Tinjauan Pustaka Ku 1
Tinjauan Pustaka Ku 1
PENDAHULUAN
Penyakit alergi yang kita kenal dalam praktek sehari-hari antara lain ialah,
reaksi atopi (rhinitis alergika, asthma bronehiale, urticaria, eezema atopik) alergi
obat, dermatitis kontak, dan serum sickness yang sudah jarang dilihat lagi. Dari
kepustakaan dikatakan bahwa 30% dari penduduk itu mempunyai kemungkinan
selama dalam hidupnya untukmenunjukkan suatu reaksi alergi, tapi hanya 10% yang
membutuhkan pertolongan medik.Rhinitis alergika adalah penyakit alergi yang paling
banyakditemukan, lalu disusuloleh asthma bronchiale dan urticaria.
Meskipun rhinitis alergika kelihatannya tidak seberapa payah,tapi dalam
praktek kita, banyak sekali yang mendapat cukup gangguan-gangguan hidungnya
antara lain berair terus sehingga memakai lebih dari 10 saputangan sehari, matanya
berair dan gatal-gatal yang hilang timbul, berbangkis-bangkis yang tak henti-henti,
terutama dipagi hari atau kalau penderita banyak kena debu. Kalau hal ini dibiarkan
terus, kelak akan timbul berbagai komplikasi yang menyangkut kesulitan-kesulitan
didaerah hidung
Rinitis alergi adalah penyakit umum yang paling banyak di derita oleh
perempuan dan laki-laki yang berusia 30 tahunan. Merupakan inflamasi mukosa
saluran hidung dan sinus yang disebabkan alergi terhadap partikel, seperti debu, asap,
serbuk/tepung sari yang ada di udara. Meskipun bukan penyakit berbahaya yang
mematikan, rinitis alergi harus dianggap penyakit yang serius karena karena dapat
mempengaruhi kualitas hidup penderitanya. Tak hanya aktivitas sehari-hari yang
menjadi terganggu, biaya yang akan dikeluarkan untuk mengobatinya pun akan
semakin mahal apabila penyakit ini tidak segera diatasi karena telah menjadi kronis.
Rinitis alergi merupakan masalah kesehatan global yang menyerang kirakira 10-50% penduduk dunia. Sejak pertama kali ditemukan di Inggris pada tahun
1819, prevalensinya semakin meningkat mencapai sekitar 40% dari populasi umum.
Sebagian besar penderita ternyata mengalami penurunan kualitas hidup, kualitas
pendidikan di sekolah dan produktvitas kerja, akibat dari gejala-gejala yang dialami.
Selain itu, kebanyakan penderita tidak menyadari penyakit alergi ini, sehingga biaya
medis yang dikeluarkan untuk berulang kali berobat sangat tinggi. Oleh karena itu
sangat penting untuk mengenali gejala dan tanda rinitis alergi, sehingga dapat
didiagnosis dengan tepat dan ditatalaksana dengan adekuat.
Diagnosis dari rinitis alergi dapat ditegakkan dengan anamnesis yang cermat,
pemeriksaan THT serta beberapa pemeriksaan yang dapat menyingkirkan
kemungkinan jenis rinitis lainnya. Rinitis alergi ini merupakan salah satu manifestasi
dari reaksi hipersensitifitas tipe 1 Gell & Comb yang diperantarai oleh IgE dengan
mukosa hidung sebagai organ sasaran. Gejala-gejala yang banyak dikeluhkan yaitu
bersin-bersin, hidung tersumbat, rinore dan gatal pada hidung, yang dapat disertai
dengan keluhan lain atau juga tidak. Penyakit ini dapat menimbulkan gejala sistemik,
menurunkan kualitas hidup, mengganggu sekolah dan kegiatan akademis serta
mengurangi produktivitas kerja. Hal ini menyebabkan penatalaksanaan yang baik
sangat diperlukan bagi penderita rinitis alergi sehingga dapat menjalani hidup dengan
kualitas yang lebih baik
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Rinitis alergi menurut WHO (2001) adalah kelainan pada hidung setelah
mukosa hidung terpapar oleh alergen yang diperantarai oleh IgE dengan gejala
bersin-bersin, rinore, rasa gatal pada hidung dan hidung tersumbat.
Rinits alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi pada
pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta
dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen
spesifik tersebut.
B. Epidemiologi
Rinitis alergi merupakan penyakit umum dan sering dijumpai. Prevalensi
penyakit rinitis alergi pada beberapa negara berkisar antara 4.5-38.3% dari jumlah
penduduk dan di Amerika, merupakan 1 diantara deretan atas penyakit umum yang
sering dijumpai. Meskipun dapat timbul pada semua usia, tetapi 2/3 penderita
umumnya mulai menderita pada saat berusia 30 tahun. Dapat terjadi pada wanita dan
pria dengan kemungkinan yang sama. Penyakit ini herediter dengan predisposisi
genetik kuat. Bila salah satu dari orang tua menderita alergi, akan memberi
kemungkinan sebesar 30% terhadap keturunannya dan bila kedua orang tua menderita
akan diperkirakan mengenai sekitar 50% keturunannya.
C. Etiologi
Berdasarkan cara masuknya, alergen dibagi atas :
1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan, misalnya
tungau debu rumah, kecoa, serpihan epitel kulit binatang, rerumputan, serta
jamur.
2. Alergen ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya
susu, sapi, telur, coklat, ikan laut, udang, kepiting, dan kacang-kacangan.
3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya
penisilin dan sengatan lebah.
4. Alergen kontaktan , yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa,
misalnya bahan kosmetik atau perhiasan.
Gambar 1.Alergen.
Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara
garis besar terdiri dari:
1. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini
bersifat non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil
seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.
2. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga
kemungkinan ialah sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya
dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila
Ag masih ada, atau memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka
reaksi berlanjut menjadi respon tersier.
D. Patofisiologi
IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di
permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi
aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang
tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama,
maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi
(pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia
yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga
dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2),
Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin. Platelet Activating
Factor (PAF) dan berbagai sitokin. (IL3, IL4, IL5, IL6, GM-CSF (Granulocyte
Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai
Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).
E. Klasifikasi
Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat
berlangsungnya, yaitu :
1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)
Di Indonesia tidak dikenal rinitis alergi musiman, hanya ada di negara
yang mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari
(pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu nama yang tepat adalah polinosis atau
rino konjungtivitis karena gejala klinik yang tampak ialah gejala pada hidung dan
mata (mata merah, gatal disertai lakrimasi).
10
granuler dan edema (cobblestone appearance). Lidah tampak seperti gambaran peta
(geographic tongue).
Gambar 5.gambaran klinis
11
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau
livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior
tampak hipertrofi. Perlu juga dilihat adanya kelainan septum atau polip hidung yang
dapat memperberat gejala hidung tersumbat. Selain itu, dapat pula ditemukan
konjungtivis bilateral atau penyakit yang berhubungan lainnya seperti sinusitis dan
otitis media.
12
alergen
dalam
berbagai
konsentrasi
yang
bertingkat
13
Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang dapat
diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan
provokasi (Challenge Test).Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh
dalam waktu lima hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan yang
dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya
diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan
dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan
meniadakan suatu jenis makanan.
Uji kulit untuk alergi makanan yang akhir-akhir ini banyak dilakukan
adalah Provocative Food Test (IPFT).
Dengan lengkapnya pemeriksaan ini, selain alergen jenis penyebab,
juga dapat diketahui besarnya konsentrasi alergen yang dapat menetralkan
reaksi akibat alergen tersebut.
G. Komplikasi
Komplikasi rinitis alergi yang paling sering adalah :
1. Polip hidung.
Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah
satu faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip
hidung.
2. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.
3. Sinusitis paranasal.
Kedua komplikasi yang terakhir bukanlah sebagai akibat langsung dari rinitis
alergi, tetapi karena adanya sumbatan hidung, sehingga menghambat drenase.
H. Penatalaksanaan
Terapi rinitis alergi umumnya berdasarkan tahap-tahap reaksi alergi, yaitu:
1. Tahap terjadinya kontak antara alergen dengan kulit atau mukosa hidung.
Tahapan ini diterapi dengan penghindaran terhadap alergen penyebab.
2. Tahap penetrasi alergen ke dalam jaringan subkutan/submukosa menuju IgE
pada permukaan sel mast atau basofil. Tahapan ini diterapi secara kompetitif
dengan imunoterapi.
3. Tahapan ikatan Ag-IgE di permukaan mastosit/basofil, sebagai akibat lebih
lanjut reaksi Ag-IgE dimana dilepaskan histamin sebagai mediator. Tahapan
ini dinetralisir dengan obat-obatan antihistamin yang secara kompetitif
memperebutkan reseptor H1 dengan histamin.
14
dini
terhadap
alergen.
Tindakan
pertama
adalah
15
serpihan bulu kucing dan anjing yang juga berperan aktif. Jamur yang terdapat dalam
rumah seperti jenis Aspergillus dan Penicillium sering ditemukan pada daerah yang
lembab seperti kamar mandi, gudang, serta atap yang bocor.
Pencegahan kontak dengan alergen dapat dilakukan dengan menjaga
kebersihan rumah, menghindari penggunaan karpet, memperbaiki ventilasi dan
kelembaban udara. Edukasi terhadap penderita perlu diberikan secara teratur
mengenai penyakit, penatalaksanaan, kepatuhan dalam berobat baik secara lisan
maupun pertanyaan.
Untuk mengurangi populasi tungau dan paparan terhadap alergen terdapat
beberapa cara, yaitu: 1) tidak menggunakan karpet, kapuk dan menyingkirkan mainan
berbulu dari kamar tidur, 2) mencuci selimut, bed cover, sprei, sarung bantal dan
guling serta kain gorden pada suhu 60oC, 3) melapisi kasur, bantal dan guling dari
bahan impermeablel/ antitembus tungau, 4) menggunakan perabot yang mudah
dibersihkan seperti dari kayu,plastik, logam dddan hindari sofa dari kain, 5)
pembersihan yang sering dan teratur dengan penghisap debu atau lap basah, 6) hindari
binatang peliharaan.
16
medikamentosa
harus
dipertimbangkan
secara
individual
berdasarkan gejala dan tipe rinitis yang ada pada pasien. Hal ini karena pengobatan
yang berbeda akan memberikan efek yang berbeda terhadap tipe rinitis dan gejala
yang berbeda. Direkomendasikan utnuk memberikan terapi secara langkah demi
langkah, menekankan penatalaksanaan secara individual berdasarkan derajat
keparahan gejala, dengan mempertimbangkan efektivitas biaya dan dengan
pendekatan naik satu langkah atau turun satu langkah.
Antihistami H1
Antihistamin H1 merupakan obat yang sering dipakai untuk rinitis alergi dan
bekerja secara inhibisi kompetitif pada reseptor H1. Walaupun begitu, antihistamin
17
H1 ini juga menunjukkan efek antiinflamasi, yaitu dengan berkurangnya ekspresi dari
adhesi molekul. Secara umum, antihistamin H1 mengurangi gejala bersin, gatal,
rinore dan injeksi okuler tetapi memiliki efek yang kecil terhadap kongesti hidung.
Karena sebagian besar antihistamin bekerja cepat dalam 1-3 jam, maka
penggunaannya secara intermiten sering dipakai dan cukup efektif, sehingga
merupakan terapi lini pertama untuk rinitis alergi ringan. Untuk penggunaan lama,
obat ini dapat menimbulkan subsensitivitas terapeutik.
Dikenal ada dua generasi obat antihistamin H1, yaitu generasi pertama atau
klasik dan generasi kedua. Generasi pertama tersedia secara luas baik secara terpisah
maupun kombinasi dengan dekongestan. Yang termasuk ke dalam kelompok ini
adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin serta azelastin yang
dapat diberikan secara topikal. Antihistamin generasi pertama ini bersifat lipofilik
sehingga dapat melewati sawar darah otak, dan tidak hanya berikatan dengan reseptor
histamin H1 saja tetapi juga dengan reseptor dopaminergik, serotinergik dan
kolinergik. Hal ini menyebabkan adanya efek samping dari obat ini, yaitu efek
terhadap SSP (seperti sedasi, lelah, pusing, turunnya penampilan), serta efek
kolinergik seperti mulut dan mata kering, glaukoma, atau retensi urin. Efek samping
ini dapat berimplikasi sebagai penyebab fatal dari kecelakaan lalu lintas, penurunan
daya kerja dan produktivitas, berkurangnya konsentrasi belajar anak sehingga
pemberiannya perlu diperhatikan sesuai dengan status dan pekerjaan pasien.
Antihistamin generasi kedua berukuran lebih besar dan lebih bersifat lipofobik
daripada generasi pertama, sehingga tidak melewati sawar darah otak. Generasi kedua
ini berikatan secara spesifik dengan reseptor histamin H1 dan memiliki afinitas yang
kecil terhadap reseptor lain. Sehingga generasi kedua ini memiliki efek samping
sedasi yang lebih sedikit atau tidak ada, tidak mengganggu penampilan dan tidak
memiliki efek antikolinergik. Yang termasuk kelompok ini yaitu loratadin, astemisol,
azelastin, terfinadin dan cetirisin. Terfenadin dan astemisol diketahui dapat
menyebabkan perpanjangan repolarisasi jantung sehingga memperpanjang interval
QT pada EKG, dan bila dikombinasikan dengan obat lain yang dimetabolisme di hati
melalui enzim sitoktrom P450 (seperti antibiotik makrolid, antijamur golongan azol)
keduanya dapat menyebabkan torsades de pointes serta aritmia ventrikel. Hal ini
menjadikan kedua obat ini tidak lagi direkomendasikan.
Akhir-akhir ini sedang dikembangkan antihistamin generasi ketiga yang
memiliki keuntungan lebih besar dibandingkan generasi kedua, termasuk tidak ada
18
efek kardiotoksis. Salah satu contohnya yaitu fexofenadine yang merupakan metabolit
terfenadin.
Terdapat juga sediaan antihistamin intranasal, yaitu azelastin dan levocabastin.
Kedua jenis obat ini secara efektif dan spesifik bekerja sebagai antagonis reseptor H1
untuk mengatasi gejala bersin dan gatal pada hidung dan mata. Bila digunakan 2 kali
sehari dapat mencegah timbulnya gejala.
19
anak
dilaporkan
terdapat
hambatan
pertumbuhan
pada
pemakaian
20
beclomethasone intranasal. Efek samping lokal yang timbul berupa kering dan iritasi
pada mukosa hidung serta epistaksis ringan. Dalam pemakaiannya, harus
diberitahukan kepada pasien agar dalam menyemprotkan obat tidak mengarah ke
septum karena dapat terjadi erosi mukosa yang akhirnya menimbulkan perforasi
septum.
Kortikosteroid oral digunakan pada kasus tertentu dengan gejala hidung
yangsangat berat. Contoh obat yang digunakan yaitu prednison atau metiprednisolon.
Ipratropium Bromida
Ipratropium bromida intranasal dalam bentuk larutan 0,03% merupakan suatu
agen antikolinergik yang cukup efektif dalammengurangi sekresi hidung, tetapi tidak
signifikan terhadap gejala hidung yang lain. Pemberian preparat ini sangatt membantu
bila rinore tidak dapat dikurangi dengan kortikosteroid topikal dan/atau antihistamin.
Selain itu, dapat pula diberikan pada pasien yang mengalami rinore akut dengan sebab
yang jelas sebagai profilaksis. Efek samping yang sering timbul yaitu iritasi hidung,
timbulnya krusta dan epistaksis ringan.
Sodium Kromoglikat
Sediaan sodium kromoglikat intranasal sudah tersebar penggunaannya dalam
terapi rinitis alergi. Biasanya kurang efektif bila dibandingkan dengan antihistamin
atau kortikosteroid. Pemberian optimal 4-6 kali sehari. Idealnya, obat ini diberikan
sebelum gejala mayor timbul karena cara kerjanya sebagai stabilisator sel mast. Jika
diberikan 4 kali sehari, obat ini sama efektif dengan antihistamin dalam mengurangi
bersin, rinore dan gatal pada hidung. Selain itu, dapat juga digunakan sebagai
profilaksis akut sebelum terpapar dengan alergen yang sudah diketahui.
Leukotriene Modifier
Golongan obat ini merupakan antagonis reseptor leukotrien. Pengaruhnya
terhadap gejala rinitis yaitu dengan dihambatnya produksi leukotrien dapat
mengurangi gejala, terutama sumbatan hidung, karena diduga leukotrien berperan
dalam menyebabkan sumbatan hidung pada rinitis alergi. Akan tetapi, obat ini bukan
merupakan pilihan utama untuk rinitis.
21
Imunoterapi
Imunoterapi alergen sangat efektif dalam mengendalikan gejala rinitis alergi
yang berat. Penelitian-penelitian pada dekade terakhir ini mengemukakan bahwa
imunoterapi alergen menyebabkan toleransi terhadap limfosit T alergen spesifik
dengan adanya penurunan pengeluaran mediator dan inflamasi jaringan. Pemberian
imunoterapi dipertimbangkan pada pasien-pasien yang (1) tidak responsif terhadap
kombinasi pengendalian lingkungan dan medikasi, (2) mengalami efek samping
medikasi yang cukup berat, (3) mengalami gejala sepanjang tahun yang memerlukan
terapi setiap hari, atau (4) menginginkan pengendalian jangka panjang terhadap gejala
alergi.
ARIA
merekomendasikan penggunaan obat-obatan pada rinitis sebagai berikut:
Rinitis persisten, gejala ringan: H-1 antihistamin oral atau dosis rendahkortikosteroid
intranasal.
22
mata) maka dapat dianjurkan pemberian H-1 bloker oral/intraokuler, atau kromolin
intraokuler
23
Operatif
Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila konka
inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai
AgNO3 25% atau triklor asetat.
Penggunaan Farmakoterapi pada Kelompok Tertentu
Anak
Karena beberapa kortikosteroid nasal dilaporkan menghambat pertumbuhan,
anak yang menerima terapi obat ini harus dimonitor pertumbuhannya.
Orang Tua
Alergi bukan penyebab rinitis menetap yang biasa pada orang tua di atas 65
tahun. Biasanya, rinitis pada orang tua disebabkan oleh hiperreaktivitas kolinergik
yang berhubungan dengan hidung berair, dimana timbul setelah mengunyah, juga oleh
hiperreaktivitas adrenergik-a berupa kongesti yang berhubungan dengan obat
antihipertensi, atau sinusitis.
Pemberian antihistamin non sedatif dan kortikosteroid intranasal lebih
direkomendasikan pada orang tua jika dipilih golongan ini sebagai terapi rinitis alergi,
karena pada orang tua terjadi peningkatan respon terhadap efek SSP dan
antikolinergik dari antihistamin. Pemberian dekongestan oral harus dengan hati-hati
karena adanya efek obat tersebut terhadap SSP, jantung dan fungsi kandung kemih.
24
Wanita Hamil
Rinitis alergi dapat bertambah parah selama kehamilan. Untuk gejala rinore,
bersin atau gatal pada hidung, dapat diberikan sodium kromoglikat intranasal sebagai
terapi lini pertama karena merupakan golongan yang paling aman. Jika tidak efektif,
dapat diberikan antihistamin oral seperti klorfeniramin atau tripelennamin. Jika
sumbatan hidung menetap, dapat diberikan kortikosteroid intanasal yang sama aman
dan efektifnya. Dekongestan oral sebaiknya dihindari pada trimester pertama karena
risiko terjadi gastroskizis pada anak.
I. Prognosis
Prognosis dari rinitis alergi bervariasi. Penyakit kadang-kadang dapat
membaik dengan tiba-tiba, tetapi bisa juga resisten terhadap pengobatan yang
diberikan.
BAB III
PENYAJIAN KASUS
1.ANAMNESIS
Identitas
Nama
: An. R
25
Jenis Kelamin
: Perempuan
Umur
: 21 Tahun
Alamat
Pekerjaan
: Mahasiswa
Nomor RM
:-
Status Lokalis
Telinga
Inspeksi, Palpasi :
Inspeksi, Palpasi :
Telinga kanan
(-),
Telinga kiri
Aurikula
Edema
hiperemis
(-), Edema
(-),
hiperemis
(-),
Retroaurikula
massa (-).
Edema (-),
hiperemis
massa (-).
(-), Edema (-),
hiperemis
(-),
Palpasi
massa (-)
massa (-)
Nyeri pergerakan aurikula (-), Nyeri pergerakan aurikula (-),
nyeri tekan tragus (-).
Otoskopi :
Telinga kanan
(-),
hiperemis
Telinga kiri
MAE
Edema
(-), Edema
(-),
hiperemis
(-),
Membran
timpani
cahaya (-).
cahaya (-).
Deviasi tulang hidung (-), bengkak daerah hidung dan sinus paranasal (-)
Krepitasi tulang hidung (-), nyeri tekan hidung dan sinus paranasal (-)
Rinoskopi Anterior :
Rinoskopi anterior
Mukosa hidung
Septum
Konka inferior
Edema
Sekret (-).
Berwarna pucat.
Meatus inferior dan Sekret (-), polip (-).
(+),
berwarna
Berwarna pucat.
Sekret (-), polip (-).
media
27
Mukosa
Tonsil
: T1-T1
: (-)
4.DIAGNOSIS
Diagnosis kerja
: Rinitis Alergi
5.TATALAKSANA
Non Medikamentosa :
Rutin Berolahraga
Medikamentosa :
-
Kontrol ulang.
28
6.PROGNOSIS
Ad vitam
: bonam
Ad functionam
: dubia ad bonam
Ad sanactionam
: malam
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien datang ke Rumah Sakit dengan keluhan sering pilek sejak kurang lebih
1 bulan yang lalu. Pilek berupa cairan berwarna kehijauan dan berbau. Beberapa hari
yang lalu pasien juga mengeluh demam tapi sekarang demam sudah sembuh. Batuk,
sakit kepala, sakit tenggorokan, telinga berdengung, dan sering bersin disangkal oleh
pasien dan ibu pasien yang mengantar. Ternyata kurang lebih 2 minggu yang lalu,
pasien sudah datang berobat ke dokter spesialis anak dan oleh dokter spesialis anak
diberi 3 macam obat, yaitu puyer, parasetamol, dan vitamin. Lalu 1 minggu lebih 4
hari kemudian atau sekitar 3 hari yang lalu, pilek pasien agak berkurang.
29
Dari pemeriksaan rinoskopi anterior didapatkan konka hidung kanan dan kiri
edem serta berwarna pucat. Pada pemeriksaan telinga ditemukan serumen tapi tidak
ditemukan kelainan baik pada telinga kanan ataupun telinga kiri. Pada pemeriksaan
tenggorokan juga tidak ditemukan kelainan.
Berdasarkan anamnesis dimana keluhan yang paling dirasakan oleh pasien
adalah pilek yang berulang sejak 1 bulan yang lalu disertai dengan keluarnya cairan
kental berwarna hijau. Serta dari hasil pemeriksaan rhinoskopi anterior didapatkan
mukosa hidung kanan dan kiri yang edema dan berwarna pucat, maka diagnosis kerja
yang diambil pada pasien ini adalah Rinitis Alergi, dengan diagnosis banding rinitis
vasomotor dan sinusitis.
Rinitis vasomotor diambil sebagai diagnosis banding pada pasien ini
didasarkan pada anamnesis didapatkan adanya keluhan hidung tersumbat dan keluar
cairan dari hidung (rinorea) serta sering kambuh bila cuaca dingin. Untuk
menyingkirkan diagnosis rinitis vasomotor dari pemeriksaan rinoskopi anterior
didapatkan mukosa hidung kiri yang edema dan berwarna pucat serta konka inferior
pada hidung kiri tampak membesar (hipertrofi) dan berwarna pucat. Sedangkan pada
rinitis vasomotor karakteristiknya konka berwarna merah gelap atau merah tua dan
permukaan konka dapat licin atau berbenjol (tidak rata). Untuk lebih memastikan
dapat dilakukan pemeriksaan penunjang tes alergi yang biasanya hasilnya negatif dan
juga pemeriksaan jumlah eosinofil di dalam sekret hidung yang biasanya jumlahnya
sedikit pada rinitis vasomotor.
Untuk memudahkan dalam membedaan rinitis alergi dan rinitis vasomotor,
dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
30
31
DAFTAR PUSTAKA
Budi, RA. Rinitis Alergi. Dalam Cermin Dunia Kedokteran No. 90. 2004.
Higler, PA. Penyakit Hidung dalam Boies Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Editor :
George L. Adams, Lawrence, R. Boies, & Peter A. Higler. Alih Bahasa : Caroline
Wijaya. Jakarta. EGC. 1997
Mangunkusumo, E. & Rifki, N. Rinorea, Infeksi Hidung dan Sinus dalam Buku Ajar
Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Edisi 5. Editor: Efiaty
Arsyad Soepardi & Nurbaiti Iskandar. Jakarta. Balai Penerbit FKUI. 2006.
32
33