Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN
Penyakit alergi yang kita kenal dalam praktek sehari-hari antara lain ialah,
reaksi atopi (rhinitis alergika, asthma bronehiale, urticaria, eezema atopik) alergi
obat, dermatitis kontak, dan serum sickness yang sudah jarang dilihat lagi. Dari
kepustakaan dikatakan bahwa 30% dari penduduk itu mempunyai kemungkinan
selama dalam hidupnya untukmenunjukkan suatu reaksi alergi, tapi hanya 10% yang
membutuhkan pertolongan medik.Rhinitis alergika adalah penyakit alergi yang paling
banyakditemukan, lalu disusuloleh asthma bronchiale dan urticaria.
Meskipun rhinitis alergika kelihatannya tidak seberapa payah,tapi dalam
praktek kita, banyak sekali yang mendapat cukup gangguan-gangguan hidungnya
antara lain berair terus sehingga memakai lebih dari 10 saputangan sehari, matanya
berair dan gatal-gatal yang hilang timbul, berbangkis-bangkis yang tak henti-henti,
terutama dipagi hari atau kalau penderita banyak kena debu. Kalau hal ini dibiarkan
terus, kelak akan timbul berbagai komplikasi yang menyangkut kesulitan-kesulitan
didaerah hidung
Rinitis alergi adalah penyakit umum yang paling banyak di derita oleh
perempuan dan laki-laki yang berusia 30 tahunan. Merupakan inflamasi mukosa
saluran hidung dan sinus yang disebabkan alergi terhadap partikel, seperti debu, asap,
serbuk/tepung sari yang ada di udara. Meskipun bukan penyakit berbahaya yang
mematikan, rinitis alergi harus dianggap penyakit yang serius karena karena dapat
mempengaruhi kualitas hidup penderitanya. Tak hanya aktivitas sehari-hari yang
menjadi terganggu, biaya yang akan dikeluarkan untuk mengobatinya pun akan
semakin mahal apabila penyakit ini tidak segera diatasi karena telah menjadi kronis.
Rinitis alergi merupakan masalah kesehatan global yang menyerang kirakira 10-50% penduduk dunia. Sejak pertama kali ditemukan di Inggris pada tahun
1819, prevalensinya semakin meningkat mencapai sekitar 40% dari populasi umum.
Sebagian besar penderita ternyata mengalami penurunan kualitas hidup, kualitas
pendidikan di sekolah dan produktvitas kerja, akibat dari gejala-gejala yang dialami.
Selain itu, kebanyakan penderita tidak menyadari penyakit alergi ini, sehingga biaya
medis yang dikeluarkan untuk berulang kali berobat sangat tinggi. Oleh karena itu

sangat penting untuk mengenali gejala dan tanda rinitis alergi, sehingga dapat
didiagnosis dengan tepat dan ditatalaksana dengan adekuat.
Diagnosis dari rinitis alergi dapat ditegakkan dengan anamnesis yang cermat,
pemeriksaan THT serta beberapa pemeriksaan yang dapat menyingkirkan
kemungkinan jenis rinitis lainnya. Rinitis alergi ini merupakan salah satu manifestasi
dari reaksi hipersensitifitas tipe 1 Gell & Comb yang diperantarai oleh IgE dengan
mukosa hidung sebagai organ sasaran. Gejala-gejala yang banyak dikeluhkan yaitu
bersin-bersin, hidung tersumbat, rinore dan gatal pada hidung, yang dapat disertai
dengan keluhan lain atau juga tidak. Penyakit ini dapat menimbulkan gejala sistemik,
menurunkan kualitas hidup, mengganggu sekolah dan kegiatan akademis serta
mengurangi produktivitas kerja. Hal ini menyebabkan penatalaksanaan yang baik
sangat diperlukan bagi penderita rinitis alergi sehingga dapat menjalani hidup dengan
kualitas yang lebih baik

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Rinitis alergi menurut WHO (2001) adalah kelainan pada hidung setelah
mukosa hidung terpapar oleh alergen yang diperantarai oleh IgE dengan gejala
bersin-bersin, rinore, rasa gatal pada hidung dan hidung tersumbat.
Rinits alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi pada
pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta
dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen
spesifik tersebut.
B. Epidemiologi
Rinitis alergi merupakan penyakit umum dan sering dijumpai. Prevalensi
penyakit rinitis alergi pada beberapa negara berkisar antara 4.5-38.3% dari jumlah
penduduk dan di Amerika, merupakan 1 diantara deretan atas penyakit umum yang
sering dijumpai. Meskipun dapat timbul pada semua usia, tetapi 2/3 penderita
umumnya mulai menderita pada saat berusia 30 tahun. Dapat terjadi pada wanita dan
pria dengan kemungkinan yang sama. Penyakit ini herediter dengan predisposisi
genetik kuat. Bila salah satu dari orang tua menderita alergi, akan memberi
kemungkinan sebesar 30% terhadap keturunannya dan bila kedua orang tua menderita
akan diperkirakan mengenai sekitar 50% keturunannya.
C. Etiologi
Berdasarkan cara masuknya, alergen dibagi atas :
1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan, misalnya
tungau debu rumah, kecoa, serpihan epitel kulit binatang, rerumputan, serta
jamur.
2. Alergen ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya
susu, sapi, telur, coklat, ikan laut, udang, kepiting, dan kacang-kacangan.
3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya
penisilin dan sengatan lebah.

4. Alergen kontaktan , yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa,
misalnya bahan kosmetik atau perhiasan.

Gambar 1.Alergen.

Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara
garis besar terdiri dari:
1. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini
bersifat non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil
seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.
2. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga
kemungkinan ialah sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya
dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila
Ag masih ada, atau memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka
reaksi berlanjut menjadi respon tersier.

D. Patofisiologi

Reaksi tipe I atau anafilaktik


Reaksi ini terjadi pada waktu alergen atau antigen bereaksi dengan zat anti
yang spesifik, yang dikenal dengan nama reagin. Berdasarkan penyelidikan
ISHIZAKA dan ISHIZAKA, ternyata bahwa aktivitas reagin itu bukan dibawakan
oleh IgG, IgA, IgM maupun IgD, melainkan oleh satu kelas imunoglobulin yang
disebut IgE. Imunoglobulin ini mempunyai suatu keistimewaan, yaitu dapat melekat
pada sel basofil dan/atau mastosit ('mast cell'); oleh karena itu IgE disebut juga
sebagai zat anti homositotropik. Dengan timbulnya reaksi antara antigen dengan zat
anti itu, maka terjadilah proses degranulasi di dalam sel tersebut, yang diikuti dengan
keluarnya zat farmakologik aktip, yaitu: histamin, zat bereaksi lambat ('slow-reacting
substance'), serotonin dan bradikinin. Zat-zat ini pada umumnya menyebabkan
kontraksi otot polos, vasodilatasi dan meningginyapermeabilitaspembuluh darah
kapiler. Akibat reaksi alergi ini, maka secara klinik ditemukan penyakit-penyakit
seperti : asma bronkial, demam rumput kering (Hay-fever), rinitisalergika dll.
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu
immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang
berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase
allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam
dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat
berlangsung 24-48 jam.
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan
menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses,
antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung dengan molekul
HLA kelas II membentuk komplek peptida MHC kelas II (Major Histocompatibility
Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th 0). Kemudian sel
penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan Th0
untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th 2. Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin
seperti IL 3, IL 4, IL 5, dan IL 13.
IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B,
sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE).
5

IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di
permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi
aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang
tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama,
maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi
(pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia
yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga
dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2),
Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin. Platelet Activating
Factor (PAF) dan berbagai sitokin. (IL3, IL4, IL5, IL6, GM-CSF (Granulocyte
Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai
Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).

Gambar 2, Reaksi alergi type I


Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga
menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan
menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan
permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung
tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf

Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi


pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak
berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam
setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel
inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung
serta pengingkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte Macrophag Colony
Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala
hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator
inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic
Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase
(EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik
dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca
dan kelembaban udara yang tinggi

Gambar 3.Proses terjadinya gejala rinitis

Tabel 1 Reaksi Alergi tipe lambat dan cepat


E.Gambaran Histologi
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan
pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang
interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil
pada jaringan mukosa dan submukosa hidung.
Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan
serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-menerus
(persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang
ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga
tampak mukosa hidung menebal.

E. Klasifikasi
Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat
berlangsungnya, yaitu :
1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)
Di Indonesia tidak dikenal rinitis alergi musiman, hanya ada di negara
yang mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari
(pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu nama yang tepat adalah polinosis atau

rino konjungtivitis karena gejala klinik yang tampak ialah gejala pada hidung dan
mata (mata merah, gatal disertai lakrimasi).

Gambar 4.Rinitis alergi


2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial)
Gejala pada penyakit ini timbul intermiten atau terus-menerus, tanpa
variasi musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun.
Penyebab yang paling sering adalah alergen inhalan, terutama pada orang
dewasa, dan alergen ingestan. Alergen inhalan utama adalah alergen dalam rumah
(indoor) dan alergen luar rumah (outdoor). Alergen inhalan dalam rumah terdapat
di kasur kapuk, tutup tempat tidur, selimut, karpet, dapur, tumpukan baju dan
buku-buku, serta sofa. Komponen alergennya terutama berasal dari serpihan kulit
dan feses tungau D. Pteronyssinus, D. farinae dan Blomia tropicalis, kecoa dan
bulu binatang peliharaan (anijng, kucing, burung). Alergen inhalan di luar rumah
berupa polen dan jamur. Alergen ingestan sering merupakan penyebab pada anakanak biasanya disertai dengan gejala alergi yang lain, seperti urtikaria, gangguan
pencernaan. Gangguan fisiologik pada golongan perenial lebih ringan
dibandingkan dengan golongan musiman tetapi karena lebih persisten maka
komplikasinya lebih sering ditemukan.
Gejala keduanya hampir sama, hanya berbeda dalam sifat berlangsungnya.

Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari


WHO Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2000, yaitu
berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi :
1. Intermiten (kadang-kadang) : bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau
kurang dari 4 munggu.
2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4
minggu.
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi :
1. Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,
bersantai, berolahraga, belajar, bekerja, dan hal-hal lain yang mengganggu.
2. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.
F. Diagnosis
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan dengan cara :
1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak terjajdi di
hadapan pemeriksa. Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin
berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pagi hari atau
bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme
fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri. Bersin ini merupakan gejala pada
RAFC dan kadang-kadang RAFL sebagai akibat dilepaskannya histamin. Gejala lain
ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hisung dan mata
gatal, yang kadang-kadang disertai air mata keluar (lakrimasi). Rinitis alergi sering
disertai oleh gejala konjungtivitis alergi. Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap,
terutama pada anak. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan
utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic shinner,
yaitu bayangan gelap di daerah bawah mata karena stasis vena sekunder akibat
obstruksi hidung. Selain itu, dapat ditemukan juga allergic crease yaitu berupa garis
melintang pada dorsum nasi bagian sepertiga bawah. Garis ini timbul akibat hidung
yang sering digosok-gosok oleh punggung tangan (allergic salute). Mulut sering
terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga akan menyebabkan
gangguan pertumbuhan gigi geligi (facies adenoid). Dinding posterior faring tampak

10

granuler dan edema (cobblestone appearance). Lidah tampak seperti gambaran peta
(geographic tongue).
Gambar 5.gambaran klinis

11

Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau
livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior
tampak hipertrofi. Perlu juga dilihat adanya kelainan septum atau polip hidung yang
dapat memperberat gejala hidung tersumbat. Selain itu, dapat pula ditemukan
konjungtivis bilateral atau penyakit yang berhubungan lainnya seperti sinusitis dan
otitis media.

Gambar 6 rhinoskopi anterior


3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis,
tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam
jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5

12

sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel


PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.
b. Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian
pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali
menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu
macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial
atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi
pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi.
Lebih bermakna adalah dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau
ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test).
c. Uji kulit alergen penyebab dapat dicari secara invivo.
Ada beberapa cara, yaitu uji intrakutan atau intradermal yang tunggal
atau berseri (Skin End-point Titration/SET), uji cukit (Prick Test) dan uji gores
(Scratch Test). Kedalaman kulit yang dicapai pada kedua uji kulit (uji cukit
dan uji gores), sama. SET dilakukan untuk elergen inhalan dengan
menyuntikkan

alergen

dalam

berbagai

konsentrasi

yang

bertingkat

kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi


serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui.

13

Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang dapat
diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan
provokasi (Challenge Test).Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh
dalam waktu lima hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan yang
dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya
diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan
dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan
meniadakan suatu jenis makanan.
Uji kulit untuk alergi makanan yang akhir-akhir ini banyak dilakukan
adalah Provocative Food Test (IPFT).
Dengan lengkapnya pemeriksaan ini, selain alergen jenis penyebab,
juga dapat diketahui besarnya konsentrasi alergen yang dapat menetralkan
reaksi akibat alergen tersebut.

G. Komplikasi
Komplikasi rinitis alergi yang paling sering adalah :
1. Polip hidung.
Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah
satu faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip
hidung.
2. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.
3. Sinusitis paranasal.
Kedua komplikasi yang terakhir bukanlah sebagai akibat langsung dari rinitis
alergi, tetapi karena adanya sumbatan hidung, sehingga menghambat drenase.
H. Penatalaksanaan
Terapi rinitis alergi umumnya berdasarkan tahap-tahap reaksi alergi, yaitu:
1. Tahap terjadinya kontak antara alergen dengan kulit atau mukosa hidung.
Tahapan ini diterapi dengan penghindaran terhadap alergen penyebab.
2. Tahap penetrasi alergen ke dalam jaringan subkutan/submukosa menuju IgE
pada permukaan sel mast atau basofil. Tahapan ini diterapi secara kompetitif
dengan imunoterapi.
3. Tahapan ikatan Ag-IgE di permukaan mastosit/basofil, sebagai akibat lebih
lanjut reaksi Ag-IgE dimana dilepaskan histamin sebagai mediator. Tahapan
ini dinetralisir dengan obat-obatan antihistamin yang secara kompetitif
memperebutkan reseptor H1 dengan histamin.

14

4. Tahap manifestasi klinis dalam organ target, dimana ditandai dengan


timbulnya gejala. Tahapan ini dapat diterapi dengan obat-obatan dekongestan
sistematik atau lokal.
Secara garis besar penatalaksanaan rinitis terdiri dari 3 cara, yaitu:
menghindari atau eliminasi alergen dengan cara edukasi, farmakoterapi, dan
imunoterapi, sedangkan tindakan operasi kadang diperlukan untuk mengatasi
komplikasi seperti sinusitis dan polip hidung.
1. Pada dasarnya penyakit alergi dapat dicegah dan dibagi menjadi 3 tahap,
yaitu: Pencegahan primer untuk mencegah sensitisasi atau proses
pengenalan

dini

terhadap

alergen.

Tindakan

pertama

adalah

mengidentifikasi bayi yang mempunyai risiko atopi. Pada ibu hamil


diberikan diet restriksi (tanpa susu, ikan laut, dan kacang) mulai trimester
3 dan selama menyusui, dan bayi mendapat ASI eksklusif selama 5-6
bulan. Selain itu kontrol lingkungan dilakukan untuk mencegah pajanan
terhadap alergen dan polutan.
2. Pencegahan sekunder untuk mencegah manifestasi klinis alergi pada anak
berupa asma dan pilek alergi yang sudah tersensitisasi dengan gejala alergi
tahap awal berupa alergi makanan dan kulit. Tindakan yang dilakukan
dengan penghindaran terhadap pajanan alergen inhalan dan makanan yang
dapat diketahui dengan uji kulit.
3. Pencegahan tersier untuk mengurangi gejala klinis dan derajat beratnya
penyakit alergi dengan penghindaran alergen dan pengobatan.
Penghindaran Alergen
Pada pasien dengan gejala menetap akibat paparan alergen dalam rumah
(seperti tungau, kutu binatang, jamur tembok, kecoa) pencegahan alergen merupakan
langkah pertama yang sangat penting dalam penatalaksanaan. Perjalanan dan beratnya
penyakit berhubungan dengan konsentrasi alergen di lingkungan. Walaupun konsep
pengobatan ini sangat rasional namun dalam prakteknya sangat sulit dilakukan. Di
negara tropis, alergen utama yaitu debu rumah dan serpihan kulit tungau/serangga
(Dermatophagoides pteronysinus dan farinae) yang hidup pada debu rumah, karpet,
kasur, kapuk, selimut, tumpukan pakaian dan buku lama. Di samping itu terdapat
partikel alergen lain yang menempel pada debu rumah misalnya kotoran kecoa,

15

serpihan bulu kucing dan anjing yang juga berperan aktif. Jamur yang terdapat dalam
rumah seperti jenis Aspergillus dan Penicillium sering ditemukan pada daerah yang
lembab seperti kamar mandi, gudang, serta atap yang bocor.
Pencegahan kontak dengan alergen dapat dilakukan dengan menjaga
kebersihan rumah, menghindari penggunaan karpet, memperbaiki ventilasi dan
kelembaban udara. Edukasi terhadap penderita perlu diberikan secara teratur
mengenai penyakit, penatalaksanaan, kepatuhan dalam berobat baik secara lisan
maupun pertanyaan.
Untuk mengurangi populasi tungau dan paparan terhadap alergen terdapat
beberapa cara, yaitu: 1) tidak menggunakan karpet, kapuk dan menyingkirkan mainan
berbulu dari kamar tidur, 2) mencuci selimut, bed cover, sprei, sarung bantal dan
guling serta kain gorden pada suhu 60oC, 3) melapisi kasur, bantal dan guling dari
bahan impermeablel/ antitembus tungau, 4) menggunakan perabot yang mudah
dibersihkan seperti dari kayu,plastik, logam dddan hindari sofa dari kain, 5)
pembersihan yang sering dan teratur dengan penghisap debu atau lap basah, 6) hindari
binatang peliharaan.

16

Algoritma evaluasi dan pengobatan Rinitis alergi


Farmakoterapi
Pemberian

medikamentosa

harus

dipertimbangkan

secara

individual

berdasarkan gejala dan tipe rinitis yang ada pada pasien. Hal ini karena pengobatan
yang berbeda akan memberikan efek yang berbeda terhadap tipe rinitis dan gejala
yang berbeda. Direkomendasikan utnuk memberikan terapi secara langkah demi
langkah, menekankan penatalaksanaan secara individual berdasarkan derajat
keparahan gejala, dengan mempertimbangkan efektivitas biaya dan dengan
pendekatan naik satu langkah atau turun satu langkah.
Antihistami H1
Antihistamin H1 merupakan obat yang sering dipakai untuk rinitis alergi dan
bekerja secara inhibisi kompetitif pada reseptor H1. Walaupun begitu, antihistamin
17

H1 ini juga menunjukkan efek antiinflamasi, yaitu dengan berkurangnya ekspresi dari
adhesi molekul. Secara umum, antihistamin H1 mengurangi gejala bersin, gatal,
rinore dan injeksi okuler tetapi memiliki efek yang kecil terhadap kongesti hidung.
Karena sebagian besar antihistamin bekerja cepat dalam 1-3 jam, maka
penggunaannya secara intermiten sering dipakai dan cukup efektif, sehingga
merupakan terapi lini pertama untuk rinitis alergi ringan. Untuk penggunaan lama,
obat ini dapat menimbulkan subsensitivitas terapeutik.
Dikenal ada dua generasi obat antihistamin H1, yaitu generasi pertama atau
klasik dan generasi kedua. Generasi pertama tersedia secara luas baik secara terpisah
maupun kombinasi dengan dekongestan. Yang termasuk ke dalam kelompok ini
adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin serta azelastin yang
dapat diberikan secara topikal. Antihistamin generasi pertama ini bersifat lipofilik
sehingga dapat melewati sawar darah otak, dan tidak hanya berikatan dengan reseptor
histamin H1 saja tetapi juga dengan reseptor dopaminergik, serotinergik dan
kolinergik. Hal ini menyebabkan adanya efek samping dari obat ini, yaitu efek
terhadap SSP (seperti sedasi, lelah, pusing, turunnya penampilan), serta efek
kolinergik seperti mulut dan mata kering, glaukoma, atau retensi urin. Efek samping
ini dapat berimplikasi sebagai penyebab fatal dari kecelakaan lalu lintas, penurunan
daya kerja dan produktivitas, berkurangnya konsentrasi belajar anak sehingga
pemberiannya perlu diperhatikan sesuai dengan status dan pekerjaan pasien.
Antihistamin generasi kedua berukuran lebih besar dan lebih bersifat lipofobik
daripada generasi pertama, sehingga tidak melewati sawar darah otak. Generasi kedua
ini berikatan secara spesifik dengan reseptor histamin H1 dan memiliki afinitas yang
kecil terhadap reseptor lain. Sehingga generasi kedua ini memiliki efek samping
sedasi yang lebih sedikit atau tidak ada, tidak mengganggu penampilan dan tidak
memiliki efek antikolinergik. Yang termasuk kelompok ini yaitu loratadin, astemisol,
azelastin, terfinadin dan cetirisin. Terfenadin dan astemisol diketahui dapat
menyebabkan perpanjangan repolarisasi jantung sehingga memperpanjang interval
QT pada EKG, dan bila dikombinasikan dengan obat lain yang dimetabolisme di hati
melalui enzim sitoktrom P450 (seperti antibiotik makrolid, antijamur golongan azol)
keduanya dapat menyebabkan torsades de pointes serta aritmia ventrikel. Hal ini
menjadikan kedua obat ini tidak lagi direkomendasikan.
Akhir-akhir ini sedang dikembangkan antihistamin generasi ketiga yang
memiliki keuntungan lebih besar dibandingkan generasi kedua, termasuk tidak ada
18

efek kardiotoksis. Salah satu contohnya yaitu fexofenadine yang merupakan metabolit
terfenadin.
Terdapat juga sediaan antihistamin intranasal, yaitu azelastin dan levocabastin.
Kedua jenis obat ini secara efektif dan spesifik bekerja sebagai antagonis reseptor H1
untuk mengatasi gejala bersin dan gatal pada hidung dan mata. Bila digunakan 2 kali
sehari dapat mencegah timbulnya gejala.

Tabel.2 Macam Antihistamin


Dekongestan
Sejumlah preparat agonis adrenergik dipakai sebagai dekongestan oral, seperti
pseudoefedrin, fenilpropanolamin dan fenilefrin. Obat ini secara primer dapat
mengurangi sumbatan hidung dan sedikit mengatasi rinore, tetapi tidak memiliki efek
dalam mengurangi bersin, gatal ataupun gejala okular. Efek samping yang
ditimbulkan berupa efek SSP seperti insomnia, cemas, iritabilitas, sakit kepala, atau
berupa efek kardiovaskuler seperti palpitasi, takikardi. Golongan obat ini juga dapat
meningkatkan tekanan darah, tekanan intraokuler dan menyebabkan obstruksi saluran
kemih. Hal ini menjadikan pemberiannya harus hati-hati pada pasien usia lanjut dan
tidak diberikan pada pasien dengan penyakit jantung iskemik, glaukoma dan obstruksi
kemih.

19

Dekongestan topikal seperti oxymetazolin, fenilefrin, xlometazolin, nafazolin,


dapat mengurangi gejala hidung tersumbat. Namun penggunaannya harus dibatasi 3-5
hari untuk menghindari terjadinya rebound nasal congestion (rinitis medikamentosa).
Pemberian dekongestan topikal pada rinitis alergi berat selama beberapa hari pertama
dapat membantu kemajuan terapi.

Tabel 3 obat dekongestan topical dan durasinya.


Kombinasi antihistamin-dekongestan
Kombinasi antihistamin dengan dekongestan banyak digunakan. Kombinasi
loratadine atau fexofenadin dengan pseudoefedrine banyak tersedia dan memberikan
efek yang lebih baik dibandingkan pemberian antihistamin secara tersendiri.
Kortikosteroid
Preparat kortikosteroid topikal memiliki efek melalui mekanisme multipel,
yaitu vasokontriksi dan mengurangi edema, menekan produksi sitokin dan
menghambat influks sel radang. Preparat ini merupakan terapi yang paling efektif
pada rinitis alergi terutama derajat berat. Yang termasuk pada golongan kortikosteroid
topikal ini yaitu budesonid, beklometason, flunisolid, flutikason, mometaso furoat dan
triamnicolon asetonid.
Tidak didapatkan efek samping sistemik yang signifikan pada dewasa, tetapi
pada

anak

dilaporkan

terdapat

hambatan

pertumbuhan

pada

pemakaian
20

beclomethasone intranasal. Efek samping lokal yang timbul berupa kering dan iritasi
pada mukosa hidung serta epistaksis ringan. Dalam pemakaiannya, harus
diberitahukan kepada pasien agar dalam menyemprotkan obat tidak mengarah ke
septum karena dapat terjadi erosi mukosa yang akhirnya menimbulkan perforasi
septum.
Kortikosteroid oral digunakan pada kasus tertentu dengan gejala hidung
yangsangat berat. Contoh obat yang digunakan yaitu prednison atau metiprednisolon.
Ipratropium Bromida
Ipratropium bromida intranasal dalam bentuk larutan 0,03% merupakan suatu
agen antikolinergik yang cukup efektif dalammengurangi sekresi hidung, tetapi tidak
signifikan terhadap gejala hidung yang lain. Pemberian preparat ini sangatt membantu
bila rinore tidak dapat dikurangi dengan kortikosteroid topikal dan/atau antihistamin.
Selain itu, dapat pula diberikan pada pasien yang mengalami rinore akut dengan sebab
yang jelas sebagai profilaksis. Efek samping yang sering timbul yaitu iritasi hidung,
timbulnya krusta dan epistaksis ringan.
Sodium Kromoglikat
Sediaan sodium kromoglikat intranasal sudah tersebar penggunaannya dalam
terapi rinitis alergi. Biasanya kurang efektif bila dibandingkan dengan antihistamin
atau kortikosteroid. Pemberian optimal 4-6 kali sehari. Idealnya, obat ini diberikan
sebelum gejala mayor timbul karena cara kerjanya sebagai stabilisator sel mast. Jika
diberikan 4 kali sehari, obat ini sama efektif dengan antihistamin dalam mengurangi
bersin, rinore dan gatal pada hidung. Selain itu, dapat juga digunakan sebagai
profilaksis akut sebelum terpapar dengan alergen yang sudah diketahui.
Leukotriene Modifier
Golongan obat ini merupakan antagonis reseptor leukotrien. Pengaruhnya
terhadap gejala rinitis yaitu dengan dihambatnya produksi leukotrien dapat
mengurangi gejala, terutama sumbatan hidung, karena diduga leukotrien berperan
dalam menyebabkan sumbatan hidung pada rinitis alergi. Akan tetapi, obat ini bukan
merupakan pilihan utama untuk rinitis.

21

Imunoterapi
Imunoterapi alergen sangat efektif dalam mengendalikan gejala rinitis alergi
yang berat. Penelitian-penelitian pada dekade terakhir ini mengemukakan bahwa
imunoterapi alergen menyebabkan toleransi terhadap limfosit T alergen spesifik
dengan adanya penurunan pengeluaran mediator dan inflamasi jaringan. Pemberian
imunoterapi dipertimbangkan pada pasien-pasien yang (1) tidak responsif terhadap
kombinasi pengendalian lingkungan dan medikasi, (2) mengalami efek samping
medikasi yang cukup berat, (3) mengalami gejala sepanjang tahun yang memerlukan
terapi setiap hari, atau (4) menginginkan pengendalian jangka panjang terhadap gejala
alergi.
ARIA
merekomendasikan penggunaan obat-obatan pada rinitis sebagai berikut:

Rinitis intermiten, gejala ringan: H1- antihistamin


oral

Rinitis intermitent, gejala sedang-berat: intranasal kortikosteroid. Jika dibutuhkan


setelah pengobatan 1 minggu dapat diberikan H-1 antihistamin oral dan atau
kortikosteroid oral jangka pendek (short course)

Rinitis persisten, gejala ringan: H-1 antihistamin oral atau dosis rendahkortikosteroid
intranasal.

Rinitis persisten, gejala sedang-berat: Kortikosteroid intranasal. Jika gejala berat


tambahkan H1-aantihistamin oral dan atau kortikosteroid oral short-course.
Beberapa pakar mengingatkan bahwa dalam memilih sediaan kortikosteroid intranasal
perlu diperhatikan selain efektifitasnya juga bioavailabilitasnya. Bioavailabilitas yang
rendah seharusnya merupakan pilihan utama tetapi yang juga harus menjadi
pertimbangan adalah masalah harga (cost).
Secara garis besar dalam menentukan jenis kortikosteroid intranasal perlu
diprtimbangkan efektifitas, bioavailabilitas, efek samping, dan faktor harga. Selain hal
di atas, ARIA merekomendasikan bila terdapat gejala pada mata (keterlibatan pada

22

mata) maka dapat dianjurkan pemberian H-1 bloker oral/intraokuler, atau kromolin
intraokuler

23

Operatif
Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila konka
inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai
AgNO3 25% atau triklor asetat.
Penggunaan Farmakoterapi pada Kelompok Tertentu
Anak
Karena beberapa kortikosteroid nasal dilaporkan menghambat pertumbuhan,
anak yang menerima terapi obat ini harus dimonitor pertumbuhannya.
Orang Tua
Alergi bukan penyebab rinitis menetap yang biasa pada orang tua di atas 65
tahun. Biasanya, rinitis pada orang tua disebabkan oleh hiperreaktivitas kolinergik
yang berhubungan dengan hidung berair, dimana timbul setelah mengunyah, juga oleh
hiperreaktivitas adrenergik-a berupa kongesti yang berhubungan dengan obat
antihipertensi, atau sinusitis.
Pemberian antihistamin non sedatif dan kortikosteroid intranasal lebih
direkomendasikan pada orang tua jika dipilih golongan ini sebagai terapi rinitis alergi,
karena pada orang tua terjadi peningkatan respon terhadap efek SSP dan
antikolinergik dari antihistamin. Pemberian dekongestan oral harus dengan hati-hati
karena adanya efek obat tersebut terhadap SSP, jantung dan fungsi kandung kemih.

24

Wanita Hamil
Rinitis alergi dapat bertambah parah selama kehamilan. Untuk gejala rinore,
bersin atau gatal pada hidung, dapat diberikan sodium kromoglikat intranasal sebagai
terapi lini pertama karena merupakan golongan yang paling aman. Jika tidak efektif,
dapat diberikan antihistamin oral seperti klorfeniramin atau tripelennamin. Jika
sumbatan hidung menetap, dapat diberikan kortikosteroid intanasal yang sama aman
dan efektifnya. Dekongestan oral sebaiknya dihindari pada trimester pertama karena
risiko terjadi gastroskizis pada anak.
I. Prognosis
Prognosis dari rinitis alergi bervariasi. Penyakit kadang-kadang dapat
membaik dengan tiba-tiba, tetapi bisa juga resisten terhadap pengobatan yang
diberikan.

BAB III
PENYAJIAN KASUS
1.ANAMNESIS
Identitas
Nama

: An. R

25

Jenis Kelamin

: Perempuan

Umur

: 21 Tahun

Alamat

: jl. Darul Falah no.46

Pekerjaan

: Mahasiswa

Nomor RM

:-

Tanggal Masuk RS : 3 Maret 2009


Anamnesis dilakukan pada tanggal 5 april pukul 10.30 WIB
Keluhan Utama
Sering pilek dan telinga sering mendenging
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Rumah Sakit dengan keluhan sering pilek sejak kurang lebih
1 bulan yang lalu. Pilek berupa cairan berwarna kehijauan dan berbau. Beberapa hari
yang lalu pasien juga mengeluh demam tapi sekarang demam sudah sembuh. Batuk,
sakit kepala, sakit tenggorokan, telinga berdengung, dan sering bersin disangkal oleh
pasien dan ibu pasien yang mengantar. Ternyata kurang lebih 2 minggu yang lalu,
pasien sudah datang berobat ke dokter spesialis anak dan oleh dokter spesialis anak
diberi 3 macam obat, yaitu puyer, parasetamol, dan vitamin. Lalu 1 minggu lebih 4
hari kemudian atau sekitar 3 hari yang lalu, pilek pasien agak berkurang.
Dokter spesialis anak menganjurkan pasien agar datang berobat juga ke dokter
THT sehingga pasien datang ke dokter spesialis THT. Keluhan yang dirasakan,
menurut pasien kadang-kadang mengganggu aktivitas sehari-hari pasien.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien sering mengalami keluhan seperti ini sebelumnya.
Riwayat asma disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga


Di keluarga tidak ada yang mengalami keluhan serupa.
2.PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan pada tanggal 3 Maret 2009 pukul 08.30 WIB
Keadaan umum : baik
26

Status Lokalis
Telinga
Inspeksi, Palpasi :
Inspeksi, Palpasi :
Telinga kanan
(-),

Telinga kiri

Aurikula

Edema

hiperemis

(-), Edema

(-),

hiperemis

(-),

Retroaurikula

massa (-).
Edema (-),

hiperemis

massa (-).
(-), Edema (-),

hiperemis

(-),

Palpasi

massa (-)
massa (-)
Nyeri pergerakan aurikula (-), Nyeri pergerakan aurikula (-),
nyeri tekan tragus (-).

nyeri tekan tragus (-).

Otoskopi :
Telinga kanan
(-),

hiperemis

Telinga kiri

MAE

Edema

(-), Edema

(-),

hiperemis

(-),

Membran

serumen (+), furunkel (-).


serumen (+), furunkel (-).
Intak, berwarna putih, refleks Intak, berwarna putih, refleks

timpani

cahaya (-).

cahaya (-).

Hidung dan Sinus Paranasal


Inspeksi, Palpasi :
-

Deviasi tulang hidung (-), bengkak daerah hidung dan sinus paranasal (-)

Krepitasi tulang hidung (-), nyeri tekan hidung dan sinus paranasal (-)
Rinoskopi Anterior :
Rinoskopi anterior
Mukosa hidung
Septum
Konka inferior

Cavum nasi dextra

Cavum nasi sinistra

Edema (+), berwarna pucat.

Edema

Sekret (-).

pucat. Sekret (-).

Deviasi (-), dislokasi (-).


Membesar (hipertrofi).

Deviasi (-), dislokasi (-).


Membesar (hipertrofi).

Berwarna pucat.
Meatus inferior dan Sekret (-), polip (-).

(+),

berwarna

Berwarna pucat.
Sekret (-), polip (-).

media

27

Rinoskopi Posterior : tidak dilakukan pemeriksaan.


Tenggorokan
Inspeksi, Palpasi :
-

Mukosa

: hiperemis (-), edema (-)

Tonsil

: T1-T1

Pembesaran kelenjar limfe

: (-)

Laringoskopi Indirek : tidak dilakukan pemeriksaan.


3. PEMERIKSAAN PENUNJANG YANG DIUSULKAN

Pemeriksaan radiologi : foto Rontgen sinus paranasalis (Waters)

Laboratorium : IgE total serum, hitung eosinofil hapus darah tepi.

4.DIAGNOSIS
Diagnosis kerja

: Rinitis Alergi

Diagnosis banding : Rinitis vasomotor


Sinusitis

5.TATALAKSANA
Non Medikamentosa :

Menghindari kontak dengan alergen penyebabnya dan eliminasi.

Menghindari makanan yang dapat merangsang kambuhnya penyakit

Rutin Berolahraga

Medikamentosa :
-

Antihistamin: interhistin 2 x sehari dengan dosis 50 mg

Kortikosteroid oral : budesonid

Antibiotik : ampisilin, amoksisilin

Kontrol ulang.

28

6.PROGNOSIS
Ad vitam

: bonam

Ad functionam

: dubia ad bonam

Ad sanactionam

: malam

BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien datang ke Rumah Sakit dengan keluhan sering pilek sejak kurang lebih
1 bulan yang lalu. Pilek berupa cairan berwarna kehijauan dan berbau. Beberapa hari
yang lalu pasien juga mengeluh demam tapi sekarang demam sudah sembuh. Batuk,
sakit kepala, sakit tenggorokan, telinga berdengung, dan sering bersin disangkal oleh
pasien dan ibu pasien yang mengantar. Ternyata kurang lebih 2 minggu yang lalu,
pasien sudah datang berobat ke dokter spesialis anak dan oleh dokter spesialis anak
diberi 3 macam obat, yaitu puyer, parasetamol, dan vitamin. Lalu 1 minggu lebih 4
hari kemudian atau sekitar 3 hari yang lalu, pilek pasien agak berkurang.

29

Dari pemeriksaan rinoskopi anterior didapatkan konka hidung kanan dan kiri
edem serta berwarna pucat. Pada pemeriksaan telinga ditemukan serumen tapi tidak
ditemukan kelainan baik pada telinga kanan ataupun telinga kiri. Pada pemeriksaan
tenggorokan juga tidak ditemukan kelainan.
Berdasarkan anamnesis dimana keluhan yang paling dirasakan oleh pasien
adalah pilek yang berulang sejak 1 bulan yang lalu disertai dengan keluarnya cairan
kental berwarna hijau. Serta dari hasil pemeriksaan rhinoskopi anterior didapatkan
mukosa hidung kanan dan kiri yang edema dan berwarna pucat, maka diagnosis kerja
yang diambil pada pasien ini adalah Rinitis Alergi, dengan diagnosis banding rinitis
vasomotor dan sinusitis.
Rinitis vasomotor diambil sebagai diagnosis banding pada pasien ini
didasarkan pada anamnesis didapatkan adanya keluhan hidung tersumbat dan keluar
cairan dari hidung (rinorea) serta sering kambuh bila cuaca dingin. Untuk
menyingkirkan diagnosis rinitis vasomotor dari pemeriksaan rinoskopi anterior
didapatkan mukosa hidung kiri yang edema dan berwarna pucat serta konka inferior
pada hidung kiri tampak membesar (hipertrofi) dan berwarna pucat. Sedangkan pada
rinitis vasomotor karakteristiknya konka berwarna merah gelap atau merah tua dan
permukaan konka dapat licin atau berbenjol (tidak rata). Untuk lebih memastikan
dapat dilakukan pemeriksaan penunjang tes alergi yang biasanya hasilnya negatif dan
juga pemeriksaan jumlah eosinofil di dalam sekret hidung yang biasanya jumlahnya
sedikit pada rinitis vasomotor.
Untuk memudahkan dalam membedaan rinitis alergi dan rinitis vasomotor,
dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

30

Diagnosis banding sinusitis diambil pada pasien ini didasarkan pada


anamnesis dimana adanya keluhan pilek berulang disertai cairan kental yang berbau
dan ditambah dengan data bahwa sinusitis merupakan komplikasi rinitis alergi yang
paling sering. Untuk memastikan dugaan ke arah tersebut perlu dilakukan suatu
pemeriksaan lanjutan. Untuk itu usulan pemeriksaan selanjutnya yang perlu dilakukan
adalah pemeriksaan radiologi foto rontgen posisi Waters.
Alergi terhadap partikel yang pada individu umum, tidak membahayakan dan
tidak menimbulkan respon imun tetapi pada penderita alergi, kontak dengan partikel
tersebut (yang disebut allergen) menyebabkan sistem imun tersensitisasi. Reaksi yang
terjadi menghasilkan antibody terhadap allergen dan mengakibatkan pelepasan zat
yang disebut histamine (dan beberapa jenis lain) ke dalam darah. Zat tersebut
menimbulkan reaksi gatal, pembengkakan jaringan yang berkaitan, sekresi selaput
lendir seperti air, dan kemerahan serta gejala lainnya bergantung kepada individu
yang alergi.
Pada rinitis alergi didasari oleh suatu proses alergi yang diawali oleh adanya
proses sensitisasi terhadap alergen sebelumnya. Melalui inhalasi, partikel alergen akan
tertumpuk di mukosa hidung yang kemudian berdifusi pada jaringan hidung. Hal ini
menyebabkan sel Antigen Presenting Cell (APC) akan menangkap alergen yang
menempel tersebut. Kemudian antigen tersebut akan bergabung dengan HLA kelas II
membentuk suatu kompleks molekul MHC (Major Histocompability Complex) kelas
II. Kompleks molekul ini akan dipresentasikan terhadap sel T helper (Th 0). Th 0 ini
akan diaktifkan oleh sitokin yang dilepaskan oleh APC menjadi Th1 dan Th2. Th2
akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL3, IL4, IL5, IL9, IL10, IL13 dan
lainnya. IL4 dan IL13 dapat diikat reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga
sel B menjadi aktif dan memproduksi IgE. IgE yang bersirkulasi dalam darah ini akan
terikat dengan sel mast dan basofil yang mana kedua sel ini merupakan sel mediator.
Adanya IgE yang terikat ini menyebabkan teraktifasinya kedua sel tersebut.
Selanjutnya, apabila individu dengan atopi yang sudah tersensitisasi jika
terpapar dengan alergen yang sama akan terjadi degranulasi sel mast atau basofil. Hal
ini menyebabkan terjadinya reaksi alergi yang terdiri atas dua fase, yaitu fase cepat
dan fase lambat.

31

Tujuan pengobatan adalah mengurangi gejala dan mencegah komplikasi.


Pengobatan yang utama adalah menghindari atau meminimalkan kontak dengan
allergen.
Beberapa hal yang dapat dilakukan antara lain bagi penderita alergi terhadap serbuk
sari dari luar rumah dapat menutup jendela rumah dan menggunakan air condition
atau mengurangi kegiatan di luar rumah pada musim tertentu.
Penatalaksanaan pada pasien ini dibagi menjadi 2 macam yaitu terapi non
medikamentosa dan terapi medikamentosa. Pada terapi non medikamentosa pasien
diupayakan untuk hindari memencet hidung dengan keras pada saat mengeluarkan
ingus, karena ini bisa mengakibatkan perdarahan di hidung. Meminimalisasi /
mengurangi kontak dengan alergen yang diduga penyebab, misalnya dengan
menggunakan masker dan rutin berolahraga, misalnya jalan cepat selama 30 menit (34 x seminggu).Terapi medikamentosa yang diberikan pada pasien ini adalah
kortikosteroid topikal : budesonid, 2 x sehari dengan dosis 100 mikrogram selama 2
minggu, interhistin 2 kali sehari dosis 50 mg, serta antibiotik (ampisilin atau
amoksisilin 3 kali sehari).
Prognosis pada pasien ini adalah ad vitam : bonam, ad functionam : dubia ad
bonam, ad sanactionam : malam. Ad sanactionam malam dikarenakan hal ini sangat
tergantung sekali terhadap imunitas dan kepatuhan penderita dalam menghindari
alergen.

DAFTAR PUSTAKA
Budi, RA. Rinitis Alergi. Dalam Cermin Dunia Kedokteran No. 90. 2004.
Higler, PA. Penyakit Hidung dalam Boies Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Editor :
George L. Adams, Lawrence, R. Boies, & Peter A. Higler. Alih Bahasa : Caroline
Wijaya. Jakarta. EGC. 1997
Mangunkusumo, E. & Rifki, N. Rinorea, Infeksi Hidung dan Sinus dalam Buku Ajar
Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Edisi 5. Editor: Efiaty
Arsyad Soepardi & Nurbaiti Iskandar. Jakarta. Balai Penerbit FKUI. 2006.

32

Nizar, Nuti. Rhinitis Alergi. Available from : http://www.pd-persi.com/alergicrhinitis.pdf


http://hennykartika.wordpress.com diunduh pada tanggal 10 februari 2009.

33

Anda mungkin juga menyukai