PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ikterus neonatorum merupakan fenomena biologis yang timbul akibat
tingginya produksi dan rendahnya ekskresi bilirubin selama masa transisi pada
neonatus. Pada neonatus produksi bilirubin 2-3 kali lebih tinggi dibanding orang
dewasa. Hal ini dapat terjadi karena jumlah eritrosit pada neonatus lebih banyak
dan usianya lebih pendek (HTA, 2004).
Ikterus neonatorum diamati selama usia minggu pertama kelahiran pada
sekitar 60% bayi cukup bulan dan 80% bayi kurang bulan (Nelson, 2000). Ikterus
ini pada sebagian penderita dapat bersifat fisiologis dan pada sebagian lagi
mungkin bersifat patologis yang dapat menimbulkan gangguan yang menetap atau
menyebabkan kematian. Dokter harus secara tepat membedakan antara
hiperbilirubinemia fisiologik, yaitu peningkatan kadar bilirubin tak terkonjugasi
dan diperkirakan jinak, dan hiperbilirubinemia patologis, dengan bilirubin tak
terkonjugasi mencapai kadar yang sangat tinggi atau juga terjadi peningkatan
fraksi terkonjugasi (Rudolph, 2007).
Bilirubin dapat tertimbun hingga mencapai kadar toksik apabila terjadi
pembentukan berlebihan pigmen akibat hemolisis yang menyebabkan jenuhnya
mekanisme konjugasi bilirubin yang masih imatur pada neonatus, atau (pada
keadaan yang jarang) adanya defisiensi konjugasi bilirubin herediter. Ensefalopati
bilirubin (kernikterus) dan kerusakan otak irreversible merupakan penyulit serius
hemolisis akibat inkompatibilitas ABO feto-maternal dan defisiensi glukosa-6fosfat dehidrogenase eritrosit, dan bilirubin UDP glukuronil transferase (sindrom
Crigler-Najjar) (Rudolph, 2007). Ensefalopati bilirubin merupakan komplikasi
ikterus neonatorum yang paling berat. Selain memiliki angka mortalitas yang
tinggi, juga dapat menyebabkan gejala sisa berupa cerebral palsy, tuli nada tinggi,
paralisis dan displasia dental yang sangat mempengaruhi kualitas hidup (HTA,
2004).
B. Permasalahan
Dokter umum sebagai ujung tombak Sistem Kesehatan Nasional harus
bisa menegakkan diagnosis ikterus neonatorum yang selanjutnya menentukannya
fisiologis ataukah patologis dengan menggunakan sarana dan prasarana yang ada
untuk kemudian mengambil langkah penanganan yang tepat (rujukan). Dalam
menjalankan fungsi tersebut, mutlak diperlukan dasar pengetahuan tentang
metabolisme bilirubin, patofisiologi, penegakan diagnosis, follow-up dan
manajemen.
C. Tujuan Penulisan
Referat ini bertujuan untuk menerangkan metabolisme bilirubin dan
patofisiologinya, cara-cara penegakan diagnosis ikterus neonatorum dari yang
sederhana sampai laboratorium, bagaimana penatalaksanaannya, dan kapan pasien
boleh dipulangkan.
D. Manfaat
Diharapkan setelah membaca tulisan ini, dapat meningkatkan pengetahuan
dokter dalam masalah ikterus neonatorum.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
IKTERUS NEONATUS
A. Definisi
Ikterus adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan
mukosa karena adanya deposisi produk akhir katabolisme heme yaitu
bilirubin. Secara klinis, ikterus pada neonatus akan tampak bila
konsentrasi bilirubin serum lebih dari 5 mg/dL (HTA, 2004).
Neonatus adalah bayi baru lahir umur 0 hari sampai dengan 28 hari.
B. Epidemiologi
Di Indonesia, didapatkan data ikterus neonatorum dari beberapa rumah
sakit pendidikan. Sebuah studi cross sectional yang dilakukan di Rumah Sakit
Umum Pusat Rujukan Nasional Cipto Mangunkusumo selama tahun 2003,
menemukan prevalensi ikterus pada bayi baru lahir sebesar 58% untuk kadar
bilirubin diatas 5 mg/dL dan 29,3% dengan kadar bilirubin di atas 12 mg/dL pada
minggu pertama kelahiran. RS Dr. Sardjito melaporkan sebanyak 85% bayi cukup
bulan sehat mempunyai kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 23,8% memiliki kadar
bilirubin diatas 13 mg/dL. Pemeriksaan dilakukan pada hari ke 0, 3 dan 5,
didapatkan ikterus dan hiperbilirubinemia terjadi pada 82% dan 18,6% bayi cukup
bulan.
Sedangkan
pada
bayi
kurang
bulan,
dilaporkan
ikterus
dan
hiperbilirubinemia ditemukan pada 95% dan 56% bayi. Tahun 2003 terdapat
sebanyak 128 kematian neonatal (8,5%) dari 1509 neonatus yang dirawat dengan
24% kematian terkait hiperbilirubinemia (HTA, 2004).
C. Sintesis, Transpor, dan Metabolisme Bilirubin
Dalam keadaan fisiologik, 1-2 x 108 eritrosit dihancurkan setiap jamnya.
Ketika hemoglobin dihancurkan didalam tubuh, menghasilkan heme dan globin.
Globin diuraikan menjadi asam amino pembentuknya yang kemudian akan
digunakan kembali. Katabolisme heme dari semua protein heme dilaksanakan
dalam fraksi mikrosom sel retikuloendeotel oleh sebuah sistem enzim yang
kompleks yang dinamakan heme oksigenase. Satu gram hemoglobin diperkirakan
menghasilkan 35 mg bilirubin (Murray, 2003). Sekitar 85% bilirubin terbentuk
dari pemecahan sel darah merah tua setalah berusia 120 hari. Sekitar 15%
bilirubin berasal dari destruksi sel eritosit belum matang dalam sumsum tulang
(eritropoiesis tak efektif) dan dari hemoprotein lain seperti sitokrom P-450 dalam
sel hepar (Price & Wilson, 1995).
(Gambar 1) Bilirubin didalam plasma diikat lemah oleh albumin. Satu
gram albumin dapat mengikat 8,3 mg bilirubin, pasien dengan kadar albumin 3,5
g/dL dapat mengikat 29 mg/dL. Bilirubin direk (terkonjugasi) juga dapat terikat
oleh albumin tetapi kurang dari 1%nya saja. Rendahnya kadar albumin dan
kelainan konfigurasi albumin dapat mengurangi kapasitas angkut albumin
terhadap bilirubin indirek (tak terkonjugasi) (Nathan & Oski, 2003).
SEL RETIKULOENDOTEL
SEL
DARAH
MERAH
Hemoglobin
Fe
GLOBIN
HEME
Heme
oksigenase
Prekursor Heme
Myoglobulin
Protein heme
non-hemoglobin
Biliverdin
Biliverdin
reduktase
Bilirubin
SIRKULASI DARAH
Kompleks
Bilirubin Albumin
Gambar 1. Sintesis Bilirubin dari protein heme dalam sel retikuloendotel hepar, limpa, pleksus
koroid, sel epitel tubulus ginjal dan sumsum tulang (Nathan & Oski, 2000).
SEL
HEPAR
Bilirubin + Albumin
Bilirubin + P
Bilirubin + P
+
UDPGA
Glukuronil
Transferase
UDP +
EMPEDU
Bilirubin
diglukuronida
Bilirubin
monoglukuronida
+
UDPGA
Bilirubin diglukuronida
Gambar 2. Metabolisme bilirubin dalam sel hepar. P, protein pengikat intraseluler; UDPGA,
uridine diphosphoglucuronic acid; UDP, uridine diphosphate (Ganong, 2005).
Bilirubin masuk ke dalam sel hati diperdebatkan antara dua cara; pertama
berdifusi secara pasif dan berikatan dengan protein intraseluler; atau kedua,
difasilitasi oleh protein transport pada membran sel hepar. Ikatan protein dalam
sitoplasma hepar dengan bilirubin bertujuan untuk mencegah terjadinya refluks
bilirubin kembali ke plasma darah. Protein tersebut disebut dengan ligandin atau
protein Y dan protein Z. protein Y lebih banyak mengikat bilirubin daripada
protein Z, tetapi protein Z lebih berperan mengikat senyawa asam (Nathan &
Oski, 2003).
Glukoronil transferase mengkatalisis reaksi ester antara bilirubin dengan
asam glukuronat menjadi bilirubin monoglukuronat (BMG) dan bilirubin
diglukuronat (BDG). Sedangkan -glukuronidase adalah enzim dalam reticulum
endoplasma yang berfungsi sebaliknya yaitu mereduksi BMG dan BDG menjadi
bilirubin tak terkonjugasi. Aktifitas enzim glukuronil transferase dapat diinduksi
oleh sejumlah obat, misalnya fenobarbital.
Ekskresi BDG dalam hepar melibatkan dua tahapan; pertama pemindahan
BDG dari reticulum endoplasma halus ke membrane kanalikuler; kedua,
translokasi melewati membran menuju kanalikuler empedu. Proses pertama
dilakukan oleh system mikrotubulus sel hepar, sedangkan proses translokasi
membrane difasilitasi oleh proses aktif yang diaktifkan oleh ATP. Proses pertama
dapat ditekan oleh xenobiotik. Sedangkan defek genetic pada proses translokasi
membrane disebut dengan sindrom dubin johnson (Nathan & Oski, 2003).
Dalam keadaan fisiologis, seluruh bilirubin yang diekskresikan ke dalam
empedu berada dalam bentuk terkonjugasi (BDG). Apabila bilirubin terkonjugasi
terdapat secara abnormal dalam darah (ikterus obstruktif), bentuk bilirubin yang
dominant adalah bilirubin monoglukuronida (BMG). Setelah fototerapi, dapat
ditemukan bilirubin tak terkonjugasi dengan jumlah yang bermakna di dalam
empedu (Murray, 2003).
SIRKULASI ENTEROHEPATIK
HEPAR
Bilirubin
Uptake
GINJAL
Bilirubin
diglukuronida
SIRKULASI DARAH
EKSKRESI
BDG
BMG
BILIRUBIN
Glukuronidase
Urobilinogen
Reduksi
Hidroksilasi
Urine
Urobilinogen
Stercobilin
USUS
Gambar 3. Sirkulasi enterohepatik. -glukuronidase berasal dari mukosa usus bayi, ASI, dan
bakteri usus. Proses reduksi hidroksilasi bilirubin menjadi urobilinoid diperantarai oleh bakteri
usus besar seperti clostridium perfringens dan Escherichia coli.
Bilirubin terkonjugasi adalah ester yang tak stabil dan dapat terhidrolisis
menjadi bilirubin tak terkonjugasi dalam lumen usus. Hidrolisis non enzimatik ini
dapat terjadi dalam suasana alkali seperti pada usus bagian atas neonatus. glukuronidase adalah enzim yang bertanggungjawab pada proses dekonjugasi
enzimatik BDG menjadi BMG dan Bilirubin tak terkonjugasi. -glukuronidase
banyak terdapat pada sel mukosa usus janin dan neonatus, sedangkan glukuronidase bakteri semakin meningkat jumlahnya seiring dengan pertumbuhan
mikroflora
intestinal. Apabila
BDG
terhidrolisis
menjadi
bilirubin
tak
terkonjugasi, maka bilirubin tersebut akan direabsorbsi oleh usus secara pasif ke
sirkulasi portal dan masuk kembali ke hati (Nathan & Oski, 2003).
Bilirubin tak terkonjugasi yang mencapai usus besar akan diubah menjadi
urobilinoid oleh proses reduksi hidroksilasi bakteri usus, khususnya Clostridium
perfringens dan Escherichia coli. Yang termasuk urobilinoid adalah urobilin,
urobilinogen, stercobilinogen, dan stercobilin. Urobilinoid yang terbentuk
direabsorpsi sebagian masuk sirkulasi enterohepatik dan sebagian kecil lainnya
(4) menyebabkan tidak adanya atau berkurangnya jumlah enzim yang diambil
atau menyebabkan pengurangan reduksi bilirubin oleh sel hepar (cacat
genetic, prematuritas).
Kernikterus
Ketika bilirubin tak terkonjugasi pada bayi baru lahir melampaui 20
mg/dL, terjadi suatu keadaan yang disebut kernikterus (Price & Wilson, 1995).
Patofisiologi terjadinya kernikterus belum jelas, secara patologi anatomi
kernikterus terjadi apabila terjadi penimbunan bilirubin tak terkonjugasi pada
ganglia basalis, korteks hipokampus, serebelum, dan nuclei subtalamus. Secara
klinis, kernikterus ditandai oleh letragi, kekakuan otot, opistotonus, tangisan
lengkingan tinggi, demam, dan kejang. Ada dua factor utama yang berperan dalam
perlindungan otak dari bilirubin, yaitu, jumlah dan afinitas albumin terhadap
bilirubin dan sawar darah-otak. Setelah bilirubin masuk kedalam sel neuron,
bilirubin dapat mempengaruhi fosforilasi oksidatif, respirasi sel, sintesis protein,
transport membrane, dan metabolisme glukosa. Pada tikus, bilirubin dapat
memicu proses apoptosis sel otak. Bilirubin juga dapat mengganggu ambilan dan
pelepasan neurotransmitter, khususnya glutamate (Nathan & Oski, 2003).
E. Etiologi
1. Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi
a. Kelainan hemolisis dan peningkatan produksi bilirubin
i. Hemolisis inkompatibilitas Rh (Erythroblastosis Fetalis)
System Rh merupakan system yang kompleks, dan baik dasar
genetic maupun sifat biokimia produk gen sampai saat ini masih belum
dipahami dengan jelas. Ketiga gen yang berhubungan erat tampak
terlibat dan terletak pada kromosom 1. Dalam salah satu tatanama,
produk alel ini diberi symbol C atau c, E atau e, D atau d; produk yang
berhubungan dengan d sampai saat ini belum ada yang teridentifikasi.
Antigen D (Rho) merupakan antigen utama yang memiliki makna
dapat
diprediksi
dari
kadar
hemoglobin,
bilirubin,
tukar
adalah
terapi
utama
dalam
penanganan
10
adalah
penyebab
yang
jarang
menyebabkan
hiper-
11
12
13
melalui
mulut
oral
cholecystography
yang
tidak
14
klorpromazine).
Kelainan
ini
jarang
sekali
muncul
pada
ASI
2. Faktor Perinatal
-
3. Faktor Neonatus
-
Faktor genetic
Prematuritas
15
Polisitemia
Hipoglikemia
Hipoalbuminemia
16
Serum 20
Bilirubin
(mg/dL)
15
10
5
(d) Umur
Gambar 5. Menentukan ikterus patologis. Bayi dengan total bilirubin diatas kurva adalah
patologis sesuai dengan usianya. Tanda panah menunjukkan 3 titik yang membutuhkan perhatian
khusus. Panah kiri menunjukkan awal ikterus: bayi yang terlihat ikterik (visible) (memiliki kadar
bilirubin 7 mg/dL) sebelum 36 jam perlu diperiksa adanya hemolisis atau peningkatan produksi
bilirubin. Panah tengah menunjukkan puncak hiperbilirubinemia fisiologis: bilirubin serum diatas
12 mg/dL memerlukan diagnosis penyebab dan monitoring yang baik untuk mencegah kadar
toksik bilirubin lebih dari 15 mg/dL pada bayi premature dan 20 mg/dL pada bayi aterm. Pada
kondisi ini mungkin disebabkan peningkatan produksi bilirubin, gangguan metabolisme, atau
meningkatnya sirkulasi enterohepatik (Ikterus ASI). Panah ketiga/kanan mengindikasikan
prolonged jaundice: bayi yang ikterik lebih dari 1 minggu mungkin disebabkan gangguan
metabolisme (hipotiroid, herediter hiperbilirubinemia) atau meningkatnya sirkulasi enterohepatik
(ASI). Adanya kenaikan bilirubin direk/terkonjugasi lebih dari 1 mg/dL atau lebih dari 10% dari
bilirubin total mengindikasikan adanya disfungsi hati (Nathan & Oski, 2007).
H. Diagnosis
Berdasarkan Manajemen Terpadu Balita Sakit dijelaskan cara sederhana
penegakan diagnosis ikterus meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Anamnesis:
1. Apakah bayi kuning? Jika YA, pada umur berapa timbul kuning?
2. Apakah bayi lahir kurang bulan?
3. Apakah warna tinja bayi pucat?
17
Pemeriksaan Fisik
WHO menerangkan cara menentukan ikterus secara visual sebagai berikut:
-
Tekan kulit bayi dengan lembut dengan jari untuk mengetahui warna di
bawah kulit dan jaringan subkutan.
Tentukan keparahan ikterus berdasarkan umur bayi dan bagian tubuh yang
tampak kuning.
Keterangan
Kuning pada daerah kepala dan leher
Kramer 2
Kramer 3
Kramer 4
Kramer 5
(Dikutip dari Depkes RI. Klasifikasi Ikterus Fisiologis dan Ikterus Patologis. Dalam : Buku Bagan
MTBM (Manajemen Terpadu Bayi Muda Sakit). Metode Tepat Guna untuk Paramedis, Bidan dan
Dokter. Depkes RI, 2003)
18
Cukup Bulan
Range kadar
Mean + SD
Bilirubin
4,3 7,8
5,9 + 1,7
5,4 12,2
8,9 + 1,7
8,1 16,5
11,8 + 1,8
11,1 18,3
15,8 + 1,7
>15
-
Kurang Bulan
Range kadar
Mean + SD
Bilirubin
4,1 7,5
5,6 12,1
9,4 + 1,9
7,1 14,8
11,4 + 2,3
9,3 18,4
13,3 + 2,1
>10,5
-
(Dikutip dari Depkes RI. Klasifikasi Ikterus Fisiologis dan Ikterus Patologis. Dalam : Buku Bagan
MTBM (Manajemen Terpadu Bayi Muda Sakit). Metode Tepat Guna untuk Paramedis, Bidan dan
Dokter. Depkes RI, 2003)
Klasifikasi
Ikterus berat a
Segera lakukan terapi sinar, tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan kadar bilirubin serum
(Dikutip dari Peter Cooper, A.Suryono, Indarso F, et al. Jaundice. In : Managing Newborn
Problems : a guide for doctor, nurses and midwives, WHO, 2003 : F-77-F-89)
19
Pemeriksaan Laboratorium
1. Pengukuran Kadar Bilirubin
a. Bilirubin Serum Total (TSB)
Bilirubin serum adalah baku emas penegakan diagnosis ikterus
neonatorum. Tindakan invasive ini dapat meningkatkan morbiditas
neonatorum. Sample yang diambil sebaiknya terlindungi dari cahaya.
b. Bilirubin Transkutaneus (TcB)
Bilirubin transkutaneus adalah pemeriksaan bilirubin melalui pemindaian
cahaya melalui kulit. Pemeriksaan ini tidak dapat menggantikan TSB,
tetapi hanya berfungsi untuk skrining saja. TcB sangat diperngaruhi oleh
pigmen kulit terutama setelah penyinaran, dimana kulit bayi akan lebih
hitam. TcB berbeda sedikitnya 2-3 mg/dL dari TSB untuk kadar bilirubin
<15 mg/dL. Diatas nilai TSB 15 mg/dL TcB tidak dapat reliable.
2. Indikasi pemeriksaan laboratorium
Berdasarkan rekomendasi AAP tahun 2004, TcB atau TSB harus segera
dilakukan pada bayi yang ikterik pada 24 jam pertama kelahiran (Tabel 5).
Tabel 5. Evaluasi laboratorium
Indikasi/Kondisi
Jaundice pada 24 jam pertama
Jaundice muncul melebihi usia bayi
Bayi yang di fototerapi atau TSB
meningkat cepat.
Pemeriksaan
TcB dan/atau TSB
TcB dan/atau TSB
Golongan Darah, Coombs test, Darah
rutin dan Hapusan Darah, TSB.
Boleh dilakukan hitung retikulosit,
G6PD, dan ETCO
Ulangi TSB setiap 4-24 jam tergantung
usia bayi dan kadar TSB.
Hitung retikulosit, G6PD, albumin,
ETCO, jika tersedia.
Urinalisis, kultur urin, periksa tanda
dan gejala sepsis.
Kadar bilirubin total dan direk.
Jika bilirubin direk meningkat, periksa
penyebab kolestasis
Cek tiroid dan galaktosemia, periksa
20
I. Manajemen
Tanpa memandang etiologi, tujuan terapi adalah mencegah kadar bilirubin
indirek dalam darah mencapai kadar yang memungkinkan terjadinya kernikterus;
dianjurkan agar fototerapi, dan jika tidak berhasil, transfuse tukar dilakukan untuk
mempertahankan kadar maksimum bilirubin total dalam serum dibawah kadar
yang ditunjukkan pada table 6 (Nelson, 2000).
Tabel 6. Penanganan ikterus berdasarkan kadar bilirubin serum.
Usia
Hari 1
Hari 2
Hari 3
Hari 4
Dst
Terapi Sinar
Transfusi Tukar
Bayi Sehat
Faktor resiko
Bayi Sehat
Faktor resiko
mg/dL mol/L mg/dL mol/L mg/dL mol/L mg/dL mol/L
Setiap ikterus yang terlihat
15
260
13
220
15
260
13
220
19
330
15
260
18
310
16
270
30
510
20
340
20
340
17
290
30
510
20
340
(Dikutip dari Peter Cooper, A.Suryono, Indarso F, et al. Jaundice. In : Managing Newborn
Problems : a guide for doctor, nurses and midwives, WHO, 2003 : F-77-F-89)
Sedangkan pada bayi berat lahir rendah, indikasi fototerapi dapat dilihat
pada table 7.
Tabel 7. Indikasi terapi sinar pada bayi berat lahir rendah.
Berat Badan (g)
< 1000
1000 1500
1500 2000
2000 2500
21
i. Fototerapi
Mekanisme kerja
Pengaruh sinar terhadap ikterus telah diperkenalkan oleh Cremer sejak
1958. Banyak teori yang dikemukakan mengenai pengaruh sinar tersebut. Teori
terbaru mengemukakan bahwa terapi sinar menyebabkan terjadinya isomerisasi
bilirubin. Energi sinar mengubah senyawa yang berbentuk 4Z, 15Z-bilirubin
menjadi senyawa berbentuk 4Z, 15E-bilirubin yang merupakan bentuk isomernya.
Bentuk isomer ini mudah larut dalam plasma dan lebih mudah diekskresi oleh
hepar ke dalam saluran empedu. Peningkatan bilirubin isomer dalam empedu
menyebabkan bertambahnya pengeluaran cairan empedu ke dalam usus, sehingga
peristaltik usus meningkat dan bilirubin akan lebih cepat meninggalkan usus halus
(Gambar 6).
22
Bila berat bayi 2000 gram atau lebih, letakkan bayi dalam keadaan
telanjang di boks bayi. Bayi yang lebih kecil diletakkan dalam incubator.
Tutup mata bayi dengan penutup gelap, pastikan penutup tidak menutup
lubang hidung. Jangan gunakan plester untuk memfiksasi penutup.
Gambar 7. Bayi dibawah lampu terapi sinar (Maisels & McDonagh, 2008).
Letakkan bayi sedekat mungkin dengan lampu sesuai dengan petunjuk atau
manual dari pabrik pembuat alat.
Anjurkan ibu menyusui sesuai dengan keinginan bayi, paling tidak setiap
2-3 jam :
-
Pindahkan bayi dari alat terapi sinar selama diberi minum dan
lepas penutup kepalanya.
23
Bila bayi tidak dapat menyusu, berikan asi peras dengan menggunakan
salah satu cara alternative pemberian minum. Selama dilakukan terapi
sinar, naikan kebutuhan hariannya dengan menambah 25 mL/kgBB;
Bila bayi mendapat terapi cairan IV, naikan kebutuhan harianya 10%
selama bayi dilakukan terapi sinar.
Bila bayi mendapat terapi cairan IV atau diberi minum melalui pipa
lambung, bayi tidak perlu dipindahkan dari lampu terapi sinar.
Selama dilakukan terapi sinar, feses bayi bisa menjadi cair dan berwarna
kuning. Keadaan ini tidak memerlukan terapi khusus.
Bayi dipindahkan dari alat terapi sinar hanya bila akan dilakukan tindakan
yang tidak dapat dikerjakan di bawah lampu terapi sinar;
Bila bayi mendapat terapi oksigen, matikan lampu saat memeriksa bayi
untuk mengetahui sianosis sentral.
Pantau suhu tubuh bayi dan suhu udara ruangan setiap 3 jam.
Bila kadar bilirubin serum mendekati nilai untuk dilakukan transfusi tukar,
bila memungkinkan segera rujuk ke Rumah Sakit Rujukan atau dengan
fasilitas pelayanan spesialis untuk dilakukan tranfusi tukar. Lakukan
persiapan untuk merujuk dan kirim juga sample darah ibu dan bayi.
Bila bayi kecil (berat lahir <2500 gram atau umur kehamilan <37 minggu)
atau sepsis, hentikan terapi sinar setelah 3 hari;
24
Pemulangan
Pulangkan bayi bila terapi sinar sudah tidak diperlukan, bayi minum dengan
baik, atau bila sudah tidak ditemukan masalah yang membutuhkan perawatan
di rumah sakit.
Ajari ibu untuk menilai ikterus dan beri nasehat pada ibu untuk kembali 24
jam setelah pulang.
Tidak Komplikasi
(mg/dL)
13
15
17
18
20
Rasio
Bili/Alb
5.2
6
6.8
7.2
8
Ada Komplikasi
(mg/dL)
10
13
15
17
18
Rasio
Bili/Alb
4
5.2
6
6.8
7.2
25
4. Suhu rektal 35 O C
5. Serum Albumin < 2,5 g/dL
6. Gejala neurologis yang memburuk terbukti
7. Terbukti sepsis atau terbukti meningitis
8. Anemia hemolitik
9. Berat bayi 1000 g
Dalam melakukan transfusi tukar perlu pula diperhatikan macam darah
yang akan diberikan dan teknik serta penatalaksanaan pemberian. Apabila
hiperbilirubinemia yang terjadi disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah
ABO, darah yang dipakai adalah darah golongan O rhesus positip. Pada keadaan
lain yang tidak berkaitan dengan proses aloimunisasi, sebaiknya digunakan darah
yang bergolongan sama dengan bayi. Bila keadaan ini tidak memungkinkan, dapat
dipakai darah golongan O yang kompatibel dengan serum ibu. Apabila hal inipun
tidak ada, maka dapat dimintakan darah O dengan titer anti A atau anti B yang
rendah. Jumlah darah yang dipakai untuk transfusi tukar berkisar antara 140-180
cc/kgBB.
Macam Transfusi Tukar:
11. Double Volume artinya dibutuhkan dua kali volume darah, diharapkan dapat
mengganti kurang lebih 90 % dari sirkulasi darah bayi dan 88 % mengganti
Hb bayi.
22. Iso Volume artinya hanya dibutuhkan sebanyak volume darah bayi, dapat
mengganti 65 % Hb bayi.
33. Partial Exchange artinya memberikan cairan koloid atau kristaloid pada
kasus polisitemia atau darah pada anemia.
Tabel 9. Volume Darah pada Transfusi Tukar
Kebutuhan
Double Volume
Single Volume
Rumus*
BB x volume darah x 2
BB x volume darah
26
Polisitemia
Anemia
27
BAB III
KESIMPULAN
Ikterus patologis jika: (1) ikterus muncul pada usia 24 jam pertama; (2)
bilirubin serum naik dengan kecepatan lebih besar dari 5 mg/dl/24 jam; (3)
bilirubin serum lebih besar dari 12 mg/dL pada bayi cukup bulan (terutama
bila tidak ada factor resiko) atau 10-14 mg/dL/24 jam pada bayi preterm; (4)
ikterus menetap setelah usia 2 minggu; atau (5) bilirubin yang bereaksi direk
lebih besar dari 1 mg/dL pada setiap saat.
Ikterus fisiologis terjadi pada hari ke-3 sampai ke-7 disebabkan oleh
meningkatnya produksi bilirubin akibat pemecahan eritrosit janin dan belum
matangnya hati dan enzim glukuronil transferase.
Segera rujuk pasien ke fasilitas kesehatan lebih lengkap jika tampak ikterus
pada bagian tubuh manapun sejak 24 jam pertama untuk memulai fototerapi.
Jika TSB dapat dilakukan, lakukan fototerapi jika TSB lebih dari 13 mg/dL
dan pantau bilirubin serum setiap 8-12 jam jika fototerapu berhasil. Fototerapi
dihentikan jika TSB mencapai <13 mg/dL. Pasien boleh pulang setelah 24 jam
fototerapi dihentikan dan pasien control ulang minimal setelah 24 jam pasien
dipulangkan.
Transfuse tukar dilakukan jika TSB mencapai >25 mg/dL atau >20 mg/dL
pada bayi sakit atau bayi <28 minggu atau apabila pasien tidak berespon
terhadap fototerapi. Transfuse tukar dilakukan di rumah sakit rujukan
spesialis.
28
DAFTAR PUSTAKA
29
REFERAT
Oleh
Nayati, S.Ked
20010310022
Pembimbing
Dr. Anik Dwiani, Sp.A
30
31