Anda di halaman 1dari 2

Orang Kaya dan Kecurangan Pajak

Negara-negara maju seperti Inggris, Jerman, AS, dan Jepang


terkenal memiliki sistem perpajakan yang sangat baik sehingga
mereka dapat memaksimalkan dana yang dipungut dari setiap
warganya. Uang pajak dari rakyat ini digunakan untuk berbagai
keperluan. Sebagian digunakan untuk membayar para pegawai
negara, sebagian untuk membangun infrastruktur, dan sebagian
lain dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk asuransi dan
fasilitas publik demi kenyamanan hidup setiap warganya. Melalui pengelolaan pajak yang
baik ini, negara-negara maju mampu mempertahankan atau bahkan meningkatkan kualitas
hidup rakyatnya.
Negara-negara ini sangat berkepentingan untuk menyejahterakan rakyatnya. Semakin rakyat
sejahtera, semakin banyak uang (baca: pajak) yang dapat dipungut dari mereka. Semakin
banyak dana yang diperoleh negara, semakin banyak fasilitas dan infrastruktur dibangun.
Semakin banyak infrastruktur yang dibangun, semakin besar keuntungan ekonomi yang
didapat. Demikianlah logika sebab-akibat yang bersumber dari pajak. Karena itu, pajak
menjadi motor penggerak pembangunan di semua negara di muka bumi ini.
Persoalannya adalah benarkah orang yang lebih sejahtera (kaya) taat membayar pajak atau
menyumbangkan pajak yang lebih besar ketimbang warga biasa? Berita yang dimuat di
Kompas.com, Kamis (23 Mei 2013) yang lalu mengusik rasa keadilan publik. Presiden
Parlemen Eropa Martin Schulz kepada CNCBC, di Brussels, Belgia, Rabu (22/5)
menyampaikan hal berikut. Warga biasa membayar pajak yang, antara lain, digunakan untuk
menalangi bank-bank bangkrut. Warga biasa berkorban menerima pengurangan hak-hak
pensiunan karena pengetatan anggaran negara. Di sisi lain, warga kaya berbuat curang
dengan menghindari pajak.
Inti dari pernyataan Schulz adalah orang kaya sering melakukan kecurangan dan berupaya
menghindar dari pajak. Di saat Eropa sedang mengalami krisis finansial yang membuat
pertumbuhan ekonomi menjadi lesu, pajak menjadi harapan untuk menstimulasi ekonomi di
kawasan ini. Namun yang terjadi adalah perusahaan-perusahaan multinasional, terutama yang
menjalankan bisnisnya dalam dunia maya, sering kucing-kucingan dalam hal pajak karena
banyak transaksi bisnis mereka dilakukan secara on line. Transaksi e-commerce tercatat
jutaan dolar setiap harinya. Kemana pajak dari transaksi ini harus dibayarkan dan siapa yang
berhak memungutnya? Ketidakjelasan pungutan pajak ini menggelembungkan kekayaan
korporasi dan para pemiliknya, sementara warga biasa yang sebagian besar adalah pegawai
tak dapat mengelak dari pajak yang setiap bulan dipotong dari gajinya.
Bagaimana dengan keadaan di Indonesia? Apakah orang kaya dan korporasi juga melakukan
kecurangan pajak? Kalau di negara-negara maju saja indikasi persoalan ini begitu terasa,
apalagi di Indonesia yang sistem perpajakannya masih amburadul. Ada begitu banyak kasus
pajak yang mengusik rasa keadilan masyarakat. Sebut saja kasus Gayus Tambunan yang
begitu mencengangkan publik beberapa waktu lalu. Melalui upaya banding pajak di
pengadilan pajak, perusahaan-perusahaan besar menghindari kewajiban pajak yang
seharusnya dibayarkan kepada negara. Kecurangan ini berlangsung mulus bertahun-tahun
lamanya karena adanya kongkalikong dengan para pegawai pajak yang korup macam Gayus
Tambunan.

Beberapa waktu lalu, KPK lagi-lagi menangkap basah dua pegawai pajak yang menerima
suap dari sebuah perusahaan. Uang sebesar 300 ribu dolar Singapura ini diduga sebagai suap
kepada dua pegawai pajak dan upaya perusahaan untuk menghindari pembayaran pajak.
Kalau suapnya saja sebesar 300 ribu dolar (setara 2,3 milyar rupiah), kita bisa bayangkan
berapa besaran pajak yang seharusnya dibayarkan perusahaan tersebut kepada negara. Ini
bukti nyata bahwa orang kaya (pemilik perusahaan) selalu mencari celah dan upaya di luar
sistem agar terhindar dari pembayaran pajak.
Tentu kita juga masih ingat kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) yang membuat
bangkrut republik ini. Ratusan trilyun uang rakyat yang dikumpulkan melalui pajak harus
digunakan untuk menalangi kebangkrutan bank-bank yang dikelola secara akal-akalan oleh
para bankir nakal. Setelah berhasil menghimpun dana masyarakat, para bankir serakah ini
memanipulasi kredit fiktif yang menjadikan mereka kaya raya. Setelah itu mereka kabur ke
luar negri dan membiarkan banknya kolaps. Akibatnya, negara harus menanggulangi
kebangkrutan ini dengan APBN yang dikumpulkan dari pajak rakyat. Ini persis seperti yang
disampaikan Schulz di atas bahwa rakyat biasa yang taat membayar pajar harus menanggung
perilaku bejat orang-orang kaya. Sebagian uang pajak yang seharusnya dikembalikan kepada
rakyat dalam bentuk pelayanan publik yang lebih baik terpaksa harus dipakai negara untuk
menalangi kecurangan yang para bankir (orang kaya) perbuat.
Begitu pula dengan kasus Century. Bank yang akhirnya diambil alih oleh pemerintah ini
menjadi beban negara yang sampai sekarang belum tuntas. Ujung-ujungnya, rakyat lagi yang
dipaksa harus menderita karena sebagian uang pajak mereka digunakan untuk menalangi
Century.
Persoalan pajak memang persoalan yang maha penting karena menyangkut hidup-matinya
sebuah negara. Selama ini, orang kaya dianggap amat berjasa karena mereka dianggap
sebagai kontributor utama pendapatan pajak. Anggapan ini tentu sangat keliru. Justru rakyat
biasa yang hidupnya biasa-biasa sajalah yang sejatinya para pembayar pajak yang taat.
Buruh, pegawai rendahan, dan pekerja kantoran selalu menerima gaji bulanan yang dipotong
pajak secara otomatis. Sementara orang-orang kaya akan mencari celah untuk menghindari
pajak. Apalagi jika mereka berkongkalikong dengan para pegawai pajak, kecurangan hampir
pasti menjadi keniscayaan.
- See more at: http://www.menulisesai.com/2013/05/orang-kaya-dan-kecuranganpajak.html#sthash.1l9oqAJQ.dpuf

Anda mungkin juga menyukai