Anda di halaman 1dari 22

Laporan Praktikum

Instrumentasi Bioanalisis

Hari/tanggal : Rabu/9 Sep-5 Nov 2014


Waktu
: 08.00-11.00 WIB
PJP
: Syamsul Falah SHut MSi
Asisten
: Luluatul

TEMULAWAK
Kelompok 1
Herlani Tri Widhiastuti
Haning Safrida Nurlaela
Listia Vidyawati M
Giovann Hanif
Daniel Steven
Rizky Nurhayati
Feby Valentiya
Lisna Farida
Enni Prasetyoningtyas
Bella Marisa
Fadhlan Fakhrul Arifin
Agustina Tri Puspitasari

G84120046
G84120073
G84120086
G84120082
G84120066
G84120036
G84120052
G84120012
G84120051
G84120016
G84120062
G84120023

DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PENDAHULUAN
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan salah satu jenis
tanaman obat dari famili Zingiberaceae yang berpotensial untuk dikembangkan.
Temulawak termasuk tanaman unggulan dari Ditjen POM yang memiliki banyak
manfaat sebagai tanaman obat (Hadipoentyanti et al 2007). Tahapan penting
dalam memperoleh ekstrak tanaman obat adalah melalui proses ekstraksi.
Ekstraksi merupakan cara yang digunakan untuk mengambil senyawa tertentu
dengan menggunakan pelarut yang sesuai. Proses ekstraksi temulawak dapat
dilakukan dengan dua cara, yaitu ekstraksi sokhlet dan ekstraksi maserasi
(Oktaviana 2010).
Soxhlet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang umumnya dilakukan
dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut
relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Depkes RI 2000). Alat sokhlet
berisi pelarut organik berupa alkohol/etanol. Tepung temulawak diekstrak oleh
pelarut organik tersebut. Maserasi adalah pencampuran bahan berupa tepung
temulawak dengan cara merendam bahan dengan pelarut. Prinsip maserasi adalah
pengambilan zat aktif yang dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia
dalam cairan penyari yang sesuai selama tiga hari (Oktaviana 2010). Evaporasi,
menurut Daryoko (2007) adalah proses pemekatan dari suatu larutan dengan
mengubah zat pelarutnya menjadi uap. Suatu larutan umumnya terdiri dari zat
yang mudah menguap (volatile) dan yang tidak mudah menguap (non volatile).
Evaporasi dapat didefinisikan proses penghilangan zat-zat yang mudah menguap
untuk mendapatkan larutan yang lebih pekat.
Kandungan air dalam pangan dapat ditentukan dengan beberapa metode
penetapan kadar air. Penentuan kadar air melibatkan kondisi yang kompleks dan
terdiri atas beberapa macam metode yang sangat tepat, cepat, serta bervariasi.
Metode penentuan kadar air bahan dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu
metode termogravimetri, destilasi, khemis, dan fisis. Prinsip analisa penetapan
kadar air secara termogravimetri adalah pemanasan bahan pada titik didih air
sehingga air akan menguap, lalu ditimbang bobotnya sebelum dan sesudah
pemanasan. Prinsip analisa penetapan kadar air dengan metode termovolumetri
adalah menguapkan air dengan cairan kimia yang mempunyai titik didih lebih

tinggi daripada air dan tidak dapat bercampur dengan air serta mempunyai berat
jenis lebih rendah daripada air sehingga air akan terpisah dan dapat diukur
kadarnya (Buckle 2008).
Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) merupakan salah satu metode untuk
menguji bahan-bahan yang bersifat sitotoksik. Metode ini menggunakan larva
Artemia salina Leach sebagai hewan coba. Uji toksisitas dengan metode BSLT ini
merupakan uji toksisitas akut dimana efek toksik dari suatu senyawa ditentukan
dalam waktu singkat setelah pemberian dosis uji. Prosedurnya dengan
menentukan nilai LC 50 dari aktivitas komponen aktif tanaman terhadap larva
Artemia salina Leach. LC50 adalah konsentrasi sampel yang diuji yang mampu
mematikan 50% dari suatu populasi. Suatu ekstrak dikatakan aktif sebagai
antikanker berdasarkan metode BSLT jika harga LC<1000 g/ml. Penelitian
Carballo menunjukkan adanya hubungan yang konsisten antara sitotoksisitas dan
letalitas Brine Shrimp pada ekstrak tanaman. Metode BSLT dapat dipercaya untuk
menguji aktivitas toksikologi dari bahan-bahan alami (Ramadhani 2009).
Tujuan percobaan adalah memahami prinsip dan teknik pembuatan
simplisia serbuk dari temulawak, maserasi, penentuan kadar air simplisia, analisis
beberapa senyawa fitokimia, uji toksisitas, aktivitas antioksidan, serta pengukuran
total fenolik dalam ekstrak temulawak. Manfaat percobaan ini adalah dapat
meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam menganalisis kandungan suatu
senyawa kimia dalam sampel. Selain itu, hasil percobaan yang telah didapatkan
dapat dikembangkan dalam penelitian lebih lanjut dan mahasiswa dapat
mengetahui tahapan-tahapan yang akan dilakukan dalam menganalisis suatu
sampel.
Hipotesis dari praktikum ini adalah temulawak yang digunakan memiliki
kadar air kurang dari 10 %. Temulawak mengandung senyawa fitokimia alkaloid,
flavonoid, fenolik, saponin, triterpenoid, dan glikosida. Senyawa aktif dalam
temulawak seperti kurkumin, xanthorrizol dan germakon memiliki sifat
antikanker dan antioksidan. Senyawa fenolik pada temulawak akan bereaksi
dengan reagen Folin-ciocalteu.

METODE
Waktu dan Tempat
Praktikum

Instrumentasi

Bioanalisis

dilakukan

di

Laboratorium

Pendidikan Departemen Biokimia Fakultas Ilmu Pengetahuan Alam. Waktu


praktikum yaitu hari Rabu, tanggal 9 September 2014 - 5 November pukul 08.00
11.00 WIB.
Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam percobaan adalah tabung reaksi, rak
tabung reaksi, pipet Mohr 1 mL, pipet Mohr 5 mL, pipet Mohr 10 mL, bulb, pipet
tetes, nampan, pisau, blender, water bath, oven, inkubator, rotatory evaporator,
erlenmeyer 250 mL, corong plastik, cawan porselin, deksikator, penjepit, neraca
analitik, cawan petri, batang pengaduk, vial, toples, aerator, spektronik 20 D, dan
sudip .
Bahan-bahan yang digunakan pada praktikum antara lain temulawak,
etanol 70%, alimunium foil, plastik warp, kertas saring, kloroform, amonia, asam
sulfat pereaksi Dragendorf, pereaksi Mayer, pereaksi Wagner, akuades, FeCl 3 1%,
metanol, asam sulfat pekat, HCl 2N, etanol 30%, eter, asam asetat anhidrat, larva
Artemia salina L, ekstrak etanol, air laut, DPPH, tokoferol, reagen filin ciocalteu,
NaHCO3, asam galat, dan NaOH.
Prosedur
Preparasi sampel. Temulawak sebanyak 2 kg dicuci hingga bersih dengan
air mengalir. Temulawah yang sudah bersih dikupas kulitnya, kemudian dirajang
melintang kecil-kecil. Sampel yang telah dirajang dikeringkan dengan oven pada
suhu 40-50C selama 2 hari hingga kadar air kurang dari 10%. Sampel kering
(simplisia) ditimbang massanya dengan neraca analitik.
Ekstraksi sampel. Simplisia ditimbang massanya sebanyak 20 g dan
dilakukan sebanyak 2 kali pengulangan. Simplisia yang telah ditimbang
dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 mL, kemudian ke dalam masing-masing
erlenmeyer ditambahkan etanol 70% sebanyak 200 mL. Simplisia dan etanol 70%
dihomogenkan, kemudian mulut erlenmeyer ditutup dengan alumunium foil dan
plastik warp. Campuran diletakkan pada shaker dengan kecepatan 120 rpm selama
24 jam. Larutan didiamkan selama 30 menit, kemudian disaring dengan kertas

saring. Filtrat hasil ekstraksi ditempatkan pada labu rotav, kemudian dipekatkan
dengan rotatory evaporator pada suhu 80oC. Alat dimatikan setelah filtrat hampir
berbentuk pasta, kemudian filtrat dipindahkan ke dalam cawan petri kosong yang
telah ditimbang. Rendemen ekstrak ditimbang, lalu dihitung hasil rendemennya.
Penentuan kadar air. Sebanyak tiga buah cawan porselin dikeringkan di
dalam oven pada suhu 105C selama 30 menit. Cawan didinginkan di dalam
deksikator selama 30 menit, kemudian ditimbang bobot kosongnya dengan neraca
analitik. Simplisia sebanyak 2 gdimasukkan ke dalam masing-masing cawan
porselin, lalu dimasukkan ke dalam oven pada suhu 105C selama 2 jam. Cawan
didinginkan di dalam deksikator, lalu ditimbang massanya.
Pengujian alkaloid. Filtrat yang telah dirotaf sebanyak 0.05 g
dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian ke dalam tabung reaksi
ditambahkan 5.0 mL kloroform dan 10 tetes asam sulfat. Fraksi asam yang
terbentuk dibagi menjadi tiga bagian. Bagian-bagian tersebut ditabahkan pereaksi
Dragendorf, pereaksi Mayer, dan pereaksi Wagner. Hasil yang terbentuk diamati
kemudian difoto hasilnya.
Pengujian tanin. Filtrat yang telah dirotaf sebanyak 0.5 g dimasukkan ke
dalam tabung reaksi, lalu dilarutkan dengan 5.0 mL akuades. Larutan didihkan
selama 5 menit. Filtratnya ditambahkan 10 tetes FeCl 3 1%. Hasil yang terbentuk
diamati kemudian difoto hasilnya.
Pengujian flavonoid. Filtrat yang telah dirotaf sebanyak 0.05 g
dimasukkan ke dalam tabung reaksi, lalu dilarutkan dengan 1.5 mL metanol.
Larutan dipanaskan pada suhu 50C selama 5 menit. Larutan dipindahkan ke
dalam plat tetes sebanyak 5 tetes, kemudian ditambahkan 5 tetes asam sulfat
pekat. Hasil yang terbentuk diamati kemudian difoto hasilnya.
Pengujian saponin. Filtrat yang telah dirotaf sebanyak 0.05 g dimasukkan
ke dalam tabung reaksi, lalu dilarutkan dengan 3.0 mL akuades. Larutan
dipanaskan selama 5 menit. larutan dikocok, kemudian ditambahkan HCl
sebanyak 1 tetes. Hasil yang terbentuk diamati kemudian difoto hasilnya.
Pengujian saponin dan triterpenoid. Filtrat yang telah dirotaf sebanyak
1.0 g dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian dilarutkan dengan 2.0 mL
etanol 30%. Larutan dipanaskan pada suhu 50C hingga pelarut menguap. Residu

ditambahkan 1.0 mL. Larutan ditambahkan 3.0 mL asam asetat anhidrat,


kemudian dipanaskan selama 5 menit. Larutan didinginkan terlebih dahulu, lalu
ditambahkan 1 tetes asam sulfat pekat. Hasil yang terbentuk diamati kemudian
difoto hasilnya.
Pengujian fenolik hidrokuinon. Filtrat yang telah dirotaf sebanyak 0.05 g
dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian dularutkan dengan 2.0 mL etanol
30%. Larutan dipanaskan pada suhu 50C, kemudian ke dalam larutan
ditambahkan 3 tetes NaOH. Hasil yang terbentuk diamati kemudian difoto
hasilnya.
Uji

Toksisitas.

Larutan

ekstrak

dibuat

dengan

konsentrasi

10,50,100,500,1000 ppm dan ditambahkan dengan 0,15 mL DMSO 20% . Vial


ditera menggunakan air sebanyak 5 mL. Air laut dimasukan sebanyak 1 mL
kemudian 10 ekor larva udang dimasukan kedalam vial. Masing-masing
konsentrasi sampel dimasukan sebanyak 0,5 mL kemudian ditera sampai batas 5
mL dan diinkubasi selama 24 jam. Larva udang yang mati dihitung
Pengukuran aktifitas antioksidan ekstrak. Larutan ekstrak dibuat
dengan konsentrasi 200 ppm dala pelarut methanol. Larutan ekstrak awal
diencerkan menjadi konsentrasi sebesar 100,50,25,dan 12,5 ppm. Masing-masing
larutan ditambahkan dengan 1 mL DPPH 0,1 mM, larutan control dibuat dengan 2
mL DPPH 0,1 mM. larutan sampel dan control diinkubasi selama 30 menit
kemudian diukur absorbansinya pada 517 nm.
Pengukuran total fenolik dalam ekstrak . Larutan ekstrak disiapkan
dengan konsentrasi 1 mg/mL dengan pelarut methanol. Larutan sebanyak 0,5 mL
ditambahkan 2,5 mL reagen follin Ciocalteu 10 % dan 2,5 mL NaHCO 3 7,5%.
Larutan blanko dibuat dengan campuran methanol 0,5 mL , 2,5 mL reagen follin
Ciocalteu 10 % dan 2,5 mL NaHCO3 7,5%. Sampel dan blanko diinkubasi selama
45oC selama 45 menit. Setelah diinkubasi sampel diukur absorbansinya pada
panjang gelombang 765 nm.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Ekstraksi merupakan suatu metode pemisahan unsur pokok dari suatu
campuran yang menggunakan daya larut yang istimewa dari satu komponen atau

lebih pada fase kedua (Ramdja 2009). Metode ekstraksi yang digunakan pada
ekstraksi temulawak kali ini adalah metode maserasi. Proses ekstraksi sampel
temulawak menggunakan etanol sebagai pelarut. Pelarut yang digunakan pada
proses ekstraksi berfungsi mengekstrak substansi yang diinginkan tanpa
melarutkan material lainnya.
Faktor-faktor harus diperhatikan untuk memilih jenis pelarut yang sesuai
yaitu harga konstanta distribusi tinggi untuk gugus yang bersangkutan dan
konstanta distribusi rendah untuk gugus pengotor lainnya, kelarutan pelarut
organik rendah dalam air, viskositas kecil dan tidak membentuk emulsi dengan
air, tidak mudah terbakar dan tidak bersifat racun, mudah melepas kembali gugus
yang terlarut didalamnya untuk keperluan analisa lebih lanjut (Kellner 2004).
Pelarut yang paling baik untuk ekstraksi temulawak adalah etanol. Etanol bersifat
polar, mampu melarutkanhampir semua zat, baik yang bersifat polar, semipolar,
dan non polar sertakemampuannya untuk mengendapkan protein, menghambat
kerja enzim sehingga dapatterhindar proses hidrolisis dan oksidasi. Etanol juga
tidak memiliki sifat beracun seperti metanol (Ramdja 2009).
Rendemen ekstrak merupakan perbandingan jumlah ekstrak yang
diperoleh dengan simplisia awal yang digunakan dan dinyatakan dalam
persentase. Rendemen ekstrak dapat digunakan sebagai parameter standar mutu
ekstrak pada tiap produksi maupun parameter efisiensi ekstraksi. Hasil ekstraksi
temulawak pada percobaan ini memiliki rendemen sebesar 25.36% dan 93.95%.
Menurut penelitian Sari (2013) rendemen ekstrak temulawak dengan metode
refluks menggunakan

pelarut etanol sebesar 5.96% tanpa melalui proses

defatisasi. Hasil penelitian Devaraj (2010) menyatakan bahwa rendemen ekstrak


temulawak dengan metode maserasi dan pelarut etanol sebesar 5.2%.
Tabel 1 Hasil rendemen ekstrak
Cawan keCawan 1
Cawan 2

Bobot simplisia
(g)
20.07
20.00

Bobot cawan kosong


tanpa tutup (g)
67.90
35.27

Bobot cawan + ekstrak


tanpa tutup (g)
72.99
54.06

Rendemen
(%)
25.36
93.95

Kadar air merupakan banyaknya air yang terkandung dalam bahan yang
dinyatakan dalam persen. Air juga salah satu karakteristik yang sangat penting

pada bahan pangan, bahan kimia. Penentuan kadar air sangat penting dalam
masalah industri, misalnya dalam evaluasi materials balance atau kehilangankehilangan selama pengolahan (Astuti 2012). Menurut Dirjen POM (2000),
pengukuran kandungan air yang berada dalam bahan ataupun sediaan yang
dilakukan dengan cara yang tepat diantaranya cara titrasi, destilasi, atau
gravimetri yang bertujuan memberikan batasan minimal atau rentang tentang
besarnya kandungan air dalam bahan, dimana nilai maksimal atau rentang yang
diperbolehkan terkait dengan kemurnian dan kontaminasi.
Penentuan kadar air pada percobaan ini menggunakan oven dengan
metode gravimetri. Cara kerja gravimetri ini adalah penguapan, dimana bahan
alami yaitu temulawak diuapkan untuk dimurniakan menjadi kristal dengan
langkah awal mengubah serbuk temulawak menjadi bahan yang mudah menguap
dan terdekomposisi pada suhu tertentu, suhu yang digunakan sebesar 105C.
Dilakukan dalam suhu tinggi dikarenakan pada suhu tinggi memungkinkan zat
untuk membentuk kristal seperti yang diketahui bahwa air akan mendidih pada
suhu 100C. Setelah dilakukan pemanasan untuk mencari kadar air, bahan-bahan
yayng ada pada cawan porselin di dinginkan dengan cara dimasukkan ke dalam
desikator. Setelah itu ditimbang. Percobaan ini dilakukan tiga kali pengulangan.
Rata-rata kadar air yang didapatkan pada bahan temulawak ini adalah 8.7%.
Cahyono (2011) menyatakan, kadar air rata-rata simplisia temulawak pada
percobaannya menggunakan oven adalah 4.6%. Kadar air minimal pada simplisisa
temulawak adalah 10%, karena mikrooraganisme dapat tumbuh pada simplisia
temulawak dengan kadar air >10% yang akan memangaruhi rekasi enzimatis
sehingga mempercepat pembusukan. Didapatkan rata-rata kadar air simplisia
temulawak sebesar 8.7% menunjukkan simplisia temulawak yang didapatkan
cukup baik dan masih didalam batas minimal kadar air yang menyebabkan
kebusukan.
Tabel 2 Hasil kadar air
Ulangan

1
2
3

Bobot
cawan
kosong
(g)
40.69
42.25
42.75

Bobot
cawan+sampel
basah (g)
42.73
44.26
44.76

Bobot
sampel
basah
(g)
2.04
2.01
2.01

Bobot
cawan+sampel
kering (g)

Bobot
sampel
kering (g)

Kadar
air (%)

44.64
44.08
44.59

3.95
1.83
1.84

-93.36
8.95
8.45

Prinsip uji fitokimia didasarkan pada identifikasi warna yang terdapat pada
ekstrak temulawak dengan menggunakan pereaksi Meyer, Dragendorf, dan
Wagner untuk alkaloid, larutan FeCl3 untuk tanin, H2SO4 pekat untuk flavonod,
pereaksi Liebermenn-Burchard untuk terpenoid, dan NaOH untuk fenolik
hidrokuinon (Purba 2007). Hasil uji fitokimia dilakukan pada ekstrak temulawak
dapat dilihat pada Tabel 3. Senyawa alkaloid diuji dengan pereaksi Dragendorf,
Mayer, dan Wagner, dibuktikan dengan terbentuknya warna merah pada
Dragendorf dan endapan coklat pada Wagner, sedangkan pada pereaksi Mayer
tidak terdapat endapan putih sehingga hasilnya negatif. Senyawa flavonoid diuji
dengan pereaksi metanol, dibuktikan dengan terbentuknya warna merah. Senyawa
tanin diuji dengan larutan 1 % FeCl3 reaksi positif memberikan warna biru lalu
hitam. Uji tanin pada percobaan memberikan hasil negatif. Senyawa saponin diuji
dengan pengocokan dan ditandai dengan terbentuknya busa yang stabil pada filtrat
simplisia, amun pada percobaan memberikan hasil negatif. Senyawa triterpenoid
dan steroid diuji dengan pereaksi Liebermann-Bouchardat ditandai dengan warna
ungu untuk triterpenoid dan warna hijau biru untuk steroid. Hasil percobaan
memberikan reaksi positif untuk triterpenoid.

Senyawa kuinon diuji dengan

larutan NaOH dan ditandai dengan terbentuknya warna merah.


Kandungan kimia di rimpang temulawak mengandung zat warna kuning
(kurkumin), desmetoksi kurkumin, glukosa, kalium oksalat, protein, serat, pati,
minyak atsiri yang terdiri dari d-kamfer, siklo isoren, mirsen, p-toluil
metilkarbinol,

falandren,

borneol,

tumerol,

xanthorrhizol,

sineol,

isofuranogermakren, zingiberen, zingeberol, turmeron, artmeron, sabinen,


germakron, atlantone (Wijayakusuma 2007). Berdasarkan penelitian Hayani
(2006), senyawa fitokimia yang terdapat pada temulawak adalah alkaloid, fenolik,
flavonoid, triterpenoid, dan glikosida. Hasil percobaan yang dilakukan sesuai
dengan hasil penelitian Hayani (2006), bahwa temulawak menunjukkan hasil
positif untuk alkaloid, flavonoid, triterpenoid, dan fenolik hidrokuinon.
Sedangkan pada senyawa glikosida tidak dilakukan uji pada percobaan. Hasil

negatif pada peraksi Mayer dimungkinkan karena pereaksi yang digunakan telah
terkontaminasi sehingga tidak terbentuk endapan putih pada sampel.

Tabel 3 Hasil uji fitokimia


Uji

Pengamatan

Warna

Dragendorf

Merah

Mayer

Kuning

Wagner

Coklat

Tanin

Kuning
kecoklatan

Flavonoid

Merah

Saponin

Kuning

Steroid dan Triterpenoid

Merah
(triterpenoid)

Fenolik hidrokuinon

Merah

Alkaloid

Keterangan :

+ : mengandung sampel uji


- : tidak mengandung sampel uji

Gambar

Prinsip uji toksisitas adalah bahwa komponen bioaktif selalu bersifat


toksik jika diberikan dengan dosis tinggi dan menjadi obat pada dosis rendah.
Larva udang memiliki kulit yang tipis dan peka terhadap lingkungannya sehingga
banyak digunakan dalam uji toksisitas. Zat atau senyawa asing yang ada di
ligkungan akan terserap ke dalam tubuh secara difusi dan langsung mempengaruhi
kehidupannya. Larva udang yang sensitif akan mati apabila zat asing tersebut
bersifat toksik. Uji toksisitas digunakan untuk mengetahui pengaruh racun yang
dihasilkan oleh dosis tunggal dari suatu campuran zat kimia pada hewan coba
sebagai uji pra skrining senyawa bioaktif antikanker (McLaughlin dan Rogers
1998).
Hasil uji BSLT ekstrak temulawak menggunakan larva Artemia salina L
dapat dilihat pada Tabel 4. Hasil menunjukkan bahwa konsentrasi berbanding
lurus dengan persen kematian larva Artemia salina L. Semaki tinggi konsentrasi
semakin tinggi persen kematian. Larva Artemia salina L mengalami kematian
100% pada konsentrasi 5000 ppm. Pada konsentrasi 500 ppm menuju 1000 ppm
meunjukkan kenaikan yang cukup signifikan sehingga didapatkan kurva yang
tidak stabil. Kurva hubungan konsentrasi terhadap % kematian larva dapat dilihat
pada Gambar 1. Kurva yang didapatkan memiliki persamaan y = 0,0002x +
0,2631 dan nilai R2 sebesar 0.5052. Nilai R2 yang didapatkan cukup rendah, hal
tersebut menunjukkan kelinieran data tidak stabil. Namun, hasil uji menunjukkan
bahwa ekstrak temulawak terbukti memiliki senyawa aktif yang bersifat
antikanker dilihat dari aktivitasnya dalam mematikan larva Artemia salina L.
Hasil percobaan menunjukkan bahwa LC50 dari ekstrak temulawak sebesar
7179,35 ppm.
Artemia salina L merupakan jenis crustaceae tingkat rendah dari filum
arthropoda yang memiliki kandungan nutrisi cukup tinggi seperti karbohidrat,
lemak, protein, dan asam amino. Artemia salina L dapat hidup di perairan yang
berkualitas tinggi antara 60-300 ppt dan mempunyai toleransi tinggi terhadap
oksigen dalam air. Oleh karena itu artemia ini sangat potensial untuk
dibudidayakan di tambak-tambak yang bersalinitas tinggi. Artemia salina L adalah
larva udang air asin, termasuk dalam invertebrata yang digunakan dalam uji

alternatif untuk menentukan toksisitas bahan kimia dan produk alami (Nguta
2012).
Tabel 4 Hasil uji BSLT
Jumlah Artemia yang mati

No.

Konsentrasi ekstrak
(ppm)

Ulangan 1

Ulangan 2

Ulangan 3

1.

100

3.33%

2.

500

13.33%

3.

1000

10

10

96.67%

4.

5000

10

10

10

100.00%

5.

Kontrol

16.67%

% kematian

120.00%
f(x) = 0x + 0.26
R = 0.51

100.00%
80.00%
% kematian

60.00%
40.00%
20.00%
0.00%
0

1000

2000

3000

4000

5000

6000

[ekstrak] (ppm)

Gambar 1 Kurva hubungan [ekstrak] terhadap % kematian Artemia salina L

Antioksidan didefinisikan sebagai

senyawa yang mampu menunda,

memperlambat, atau menghambat reaksi oksidasi (Pokorny et al 2001). Senyawa


antioksidan memegang peranan

penting dalam pertahanan tubuh terhadap

pengaruh buruk yang disebabkan radikal bebas. Radikal bebas diketahui dapat
menginduksi penyakit kanker, arteriosklerosis dan penuaan, disebabkan oleh
kerusakan jaringan karena oksidasi (Kikuzaki dan Nakatani 1993).
Metode DPPH mengukur kemampuan suatu senyawa antioksidan dalam
menangkap radikal bebas. Kemampuan penangkapan radikal berhubungan dengan

kemampuan komponen senyawa dalam menyumbangkan elektron atau hidrogen.


Setiap molekul yang dapat menyumbangkan elektron atau hidrogen akan bereaksi
dan akan memudarkan DPPH. Intensitas warna DPPH akan berubah dari ungu
menjadi kuning oleh elektron yang berasal dari senyawa antioksidan. Konsentrasi
DPPH pada akhir reaksi tergantung pada konsentrasi awal dan struktur komponen
senyawa penangkap radikal (Naik et al 2003).
Tabel 6 Hasil pengukuran aktivitas absorbansi kontrol negatif ekstrak temulawak
dengan metode DPPH
Konsentrasi (ppm)
Kontrol negatif
1,25
2,5
5
10
20

Absorbansi
0,300
0,277
0,261
0,240
0,188
0,122

% Inhibisi
0,000
7,667
13,000
20,000
37,333
59,333

Gambar 2 Hubungan % inhibisi (daya hambat) dengan konsentrasi ekstrak temulawak


70
60

f(x) = 2.88x + 4.26


R = 0.98

50
40

% Inhibisi 30
20
10
0
0

10

15

Konsentrasi (ppm)

20

25

Uji kuantitatif daya antioksidan pada penelitian ini dilakukan dengan


metode DPPH (1,1-difenil-2-pikrilhidrazil) secara spektrofotometri sinar tampak.
Metode ini didasarkan pada perubahan warna radikal DPPH. Perubahan warna
tersebut disebabkan oleh reaksi antara radikal bebas DPPH dengan satu atom
hidrogen yang dilepaskan senyawa yang terkandung dalam bahan uji untuk
membentuk senyawa 1,1-difenil-2-pikrilhidrazin yang berwarna kuning. Pada
metode ini absorbansi yang diukur adalah absorbansi larutan DPPH sisa yang
tidak bereaksi dengan senyawa antioksidan (Josephy 1997).
Parameter yang digunakan untuk menunjukkan aktivitas antioksidan
adalah inhibition concentration 50 (IC50), yaitu konsentrasi zat antioksidan yang
dapat menyebabkan 50% DPPH kehilangan karakter redikal atau konsentrasi zat
antioksidaan yang memberikan penghambatan 50 %. Harga IC yang rendah
menunjukkan aktivitas antioksidan yang tinggi, dan sebaliknya (Bintang 2010).
Hasil praktikum menunjukkan bahwa nilai % inhibisi meningkat seiring dengan
konsentrasi sampel temulawak yaitu dengan persamaan y = 2,8849x + 4,2573 dan
R = 0,9804. Hal ini disebabkan karena semakin banyak elektron pada radikal
bebas DPPH yang menjadi berpasangan. Data yang dihasilkan baik, hal ini dapat
ditunjukkan dari nilai R yang diperoleh mendekati 1.
Tokoferol atau vitamin E adalah nama umum untuk semua metil-tokol,
jadi istilah tokoferol bekan sinonim dari dari vitamin E, namun pada praktek
sehari-hari, kedua istilah tersebut disinonimkan. Terdapat enam jenis tokoferol,
(alfa), (beta), (gama), (delta), (eta), (zeta), yang memiliki aktivitas
bervariasi, sehingga nilai vitamin E dari suatu bahan pangan didasarkan pada
jumlah dari aktivitas-aktivitas tersebut. Tokoferol yang terbesar aktivitasnya
adalah tokoferol alfa. Tokoferol efektif mencegah terjadinya peroksidasi lipid
dan pembentukan radikal bebas lainnya.

Dalam banyak penelitian aktivitas

tokoferol sebagai antioksidan diyakini kemampuannya untuk mencegah penyakitpenyakit kronik seperti penyakit kardiovaskular, atherosklerosis, dan kanker. Data
epidemiologi menunjukkan bahwa masukan tokoferol atau vitamin E dosis tinggi,

berhubungan dengan penurunan risiko penyakit kardiovaskular. Vitamin E atau


tokoferol berperan spesifik sebagai antioksidan (Dimitrov et al 1991).
Hasil praktikum menunjukkan bahwa nilai % inhibisi terhadap konsentrasi
tokoferol menunjukkan nilai yang fluktuasi. Nilai absorbansi pada Tabel 7
menunujukkan bahwa

nilai absorbansinya di bawah range, karena range

absorbansi yang baik adalah 0.2-0.8. Rendahnya nilai absorbansi disebabkan


karena larutan tokoferol terlalu rendah (konsentrasi rendah). Persamaan garis yang
didapat sebesar y = -0,0447x + 97,642 dengan R sebesar 0,4529. Nilai R 2
menunjukkan ketelitian dan ketepatan pada percoban tidak bagus karena kurang
mendekati

satu.

Peningkatan

konsentrasi

tokoferol

seharusnya

dapat

meningkatkan niali % inhibisi, karena semakin banyak elektron pada radikal


bebas DPPH yang menjadi berpasangan. Penyimpangan nilai hasil IC50 tokoferol
yang didapat dengan teori disebabkan karena kurva standar yang dihasilkan tidak
baik yang ditunjukkan dengan adanya nilai % inhibitor yang tidak stabil dengan
kurva yang kurang linier. Hasil praktikum menunjukkan bahwa aktivitas
antioksidan pada temulawak jauh lebih rendah daripada aktivitas kontrol positif
(tokoferol) yang ditandai nilai IC50 pada lengkuas lebih tinggi.
Tabel 7 Hasil pengukuran absorbansi kontrol positif dengan metode DPPH
Konsentrasi
1,25
2,5
5
10
20

Absorbansi
0,012
0,018
0,016
0,015
0,020

% inhibisi
97,997
96,995
97,329
97,496
96,661

Gambar 3 Hubungan % inhibisi (daya hambat) dengan konsentrasi tokoferol


98.5
98
97.5

% inhibisi

f(x) = - 0.04x + 97.64


R = 0.45

97
96.5
96
95.5
0

10

15

20

25

Konse ntrasi (ppm)

Fenolik merupakan senyawa mudah teroksidasi yang banyak ditemukan


pada tumbuhan. Fenolik memiliki cincin aromatik dengan satu atau lebih gugus
hidroksi (OH-) dan gugus-gugus lain penyertanya (Satyajit 2007). Senyawa fenol
pada bahan makanan dapat dikelompokkan menjadi fenol sederhana dan asam
folat (P-kresol, 3-etil fenol, 3,4-dietil fenol, hidroksiquinon, vanilin dan asam
galat), turunan asam hidroksi sinamat (p-kumarat, kafeat, asam fenolat dan asam
kloregenat) dan flavonoid (katekin, proantosianin, antisianidin, flavon, flavonol
dan glikosidanya. Fenol juga dapat menghambat okidasi lipid dengan
menyumbangkan atom hidrogen kepada radikal bebas (Widiyanti 2006).
Ekstrak temulawak yang dilarutkan ke dalam metanol pada percobaan ini
diuji total fenoliknya dengan menggunakan metode Folin Ciocalteu. Hal ini
dilakukan untuk mengetahui kadar senyawa fenolik yang terdapat di dalam
ekstrak temulawak. Menurut Melannisa et al (2011), mekanisme dari metode ini
berdasarkan kekuatan mereduksi dari gugus hidroksi fenolik. Semua senyawa
fenolik termasuk fenol sederhana dapat bereaksi dengan reagen Folin Ciocalteu.
Adanya inti aromatis pada senyawa fenol (gugus hidroksi fenolik) dapat
mereduksi fosfomolibdat fosfotungstat menjadi molybdenum yang berwarna biru.
Fenolat hanya terdapat pada larutan basa, tetapi pereaksi Folin-Ciocalteu dan
produknya tidak stabil pada kondisi basa. Nely (2007) mangatakan, penambahan
Na2CO3 pada uji fenolik bertujuan untuk membentuk suasana basa agar terjadi
reaksi reduksi Folin-Ciocalteu oleh gugus hidroksil dari fenolik di dalam sampel.

Ekstrak temulawak yang diuji total fenolik akan terjadi perubahan warna
dari kuning menjadi biru. Intensitas warna biru ditentukan oleh banyaknya
kandungan fenol dalam larutan sampel. Semakin besar konsentrasi senyawa
fenolik dalam sampel semakin pekat warna biru yang terbentuk. Hasil reaksi
kemudian diukur nilai absorbansinya dengan spektrofotometer dengan panjang
gelombang 765 nm. Intensitas warna yang terbentuk sebanding dengan nilai
absorbansinya. Nilai absorbansi yang diperoleh kemudian dibandingkan dengan
kurva standar dari asam galat yang digunakan sebagai baku. Asam galat yang
digunakan sebagai standar atau baku ditunjukkan oleh Tabel 6. Data tersebut
kemudian diplotkan ke dalam kurva standar yang ditunjukkan oleh Gambar 2.
Persamaan garis yang diperoleh dari data konsentrasi asam galat dan
absorbansinya adalah y= 0,011x-0,137 dengan nilai R2=0,516. Nilai R2 yang
cukup jauh dari angka 1 menunjukkan bahwa korelasi atau kelinearitas antara
konsentrasi asam galat dengan nilai absorbansinya kurang baik. Hal ini
menjadikan kurva standar kurang baik digunakan sebagai acuan dalam
menentukan senyawa fenolik temulawak ini. Hal ini dapat disebabkan oleh
penyimpangan kimia berupa pengenceran ynag kurang akurat atau adanya
kontaminan yang dapat mengganggu nilai absorbansi.
Tabel 6 Data absorbansi asam galat
Konsentrasi (mg/mL)
Blanko
20
40
60
80

Absorbansi terukur
0.114
0.385
0.298
0.305
1.115

Absorbansi terkoreksi
0.271
0.184
0.191
1.001

Gambar 4 Hubungan konsentrasi ekstrak temulawak dengan absorbansi rerata


1.2
1
0.8
Absorbansi terkoreksi

f(x) = 0.01x - 0.14


R = 0.52

0.6
0.4
0.2
0
10

20

30

40

50

60

70

80

90

Konsentrasi (mg/mL)

Kurva standar yang diperoleh digunakan sebagai acuan dalam penentuan


senyawa fenolik di dalam ekstrak temulawak dalam larutan. Larutan yang terdiri
atas ekstrak temulawak dan metanol yang ditambahkan reagen Folin Cioceltau
dan NaHCO3 diinkubasi kemudian diukur nilai absorbansinya menggunakan
spektrofotometer. Hasil pengukuran tersebut adalah 0.303 pada ulangan 1, 0,228
pada ulangan 2, dan 0,241 pada ulangan 3. Ketiga nilai absorbansi dirata-rata
kemudian ditentukan konsentrasi senyawa fenolik menggunakan persamaan garis
pada kurva standar. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa total fenolik dalam 1
mg/mL ekstrak temulawak adalah 35,818 mg/mL. Total fenolik GAE (Gallic Acid
Equivalent) merupakan ekuivalensi milligram asam galat tiap gram ekstrak. Total
fenolik GAE temulawak adalah 0.0821 mg/g (Tabel 7). Hal ini menunjukkan
bahwa setiap 1 gram ekstrak sampel temulawak mempunyai 0,0821 mg senyawa
fenolik. Hal ini sesuai dengan pernyataan Melannisa et al (2011) bahwa
temulawak mengandung

senyawa fenolik seperti kurkuminoid, flavonol

kuersetin, hidrokuinon, kaempferol, mirisetin, dan luteolin.


Tabel 8 Kandungan total fenolik
Ekstrak
Sampel

Temulawak

Ulangan A
1

0.303

0.228

0.241

[Ekstrak]
mg/mL

Bobot
Ekstrak
(g)

Total
Fenolik
(mg/mL)

0.0109

35.818

Total
Fenolik
GAE
(mg/g)
0.0821

SIMPULAN
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan salah satu jenis
tanaman obat dari famili Zingiberaceae yang berpotensial untuk dikembangkan.
Temulawak memiliki kadar air yang kurang dari 10 %. Temulawak pada uji
fitokimia sesuai dengan literatur yaitu terdapat alkaloid, fenolik, flavonoid,
triterpenoid, dan hidrokuinon. Hasil uji BSLT ekstrak temulawak menggunakan
larva Artemia salina L. Semakin tinggi konsentrasi semakin tinggi persen
kematian. Ekstrak temulawak pada uji toksisitas terbukti memiliki senyawa aktif
yang bersifat antikanker. Temulawak dapat digunakan sebagai antioksidan. Hasil
pengukiran aktivitas antioksidan yang diperoleh bersifat fluktuatif. Setiap 1 gram
ekstrak sampel temulawak mempunyai 0,0821 mg senyawa fenolik.

SARAN
Praktikum lebih lanjut mengenai banyaknya komponen dalam rimpang
temulawak dengan menggunakan bahan dari ekstrak temulawak dengan analisis
secara KLT yang dilanjutkan dengan GC-MS.

DAFTAR PUSTAKA
Afifah E dan Tim Lentera. 2003. Khasiat Dan Manfaat Temulawak Rimpang
Penyembuh Aneka Penyakit. Jakarta: Agromedia Pustaka
Astuti. 2012. Petunjuk Praktikum Analisis Bahan Pangan. Yogyakarta(ID): Jurdik
Biologi FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta.
Bintang M. 2010. Biokimia Teknik Penelitian. Jakarta (ID) : Erlangga.
Buckle KA, Edward RA, Fleet GH, dan Wootton M. 2008. Food
Science. Jakarta: Universitas Indonesia. Terjemahan Hari
Purnomo dan Adiono dalam Ilmu Pangan.
Cahyono B, Huda MD, Limantara L. 2000. Pengaruh Proses Pengeringan
Rimpang Temulawak (Curcuma xanthorriza ROXB) terhadap Kandungan
dan Komposisi Kurkuminoid. Jurnal Reaktor. 13(3):165-171.
Daryoko M, 2007. Prancangan alat pengambilan asam borat dari sistem air
pendingin primer PLTN-reaktor air ringan bertekanan, 1000 MW. Jurnal
Teknologi Pengolahan Limbah. 10(1):1-11.
Depkes RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat, Direktorat
Jendral Pengawasan Obat dan Makanan, Direktorat Pengawasan Obat
Tradisional. Jakarta.

Devaraj S., Esfahani AS, Ismail S., Ramanathan S., dan Yam FM. 2010.
Evaluation of the antinociceptive activity and acute oral toxicity of
tandardized ethanolic extract of the rhizome of curcuma xanthorrhiza roxb.
J.Med.Res. 4(23): 2512-2517.
Dimitrov N.V, Meyer C, Gilliland D, Ruppenthal M, Chenoweth W, dan Malone
W. 1991. Plasma tocopherol concentrations in response to supplemental
vitamin E. Am J Clin Nutr. 53: 723-729.
Dirjen POM. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat.
Jakarta(ID): Departemen Kesehatan RI.
Hadipoentyanti E dan syahid SF. 2007. Respon temulawak (Curcuma
xanthorrhiza Roxb.) hasil rimpang kultur jaringan geberasi kedua terhadap
pemupukan. Jurnal Littri. 13(3):106-110.
Hayani E. 2006. Analisis kandungan kimia rimpang temulawak. Temu Teknis
Nasional Tenaga Fungsional Pertanian. Balai Penelitian Tanaman Rempah
dan Obat.
Josephy PD. 1997. Molecular Toxicology. Oxford University Press : New York.
Kellner. 2004. Analytical Chemistry. USA: John Willey & Sons.
Kikuzaki K dan Nakatani N. 1993. Antioxidant effects of some ginger
constituents. Journal of Food Science 58(6) : 1407-1410.
Mc Laughlin JL, Rogers LL. 1998. The use of biological assays to evaluate
botanicals. Drugs Information Journal. 32: 513-517.
Melannisa R., Dai M, dan Rahmi RT. 2011. Uji aktivitas penangkap radikal bebas
dan penetapan kadar fenolik total ekstrak etanol tiga rimpang genus curcuma
dan rimpang temu kunci (Boesenbergia pandurata). Pharmacon. 12(1):4043.
Naik GH, Priyadarsini KI, Satav J.G, Banavalikar M.M, Sohoni D.P, Biyani,
M.K, dan Mohan H. 2003. Comparative antioxidant activity of individual
herbal omponents used in ayurvedic medicin. Phytochemistry 63(1): 97-104.
Nely,F. 2007. Aktivitas Antioksidan Rempah Pasar dan Bubuk Rempah Pabrik
dengan Metode Polifenol dan Uji AOM (Active Oxygen Method)
[skripsi].Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Nguta JM, Mbaria JM, Gakuya DW, Gathumbi PK, Kabasa JD, Kiama SG. 2012.
Evaluation of acute toxicity of crude plant extracts from kenyan biodiversity
using brine shrimp, Artemia salina L. (Artemiidae). The Open Conference
Proceedings Journal. 3: 30-34.
Oktaviana PR. 2010. Kajian kadar kurkuminoid, total fenol, dan aktivitas
antioksidan ekstrak temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) pada
berbagai teknik pengeringan dan proporsi pelarutan [skripsi]. Surakarta (ID)
Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Pokorny J, Yanishlieva N dan Gordon M. 2001. Antioxidant in Food : Practical


Application. CRC Press Cambridge : New York.
Purba R. 2007. Analisis fitokimia dan uji bioaktif daun kaca (Paperomia
pellucida L). Jurnal Kimia Wulawarman.5: 1639-5616.
Ramadhani AN. Uji toksisitas akut ekstrak etanol daun sukun (Artocarpus altilis)
terhadap larva Artemia salina Leach dengan metode Brine Shrimp
Lethality Test (BSLT). Artikel. Fakultas Kedokteran, Universitas
Diponegoro.
Ramdja AF, Aulia RMA, dan Mulya P. 2009. Ekstraksi kurkumin dari temulawak
dengan menggunakan etanol. Jurnal Teknik Kimia. 16(3): 52-58.
Sari DLN, Cahyono B., dan Kumoro AC. 2013. Pengaruh jenis pelarut pada
ekstraksi kurkuminoid dari rimpang temulawak (Curcuma xanthoriza
Roxb). Chem Info. 1(1): 101-107.
Satyajit. 2007. Kimia untuk Farmasi, Bahan Kimia Organik, Alam dan Umum.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Setiawan A, Utami R, dan Kawiji. Pengaruh penambahan minyak atsiri rimpang
temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) pada edible film terhadap
karakteristik organoleptik dan antimikroba. Jurnal teknosains Pangan. 2(3):
9-14
Sidik, Moeljono A, Muhtadi, Sirait, dan Moesdarsono. 1999. TEMULAWAK
(Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Jakarta (ID): Yayasan Pengembangan Obat
Bahan Alam Phytomedica.
Sumiati. 1997. Minuman Berkhasiat dari Temulawak (Curcuma xanthorriza).
Bogor (ID): IPB Press.
Widiyanti, Ratna. 2006. Analisa Kandungan Antioksidan dan Fenol pada Jahe.
Jakarta (ID): UI Press.
Wijayakusuma M, Hembing. 2007. Penyembuhan dengan Temulawak I. Jakarta
(ID): Sarana Pustaka Prima.

Lampiran 1 Contoh Perhitungan


1. Ekstraksi
2. Kadar air
(Pada ulangan ke- 2)
Bobot sampel basah - bobot sampel kering
Kadar air =
x 100%
Bobot sampel basah
Kadar air =

2.01 1.83
x 100%
2.01

Kadar air = 8.95 %

3. %kematian
ulangan 1+ulangan 2+ulangan 3
0+1+0
3
3
%kematian=
x 100 =
x 100 =3,33
10
10
4. LC50
y = a + bx
log 50 = 0,2631 + 0,0002x
1,6989 = 0,2631 + 0,0002x
x = [ekstrak] = 7179,35 ppm
5. Total Fenolik
Rerata absorbansi

ulangan 1+ulangan 2+ulangan 3


3

0.303+ 0.228+0.241
3

0.257
6. y
= a + bx
y
= -0.137 + 0.011x
0.257 = -0.137 + 0.011x
0.011x = 0.257 + 0.137
x
= 35.818 mg/Ml
7. Total Fenolik GAE labu ukur 25 mL
C = c ( V/m)
0.025 L
= 35.818 mg/L ( 10.9 mg ) = 0.0821 mg/g

Anda mungkin juga menyukai

  • Fosfor Darah
    Fosfor Darah
    Dokumen8 halaman
    Fosfor Darah
    Herlani Tri Widhiastuti
    Belum ada peringkat
  • Metode Bradford
    Metode Bradford
    Dokumen7 halaman
    Metode Bradford
    Herlani Tri Widhiastuti
    Belum ada peringkat
  • Metode Lowry
    Metode Lowry
    Dokumen7 halaman
    Metode Lowry
    Herlani Tri Widhiastuti
    100% (1)
  • Tegangan Permukaan Zat Cair
    Tegangan Permukaan Zat Cair
    Dokumen3 halaman
    Tegangan Permukaan Zat Cair
    Herlani Tri Widhiastuti
    Belum ada peringkat
  • Ferment As I
    Ferment As I
    Dokumen8 halaman
    Ferment As I
    Herlani Tri Widhiastuti
    Belum ada peringkat
  • Laporan RESISTANSI
    Laporan RESISTANSI
    Dokumen9 halaman
    Laporan RESISTANSI
    Herlani Tri Widhiastuti
    Belum ada peringkat
  • Pengukuran Reologi
    Pengukuran Reologi
    Dokumen7 halaman
    Pengukuran Reologi
    Herlani Tri Widhiastuti
    Belum ada peringkat
  • Enzim Pepsin
    Enzim Pepsin
    Dokumen6 halaman
    Enzim Pepsin
    Herlani Tri Widhiastuti
    Belum ada peringkat
  • Enzim Pepsin
    Enzim Pepsin
    Dokumen6 halaman
    Enzim Pepsin
    Herlani Tri Widhiastuti
    Belum ada peringkat