PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hemofilia berasal dari bahasa Yunani Kuno, yang terdiri dari dua kata yaitu
haima yang berarti darah dan philia yang berarti suka/cinta atau kasih sayang;
hemofilia berarti penyakit suka berdarah. Hemofilia adalah penyakit gangguan
koagulasi herediter yang diturunkan secara X-linked resesif. Gangguan terjadi pada
jalur intrinsik mekanisme hemostasis herediter, di mana terjadi defisiensi atau defek
dari faktor pembekuan VIII (hemofilia A) atau IX (hemofilia B). Biasanya
bermanifestasi pada anak laki-laki namun, walaupun jarang, hemofilia pada wanita
juga telah dilaporkan. Wanita umumnya bertindak sebagai karier hemofilia.
Pada keadaan normal bila seseorang mengalami suatu trauma atau luka pada
pembuluh darah besar atau pembuluh darah halus/kapiler yang ada pada jaringan
lunak maka sistem pembekuan darah/koagulation cascade akan berkerja dengan
mengaktifkan seluruh faktor koagulasi secara beruntun sehingga akhirnya terbentuk
gumpalan darah berupa benang-benang fibrin yang kuat dan akan menutup luka atau
perdarahan, proses ini berlangsung tanpa pernah disadari oleh manusia itu sendiri dan
ini berlangsung selama hidup manusia. Sebaliknya pada penderita hemofilia akibat
terjadinya kekurangan F VIII dan F IX akan menyebabkan pembentukan bekuan
darah memerlukan waktu yang cukup lama dan sering bekuan darah yang terbentuk
tersebut mempunyai sifat yang kurang baik, lembek, dan lunak sehingga tidak efektif
menyumbat pembuluh darah yang mengalami trauma, hal ini dikenal sebagai prinsip
dasar hemostasis.
Darah pada seorang penderita hemofilia tidak dapat membeku dengan
sendirinya secara normal. Proses pembekuan darah pada seorang penderita hemofilia
tidak secepat dan sebanyak orang lain yang normal. Ia akan lebih banyak
membutuhkan waktu untuk proses pembekuan darahnya.
Manifestasi klinik hemofilia A dan B sama yaitu berupa perdarahan yang
dapat terjadi setelah trauma maupun spontan. Perdarahan setelah trauma bersifat
delayed bleeding, karena timbulnya perdarahan terlambat. Jadi mula-mula luka
dapat ditutup oleh sumbat trombosit, tetapi karena defisiensi F VIII atau IX maka
pembentukan fibrin terganggu sehingga timbul perdarahan. Gambaran yang khas
adalah hematoma dan hemartrosis atau perdarahan dalam rongga sendi. Perdarahan
yang berulang-ulang pada rongga sendi dapat mengakibatkan cacat yang menetap dan
perdarahan pada organ tubuh yang penting seperti otak dapat membahayakan jiwa.
Beratnya penyakit tergantung aktivitas F VIII dan IX. Hemofilia berat jika aktivitas F
VIII atau F IX kurang dari 1%, hemofilia sedang jika aktivitasnya 1-5% dan
hemofilia ringan jika aktivitasnya 5-25%.
Penderita hemofilia kebanyakan mengalami gangguan perdarahan di bawah
kulit; seperti luka memar jika sedikit mengalami benturan, atau luka memar timbul
dengan sendirinya jika penderita telah melakukan aktifitas yang berat; pembengkakan
pada persendian, seperti lulut, pergelangan kaki atau siku tangan. Penderitaan para
penderita hemofilia dapat membahayakan jiwanya jika perdarahan terjadi pada bagian
organ tubuh yang vital seperti perdarahan pada otak.
Jumlah penderita hemofila di seluruh dunia diperkirakan mencapai 400.000
orang. Sekitar 20.000 terdapat di Indonesia. Hemofilia A lebih umum terjadi bila
dibandingkan hemofilia B, yaitu sebanyak 80-85% dari seluruh kejadian hemofilia.
Gejala penyakit ini adalah pendarahan pada sendi, otot dan organ. Setelah
mengalami pendarahan pasien akan mengalami fase akut kemudian fase kronik.
Seseorang yang mengalami pendarahan akan mengalami gangguan fungsi gerak yang
mengakibatkan aktivitas sehari-harinya terganggu, sehingga produktivitas dan
kualitas hidupnya menurun. Disebutkan bahwa lutut dan siku paling banyak
mengalami pendarahan karena sering dipaksa kerja. Cara penanganan dari setiap fase
berbeda-beda dari mulai yang sederhana, yaitu istirahat yang cukup lama dengan
posisi tertentu, melakukan terapi, hingga melakukan rekreasi/olahraga.
1.2 Tujuan
1. Mengetahui dan memahami konsep Hemofilia
2. Mengetahui dan memahami asuhan keperawatan Hemofilia
1.3 Manfaat
Dengan adanya makalah ini. Diharapkan dapat memberikan manfaat, yakni:
1. Untuk penulis dan pembaca
Sebagai sarana untuk mengaplikasikan ilmu yang diperoleh selama pendidikan
dan informasi atau wawasan mengenai asuhan keperawatan Hemofilia
2. Untuk pihak lain
Sebagai sumber data dan acuan dalam melaksanakan penelitian-penelitian
selanjutnya.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian Hemofilia
Hemofilia merupakan penyakit pembekuan darah congenital yang disebabkan
karena kekurangan factor pembekuan darah, yakni factor VII dan factor IX. Factor
tersebut merupakan protein plasma yang merupakan komponen yang sangat
dibutuhkan oleh pembekuan darah khususnya dalam pembekntukan bekuan fibrin
padah daerah trauma.
Istilah hemofilia mengacu kepada sekelompok gangguan perdarahan karena
adanya defisiensi salah satu faktor yang
Walaupun terdapat gejala serupa tanpa dipengaruhi faktor pembekuan mana yang
mengalami defisiensi, identifikasi defisiensi faktor pembekuan darah yang spesifik
memungkinkan terapi definitif dengan agens pengganti.
Pada sekitar 80% kasus hemofilia, pola pewarisannya terlihat sebagai resesif
terkait-X (X-linked recessive). Dua bentuk gangguan yang paling sering dijumpai
adalah defisiensi faktor VIII (hemofilia A, atau hemofilia klasik) dan defisiensi
faktor IX (hemofilia B, atau penyakit christmas). Penyakit von willebrand (von
willebrand disease, vWD) merupakan gangguan perdarahan herediter yang ditandai
oleh defisiensi, abnormalitas atau tidak adanya protein yang dinamkan faktor von
willwbrabd (vWD) dan defisiensi faktor VIII. Berbeda dengan hemofilia, vWD
dapat terjadi pada pria maupun wanita. Pembahasan berikut ini terutama berkaitan
dengan defisiensi faktor VIII, yang menyebabkan sekitar 75% kasus.
Gambar 3. Pola penurunan pada Hemofilia Gambar 4. Pola penurunan pada Hemofilia
PTT memanjang dan kadar faktor IX menurun jika dilakukan pengukuran dengan
tes yang spesifik. Temuan laboratorium lainnya sama dengan hemofilia defisiensi
faktor VIII.
2.4 Manifestasi Klinis Hemofilia
Manifestasi klinis hemofilia
1. Perdarahan berkepanjangan pada setiap tempat dari atau di dalam tubuh
2. Perdarahan akibat trauma tanggalnya gigi susu, sirkumsisi, luka tersayat,
epistaksis, injeksi
3. Memar yang berlebihan bahkan akibat cedera ringan seperti terjatuh
4. Perdarahan subkutan dan intramuscular.
5. Hemartrosis (perdarahan kedalam rongga sendi), khususnya sendi lutut,
pergelangan kaki, dan siku
6. Hematoma nyeri, pembengkakan, dan gerakan terbatas
7. Hematuria spontan
(Wong, 2008)
dan tulang sendi secara progresif. Hal ini menyebabkan penurunan sampai rusaknya
fungsi sendi. Hemartrosis yang tidak dikelola dengan baik juga dapat menyebabkan
sinovitis kronik akibat proses peradangan jaringan sinovial yang tidak kunjung henti.
Sendi yang sering mengalami komplikasi adalah sendi lutut, pergelangan kaki dan
siku.
Perdarahan yang berkepanjangan akibat tindakan medis sering ditemukan jika
tidak dilakukan terapi pencegahan dengan memberikan faktor pembekuan darah bagi
hemofilia sedang dan berat sesuai dengan macam tindakan medis itu sendiri (cabut
gigi, sirkumsisi, apendektomi, operasi intraabdomen/intratorakal). Sedangkan
perdarahan akibat trauma sehari-hari yang tersering berupa hemartrosis, perdarahan
intramuskular dan hematom. Perdarahan intrakranial jarang terjadi, namun jika terjadi
berakibat fatal.
2.6 Patofisiologi Hemofilia
Defek dasar pada hemofilia A adalah defisiensi faktor VIII (faktor antihemofilik
[AHF]). AHF diproduksi oleh hati dan sangat diperlikan untuk pembentukan
tromboplastin dan fase 1 koagulasi darah. Semakin sedikit AHF yang ditemukan alam
darah, semakin berat berat penyakit. Pasien hemofilia memiliki dua dari tiga faktor
yang diperlukan untuk koagulasi, yaitu: pengaruh vaskular dan trombosit. Oleh
karena itu, pasien dapat mengalami perdarahan dalam jangka waktu lebih lama tetapi
tidak dengan laju yang lebih cepat.
Perdarahan kedalam jaringan dapat terjadi dimana saja, tetapi perdarahan ke
dalam rongga sendi dan otot merupakan tipe perdarahan internal yang paling sering
ditemukan. Perubahan tulang dan deformitas yang menimbulkan cacat fisik terjasi
sesudah pasien mengalami episode perdarahan yang berulang selama beberapa tahun.
Perdarahan dalam leher, mulut atau toraks merupakan keadaan yang serius karena
jalan napas dapat terobstruksi. Perdarahan intrakranial dapat berakibat fatal dan
merupakan salah satu penyebab kematian. Perdarahan di sepanjang saluran GI dapat
menimbulkan anemia, dan perdarahan ke dalam rongga retroperitoneum (dibelakang
peritoneum) merupakan keadaan yang sangat berbahaya karena darah dapat
berkumpul di dalam rongga yang luas tersebut. Hematoma pada medula spinalis dapat
menyebabkan paralisis. (wong, 2008)
2.7 Pemeriksaan Diagnostik Hemofilia
Perdarahan yang jelas dan berlangsung lama mudah terlihat; perdarahan
kedalam jaringan lebih sedikit terlihat. Biasanya diagnosis dibuat berdasarkan riwayat
episode perdarahan, bukti adanya pewarisan genetik terkait-kromosom X (hanya
sepertiga kasus yang merupakan mutasi baru), dan hasil pemeriksaan laboratorium.
Tes yang spesifik untuk plasma pasien hemofilia bergantung pada faktor-faktor
spesifik terjadinya reaksi, seperti waktu parsial tromboplastin (partial thromboplastin
time, PTT). Penentuan defisiensi faktor yang spesifik memerlukan prosedur assay
yang biasanya dilakukan dalam laboratorium khusus.deteksi karier pada penyakit
hemofilia klasik dimungkinkan dengan menggunakan tes DNA dan merupakan
pertimbangan penting dalam keluarga yang anak perempuannya mungkin telah
mewarisi sifat pembawa tersebut. (Wong, 2008)
2.8 Penatalaksanaan Hemofilia
Terapi primer pada penyakit hemofilia adalah penggantian faktor pembekuan
yang hilang. Prosuk yang kini tersedia meliputi konsentret faktor VIII dari plasma
darah yang dikumpulkan atau preparat rekombinannya yang dibuat lewat rekayasa
genetik, untuk disusun kembali dengan air steril sesaat sebelum digunakan , dan
DDAVP (1-deamino-8-D-arginine vasopressin). Suatu bentuk vasopresin sintetik
yang merupakan terapi pilihan pada penyakit hemofilia ringan dan penyakit von
willibrand (kecuali tipe IIB dan III) jika anak memperlihatkan respons yang tepat
terhadap pemberian preparat ini. Terapi yang agresif perlu dilakukan untuk mencegah
terjadinya kecacatan kronis akibat perdarahan sendi.
Obat-obat lain dapat diikutsertakan dalam rancanagan terapi dan hal ini
bergantung pada sumber perdarahan. Kortikosteroid dapat diberikan pada kasus
hematuria, hemartrosis akut dan sinovitis kronis. Obat anti-inplamasi non steroid
(NSAID), seperti ibuprofen, merupkan preparat yang efektif untuk meredakan nyeri
akibat sinovitis; namun, NSAID harus diberikan dengan hati0hati karena akan
menghambat fungsi trombosit (Dragone dan Karp 1996; Hilgarther dan Corrigan,
1995). Pemberian preparat asam epsilon-aminokaproat (Amicar) per oral atau
lokalakan mencengah penghancuran bekuan darah, namun, pemberian preparat ini
terbatas hanya paada pembedahan mulut atau trauma, dan sebelumnya harus
diberikan preparat konsentrat faktor pembekuan.
Program latihan yang teratur dan fisioterafi merupakan asfek penatalaksanaan
penting pada penyakit hemofilia. Aktifitas fisik dalam batas wajar akan menperkuat
otot-otot di sekitar sendi dan dapat mengurangi sejumlah episode perdarahan spontan.
Terapi yang dilakukan dengan segera akan menghasilkan kesembuhan yang
lebih cepat dan penurunan kecendrungan komplikasi; oleh karena itu, sebagian besar
anak yang memderita heofilia menjalani terapi di rumah. Keluarga dapat diajarkan
teknik melakukan penyuntikan IV dan memberikan ADF kepada anak yang berusia 2
hingga 3 tahun. Anak dapat menpelajari prosedur pemberian obat sendiri ketika
berusia 8 hingga 12 tahun. Terapi yang dilaksanakan di rumah memilki angka
keberhasilan cukup tinggi, selain dapat dilakukan segera , keuntungan lainnya adalah
kehidupan keluarga tidak begitu terganggu, absen dari sekolah atau tempat kerja lebih
sedikit, dan rasa percaya diri dan kemandirian anak meningkat.
Terapi profilaksis primer padaa pasien hemofilia telah dipraktikkan selama
bertahun-tahun di negara-negara eropa ( Nillson dkk, 1994; van den berg dkk, 1994)
dan terbukti sangan efektif untuk mencengah atrofi.profilaksis primer meliputi
pemberian konsentrat faktor VIII per IV secara teratur sebelum
terjadi awitan
kerusakan sendi. Pada tahun 1994, the Medical and Scientific Advisory Council
(MASAC) of the National Haemophilia Foundation merekomendasikan bahwa
rtindakan profilaksis dianggap sebagai bentuk terapi yang optimal bagi anak-anak
yang menderita hemofilia berat (MASAC, 1994). Profilaksis sekunder meliputi
pemberian konsentrat faktor VIII per IV secara teratur sesudah anak mengalami
perdarahan sendi yang pertama. Pemberian infus ini dilakukan tiga kali dalam
seminggu. Terpi sulih (pengganti) faktor pembekuan yang dilakukan secara agresif
(atau peningkatan episode perawatan) merupakan tindakan alternatif yang efektif
dari segi biaya nya jika dibandingkan dengan terapi profilaksis primer. Tindakan ini
meliputi pemberian infus konsentrat faktor VIII dengan dosis tinggi jika terjadi
10
perdarahan sendi; diikuti dengan pemberian konsentrat faktor VIII dengan dosis
yang lebih standar selama 2 hari (Cross dan Koerper, 1997)
Progonsis . walaupuun tidak ada terapi penyembuhan untuk kasus hemofilia,
namun gejalanya bisa dikendalikan dengan deformitas yang berpotensi menimbulkan
cacat banyak pasien hemofilia yang mengalami kerusakan sendi. Anak-anak ini
merupakan anak-anak normal yang memiliki harapan hidup rata-rata dalam setiap
aspek seperti anaka lain kecuali satu hal: mereka cenderung mengalami perdarahan,
yang menjadi gangguan /masalah signifikan terapi tidak selalu mengancam nyawa.
Sayangnya pasien hemofilia yang mendapat terapi sebelumnya adanya teknik
konsentrat faktor VIII (diantara tahun1979 dan 1985) mungkin terkena virus HIV.
Diperkirakan lebih dari 50% pasien ini mengalami serokonversi yang berstatus HIVpositif, sementar 30% lainnya menderita penyakit AIDS (Hilgarter dan Corrigan,
1995) ketikan pasien ini sudah aktif dalam hubungan seksual, masalah penuran HIV
melalui hubungan seks menjadi hal sangat penting. Para remaja harus memiliki
pengetahuan tentang prilaku seksual yang aman. Pasien hemofilia ynag didiagnosis
dan diterapi dengan konsentrat faktor pembekuan sesudah tahun 1985 pada
hakikatnya tidak menghadapi risiko tertular HIV dari pengobatannya. Baru-baru ini,
teknik pembuatan konsentrat faktor pembekuan juga telah sangat mengurangi risiko
penularan hepatitis.
Terapi gen terbukti menjadi sebuah pilihan terapi di masa depan. Terapi ini
meliputi tindakan memasukkan kopi gen faktor VIII normal ke dalam tubuh pasien
yang kopi gennya cacat (Cross dan Koerper, 1997) . (Wong, 2008)
11
12
Indikasi :
a. Mengganti defisiensi faktor IX (hemofilia B)
b. Neutralisasi hemostasis setelah terapi warfarin bila terdapat perdarahan yang
mengancam nyawa.
c. Adanya perdarahan dengan parameter koagulasi yang abnormal setelah
transfusi massif
d. Pasien dengan penyakit hati dan mengalami defisiensi faktor pembekuan
2. Cryopresipitate
Komponen utama yang terdapat di dalamnya adalah faktor VIII, faktor
pembekuan XIII, faktor Von Willbrand, fibrinogen. Penggunaannya ialah untuk
menghentikan perdarahan karena kurangnya faktor VIII di dalam darah penderita
hemofili A.
Cara pemberian ialah dengan menyuntikkan intravena langsung, tidak
melalui tetesan infus, pemberian segera setelah komponen mencair, sebab
komponen ini tidak tahan pada suhu kamar. (2)
Suhu simpan -18C atau lebih rendah dengan lama simpan 1 tahun,
ditransfusikan dalam waktu 6 jam setelah dicairkan. Efek samping berupa demam,
alergi. Satu kantong (30 ml) mengadung 75-80 unit faktor VIII, 150-200 mg
fibrinogen, faktor von wilebrand, faktor XIII.
Indikasi :
a. Hemophilia A
b. Perdarahan akibat gangguan faktor koagulasi
c. Penyakit von wilebrand
Rumus Kebutuhan Cryopresipitate :
13
albumin x BB x 0.8
14
15
2.10
Karena itulah para penderita hemofilia diharapkan mengenakan gelang atau kalung
penanda hemofilia dan selalu membawa keterangan medis dirinya. Hal ini terkait
dengan penanganan medis, jika penderita hemofilia terpaksa harus menjalani
perawatan di rumah sakit atau mengalami kecelakaan. Yang paling penting, penderita
hemofilia tidak boleh mendapat suntikan kedalam otot karena bisa menimbulkan luka
atau pendarahan.
Penderita hemofilia juga harus rajin melakukan perawatan dan pemeriksaan
kesehatan gigi dan gusi secara rutin. Untuk pemeriksaan gigi dan khusus, minimal
setengah tahun sekali, karena kalau giginya bermasalah semisalnya harus dicabut,
tentunya dapat menimbulkan perdarahan.
Mengonsumsi makanan atau minuman yang sehat dan menjaga berat tubuh agar
tidak berlebihan. Karena berat badan berlebih dapat mengakibatkan perdarahan pada
sendi-sendi di bagian kaki (terutama pada kasus hemofilia berat).
Penderita hemofilia harus menghindari penggunaan aspirin karena dapat
meningkatkan perdarahan dan jangan sembarang mengonsumsi obat-obatan.
Olahraga secara teratur untuk menjaga otot dan sendi tetap kuat dan untuk
kesehatan tubuh. Kondisi fisik yang baik dapat mengurangi jumlah masa perdarahan.
Jadi, siapa bilang penderita hemofilia tidak dapat beraktifitas dan menjalani hidup
layaknya orang normal.
16
17
Menolak makan
Menangis pelan
Tetap kooperatif
d. Usia sekolah 6-12 th
Khawatir akan perpisahan sebaya, takut kehilangan keterampilan, kesepian.
Anak berusaha: independen dan kooperatif, kehilangan control dan kekuatan,
RS: peran, tacit mati, kelemahan fisik, kehilangan kegiatan dalam kelompok.
e. Usia remaja 12-15 th
Tajut akibat perpisahan dengan sebaya, kehilangan status hubungan dengan
kelompoknya, penyakit cacat fisik ancaman terhadap identitas diri.
Reaksi anak:
Tidak kooperatif
Menarik diri
Marah/frustasi
Reaksi orangtua
Reaksi sibling
Rooming in
18
Physical restriction
Member informasi
Melibatkan sibling
Tujuan bermain di RS
19
2.12
Pathway
Kurang faktor pembekuan
VIII
(zat
antihemofili
globulin)
Faktor X tidak
teraktifasi
Ca+, fosfolipit dan
faktor V tidak aktif
Trombin
tidak
dapat
membantu
fibrinogen
20
HEMOFILIA
Kerusakan
pembuluh darah
Kebocoran darah melalui
lubang di dinding pembuluh
darah
Hemoragi
MK: Resiko Cidera
Perdarahan
akibat trauma
Darah sukar beku
Hemartrosis
Tekanan antar
sendi
Hematoma
MK: Nyeri
Kehilangan
banyak darah
MK: defisit
volume cairan;
darah
MK: intoleransi
aktivitas
2.13
Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Hematologis
b. Hemoragi dan perdarahan lama
c. Memar superficial
d. Splenomegali
e. Genitorinaria
f. Hematuria spontan
g. Musculoskeletal
h. Tanda dan gejala perdarahan otot profunda (nyeri, tegang pada area yang
terkena, ROM terbatas), dan peningkatan suhu serta edema pada tempat
perdarahan)
i. Tanda dan gejala hemartrosis (nyeri, ROM terbatas, dan peningkatan suhu,
serta edema pada tempat perdarahan)
j. Meta, telinga, hidung, dan tenggorok
21
k. Epistaksis
l. Gusi berdarah
2. Diagnosa
a. Deficit Volume Cairan; Darah berhubungan dengan kehilangan banyak
darah.
b. Nyeri
yang
berhubungan
dengan
perdarahan
dan
pembengkakan
(Hematoma).
c. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan Peningkatan tekanan antar sendi.
d. Resiko cidera berhubungan dengan hemoragi
3. Intervensi
a. Deficit Volume Cairan; Darah berhubungan dengan kehilangan banyak
darah.
Kriteria Hasil : keseimbangan cairan klien terpenuhi. TD dalam batas
normal, Nadi teraba, Tidak terdapat haus abnormalmembran mukosa
lembab, Intake dan output 24 jam.
Intervensi
Rasional
22
ini
lebih lanjut.
Perubahan
berat
badan
dapat
perubahan
dalam
program.
mengindikasikan
skala
yang
sama
untuk
Tanda
dehidrasi
perlunya
Observasi
mengatasi
adanya
tanda-tanda
dehidrasi
mengindekasikan
intervensi
segera
kekurangan
untuk
cairan
pada
anak.
semacam
menggunakan
Pamantauan
Pemantauan
dapat
mengevaluasi
dapat
lengkap
(lihat
apendika
E,
nilai
temuan
menyebabkan
Temuan
yang
mengindikasikan
takikardia,
tidak
normal
penolakan
atau
malfungsi hati.
TINDAKAN/INTERVENSI
Kaji tingkat nyeri anak dengan
RASIONAL
Pengkajian ini member data yang
sangat
menentukan
23
penting
bertujuan
keefektifan
untuk
intervensi
program.
RASIONAL
24
Latihan
Alat-alat
alat
upaya
nyeri,
penopang
sebelum
dan
tentang
memulai
setiap
sesi
isometric
dapat
mempertahankan
penopang
membantu
latihan.
TINDAKAN/INTERVENSI
Beri bantalan pada sisi pengaman tempat
tidur jika dibutuhkan.
Member
mengurangi
25
RASIONAL
pengaman tempat
resiko
cidera,
tidur
misalnya
giginya.
Ketika
lakukan
membatu
mengumpulkan
pengambilan
daripadamelalui
fungsi
specimen
darah
subkutan,
jika
risiko
cedera
gigi
jika
memungkinkan.
yang
berbulu
halus
memiliki
gusi.
jari,
berlebihan.
mengurangi
protektif
jari
di
vena
peralatan
darah,
Mengguankan
bukan
melalui
pungsi
vena,
bekuan
darah.
vasokonstriksi
Es
dan
4. Evaluasi
Selama perawatan di rumah sakit, catatan berikut telah dibuat:
a. Keadaan anak dan temuan pengkajian yang dilakukan saat masuk rumah sakit,
b. Perubahan status anak
c. Pemeriksaan laboratorium dan diagnostic yang relevan
26
BAB III
PEMBAHASAN
27
An. R berusia 1th jenis kelamin laki-laki datang ke RS tanggal 5 oktober 2011
bersama kedua orang tuanya. Orang tua an.R mengatakan bahwa tadi pagi an.R belajar
berjalan kemudian jatuh, dagunya membentur kursi. An.R mengalami lidah berdarah dan
sampai saat ini tidak berhenti. Keadaan an.R tampak lemah, pucat, terdapat memar pada
dagunya dan an.R menangis tanpa henti. Pada pemeriksaan laboratorium darah
didapatkan : trombosit normal, PTT (Partial Tromboplastin Time) amat memanjang dan
defisiensi faktor VIII. Perawat melakukan perawatan mulut, memberikan kompres dingin
dan diberikan aminokaproat. Didapatkan TTV: TD 90/60 mmHg, N 170 x/mnt, RR 50
x/mnt.
1. Pengkajian
a. Identitas klien :
Nama
Jenis kelamin
Umur
Status perkawinan: -
Pendidikan
:-
Suku/Bangsa
: Indonesia
Alamat
Pekerjaan
b. Keluhan utama
: An.R
: Laki-laki
: 1 tahun
: Ds.Jatimulyo-Tuban
:-
: Perdarahan
28
P :
Q :
perdarahan lidah muncul saat an.R jatuh dan dagunya terbentur dan
R :
S :
T :
perdarahan mulai terjadi pada saat pagi hari hingga siang ini di
bawa ke RS
d. Riwayat Penyakit Dahulu
:-
Lidah berdarah
Memar di dagu
TTV :
a) S : 38 celcius (normal 36,2 37,8 celcius)
b) N : 170x/menit ( 80-160x/menit)
c) TD : 90/60 mmHg (96/66 mmHg)
d) RR : 50 x/menit (20 40 x/menit)
g. Body System
29
B1 (Breathing)
1) An.R mengalami takipnea dengan RR 170 x/mnt
2) An.R tampak lemah
B2 (Blood)
1) An.R mengalami perdarahan pada lidah
2) Tekanan darah hipotensi (90/60 mmHg)
3) Terlihat pucat
4) Tedapat memar pada dagunya
B3 (Brain)
1)
B4 (Bladder)
1) Biasanya pasien hemophilia didapatkan hematuria
B5 (Bowel)
1) Pasien mengalami penurunan nafsu makan
B6
(Bone)
1) An.R terganggu bermainnya karena kondisinya lemah
h. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan Laboratorium
a) Uji skrining untuk koagulasi darah
b) Jumlah trombosit (normal 150.000-450.000 tombosit per mm3 darah)
c) Masa protombin (normal memerlukan waktu 11-13 detik)
30
ETIOLOGI
Ds :
Ortu
Trombositopenia
an.R
bahwa
tadi
mengatakan
pagi
an.R
dagunya
terbentur
Pembekuan terganggu
Perdarahan spontan
Aliran darah ke jaringan
menurun
Hipoksia
Gangguan perfusi jaringan
S : 380C
N : 170x/menit
TD : 90/60 mmHg
RR : 50 x/menit
31
PROBLEM
Gangguan perfusi jaringan
terdapat
memar
pada
dagu
tampak pucat dan lemah
Terdapat perdarahan lidah
Pemeriksaan laboratorium
:
Trombosit
normal,
PTT
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang biasanya muncul dari kasus :
a. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan perdarahan spontan
b. Resiko injury berhubungan dengan perdarahan yang lama
c. Nyeri berhubungan dengan perdarahan sendi
d. Defisit pemenuhan ADL berhubungan dengan hipoksia sekunder dari perdarahan
sendi
e. Perubahan nutrisi kurang dari keutuhan tubuh berhubungan dengan anorexia
sekunder dari perdarahan lidah
3. Intervensi
32
Diagnosa
Gangguan
perfusi
jaringan
intervensi
berhubungan a. Beri
tekanan
Rasional
langsung a.
Tekanan langsung
Tujuan :
Perdarahan
berhenti
Criteria Hasil:
Tanda-tanda
Perfusi
jaringan
ada
XI,
XII
meningkat
Dan
penurunan
waktu tromboplastin d.
parsial.
pembentukan bekuan
sesuai usia
tidak
kurangnya 15 menit)
meningkatkan
Kompres
area
yang
detik.
mengurangi
darah
aliran
ke
area
dan
mencegah
bekuan
keluar.
d. Es
mempercepat
metode vasokontrisi
perdarahan
f.
c. Imobilisasi
mengetahui
diterima
dapat
bisa
disarankan
menggunakan aminokaproat
h.
f. Mencegah
adanya
g. Obat
salisilat
aspirin
lain
dapat
memperpanjang
waktu
protombin
menghambat
33
dan
dan
agregasi
trombosit.
Sedangkan
aminokaproat
dapat
meningkatkan
proses
bekuan darah.
h. Transfuse darah adalah
tindakan
untuk
mengganti
komponen
darah
darah
merah,
putih,
sel
ataupun
trombositnya.
4. Implementasi
Jadwal
Hari rabu,05 oktober 2011
An.R dilakukan :
Implementasi
a. Member tekanan langsung pada tempat perdarahan (mis. abrasi
atau laserasi sekurang-kurangnya 15 menit)
b. Mengkaji tingkat perfusi pasien dengan Capillary Refil Time
c. Mempertahankan agar area terjadinya perdarahan tidak bergerak
(imobilisasi).
d. Melakukan kompres area yang terkena dengan es.
e. Mendorong orang tua anak untuk memilih aktivitas yang dapat
diterima dan aman
f. Mengajarkan metode perawatan / kebersihan gigi
g. Memberi nasehat pasien untuk tidak mengkonsumsi aspirin,
bisa disarankan menggunakan aminokaproat
h. Memberikan perencanaan untuk dilakukan tindakan transfusi
darah
5. Evaluasi
34
b. O
TD
: 96/66 mmHg
: 100 x/mnt
RR
: 24 x/mnt
: 37 celcius
: lanjutkan intervensi
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
35
36
DAFTAR PUSTAKA
Doenges, Marilynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC.
Meadow, Roy & Simon Newell. 2005. Pedriatika. Jakarta: Erlangga.
Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC.
37
Speer, Kathleen Morgan. 2007. Rencana Asuhan Keperawatan Pediatrik dengan Clinical
Pathway. Jakarta: EGC.
Suriadi. 2010. Asuhan Keperawatan pada Anak. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI.
Wong, Donna. 2008. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Jakarta : EGC.
38