Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ikterus neonatorum merupakan fenomena biologis yang timbul akibat
tingginya produksi dan rendahnya ekskresi bilirubin selama masa transisi pada
neonatus. Pada neonatus produksi bilirubin 2-3 kali lebih tinggi dibanding orang
dewasa. Hal ini dapat terjadi karena jumlah eritrosit pada neonatus lebih banyak
dan usianya lebih pendek (HTA, 2004).
Ikterus neonatorum diamati selama usia minggu pertama kelahiran pada
sekitar 60% bayi cukup bulan dan 80% bayi kurang bulan (Nelson, 2000). Ikterus
ini pada sebagian penderita dapat bersifat fisiologis dan pada sebagian lagi
mungkin bersifat patologis yang dapat menimbulkan gangguan yang menetap atau
menyebabkan kematian. Dokter harus secara tepat membedakan antara
hiperbilirubinemia fisiologik, yaitu peningkatan kadar bilirubin tak terkonjugasi
dan diperkirakan jinak, dan hiperbilirubinemia patologis, dengan bilirubin tak
terkonjugasi mencapai kadar yang sangat tinggi atau juga terjadi peningkatan
fraksi terkonjugasi (Rudolph, 2007).
Bilirubin dapat tertimbun hingga mencapai kadar toksik apabila terjadi
pembentukan berlebihan pigmen akibat hemolisis yang menyebabkan jenuhnya
mekanisme konjugasi bilirubin yang masih imatur pada neonatus, atau (pada
keadaan yang jarang) adanya defisiensi konjugasi bilirubin herediter. Ensefalopati
bilirubin (kernikterus) dan kerusakan otak irreversible merupakan penyulit serius
hemolisis akibat inkompatibilitas ABO feto-maternal dan defisiensi glukosa-6fosfat dehidrogenase eritrosit, dan bilirubin UDP glukuronil transferase (sindrom
Crigler-Najjar) (Rudolph, 2007). Ensefalopati bilirubin merupakan komplikasi
ikterus neonatorum yang paling berat. Selain memiliki angka mortalitas yang
tinggi, juga dapat menyebabkan gejala sisa berupa cerebral palsy, tuli nada tinggi,
paralisis dan displasia dental yang sangat mempengaruhi kualitas hidup (HTA,
2004).

B. Permasalahan
Dokter umum sebagai ujung tombak Sistem Kesehatan Nasional harus
bisa menegakkan diagnosis ikterus neonatorum yang selanjutnya menentukannya
fisiologis ataukah patologis dengan menggunakan sarana dan prasarana yang ada
untuk kemudian mengambil langkah penanganan yang tepat (rujukan). Dalam
menjalankan fungsi tersebut, mutlak diperlukan dasar pengetahuan tentang
metabolisme bilirubin, patofisiologi, penegakan diagnosis, follow-up dan
manajemen.
C. Tujuan Penulisan
Referat ini bertujuan untuk menerangkan metabolisme bilirubin dan
patofisiologinya, cara-cara penegakan diagnosis ikterus neonatorum dari yang
sederhana sampai laboratorium, bagaimana penatalaksanaannya, dan kapan pasien
boleh dipulangkan.
D. Manfaat
Diharapkan setelah membaca tulisan ini, dapat meningkatkan pengetahuan
dokter dalam masalah ikterus neonatorum.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
IKTERUS NEONATUS

A. Definisi

Ikterus adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan
mukosa karena adanya deposisi produk akhir katabolisme heme yaitu
bilirubin. Secara klinis, ikterus pada neonatus akan tampak bila
konsentrasi bilirubin serum lebih dari 5 mg/dL (HTA, 2004).

Neonatus adalah bayi baru lahir umur 0 hari sampai dengan 28 hari.

Hiperbilirubinemia adalah keadaan kadar bilirubin dalam darah > 13


mg/dL

Kernikterus adalah terdapatnya tanda-tanda klinis akibat deposit bilirubin


dalam sel otak. Kelainan ini dapat terjadi dalam bentuk akut terdiri atas 3
tahap; tahap pertama (1-2 hari pertama): refleks menghisap lemah,
hipotonia, kejang; tahap kedua (pertengahan minggu pertama): tangis
melengking, hipertonia, epistotonus; tahap ketiga (setelah minggu
pertama): hipertoni. Bentuk kronik: pada tahun pertama: hipotoni, motorik
terlambat. Sedang setelah tahun pertama didapati gangguan gerakan,
kehilangan pendengaran sensorial (HTA, 2004).

B. Epidemiologi
Di Indonesia, didapatkan data ikterus neonatorum dari beberapa rumah
sakit pendidikan. Sebuah studi cross sectional yang dilakukan di Rumah Sakit
Umum Pusat Rujukan Nasional Cipto Mangunkusumo selama tahun 2003,
menemukan prevalensi ikterus pada bayi baru lahir sebesar 58% untuk kadar
bilirubin diatas 5 mg/dL dan 29,3% dengan kadar bilirubin di atas 12 mg/dL pada
minggu pertama kelahiran. RS Dr. Sardjito melaporkan sebanyak 85% bayi cukup

bulan sehat mempunyai kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 23,8% memiliki kadar
bilirubin diatas 13 mg/dL. Pemeriksaan dilakukan pada hari ke 0, 3 dan 5,
didapatkan ikterus dan hiperbilirubinemia terjadi pada 82% dan 18,6% bayi cukup
bulan.

Sedangkan

pada

bayi

kurang

bulan,

dilaporkan

ikterus

dan

hiperbilirubinemia ditemukan pada 95% dan 56% bayi. Tahun 2003 terdapat
sebanyak 128 kematian neonatal (8,5%) dari 1509 neonatus yang dirawat dengan
24% kematian terkait hiperbilirubinemia (HTA, 2004).
C. Sintesis, Transpor, dan Metabolisme Bilirubin
Dalam keadaan fisiologik, 1-2 x 108 eritrosit dihancurkan setiap jamnya.
Ketika hemoglobin dihancurkan didalam tubuh, menghasilkan heme dan globin.
Globin diuraikan menjadi asam amino pembentuknya yang kemudian akan
digunakan kembali. Katabolisme heme dari semua protein heme dilaksanakan
dalam fraksi mikrosom sel retikuloendeotel oleh sebuah sistem enzim yang
kompleks yang dinamakan heme oksigenase. Satu gram hemoglobin diperkirakan
menghasilkan 35 mg bilirubin (Murray, 2003). Sekitar 85% bilirubin terbentuk
dari pemecahan sel darah merah tua setalah berusia 120 hari. Sekitar 15%
bilirubin berasal dari destruksi sel eritosit belum matang dalam sumsum tulang
(eritropoiesis tak efektif) dan dari hemoprotein lain seperti sitokrom P-450 dalam
sel hepar (Price & Wilson, 1995).
(Gambar 1) Bilirubin didalam plasma diikat lemah oleh albumin. Satu
gram albumin dapat mengikat 8,3 mg bilirubin, pasien dengan kadar albumin 3,5
g/dL dapat mengikat 29 mg/dL. Bilirubin direk (terkonjugasi) juga dapat terikat
oleh albumin tetapi kurang dari 1%nya saja. Rendahnya kadar albumin dan
kelainan konfigurasi albumin dapat mengurangi kapasitas angkut albumin
terhadap bilirubin indirek (tak terkonjugasi) (Nathan & Oski, 2003).

SEL RETIKULOENDOTEL

SEL
DARAH
MERAH

Hemoglobin

Fe
GLOBIN

HEME
Heme
oksigenase

Prekursor Heme
Myoglobulin
Protein heme
non-hemoglobin

Biliverdin
Biliverdin
reduktase
Bilirubin

SIRKULASI DARAH

Kompleks
Bilirubin Albumin

Gambar 1. Sintesis Bilirubin dari protein heme dalam sel retikuloendotel hepar, limpa, pleksus
koroid, sel epitel tubulus ginjal dan sumsum tulang (Nathan & Oski, 2000).

Metabolisme bilirubin lebih lanjut terjadi di hati. Peristiwa metabolisme


ini dapat dibagi menjadi tiga proses: (1) Ambilan bilirubin oleh hepatosit, (2)
Konjugasi bilirubin dalam reticulum endoplasma halus, dan (3) sekresi bilirubin
terkonjugasi ke dalam empedu (Murray, 2003).
PLASMA

SEL
HEPAR

Bilirubin + Albumin

Bilirubin + P

Bilirubin + P
+
UDPGA
Glukuronil
Transferase

UDP +

EMPEDU

Bilirubin
diglukuronida

Bilirubin
monoglukuronida
+
UDPGA

Bilirubin diglukuronida

Gambar 2. Metabolisme bilirubin dalam sel hepar. P, protein pengikat intraseluler; UDPGA,
uridine diphosphoglucuronic acid; UDP, uridine diphosphate (Ganong, 2005).

Bilirubin masuk ke dalam sel hati diperdebatkan antara dua cara; pertama
berdifusi secara pasif dan berikatan dengan protein intraseluler; atau kedua,
difasilitasi oleh protein transport pada membran sel hepar. Ikatan protein dalam
sitoplasma hepar dengan bilirubin bertujuan untuk mencegah terjadinya refluks
bilirubin kembali ke plasma darah. Protein tersebut disebut dengan ligandin atau
protein Y dan protein Z. protein Y lebih banyak mengikat bilirubin daripada
protein Z, tetapi protein Z lebih berperan mengikat senyawa asam (Nathan &
Oski, 2003).
Glukoronil transferase mengkatalisis reaksi ester antara bilirubin dengan
asam glukuronat menjadi bilirubin monoglukuronat (BMG) dan bilirubin
diglukuronat (BDG). Sedangkan -glukuronidase adalah enzim dalam reticulum
endoplasma yang berfungsi sebaliknya yaitu mereduksi BMG dan BDG menjadi
bilirubin tak terkonjugasi. Aktifitas enzim glukuronil transferase dapat diinduksi
oleh sejumlah obat, misalnya fenobarbital.
Ekskresi BDG dalam hepar melibatkan dua tahapan; pertama pemindahan
BDG dari reticulum endoplasma halus ke membrane kanalikuler; kedua,
translokasi melewati membran menuju kanalikuler empedu. Proses pertama
dilakukan oleh system mikrotubulus sel hepar, sedangkan proses translokasi
membrane difasilitasi oleh proses aktif yang diaktifkan oleh ATP. Proses pertama
dapat ditekan oleh xenobiotik. Sedangkan defek genetic pada proses translokasi
membrane disebut dengan sindrom dubin johnson (Nathan & Oski, 2003).
Dalam keadaan fisiologis, seluruh bilirubin yang diekskresikan ke dalam
empedu berada dalam bentuk terkonjugasi (BDG). Apabila bilirubin terkonjugasi
terdapat secara abnormal dalam darah (ikterus obstruktif), bentuk bilirubin yang
dominant adalah bilirubin monoglukuronida (BMG). Setelah fototerapi, dapat
ditemukan bilirubin tak terkonjugasi dengan jumlah yang bermakna di dalam
empedu (Murray, 2003).

SIRKULASI ENTEROHEPATIK

HEPAR
Bilirubin
Uptake

GINJAL

Bilirubin
diglukuronida
SIRKULASI DARAH
EKSKRESI

BDG

BMG

BILIRUBIN

Glukuronidase

Urobilinogen

Reduksi
Hidroksilasi

Urine
Urobilinogen

Stercobilin
USUS

Gambar 3. Sirkulasi enterohepatik. -glukuronidase berasal dari mukosa usus bayi, ASI, dan
bakteri usus. Proses reduksi hidroksilasi bilirubin menjadi urobilinoid diperantarai oleh bakteri
usus besar seperti clostridium perfringens dan Escherichia coli.

Bilirubin terkonjugasi adalah ester yang tak stabil dan dapat terhidrolisis
menjadi bilirubin tak terkonjugasi dalam lumen usus. Hidrolisis non enzimatik ini
dapat terjadi dalam suasana alkali seperti pada usus bagian atas neonatus. glukuronidase adalah enzim yang bertanggungjawab pada proses dekonjugasi
enzimatik BDG menjadi BMG dan Bilirubin tak terkonjugasi. -glukuronidase
banyak terdapat pada sel mukosa usus janin dan neonatus, sedangkan glukuronidase bakteri semakin meningkat jumlahnya seiring dengan pertumbuhan
mikroflora

intestinal. Apabila

BDG

terhidrolisis

menjadi

bilirubin

tak

terkonjugasi, maka bilirubin tersebut akan direabsorbsi oleh usus secara pasif ke
sirkulasi portal dan masuk kembali ke hati (Nathan & Oski, 2003).
Bilirubin tak terkonjugasi yang mencapai usus besar akan diubah menjadi
urobilinoid oleh proses reduksi hidroksilasi bakteri usus, khususnya Clostridium
perfringens dan Escherichia coli. Yang termasuk urobilinoid adalah urobilin,
urobilinogen, stercobilinogen, dan stercobilin. Urobilinoid yang terbentuk
direabsorpsi sebagian masuk sirkulasi enterohepatik dan sebagian kecil lainnya

masuk ke ginjal dan ekskresikan melalui urin. Adanya obstruksi empedu


menyebabkan urobilinoid tidak terbentuk dalam usus, sehingga tidak ada
urobilinoid yang direabsorpsi usus dan diekskresikan melalui urin. Tetapi test
tersebut tidak reliable pada neonatus karena pertumbuhan mikroflora usus pada
neonatus belum banyak (Nathan & Oski, 2003).
D. Patofisiologi
Terdapat 4 mekanisme umum di mana hiperbilirubinemia dan ikterus dapat
terjadi:
1. Produksi bilirubin yang berlebihan.
2. Gangguan pengambilan bilirubin tak terkonjugasi oleh hati
3. Gangguan konjugasi bilirubin
4. Penurunan ekskresi bilirubin terkonjugasi dalam empedu akibat factor
intrahepatik dan ekstrahepatik yang bersifat obstruksi fungsional atau
mekanik.
Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi terutama disebabkan oleh tiga mekanisme
yang pertama, sedangkan mekanisme yang keempat terutama mengakibatkan
hiperbilirubinemia terkonjugasi (Price & Wilson, 1995).
Nelson, 2000, menjelaskan bahwa hiperbilirubinemia tak terkonjugasi
dapat disebabkan atau diperberat oleh setiap faktor yang
(1) menambah beban bilirubin untuk dimetabolisasi oleh hati (anemia hemolitik,
waktu hidup sel darah merah lebih pendek akibat imaturitas atau akibat sel
yang ditransfusikan, penambahan sirkulasi enterohepatik, infeksi);
(2) dapat mencederai atau mengurangi aktivitas enzim glukuronil transferase
(hipoksia, infeksi, kemungkinan hipotermia, dan defisiensi tiroid);
(3) dapat berkompetisi dengan atau memblokade enzim transferase (obat-obat
dan bahan-bahan lain yang memerlukan konjugasi asam glukuronat untuk
ekskresi); atau

(4) menyebabkan tidak adanya atau berkurangnya jumlah enzim yang diambil
atau menyebabkan pengurangan reduksi bilirubin oleh sel hepar (cacat
genetic, prematuritas).
Kernikterus
Ketika bilirubin tak terkonjugasi pada bayi baru lahir melampaui 20
mg/dL, terjadi suatu keadaan yang disebut kernikterus (Price & Wilson, 1995).
Patofisiologi terjadinya kernikterus belum jelas, secara patologi anatomi
kernikterus terjadi apabila terjadi penimbunan bilirubin tak terkonjugasi pada
ganglia basalis, korteks hipokampus, serebelum, dan nuclei subtalamus. Secara
klinis, kernikterus ditandai oleh letragi, kekakuan otot, opistotonus, tangisan
lengkingan tinggi, demam, dan kejang. Ada dua factor utama yang berperan dalam
perlindungan otak dari bilirubin, yaitu, jumlah dan afinitas albumin terhadap
bilirubin dan sawar darah-otak. Setelah bilirubin masuk kedalam sel neuron,
bilirubin dapat mempengaruhi fosforilasi oksidatif, respirasi sel, sintesis protein,
transport membrane, dan metabolisme glukosa. Pada tikus, bilirubin dapat
memicu proses apoptosis sel otak. Bilirubin juga dapat mengganggu ambilan dan
pelepasan neurotransmitter, khususnya glutamate (Nathan & Oski, 2003).
E. Etiologi
1. Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi
a. Kelainan hemolisis dan peningkatan produksi bilirubin
i. Hemolisis inkompatibilitas Rh (Erythroblastosis Fetalis)
System Rh merupakan system yang kompleks, dan baik dasar
genetic maupun sifat biokimia produk gen sampai saat ini masih belum
dipahami dengan jelas. Ketiga gen yang berhubungan erat tampak
terlibat dan terletak pada kromosom 1. Dalam salah satu tatanama,
produk alel ini diberi symbol C atau c, E atau e, D atau d; produk yang
berhubungan dengan d sampai saat ini belum ada yang teridentifikasi.
Antigen D (Rho) merupakan antigen utama yang memiliki makna

penting dan juga disebut factor Rh.

Antigen tersebut tampaknya

merupakan protein integral mebran sel darah merah dengan masa


molekul sekitar 30 kDa; interaksi dengan fosfolipid membrane
mungkin menjadi unsure penting dalam antigenitasnya. Kurang lebih
15% dari populasi kaukasian tidak memiliki antigen ini dan diberi
symbol Rh-negatif. Jika individu dengan Rh-negatif ini mendapat
transfuse darah Rh-positif sekalipun hanya satu kali, maka individu
tersebut akan membentuk antibody terhadap antigen D (Rho). Jika
individu tersebut seorang wanita hamil yang mendapat transfuse darah
Rh-positif, maka didalam darahnya akan mengandung antibody anti-D
(Rho). Jika bayi yang dikandungnya Rh-positif, antibody ini dapat
menyebabkan lisis sel darah merah dan menimbulkan penyakit
hemolitik neonatus (Murray, 2003).
Kelainan ini sering menyebabkan hiperbilirubinemia berat yang
muncul dalam beberapa jam setelah lahir. Kadar puncak bilirubin
serumnya

dapat

diprediksi

dari

kadar

hemoglobin,

bilirubin,

retikulosit, dan angka sel darah merat berinti. Bayi dengan


hiperbilirubinemia berat akibat inkompatibilitas Rh memiliki resiko
besar menderita ensefalopati bilirubin (kernikterus). Fototerapi dan
transfuse

tukar

adalah

terapi

utama

dalam

penanganan

hiperbilirubinemia akibat inkompatibilitas Rh (Nathan & Oski, 2003).


ii. Hemolisis inkompatibilitas ABO (ABO Erythroblastosis)
Inkompatibilitas ABO antara ibu dan janin mengakibatkan
penyakit yang lebih ringan daripada akibat inkompatibilitas Rh. Ibu
bergolongan darah A akan membentuk antibody terhadap B, dan ibu
bergolongan B akan membentuk antibody terhadap A. Namun biasanya
ibu adalah golongan O dan bayi adalah golongan A atau B. walaupun
inkompatibiltas ABO terjadi pada 20-25% kehamilan, penyakit
hemolitik hanya berkembang pada 10% dari bayi-bayi ini, dan
biasanya bayinya adalah golongan A1, yang sifatnya lebih antigenic
daripada A2. Antigenisitas factor ABO yang rendah pada janin dan

10

bayi baru lahir dapat menyebabkan insidensi penyakit hemolitik ABO


berat yang relative rendah dibandingkan insidensi inkompatibilitas
antara golongan darah ibu dan anak. Walaupun antibody terhadap
factor A dan B terjadi tanpa inisiasi sebelumnya (antibody alamiah),
factor-faktor ini biasanya terdapat pada fraksi 19S (IgM) gama
globulin, dan tidak melewati plasenta; namun, antibody terhadap
antigen A univalent inkomplit (albumin aktif) yang terdapat pada fraksi
7S (IgG) dapat melewati plasenta, sehingga penyakit hemolitik
isoimun A-O dapat ditemukan pada bayi pertama yang dilahirkan. Ibu
yang telah menjadi imun terhadap factor A atau B dari kehamilan
inkompatibel sebelumnya juga menunjukkan antibody dalam fraksi
gama globulin 7S. antibody imun ini terutama merupakan mediator
penyakit isoimun ABO (Nelson, 2000).
iii. Hemolisis lainnya
Defisiensi enzim Glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD) dari
eritrosit adalah defisiensi yang lazim dijumpai pada keadaan
hiperbilirubinemia. Mutasi gen G6PD menyebabkan penurunan
aktivitas G6PD dalam eritrosit. Fungsi G6PD adalah menghasilkan
NADPH (Nikotinamid Adenosine DiPhosphat Hidrogen) melalui
lintasan pentosa fosfat. NADPH berfungsi memberikan ion Hidrogen
untuk mereduksi glutation teroksidasi menjadi glutation tereduksi,
selanjutnya glutation tereduksi mengeluarkan H2O2 keluar dari
eritrosit untuk mencegah terjadinya penumpukan H2O2 dalam
eritrosit. Penumpukan H2O2 dalam eritrosit dapat memendekkan umur
eritrosit (hemolisis) dan meningkatkan kecepatan hemoglobin menjadi
methemoglobin (Mayes, 2003).
Kelainan struktur eritrosit seperti sferositosis, eliptositosis, dan
piknosis,

adalah

penyebab

yang

jarang

menyebabkan

hiper-

bilirubinemia neonatus dan hiperbilirubinemia kronik (Nathan & Oski,


2003).

11

Infeksi dapat meningkatkan angka destruksi eritrosit dan


jaundice. Sifilis congenital, rubella, dan toxoplasmosis adalah infeksi
yang berhubungan dengan meningkatnya angka hemolisis dan
hiperbilirubinemia (Nathan & Oski, 2003).
b. Kelainan herediter metabolisme bilirubin dalam hati
i. Sindrom Gilbert
Sindrom gilbert adalah defek genetic kecil enzim glukuronil
transferase yang menyebabkan aktivitas enzim glukuronil transferase
tersebut menurun. Sindrom gilbert menyebabkan hiperbilirubinemia
tak terkonjugasi yang ringan-sedang dan pada neonatus dicurigai
apabila hiperbilirubinemia ringan akibat ASI ataupun ikterus fisiologis
memanjang selama beberapa minggu. Aktivitasnya masih dapat dipicu
dengan pemberian fenobarbital (Nathan & Oski, 2003).
ii. Sindrom Crigler-Najjar

Sindrom Crigler-Najjar tipe 1


Sindrom ini ditandai oleh hiperbilirubinemia berat yang menetap
yang muncul sejak minggu pertama kelahiran. Bilirubin tak
terkonjugasi dapat mencapai angka kurang dari 20 mg/dL.
Penyakit ini disebabkan oleh defek genetic yang diturunkan secara
autosomal resesif yang menyebabkan bayi tidak memiliki enzim
glukuronil transferase sama sekali. Angka kehidupan bayi dengan
penyakit ini jarang yang melewati 15 bulan pertama (Nathan &
Oski, 2003).

Sindrom Crigler-Najjar tipe 2


Sindrom ini ditandai oleh hiperbilirubinemia berat yang menetap
yang muncul sejak minggu pertama kelahiran. Bilirubin tak
terkonjugasi dapat mencapai angka lebih dari 20 mg/dL, tetapi
setelah menjadi anak dan dewasa kadar bilirubin berkisar antara 620 mg/dL. Sindrom ini berespon terhadap pemberian fenobarbital,
dan memiliki hasil konjugasi bilirubin monoglukuronida dalam

12

empedunya, tetapi tidak adan bilirubin diglukuronida sama sekali


(Nathan & Oski, 2003).
c. Kelainan yang didapat
i. Jaundice ASI
ASI mengandung 5--pregnane-3, 20--diol atau asam lemak
rantai panjang nonesterifikasi yang secara kompetitif menghambat
aktifitas konjugasi glukuronil transferase di hati (Nelson, 2000). Selain
itu ASI juga mengandung enzim -glukuronidase yang dapat
menghidrolisis BDG menjadi BMG dan BMG menjadi bilirubin
didalam lumen usus bayi yang diberi minum ASI (Gourley et al, 2005).
Selanjutnya bilirubin yang terbentuk direabsorpsi usus untuk menjalani
sirkulasi enterohepatik. Selain ASI, mukosa usus juga mempunyai
enzim -glukuronidase seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya.
Ikterus ASI ini umumnya muncul mulai hari ke-4 samapi dengan hari
ke-7, mencapai kadar maksimal setinggi 10-30 mg/dL selama minggu
ke-2 sampai ke-3. Jika ASI terus diberikan, hiperbilirubinemia secara
bertahap menurun dan kemudian menetap selama 3-10 minggu pada
kadar yang lebih rendah (Nelson, 2000).
ii. Kelainan Usus Neonatus
Sekitar 50% bayi dengan stenosis pylorus mengalami
hiperbilirubinemia dan sekitar 10%nya menjadi ikterus. Stenosis
pylorus juga merupakan tanda adanya aktifitas glukuronil transferase
yang menurun seperti pada mutasi gen (Sindrom Gilbert). Obstruksi
usus juga kadang dihubunkan dengan hiperbilirubinemia seperti pada
hirschprungs disease (Nathan & Oski, 2003).
iii. Obat-obatan
Xenobiotic memiliki efek yang luas pada metabolisme bilirubin
dan transport. Novobiocin adalah antibiotic yang dapat menghambat
glukuronil transferase.

13

iv. Kelainan endokrin


Hipotiroid congenital berhubungan dengan10% bayi baru lahir
dengan hiperbilirubinemia yang berkepanjangan. Ini karena hipotiroid
menekan semua metabolisme dan memperlambat maturasi hepar. Pada
bayi dari ibu yang diabetes mellitus juga menunjukkan peningkatan
angka prolonged hiperbilirubinemia karena bayi tidak memiliki cukup
UDPGA untuk diikatkan dengan bilirubin (Nathan & Oski, 2003).
2. Hiperbilirubinemia terkonjugasi
a. Herediter
i. Sindrom Dubin-Johnson
Sindrom ini disebabkan oleh adanya defek mekanisme
transport kanalikuler beberapa anion organic hepar termasuk bilirubin
terkonjugasi, yang disebabkan oleh mutasi genetik. Kadar bilirubin
serum berkisar antara 1,5 6 mg/dL, 50% lebihnya adalah bilirubin
terkonjugasi (direk). Tes fungsi hati normal, termasuk kadar garam
empedu serum. Sindrom dubin Johnson ditandai dengan ekskresi
>80% koproporfirin I di dalam urine sementara ekskresi koproporfirin
urin total tetap normal, sedangkan pada individu normal jenis
koproporfirin terbanyak dalam urin adalah koproporfirin III. Sel hepar
secara histologis menunjukkan pengendapan pigmen hitam mirip
melanin di lisosom hati. Defek ini dapat dikenali dengan memberikan
kontras

melalui

mulut

oral

cholecystography

yang

tidak

diekskresikan secara normal, sehingga visualisasi radiologik kantong


empedu tidak jelas (Nathan & Oski, 2003).
ii. Sindrom Rotor
Sindrom rotor adalah kelainan genetic autosomal resesif
diturunkan yang melibatkan kapasitas penyimpanan dan gangguan
ekskresi bilirubin terkonjugasi. Tes fungsi hati normal, histologis
jaringan hepar tak tampak penumpukan pigmen seperti pada sindrom
dubin-johnson. Ekskresi koproporfirin I dan koproporfirin total dalam

14

urine meningkat. Pada pemberian kontras oral cholecystography


menunjukkan ekskresi kontras ke dalam kantong empedu normal
sehingga visualisasi kantong empedu baik. Kedua kelainan diatas tidak
diperlukan pengobatan apapun. Kedua sindrom muncul pada masa
kanak-kanak lanjut jarang pada neonatus (Nathan & Oski, 2003).
b. Didapat (Cholestasis)
Kolestasis adalah gangguan aliran empedu (bilirubin direk dan
garam empedu) akibat obstruksi (ekstrahepatik) atau hepatoseluler
(intrahepatik). Kolestasis obstruktif disebabkan obstruksi anatomic atau
fungsional system duktus bilier (misalnya, atresia biliaris, kolelitiasis,
kolangitis). Kolestasis hepatoseluler menyebabkan gangguan pembentukan
empedu akibat gangguan system kanalikulus hepar (Misalnya, akibat
hepatitis/infeksi, induksi obat-obatan: halotan, kontrasepsi oral, isoniazid,
dan

klorpromazine).

Kelainan

ini

jarang

sekali

muncul

pada

neonatus(Nathan & Oski, 2003).


F. Faktor Resiko
Secara garis besar factor resiko untuk timbulnya ikterus neonatorum:
1. Faktor maternal
-

Ras tertentu (Asia, dan Indian)

Komplikasi kehamilan (DM, Inkompatibilitas ABO, Rh)

Penggunaan infuse oksitosin dalam larutan hipotonik.

ASI

2. Faktor Perinatal
-

Trauma lahir (sefalhematom, ekimosis)

Infeksi (bakteri, virus, protozoa)

3. Faktor Neonatus
-

Faktor genetic

Prematuritas

15

Polisitemia

Obat (streptomisin, kloramfenikol, benzylalkohol, sulfisoxazol)

Rendahnya asupan gizi

Hipoglikemia

Hipoalbuminemia

G. Ikterus Fisiologis Vs Ikterus Patologis


Pada lingkungan normal, kadar bilirubin dalam serum talipusat yang
bereaksi-indirek adalah 1-3 mg/dL dan naik dengan kecepatan kurang dari 5
mg/dL/24 jam; dengan demikian, ikterus dapat dilihat pada hari ke-2 sampai ke-3,
biasanya berpuncak antara hari ke-2 dan ke-4 dengan kadar 5-6 mg/dL dan
menurun sampai dibawah 2 mg/dL antara umur hari ke-5 dan ke-7 (Gambar 5).
Ikterus yang disertai dengan perubahan-perubahan ini disebut fisiologis dan
diduga akibat kenaikan produksi bilirubin pasca pemecahan eritrosit janin
dikombinasi dengan belum matangnya fungsi hepar (enzim konjugasi glukuronil
transferase).
Penyebab ikterus harus dicari jika (1) ikterus muncul pada usia 24 jam
pertama; (2) bilirubin serum naik dengan kecepatan lebih besar dari 5 mg/dl/24
jam; (3) bilirubin serum lebih besar dari 12 mg/dL pada bayi cukup bulan
(terutama bila tidak ada factor resiko) atau 10-14 mg/dL/24 jam pada bayi
preterm; (4) ikterus menetap setelah usia 2 minggu; atau (5) bilirubin yang
bereaksi direk lebih besar dari 1 mg/dL pada setiap saat. Selain itu juga apabila
didapatkan factor resiko tersebut diatas (Nelson, 2000).

16

Serum 20
Bilirubin
(mg/dL)
15

10
5

(d) Umur
Gambar 5. Menentukan ikterus patologis. Bayi dengan total bilirubin diatas kurva adalah
patologis sesuai dengan usianya. Tanda panah menunjukkan 3 titik yang membutuhkan perhatian
khusus. Panah kiri menunjukkan awal ikterus: bayi yang terlihat ikterik (visible) (memiliki kadar
bilirubin 7 mg/dL) sebelum 36 jam perlu diperiksa adanya hemolisis atau peningkatan produksi
bilirubin. Panah tengah menunjukkan puncak hiperbilirubinemia fisiologis: bilirubin serum diatas
12 mg/dL memerlukan diagnosis penyebab dan monitoring yang baik untuk mencegah kadar
toksik bilirubin lebih dari 15 mg/dL pada bayi premature dan 20 mg/dL pada bayi aterm. Pada
kondisi ini mungkin disebabkan peningkatan produksi bilirubin, gangguan metabolisme, atau
meningkatnya sirkulasi enterohepatik (Ikterus ASI). Panah ketiga/kanan mengindikasikan
prolonged jaundice: bayi yang ikterik lebih dari 1 minggu mungkin disebabkan gangguan
metabolisme (hipotiroid, herediter hiperbilirubinemia) atau meningkatnya sirkulasi enterohepatik
(ASI). Adanya kenaikan bilirubin direk/terkonjugasi lebih dari 1 mg/dL atau lebih dari 10% dari
bilirubin total mengindikasikan adanya disfungsi hati (Nathan & Oski, 2007).

H. Diagnosis
Berdasarkan Manajemen Terpadu Balita Sakit dijelaskan cara sederhana
penegakan diagnosis ikterus meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Anamnesis:
1. Apakah bayi kuning? Jika YA, pada umur berapa timbul kuning?
2. Apakah bayi lahir kurang bulan?
3. Apakah warna tinja bayi pucat?

17

Pemeriksaan Fisik
WHO menerangkan cara menentukan ikterus secara visual sebagai berikut:
-

Pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan yang cukup (disiang hari


dengan cahaya matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah bilia
dilihat dengan pencahayaan buatan dan bisa tidak terlihat pada
pencahayaan yang kurang.

Tekan kulit bayi dengan lembut dengan jari untuk mengetahui warna di
bawah kulit dan jaringan subkutan.

Tentukan keparahan ikterus berdasarkan umur bayi dan bagian tubuh yang
tampak kuning.

Menentukan derajat ikterus menurut Kramer:


Tabel 1. Pemeriksaan Kramer
Derajat
Kramer 1

Keterangan
Kuning pada daerah kepala dan leher

Kramer 2

Kuning sampai dengan badan bagian atas


(dari pusar ke atas)

Kramer 3

Kuning sampai badan bagian bawah


hingga lutut atau siku.

Kramer 4

Kuning sampai pergelangan tangan dan


kaki
Kuning sampai daerah tangan dan kaki

Kramer 5

(Dikutip dari Depkes RI. Klasifikasi Ikterus Fisiologis dan Ikterus Patologis. Dalam : Buku Bagan
MTBM (Manajemen Terpadu Bayi Muda Sakit). Metode Tepat Guna untuk Paramedis, Bidan dan
Dokter. Depkes RI, 2003)

Menurut Prosedur Tetap Pelayanan Perinatal Resiko Tinggi Rumah Sakit


Umum Daerah Kabupaten Bantul tahun 2001 estimasi kadar bilirubin berdasarkan
Kramer adalah:

18

Tabel 2. Estimasi Kadar Bilirubin Secara Kramer


Kramer
1
2
3
4
5

Cukup Bulan
Range kadar
Mean + SD
Bilirubin
4,3 7,8
5,9 + 1,7
5,4 12,2
8,9 + 1,7
8,1 16,5
11,8 + 1,8
11,1 18,3
15,8 + 1,7
>15
-

Kurang Bulan
Range kadar
Mean + SD
Bilirubin
4,1 7,5
5,6 12,1
9,4 + 1,9
7,1 14,8
11,4 + 2,3
9,3 18,4
13,3 + 2,1
>10,5
-

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, ikterus dikelompokkan


menjadi ikterus fisiologis atau patologis:
Tabel 3. Klasifikasi Ikterus
Tanya dan Lihat
Mulai kapan ikterik?

Gejala dan Tanda


Klasifikasi
Ikterik pada 2 hari pertama setelah IKTERUS
PATOLOGIK
lahir, atau
Ikterik umur 14 hari atau lebih, atau
Bayi kurang bulan?
Ikterik pada bayi kurang bulan, atau
Apa warna tinjanya?
Tinja warna pucat, atau
Daerah mana yang
Ikterik sampai lutut/siku atau lebih
ikterus?

Ikterik umur 3 - < 14 hari dan tidak IKTERUS


FISIOLOGIS
ada tanda-tanda ikterus patologis

(Dikutip dari Depkes RI. Klasifikasi Ikterus Fisiologis dan Ikterus Patologis. Dalam : Buku Bagan
MTBM (Manajemen Terpadu Bayi Muda Sakit). Metode Tepat Guna untuk Paramedis, Bidan dan
Dokter. Depkes RI, 2003)

Secara sederhana tingkat keparahan ikterus berdasarkan WHO tahun 2003:


Tabel 4. Tingkat keparahan Ikterus
Usia
Hari 1
Hari 2
Hari 3 dst

Ikterus terlihat pada:


Bagian tubuh manapun
Lengan dan tungkai
Tangan dan kaki

Klasifikasi
Ikterus berat a

Segera lakukan terapi sinar, tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan kadar bilirubin serum
(Dikutip dari Peter Cooper, A.Suryono, Indarso F, et al. Jaundice. In : Managing Newborn
Problems : a guide for doctor, nurses and midwives, WHO, 2003 : F-77-F-89)

19

Pemeriksaan Laboratorium
1. Pengukuran Kadar Bilirubin
a. Bilirubin Serum Total (TSB)
Bilirubin serum adalah baku emas penegakan diagnosis ikterus
neonatorum. Tindakan invasive ini dapat meningkatkan morbiditas
neonatorum. Sample yang diambil sebaiknya terlindungi dari cahaya.
b. Bilirubin Transkutaneus (TcB)
Bilirubin transkutaneus adalah pemeriksaan bilirubin melalui pemindaian
cahaya melalui kulit. Pemeriksaan ini tidak dapat menggantikan TSB,
tetapi hanya berfungsi untuk skrining saja. TcB sangat diperngaruhi oleh
pigmen kulit terutama setelah penyinaran, dimana kulit bayi akan lebih
hitam. TcB berbeda sedikitnya 2-3 mg/dL dari TSB untuk kadar bilirubin
<15 mg/dL. Diatas nilai TSB 15 mg/dL TcB tidak dapat reliable.
2. Indikasi pemeriksaan laboratorium
Berdasarkan rekomendasi AAP tahun 2004, TcB atau TSB harus segera
dilakukan pada bayi yang ikterik pada 24 jam pertama kelahiran (Tabel 5).
Tabel 5. Evaluasi laboratorium
Indikasi/Kondisi
Jaundice pada 24 jam pertama
Jaundice muncul melebihi usia bayi
Bayi yang di fototerapi atau TSB
meningkat cepat.

Kadar TSB mendekati level transfuse


tukar atau fototerapi tidak rensponsif
Bilirubin
direk
(terkonjugasi)
meningkat
Jaundice terjadi pada minggu ketiga
atau lebih atau jaundice pada bayi
yang sakit

Pemeriksaan
TcB dan/atau TSB
TcB dan/atau TSB
Golongan Darah, Coombs test, Darah
rutin dan Hapusan Darah, TSB.
Boleh dilakukan hitung retikulosit,
G6PD, dan ETCO
Ulangi TSB setiap 4-24 jam tergantung
usia bayi dan kadar TSB.
Hitung retikulosit, G6PD, albumin,
ETCO, jika tersedia.
Urinalisis, kultur urin, periksa tanda
dan gejala sepsis.
Kadar bilirubin total dan direk.
Jika bilirubin direk meningkat, periksa
penyebab kolestasis
Cek tiroid dan galaktosemia, periksa

20

gejala dan tanda adanya hipotiroid.


(Dikutip dari American Academy of Pediatrics. Subcommittee on Hyperbilirubinemia.
Management of hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more weeks of gestation.
Pediatrics 2004 ; 114 : 294)

I. Manajemen
Tanpa memandang etiologi, tujuan terapi adalah mencegah kadar bilirubin
indirek dalam darah mencapai kadar yang memungkinkan terjadinya kernikterus;
dianjurkan agar fototerapi, dan jika tidak berhasil, transfuse tukar dilakukan untuk
mempertahankan kadar maksimum bilirubin total dalam serum dibawah kadar
yang ditunjukkan pada table 6 (Nelson, 2000).
Tabel 6. Penanganan ikterus berdasarkan kadar bilirubin serum.
Usia
Hari 1
Hari 2
Hari 3
Hari 4
Dst

Terapi Sinar
Transfusi Tukar
Bayi Sehat
Faktor resiko
Bayi Sehat
Faktor resiko
mg/dL mol/L mg/dL mol/L mg/dL mol/L mg/dL mol/L
Setiap ikterus yang terlihat
15
260
13
220
15
260
13
220
19
330
15
260
18
310
16
270
30
510
20
340
20
340
17
290
30
510
20
340

(Dikutip dari Peter Cooper, A.Suryono, Indarso F, et al. Jaundice. In : Managing Newborn
Problems : a guide for doctor, nurses and midwives, WHO, 2003 : F-77-F-89)

Sedangkan pada bayi berat lahir rendah, indikasi fototerapi dapat dilihat
pada table 7.
Tabel 7. Indikasi terapi sinar pada bayi berat lahir rendah.
Berat Badan (g)
< 1000
1000 1500
1500 2000
2000 2500

Kadar Bilirubin (mg/dL)


Fototerapi dimulai dalam usia 24 jam pertama
79
10 12
13 15

(Dikutip dari HTA Indonesia 2004, Tatalaksana Ikterus Neonatorum)

21

i. Fototerapi
Mekanisme kerja
Pengaruh sinar terhadap ikterus telah diperkenalkan oleh Cremer sejak
1958. Banyak teori yang dikemukakan mengenai pengaruh sinar tersebut. Teori
terbaru mengemukakan bahwa terapi sinar menyebabkan terjadinya isomerisasi
bilirubin. Energi sinar mengubah senyawa yang berbentuk 4Z, 15Z-bilirubin
menjadi senyawa berbentuk 4Z, 15E-bilirubin yang merupakan bentuk isomernya.
Bentuk isomer ini mudah larut dalam plasma dan lebih mudah diekskresi oleh
hepar ke dalam saluran empedu. Peningkatan bilirubin isomer dalam empedu
menyebabkan bertambahnya pengeluaran cairan empedu ke dalam usus, sehingga
peristaltik usus meningkat dan bilirubin akan lebih cepat meninggalkan usus halus
(Gambar 6).

Gambar 6. Mekanisme fototerapi (Maisels & McDonagh, 2008).

Teknik Terapi Sinar

Letakkan bayi dibawah lampu terapi sinar (Gambar 7).

22

Bila berat bayi 2000 gram atau lebih, letakkan bayi dalam keadaan
telanjang di boks bayi. Bayi yang lebih kecil diletakkan dalam incubator.

Tutup mata bayi dengan penutup gelap, pastikan penutup tidak menutup
lubang hidung. Jangan gunakan plester untuk memfiksasi penutup.

Gambar 7. Bayi dibawah lampu terapi sinar (Maisels & McDonagh, 2008).

Letakkan bayi sedekat mungkin dengan lampu sesuai dengan petunjuk atau
manual dari pabrik pembuat alat.

Ubah posisi bayi tiap 3 jam.

Pastikan bayi siap diberi minum :


-

Anjurkan ibu menyusui sesuai dengan keinginan bayi, paling tidak setiap
2-3 jam :
-

Pindahkan bayi dari alat terapi sinar selama diberi minum dan
lepas penutup kepalanya.

Tidak perlu menambah atau mengganti asi dengan air,


dekstrosa atau formula.

23

Bila bayi tidak dapat menyusu, berikan asi peras dengan menggunakan
salah satu cara alternative pemberian minum. Selama dilakukan terapi
sinar, naikan kebutuhan hariannya dengan menambah 25 mL/kgBB;

Bila bayi mendapat terapi cairan IV, naikan kebutuhan harianya 10%
selama bayi dilakukan terapi sinar.

Bila bayi mendapat terapi cairan IV atau diberi minum melalui pipa
lambung, bayi tidak perlu dipindahkan dari lampu terapi sinar.

Selama dilakukan terapi sinar, feses bayi bisa menjadi cair dan berwarna
kuning. Keadaan ini tidak memerlukan terapi khusus.

Lanjutkan pengobatan dan pemeriksaan lain:


-

Bayi dipindahkan dari alat terapi sinar hanya bila akan dilakukan tindakan
yang tidak dapat dikerjakan di bawah lampu terapi sinar;

Bila bayi mendapat terapi oksigen, matikan lampu saat memeriksa bayi
untuk mengetahui sianosis sentral.

Pantau suhu tubuh bayi dan suhu udara ruangan setiap 3 jam.

Periksa kadar bilirubin serum:

setiap 2-3 jam, bila TSB > 25 mg/dL

setiap 3-4 jam, bila TSB 20-25 mg/dL

setiap 4-6 jam, bila TSB < 20 mg/dL

setiap 8-12 jam, bila TSB terus menurun

Hentikan terapi sinar bila kadar bilirubin turun dibawah 13 14 mg/dL


(239 mol/L)

Bila kadar bilirubin serum mendekati nilai untuk dilakukan transfusi tukar,
bila memungkinkan segera rujuk ke Rumah Sakit Rujukan atau dengan
fasilitas pelayanan spesialis untuk dilakukan tranfusi tukar. Lakukan
persiapan untuk merujuk dan kirim juga sample darah ibu dan bayi.

Bila bilirubin serum tidak dapat diperiksa:


-

Bila bayi kecil (berat lahir <2500 gram atau umur kehamilan <37 minggu)
atau sepsis, hentikan terapi sinar setelah 3 hari;

24

Pemulangan

Pulangkan bayi bila terapi sinar sudah tidak diperlukan, bayi minum dengan
baik, atau bila sudah tidak ditemukan masalah yang membutuhkan perawatan
di rumah sakit.

Ajari ibu untuk menilai ikterus dan beri nasehat pada ibu untuk kembali 24
jam setelah pulang.

ii. Transfusi Tukar


Transfusi tukar merupakan tindakan utama yang dapat menurunkan
dengan cepat bilirubin indirek dalam tubuh selain itu juga bermanfaat dalam
mengganti eritrosit yang telah terhemolisis dan membuang pula antibodi yang
menimbulkan hemolisis. Walaupun transfusi tukar ini sangat bermanfaat, tetapi
efek samping dan komplikasinya yang mungkin timbul perlu di perhatikan dan
karenanya tindakan hanya dilakukan bila ada indikasi (lihat tabel 6). Kriteria
melakukan transfusi tukar selain melihat kadar bilirubin, juga dapat memakai
rasio bilirubin terhadap albumin (Tabel 8).
Tabel 8. Kriteria Transfusi Tukar Berdasarkan Berat Bayi dan Komplikasi
Berat Bayi
(gram)
< 1250
1250 1499
1500 1999
2000 2499
2500

Tidak Komplikasi
(mg/dL)
13
15
17
18
20

Rasio
Bili/Alb
5.2
6
6.8
7.2
8

Ada Komplikasi
(mg/dL)
10
13
15
17
18

Rasio
Bili/Alb
4
5.2
6
6.8
7.2

Konversi mg/dL menjadi mmol/L dengan mengalikan 17.1


(Dikutip dari American Academy of Pediatrics. Subcommittee on Hyperbilirubinemia.
Management of hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more weeks of gestation.
Pediatrics 2004 ; 114 : 294)

Yang dimaksud ada komplikasi apabila :


1. Nilai APGAR < 3 pada menit ke 5
2. PaO2 < 40 torr selama 1 jam
3. pH < 7,15 selama 1 jam

25

4. Suhu rektal 35 O C
5. Serum Albumin < 2,5 g/dL
6. Gejala neurologis yang memburuk terbukti
7. Terbukti sepsis atau terbukti meningitis
8. Anemia hemolitik
9. Berat bayi 1000 g
Dalam melakukan transfusi tukar perlu pula diperhatikan macam darah
yang akan diberikan dan teknik serta penatalaksanaan pemberian. Apabila
hiperbilirubinemia yang terjadi disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah
ABO, darah yang dipakai adalah darah golongan O rhesus positip. Pada keadaan
lain yang tidak berkaitan dengan proses aloimunisasi, sebaiknya digunakan darah
yang bergolongan sama dengan bayi. Bila keadaan ini tidak memungkinkan, dapat
dipakai darah golongan O yang kompatibel dengan serum ibu. Apabila hal inipun
tidak ada, maka dapat dimintakan darah O dengan titer anti A atau anti B yang
rendah. Jumlah darah yang dipakai untuk transfusi tukar berkisar antara 140-180
cc/kgBB.
Macam Transfusi Tukar:
11. Double Volume artinya dibutuhkan dua kali volume darah, diharapkan dapat
mengganti kurang lebih 90 % dari sirkulasi darah bayi dan 88 % mengganti
Hb bayi.
22. Iso Volume artinya hanya dibutuhkan sebanyak volume darah bayi, dapat
mengganti 65 % Hb bayi.
33. Partial Exchange artinya memberikan cairan koloid atau kristaloid pada
kasus polisitemia atau darah pada anemia.
Tabel 9. Volume Darah pada Transfusi Tukar
Kebutuhan
Double Volume
Single Volume

Rumus*
BB x volume darah x 2
BB x volume darah

26

Polisitemia
Anemia

BB x volume darah x (Hct sekarang Hct yang diinginkan)


Hct sekarang
BB x volume darah x (Hb yang diinginkan Hb sekarang)
(Hb donor Hb sekarang)
BB x volume darah x (PCV yang diinginkan PCV
sekarang)
(PCV donor)

* Volume darah bayi cukup bulan 85 cc / kg BB


* Volume darah bayi kurang bulan 100 cc /kg BB
(Dikutip dari American Academy of Pediatrics. Subcommittee on Hyperbilirubinemia.
Management of hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more weeks of gestation.
Pediatrics 2004; 114 : 294)

Dalam melaksanakan transfusi tukar tempat dan peralatan yang diperlukan


harus dipersiapkan dengan teliti. Sebaiknya transfusi dilakukan di ruangan yang
aseptik yang dilengkapi peralatan yang dapat memantau tanda vital bayi disertai
dengan alat yang dapat mengatur suhu lingkungan. Perlu diperhatikan pula
kemungkinan terjadinya komplikasi transfusi tukar seperti asidosis, bradikardia,
aritmia, ataupun henti jantung.
Untuk penatalaksanaan hiperbilirubinemia berat dimana fasilitas sarana
dan tenaga tidak memungkinkan dilakukan terapi sinar atau transfusi tukar,
penderita dapat dirujuk ke pusat rujukan neonatal setelah kondisi bayi stabil
(transportable) dengan memperhatikan syarat-syarat rujukan bayi baru lahir
risiko tinggi.

27

BAB III
KESIMPULAN

Ikterus patologis jika: (1) ikterus muncul pada usia 24 jam pertama; (2)
bilirubin serum naik dengan kecepatan lebih besar dari 5 mg/dl/24 jam; (3)
bilirubin serum lebih besar dari 12 mg/dL pada bayi cukup bulan (terutama
bila tidak ada factor resiko) atau 10-14 mg/dL/24 jam pada bayi preterm; (4)
ikterus menetap setelah usia 2 minggu; atau (5) bilirubin yang bereaksi direk
lebih besar dari 1 mg/dL pada setiap saat.

Ikterus fisiologis terjadi pada hari ke-3 sampai ke-7 disebabkan oleh
meningkatnya produksi bilirubin akibat pemecahan eritrosit janin dan belum
matangnya hati dan enzim glukuronil transferase.

Diagnosis ikterus neonatorum secara sederhana dapat dilakukan dengan


system Kramer jika tidak ada alat yang memungkin dan merujuk pasien jika
ditemukan adanya ikterus patologis diatas. TSB adalah baku emas diagnosis
ikterus neonatorum.

Segera rujuk pasien ke fasilitas kesehatan lebih lengkap jika tampak ikterus
pada bagian tubuh manapun sejak 24 jam pertama untuk memulai fototerapi.
Jika TSB dapat dilakukan, lakukan fototerapi jika TSB lebih dari 13 mg/dL
dan pantau bilirubin serum setiap 8-12 jam jika fototerapu berhasil. Fototerapi
dihentikan jika TSB mencapai <13 mg/dL. Pasien boleh pulang setelah 24 jam
fototerapi dihentikan dan pasien control ulang minimal setelah 24 jam pasien
dipulangkan.

Transfuse tukar dilakukan jika TSB mencapai >25 mg/dL atau >20 mg/dL
pada bayi sakit atau bayi <28 minggu atau apabila pasien tidak berespon
terhadap fototerapi. Transfuse tukar dilakukan di rumah sakit rujukan
spesialis.

28

DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Pediatrics. Subcommittee on Hyperbilirubinemia.


Management of hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more
weeks of gestation. Pediatrics 2004
Depkes RI. Klasifikasi Ikterus Fisiologis dan Ikterus Patologis. Dalam : Buku
Bagan MTBM (Manajemen Terpadu Bayi Muda Sakit). Metode Tepat
Guna untuk Paramedis, Bidan dan Dokter. Depkes RI, 2003
Ganong, WF., 2005. Review of Medical Physiology. Edisi 21. a LANGE medical
book. McGraw Hill.
Gourley, GR., Li, Z., Kreamer, BL., and Kosorok, MR., 2005. A Controlled,
Randomized, Double-Blind Trial of Prophylaxis Against Jaundice Among
Breastfed Newborns. Pediatrics, Official Journal of The American
Academy of Pediatrics. June 29, 2008. http://www.pediatrics.org
HTA Indonesia, 2004. Tatalaksana Ikterus Neonatorum.
Maisels, MJ., and McDonagh, AF., 2008. Phototherapy for Neonatal Jaundice.
The New England Journal Medicine. Massachusetts Medical Society
358:920-8. www.nejm.com
Mayes, PA., 2003. Lintasan Pentosa Fosfat dan Lintasan Lainnya dalam
Metabolisme Heksosa. Dalam Biokimia Harper. Edisi 25. Jakarta: EGC.
Hal: 206-216
Murray, RK., 2003. Porfirin dan Pigmen Empedu. Dalam Biokimia Harper. Edisi
25. Jakarta: EGC. Hal: 342-355
Murray, RK., 2003. Sel Darah Merah dan Putih. Dalam Biokimia Harper. Edisi
25. Jakarta: EGC. Hal: 727-742
Nathan, DG., & Oski, 2003. Disorders of Bilirubin Metabolism. Dalam Nathan
and Oskis Hematology of Infancy and Childhood. Edisi 6. Vol 1. WB.
Saunders.
Nelson, WE., 2000. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15. Volume 1. Jakarta:
EGC
Price, SA; dan Wilson, LM; 1995. Fisiologi Proses-proses penyakit. Edisi 4. buku
pertama. Jakarta: EGC.
Prosedur Tetap Pelayanan Perinatal Resiko Tinggi Rumah Sakit Umum Daerah
Kabupaten Bantul tahun 2001.
Rudolph, AM., Hoffman, JIE., dan Rudolph, CD., 2007. Buku Ajar Pediatri
Rudolph (Rudolphs Pediatrics). Volume 2. Edisi 20. Jakarta: EGC.

29

REFERAT

HIPERBILIRUBINEMIA PADA NEONATUS

Disusun untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti kepaniteraan klinik


Ilmu Kesehatan Anak di Rumah Sakit Umum Daerah Panembahan
Senopati Bantul

Oleh
Nayati, S.Ked
20010310022

Pembimbing
Dr. Anik Dwiani, Sp.A

30

SMF Ilmu Penyakit Anak


Rumah Sakit Umum Daerah Panembahan Senopati Bantul
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
2008

31

Anda mungkin juga menyukai

  • Doa Pembuka
    Doa Pembuka
    Dokumen2 halaman
    Doa Pembuka
    R Achep Sumantri J
    Belum ada peringkat
  • Apar 113
    Apar 113
    Dokumen8 halaman
    Apar 113
    R Achep Sumantri J
    Belum ada peringkat
  • Tutorial Klinik LBP
    Tutorial Klinik LBP
    Dokumen1 halaman
    Tutorial Klinik LBP
    R Achep Sumantri J
    Belum ada peringkat
  • Sepsis Neonatorum
    Sepsis Neonatorum
    Dokumen14 halaman
    Sepsis Neonatorum
    R Achep Sumantri J
    Belum ada peringkat
  • Gagal Ginjal Kronis
    Gagal Ginjal Kronis
    Dokumen21 halaman
    Gagal Ginjal Kronis
    R Achep Sumantri J
    Belum ada peringkat
  • Sindroma Nefrotik
    Sindroma Nefrotik
    Dokumen8 halaman
    Sindroma Nefrotik
    R Achep Sumantri J
    Belum ada peringkat
  • Vital Sign
    Vital Sign
    Dokumen25 halaman
    Vital Sign
    R Achep Sumantri J
    Belum ada peringkat
  • Fetal Distres
    Fetal Distres
    Dokumen13 halaman
    Fetal Distres
    R Achep Sumantri J
    Belum ada peringkat
  • Hid Roche Pal Us
    Hid Roche Pal Us
    Dokumen27 halaman
    Hid Roche Pal Us
    R Achep Sumantri J
    Belum ada peringkat
  • Asfiksia Neonatorum
    Asfiksia Neonatorum
    Dokumen1 halaman
    Asfiksia Neonatorum
    R Achep Sumantri J
    Belum ada peringkat
  • Asfiksia Neonatorum
    Asfiksia Neonatorum
    Dokumen1 halaman
    Asfiksia Neonatorum
    R Achep Sumantri J
    Belum ada peringkat
  • Ceram Ah
    Ceram Ah
    Dokumen8 halaman
    Ceram Ah
    R Achep Sumantri J
    Belum ada peringkat
  • Asfiksia Neonatorum
    Asfiksia Neonatorum
    Dokumen1 halaman
    Asfiksia Neonatorum
    R Achep Sumantri J
    Belum ada peringkat
  • Doa Pembuka
    Doa Pembuka
    Dokumen2 halaman
    Doa Pembuka
    R Achep Sumantri J
    Belum ada peringkat
  • Ceram Ah
    Ceram Ah
    Dokumen8 halaman
    Ceram Ah
    R Achep Sumantri J
    Belum ada peringkat