seingga silia tidak dapat bergerak dan ostium
tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negatif di dalam rongga sinus yang menyebabkan
terjadinya transudasi, mula-mula serous. Kondisi ini bisa dianggap sebagai rinosinusitis nonbacterial dan biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan (Rusmarjono,
Soepardi, 2007).
Bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan media baik
untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri. Sekret menjadi purulen. Keadaan ini disebut
sebagai rinosinusitis akut bakterial dan memerlukan terapi antibiotik (Rusmarjono, Soepardi,
2007).
Jika terapi ini tidak berhasil (misalnya karena ada faktor predisposisi), inflamasi
berlanjut terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang. Mukosa semakin membengkak
dan ini merupakan rantai siklus yang terus berputar sampai akhirnya perubahan mukosa
menjadi kronik yaitu hipertrofi, polipoid, atau pembentuka polip dan kista. Pada keadaan ini
mungkin diperlukan tindakan operasi (Rusmarjono, Soepardi, 2007).

3. Klasifikasi dan Mikrobiologi


2

Laporan Skenario 1
Kelompok 5

Konsesus internasional tahun 1995 membagi rinosinusitis hanya akut dengan batas
sampai 8 minggu dan kronik jika lebih dari 8 minggu. Konsensus tahun 2004 membagi
menjadi akut dengan batas sampai 4 minggu, subakut antara 4 minggu sampai 3 bulan dan
kronik jika lebih dari 3 bulan (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Sinusitis kronik dengan penyebab rinogenik umumnya merupakan dengan lanjutan
dari sinusitis akut yang tidak terobati secara adekuat. Pada sinusitis kronik adanya faktor
predisposisi harus dicari dan diobati secara tuntas (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Menurut berbagai penelitian, bakteri utama yang ditemukan pada sinusitis akut adalah
Streptococcus Pneumonia (30-50%). Hemophylus Influenzae (20-40%) dan Moraxella
Catarhallis (4%). Pada anak, M. Catarhallis lebih banyak ditemukan (20%). Pada sinusitis
kronik, faktor predisposisi lebih berperan, tetapi umumnya bakteri yang ada lebih condong ke
arah bakteri negatif gram dan anaerob (Rusmarjono, Soepardi, 2007).

4. SINUSITIS DENTOGEN
Merupakan salah satu penyebab penting sinusitis kronik.
Dasar sinus maksila adalah prosesus alveolaris tempat akar gigi rahang atas, sehingga
sinusmaksila hanya terpisahkan oleh tulang tipis dengan akar gigi, bahkan kadang-kadang
tanpa tulang pembatas. Infeksi gigi rahang atas seperti infeksi apikal akar gigi atau inflasi
jaringan periodontal muda menyebar secara langsung ke sinus, atau melalui pembuluh darah
dan limfe (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Harus curiga adanya sinusitis dentogen pada sinusitis maksila kronik yang mengenai
satu sisi dengan ingus purulen dan napas berbau busuk. Untuk mengobati sinusitisnya, gigi
yang terinfeksi arus dicabut atau dirawat, dan pemberian antibiotik yang mencakup bakteri
anaerob. Seringkali juga perlu dilakukan irigasi sinus maksila (Rusmarjono, Soepardi, 2007).

5. Gejala Sinusitis

Laporan Skenario 1
Kelompok 5

Keluhan utama rinosinusitis akut ialah hidung tersembut disertai nyeri/rasa tekanan
pada muka dan ingus purulen, yang seringkali turun ke tenggorokan (post nasal drip). Dapat
disertai gejalah sistemik seperti demam dan lesu (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Keluhan nyeri dan rasa tekanan di daera sinus yang terkena merupakan ciri khas
sinusitis akut, serta kadang-kadang nyeri juga terasa di tempat lain (referred pain). Nyeri pipi
menandakan sinusitis maksila, nyeri di antara atau di belakang ke dua bola mata
menandakan sinusitis etmoid, nyeri di dahi atau seluruh kepala menandakan sinusitis frontal.
Pada sinusitis sfenoid, nyeri dirasakan di verteks, oksipital, belakang bola mata dan daerah
mastoid. Pada sinusitis maksila kadang-kadang adalah nyeri alih ke gigi dan telinga
(Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Gejala lain adalah sakit kepala, hipossmia/anosmia, halitosis, post nasal drip yang
menyebabkan batuk dan sesak napas pada anak (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Keluhan sinusitis kronik tidak khas sehingga sulit di diagnosisi. Kadang-kadang
hanya 1 atau 2 dari gejala-gejala di bawa ini yaitu sakit kepala kronik, post nasal drip, batuk
kronik, gangguan tenggorokan, gangguan telinga akibat sumbatan kronik muara tuba
Eustachius, gangguan ke paru seperti bronkitis (sino-bronkitis) bronkiektasis dan yang
penting adalah serangan asma yang meningkat sulit diobati. Pada anak, mukopus yang
tertelan dapat menyebabkan gastroenteritis (Rusmarjono, Soepardi, 2007).

6. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior, pemeriksaan nasoendoskoi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini. Tanda khas ialah
adanya pus di meatus medius (pada sinusitis maksila dan etmoid anterior dan frontal) atau di
meatus superior (pada sinusitis etmoid posterior dan sfenoid) (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Pada rinosinusitis akut, mukosa edema dan hiperemis. Pada anak sering ada
pembengkakan dan kemerahan di daerah kantus medius (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos atau CT scan. Foto polos
posisi waters, PA dan lateral, umumnya hanya mampu menilai kondisi sinus-sinus besar

Laporan Skenario 1
Kelompok 5

seperti sinus maksila dan frontal. Kelainan akan terlihat perselubungan, batas udara-cairan
(air fluid level) atau penebalan mukosa (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
CT scan sinus merupakan gold standartd diagnosis sinusitis karena mampu menilai
anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus secara keseluruhan dan
perluasannya. Namun karema hanya dikerjakan sebagai penunjang diagnosis sinusits kronik
yang tidak membaik dengan pengobatan dan pra-operasi sebagai panduan operator saat
melakukan operasi sinus (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Pada pemeriksaan transiluminasi sinus yang sakit menjadi suram atau gelap.
Pemeriksaan suda jarang digunakan karena sangat terbatas kegunaannya (Rusmarjono,
Soepardi, 2007).
Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi dilakukan dengan mengambil sekret
dari meatus medius/superior, untuk mendapat antibiotikyang tepat guna. Lebih baik lagi bila
diambil sekret yang keluar dari pungsi sinus maksila (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Sinuskopi dilakukan dengan pungsi yang menembus dinding medial sinus maksila
melalui meatus inferior, dengan alat endoskop, bisa dilihat kodisi sinus maksila yang
sebenarnya, selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus untuk terapi (Rusmarjono, Soepardi,
2007).

7. Terapi
Tujuan terapi sinusitis ialah 1) mempercepat pertumbuhan 2) mencegah komplikasi
dan 3) mencegah perubahan menjadi kronik. Prinsip pengobatan ialah membuka sumbatan di
KOM sehingga drenase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara alami (Rusmarjono, Soepardi,
2007).
Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut bakterial,
untuk menghilangkan infeksi dan embengkakan mukosa serta membuka sumbatan ostium
sinus. Antibiotik yang dipilih adalah golongan pinisilin seperti amoksisislin. Jika diperkirakan
kuman telah resisten atau memproduksi beta-laktamase, maka dapat diberikan amoksisilinklavulanat atau jenis sefalosporin generasi ke-2. Pada sinusitis antibiotik diberikan selam 1014 hari meskipun gejala klinik sudah hilang (Rusmarjono, Soepardi, 2007).

Laporan Skenario 1
Kelompok 5

Pada sinusitis kronik diberikan antibiotik yang sesuai untuk kuman negatif gram dan
anaerob.Selain dekongestan oral dan topikal, terapi lain dapat diberikan jika perlukan seperti
analgetik, mukolitik, steroid oral/topikal, pencucian rongga hidung dengan NaCl atau
pemanasan (diatermi). Antihistamin tidak rutin diberikan, karena sifat antikolinergiknya dapat
menyebabkan sekret jadi lebih kental. Bila ada alergi berat sebaiknya diberikan antihistamin
generasi ke-2. Irigasi sinus maksila atau Proesz displacement therapy juga merupaknan terapi
tambahan yang dapat bermanfaat. Imunoterapi dapat dipertimbangkan jika pasien menderita
kelainan alergi yang berat (Rusmarjono, Soepardi, 2007).

8. Tindakan Operasi
Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF / FESS) merupakan operasi terkini untuk
sinusitis kronik yang memerlukan operasi. Tindakan ini telah menggantikan hampir semua
jenis bedah sinus terdahulu karena memberikan hasil yang lebih memuaskan dan tindakan
lebih ringan dan tindakan radikal (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Indikasinya berupa sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi adekuat,
sinusitis kronik disertai kista aau kelainan yang ireversibel, polip ekstensif, adanya
komplikasi sinusitis serta sinusitis jamur (Rusmarjono, Soepardi, 2007).

9. Komplikasi
Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya antibiotik.
Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis kronik dengan
eksaserbasi akut, berupa komplikasi orbita atau intrakranial (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Kelainan orbita

disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan


dengan mata (orbita). Yang
sinusitis
maksila.

etmoid

kemudian

Penyebaran

paling sering ialah


sinusitis

infeksi

frontal

terjadi

dan

melalui

tromboflebitis dan perkontinuitatum. Kelainan yang


dapat timbul ialah edema palpebra, selulitis orbita,
abses subperiostal, abses orbita dan selanjutnya
dapat

terjadi

trombosis

sinus

kavernosus

Laporan Skenario 1
Kelompok 5

(Rusmarjono, Soepardi, 2007).


Kelainan

Dapat berupa meningitis, abses ekstradural atau

intrakranial.

subdural, abses otak dan trombosis sinus kavernosus


(Rusmarjono, Soepardi, 2007).

Osteomielitis
dan

Paling

sering

abses biasanya

subperiostal.

timbul akibat sinusitis frontal

ditemukan

osteomielitis

sinus

pada

maksila

anak-anak.
dapat

timbul

dan
Pada

fistula

oroantral aau fistula pada pipi (Rusmarjono, Soepardi,


2007).
Kelainan paru

seperti bronkitis kronik dan bronkiektasis. Adanya


kelainan sinus paranasal disertai dengan kelainan
paru ini disebut sinobronkitis. Selain itu dapat juga
menyebabkan kambuhnya asma bronkial yang sukar
dihilangkan

sebelum

sinusitisnya

disembuhkan

(Rusmarjono, Soepardi, 2007).

Laporan Skenario 1
Kelompok 5

FARINGITIS

Definisi
Merupakan peradangan dinding faring yang dapat disebabkan oleh virus (40-60%), bakteri
(5-40%), alergi, trauma, toksin dan lain-lain (Rusmarjono, Soepardi, 2007).

A. Faringitis

akut

1. Etiologi
Banyak

virus yang dapat menyebabkan faringitis seperti :

(Adenoviruses,

coronaviruses, enteroviruses, rhinoviruses, respiratory syncytial virus [RSV], epstein barr


virus [EBV], herpes simpleks virus [HSV], metapneumovirus) dan gruop A hemolytic
streptococcus [GABHS] (Hayden, Turner, 2004).
Organisme lain seperti streptococcus grup C, arcanocbacterium haemolyticum,
francisella tularensis, mycoplasma pneumoniae, neisseria gonorrhoaea, dan coryne bacterium
diphteriae kadang dihubungkan dengan timbulnya faringitis (Hayden, Turner, 2004) .
Bakteri yang lainnya misalnya haemophilus influenzae,

dan streptococcus

pneumoniae juga berhubungan dengan timbulnya faringitis (Hayden, Turner, 2004).


Faringitis juga dapat disebabkan oleh jamur (candida) dan juga karena adanya kontak
orogenital [gonorea] (Rusmarjono, Soepardi, 2007).

2. Epidemiologi
Infeksi virus pada traktus respirasi bagian atas menyebar melalui close contact dan
biasanya terjadi pada beberapa musim yaitu musim gugur, musim semi dan musim dingin
(Hayden, Turner, 2004) .

Laporan Skenario 1
Kelompok 5

Streptococcal faringitis tidak biasa terjadi sebelum umur 2-3 tahun, dan insiden
puncak terjadi pada awal tahun sekolah dan menurun pada akhir masa remaja dan akhir masa
dewasa (Hayden, Turner, 2004).
Penyakit sangat sering terjadi pada musim dingin dan musim semi dan menyebar pada
saudara kandung dan teman sekelas (Hayden, Turner, 2004).
Faringitis karena streptococcus grup C dan A. Haemolyticum sangat sering terjadi
antara masa remaja dan dewasa (Hayden, Turner, 2004).
Infeksi primer dari HIV juga bermanifestasi sebagai faringitis dan mononucleosislike sundrome (Hayden, Turner, 2004).

3. Patogenesis
Kolonisasi GABHS pada faring dapat menghasilkan gejala yang asimptomatik atau
gejala faringitis akut (Hayden, Turner, 2004) .
Protein M adalah faktor virulensi pertama dari GABHS dan memudahkan resistensi
pada fagosit oleh neutrofil polimorfonuklear. Tipe spesifik imunity berkembang selama
infeksi dan memberikan protektif imunity

untuk infeksi selanjutnya pada M serotipe

khusus(Hayden, Turner, 2004) .


Scarlet fever disebabkan oleh GABHS yang memproduksi 1 dari 3 streptococcal
erytrogenic exotosin (A,B dan C) yang dapat menginduksi suatu papular rash (Hayden,
Turner, 2004).

a) Faringitis viral
Tanda dan gejala
Tanda dan gejala infeksi viral muncul secara perlahan-lahan, dan gejala yang sering
adalah rhinorea, batuk, mual, nyeri tenggorok, sulit menelan, dan diare (Hayden, Turner,
2004) .

Laporan Skenario 1
Kelompok 5

Infeksi karena viral juga dapat

menyebabkan konjungtivitis, coryza, hoarsenes

(Hayden, Turner, 2004) .


Adenivirus faringitis memiliki ciri-ciri munculnya konjungtivitis dan demam yang
terjadi secara bersamaan [pharingoconjunctival fever] (Hayden, Turner, 2004).
Pada EBV faringitis terdapat pembesaran tonsil dengan produksi eksudat pada faring
yang banyak, servical limfadenitis, hepatosplenomegali, rash, dan fatiq (Rusmarjono,
Soepardi, 2007).
Infeksi HSV primer pada anak kecil sering terdapat demam tinggi dan
gingivostomatitis, namun gejala faringitis juga ada (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Infeksi A. Haemolyticum kadang dapat disertai oleh pucat, eritematous,
maculopapular rash(Hayden, Turner, 2004) .
Infeksi HIV-1 dapat menyebabkan faringitis dengan keluhan nyeri tenggorok, nyeri
menelan. Faring hiperemis, adanya eksudat, adanya limfadenopati akut di leher dan lemah
ditemukan dari pemeriksaan fisik (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Terapi
a.
b.
c.
d.

Istirahat dan minum yang cukup


Kumur dengan air hangat
Analgetika apabila perlu, dan tablet isap
Infeksi herpes sinpleks antivirus metisoprinol (isoprenosine) dengan dosis dewasa
60-100mg/kgBB dibagi dalam 4-6kali pemberian/hari, dan dosis anak-anak < 5 tahun
diberikan 50mg/kgBB dibagi dalam 4-6 kali pemberian/ hari (Rusmarjono, Soepardi,
2007).

b) Faringitis bakteri
Streptococcus hemolitikus grup A merupakan penyebab faringitis akut pada dewasa
(15%) dan anak (30%) (Hayden, Turner, 2004).

Tanda dan gejala

Laporan Skenario 1
Kelompok 5

Onset faringitis sterptococcus berlangsung cepat dengan sakit tenggorokan, tidak


adanya batuk dan demam merupakan gejala yang menonjol (Hayden, Turner, 2004).
Sakit kepala dan GI sindrom (nyeri abdomen, muntah) juga sering terjadi (Hayden,
Turner, 2004).
Faring terlihat hiperemis dan terlihat adanya pembesaran tonsil dan terdapat eksudat
di permukaannya (Hayden, Turner, 2004).
Setelah beberapa hari timbul bercak petechiae pada palatum dan faring. Terdapat
pembesaran kelenjar limfa leher anterior membesar, kenyal, dan nyeri tekan (Rusmarjono,
Soepardi, 2007).

Terapi
1.

Antibiotik
Bila diduga penyebab faringitis akut adalah streptococcus hemolitikus grup A maka

diberikan antibiotik (penisillin G Banzatin 50000 U/ kgBB, IM dosis tunggal atau amoksisilin
50mg/kgBB dosis dibagi 3 kali /hari selama 10 hari. Pada dewasa diberikan 3x500 mg selama
6-10 hari atau eritromisin 4x500 mg/ hari.
2.

Kortikosteroid
Diberikan deksametason 8-16 mg, IM, 1 kali. Pada anak diberikan 0,08-0,3 mg/kgBB,

IM, 1 kali.
-

Analgetika
Kumur dengan air hangat atau antiseptik (Rusmarjono, Soepardi, 2007).

c) Faringitis fungal
Biasanya disebabkan oleh infeksi candida pada mukosa rongga mulut dan faring

Tanda dan gejala


i.

Terdapat keluhan nyeri tenggorok dan nyeri saat menelan

Laporan Skenario 1
Kelompok 5

ii.

Pemeriksaan fisik : Terdapat plak putih di orofaring dan mukosa laring lainnya
hiperemis (Rusmarjono, Soepardi, 2007).

Terapi
-

Nystasin 100.000-400.000 2x/hari (Rusmarjono, Soepardi, 2007).

d) Faringitis gonorea
Hanya terdapat pada pasien yang melakukan kontak orogenital (Rusmarjono, Soepardi,
2007).
Terapi
Sefalosporin generasi ke-3, ceftriakson 250mg, IM (Rusmarjono, Soepardi, 2007).

B. Faringitis

kronis

Dibagi dua menjadi hiperplastik dan atrofi


Faktor predisposisi:
Rinitis kronik, sinusitis, iritasi kronik oleh rokok, minum alkohol, inhalasi uap yang
merangsang mukosa faring, debu, biasa bernapas dengan mulut karena hidung tersumbat
(Rusmarjono, Soepardi, 2007).
a. Faringitis kronik hiperplastik
Terjadi perubahan mukosa dinding posterior faring, terjadi hiperplasi pada kelenjar limfa
di bawah mukosa faring dan lateral band (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Tanda dan gejala
Awalnya terasa gatal pada tenggorok dan berkembang menjadi batuk. Pemeriksaan
fisik: mukosa dinding posterior tidak rata dan bergranular (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Terapi

Laporan Skenario 1
Kelompok 5

Kaustik faring dengan zat kimia larutan nitras argenti atau dengan listrik
(electrocauter) Simptomatis : obat kukur atau tablet isap. Obat batuk antitusif atau
ekspektoran [bila perlu] (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
b. Faringitis kronik atrofi
Sering timbul bersamaan dengan rinitis alergi (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Tanda dan gejala
Tenggorok kering dan tebal serta bau mulut. Pemeriksaan fisik: tampak mukosa faring
ditutupi oleh lendir yang kental dan bila diangkat tampak mukosa kering (Rusmarjono,
Soepardi, 2007).
Terapi
Mengobati rinitis atrofi ditambah dengan obat kumur (Rusmarjono, Soepardi, 2007).

C. Faringitis

spesifik

1. Faringitis leutika
Disebabkan karena adanya infeksi faring oleh treponema palidum (Rusmarjono,
Soepardi, 2007).
Gambaran klinis

GAMBARAN KLINIS BERDASARKAN STADIUM


Stadium primer

Kelainan pada lidah, palatum mole, tonsil dan


dinding posterior faring yang berbentuk bercak
keputihan.Ulkus

timbul

bila

infeksi

terus

berlanjut, dan terdapat pembesaran kelenjar


mandibula yang tidak nyeri tekan (Rusmarjono,
Soepardi, 2007).
Stadium sekunder

Jarang

ditemukan.

Terdapat

eritema

pada

dinding faring yang menjalar ke arah laring

Laporan Skenario 1
Kelompok 5

Stadium tertier

Pada stadium ini terdapat guma (Rusmarjono,


Soepardi, 2007).

2. Faringitis tuberculosis
Merupakan proses sekunder dari tuberculosos paru. Cara infeksi eksogen yaitu
koontak dengan sputum atau inhalasi kuman melalui udara. Cara infeksi endogen yaitu
melalui darah pada tuberculosis milier (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Gejala
Keadaan umumpasien buruk karena adanya anoreksia dan odinofagia, nyeri tenggorok
yang hebat, nyeri di telinga (otalgia), disertai pembesaran kelenjar linfa sevical (Rusmarjono,
Soepardi, 2007)
Diagnosis
Diagnosis dibuat dengan mengidentifikasi adanya infeksi GABHS. Manifestasi klinis
infesi streptococcus dan infeksi virus terlihat sangat tumpang tindih.

Kultur tenggorok

merupakan gold standar yang tidak sempurna untuk diagnosis streptococcus faringitis. hasil
kultur yang positif palsu dapat terjadi jika organisme lain tidak dapat diidentifikasi sebagai
GABHS, dan anak sebagai pembawa streptococcus dapat juga mempunyai hasil kultur yang
positif. Hasil kultur yang negatif palsu melambangkan variasi dari penyebab, termasuk
inadekuatnya specimen swab tenggorokan dan pasien secara sembunyi-sembunyi
menggunakan antibiotik. kekhususan rapid tes untuk mendeteksi antigen streptococcus grup
A tinggi, sehingga jika rapid tes positif, maka kultur tenggorok tidak perlu dan dapat
mengindikasikan terapi yang tepat (Hayden, Turner, 2004)
Komplikasi
Infeksi traktus respiratori oleh virus merupakan faktor predisposisi munculnya infeksi
pada telinga tengah. Komplikasi dari streptococcus faringitis termasuk komplikasi lokal
supuratif , seperti abses parafaringeal, dan penyakit nonsupuratif seperti demam reumatik
akut dan acute postinfectious glomerulonephritis (Hayden, Turner, 2004)
Pencegahan

Laporan Skenario 1
Kelompok 5

vaksin streptococcal multivalent


profilaksis antimikroba dengan penicillin peroral setiap hari dapat mencegah
terjadinya infeksi GABHS berulang, namun direkomendasikan hanya untuk
mencegah demam rematik berulang (Hayden, Turner, 2004)

Laporan Skenario 1
Kelompok 5

LARINGITIS

Merupakan peradangan local atau luas pada laring karna iritasi akut maupun kronis yang
dapat disebabkan oleh bahan mekanik, kimia, alergi atau agen infeksi. (Depkes,2004)
Iritasi pada laring biasanya menyebabkan kemerahan(erythema) dan

pembengkakan

(edema), dan biasanya kemerahan dan pembengkakan ini akan hilang ketika agen iritan
dihilangkan dari laring. (Depkes,2004)
Dua type utama dari laryngitis yaitu yang bersifat akut dan kronis;
1. Laryngitis Akut
o Jika kontak dengan iritan secara tiba-tiba dan bersifar short-lived.
o Laryngitis akan terjadi secara tiba-tiba dan akan menghilang ketika iritan menghilang
o Penyebab dari laryngitis akut ini adalah; infeksi saluran napas atas karna bakteri,
virus, fungi atau jamur.
Penyebab lain adalah polusi udara konsentrasi tinggi, sering terexpose asap rokok,
luka yang menyebabkan trauma pada laryng. (Depkes,2004)
2. Laryngitis Kronis
o Jika terjadi expose pada iritan yang memperpanjang, Laringitis akan tetap terjadi
selama iritan masih ada. (Depkes,2004)
o Beberapa penyebab laringitis kronik adalah;
1. Alergi
2. Merokok
3. Pemakaian marijuana(obat-obatan terlarang)
4. Pemakaian steroid hisap atau oral inhaler lainnya
5. infeksi beberapa fungi dan bakteri
6. Batuk kronik
7. Pemakaian suara berlebihan

Etiologi
2

Laporan Skenario 1
Kelompok 5

Faktor Predisposisi

Laporan Skenario 1
Kelompok 5

Perubahan cuaca/suhu
Gizi kurang/malnutrisi
Imunisasi tidak lengkap,dan
Pemakaian suara berlebihan (Mansjoer,2002)

Gejala Laryngitis
Suara serak
Merupakan gejala yang paling sering ditemukan pada penyakit ini. Suara serak ini
disebabkan karna adanya pembengkakan pada vocal fold. (Depkes,2004)
Pembengkakan
Pembengkakan menyebabkan suara menjadi rendah karna menghalangi kemampuan
vocal fold untuk melakukan fibrasi dan konduksi suara. Pada kasus pembengkakan yang
lebih parah dapat menyebabkan suara hilang. (Depkes,2004)
Gejala lain ynag sering adalah;
1. Sakit tenggorokan,
2. Tenggorokan terasa kering,
3. Tenggorokan terasa gatal,
4. Sensasi adanya obstruksi/sesuatu pada tenggorokan, dan
5. Susah bernapas.
Gejala ini tidak selalu didapatkan pada keluhan laringitis. Selain itu, keluhan ini dapat
dijumpai pada kelainan selain laryngitis. (Depkes,2004)

Diagnosis
Diagnosa ditegakan berdasarkan gejala dan tanda yang ada (Depkes,2004)

Laporan Skenario 1
Kelompok 5

1) Melihat kondisi kotak suara(pita suara) dengan Laryngoscopy kemudian melakukan


infestigasi;
1. Area dengan inflamasi
2. Petunjuk penyebab yang mungkin dari laryngitis
3. Lesi kotak suara yang lain
2) Memperkirakan kondisi vibrasi fita suara dengan Stroboscopy
Stroboscopy adalah prosedur yang memungkinkan penaksiran fungsi vibrasi dari pita
suara. Perubahan vibrasi vocal fold bisa dihasilkan karna swelling atau karna adanya lesi
pada vocal fold (Depkes,2004)
3) Type dan kondisi dari kotak Suara
Pada pemeriksaan larynge, ditemukan tanda kemerahan dan pembengkakan.
Pembengkakan ini bisa mengenaii seluruh bagian dari laryng(diffuse) atau hanya terjadi
pada vocal fold saja atau juga mengenai bagian belakang laryng (Depkes,2004)
Pola type dari laringitis ini sbb;
1. Pembengkakan diffuse-biasanya disebabkan dari menghirup penyebab laringitis,
seperti merokok dan polusi udara
2. Pembengkakan terbatas pada vocal fold-Biassanya terjadi karna penyebab
mekanik, seperti Pemakaian suara berlebihan
3. Pembengkakan di belakang laryng-juga disebut sbgai posterior laryngitis,
kebanyakan terjadi karna aliran balik cairan lambung yang berada di dekat/area
sekitan kerongkongan atau vocal fold.

Pengobatan

Laporan Skenario 1
Kelompok 5

Pengobatan laryngitis ditujukan pada penyebabnya dan/atau dengan menghilangkan


kontak dengan iritan yang ada pada lingkungan. (Depkes,2004)
Petunjuk Terapi secara umum
-

Hydration-merupakan komponen yang penting dari terapi laryngitis. Pada kebanyakan


kasus laryngitis, terjadi sekresi mukosa kental yang berlebih atau penurunan lubrikasi
pada laryng. Lubrikasi laryng dapat dipertahankan dengan meminum air yang cukup
Menghindari ekspose dengan agen pengering seperti caffein atau dengan memberikan
obat dehidrasi yang bisa memelihara lubrikasi laryng yang baik.

Membatasi pemakaian suara(istirahat bicara) selama 2-3 hari, menghirup udara


lembab, dan menghindari iritasi pada laring maupun faryng.

Terapi medikamentosa dengan antibiotik penisilin anak 3x 50 mg/kg BB dan dewasa


3x500 mg.

Bila alergi penisilin maka diberikan eritromisin atau basitrasin.

Steroid dapat diberikan untuk mengatasi edema, iritasi maupun inflamasi pada laring.
Akan tetapi pemberian steroid ini masih kontroversi.

Pembedahan-merupakan indikasi yang jarang dari kasus laryngitis.

Laporan Skenario 1
Kelompok 5

EPIGLOTTITIS

Epiglottitis akut (supraglottitis) merupakan penyakit yang akut dengan progresifitas


cellulitis yang cepat pada epiglottis dan struktur lain yang berdekatan yang menyebabkan
obstruksi total jalan napas yang berpotensi fatal baik pada anak-anak maupun dewasa.
(Harrison,2008)
Sebelum ditemukan vaksin terhadap H.influenzae tipe b, penyakit ini umum ditemukan
pada anak, dengan puncak insidensi usia 3,5 tahun. (Harrison,2008)
Vaksin terhadap H.influenzae tipe b ini dapat mengurangi angka insidensi epiglottitis akut
pada anak >90%, berbeda pada dewasa yang angka insidensinya hanya berkurang sedikit
dengan pemberian vaksin tersebut (Harrison,2008)
Karena risiko terjadinya obstruksi jalan napas maka keadaan ini termasuk dalam keadaan
emergency, terutama pada anak, karenanya sangat dibutuhkan penegakan diagnosis yang
tepat dan pengamanan jalan napas (Harrison,2008)

1. Etiologi
-

H.influenzae tipe b

A Streptococcus

S. pneumoniae, Haemophilus parainfluenzae, and S. aureus (frekueninya sedikit)

Belum ditemukan data yang menyebutkan bahwa virus dapat menyebabkan epiglottitis
(Harrison,2008)

2. Manifestasi Klinis
-

pada anak: demam tinggi, nyeri tenggorokan berat, takikardi, toksisitas sistemik, serta
mengeluarkan liur selama duduk gejala <24 jam

gejala obstruksi jalan napas juga dapat terlihat dengan progresifitas yang cepat

pada dewasa: nyeri tenggorok dapat berlangsung hingga 1-2 hari diikuti dengan dispneu,
drooling, dan stridor (Harrison,2008)

3. Pemeriksaan fisik:
2

Laporan Skenario 1
Kelompok 5

distress pernapasan sedang hingga berat, dengan restraksi dinding dada dan stridor
(Harrison,2008)

4. Pemeriksaan Penunjang
-

direct fiberoptic laryngoscopy

Neck radiograph pembesaran edematous epiglottis, biasanya disertai dengan


dilatasi hipofaring dan struktuir subglotis yang normal

Pemeriksaan Lab leukositosis sedanng hingga berat, dengan netrofil predominan

Kultur darah positif pada sebagian besar kasus (Harrison,2008)

5. Terapi

Laporan Skenario 1
Kelompok 5

amankan jalan napas (Harrison,2008)

antibiotic IV, khususnya untuk H. influenzae (penyebab tersering pennyakit ini)


(Harrison,2008)

karena angka resistensi terhadap ampicillin meningkat sangat pesat beberapa tahun
terakhir ini maka direkomendasikan terapi dengan -lactam / kombinasi inhibitor lactamase atau chepalosporin generasi kedua atau ketiga
Pada pasien yang alergi terhadap -lactam diberikan ampicillin/sulbactam,
cefuroxime, cefotaxime, atau ceftriaxone, dengan clindamycin dan TMP-SMX
(Harrison,2008)

Terapi antibiotic dilanjutkan selama 7-10 hari


Bila seisi rumah yang kontak dengan pasien dengan H. Influenzae termasuk anak usia
<4 tahun, semua anggota keluarga pasien (termasuk pasien) harus menerima
profilaksis rifampin selama 4 hari untuk mengeradikasi penyebaran H.influenzae
(Harrison,2008)

Laporan Skenario 1
Kelompok 5

TONSILITIS

Tonsilitis adalah Peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin
waldeyer (Soepardi dkk,2007). Cincin waldeyer yang termasuk dalam sistem pertahan tubuh
terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam rongga mulut yaitu: Tonsil faringeal
(adenoid), tonsil palatina, tonsil lingual, tonsil tuba eustachius. Pada penyakit ini secara
umum penyebarannya infeksinya melalui droplet yang terhirup dalam sistem pernapasan,
tangan yang tidak steril dan juga ciuman (Rusmarjono, Soepardi, 2007).

Klasifikasi Tonsilitis
Penyakit Tonsilitis diklasifikasikan dalam 3 jenis tonsilitis.:

TONSILITIS

Tonsilitis Akut

Tonsilitis
Membranosa

Tonsilitis Viral

Tonsilitis Difteri

Tonsilitis
Bakterial

Tonslitis Septik

Tonsilitis Kronik

Angina Plaut
Vincent
Penyakit Kelainan
Darah

Laporan Skenario 1
Kelompok 5

A. Tonsilitis Akut
Etiologi

Gejala dan Tanda

Tonsilitis Viral
Virus Eipstein

Tonsilitis Bakteri
-Kuman grup A Streptokokus

Barr.Hemofilus

beta nhemolitikus(penyebab

influenzae(penyebab

tersering)

tonsilitis akut supuratif),

-pneumokokus, streptokokus

infeksi virus coxschakie

viridan dan streptokokus

-Terdapat Gejala Common

piogenes
-Masa inkubasi 2-4 hari.

Cold

-Terdapat nyeri tenggorokan

-Lebih khusus pada infeksi

dan nnyeri waktu menelan

virus Coxschakie tampak

-demam(suhu tinggi), rasa

luka-luka kecil pada palatum

lesu, rasa nyeri disendi, tidak

dan tonsil yang sangat nyeri

nafsu makan dan rasa nyerii


ditelinga
-Pada pemeriksaan tampak
tonsil membengkak,
hiperemis, Pembengkakan

Terapi

Istirahat, minum cukup,

kelenjar submandibula
Antibiotik spektrum lebar

analgetika dan antivirus

penisilin, eritromisin.

diberikan jika gejala berat

Antipiretik dan obat


kumur(mengandung

Komplikasi

disinfektan)
-Pada anak(otitis media akut,
sinusitis, abses peritonsil,
abses parafaring, bronkhitis,
glomerulonefritis.
-Dalam jangka lama dapat
menyebabkan PJR

Laporan Skenario 1
Kelompok 5

B. Tonsilitis Membranosa
Jenis
1.Tonsilitis Difteri

Etiologi
-Kuman Coryne bacterium
diphteria(digunakan
sebagai penegakan
diagnosis dari jenis ini
dengan swab)
-Sering diemukan pada
anak-anak < 10 tahun dan
frekuensi tertinggi pada
usia 2-5 tahun

Gejala dan tanda


a. Gejala umum:
Kenaikan suhu
tubuh(subfebris), nyeri kepala,
tidak nafsu makan, badan
lemah, nadi lambat serta
keluhan nyeri menelan
b. Gejala Lokal:
Pembengkakan tonsil(ditutupi
bercak putih kotor) bercak
putih dapat bersatu membentuk
membran semu dan dapat
meluas sehingga dapat
menyumbat saluran nafas
-Pembengkakan kelenjar limfe
leher(menyerupai leher sapi)
disebut juga Burgemeesters
hals

2. Tonsilitis Septik

Terapi
-Anti difteri serum
(ADS) dosis 20.000100.000 unit tergantung
dari umur dan beratnya
penyakit
-Antibiotik Penisilin
atau eritromisin 25-50
mg per kg BB dibagi
dalam 3 dosis selama 14
hari
-Kortikosteroid 1,2 mg
per kg BB per hari.
Antipiretik untuk obat
somtomatisnyaIstirahat
ditempat tidur 2-3
minggu

-Streptokokus hemolitikus
yang terdapat dalam susu
sapi sehingga dapat timbul

Komplikasi
-Miokarditis
-Kelumpuhan otot
palatum mole, otot mata
untuk akomodasi. Otot
laring dan faring
sehingga menimbulkan
kesulitan menelan
-Komplikasi keginjal

Laporan Skenario 1
Kelompok 5

3. Angina Plaut

epidemi
-Spirochaeta atau

Vincent

triponema (sering
didapatkan pada orang
yang higiene mulutnya
kurang dan dengan
defisiensi vitamin C)

-Demam sampai 39 derajat C.


-Antibiotika spektrum
-Terdapat gangguan pencernaan
lebar selama 1 minggu
(kadang-kadang)
-Memperbaki higine
-Rasa nyeri dimulut,
mulut,Vitamin C dan B
hipersalivasi, pendarah gigi dan
kompleks
gusi(mudah)
-Pada pemeriksaan ditemukan

mukosa mulut dan faring


hiperemi, tampak membran
putih keabuan diatas tonsil,
uvula, dinding faring, gusi serta
prosesus alvolaris, mulut
berbau
-Pembesaran kelenjar
4. Penyakit Kelinan

Faktor predisposisi adalah

submandibula
a.Gejala leukimia akut

Sesuai dengan faktor

darah

keaaan leukimia terutma

Sering terjadi

predisposisnya

akut, angina

:perdarahan(epistaksis),

agranulositosisserta infeksi perdarahan dimukosa mulut.


mononukleosis

Terdapat juga pembengkakan


tonsil yang ditutupi membran
semu akan tetapi tidak hiperemi

Laporan Skenario 1
Kelompok 5

Rasa nyeri yang hebat


ditenggorokan
b.Angina agrunulositosis:
Terdapat ulkus dimukosa mulut
dan faring serta disekitarnya
tampak gejala radang
c. Infeksi mononukleus
Terjadi tonsilo faringitis ulsero
membranosa bilateral. Terdapat
pembesaran Kelenjar limfe
leher, ketiak dan regio inguinal

Laporan Skenario 1
Kelompok 5

stadium tonsillitis:
a. stadium 0 ( tidak ada gambaran tonsil)
b. stadum 1+ ( tonsil dalam fossa)
c. stadium 2+ ( obstruksi <50%)
d. 3+ (>50% obstruksi)
e. 5+ ( tonsil saling bersentuhan)

C. Tonsilitis Kronis
Ada beberapa faktor predisposis yang dapat mnimbulkan keadaan tonsilitis kronis yakni:
1. Rangsangan menahun dari rokok, jenis makanan
2. Higiene mulut yang buruk
3. Pengaruh cuaca
4. Kelelhan fisik
5. Pengobatan tonsilitis berulang akibat tidak adekuatnya pengobatan
Untuk Etiologi hampir sama dengan tonsilits akut tapi karena penagruh faktor predisposisi
diataslah yang memperberatnya. (Rusmarjono, Soepardi, 2007).

Laporan Skenario 1
Kelompok 5

1. Patologi

Faktor-faktor predisposisi

Infeksi Berulang

Pengikisan epitel
mukosa serta jaringan
limfoi

Diganti oleh jaringan


parut yang
akanmengalami
pengerutan

Kripte
melebar

Menimbulkan perlekatan
dengan jaringan disekitar
fossa tonsilaris

2. Gejala dan Tanda


Tonsil tampak membesar dan beberapa kripte diiisi oleh detritus
Rasa ada yang mengganjal ditenggorok
Tenggorokan Kering dan nafas berbau
(Rusmarjono, Soepardi, 2007).

Laporan Skenario 1
Kelompok 5

3. Terapi
Terapi lokal untuk meningkatkan higiene mulut dan penggunaan obat kumur atau obat hisap
Indikasi tonsilektomi apabila berulang dan dapat menggangu saluran nafas (Rusmarjono,
Soepardi, 2007).

4. Komplikasi
Ada beberapa komplikasi yang dapat ditimbulkan seperti:
1. Otitis media, rinitis kronik, dan sinusitis( berlangsung secara kontinuitatum)
2. Dapat terjadi endokarditis, artritis, miositis, nefritis,uveitis, iridosilitis, dermatitis
pruiritis urtikaria dan furunkulosis( penyebaran melalui hematogen maupun limfogen)
3. Gejala sumbatan serta kecurigaan neoplama (Rusmarjono, Soepardi, 2007).

5. Indikasi Tonsilektomi
Menurut The American Academy of Otolaryngology Head and Neck Surgery Clinical
Indicators Compendium tahun 1995 dikatakan;
1. Serangan tonsilitis lebih dari tiga kali pertahun walaupun terapi yang adekuat
2. Tonsil hipertopi yang menimbulkan maloklusi gigi dan meyebabkan gangguan
pertumbuhan orofasial
3. Sumbatan jalan nafas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan jalan nafas, sleep
apnea, gangguan menelan, gangguan berbicara dan cor pulomonale.
4. Riniti dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang tidak berhasil
hilang dengan pengobatan
5. Nafas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan
6. Tonsilitis berulang yang disebabkan oleh kuman bakteri grup A streptococcus beta
hemoliticus
7. Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan
8. Otitis media efusa/otitis media supuratif (Rusmarjono, Soepardi, 2007).

Laporan Skenario 1
Kelompok 5

HIPERTROFI ADENOID

1.

Definisi
Adenoid ialah massa yang terdiri jaringan limfoid yang terletak pada dinding

posterior nasofaring, termasuk dalam rangkaian Ring of Waldeyer. Secara fisiologis, adenoid
ini membesar pada anak 3 tahun dan kemudian mengecil dan menghilang samasekali pada
usia 14 tahun. Jika sering terjadi infeksi saluran pernafasan atas maka akan terjadi hipertrofi
adenoid. Akibat hipertrofi ini akan menyebabkan tersumbatnya koana dan tuba eustasius
(Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Akibat sumbatan tersebut, terjadi:
1. Fasies adenoid yaitu tampak hidung kecil, arkus faring tinggi, insisivus prominen
2. Faringitis dan bronkitis
3. Gangguan ventilasi dan drainase.
Selain itu sumbatan pada tuba eustasius juga menyebabkan terjadinya otitis media akut
berulang, otitis media kronik dan menjadi otitis media supuratif kronik. Akibat hipertrofi
adenoid juga akan menimbulkan gangguan tidur, tidur ngorok, retardasi mental, dan
pertumbuhan fisik berkurang (Rusmarjono, Soepardi, 2007).

2. Diagnosis
Diagnosa ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala klinik, pemeriksaan rinoskopi anterior
dengan melihat tertahannya gerakan velum palatum mole pada waktu fonasi, pemerikasaan
ronoskopi posterior (pada anak biasanya sulit), dan pemeriksaan radiologik dengan membuat
foto lateral kepala (Rusmarjono, Soepardi, 2007).

stadium pembesaran adenoid:

Laporan Skenario 1
Kelompok 5

a. stadium 0 (absent)
b. stadium 1 ( obstruksi <25%)
c. stadium 2+ ( obstruksi 25-50%)
d. stadium 3+ ( obstruksi 50-75%)
e. stadium 4+ ( obstruksi >75%)

3. Terapi
Pada hipertrofi adenoid dilakukan dengan terapi bedah adenoiktomi dengan cara
kerutase memakai adenotom (Rusmarjono, Soepardi, 2007).

INDIKASI ADENOIDEKTOMI
a. Sumbatan

b. Infeksi

sumbatan

hidung

yang

bernapas melalui mulut.


Sleep apnea
Gangguan menelan
Gangguan bicara
Adenoid face

Adenoiditis kronis/berulang
Otitis media kronis
Otitis media akut berulang

menyebabkan

c. Kecurigaan
neoplasma

4. Komplikasi

Laporan Skenario 1
Kelompok 5

Komplikasi tindakan adenoidektomi adalah perdarahan jika pengerokan adenoid


kurang bersih. Jika terlalu dalam menguretnya akan terjadi kerusakan dinding belakang
faring. Jika kerutase terlalu ke lateral maka torus tubarius akan rusak dan akan dapat
mengakibatkan oklusi tuba eustasius dan timbul tuli konduktif (Rusmarjono, Soepardi, 2007).

Laporan Skenario 1
Kelompok 5

TUBERKULOSIS PADA ANAK

1. Epidemiologi

Hingga saat ini TB masih merupakan masalah utama kesehatan masyarakat Indonesia, hal ini
didukung oleh fakta-fakta antara lain:
Indonesia merupakan negara dengan pasien TB terbanyak ke-3 di dunia setelah India dan
Cina. Diperkirakan jumlah pasien TB di Indonesia sekitar 10% dari total jumlah pasien
TB didunia.
Tahun 1995, hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) menunjukkan bahwa
penyakit TB merupakan penyebab kematian nomor tiga (3) setelah penyakit
kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan pada semua kelompok usia, dan nomor
satu (1) dari golongan penyakit infeksi.
Hasil Survey Prevalensi TB di Indonesia tahun 2004 menunjukkan bahwa angka
prevalensi TB BTA positif secara Nasional 110 per 100.000 penduduk.

Laporan Skenario 1
Kelompok 5

Secara Regional prevalensi TB BTA positif di Indonesia dikelompokkan dalam 3 wilayah,


yaitu: 1) wilayah Sumatera angka prevalensi TB adalah 160 per 100.000 penduduk; 2)
wilayah Jawa dan Bali angka prevalensi TB adalah 110 per 100.000 penduduk; 3) wilayah
Indonesia Timur angka prevalensi TB adalah 210 per 100.000 penduduk. Khusus untuk
propinsi DIY dan Bali angka prevalensi TB adalah 68 per 100.000 penduduk.
Mengacu pada hasil survey prevalensi tahun 2004, diperkirakan penurunan insiden TB
BTA positif secara Nasional 3-4 % setiap tahunnya.

2. Faktor Resiko Kejadian TB

3. Diagnosa TB pada anak


Diagnosis TB pada anak sulit sehingga sering terjadi misdiagnosis baik overdiagnosis
maupun underdiagnosis. Pada anak-anak batuk bukan merupakan gejala utama. Pengambilan
dahak pada anak biasanya sulit, maka diagnosis TB anak perlu kriteria lain dengan
menggunakan sistem skor .
Unit Kerja Koordinasi Respirologi PP IDAI telah membuat Pedoman Nasional
Tuberkulosis Anak dengan menggunakan sistem skor (scoring system), yaitu pembobotan

Laporan Skenario 1
Kelompok 5

terhadap gejala atau tanda klinis yang dijumpai. Pedoman tersebut secara resmi digunakan
oleh program nasional penanggulangan tuberkulosis untuk diagnosis TB anak.
Setelah dokter melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang,
maka dilakukan pembobotan dengan sistem skor. Pasien dengan jumlah skor yang lebih atau
sama dengan 6 (>6), harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan mendapat OAT (obat anti
tuberkulosis). Bila skor kurang dari 6 tetapi secara klinis kecurigaan kearah TB kuat maka
perlu dilakukan pemeriksaan diagnostik lainnya sesuai indikasi, seperti bilasan lambung,
patologi anatomi, pungsi lumbal, pungsi pleura, foto tulang dan sendi, funduskopi, CT-Scan,
dan lain lainnya.

Catatan :

Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter.

Laporan Skenario 1
Kelompok 5

Batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk kronik lainnya
seperti Asma, Sinusitis, dan lain-lain.
Jika dijumpai skrofuloderma (TB pada kelenjar dan kulit), pasien dapat langsung
didiagnosis tuberkulosis.
Berat badan dinilai saat pasien datang (moment opname).--> lampirkan tabel badan
badan.
Foto toraks toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak
Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi lokal timbul < 7 hari setelah penyuntikan)
harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak.
Anak didiagnosis TB jika jumlah skor > 6, (skor maksimal 14)
Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut.

4. Tatalaksana Pasien TB Anak

Laporan Skenario 1
Kelompok 5

Pada sebagian besar kasus TB anak pengobatan selama 6 bulan cukup adekuat.
Setelah pemberian obat 6 bulan, lakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan
penunjang. Evaluasi klinis pada TB anak merupakan parameter terbaik untuk menilai
keberhasilan pengobatan. Bila dijumpai perbaikan klinis yang nyata walaupun gambaran
radiologik tidak menunjukkan perubahan yang berarti, OAT tetap dihentikan.
Kategori Anak (2RHZ/ 4RH)

Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal 3 macam obat dan diberikan dalam
waktu 6 bulan. OAT pada anak diberikan setiap hari, baik pada tahap intensif maupun tahap
lanjutan dosis obat harus disesuaikan dengan berat badan anak.

5. Pengobatan Pencegahan (Profilaksis) untuk Anak


Pada semua anak, terutama balita yang tinggal serumah atau kontak erat dengan
penderita TB dengan BTA positif, perlu dilakukan pemeriksaan menggunakan sistem skoring.
Bila hasil evaluasi dengan skoring sistem didapat skor < 5, kepada anak tersebut diberikan
Isoniazid (INH) dengan dosis 5-10 mg/kg BB/hari selama 6 bulan. Bila anak tersebut belum
pernah mendapat imunisasi BCG, imunisasi BCG dilakukan setelah pengobatan pencegahan
selesai.

Laporan Skenario 1
Kelompok 5

PNEUMONIA ANAK

1. Definisi
Pneumonia adalah suatu radang paru yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi
seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing (FKUI,2005)

2. Epidemiologi
Jenis dan keparahan penyakit dipengaruhi oleh beberapa factor termasuk umur, jenis
kelamin, musim dalam tahun tersebut dan kepadatan penduduk. Anak laki-laki terkena sedikit
lebih sering daripada anak perempuan. Angka serangan puncak untuk pneumonia virus adalah
antara umur 2 dan 3 tahun dan sedikit demi sedikit menurun sesudahnya. (Prober, 2004)

3. Klasifikasi
Pneumonia dibagi berdasarkan anatomis dan etiologinya.( Prober, 2004)
Anatomis :
1. Pneumonia Lobaris
2. Pneumonia Lobularis(Bronkopneumonia)
3. Pneumonia Interstitialis (Bronkiolitis)
(Prober, 2004)

4. Etiologi
a. Pneumonia Akibat Virus
Virus penyebab pneumonia yang paling sering adalah virus sinsitial pernapasan
(RSV), parainfluenza dan adenovirus. (Prober, 2004)

Laporan Skenario 1
Kelompok 5

Manifestasi Klinis :
Kebanyakan virus pneumonia didahului gejala-gejala pernapasan beberapa hari,
termasuk rhinitis dan batuk. Walaupun biasanya ada demam, suhu biasanya lebih rendah
daripada pneumonia bakteri. Takipnea, yang disertai dengan retraksi interkostal, subkostal,
dan suprasternal; pelebaran cuping hidung; dan penggunaan otot tambahan sering ada. Infeksi
berat dapat disertai dengan sianosis dan kelelahan pernapasan. (Prober, 2004)
b. Pneumonia Bakteri
Biasanya bukan merupakan infeksi yang lazim, bila tidak ada penyakit kronis yang
mendasari, seperti kistik fibrosis atau defisiensi imunologis. (Prober, 2004)
Pneumonia pneumokokus
Patogenesis :
Organisme pneumokokus diaspirasi ke dalam perifer paru dari jalan napas atas atau
nasofaringedema reaktif terjadi yang mendukung proliferasi organisme dan membantu
dalam penyebarannya ke dalam bagian paru yang berdekatan. (Prober, 2004)
Manifestasi Klinis :
Riwayat klasik dingin menggigil yang disertai dengan demam tinggi, batuk, dan nyeri
dada yang digambarkan pada orang dewasa dengan pneumonia pneumokokus mungkin
ditemukan pada anak yang lebih tua, tetapi jarang diamati pada bayi dan anak muda,
gambaran klinisnya jauh lebih bervariasi. (Prober, 2004)

Laporan Skenario 1
Kelompok 5

KESIMPULAN

1. pasien anak pada skenario menderita faringotonsilitis komplikasi otitis media


2. faktor resiko dapat teridentifikasi hanya berasal dari usia sementara faktor resiko berupa
malnutrisi tidak ada karena pasien memiliki berat badan normal. Status iumnitas pasien,
Keadaan lingkungan dan penyebaran infeksi dari lingkungan sekitar perlu digali pada
pasien ini
3. pemberian obat sirup yang dilakukan oleh ibu pasien pada kemunculan keluhan 6 bulan
yang lalu tidak rasional karena pemberian dosis yang tidak berdasarkan umur dan berat
badan sehingga dapat memicu resistensi jika yang diberikan adalah antibiotik
4. aspek negatif dari penyakit infeksi tidak hanya dari sisi klinis tapi juga dari sisi nonklinis seperti penurunan prestasi dan produktifitas kerja serta peningkatan jumlah
penularan infeksi ke orang lain

Anda mungkin juga menyukai