Anda di halaman 1dari 23

PRESENTASI KASUS

Systemic Lupus Erythematosus

Pembimbing :
dr. Happy, Sp. PD

Disusun oleh :
Apsopela Sandivera

G4A013018

Pandu Nugroho Kanta

G4A013022

SMF ILMU PENYAKIT DALAM

RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2014

LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS:
Systemic Lupus Erythematosus

Pada tanggal,

Desember 2014

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti


program profesi dokter di Bagian Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto

Disusun oleh :
Apsopela Sandivera

G4A013018

Pandu Nugroho Kanta

G4A013022

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Happy, Sp. PD

BAB I
PENDAHULUAN
Sistemik Lupus Eritematosus ( SLE ) adalah penyakit reumatik autoimun
yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ
atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi
dan kompleks imun sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan.
Insiden tahunan SLE di Amerika serikat sebesar 5,1 per 100.000 penduduk,
sementara prevalensi SLE di Amerika dilaporkan 52 kasus per 100.000
penduduk,10 dengan rasio jender wanita dan laki-laki antara 9-14:1.
Manifestasi klinis SLE sangat luas, meliputi keterlibatan kulit dan mukosa,
sendi, darah, jantung, paru, ginjal, susunan saraf pusat (SSP) dan sistem imun.
Dilaporkan bahwa pada 1000 pasien SLE di Eropa yang diikuti selama 10 tahun,
manifestasi klinis terbanyak berturut-turut adalah artritis sebesar 48,1%, ruam
malar 31,1%, nefropati 27,9%, fotosensitiviti 22,9%, keterlibatan neurologik
19,4% dan demam 16,6% sedangkan manifestasi klinis yang jarang dijumpai
adalah miositis 4,3%, ruam diskoid 7,8 %, anemia hemolitik 4,8%, dan SLEi
subkutaneus akut 6,7%.
Mengingat manifestasi klinis, perjalanan penyakit SLE sangat beragam dan
risiko kematian yang tinggi maka diperlukan upaya pengenalan dini serta
penatalaksanaan yang tepat.

BAB II
STATUS PASIEN
A. IDENTITAS PASIEN
Nama

: Ny. UY

Umur

: 41 tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Alamat

: Minjul 08/07 Kutasari

Tanggal Masuk

: 29 November 2014

Tanggal Pemeriksaan

: 29 November 2014

B. ANAMNESIS
1. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
a. Keluhan Utama
: Badan terasa sangat lemas
b. Onset
: dirasakan sejak 1 bln yang lalu
c. Keluhan tambahan
: pusing, nafsu makan menjadi turun, nyeri
dipersendian, bercak merah di muka, kedua tangan dan perut, mual
dan bab hitam
Pasien datang ke IGD RSMS pukul 18.00 dengan keluhan
badan terasa sangat lemas, keluhan dirasakan sejak 1 bulan yang
lalu. Selain pasien juga mengatakan terdapat bintik-bintik merah di
muka, kedua tangan dan perut pasien namun tidak terasa gatal.
Pasien juga mengeluhkan adanya pusing, mual tetapi tidak muntah,
dan nafsu makan menjadi turun. Selama sakit pasien mengeluh
nyeri di sendi tangan dan kaki, pasien mengeluh demam, tidak
mengeluh gusi berdarah dan ada BAB kehitaman, terakhir BAB
kehitaman sejak 2 hari yang lalu. Pasien mengaku tidak ada
masalah dalam buang air kecil, buang air kecil terakhir tadi malam
sebelum tidur.

2. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU


a. Riwayat keluhan serupa

: Pasien mengaku pernah mengalami

gejala yang serupa 6 bulan yang lalu dan sedang dalam pengobatan
SLE
b. Riwayat penyakit darah tinggi

:disangkal

c.
d.
e.
f.
g.

Riwayat penyakit jantung


Riwayat penyakit gula
Riwayat penyakit asma
Riwayat penyakit ginjal
Riwayat alergi

: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal

3. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA


a. Riwayat keluhan serupa
: disangkal
b. Riwayat penyakit tiroid
: disangkal
c. Riwayat penyakit darah tinggi : disangkal
d. Riwayat penyakit jantung
: disangkal
e. Riwayat penyakit gula
: disangkal
f. Riwayat penyakit asma
: disangkal
g. Riwayat penyakit ginjal
: disangkal
h. Riwayat alergi
: disangkal
4. RIWAYAT SOSIAL EKONOMI
A. Community
: Pasien tinggal di daerah pedesaan.
Hubungan pasien dengan keluarga dan masyarakat
sekitar lingkungan rumahnya baik.
B. Home
: Pasien tinggal bersama anak dan cucunya.
C. Personal Habbit : Pasien sering bekerja di siang hari.
D. Occupation
: pasien bekerja sebagai buruh tani dan sering
terpapar sinar matahari.
E. Drug and diet
: Pasien sedang dalam pengobatan SLE
Pasien makan sehari 2-3 kali dengan porsi yang
kurang.
C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : tampak lemas
Kesadaran
: compos mentis
Vital Sign
Tekanan Darah: 110/70 mmHg
Nadi
RR
Suhu
Status Generalis
Kepala
Mata
Hidung
Telinga

: 84 x/menit isi/teraba cepat dan lemah


: 20 x/menit
: 37,70C
: Venektasi Temporal -/- Eritema di bagian pipi (+)
: Reflek cahaya (+/+), isokor 3 mm
Conjungtiva anemis, sklera tidak ikterik, eksofthalmus (-)
: Tidak terdapat nafas cuping hidung dan discharge,
epistaksis (-/-)
: Tidak terdapat discharge, hiperemis ataupun deformitas
Tidak terdapat nyeri tekan

Mulut

: kering kemerahandan lecet di bibir bawah, lidah kotor (-),

Leher
Status Lokalis
Pulmo
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auscultasi

tepi hiperemis (-), tanda perdarahan gusi : pembesaran KGB (-)


: Hemithorax dextra = sinistra
: Vocal Fremitus dextra = sinistra
: Sonor pada seluruh lapang paru
Batas paru hepar di SIC V LMCD
: SD Vesiculer +/+, Ronki basah kasar -/-, ronki basah halus
-/-, wheezing -/-

Cor
Inspeksi
Palpasi
Perkusi

: ictus cordis tak tampak


: ictus cordis teraba di SIC V LMCS
: Redup

Batas Jantung: Kanan atas

Auscultasi

: SIC II LPSD
Kiri atas
: SIC II LPSS
Kanan bawah: SIC IV LPSD
Kiri bawah : SIC V 2 jari lateral LMCS
: T1>T2, M1>M2, A1<A2, P1<P2. Irama Reguler.tidak terdapat

Gallop, Murmur (-).


Abdomen
Inspeksi
Auskultasi
Perkusi
Palpasi

: Datar, Eritema di bagain abdomen (+)


: Bising Usus (+) normal
: Timpani, pekak pada region hipokondriaca dextra.
: Supel, hepar teraba 4 jari BACD, tepi tajam, konsistensi
kenyal, permukaan rata, nyeri tekan (+) epigastrik dan

Ekstrimitas

hipocondriaca dextra, lien tidak teraba


: Eritema (+) pada kedua lengan, akral dingin (-/-) superior
inferior.

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
Tanggal 28 November 2014
Pemeriksaan
Darah Lengkap
Hb
Leukosit
Hematokrit
Eritrosit
Trombosit

Hasil

Satuan

Nilai Rujukan

5,40
10700
18
1,76
106.000

gr/dL
/ul
%
106/ul
/ul

14-18
4800-10800
42-52
4,7-6,1
150rb-450rb

MCV
MCH
MCHC
RDW
MPV
Hitung Jenis
Basofil
Eosinofil
Batang
Segmen
Limfosit
Monosit
Total Protein
Albumin
Globulin
Natrium
Kalium
Klorida
Kalsium
Urine:

88,2
30,6
34,7
20,8
10,8

fL
pg
%
%
fL

79-99
27-31
33-37
11,5-14,5
7,2-11,1

0,2
0,1
0,8
94,5
2,8
1,6
5,60
1,40
4,20
132
3,7
104
7,6

%
%
%
%
%
%
g/dl
g/dl
g/dl
mmol/L
mmol/L
mmol/L
Mg/dL

0-1
2-4
2-5
40-70
25-40
2-8
6,40-8,20
3,40-5,00
2,70-3,20
136-146
3,5-5,1
98-107
8,4-10,2

Makroskopis: Warna: kuning tua, keruh bau khas


Kimia
BJ: 1.020
pH: 6
Leukosit Protein 1+
Glukosa normal
Keton Sedimen leukosit 13-14
Eritrosit 1-3
Epitel 2-5
Bakteri: 2+
E. DIAGNOSA
Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
Anemia Gravis
F. Diagnosis Banding
1. RA

2. Idiopatik Trobositopenia Purpura


3. Vaskulitis
F. TATALAKSANA
1. Farmakologi
a. IFVD NaCl 0,9% 20 tpm
b. Tranfusi Albumin 20% 100cc
c. Inj. Cefotaxim 2 x 1 gr (IV)
d. Inj. Metylprednisolon 1x62,5 (IV)
e. Inj. Ranitidin 2 x 50mg (IV)
f. Inj. Kalnex 3 x 500mg (IV)
g. P.O Aspar K 1 x 1 tab
h. P.O Chloroquin 1 x 1 tab
i. P.O. Sotatic 3 x 1 tab
2. Rencana Monitoring
a. Monitoring perbaikan KU dan VS
b. Pemeriksaan Darah Rutin
c. Cek LE sel
G. Prognosis
Ad Fungtionam
Ad vitam
Ad sanationam

: dubia ad bonam
: dubia ad bonam
: ad bonam

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Sistemik Lupus Eritematosus ( SLE ) adalah penyakit reumatik
autoimun yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi
setiap organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan
deposisi autoantibodi dan kompleks imun sehingga mengakibatkan kerusakan
jaringan.1

B. EPIDEMIOLOGI
Penyakit ini menyerang wanita muda dengan insiden puncak usia 1540 tahun selama masa reproduktif dengan ratio wanita dan pria 5:1. Dalam 30
tahun terakhir, SLE telah menjadi salah satu penyakit penyakit reumatik
utama di dunia. Insiden tahunan SLE di Amerika serikat sebesar 5,1 per
100.000 penduduk, sementara prevalensi SLE di Amerika dilaporkan 52
kasus per 100.000 penduduk..7
Belum terdapat data epidemiologi SLE yang mencakup semua
wilayah Indonesia. Data tahun 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM)
Jakarta, didapatkan 1.4% kasus SLE dari total kunjungan pasien di poliklinik
Reumatologi Penyakit Dalam, sementara di RS Hasan Sadikin Bandung
terdapat 291 Pasien SLE atau 10.5% dari total pasien yang berobat ke
poliklinik reumatologi selama tahun 2010.3
C. ETIOLOGI
Etiologi dari penyakit ini belum seluruhnya diketahui namun diduga :4
1) Faktor genetik :
Keluarga dari penderita penyakit SLE mempunyai insidens yang tinggi
untuk penyakit pada jaringan ikat.
2) Faktor obat :
Terutama hydrallazine yang digunakan secara luas untuk terapi pada
hipertensi.1,3,4 Sindrom ini terjadi pada 6-7% penderita hipertensi,
setelah terapi selama 3 tahun dengan hydrallazine,dengan dosis 100
mg/hari (5,4%) dan 200 mg/hari (10,4%). Tetapi tidak terjadi pada
pemberian dengan dosis 50 mg/hari.
3) Jenis kelamin :

10

Lebih tinggi pada wanita (11,6%) dibanding pria (2,8%).


4) Radiasi sinar ultraviolet :
Dapat juga sebagai faktor pencetus pada onset SLE atau penyebab
kekambuhan pada perjalanan penyakit ini di mana dapat ditemukan
antibodi terhadap radiasi ultraviolet.
5) Faktor lain yang dapat sebagai pencetus adalah infeksi bakteri, dan stress
baik fisik maupun mental.4
D. DERAJAT RINGAN DAN BERAT SLE
Seringkali terjadi kebingungan dalam proses pengelolaan SLE,
terutama menyangkut obat yang akan diberikan, berapa dosis, lama
pemberian dan pemantauan efek samping obat yang diberikan pada pasien.
Salah satu upaya yang dilakukan untuk memperkecil berbagai kemungkinan
kesalahan adalah dengan ditetapkannya gambaran tingkat keparahan SLE.
Penyakit SLE dapat dikategorikan ringan atau berat sampai mengancam
nyawa.2
Kriteria untuk dikatakan SLE ringan adalah:2
1) Secara klinis tenang
2) Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa
3) Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung,
gastrointestinal, susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit. Contoh
SLE dengan manifestasi arthritis dan kulit.
Penyakit SLE dengan tingkat keparahan sedang manakala ditemukan:2
1) Nefritis ringan sampai sedang ( Lupus nefritis kelas I dan II)
2) Trombositopenia (trombosit 20-50x103/mm3)
3) Serositis mayor
Penyakit SLE berat atau mengancam nyawa apabila ditemukan keadaan
sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu:2
1) Jantung:

endokarditis

Libman-Sacks,

vaskulitis

arteri

koronaria,

miokarditis, tamponade jantung, hipertensi maligna.


2) Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli
paru, infark paru, ibrosis interstisial, shrinking lung.
3) Gastrointestinal: pankreatitis, vaskulitis mesenterika.
4) Ginjal: nefritis proliferatif dan atau membranous.
5) Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister).

11

6) Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati


transversa, mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis, sindroma
demielinasi.
7) Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit <1.000/mm3),
trombositopenia < 20.000/mm3 , purpura trombotik trombositopenia,
trombosis vena atau arteri.
E. PATOGENESIS
Patogenesis SLE diawali dari interaksi antara faktor gen predisposisi
dan lingkungan yang akan menghasilkan respon imun yang abnormal. Respon
ini termasuk :5
1) Aktivasi dari imunitas oleh CpG DNA, DNA pada kompleks imun, dan
RNA dalam RNA/protein self-antigen
2) Ambang aktivasi sel imun adaptif yang menurun (Limfosit antigenspecific T dan Limfosit B)
3) Regularitas dan inhibisi Sel T CD4+ dan CD8+
4) Berkurangnya klirens sel apoptotic dan kompleks imun.
Self-antigen (protein/DNA nukleosomal, RNA/protein, fosfolipid)
dapat ditemukan oleh sistem imun pada gelembung permukaan sel apoptotik,
sehingga antigen autoantibody, dan kompleks imun tersebut dapat bertahan
untuk beberapa jangka waktu yang panjang, menyebabkan inflamasi dan
penyakit berkembang.5
Aktivasi imun dari sel yang bersirkulasi atau yang terikat jaringan
diikuti dengan peningkatan sekresi proinflammatorik tumor necrosis factor
(TNF) dan interferon tipe dan 2 (IFNs), dan sitokin pengendali sel B, B
lymphocyte stimulator (BLyS) serta Interleukin (IL) 10. Peningkatan regulasi
gen yang dipicu oleh interferon merupakan suatu petanda genetik SLE.
Namun, sel lupus T dan natural killer (NK) gagal menghasilkan IL-2 dan
transforming growth factor (TGF) yang cukup untuk memicu CD4+ dan
inhibisi CD8+. Akibatnya adalah produksi autoantibody yang terus menerus
dan terbentuknya kompleks imun, dimana akan berikatan dengan jaringan
target, disertai dengan aktivasi komplemen dan sel fagositik yang
menemukan sel darah yang berikatan dengan Ig.5
Aktivasi dari komplemen dan sel imun mengakibatkan pelepasan
kemotaksin, sitokin, chemokin, peptide vasoaktif, dan enzim perusak. Pada

12

keadaan inflamasi kronis, akumulasi growth factors dan sel imun akan
memicu pelepasan keomtaxin, sitokin, chemokin, peptide vasoaktif, dan
enzim perusak. Pada peradangan yang kronis, akumulasi dari growth factor
dan produk oksidase kronis berperan terhadap kerusakan jaringan ireversibel
pada glomerulus, arteri, paru-paru, dan jaringan lainnya.5
Gambar 1. Patogenesis SLE

F. MANIFESTASI KLINIS
Penderita systemic lupus erythematosus (SLE) 90% adalah pada

wanita periode usia muda- dewasa muda, dan ras negroid lebih cenderung
tiga kali lipat menderita SLE dibanding dengan ras lain. Gejala yang umum
pada SLE, antara lain :5
1) Konstitusional : kelelahan, demam, malaise, kehilangan berat badan
2) Kulit : rash (terutama butterfly rush), fotosensitif, vaskulitis, alofesia,
ulkus oral.
3) Sendi : peradangan
4) Hematologis : anemia (biasanya hemolitik), neutropenia, trombositopenia,
linfadenopati, spenomegali, trombosis arteri atau vena.
5) Kardio-pulmonal : pleuritis, pericarditis, myocarditis, endokarditis
6) Ginjal : nephritis, gagal ginjal
7) Gastrointestinal : peritonitis, vaskulitis

13

8) Mata : keratokonjungtivitis sicca, retinopati, episkleritis dan skleritis,


uveitis, dan koroidopati.
9) Saraf : kejang, psikosis, serebritis
G. PENEGAKKAN DIAGNOSIS
Diagnosis SLE, dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan
laboratorium. American College of Rheumatology (ACR) atau American
Rheumatism Association (ARA), pada tahun 1997, mengajukan 11 kriteria
untuk klasifikasi SLE, dimana apabila didapatkan 4 kriteria, diagnosis SLE
dapat ditegakkan. Kriteria tersebut adalah :6
1) Ruam malar.
2) Ruam diskoid.
3) Fotosensitivitas.
4) Ulkus di mulut.
5) Arthritis non erosif.
6) Pleuritis atau perikarditis.
7) Gangguan renal, yaitu proteinuria persisten > 0,5gr/ hari, atau silinder sel
dapat berupa eritrosit, hemoglobin, granular, tubular atau gabungan.
8) Gangguan neurologi, yaitu kejang-kejang atau psikosis.
9) Gangguan hematologik, yaitu anemia hemolitik dengan retikulosis, atau
leukopenia atau limfopenia atau trombositopenia.
10) Gangguan imunologik, yaitu anti DNA posistif, atau anti Sm positif atau
tes serologik untuk sifilis yang positif palsu.
11) Antibodi antinuklear (Antinuclear antibody, ANA) positif.

14

H.

AKTIVITAS SLE
Untuk menilai aktivitas penyakit dari SLE dapat dilakukan penilaian
dengan skor antara lain dengan menggunakan SLE Disease Activity Index
(SLEDAI), British IsSLE Lupus Assesment Group ( BILAG ), Systemic
Lupus Activity Measurement ( SLAM ), the European Consensus Lupus
Activity Measurement ( ECLAM ) atau Lupus Activity Index ( LAM ).SLE
Disease Activity Index ( SLEDAI ), British IsSLE Lupus Assesment Group
( BILAG ), dan Systemic Lupus Activity Measurement ( SLAM ) terbukti
valid dan sensitif terhadap aktivitas penyakit SLE.8

15

Penelitian yang dilakukan oleh Eutlia Andrade Medeiros Freire, Las


Medeiros Souto, dan Rozana Mesquita Ciconelli di Brazil pada tahun 2011
menunjukkan bahwa SLE Disease Activity Index ( SLEDAI ) memiliki
validitas yang sangat tinggi dibandingkan dengan British IsSLE Lupus
Assesment Group (BILAG ) dan Systemic Lupus Activity Measurement
( SLAM )26. Selain itu, SLE Disease Activity Index ( SLEDAI ) tidak
memerlukan biaya yang mahal dan mudah digunakan. Oleh karena itu, SLE
Disease Activity Index ( SLEDAI ) sering digunakan untuk menilai aktivitas
penyakit SLE pada penelitian SLE.8
I. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada penyakit Sistemik Lupus
Eritematosus ( SLE ) adalah pemeriksaan darah rutin dan pemeriksaan urin.
Hasil pemeriksaan darah pada penderita SLE menunjukkan adanya anemia
hemolitik,

trombositopenia,

limfopenia,

atau

leukopenia;

erytrocyte

sedimentation rate (ESR) meningkat selama penyakit aktif, Coombs test


mungkin positif, level IgG mungkin tinggi, ratio albumin-globulin terbalik,
dan serum globulin meningkat. Selain itu, hasil pemeriksaan urin pada
penderita SLE menunjukkan adanya proteinuria, hematuria, peningkatan
kreatinin, dan ditemukannya Cast, heme granular atau sel darah merah pada
urin.9
Pemeriksaan Autoantibodi
Proses patogenik setiap penyakit tidak terlepas kaitannya dengan
berbagai proses imunologik, baik yang non spesifik atau spesifik. Kaitan
tersebut tentunya terlihat lebih nyata pada penyakit-penyakit autoimun
termasuk di dalamnya SLE, Arthritis Reumatoid, sindroma Sjogren dan
sebagainya. Adanya antibodi termasuk autoantibodi sering dipakai dalam
upaya membantu penegakkan diagnosis maupun evaluasi perkembangan
penyakit dan terapi yang diberikan.9
Pembentukan autoantibodi cukup kompleks dan belum ada satu kajian
yang mampu menjelaskan secara utuh mekanisme patofisiologiknya.
Demikian pula halnya dengan masalah otoimunitas. Pada masalah yang
terakhir, dikatakan terdapat kekacauan dalam sistim toleransi imun dengan
sentralnya pada T-helper dan melahirkan banyak hipotesis, antara lain

16

modifikasi autoantigen, kemiripan atau mimikri molekuler antigenik terhadap


epitop sel T, cross reactive peptide terhadap epitop sel-B, mekanisme bypass
idiotipik, aktivasi poliklonal dan sebaginya. Mekanisme lain juga dapat
dilihat dari sudut adanya gangguan mekanisme regulasi sel baik dari tingkat
thymus sampai ke peripher. Kekacauan ini semakin besar kesempatan
terjadinya sejalan dengan semakin bertambahnya usia seseorang.9
Umumnya, autoantibodi itu sendiri tidak segera menyebabkan
penyakit. Oleh karenanya, lebih baik autoantibodi dipandang sebagai petanda
(markers) proses patologik daripada sebagai agen patologik. Kadarnya yang
dapat naik atau turun dapat berkaitan dengan aktivitas penyakit atau sebagai
hasil intervensi terapi. Kompleks autoantigen dan autoantibodilah yang akan
memulai rangkaian penyakit autotoimun. Hingga saat ini hipotesis yang
dianut

adalah

autoantibodi

baru

dikatakan

memiliki

peran

dalam

perkembangan suatu penyakit reumatik autoimun apabila ia berperan dalam


proses patologiknya. Antibodi Antinuklear.9
Antinuklear antibodi (ANA) merupakan suatu kelompok autoantibodi
yang spesifik terhadap asam nukleat dan nukleoprotein, ditemukan pada
connective tissue disease seperti SLE, sklerosis sistemik, Mixed Connective
Tissue Disease (MCTD) dan sindrom sjogrens primer. ANA pertama kali
ditemukan oleh Hargreaves pada tahun 1948 pada sumsum tulang penderita
SLE. Dengan perkembangan pemeriksaan imunodifusi dapat ditemukan
spesifisitas ANA yang baru seperti Sm, nuclear ribocleoprotein (nRNP),
Ro/SS-A dan La/SS-B.9
ANA dapat diperiksa dengan menggunakan metode imunofluoresensi.
ANA digunakan sebagai pemeriksaan penyaring pada connective tissue
disease. Dengan pemeriksaan yang baik, 99% penderita SLE menunjukkan
pemeriksaan yang positif, 68% pada penderita sindrom Sjogrens dan 40%
pada penderita skleroderma.ANA juga pada 10% populasi normal yang
berusia > 70 tahun.9
Antibodi terhadap DNA
Antibodi terhadap DNA (Anti ds-DNA) dapat digolongkan dalam
antibodi yang reaktif terhadap DNA natif ( double stranded-DNA). Anti dsDNA positif dengan kadar yang tinggi dijumpai pada 73% SLE dan

17

mempunyai arti diagnostik dan prognostik. Kadar anti ds-DNA yang rendah
ditemukan pada sindrom Sjogrens, arthritis reumatoid. Peningkatan kadar anti
ds-DNA menunjukkan peningkatan aktifitas penyakit. Pada SLE,anti ds-DNA
mempunyai korelasi yang kuat dengan nefritis lupus dan aktifitas penyakit
SLE. Pemeriksaan anti ds-DNA dilakukan dengan metode radioimmunoassay,
ELISA dan C.luciliae immunofluoresens.9
Pemeriksaan Komplemen
Komplemen adalah suatu molekul dari sistem imun yang tidak
spesifik. Komplemen terdapat dalam sirkulasi dalam keadaan tidak aktif. Bila
terjadi aktivasi oleh antigen, kompleks imun dan lain lain, akan menghasilkan
berbagai mediator yang aktif untuk menghancurkan antigen tersebut.
Komplemen merupakan salah satu sistem enzim yang terdiri dari 20 protein
plasma dan bekerja secara berantai (self amplifying) seperti model kaskade
pembekuan darah dan fibrinolisis.9
Pada SLE, kadar C1,C4,C2 dan C3 biasanya rendah, tetapi pada lupus
kutaneus normal. Penurunan kadar kompemen berhubungan dengan derajat
beratnya SLE terutama adanya komplikasi ginjal. Observasi serial pada
penderita dengan eksaserbasi, penurunan kadar komplemen terlihat lebih
dahulu dibanding gejala klinis.9
J. PENATALAKSANAAN
Baik untuk SLE ringan atau sedang dan berat, diperlukan gabungan
strategi pengobatan atau disebut pilar pengobatan. Pilar pengobatan SLE ini
seyogyanya dilakukan secara bersamaan dan berkesinambungan agar tujuan
pengobatan tercapai.10
Pilar Pengobatan Lupus Eritematosus Sistemik10
I. Edukasi dan konseling
II. Program rehabilitasi
III. Pengobatan medikamentosa
a.
b.
c.
d.
e.

OAINS
Anti malaria
Steroid
Imunosupresan / Sitotoksik
Terapi lain

Kortikosteroid

18

Kortikosteroid digunakan sebagai pengobatan utama pada pasien


dengan SLE. Meski dihubungkan dengan munculnya banyak laporan efek
samping, KS tetap merupakan obat yang banyak dipakai sebagai
antiinlamasi dan imunosupresi. Dosis kortikosteroid yang digunakan juga
bervariasi. Untuk meminimalkan masalah interpretasi dari pembagian ini
maka

dilakukanlah

standarisasi

berdasarkan

patoisiologi

dan

farmakokinetiknya.10
Karena

berpotensial

mempunyai

efek

samping,

maka

dosis

kortikosteroid mulai dikurangi segera setelah penyakitnya terkontrol.


Tapering harus dilakukan secara hati-hati untuk menghindari kembalinya
aktivitas penyakit. Tapering secara bertahap memberikan pemulihan terhadap
fungsi adrenal. Tapering tergantung dari penyakit dan aktivitas penyakit,
dosis dan lama terapi, serta respon klinis. Sebagai panduan, untuk tapering
dosis prednison lebih dari 40 mg sehari maka dapat dilakukan penurunan 510 mg setiap 1-2 minggu. Diikuti dengan penurunan 5 mg setiap 1-2 minggu
pada dosis antara 40-20 mg/hari. Selanjutnya diturunkan 1-2,5 mg/ hari setiap
2-3 minggu bila dosis prednison < 20 mg/hari. Selanjutnya dipertahankan
dalam dosis rendah untuk mengontrol aktivitas penyakit.10
Algoritma penatalaksanaan SLE10

19

Berikut adalah jenis, dosis obat yang dipakai pada SLE serta pemantauanya.10

20

21

BAB IV
PEMBAHASAN
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang
telah dilakukan, maka Nn. UY (pasien) didiagnosa Sistemik Lupus Eritematosus.
Diagnosa Sistemik Lupus Eritematosus berdasarkan anamnesis didapatkan
minimal 4 gejala dari kriteria American College of Rheumatology (ACR) atau
American Rheumatism Association (ARA), yaitu ruam malar, artritis, gangguan
renal (proteinuria 1+, gangguan hematologi (anemia).
Penatalaksanaan SLE Pada Kasus
Pasien ini terdiagnosis sebagai Sistemik Lupus Eritematosus ringan tanpa tandatanda kegawatan sehingga mendapat tatalaksana sebagai berikut:
1) Edukasi dan konseling
2) Program rehabilitasi
3) Pengobatan medikamentosa
4) OAINS
a. Anti malaria
b. Steroid dosis rendah
c. Imunosupresan / Sitotoksik
d. Terapi lain

22

DAFTAR PUSTAKA

1. Isbagio H, Albar Z, Kasjmir YI, et al. 2009. Sistemik Lupus Eritematosus.


Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, et al, editor. Ilmu Penyakit Dalam
Jilid III. Edisi kelima. Jakarta: Interna Publishing; 2565-2579.

2. Bartels CM, Krause RS, Lakdawala VS, et al. 2011. Systemic Lupus
Erythematosus

(SLE).

Available

from:

http://emedicine.medscape.com/article/332244-overview
3. Data dari poliklinik. 2010. reumatologi RS Hasan Sadikin Bandung.
4. Saraswati PDA, Soekrawati E. 2006. Systemic Lupus Erythematosus. In :
Dexa Media Jurnal Kedokteran dan Faramsi Vol. 19. Denpasar : SMF Kulit
dan Kelamin RSUD Wangaya.
5. Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS et all. Systemic Lupus Erythematosus (SLE).
In : Harrisons Manual of Medicine. 16 th ed. New York : McGraw-Hill Medical
Publishing Division. 2006. 779-85.
6. NN. 1997 Update of the 1982 American College of Rheumatology Revised

Criteria for Classification of Systemic Lupus Erythematosus. Available


from
:http://www.rheumatology.org/practice/clinical/classification/SLE/1997_upda
te_of_the_1982_acr_revised_criteria_for_classification_of_sle.pdf
7. Danchenko N, Satia JA, Anthony MS. 2006. Epidemiology of systemic lupus
erythematosus: a comparison of worldwide disease burden. Lupus.;15(5):30818
8. Freire EAM, Souto LM, Chiconelli RM. 2012. Assesments Measures in
Systemic

Lupus

Erythematosus.

Available

from

http://www.scielo.br/pdf/rbr/v51n1/en_v51n1a06.pdf
9. Zvezdanovic L, Dordevic V, Cosic V, Cvetkovic T, Kundalic S, Stankovic A.
The significance of cytokines in diagnosis of autoimmune diseases. Jugoslov
Med Biohem 2006;25:363-372.
10. Hoes JN, Jacobs JWG, Boers M, Boumpas D, Buttgereit F, Caeyers N, et all.

2007. EULAR evidence based recommendations on the management of


systemic glucocorticoid therapy in rheumatic diseases. Ann Rheum Dis,; 66:
1560-1567

23

Anda mungkin juga menyukai