Instrumentasi Bioanalisis
TEMULAWAK
Kelompok 1
Herlani Tri Widhiastuti
Haning Safrida Nurlaela
Listia Vidyawati M
Giovann Hanif
Daniel Steven
Rizky Nurhayati
Feby Valentiya
Lisna Farida
Enni Prasetyoningtyas
Bella Marisa
Fadhlan Fakhrul Arifin
Agustina Tri Puspitasari
G84120046
G84120073
G84120086
G84120082
G84120066
G84120036
G84120052
G84120012
G84120051
G84120016
G84120062
G84120023
DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PENDAHULUAN
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan salah satu jenis
tanaman obat dari famili Zingiberaceae yang berpotensial untuk dikembangkan.
Temulawak termasuk tanaman unggulan dari Ditjen POM yang memiliki banyak
manfaat sebagai tanaman obat (Hadipoentyanti et al 2007). Tahapan penting
dalam memperoleh ekstrak tanaman obat adalah melalui proses ekstraksi.
Ekstraksi merupakan cara yang digunakan untuk mengambil senyawa tertentu
dengan menggunakan pelarut yang sesuai. Proses ekstraksi temulawak dapat
dilakukan dengan dua cara, yaitu ekstraksi sokhlet dan ekstraksi maserasi
(Oktaviana 2010).
Soxhlet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang umumnya dilakukan
dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut
relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Depkes RI 2000). Alat sokhlet
berisi pelarut organik berupa alkohol/etanol. Tepung temulawak diekstrak oleh
pelarut organik tersebut. Maserasi adalah pencampuran bahan berupa tepung
temulawak dengan cara merendam bahan dengan pelarut. Prinsip maserasi adalah
pengambilan zat aktif yang dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia
dalam cairan penyari yang sesuai selama tiga hari (Oktaviana 2010). Evaporasi,
menurut Daryoko (2007) adalah proses pemekatan dari suatu larutan dengan
mengubah zat pelarutnya menjadi uap. Suatu larutan umumnya terdiri dari zat
yang mudah menguap (volatile) dan yang tidak mudah menguap (non volatile).
Evaporasi dapat didefinisikan proses penghilangan zat-zat yang mudah menguap
untuk mendapatkan larutan yang lebih pekat.
Kandungan air dalam pangan dapat ditentukan dengan beberapa metode
penetapan kadar air. Penentuan kadar air melibatkan kondisi yang kompleks dan
terdiri atas beberapa macam metode yang sangat tepat, cepat, serta bervariasi.
Metode penentuan kadar air bahan dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu
metode termogravimetri, destilasi, khemis, dan fisis. Prinsip analisa penetapan
kadar air secara termogravimetri adalah pemanasan bahan pada titik didih air
sehingga air akan menguap, lalu ditimbang bobotnya sebelum dan sesudah
pemanasan. Prinsip analisa penetapan kadar air dengan metode termovolumetri
adalah menguapkan air dengan cairan kimia yang mempunyai titik didih lebih
tinggi daripada air dan tidak dapat bercampur dengan air serta mempunyai berat
jenis lebih rendah daripada air sehingga air akan terpisah dan dapat diukur
kadarnya (Buckle 2008).
Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) merupakan salah satu metode untuk
menguji bahan-bahan yang bersifat sitotoksik. Metode ini menggunakan larva
Artemia salina Leach sebagai hewan coba. Uji toksisitas dengan metode BSLT ini
merupakan uji toksisitas akut dimana efek toksik dari suatu senyawa ditentukan
dalam waktu singkat setelah pemberian dosis uji. Prosedurnya dengan
menentukan nilai LC 50 dari aktivitas komponen aktif tanaman terhadap larva
Artemia salina Leach. LC50 adalah konsentrasi sampel yang diuji yang mampu
mematikan 50% dari suatu populasi. Suatu ekstrak dikatakan aktif sebagai
antikanker berdasarkan metode BSLT jika harga LC<1000 g/ml. Penelitian
Carballo menunjukkan adanya hubungan yang konsisten antara sitotoksisitas dan
letalitas Brine Shrimp pada ekstrak tanaman. Metode BSLT dapat dipercaya untuk
menguji aktivitas toksikologi dari bahan-bahan alami (Ramadhani 2009).
Tujuan percobaan adalah memahami prinsip dan teknik pembuatan
simplisia serbuk dari temulawak, maserasi, penentuan kadar air simplisia, analisis
beberapa senyawa fitokimia, uji toksisitas, aktivitas antioksidan, serta pengukuran
total fenolik dalam ekstrak temulawak. Manfaat percobaan ini adalah dapat
meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam menganalisis kandungan suatu
senyawa kimia dalam sampel. Selain itu, hasil percobaan yang telah didapatkan
dapat dikembangkan dalam penelitian lebih lanjut dan mahasiswa dapat
mengetahui tahapan-tahapan yang akan dilakukan dalam menganalisis suatu
sampel.
Hipotesis dari praktikum ini adalah temulawak yang digunakan memiliki
kadar air kurang dari 10 %. Temulawak mengandung senyawa fitokimia alkaloid,
flavonoid, fenolik, saponin, triterpenoid, dan glikosida. Senyawa aktif dalam
temulawak seperti kurkumin, xanthorrizol dan germakon memiliki sifat
antikanker dan antioksidan. Senyawa fenolik pada temulawak akan bereaksi
dengan reagen Folin-ciocalteu.
METODE
Waktu dan Tempat
Praktikum
Instrumentasi
Bioanalisis
dilakukan
di
Laboratorium
saring. Filtrat hasil ekstraksi ditempatkan pada labu rotav, kemudian dipekatkan
dengan rotatory evaporator pada suhu 80oC. Alat dimatikan setelah filtrat hampir
berbentuk pasta, kemudian filtrat dipindahkan ke dalam cawan petri kosong yang
telah ditimbang. Rendemen ekstrak ditimbang, lalu dihitung hasil rendemennya.
Penentuan kadar air. Sebanyak tiga buah cawan porselin dikeringkan di
dalam oven pada suhu 105C selama 30 menit. Cawan didinginkan di dalam
deksikator selama 30 menit, kemudian ditimbang bobot kosongnya dengan neraca
analitik. Simplisia sebanyak 2 gdimasukkan ke dalam masing-masing cawan
porselin, lalu dimasukkan ke dalam oven pada suhu 105C selama 2 jam. Cawan
didinginkan di dalam deksikator, lalu ditimbang massanya.
Pengujian alkaloid. Filtrat yang telah dirotaf sebanyak 0.05 g
dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian ke dalam tabung reaksi
ditambahkan 5.0 mL kloroform dan 10 tetes asam sulfat. Fraksi asam yang
terbentuk dibagi menjadi tiga bagian. Bagian-bagian tersebut ditabahkan pereaksi
Dragendorf, pereaksi Mayer, dan pereaksi Wagner. Hasil yang terbentuk diamati
kemudian difoto hasilnya.
Pengujian tanin. Filtrat yang telah dirotaf sebanyak 0.5 g dimasukkan ke
dalam tabung reaksi, lalu dilarutkan dengan 5.0 mL akuades. Larutan didihkan
selama 5 menit. Filtratnya ditambahkan 10 tetes FeCl 3 1%. Hasil yang terbentuk
diamati kemudian difoto hasilnya.
Pengujian flavonoid. Filtrat yang telah dirotaf sebanyak 0.05 g
dimasukkan ke dalam tabung reaksi, lalu dilarutkan dengan 1.5 mL metanol.
Larutan dipanaskan pada suhu 50C selama 5 menit. Larutan dipindahkan ke
dalam plat tetes sebanyak 5 tetes, kemudian ditambahkan 5 tetes asam sulfat
pekat. Hasil yang terbentuk diamati kemudian difoto hasilnya.
Pengujian saponin. Filtrat yang telah dirotaf sebanyak 0.05 g dimasukkan
ke dalam tabung reaksi, lalu dilarutkan dengan 3.0 mL akuades. Larutan
dipanaskan selama 5 menit. larutan dikocok, kemudian ditambahkan HCl
sebanyak 1 tetes. Hasil yang terbentuk diamati kemudian difoto hasilnya.
Pengujian saponin dan triterpenoid. Filtrat yang telah dirotaf sebanyak
1.0 g dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian dilarutkan dengan 2.0 mL
etanol 30%. Larutan dipanaskan pada suhu 50C hingga pelarut menguap. Residu
Toksisitas.
Larutan
ekstrak
dibuat
dengan
konsentrasi
lebih pada fase kedua (Ramdja 2009). Metode ekstraksi yang digunakan pada
ekstraksi temulawak kali ini adalah metode maserasi. Proses ekstraksi sampel
temulawak menggunakan etanol sebagai pelarut. Pelarut yang digunakan pada
proses ekstraksi berfungsi mengekstrak substansi yang diinginkan tanpa
melarutkan material lainnya.
Faktor-faktor harus diperhatikan untuk memilih jenis pelarut yang sesuai
yaitu harga konstanta distribusi tinggi untuk gugus yang bersangkutan dan
konstanta distribusi rendah untuk gugus pengotor lainnya, kelarutan pelarut
organik rendah dalam air, viskositas kecil dan tidak membentuk emulsi dengan
air, tidak mudah terbakar dan tidak bersifat racun, mudah melepas kembali gugus
yang terlarut didalamnya untuk keperluan analisa lebih lanjut (Kellner 2004).
Pelarut yang paling baik untuk ekstraksi temulawak adalah etanol. Etanol bersifat
polar, mampu melarutkanhampir semua zat, baik yang bersifat polar, semipolar,
dan non polar sertakemampuannya untuk mengendapkan protein, menghambat
kerja enzim sehingga dapatterhindar proses hidrolisis dan oksidasi. Etanol juga
tidak memiliki sifat beracun seperti metanol (Ramdja 2009).
Rendemen ekstrak merupakan perbandingan jumlah ekstrak yang
diperoleh dengan simplisia awal yang digunakan dan dinyatakan dalam
persentase. Rendemen ekstrak dapat digunakan sebagai parameter standar mutu
ekstrak pada tiap produksi maupun parameter efisiensi ekstraksi. Hasil ekstraksi
temulawak pada percobaan ini memiliki rendemen sebesar 25.36% dan 93.95%.
Menurut penelitian Sari (2013) rendemen ekstrak temulawak dengan metode
refluks menggunakan
Bobot simplisia
(g)
20.07
20.00
Rendemen
(%)
25.36
93.95
Kadar air merupakan banyaknya air yang terkandung dalam bahan yang
dinyatakan dalam persen. Air juga salah satu karakteristik yang sangat penting
pada bahan pangan, bahan kimia. Penentuan kadar air sangat penting dalam
masalah industri, misalnya dalam evaluasi materials balance atau kehilangankehilangan selama pengolahan (Astuti 2012). Menurut Dirjen POM (2000),
pengukuran kandungan air yang berada dalam bahan ataupun sediaan yang
dilakukan dengan cara yang tepat diantaranya cara titrasi, destilasi, atau
gravimetri yang bertujuan memberikan batasan minimal atau rentang tentang
besarnya kandungan air dalam bahan, dimana nilai maksimal atau rentang yang
diperbolehkan terkait dengan kemurnian dan kontaminasi.
Penentuan kadar air pada percobaan ini menggunakan oven dengan
metode gravimetri. Cara kerja gravimetri ini adalah penguapan, dimana bahan
alami yaitu temulawak diuapkan untuk dimurniakan menjadi kristal dengan
langkah awal mengubah serbuk temulawak menjadi bahan yang mudah menguap
dan terdekomposisi pada suhu tertentu, suhu yang digunakan sebesar 105C.
Dilakukan dalam suhu tinggi dikarenakan pada suhu tinggi memungkinkan zat
untuk membentuk kristal seperti yang diketahui bahwa air akan mendidih pada
suhu 100C. Setelah dilakukan pemanasan untuk mencari kadar air, bahan-bahan
yayng ada pada cawan porselin di dinginkan dengan cara dimasukkan ke dalam
desikator. Setelah itu ditimbang. Percobaan ini dilakukan tiga kali pengulangan.
Rata-rata kadar air yang didapatkan pada bahan temulawak ini adalah 8.7%.
Cahyono (2011) menyatakan, kadar air rata-rata simplisia temulawak pada
percobaannya menggunakan oven adalah 4.6%. Kadar air minimal pada simplisisa
temulawak adalah 10%, karena mikrooraganisme dapat tumbuh pada simplisia
temulawak dengan kadar air >10% yang akan memangaruhi rekasi enzimatis
sehingga mempercepat pembusukan. Didapatkan rata-rata kadar air simplisia
temulawak sebesar 8.7% menunjukkan simplisia temulawak yang didapatkan
cukup baik dan masih didalam batas minimal kadar air yang menyebabkan
kebusukan.
Tabel 2 Hasil kadar air
Ulangan
1
2
3
Bobot
cawan
kosong
(g)
40.69
42.25
42.75
Bobot
cawan+sampel
basah (g)
42.73
44.26
44.76
Bobot
sampel
basah
(g)
2.04
2.01
2.01
Bobot
cawan+sampel
kering (g)
Bobot
sampel
kering (g)
Kadar
air (%)
44.64
44.08
44.59
3.95
1.83
1.84
-93.36
8.95
8.45
Prinsip uji fitokimia didasarkan pada identifikasi warna yang terdapat pada
ekstrak temulawak dengan menggunakan pereaksi Meyer, Dragendorf, dan
Wagner untuk alkaloid, larutan FeCl3 untuk tanin, H2SO4 pekat untuk flavonod,
pereaksi Liebermenn-Burchard untuk terpenoid, dan NaOH untuk fenolik
hidrokuinon (Purba 2007). Hasil uji fitokimia dilakukan pada ekstrak temulawak
dapat dilihat pada Tabel 3. Senyawa alkaloid diuji dengan pereaksi Dragendorf,
Mayer, dan Wagner, dibuktikan dengan terbentuknya warna merah pada
Dragendorf dan endapan coklat pada Wagner, sedangkan pada pereaksi Mayer
tidak terdapat endapan putih sehingga hasilnya negatif. Senyawa flavonoid diuji
dengan pereaksi metanol, dibuktikan dengan terbentuknya warna merah. Senyawa
tanin diuji dengan larutan 1 % FeCl3 reaksi positif memberikan warna biru lalu
hitam. Uji tanin pada percobaan memberikan hasil negatif. Senyawa saponin diuji
dengan pengocokan dan ditandai dengan terbentuknya busa yang stabil pada filtrat
simplisia, amun pada percobaan memberikan hasil negatif. Senyawa triterpenoid
dan steroid diuji dengan pereaksi Liebermann-Bouchardat ditandai dengan warna
ungu untuk triterpenoid dan warna hijau biru untuk steroid. Hasil percobaan
memberikan reaksi positif untuk triterpenoid.
falandren,
borneol,
tumerol,
xanthorrhizol,
sineol,
negatif pada peraksi Mayer dimungkinkan karena pereaksi yang digunakan telah
terkontaminasi sehingga tidak terbentuk endapan putih pada sampel.
Pengamatan
Warna
Dragendorf
Merah
Mayer
Kuning
Wagner
Coklat
Tanin
Kuning
kecoklatan
Flavonoid
Merah
Saponin
Kuning
Merah
(triterpenoid)
Fenolik hidrokuinon
Merah
Alkaloid
Keterangan :
Gambar
alternatif untuk menentukan toksisitas bahan kimia dan produk alami (Nguta
2012).
Tabel 4 Hasil uji BSLT
Jumlah Artemia yang mati
No.
Konsentrasi ekstrak
(ppm)
Ulangan 1
Ulangan 2
Ulangan 3
1.
100
3.33%
2.
500
13.33%
3.
1000
10
10
96.67%
4.
5000
10
10
10
100.00%
5.
Kontrol
16.67%
% kematian
120.00%
f(x) = 0x + 0.26
R = 0.51
100.00%
80.00%
% kematian
60.00%
40.00%
20.00%
0.00%
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
[ekstrak] (ppm)
pengaruh buruk yang disebabkan radikal bebas. Radikal bebas diketahui dapat
menginduksi penyakit kanker, arteriosklerosis dan penuaan, disebabkan oleh
kerusakan jaringan karena oksidasi (Kikuzaki dan Nakatani 1993).
Metode DPPH mengukur kemampuan suatu senyawa antioksidan dalam
menangkap radikal bebas. Kemampuan penangkapan radikal berhubungan dengan
Absorbansi
0,300
0,277
0,261
0,240
0,188
0,122
% Inhibisi
0,000
7,667
13,000
20,000
37,333
59,333
50
40
% Inhibisi 30
20
10
0
0
10
15
Konsentrasi (ppm)
20
25
tokoferol sebagai antioksidan diyakini kemampuannya untuk mencegah penyakitpenyakit kronik seperti penyakit kardiovaskular, atherosklerosis, dan kanker. Data
epidemiologi menunjukkan bahwa masukan tokoferol atau vitamin E dosis tinggi,
satu.
Peningkatan
konsentrasi
tokoferol
seharusnya
dapat
Absorbansi
0,012
0,018
0,016
0,015
0,020
% inhibisi
97,997
96,995
97,329
97,496
96,661
% inhibisi
97
96.5
96
95.5
0
10
15
20
25
Ekstrak temulawak yang diuji total fenolik akan terjadi perubahan warna
dari kuning menjadi biru. Intensitas warna biru ditentukan oleh banyaknya
kandungan fenol dalam larutan sampel. Semakin besar konsentrasi senyawa
fenolik dalam sampel semakin pekat warna biru yang terbentuk. Hasil reaksi
kemudian diukur nilai absorbansinya dengan spektrofotometer dengan panjang
gelombang 765 nm. Intensitas warna yang terbentuk sebanding dengan nilai
absorbansinya. Nilai absorbansi yang diperoleh kemudian dibandingkan dengan
kurva standar dari asam galat yang digunakan sebagai baku. Asam galat yang
digunakan sebagai standar atau baku ditunjukkan oleh Tabel 6. Data tersebut
kemudian diplotkan ke dalam kurva standar yang ditunjukkan oleh Gambar 2.
Persamaan garis yang diperoleh dari data konsentrasi asam galat dan
absorbansinya adalah y= 0,011x-0,137 dengan nilai R2=0,516. Nilai R2 yang
cukup jauh dari angka 1 menunjukkan bahwa korelasi atau kelinearitas antara
konsentrasi asam galat dengan nilai absorbansinya kurang baik. Hal ini
menjadikan kurva standar kurang baik digunakan sebagai acuan dalam
menentukan senyawa fenolik temulawak ini. Hal ini dapat disebabkan oleh
penyimpangan kimia berupa pengenceran ynag kurang akurat atau adanya
kontaminan yang dapat mengganggu nilai absorbansi.
Tabel 6 Data absorbansi asam galat
Konsentrasi (mg/mL)
Blanko
20
40
60
80
Absorbansi terukur
0.114
0.385
0.298
0.305
1.115
Absorbansi terkoreksi
0.271
0.184
0.191
1.001
0.6
0.4
0.2
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
Konsentrasi (mg/mL)
Temulawak
Ulangan A
1
0.303
0.228
0.241
[Ekstrak]
mg/mL
Bobot
Ekstrak
(g)
Total
Fenolik
(mg/mL)
0.0109
35.818
Total
Fenolik
GAE
(mg/g)
0.0821
SIMPULAN
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan salah satu jenis
tanaman obat dari famili Zingiberaceae yang berpotensial untuk dikembangkan.
Temulawak memiliki kadar air yang kurang dari 10 %. Temulawak pada uji
fitokimia sesuai dengan literatur yaitu terdapat alkaloid, fenolik, flavonoid,
triterpenoid, dan hidrokuinon. Hasil uji BSLT ekstrak temulawak menggunakan
larva Artemia salina L. Semakin tinggi konsentrasi semakin tinggi persen
kematian. Ekstrak temulawak pada uji toksisitas terbukti memiliki senyawa aktif
yang bersifat antikanker. Temulawak dapat digunakan sebagai antioksidan. Hasil
pengukiran aktivitas antioksidan yang diperoleh bersifat fluktuatif. Setiap 1 gram
ekstrak sampel temulawak mempunyai 0,0821 mg senyawa fenolik.
SARAN
Praktikum lebih lanjut mengenai banyaknya komponen dalam rimpang
temulawak dengan menggunakan bahan dari ekstrak temulawak dengan analisis
secara KLT yang dilanjutkan dengan GC-MS.
DAFTAR PUSTAKA
Afifah E dan Tim Lentera. 2003. Khasiat Dan Manfaat Temulawak Rimpang
Penyembuh Aneka Penyakit. Jakarta: Agromedia Pustaka
Astuti. 2012. Petunjuk Praktikum Analisis Bahan Pangan. Yogyakarta(ID): Jurdik
Biologi FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta.
Bintang M. 2010. Biokimia Teknik Penelitian. Jakarta (ID) : Erlangga.
Buckle KA, Edward RA, Fleet GH, dan Wootton M. 2008. Food
Science. Jakarta: Universitas Indonesia. Terjemahan Hari
Purnomo dan Adiono dalam Ilmu Pangan.
Cahyono B, Huda MD, Limantara L. 2000. Pengaruh Proses Pengeringan
Rimpang Temulawak (Curcuma xanthorriza ROXB) terhadap Kandungan
dan Komposisi Kurkuminoid. Jurnal Reaktor. 13(3):165-171.
Daryoko M, 2007. Prancangan alat pengambilan asam borat dari sistem air
pendingin primer PLTN-reaktor air ringan bertekanan, 1000 MW. Jurnal
Teknologi Pengolahan Limbah. 10(1):1-11.
Depkes RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat, Direktorat
Jendral Pengawasan Obat dan Makanan, Direktorat Pengawasan Obat
Tradisional. Jakarta.
Devaraj S., Esfahani AS, Ismail S., Ramanathan S., dan Yam FM. 2010.
Evaluation of the antinociceptive activity and acute oral toxicity of
tandardized ethanolic extract of the rhizome of curcuma xanthorrhiza roxb.
J.Med.Res. 4(23): 2512-2517.
Dimitrov N.V, Meyer C, Gilliland D, Ruppenthal M, Chenoweth W, dan Malone
W. 1991. Plasma tocopherol concentrations in response to supplemental
vitamin E. Am J Clin Nutr. 53: 723-729.
Dirjen POM. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat.
Jakarta(ID): Departemen Kesehatan RI.
Hadipoentyanti E dan syahid SF. 2007. Respon temulawak (Curcuma
xanthorrhiza Roxb.) hasil rimpang kultur jaringan geberasi kedua terhadap
pemupukan. Jurnal Littri. 13(3):106-110.
Hayani E. 2006. Analisis kandungan kimia rimpang temulawak. Temu Teknis
Nasional Tenaga Fungsional Pertanian. Balai Penelitian Tanaman Rempah
dan Obat.
Josephy PD. 1997. Molecular Toxicology. Oxford University Press : New York.
Kellner. 2004. Analytical Chemistry. USA: John Willey & Sons.
Kikuzaki K dan Nakatani N. 1993. Antioxidant effects of some ginger
constituents. Journal of Food Science 58(6) : 1407-1410.
Mc Laughlin JL, Rogers LL. 1998. The use of biological assays to evaluate
botanicals. Drugs Information Journal. 32: 513-517.
Melannisa R., Dai M, dan Rahmi RT. 2011. Uji aktivitas penangkap radikal bebas
dan penetapan kadar fenolik total ekstrak etanol tiga rimpang genus curcuma
dan rimpang temu kunci (Boesenbergia pandurata). Pharmacon. 12(1):4043.
Naik GH, Priyadarsini KI, Satav J.G, Banavalikar M.M, Sohoni D.P, Biyani,
M.K, dan Mohan H. 2003. Comparative antioxidant activity of individual
herbal omponents used in ayurvedic medicin. Phytochemistry 63(1): 97-104.
Nely,F. 2007. Aktivitas Antioksidan Rempah Pasar dan Bubuk Rempah Pabrik
dengan Metode Polifenol dan Uji AOM (Active Oxygen Method)
[skripsi].Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Nguta JM, Mbaria JM, Gakuya DW, Gathumbi PK, Kabasa JD, Kiama SG. 2012.
Evaluation of acute toxicity of crude plant extracts from kenyan biodiversity
using brine shrimp, Artemia salina L. (Artemiidae). The Open Conference
Proceedings Journal. 3: 30-34.
Oktaviana PR. 2010. Kajian kadar kurkuminoid, total fenol, dan aktivitas
antioksidan ekstrak temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) pada
berbagai teknik pengeringan dan proporsi pelarutan [skripsi]. Surakarta (ID)
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2.01 1.83
x 100%
2.01
3. %kematian
ulangan 1+ulangan 2+ulangan 3
0+1+0
3
3
%kematian=
x 100 =
x 100 =3,33
10
10
4. LC50
y = a + bx
log 50 = 0,2631 + 0,0002x
1,6989 = 0,2631 + 0,0002x
x = [ekstrak] = 7179,35 ppm
5. Total Fenolik
Rerata absorbansi
0.303+ 0.228+0.241
3
0.257
6. y
= a + bx
y
= -0.137 + 0.011x
0.257 = -0.137 + 0.011x
0.011x = 0.257 + 0.137
x
= 35.818 mg/Ml
7. Total Fenolik GAE labu ukur 25 mL
C = c ( V/m)
0.025 L
= 35.818 mg/L ( 10.9 mg ) = 0.0821 mg/g