Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hati adalah organ terbesar dan secara metabolism paling kompleks
kompleks di dalam tubuh. Organ ini terlibat dalam metabolism zat makanan serta
sebagian besar obat dan toksikan. Jenis zat yang belakangan ini biasanya dapat
mengalami detoksifikasi, tetapi banyak toksikan dapat dibioaktifkan dan menjadi
lebih toksik.
Hepatosit (sel parenkim hati) merupakan sebagian besar organ itu.
Hepatosit bertanggung jawab terhadap peran sentral hati dalam metabolisme. Selsel ini terletak di antara sinusoid yang terisi darah dan saluran empedu. Sebagian
besar toksikan memasuki tubuh

melalui system gastrointestinal, dan setelah

diserap toksikan dibawa oleh vena porta hati ke hati.


Hati mempunyai banyak tempat pengikatan. Kadar enzim yang
memetabolisme xenobiotik dalam hati juga tinggi (terutama sitokrom P-450), ini
membuat sebagian besar toksikan menjadi kurang toksik dan mudah larut dalam
air dan mudah diekskresikan. Tetapi dalam beberapa kasus, toksikan diaktifkan
sehingga dapat menginduksi lesi. Lesi hati yang sering bersifat sentrilobuler telah
dikaitkan dengan kadar sitokrom P-450 yang lebih tinggi. Selain itu, kadar
glutation di bagian lain dari hati dapat juga berperan.
Hepatotoksik merupakan penyakit dimana organ hati mengalami
peradangan akibat zat tertentu yang mengandung racun, seperti alcohol, obatobatan, bahan kimia, atau suplemen gizi. Peradangan ini dapat menyebabkan
kerusakan hati secara permanen dan mengarah pada terbentuknya jaringan parut
dalam organ hati (sirosis) dan mungkin dapat menyebabkan gagal hati.

1.2 Rumusan Masalah


Dari latar belakang yang telah dipaparkan di atas, penulis dapat
mengajukan beberapa rumusan masalah. Rumusan masalah tersebut adalah seperti
dicantumkan berikut ini.
1. Apa yang dimaksud dengan hepatotoksik ?
2. Bagaimana anatomi fisiologi hati ?
3. Apa saja efek toksik pada hati ?
4. Bagaimana mekanisme hepatotoksik ?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan yang diharapkan adalah seperti berikut ini.
1.
2.
3.
4.

Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan hepatotoksik.


Untuk mengetahui bagaimana anatomi fisiologi hati.
Untuk mengetahui efek toksik pada hati.
Untuk mengetahui mekanisme hepatotoksik.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Anatomi Fisiologi Hati
Hati adalah organ intestinal terbesar dengan berat antara 1,2-1,8 kg atau
lebih 2,5% berat badan orang dewasa dan merupakan pusat metabolism tubuh

dengan fungsi sangat kompleks menempati sebagian besar kuadrab kanan atas
abdomen. Terletak di sebelah kanan atas rongga perut di bawah diafragma
Batas atas hati sejajar dengan ruangan interkostal V kanan dan batas
bawah menyerong keatas dari iga IX kanan ke VIII kiri. Permukaan posterior
berbentuk cekung dan terdapat celah transversal sepanjang 5 cm dari system porta
hepatis.
Omentum minor terdapat mulai dari sistem porta yang mengandung arteri
hepatica, vena porta dan duktus koledokus. Sistem porta terletak di depan vena
kava dan dibalik kandung empedu. Permukaan anterior yang cembung dibagi
menjadi 2 lobus oleh adanya perlekatan ligamentum falsiform yaitu lobus kiri dan
lobus kanan yang berukuran kira-kira 2 kali lobus kiri. Hati terbagi 8 segmen
dengan fungsi yang berbeda.
Pada dasarnya, garis cantlie yang terdapat mulai dari vena cava sampai
kandung empedu telah membagi hati menjadi 2 lobus fungsional, dan dengan
adanya daerah dengan vaskularisasi relatif sedikit, kadang-kadang dijadikan batas
reseksi. Secara mikroskopis didalam hati manusia terdapat 50.000-100.000 lobuli,
setiap lobulus berbentuk heksagonal yang terdiri atas sel hati berbentuk kubus
yang tersusun radial mengelilingi vena sentralis.
Hati tersusun menjadi unit-unit fungsional yang dikenal sebagi lobulus
yaitu susunan heksagonal jaringan yang mengelilingi sebuah vena sentral. Hati
memiliki bagian terkecil yang melakukan tugas diatas disebut sel hati (hepatosit),
sel-sel epithelial sistem empedu dalam jumlah yang bermakna dan sel-sel

parenkimal yang termasuk di dalamnya endotolium, sel kupffer dan sel stellata
yang berbentuk seperti bintang.
Tugas aktifitas fagositik dilakukan oleh makrofag residen yang disebut sel
kupffer. Setiap hepatosit berkontak langsung dengan darah dari dua sumber. Darah
vena yang langsung datang dari saluran pecernaan dan darah arteri yang datang
dari aorta. Darah dari cabang-cabang arteri hepatika dan vena porta mengalir dari
perifer lobulus ke dalam ruang kapiler yang melebar disebut sinusoid.
Darah vena memasuki hati melalui hubungan vaskuler yang khas dan
kompleks yang dikenal sebagai sistem porta hati. Vena yang mengalir dari saluran
cerna tidak secara langsung menyatu pada vena cava inferior akan tetapi vena
vena dari lambung dan usus terlebih dahulu memasuki sistem vena porta. Pada
sistem ini produk-produk yang diserap dari saluran cerna untuk diolah, disimpan,
dan didetoksifikasi sebelum produk produk tersebut kembali ke sirkulasi besar.

2.1.1

Struktur Hati
Lobulus merupakan penyusun lobus hati yang berbentuk heksagonal atau

segi enam di bagian luarnya dan dibentuk oleh hepatosit yang berbentuk kubus
disusun dalam pasangan kolom sel yang menyebar pada vena sentral. Sinasoid
( pembuluh darah dengan dinding yang tidak lengkap ) memiliki 2 pasang yang

berisi campuran darah dari cabang cabang kecil vena porta dan arteri hepatica.
Susunan ini memungkinkan darah arteri dan darah vena porta ( dengan
konsentrasi nutrien yang tinggi ) bercampur dan berdekatan dengan sel hati.
Diantara sel yang melapisi sinusoid, terdapat makrofag (sel Kupffer) yang
memiliki fungsi menelan dan menghancurkan sel darah yang rusak dan partikel
asing yang ada di aliran darah yang menuju hati.
Darah mengalir dari sinusoid ke vena sentral dan vena sentrylobular yang
bergabung dengan vena dari lobulus lain, membentuk vena besar hingga akhirnya
vena ini membentuk vena hepatica, yang meninggalkan hati menuju vena cava
inferior. Ini berarti bahwa tiap kolum hepatosit memiliki sinusoid darah pada
salah satu sisi dan kalikili di sisi lainnya. Duktus hepatica kiri dan kanan dibentuk
kanalikuli bilier yang bergabung untuk mengalirkan empedu dari hati. Di tiap
lobulus juga memiliki jaringan limfoid dan system pembuluh limfe.
2.1.2 Fungsi Hati
a. Metabolisme karbohidrat
Hati berperan dalam mempertahankan kadar glukosa plasma. Setelah
makan saat glukosa darah meningkat, glukosa di ubah menjadi glikogen sebagai
cadangan dan mempengaruhi hormone insulin. Saat kadar glikosa turun, hormone
glucagon merangsang perubahan glikogen kembali menjadi glukosa dan menjaga
kadar dalam kisaran normal.
b. Metabolism lemak
Cadangan lemak dapat diubah menjadi bentuk energy yang dapat
digunakan jaringan.

c. Metabolism protein
Deaminasi asam amino melibatkan beberapa proses : menyingkirkan
bagian nitrogren dari asam amino yang tdak diperlukan untuk
membentuk protein baru, pemecahan asam nukleat menjadi asam urat,
yang disebut asam nukleat.
Transaminasi merupakan penyingkiran bagian nitrogen asam amino
dan melekatkan asam amino pada molekul karohidrat untuk
membentuk sam amino non-esensial.
Sintesis protein plasma dan sebagian besar faktor pembekuan darah
dari asam amino.
d. Pemecahan eritrosit dan pertahanan tubuh terhadap mikroba. Hal ini
disebabkan sel kupffer yang berada di sinusoid.
e. Detoksifikasi obat dan zat berbahaya, meliputi etanol dan toksin yang
dihasilkan oleh mikroba.
f. Inaktivasi hormone, meliputi hormone insulin, glikagon, kortisol,
aldosteron, hormone seks, dan hormone tiroid.

g. Produksi panas
Hati menggunakan banyak energi, memiliki laju metabolic dan
menghasilkan panas. Hati merupakan organ penghasil panas utama.
h. Sekresi empedu
Hepatosit mensintesis empedu dari darah dan arteri yang bercampur di
sinusoid. Sekresi ini meliputi garam empedu, pigemen empedu, dan koleterol.
i. Cadangan

Hepatosit menyimpan glikogen, vitamin yang larut dalam lemak ( A, D, E, K


) , zat besi, dan kuprum, serta beberapa vitamin yang larut air ( missal vitamin B
12 ).
2.2 Efek Toksik Pada Hati
a. Perlemakan Hati (Steatosis)
Perlemakan hati adalah hati yang mengandung berat lipid lebih dari 5%.
Adanya kelebihan lemak dalam hati dapat dibuktikan secara histokimia.
Perlemakan hati ini sering berpotensi menjadi penyebab kerusakan hati dan
sirosis. Kelainan ini dapat timbul karna mengonsumsialkohol berlebih, disebut
ASH (Alcoholic Steatohepatitis), maupun bukan karna alcohol yang disebut
NASH (Non Alcoholic Steatohepatitis).
Lesi dapat bersifat akut, seperti yang disebabkan oleh etionin, fosfor, atau
tetrasiklin. Etanol dan metotreksat dapat menyebabkan lesi akut atau lesi kronik.
Beberapa toksikan seperti tetrasiklin menyebabkan banyak butiran lemak kecil
dalam suatu sel sementara toksikan lainnya seperti etanol menyebabkan butiran
lemak besar yang menggantikan inti.
Meskipun berbagai toksikan itu akhirnya menyebabkan penimbunan lipid
dalam hati, mekanisme yang mendasarinya beragam. Mungkin mekanisme yang
paling umum adalah rusaknya pelepasan trigliserid hati ke plasma. Karna
trigliserid hati hanya disekresi bila dalam keadaan tergabung dengan lipoprotein
(membentuk lipoprotein berdensitas sangat rendah). Pemeriksaan yang dilakukan
pada kasus perlemakan hati adalah terhadap enzim SGOT, SGPT, dan Alkali
Fosfatase. Penimbunan lipid hati dapat terjadi lewat beberapa mekanisme, yaitu :

Penghambatan sintesis satuan protein dari lipoprotein (misalnya karbon


tetraklorid, etionin).
Penekanan konjugasi trigliserid dengan lipoprotein (misalnya karbon
tetraklorid).
Hilangnya kalium dari hepatosit, mengakibatkan gangguan transfer VLDL
melalui membran sel (misalnya etionin).
Rusaknya oksidasi lipid oleh mitokondria (misalnya etanol).
Penghambatan sintetis fosfolipid, bagian penting dari VLDL (misalnya
kekurangan kolin, asam orotat).
b. Nekrosis Hati
Nekrosis hati adalah kematian hepatosit. Nekrosis dapt bersifat fokal
(sentral, pertengahan, perifer) atau massif. Biasanya nekrosis merupakan
kerusakan akut. Beberapa zat kimia telah dibuktikan menyebabkan nekrosis hati.
Nekrosis hati merupakan manifestasi toksik yang berbahaya tetapi tidak selalu
kritis karna hati mempunyai kapasitas pertumbuhan kembali yang luar biasa.
Kematian sel terjadi bersama dengan pecahnya membrane plasma. Tidak
ada perubahan ultrastruktural membrane yang ddapat dideteksi sebelum pecah.
Namun, ada beberapa perubahan yang mendahului kematian sel. Perubahan
morfologik awal antara lain berupa edema sitoplasma, dilatasi reticulum
endoplasma, dan disagregasi polisom. Terjadi akumulasi trigliserid sebagai butiran
lemak dalam sel. Perubahan yang terdahulu merupakan pembengkakan
mitokondria progresif dengan kerusakan kista. Pembengkakan sitoplasma,
penghancuran organel dan inti, dan pecahnya membrane plasma.
Perubahan biokimia bersifat kompleks, dan tampaknya berbagai
hepatotoksikan bekerja melalui berbagai mekanisme. Karbon tetraklorida teruama

bekerja melalui metaolit reaktifnya, radikal triklorometil yang secara kovalen


mengikat protein dan lipid tidak jenuh dan menyebabkan peroksidasi lipid.
Membrane subsel kaya akan lipid semacam itu, karnanya bersifat rentan.
Perubahan kimia dalam membrane dapat menyebabkan pecahnya membrane itu.
c. Kolestasis dan Jaundice
Kolestasis

merupakan

keadaan

akibat

kegagalan

produksi

atau

pengeluaran empedu. Lmanya menderita kolestasis dapat menyebabkan gagalnya


penyerapan lemak dan vitamin A, D, E, K oleh usus, juga adanya penumpukan
asam empedu, bilirubilin dan kolesterol di hati.
Adanya kelebihan bilirubilin dalam sirkulasi darah dan penumpukan
pigmen empedu pada kulit, membrane mukosa dan bola mata (pada lapisan sclera)
disebut jaundice. Pada keadaan ini kulit penderita terlihat kuning, warna urin
menjadi lebih gelap, sedangkan feses lebih terang.
Jenis ini jarang ditemukan dan jenis kerusakan hati ini juga lebih sulit
diinduksi pada hewan kecuali mungkin ddengan steroid. Tampaknya zat kolestatik
bekerja melalui beberapa mekanisme. Sebagai contoh, ANIT (-naftili-sosianat)
dapat menyebabkan kolestasis, hiperbilirubinemia, dan penghambatan oksigenase
fungsi campur mikrosom. Berkurangnya aktivitas ekskresi empedu pada
membrane kanalikulus tampaknya merupakan mekanisme utama kolestasis. Selain
itu, kelihatannya ANIT mengubah permeabilitas sel duktus.
Beberapa steroid anabolic dan kontraseptif di sampng taurokolat,
klorpromazin, dan eritromisin laktobionat telah terbukti menyebabkan kolestasis
dan hiperbilirunemia karna tersumbatnya kanalikuli empedu. Tampaknya etinil

estradiol dan klorpromazin merusak permeabilitas saluran empedu, sehingga


menurunkan aliran empedu yang tidak bergantung pada garam empedu.
Pemeriksaan yang dilakukan pada kolestasis dan jaundice yaitu terhadap Alkali
Fosfatase, Gamma GT, Bilirubin total dan Bilirubin Direk.
d. Sirosis
Setelah terjadi peradangan dan bengkak, hati mencoba memperbaiki
dengan membentuk bekas luka atau parut kecil. Parut ini disebut fibrosis yang
membuat hati lebih sulit melakukan fungsinya. Sewaktu kerusakan berjalan,
semakin banyak parut dan mulai menyatu, dalam tahap selanjutnya disebut
sirosis. Pada sirosis, area hati yang rusak dapat menjadi permanen dan menjadi
sikatriks. Darah tidak dapat mengalir dengan baik pada jaringan hati yang rusak
dan hati mulai menciut serta menjadi keras.
Sirosis ditandai oleh adanya septa kolagen yang tersebar di sebagian besar
hati. Kumpulan hepatosit muncul sebagai nodul yang dipisahkan oleh lapisan
berserat ini. Patogenesisnya tidak sepenuhnya dimengerti, tetapi dalam sebagian
besar kasus, tampaknya sirosis berasala dari nekrosis sel tunggal karena
kurangnya mekanisme perbaikan. Kemudian keadaan ini menyebabkan aktifitas
fiboblastik dan pembentukan jaringan parut. Tidak cukupnya aliran darah dalam
hati mungkin menjadi factor pendukung.
Beberapa karsinogen kimia dan pemberian karbon tetraklorida jangka
panjang dapat menyebabkan sirosis pada hewan. Pada manusia, penyebab sirosis
adalah konsumsi kronis minuman beralkohol. Keadaan patologik ini dapat
diinduksi pada hewan hanya bila hewan diberi etanol serta diet yang kekurangan

10

kolin, protein, metionin, vitamin B12 dan asam folat. Karna jenis kekurangan zat
makanan ini sering dijumpai pada alkoholisme.
Sirosis tidak dapat disembuhkan, pengobatan dilakukan untuk mengobati
komplikasi yang terjadi seperti muntah, dan keluar darah pada feses, mata kuning
serta koma hepatikum.
Pemeriksaan yang dilakukan untuk mendeteksi adanya sirosis hati adalah
pemeriksaan enzim SGOT-SGPT, waktu protromin dan protein (AlbuminGlobulin) Elektroforesis ( rasio Albumin-Globulin terbalik).
e. Karsinogenesis
Karsinoma hepatoseluler dan kolangiokarsinoma adalah jenis neoplasma
ganas yang paling umum pada hati. Jenis karsinoma lainnya antara lain
angiosarkoma, karsinoma kelenjar, karsinoma trabekular, dan karsinoma sel hati
yang tidak berdiferensiasi. Pentingnya dengan adenoma, hyperplasia basofil fokal,
dan nodul hiperplastik belum dipastikan, sementara hyperplasia saluran empedu
mungkin merupakan suatu reaksi fisiologis terhadap pajanan toksikan.
Sejumlah besar toksikan diketahui menyebabkan kanker hati pada hewan.
Namun, karsinogenisitasnya pada hari manusia belum pasti. Sebaliknya, peran
vinil klorida sebagai penyebab angiosarkoma pada manusia tidak diragukan lagi.
Kanker hati yang banyak terjadi adalah Hepatocellular carcinoma (HCC).
HCC merupakan komplikasi akhir yang serius dari hepatitis kronis, terutama
sirosis yang terjadi karna virus hepatitis B, C dan hemochromatosis. Pemeriksaan
yang dilakukan untuk mendeteksinya adalah dengan AFP dan PIVKA II.
2.3 Mekanisme Hepatotoksik

11

Mekanisme jejas hati imbas toksikan yang mempengaruhi protein-protein


transport pada membran kanalikuli dapat terjadi melalui mekanisme apoptosis
hepatosit imbas empedu. Terjadi penumpukan asam-asam empedu di dalam hati
karena gangguan transport pada kanalikuli yang meghasilkan translokasi
fassitoplasmik

ke

membrane

plasma,

dimana

reseptor

ini

mengalami

pengelompokan sendiri dan memicu kematian sel melalui apoptosis. Di samping


itu banyak reaksi hepatoseluler melibatkan system sitokrom P-450 yang
mengandung heme dan menghasilkan reaksi-reaksi energy tinggi yang dapat
membuat ikatan kovalen obat dengan enzim, sehingga menghasilkan ikatan baru
yang tak punya peran. Kompleks obat-enzim ini bermigrasi ke permukaan sel di
dalam vesikel-vesikel untuk berperan sebagai imunogen-imunogen sasaran
serangan sitolitim ke sel T, merangsang respon imun multifaset yang melibatkan
sel-sel T sitotoksik dan bebagai sitokin.
Obat-obat tertentu menghambat fungsi mitokondria dengan efek ganda
pada beta-oksidasi dan enzim-enzim rantai respirasi. Metabolit-metabolit toksis
yang dikeluarkan dalam empedu dapat merusak epitel saluran empedu. Cedera
pada hepatosit dapat terjadi akibat toksisitas langsung, terjadi melalui konversi
xenobiotik menjadi toksin aktif oleh hati, atau ditimbulkan oleh mekanisme
imunologik (biasanya oleh obat atau metabolitnya berlaku sebagai hapten untuk
mengubah protein sel menjadi immunogen).
Reaksi obat diklasifikasikan sebagai reaksi yang dapat diduga (intrinsic)
dan yang tidak dapat diduga (idiosinkratik). Reaksi Intrinsik terjadi pada semua
orang yang mengalami akumulasi obat pada jumlah tertentu. Reaksi idiosinkratik

12

tergantung pada idiosinkrasi pejamu (terutama pasien yang menghasilkan respon


imun terhadap antigen, dan kecepatan pejamu memetabolisme penyebab).

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hati merupakan organ terbesar dan secara metabolisme paling kompleks di
dalam tubuh. Organ ini terlibat dalam metabolism zat makanan serta sebagian
besar obat dan toksikan. Hepatosit (sel parenkim hati) merupakan sebagian besar
organ itu. Hepatosit bertanggungjawab terhadap peran sentral hati dalam
metabolism. Sel-sel ini terletak diantara sinusoid yang terisi darah dan saluran
empedu. Sel Kupffer melapisi sinusoid hati dan merupakan bagian penting dari
system retikuloendotelial tubuh.
Hepatotoksik merupakan penyakit dimana organ hati mengalami
peradangan akibat zat tertentu yang mengandung racun, seperti alcohol, obatobatan, bahan kimia, atau suplemen gizi. Peradangan ini dapat menyebabkan
kerusakan hati secara permanen dan mengarah pada terbentuknya jaringan parut
dalam organ hati (sirosis) dan mungkin dapat menyebabkan gagal hati.

13

Toksikan dapat menyebabkan berbagai jenis efek toksik pada berbagai


organel sel hati yang mengakibatkan berbagai jenis kerusakan hati seperti
perlemakan hati (Steatosis), Nekrosis hati, Kolestatis dan Jaundice, Sirosis, dan
Karsinogenesis.

DAFTAR PUSTAKA
Watson, Roger. 2002. Anatomi dan Fisiologi untuk Perawat Edisi 10. EGC:
Jakarta
Lu FC. 1995. Toksikologi Dasar; Asas, Organ Sasaran, dan Penilaian Resiko.
Edisi ke-2. UI Press: Jakarta
Setiabudy R, Nafrialdi, Elysabeth. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi V.
Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia: Jakarta

14

Anda mungkin juga menyukai