Laporan Sken1 Blok 12
Laporan Sken1 Blok 12
Kelompok 5
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat dan
hidayahNya kami dapat menyelesaikan Laporan Tutorial Pertama sebagai suatu laporan atas
hasil diskusi kami yang berkaitan dengan kegiatan tutorial pada Blok XII semester IV ini.
Pada skenario yang berjudul fever and cough, kami membahas masalah yang berkaitan
dengan proses menentukan diagnosa terkait skenario tersebut Selain itu, dilakukan
pembahasan mengenai anatomi sistem saluran nafas atas.
Kami mohon maaf jika dalam laporan ini terdapat banyak kekurangan dalam
menggali semua aspek yang menyangkut segala hal yang berhubungan dengan scenario
pertama ini baik pada Learning Objective yang kami cari ataupun pada pembahasan yang
kurang memuaskan. Karena ini semua disebabkan oleh keterbatasan kami sebagai manusia.
Tetapi, kami berharap laporan ini dapat memberi pengetahuan serta manfaat kapada para
pembaca.
Laporan Skenario 1
Kelompok 5
DAFTAR ISI
Laporan Skenario 1
Kelompok 5
SKENARIO
Laporan Skenario 1
Kelompok 5
LEARNING OBJEKTIF
Laporan Skenario 1
Kelompok 5
MAPPING CONCEPT
anatomi
saluran nafas
simptom
onset
durasi
pola
gejala
gejala penyerta
sign
........C
PENEGAKAN DIAGNOSA
anamnesis
pemeriksaan
fisik
pemeriksaan
penunjang
definisi
Diagnosa Kerja
common cold
etiologi
faktor resiko
klasifikasi
faringitis
cara penularan
tonsilitis
patogenesis
otitis media
TB anak
Laporan Skenario 1
Kelompok 5
ANAMNESIS
RPS
RPD
RPK
REVIEW SISTEM
PEMERIKSAAN FISIK
tampakan umum pasien
vital sign
inspeksi
palpasi
perkusi
auskultasi
Laporan Skenario 1
Kelompok 5
ANAMNESIS
Riwayat
penyakit
sekarang
gali mengenai
digali mengenai:
1. onset dan durasi
2. kronologis
3. kualitas
keluhan utama
terlebih dahulu:
1. demam
2. batuk
3. pilek
4. kuantitas
5. faktor yang memperberat keluhan
6. faktor yang memperingan keruhan
7. keluhan penyerta misalnya sesak, nyeri,
nforok,dsb
Riwayat penyakit
dahulu
Riwayat penyakit
keluarga
Riwayat pribadi
1. riwayat kelahiran
2. riwayat persalinan
3. riwayat imunisasi
4. riwayat tumbuh kembang
5. riwayat makanan dan nutrisi
6. lingkungan sosial dan tempat tinggal
Review sistem
Laporan Skenario 1
Kelompok 5
Pemeriksaan Fisik
beberapa hal yang dapat dinilai pada pemeriksaan fisik antara lain:
1. mukosa hidung apakah hiperemi atau bengkak
2. adakah pembesaran tonsil, seberapa besar?
3. adakah limfadenopati, dsb
Laporan Skenario 1
Kelompok 5
1. Hidung
Hidung meliputi bagian eksternal yang menonjol dari wajah dan bagian internal berupa
rongga hidung sebagai alat penyalur udara. Hidung bagian luar tertutup oleh kulit dan
disupport oleh sepasang tulang hidung. Rongga hidung terdiri atas :
Dalam rongga hidung terdapat rambut yang berperan sebagai penapis udara
Struktur konka yang berfungsi sebagai proteksi terhadap udara luar karena strukturnya
yang berlapis
Laporan Skenario 1
Kelompok 5
Sel silia yang berperan untuk mlemparkan benda asing ke luar dalam usaha untuk
membersihkan jalan napas (Seeley,2004)
Bagian internal hidung adalah rongga berlorong yang dipisahkan menjadi rongga hidung
kanan dan kiri oleh pembagi vertikal yang sempit, yang disebut septum. Masing-masing
rongga hidung dibagi menjadi 3 saluran oleh penonjolan turbinasi atau konka dari dinding
lateral. Rongga hidung dilapisi dengan membran mukosa yang sangat banyak mengandung
vaskular yang disebut mukosa hidung. Lendir di sekresi secara terus-menerus oleh sel-sel
Laporan Skenario 1
Kelompok 5
goblet yang melapisi permukaan mukosa hidung dan bergerak ke belakang ke nasofaring oleh
gerakan silia. (Seeley,2004)
Rongga hidung dimulai dari Vestibulum, yakni pada bagian anterior ke bagian posterior
yang berbatasan dengan nasofaring. Rongga hidung terbagi atas 2 bagian, yakni secara
longitudinal oleh septum hidung dan secara transversal oleh konka superior, medialis, dan
inferior. (Seeley,2004)
Hidung berfungsi sebagai saluran untuk udara mengalir ke dan dari paru-paru. Jalan
napas ini berfungsi sebagai penyaring kotoran dan melembabkan serta menghangatkan udara
yang dihirupkan ke dalam paru-paru. Hidung bertanggung jawab terhadap olfaktori atau
penghidu karena reseptor olfaksi terletak dalam mukosa hidung. Fungsi ini berkurang sejalan
dengan pertambahan usia. (Seeley,2004)
Laporan Skenario 1
Kelompok 5
2.
Faring
Faring merupakan saluran yang memiliki panjang kurang lebih 13 cm yang
menghubungkan nasal dan rongga mulut kepada larynx pada dasar tengkorak.
nasofaring
orofaring
Laporan Skenario 1
Kelompok 5
laringofaring
2. Laring
Laring tersusun atas 9 Cartilago ( 6 Cartilago kecil dan 3 Cartilago besar ). Terbesar
adalah Cartilago thyroid yang berbentuk seperti kapal, bagian depannya mengalami
penonjolan membentuk adams apple, dan di dalam cartilago ini ada pita suara. Sedikit di
bawah cartilago thyroid terdapat cartilago cricoid. Laring menghubungkan Laringopharynx
dengan trachea, terletak pada garis tengah anterior dari leher pada vertebrata cervical 4
sampai 6. (Seeley,2004)
Fungsi utama laring adalah untuk memungkinkan terjadinya vokalisasi. Laring juga
melindungi jalan napas bawah dari obstruksi benda asing dan memudahkan batuk. Laring
sering disebut sebagai kotak suara dan terdiri atas:
Epiglotis
Glotis
Kartilago Thyroid
Laporan Skenario 1
Kelompok 5
Kartilago Krikoid
Kartilago
Aritenoid
Pita suara
kartilago thyroid
ligamen yang dikontrol oleh gerakan otot yang
menghasilkan bunyi suara; pita suara melekat pada
lumen laring. (Seeley,2004)
Laporan Skenario 1
Kelompok 5
3. Trakea
Trakea merupakan suatu saluran rigid yang memeiliki panjang 11-12 cm dengan
diametel sekitar 2,5 cm. Terdapat pada bagian oesephagus yang terentang mulai dari cartilago
cricoid masuk ke dalam rongga thorax. Tersusun dari 16 20 cincin tulang rawan berbentuk
huruf C yang terbuka pada bagian belakangnya. Didalamnya mengandung pseudostratified
ciliated columnar epithelium yang memiliki sel goblet yang mensekresikan mukus. Terdapat
juga cilia yang memicu terjadinya refleks batuk/bersin. Trakea mengalami percabangan pada
carina membentuk bronchus kiri dan kanan. (Seeley,2004)
Laporan Skenario 1
Kelompok 5
Tuba Eustachius
Tuba eutachius adalah saluran yang menghubungkan rongga telinga tengah dengan
nasofaring. Fungsi tuba ini adalah untuk ventilasi, drenase secret dan menghalangi masuknya
secret dari nasofaring ke telinga tengah. Bila tuba terbuka maka terasa udara masuk ke dalam
rongga telinga tengah yang menekan membran timpani ke arah lateral. (Rusmarjono,
Soepardi, 2007).
Tuba biasanya dalam keadaan tertutup dan baru terbuka apabila oksigen diperlukan
masuk ke telinga tengah atau pada saat mengunyah, menelan dan menguap.gangguann fungsi
tuba dapat terjadi oleh beberapa hal, seperti tuba terbuka abnormal yang memungkinkan
infeksius bisa masuk. (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Pada anak tuba lebih pendek, lebih lebar dan kedudukannya lebih horizotal dari tuba
orang dewasa. Panjang tuba orang dewasa 37,5 mm dan pada anak di bawah 9 bulan adalah
17,5 mm. Perbedaan inilah yang memungkinkan lebih cepat terjadinya infeksi pada anak
dibawah 9 bulan karena secret lebih cepat masuk ke tuba eutachius dari hidung sehingga
kemungkinan anak untuk terkena infeksi telinga lebih besar seperti otitis media.
(Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Laring
Ukuran laring bayi sama pada laki-laki dan perempuan. Akan tetapi lebih kecil
perbandingannya dengan ukuran tubuh daripada laring dewasa. Pada bayi, kerangka tulang
rawang laring lebih lunak, dan ligamen yang menyangganya lebih longgar, membuat laring
lebih mudah mengempis jika mendapat tekanan negatif di bagian dalam. (Ballenger,1994)
Laporan Skenario 1
Kelompok 5
Bagian laring
Anak
Pubertas
Dewasa
Pria
Wanita
Pita suara
Panjang
Bag.
6-8 mm
12-15 mm 17-23 mm
12,5-17 mm
3-4 mm
7-8 mm
11,5-16 mm
8-11,5 mm
3-4 mm
5-7 mm
5,5-7 mm
4,5-5,5 mm
3 mm
5 mm
8 mm
6 mm
6 mm
12 mm
19
13 mm
Membran
Bag. Kartilago
Glotis
Lebar
istirahat
Maksimum
Infraglotis
Sagital
5-7 mm
15 mm
25 mm
18 mm
Transversal
5-7 mm
15 mm
24 mm
17 mm
Jaringan epithel krang padat, lebih banyak dan lebih bervaskuler pada bayi, yang
cendrung
mengakumulasi
cairan
jaringan.
Hal
ini
merupakan
faktor
penting
penyebabterjadinya obstruksi daerah infraglotik dan supraglotik akibat edem inflamasi pada
anak kecil. (Ballenger,1994)
Beberapa struktur laring mempunyai perbedaan bentuk pada bayi. Epiglotis cendrung
berbentuk huruf omega, maka akan cendrung lebih besar untuk menutup vestibulum bila
terjadi edema.
ariepiglotik dibandingkan tepi epiglotis yang rata pada orang dewasa yang dapat
membantumenahan plikaariepiglotik tersebut pada posisi lateral. (Ballenger,1994)
Laporan Skenario 1
Kelompok 5
OTITIS MEDIA
Djafaar dkk dalam Buku Ajar THT-KL menyebutkan otitis media ialah peradangan
sebagian atau seluruh mukosa telinga, tuba Eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid.
(Djafaar,dkk:2007)
Epidemiologi
Faktor-faktor yang mempenfaruhi angka kejadian otitis media yaitu usia, jenis kelamin,
ras, latar belakang genetik, status sosioekonomi, jenis susu saat bayi, derajat paparan
terhadap rokok, ada tidaknya alergi pada sistem respirasi, musim, dan status vaksinasi
pneumokokus
Laporan Skenario 1
Kelompok 5
Patogenesis
Sembuh/
normal
Gangguan tuba
Tekanan negative
telinga tengah
Efusi
Etiologi:
Fungsi
tuba tetap
terganggu
Infeksi (-)
Infeksi
Fungsi tuba
tetap
terganggu
Infeksi (+)
Alergi
OME (otitis
media efusi)
Sembuh
OME
Laporan Skenario 1
Kelompok 5
Bakteri piogenik merupakan penyebab utama OMA (otitis media akut), seperti
Streptococcus
haemolyticus,
Stafilococcus
aureus,
pneumakokus.
Kadang-
kadang
Oklusi -
Tuba Eustachius
stadium
hiperemis
(stadium
supurasi)
stadium supurasi
Terbentuk
sekret
yang
mungkin
bersifat
superfisialis
hancur,
terbentuk
eksudat
stadium perforasi
Laporan Skenario 1
Kelompok 5
stadium resolusi
Bila peeforasi menetap dan sekret keluar terusmenerus atau hilang timbul OMSK
Pada bayi: suhu tinggi mencapai 39,5C (pada stadium supurasi), gelisah,
sukar tidur
Pada anak yang sudah dapat berbicara: nyeri di dalam telinga dan demam,
d. Diagnosis
Kerschner mengatakan diagnosis OMA membutuhkan:
a. Penggalian anamnesis mengenai tanda dan gejala
b. Adanya efusi telinga tengah (MEE)
c. Tanda dan gejala inflamasi telinga tengah
Laporan Skenario 1
Kelompok 5
e.
Terapi
Tergantung pada stadium penyakitnya
Stadium oklusi
Stadium
presupurasi
o Antibiotik
(minimal
selama
hari)
secara
IM
sehingga
didapat
terjadi
mastoiditis
terselubung,
40 mg/kgBB/hari
Laporan Skenario 1
Kelompok 5
o Antibiotika
o Miringotomi (bila membran timpani masih
utuh): dapat menghindari ruptur, gejala
klinis lebih cepat hilang
o Miringotomi ialah tindakan incisi pada pars
tensa
drenase
membran
sekret
itmpani
dari
agar
telinga
terjadi
tengah
ke
telinga luar
o Miringotomi memiliki banyak komplikasi (ex.
Perdarahan, trauma pada n. Facialis)
tidak perlu dilakukan bila terapi antibiotik
yang adekuat dapat diberikan
Stadium perforasi
Jika
tidak
resolusi
terjadi
Laporan Skenario 1
Kelompok 5
(OMSK)
Laporan Skenario 1
Kelompok 5
Diagnosis OMA:
Tanda dan gejala dengan onset akut
Efusi telinga tengah (+)
Tanda dan gejala inflamasi telinga tengah (+)
Nyeri
(+)
Rekomendasikan pengobatan
untuk mengurangi nyeri pada
pasien
Apakah observasi
merupakan pilihan tepat
terapi awal? *
Tidak
Tidak
Iya
Iya
Anak diobservasi selama 48-72
jam dg jaminan follow-up yang
tepat
Anak ditatalaksana
dengan terapi antibiotik
yang tepat
Apakah pasien berespon terhadap intervensi tatalaksana awal (baik terapi antibiotik
maupun observasi)?
Iya
Tidak
Follow-up pasien dg
tepat
Menilai kemungkinan
penyebab lain dari keluhan
pasien dan tangani dg tepat
Laporan Skenario 1
Kelompok 5
d.
Komplikasi
Abses sub-periosteal hingga meningitis dan abses otak merupakan komplikasi OMA
sebelum ada terapi antibiotik.
Setelah ada antibiotik, semua jenis komplikasi didapat sebagai komplikasi OMSK.
Laporan Skenario 1
Kelompok 5
COMMON COLD
1. Definisi
Common Cold ialah infeksi primer di nasofaring dan hidung yang sering dijumpai
pada bayi dan anak. Pada infeksi lebih luas, mencakup daerah sinus paranasal, telinga tengah
samping nasofaring disertai demam tinggi. (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
2. Faktor predisposisi
Kelelahan, gizi buruk, anemia dan kedinginan, walaupun umur bukan faktor yang
menentukan daya rentan, namun infeksi sekunder purulen lebih banyak dijumpai pada anak
kecil. Penyakit ini lebih sering diderita pada pergantian musim(Rusmarjono, Soepardi, 2007).
3. Etiologi
Berbagai virus yang berbeda menyebabkan terjadinya common cold:
Rhinovirus
Virus influenza A, B, C
Virus Parainfluenza
Common cold biasanya tidak berbahaya dan kebanyakan dapat sembuh dengan
sendirinya. Belum diketahui apa yang menyebabkan seseorang lebih mudah tertular pilek
pada suatu saat dibandingkan waktu lain. Kedinginan tidak menyebabkan pilek atau
meningkatkan resiko untuk tertular. Kesehatan penderita secara umum dan kebiasaan makan
seseorang juga tampaknya tidak berpengaruh. (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Laporan Skenario 1
Kelompok 5
4. Perjalanan Penyakit
Pada stadium prodromal yang berlangsung beberapa jam, didapatkan rasa panas,
kering dan gatal di dalam hidung. Kemudian akan timbul bersin berulang-ulang, hidung
tersumbat dan ingus encer, yang biasanya disertai dengan demam dan nyeri kepala.
(Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Permukaan mukosa hidung tampak merah dan membengkak. Sumbatan hidung
menyebabkan anak bernafas melalui mulut dan anak menjadi gelisah. Pada anak yang lebih
besar kadang-kadang didapat rasa nyeri pada otot, pusing dan anoreksia. Kongesti hidung
disertai selaput lendir tenggorok yang kering menambah rasa nyeri. (Rusmarjono, Soepardi,
2007).
Stadium pertama biasanya terbatas tiga hingga lima hari. Secret hidung mula-mula
encer dan banyak, kemudian menjadi mukoid, lebih kental dan lengket. Penyakit dapat
berakhir di titik ini. Namun pada kebanyakan pasien, penyakitnya berlanjut ke stadium invasi
bakteri sekunder dicirikan oleh suatu rinore purulen, demam dan sering kali sakit
tenggorokan. Mukosa yang merah, bengkak dan ditutupi secret mudah diamati intranasal.
Sensasi kecap dan bau berkurang. Mengendus dan menghembuskan napas secara berulang
menyebabkan kemerahan lubang hidung dan bibir atas. Stadium ini dapat berlangsung hingga
dua minggu, sesudahnya pasien akan sembuh tanpa menemui dokter. Dokter biasanya hanya
dihubungi bilamana terjadi komplikasi lanjut seperti pneumonia, laryngitis, infeksi telinga
tengah atau sinusitis purulen.Penyebaran flu yang disebabkan oleh berbagai virus terutama
melalui infeksi droplets dan bukan karena tertelan. (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Laporan Skenario 1
Kelompok 5
6. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan tandanya.
7. Pengobatan
Usahakan untuk beristirahat dan selalu dalam keadaan hangat dan nyaman, serta
diusakahan agar tidak menularkan penyakitnya kepada orang lain.
Jika terdapat demam atau gejala yang berat, maka penderita harus menjalani tirah
baring di rumah.
Minum banyak cairan guna membantu mengencerkan sekret hidung sehingga lebih
mudah untuk dikeluarkan/dibuang.
Untuk meringankan nyeri atau demam dapat diberikan asetaminofen atau ibuprofen.
Menghirup uap atau kabut dari suatu vaporizer bisa membantu mengencerkan sekret
dan mengurangi sesak di dada.
Mencuci rongga hidung dengan larutan garam isotonik bisa membantu mengeluarkan
sekret yang kental
Batuk merupakan satu-satunya cara untuk membuang sekret dan debris dari saluran
pernafasan. Oleh karena itu sebaiknya batuk tidak perlu diobati, kecuali jika sangat
mengganggu
dan
menyebabkan
penderita
susah
tidur.
Laporan Skenario 1
Kelompok 5
pemberian antitusif (misal kodein) karena terjadi depresi pusat batuk dan pusat
muntah,
mudah
terjadi
pengumpulan
secret
sehingga
mudah
terjadi
Antibiotik tidak efektif untuk mengobati common cold, antibiotik hanya diberikan jika
terjadi suatu infeksi bakteri.
Pada bayi cara terbaik penyaluran secret ialah dengan mengusahakan posisi bayi
prone position, pada anak besar dapat diberikan tetes hidung larutan efedrin 1%.
(Rusmarjono, Soepardi, 2007).
8. Komplikasi
Pneumonia
Laryngitis
Infeksi telinga tengah (otitis media)
Sinusitis purulen (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
9. Pencegahan
Sebaiknya sering mencuci tangan, membuang tisu kotor pada tempatnya serta
membersihkan permukaan barang-barang.
Vitamin C dosis tinggi (2000 mg per hari) belum terbukti bisa mengurangi resiko
tertular atau mengurangi jumlah virus yang dikeluarkan oleh seorang penderita.
(Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Laporan Skenario 1
Kelompok 5
SINUSITIS
Sinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktek dokter seharihari, bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di seluruh
dunia.Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus parasanal. Umumnya disertai
atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut rinosinusitis. Penyebab utamanya ialah
selesma (common cold) yang merupakan infeksi virus, yang selanjutnya dapat diikuti oleh
infeksi bakteri (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua
sinus parasanal disebut pansinusitis. Yang paling sering terkena ialah sinus etmoid dan
maksila, sedangkan sinus frontal lebih jarang dan sinus sfenoid lebih jarang lagi.
(Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Sinus maksila disebut juga antrum Highmore, letaknya dekat akar gigi rahang atas,
maka infeksi gigi mudah menyebar ke sinus, disebut sinusitis dentogen. Sinusitis dapat
menjadi berbahaya karena menyebabkan komplikasi ke orbita dan intrakranial, serta
menyebabkan peningkatan serangan asma yang sulit diobati (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Laporan Skenario 1
Kelompok 5
Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor penting penyebab sinusitis sehingga
perlu dilakukan adenoidektomi untuk menghilangkan sumbatan dan menyembuhkan
rinosinusitisnya. Hipertrofi adenoid dapat didiagnosis dengan foto polos leher posisi lateral
(Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara dingin dan
kering serta kebiasaan merokok. Keadaan ini lama-lama menyebabkan perubahan mukosa
dan merusak silia (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
2. Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya klirens
mokosiliar (muccociliary clearance) di dalam KOM. Mukus juga mengandung substansi
antimikrobial dan zat-zat yang bersifat sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman
yang masuk bersama udara pernafasan (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi edema,
mukosa yang berhadapan akan saling bertemu seingga silia tidak dapat bergerak dan ostium
tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negatif di dalam rongga sinus yang menyebabkan
terjadinya transudasi, mula-mula serous. Kondisi ini bisa dianggap sebagai rinosinusitis nonbacterial dan biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan (Rusmarjono,
Soepardi, 2007).
Bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan media baik
untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri. Sekret menjadi purulen. Keadaan ini disebut
sebagai rinosinusitis akut bakterial dan memerlukan terapi antibiotik (Rusmarjono, Soepardi,
2007).
Jika terapi ini tidak berhasil (misalnya karena ada faktor predisposisi), inflamasi
berlanjut terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang. Mukosa semakin membengkak
dan ini merupakan rantai siklus yang terus berputar sampai akhirnya perubahan mukosa
menjadi kronik yaitu hipertrofi, polipoid, atau pembentuka polip dan kista. Pada keadaan ini
mungkin diperlukan tindakan operasi (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Laporan Skenario 1
Kelompok 5
Konsesus internasional tahun 1995 membagi rinosinusitis hanya akut dengan batas
sampai 8 minggu dan kronik jika lebih dari 8 minggu. Konsensus tahun 2004 membagi
menjadi akut dengan batas sampai 4 minggu, subakut antara 4 minggu sampai 3 bulan dan
kronik jika lebih dari 3 bulan (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Sinusitis kronik dengan penyebab rinogenik umumnya merupakan dengan lanjutan
dari sinusitis akut yang tidak terobati secara adekuat. Pada sinusitis kronik adanya faktor
predisposisi harus dicari dan diobati secara tuntas (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Menurut berbagai penelitian, bakteri utama yang ditemukan pada sinusitis akut adalah
Streptococcus Pneumonia (30-50%). Hemophylus Influenzae (20-40%) dan Moraxella
Catarhallis (4%). Pada anak, M. Catarhallis lebih banyak ditemukan (20%). Pada sinusitis
kronik, faktor predisposisi lebih berperan, tetapi umumnya bakteri yang ada lebih condong ke
arah bakteri negatif gram dan anaerob (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
4. SINUSITIS DENTOGEN
Merupakan salah satu penyebab penting sinusitis kronik.
Dasar sinus maksila adalah prosesus alveolaris tempat akar gigi rahang atas, sehingga
sinusmaksila hanya terpisahkan oleh tulang tipis dengan akar gigi, bahkan kadang-kadang
tanpa tulang pembatas. Infeksi gigi rahang atas seperti infeksi apikal akar gigi atau inflasi
jaringan periodontal muda menyebar secara langsung ke sinus, atau melalui pembuluh darah
dan limfe (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Harus curiga adanya sinusitis dentogen pada sinusitis maksila kronik yang mengenai
satu sisi dengan ingus purulen dan napas berbau busuk. Untuk mengobati sinusitisnya, gigi
yang terinfeksi arus dicabut atau dirawat, dan pemberian antibiotik yang mencakup bakteri
anaerob. Seringkali juga perlu dilakukan irigasi sinus maksila (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
5. Gejala Sinusitis
Laporan Skenario 1
Kelompok 5
Keluhan utama rinosinusitis akut ialah hidung tersembut disertai nyeri/rasa tekanan
pada muka dan ingus purulen, yang seringkali turun ke tenggorokan (post nasal drip). Dapat
disertai gejalah sistemik seperti demam dan lesu (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Keluhan nyeri dan rasa tekanan di daera sinus yang terkena merupakan ciri khas
sinusitis akut, serta kadang-kadang nyeri juga terasa di tempat lain (referred pain). Nyeri pipi
menandakan sinusitis maksila, nyeri di antara atau di belakang ke dua bola mata
menandakan sinusitis etmoid, nyeri di dahi atau seluruh kepala menandakan sinusitis frontal.
Pada sinusitis sfenoid, nyeri dirasakan di verteks, oksipital, belakang bola mata dan daerah
mastoid. Pada sinusitis maksila kadang-kadang adalah nyeri alih ke gigi dan telinga
(Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Gejala lain adalah sakit kepala, hipossmia/anosmia, halitosis, post nasal drip yang
menyebabkan batuk dan sesak napas pada anak (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Keluhan sinusitis kronik tidak khas sehingga sulit di diagnosisi. Kadang-kadang
hanya 1 atau 2 dari gejala-gejala di bawa ini yaitu sakit kepala kronik, post nasal drip, batuk
kronik, gangguan tenggorokan, gangguan telinga akibat sumbatan kronik muara tuba
Eustachius, gangguan ke paru seperti bronkitis (sino-bronkitis) bronkiektasis dan yang
penting adalah serangan asma yang meningkat sulit diobati. Pada anak, mukopus yang
tertelan dapat menyebabkan gastroenteritis (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
6. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior, pemeriksaan nasoendoskoi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini. Tanda khas ialah
adanya pus di meatus medius (pada sinusitis maksila dan etmoid anterior dan frontal) atau di
meatus superior (pada sinusitis etmoid posterior dan sfenoid) (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Pada rinosinusitis akut, mukosa edema dan hiperemis. Pada anak sering ada
pembengkakan dan kemerahan di daerah kantus medius (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos atau CT scan. Foto polos
posisi waters, PA dan lateral, umumnya hanya mampu menilai kondisi sinus-sinus besar
Laporan Skenario 1
Kelompok 5
seperti sinus maksila dan frontal. Kelainan akan terlihat perselubungan, batas udara-cairan
(air fluid level) atau penebalan mukosa (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
CT scan sinus merupakan gold standartd diagnosis sinusitis karena mampu menilai
anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus secara keseluruhan dan
perluasannya. Namun karema hanya dikerjakan sebagai penunjang diagnosis sinusits kronik
yang tidak membaik dengan pengobatan dan pra-operasi sebagai panduan operator saat
melakukan operasi sinus (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Pada pemeriksaan transiluminasi sinus yang sakit menjadi suram atau gelap.
Pemeriksaan suda jarang digunakan karena sangat terbatas kegunaannya (Rusmarjono,
Soepardi, 2007).
Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi dilakukan dengan mengambil sekret
dari meatus medius/superior, untuk mendapat antibiotikyang tepat guna. Lebih baik lagi bila
diambil sekret yang keluar dari pungsi sinus maksila (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Sinuskopi dilakukan dengan pungsi yang menembus dinding medial sinus maksila
melalui meatus inferior, dengan alat endoskop, bisa dilihat kodisi sinus maksila yang
sebenarnya, selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus untuk terapi (Rusmarjono, Soepardi,
2007).
7. Terapi
Tujuan terapi sinusitis ialah 1) mempercepat pertumbuhan 2) mencegah komplikasi
dan 3) mencegah perubahan menjadi kronik. Prinsip pengobatan ialah membuka sumbatan di
KOM sehingga drenase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara alami (Rusmarjono, Soepardi,
2007).
Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut bakterial,
untuk menghilangkan infeksi dan embengkakan mukosa serta membuka sumbatan ostium
sinus. Antibiotik yang dipilih adalah golongan pinisilin seperti amoksisislin. Jika diperkirakan
kuman telah resisten atau memproduksi beta-laktamase, maka dapat diberikan amoksisilinklavulanat atau jenis sefalosporin generasi ke-2. Pada sinusitis antibiotik diberikan selam 1014 hari meskipun gejala klinik sudah hilang (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Laporan Skenario 1
Kelompok 5
Pada sinusitis kronik diberikan antibiotik yang sesuai untuk kuman negatif gram dan
anaerob.Selain dekongestan oral dan topikal, terapi lain dapat diberikan jika perlukan seperti
analgetik, mukolitik, steroid oral/topikal, pencucian rongga hidung dengan NaCl atau
pemanasan (diatermi). Antihistamin tidak rutin diberikan, karena sifat antikolinergiknya dapat
menyebabkan sekret jadi lebih kental. Bila ada alergi berat sebaiknya diberikan antihistamin
generasi ke-2. Irigasi sinus maksila atau Proesz displacement therapy juga merupaknan terapi
tambahan yang dapat bermanfaat. Imunoterapi dapat dipertimbangkan jika pasien menderita
kelainan alergi yang berat (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
8. Tindakan Operasi
Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF / FESS) merupakan operasi terkini untuk
sinusitis kronik yang memerlukan operasi. Tindakan ini telah menggantikan hampir semua
jenis bedah sinus terdahulu karena memberikan hasil yang lebih memuaskan dan tindakan
lebih ringan dan tindakan radikal (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Indikasinya berupa sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi adekuat,
sinusitis kronik disertai kista aau kelainan yang ireversibel, polip ekstensif, adanya
komplikasi sinusitis serta sinusitis jamur (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
9. Komplikasi
Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya antibiotik.
Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis kronik dengan
eksaserbasi akut, berupa komplikasi orbita atau intrakranial (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Kelainan orbita
etmoid
kemudian
Penyebaran
infeksi
frontal
terjadi
dan
melalui
terjadi
trombosis
sinus
kavernosus
Laporan Skenario 1
Kelompok 5
intrakranial.
Osteomielitis
dan
Paling
sering
abses biasanya
subperiostal.
ditemukan
osteomielitis
sinus
pada
maksila
anak-anak.
dapat
timbul
dan
Pada
fistula
sebelum
sinusitisnya
disembuhkan
Laporan Skenario 1
Kelompok 5
FARINGITIS
Definisi
Merupakan peradangan dinding faring yang dapat disebabkan oleh virus (40-60%), bakteri
(5-40%), alergi, trauma, toksin dan lain-lain (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
A. Faringitis
akut
1. Etiologi
Banyak
(Adenoviruses,
dan streptococcus
2. Epidemiologi
Infeksi virus pada traktus respirasi bagian atas menyebar melalui close contact dan
biasanya terjadi pada beberapa musim yaitu musim gugur, musim semi dan musim dingin
(Hayden, Turner, 2004) .
Laporan Skenario 1
Kelompok 5
Streptococcal faringitis tidak biasa terjadi sebelum umur 2-3 tahun, dan insiden
puncak terjadi pada awal tahun sekolah dan menurun pada akhir masa remaja dan akhir masa
dewasa (Hayden, Turner, 2004).
Penyakit sangat sering terjadi pada musim dingin dan musim semi dan menyebar pada
saudara kandung dan teman sekelas (Hayden, Turner, 2004).
Faringitis karena streptococcus grup C dan A. Haemolyticum sangat sering terjadi
antara masa remaja dan dewasa (Hayden, Turner, 2004).
Infeksi primer dari HIV juga bermanifestasi sebagai faringitis dan mononucleosislike sundrome (Hayden, Turner, 2004).
3. Patogenesis
Kolonisasi GABHS pada faring dapat menghasilkan gejala yang asimptomatik atau
gejala faringitis akut (Hayden, Turner, 2004) .
Protein M adalah faktor virulensi pertama dari GABHS dan memudahkan resistensi
pada fagosit oleh neutrofil polimorfonuklear. Tipe spesifik imunity berkembang selama
infeksi dan memberikan protektif imunity
a) Faringitis viral
Tanda dan gejala
Tanda dan gejala infeksi viral muncul secara perlahan-lahan, dan gejala yang sering
adalah rhinorea, batuk, mual, nyeri tenggorok, sulit menelan, dan diare (Hayden, Turner,
2004) .
Laporan Skenario 1
Kelompok 5
b) Faringitis bakteri
Streptococcus hemolitikus grup A merupakan penyebab faringitis akut pada dewasa
(15%) dan anak (30%) (Hayden, Turner, 2004).
Laporan Skenario 1
Kelompok 5
Terapi
1.
Antibiotik
Bila diduga penyebab faringitis akut adalah streptococcus hemolitikus grup A maka
diberikan antibiotik (penisillin G Banzatin 50000 U/ kgBB, IM dosis tunggal atau amoksisilin
50mg/kgBB dosis dibagi 3 kali /hari selama 10 hari. Pada dewasa diberikan 3x500 mg selama
6-10 hari atau eritromisin 4x500 mg/ hari.
2.
Kortikosteroid
Diberikan deksametason 8-16 mg, IM, 1 kali. Pada anak diberikan 0,08-0,3 mg/kgBB,
IM, 1 kali.
-
Analgetika
Kumur dengan air hangat atau antiseptik (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
c) Faringitis fungal
Biasanya disebabkan oleh infeksi candida pada mukosa rongga mulut dan faring
Laporan Skenario 1
Kelompok 5
ii.
Pemeriksaan fisik : Terdapat plak putih di orofaring dan mukosa laring lainnya
hiperemis (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Terapi
-
d) Faringitis gonorea
Hanya terdapat pada pasien yang melakukan kontak orogenital (Rusmarjono, Soepardi,
2007).
Terapi
Sefalosporin generasi ke-3, ceftriakson 250mg, IM (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
B. Faringitis
kronis
Laporan Skenario 1
Kelompok 5
Kaustik faring dengan zat kimia larutan nitras argenti atau dengan listrik
(electrocauter) Simptomatis : obat kukur atau tablet isap. Obat batuk antitusif atau
ekspektoran [bila perlu] (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
b. Faringitis kronik atrofi
Sering timbul bersamaan dengan rinitis alergi (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Tanda dan gejala
Tenggorok kering dan tebal serta bau mulut. Pemeriksaan fisik: tampak mukosa faring
ditutupi oleh lendir yang kental dan bila diangkat tampak mukosa kering (Rusmarjono,
Soepardi, 2007).
Terapi
Mengobati rinitis atrofi ditambah dengan obat kumur (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
C. Faringitis
spesifik
1. Faringitis leutika
Disebabkan karena adanya infeksi faring oleh treponema palidum (Rusmarjono,
Soepardi, 2007).
Gambaran klinis
timbul
bila
infeksi
terus
Jarang
ditemukan.
Terdapat
eritema
pada
Laporan Skenario 1
Kelompok 5
Stadium tertier
2. Faringitis tuberculosis
Merupakan proses sekunder dari tuberculosos paru. Cara infeksi eksogen yaitu
koontak dengan sputum atau inhalasi kuman melalui udara. Cara infeksi endogen yaitu
melalui darah pada tuberculosis milier (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Gejala
Keadaan umumpasien buruk karena adanya anoreksia dan odinofagia, nyeri tenggorok
yang hebat, nyeri di telinga (otalgia), disertai pembesaran kelenjar linfa sevical (Rusmarjono,
Soepardi, 2007)
Diagnosis
Diagnosis dibuat dengan mengidentifikasi adanya infeksi GABHS. Manifestasi klinis
infesi streptococcus dan infeksi virus terlihat sangat tumpang tindih.
Kultur tenggorok
merupakan gold standar yang tidak sempurna untuk diagnosis streptococcus faringitis. hasil
kultur yang positif palsu dapat terjadi jika organisme lain tidak dapat diidentifikasi sebagai
GABHS, dan anak sebagai pembawa streptococcus dapat juga mempunyai hasil kultur yang
positif. Hasil kultur yang negatif palsu melambangkan variasi dari penyebab, termasuk
inadekuatnya specimen swab tenggorokan dan pasien secara sembunyi-sembunyi
menggunakan antibiotik. kekhususan rapid tes untuk mendeteksi antigen streptococcus grup
A tinggi, sehingga jika rapid tes positif, maka kultur tenggorok tidak perlu dan dapat
mengindikasikan terapi yang tepat (Hayden, Turner, 2004)
Komplikasi
Infeksi traktus respiratori oleh virus merupakan faktor predisposisi munculnya infeksi
pada telinga tengah. Komplikasi dari streptococcus faringitis termasuk komplikasi lokal
supuratif , seperti abses parafaringeal, dan penyakit nonsupuratif seperti demam reumatik
akut dan acute postinfectious glomerulonephritis (Hayden, Turner, 2004)
Pencegahan
Laporan Skenario 1
Kelompok 5
Laporan Skenario 1
Kelompok 5
LARINGITIS
Merupakan peradangan local atau luas pada laring karna iritasi akut maupun kronis yang
dapat disebabkan oleh bahan mekanik, kimia, alergi atau agen infeksi. (Depkes,2004)
Iritasi pada laring biasanya menyebabkan kemerahan(erythema) dan
pembengkakan
(edema), dan biasanya kemerahan dan pembengkakan ini akan hilang ketika agen iritan
dihilangkan dari laring. (Depkes,2004)
Dua type utama dari laryngitis yaitu yang bersifat akut dan kronis;
1. Laryngitis Akut
o Jika kontak dengan iritan secara tiba-tiba dan bersifar short-lived.
o Laryngitis akan terjadi secara tiba-tiba dan akan menghilang ketika iritan menghilang
o Penyebab dari laryngitis akut ini adalah; infeksi saluran napas atas karna bakteri,
virus, fungi atau jamur.
Penyebab lain adalah polusi udara konsentrasi tinggi, sering terexpose asap rokok,
luka yang menyebabkan trauma pada laryng. (Depkes,2004)
2. Laryngitis Kronis
o Jika terjadi expose pada iritan yang memperpanjang, Laringitis akan tetap terjadi
selama iritan masih ada. (Depkes,2004)
o Beberapa penyebab laringitis kronik adalah;
1. Alergi
2. Merokok
3. Pemakaian marijuana(obat-obatan terlarang)
4. Pemakaian steroid hisap atau oral inhaler lainnya
5. infeksi beberapa fungi dan bakteri
6. Batuk kronik
7. Pemakaian suara berlebihan
Etiologi
2
Laporan Skenario 1
Kelompok 5
Faktor Predisposisi
Laporan Skenario 1
Kelompok 5
Perubahan cuaca/suhu
Gizi kurang/malnutrisi
Imunisasi tidak lengkap,dan
Pemakaian suara berlebihan (Mansjoer,2002)
Gejala Laryngitis
Suara serak
Merupakan gejala yang paling sering ditemukan pada penyakit ini. Suara serak ini
disebabkan karna adanya pembengkakan pada vocal fold. (Depkes,2004)
Pembengkakan
Pembengkakan menyebabkan suara menjadi rendah karna menghalangi kemampuan
vocal fold untuk melakukan fibrasi dan konduksi suara. Pada kasus pembengkakan yang
lebih parah dapat menyebabkan suara hilang. (Depkes,2004)
Gejala lain ynag sering adalah;
1. Sakit tenggorokan,
2. Tenggorokan terasa kering,
3. Tenggorokan terasa gatal,
4. Sensasi adanya obstruksi/sesuatu pada tenggorokan, dan
5. Susah bernapas.
Gejala ini tidak selalu didapatkan pada keluhan laringitis. Selain itu, keluhan ini dapat
dijumpai pada kelainan selain laryngitis. (Depkes,2004)
Diagnosis
Diagnosa ditegakan berdasarkan gejala dan tanda yang ada (Depkes,2004)
Laporan Skenario 1
Kelompok 5
Pengobatan
Laporan Skenario 1
Kelompok 5
Steroid dapat diberikan untuk mengatasi edema, iritasi maupun inflamasi pada laring.
Akan tetapi pemberian steroid ini masih kontroversi.
Laporan Skenario 1
Kelompok 5
EPIGLOTTITIS
1. Etiologi
-
H.influenzae tipe b
A Streptococcus
Belum ditemukan data yang menyebutkan bahwa virus dapat menyebabkan epiglottitis
(Harrison,2008)
2. Manifestasi Klinis
-
pada anak: demam tinggi, nyeri tenggorokan berat, takikardi, toksisitas sistemik, serta
mengeluarkan liur selama duduk gejala <24 jam
gejala obstruksi jalan napas juga dapat terlihat dengan progresifitas yang cepat
pada dewasa: nyeri tenggorok dapat berlangsung hingga 1-2 hari diikuti dengan dispneu,
drooling, dan stridor (Harrison,2008)
3. Pemeriksaan fisik:
2
Laporan Skenario 1
Kelompok 5
distress pernapasan sedang hingga berat, dengan restraksi dinding dada dan stridor
(Harrison,2008)
4. Pemeriksaan Penunjang
-
5. Terapi
Laporan Skenario 1
Kelompok 5
karena angka resistensi terhadap ampicillin meningkat sangat pesat beberapa tahun
terakhir ini maka direkomendasikan terapi dengan -lactam / kombinasi inhibitor lactamase atau chepalosporin generasi kedua atau ketiga
Pada pasien yang alergi terhadap -lactam diberikan ampicillin/sulbactam,
cefuroxime, cefotaxime, atau ceftriaxone, dengan clindamycin dan TMP-SMX
(Harrison,2008)
Laporan Skenario 1
Kelompok 5
TONSILITIS
Tonsilitis adalah Peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin
waldeyer (Soepardi dkk,2007). Cincin waldeyer yang termasuk dalam sistem pertahan tubuh
terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam rongga mulut yaitu: Tonsil faringeal
(adenoid), tonsil palatina, tonsil lingual, tonsil tuba eustachius. Pada penyakit ini secara
umum penyebarannya infeksinya melalui droplet yang terhirup dalam sistem pernapasan,
tangan yang tidak steril dan juga ciuman (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Klasifikasi Tonsilitis
Penyakit Tonsilitis diklasifikasikan dalam 3 jenis tonsilitis.:
TONSILITIS
Tonsilitis Akut
Tonsilitis
Membranosa
Tonsilitis Viral
Tonsilitis Difteri
Tonsilitis
Bakterial
Tonslitis Septik
Tonsilitis Kronik
Angina Plaut
Vincent
Penyakit Kelainan
Darah
Laporan Skenario 1
Kelompok 5
A. Tonsilitis Akut
Etiologi
Tonsilitis Viral
Virus Eipstein
Tonsilitis Bakteri
-Kuman grup A Streptokokus
Barr.Hemofilus
beta nhemolitikus(penyebab
influenzae(penyebab
tersering)
-pneumokokus, streptokokus
piogenes
-Masa inkubasi 2-4 hari.
Cold
Terapi
kelenjar submandibula
Antibiotik spektrum lebar
penisilin, eritromisin.
Komplikasi
disinfektan)
-Pada anak(otitis media akut,
sinusitis, abses peritonsil,
abses parafaring, bronkhitis,
glomerulonefritis.
-Dalam jangka lama dapat
menyebabkan PJR
Laporan Skenario 1
Kelompok 5
B. Tonsilitis Membranosa
Jenis
1.Tonsilitis Difteri
Etiologi
-Kuman Coryne bacterium
diphteria(digunakan
sebagai penegakan
diagnosis dari jenis ini
dengan swab)
-Sering diemukan pada
anak-anak < 10 tahun dan
frekuensi tertinggi pada
usia 2-5 tahun
2. Tonsilitis Septik
Terapi
-Anti difteri serum
(ADS) dosis 20.000100.000 unit tergantung
dari umur dan beratnya
penyakit
-Antibiotik Penisilin
atau eritromisin 25-50
mg per kg BB dibagi
dalam 3 dosis selama 14
hari
-Kortikosteroid 1,2 mg
per kg BB per hari.
Antipiretik untuk obat
somtomatisnyaIstirahat
ditempat tidur 2-3
minggu
-Streptokokus hemolitikus
yang terdapat dalam susu
sapi sehingga dapat timbul
Komplikasi
-Miokarditis
-Kelumpuhan otot
palatum mole, otot mata
untuk akomodasi. Otot
laring dan faring
sehingga menimbulkan
kesulitan menelan
-Komplikasi keginjal
Laporan Skenario 1
Kelompok 5
3. Angina Plaut
epidemi
-Spirochaeta atau
Vincent
triponema (sering
didapatkan pada orang
yang higiene mulutnya
kurang dan dengan
defisiensi vitamin C)
submandibula
a.Gejala leukimia akut
darah
Sering terjadi
predisposisnya
akut, angina
:perdarahan(epistaksis),
Laporan Skenario 1
Kelompok 5
Laporan Skenario 1
Kelompok 5
stadium tonsillitis:
a. stadium 0 ( tidak ada gambaran tonsil)
b. stadum 1+ ( tonsil dalam fossa)
c. stadium 2+ ( obstruksi <50%)
d. 3+ (>50% obstruksi)
e. 5+ ( tonsil saling bersentuhan)
C. Tonsilitis Kronis
Ada beberapa faktor predisposis yang dapat mnimbulkan keadaan tonsilitis kronis yakni:
1. Rangsangan menahun dari rokok, jenis makanan
2. Higiene mulut yang buruk
3. Pengaruh cuaca
4. Kelelhan fisik
5. Pengobatan tonsilitis berulang akibat tidak adekuatnya pengobatan
Untuk Etiologi hampir sama dengan tonsilits akut tapi karena penagruh faktor predisposisi
diataslah yang memperberatnya. (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Laporan Skenario 1
Kelompok 5
1. Patologi
Faktor-faktor predisposisi
Infeksi Berulang
Pengikisan epitel
mukosa serta jaringan
limfoi
Kripte
melebar
Menimbulkan perlekatan
dengan jaringan disekitar
fossa tonsilaris
Laporan Skenario 1
Kelompok 5
3. Terapi
Terapi lokal untuk meningkatkan higiene mulut dan penggunaan obat kumur atau obat hisap
Indikasi tonsilektomi apabila berulang dan dapat menggangu saluran nafas (Rusmarjono,
Soepardi, 2007).
4. Komplikasi
Ada beberapa komplikasi yang dapat ditimbulkan seperti:
1. Otitis media, rinitis kronik, dan sinusitis( berlangsung secara kontinuitatum)
2. Dapat terjadi endokarditis, artritis, miositis, nefritis,uveitis, iridosilitis, dermatitis
pruiritis urtikaria dan furunkulosis( penyebaran melalui hematogen maupun limfogen)
3. Gejala sumbatan serta kecurigaan neoplama (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
5. Indikasi Tonsilektomi
Menurut The American Academy of Otolaryngology Head and Neck Surgery Clinical
Indicators Compendium tahun 1995 dikatakan;
1. Serangan tonsilitis lebih dari tiga kali pertahun walaupun terapi yang adekuat
2. Tonsil hipertopi yang menimbulkan maloklusi gigi dan meyebabkan gangguan
pertumbuhan orofasial
3. Sumbatan jalan nafas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan jalan nafas, sleep
apnea, gangguan menelan, gangguan berbicara dan cor pulomonale.
4. Riniti dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang tidak berhasil
hilang dengan pengobatan
5. Nafas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan
6. Tonsilitis berulang yang disebabkan oleh kuman bakteri grup A streptococcus beta
hemoliticus
7. Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan
8. Otitis media efusa/otitis media supuratif (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Laporan Skenario 1
Kelompok 5
HIPERTROFI ADENOID
1.
Definisi
Adenoid ialah massa yang terdiri jaringan limfoid yang terletak pada dinding
posterior nasofaring, termasuk dalam rangkaian Ring of Waldeyer. Secara fisiologis, adenoid
ini membesar pada anak 3 tahun dan kemudian mengecil dan menghilang samasekali pada
usia 14 tahun. Jika sering terjadi infeksi saluran pernafasan atas maka akan terjadi hipertrofi
adenoid. Akibat hipertrofi ini akan menyebabkan tersumbatnya koana dan tuba eustasius
(Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Akibat sumbatan tersebut, terjadi:
1. Fasies adenoid yaitu tampak hidung kecil, arkus faring tinggi, insisivus prominen
2. Faringitis dan bronkitis
3. Gangguan ventilasi dan drainase.
Selain itu sumbatan pada tuba eustasius juga menyebabkan terjadinya otitis media akut
berulang, otitis media kronik dan menjadi otitis media supuratif kronik. Akibat hipertrofi
adenoid juga akan menimbulkan gangguan tidur, tidur ngorok, retardasi mental, dan
pertumbuhan fisik berkurang (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
2. Diagnosis
Diagnosa ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala klinik, pemeriksaan rinoskopi anterior
dengan melihat tertahannya gerakan velum palatum mole pada waktu fonasi, pemerikasaan
ronoskopi posterior (pada anak biasanya sulit), dan pemeriksaan radiologik dengan membuat
foto lateral kepala (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
Laporan Skenario 1
Kelompok 5
a. stadium 0 (absent)
b. stadium 1 ( obstruksi <25%)
c. stadium 2+ ( obstruksi 25-50%)
d. stadium 3+ ( obstruksi 50-75%)
e. stadium 4+ ( obstruksi >75%)
3. Terapi
Pada hipertrofi adenoid dilakukan dengan terapi bedah adenoiktomi dengan cara
kerutase memakai adenotom (Rusmarjono, Soepardi, 2007).
INDIKASI ADENOIDEKTOMI
a. Sumbatan
b. Infeksi
sumbatan
hidung
yang
Adenoiditis kronis/berulang
Otitis media kronis
Otitis media akut berulang
menyebabkan
c. Kecurigaan
neoplasma
4. Komplikasi
Laporan Skenario 1
Kelompok 5
Laporan Skenario 1
Kelompok 5
1. Epidemiologi
Hingga saat ini TB masih merupakan masalah utama kesehatan masyarakat Indonesia, hal ini
didukung oleh fakta-fakta antara lain:
Indonesia merupakan negara dengan pasien TB terbanyak ke-3 di dunia setelah India dan
Cina. Diperkirakan jumlah pasien TB di Indonesia sekitar 10% dari total jumlah pasien
TB didunia.
Tahun 1995, hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) menunjukkan bahwa
penyakit TB merupakan penyebab kematian nomor tiga (3) setelah penyakit
kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan pada semua kelompok usia, dan nomor
satu (1) dari golongan penyakit infeksi.
Hasil Survey Prevalensi TB di Indonesia tahun 2004 menunjukkan bahwa angka
prevalensi TB BTA positif secara Nasional 110 per 100.000 penduduk.
Laporan Skenario 1
Kelompok 5
Laporan Skenario 1
Kelompok 5
terhadap gejala atau tanda klinis yang dijumpai. Pedoman tersebut secara resmi digunakan
oleh program nasional penanggulangan tuberkulosis untuk diagnosis TB anak.
Setelah dokter melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang,
maka dilakukan pembobotan dengan sistem skor. Pasien dengan jumlah skor yang lebih atau
sama dengan 6 (>6), harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan mendapat OAT (obat anti
tuberkulosis). Bila skor kurang dari 6 tetapi secara klinis kecurigaan kearah TB kuat maka
perlu dilakukan pemeriksaan diagnostik lainnya sesuai indikasi, seperti bilasan lambung,
patologi anatomi, pungsi lumbal, pungsi pleura, foto tulang dan sendi, funduskopi, CT-Scan,
dan lain lainnya.
Catatan :
Laporan Skenario 1
Kelompok 5
Batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk kronik lainnya
seperti Asma, Sinusitis, dan lain-lain.
Jika dijumpai skrofuloderma (TB pada kelenjar dan kulit), pasien dapat langsung
didiagnosis tuberkulosis.
Berat badan dinilai saat pasien datang (moment opname).--> lampirkan tabel badan
badan.
Foto toraks toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak
Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi lokal timbul < 7 hari setelah penyuntikan)
harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak.
Anak didiagnosis TB jika jumlah skor > 6, (skor maksimal 14)
Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut.
Laporan Skenario 1
Kelompok 5
Pada sebagian besar kasus TB anak pengobatan selama 6 bulan cukup adekuat.
Setelah pemberian obat 6 bulan, lakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan
penunjang. Evaluasi klinis pada TB anak merupakan parameter terbaik untuk menilai
keberhasilan pengobatan. Bila dijumpai perbaikan klinis yang nyata walaupun gambaran
radiologik tidak menunjukkan perubahan yang berarti, OAT tetap dihentikan.
Kategori Anak (2RHZ/ 4RH)
Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal 3 macam obat dan diberikan dalam
waktu 6 bulan. OAT pada anak diberikan setiap hari, baik pada tahap intensif maupun tahap
lanjutan dosis obat harus disesuaikan dengan berat badan anak.
Laporan Skenario 1
Kelompok 5
PNEUMONIA ANAK
1. Definisi
Pneumonia adalah suatu radang paru yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi
seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing (FKUI,2005)
2. Epidemiologi
Jenis dan keparahan penyakit dipengaruhi oleh beberapa factor termasuk umur, jenis
kelamin, musim dalam tahun tersebut dan kepadatan penduduk. Anak laki-laki terkena sedikit
lebih sering daripada anak perempuan. Angka serangan puncak untuk pneumonia virus adalah
antara umur 2 dan 3 tahun dan sedikit demi sedikit menurun sesudahnya. (Prober, 2004)
3. Klasifikasi
Pneumonia dibagi berdasarkan anatomis dan etiologinya.( Prober, 2004)
Anatomis :
1. Pneumonia Lobaris
2. Pneumonia Lobularis(Bronkopneumonia)
3. Pneumonia Interstitialis (Bronkiolitis)
(Prober, 2004)
4. Etiologi
a. Pneumonia Akibat Virus
Virus penyebab pneumonia yang paling sering adalah virus sinsitial pernapasan
(RSV), parainfluenza dan adenovirus. (Prober, 2004)
Laporan Skenario 1
Kelompok 5
Manifestasi Klinis :
Kebanyakan virus pneumonia didahului gejala-gejala pernapasan beberapa hari,
termasuk rhinitis dan batuk. Walaupun biasanya ada demam, suhu biasanya lebih rendah
daripada pneumonia bakteri. Takipnea, yang disertai dengan retraksi interkostal, subkostal,
dan suprasternal; pelebaran cuping hidung; dan penggunaan otot tambahan sering ada. Infeksi
berat dapat disertai dengan sianosis dan kelelahan pernapasan. (Prober, 2004)
b. Pneumonia Bakteri
Biasanya bukan merupakan infeksi yang lazim, bila tidak ada penyakit kronis yang
mendasari, seperti kistik fibrosis atau defisiensi imunologis. (Prober, 2004)
Pneumonia pneumokokus
Patogenesis :
Organisme pneumokokus diaspirasi ke dalam perifer paru dari jalan napas atas atau
nasofaringedema reaktif terjadi yang mendukung proliferasi organisme dan membantu
dalam penyebarannya ke dalam bagian paru yang berdekatan. (Prober, 2004)
Manifestasi Klinis :
Riwayat klasik dingin menggigil yang disertai dengan demam tinggi, batuk, dan nyeri
dada yang digambarkan pada orang dewasa dengan pneumonia pneumokokus mungkin
ditemukan pada anak yang lebih tua, tetapi jarang diamati pada bayi dan anak muda,
gambaran klinisnya jauh lebih bervariasi. (Prober, 2004)
Laporan Skenario 1
Kelompok 5
KESIMPULAN