ABSTRAK
Sorgum merupakan salah satu komoditas potensial yang dapat dikembangkan mendukung
program diversifikasi pangan dan energi di Indonesia. Sebagai sumber pangan, sorgum
mempunyai beragam zat antioksidan, mineral, protein dan serat penting. Sebagai sumber
bioenergi, sorgum mempunyai potensi untuk mensubtitusi kebutuhan bahan bakar fosil serta
industri tambang. Tingginya permintaan di tingkat global juga merupakan potensi bagi Indonesia
untuk mengisi kebutuhan bioenergi dunia. Saat ini telah tersedia 11 varietas sorgum dengan
daya hasil cukup tinggi, berumur genjah serta daya adaptasi yang luas. Calon varietas sorgum
manis juga telah tersedia dalam upaya mendukung pengembangan bioindustri di Indonesia.
Optimalisasi pengembangan produksi sorgum harus terintegrasi mulai dari hulu sampai
pengembangan industri hilir yang siap menampung hasil panen. Pengembangan sorgum dalam
skala besar akan menimbulkan terjadinya kompetisi penggunaan lahan dengan komoditas lain,
sehingga dapat diarahkan pada lahan marjinal serta lahan non produktif yang banyak tersebar
di wilayah tengah dan timur Indonesia. Selain itu, kemampuan subsistem produksi benih (balaibalai benih dan penangkar) perlu diberdayakan melalui pembuatan program yang terarah untuk
produksi dan pendistribusian benih di lapangan. Dalam hal perakitan varietas perlu
memanfaatkan sebanyak mungkin sumberdaya genetik lokal, digabungkan dan diseleksi secara
terarah untuk taret-target lingkungan tertentu.
Kata kunci: sorgum, pangan, bioetanol, potensi pengembangan
PENDAHULUAN
Dalam roadmap pengembangan dan penyediaan pangan nasional, komoditas
sorgum jarang diungkapkan secara eksplisit sebagai bagian integral dari pangan pokok
nasional. Pernyataan resmi sorgum dipakai sebagai bahan pangan pendukung hanya
dijumpai dalam jumlah terbatas di Kabupaten Rote Ndao dan Sumba, Nusa Tenggara
Timur (Diperta NTT 2012). Fakta lapangan menunjukkan bahwa walaupun tanaman
sorgum sudah lama dikenal oleh petani, namun masih diusahakan secara asalan
karena dipandang sebagai tanaman klas rendah. Perkembangan luas tanam sorgum di
Indonesia juga memperlihatkan kecenderungan (trend) penurunan dari waktu ke
waktu. Data Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Tahun 1990 menunjukkan luas
tanam sorgum di Indonesia di atas 18.000 ha. Tahun 2011 luas tanam sorgum
menurun menjadi 7.695 ha (Direktorat Jenderal Tanaman Pangan 2012).
199
200
Selain itu, biomas sorgum manis juga dapat digunakan sebagai bahan baku fiber,
kertas, sirup dan makanan ternak (Steduto et al. 1997).
Tulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai pengembangan
produksi sorgum di Indonesia. Makalah berisi tentang kemajuan penelitian dan
pengembangan sorgum, wilayah sasaran untuk pengembangan, ketersediaan benih
sumber
untuk
mendukung
pengembangan sorgum,
serta
optimalisasi
peran
1980-1990
dikoordinir
secara
nasional
oleh
Pusat
Penelitian
dan
era
1970-an
program
pengembangan sorgum
diarahkan untuk
201
kemudian dilepas dengan nama varietas Mandau dan Sangkur (Rahardjo dan Fathan
1991). Potensi hasil mencapai 5 t/ha, genjah (umur 91 hari) dengan kisaran hasil 4-5
t//ha. Varietas Sangkur mempunyai potensi hasil agak rendah, antara 3,6-4,0 t/ha,
namun mudah di rontok dan disosoh serta tahan terhadap penyakit karat dan
Rhizoctonia (Rahardjo dan Fathan 1991).
Program penelitian dan pengembangan varietas unggul sorgum pada periode
2001-2013 dilakukan secara khusus oleh Balai Penelitian Tanaman Serealia
(Balitsereal) di Maros. Varietas Numbu dan Kawali dilepas Tahun 2001 (Balitsereal,
2002). Varietas Numbu dihasilkan dari galur IS 23509 dari SADC (South African
Development Community). Varietas Kawali berasal dari galur ICSV 233 merupakan
galur ICRISAT. Singgih dan Hamdani (1998) serta Sholihin (1996) melaporkan kedua
varietas tersebut dapat beradaptasi baik di Probolinggo, Bontobili, Bulukumba, dan
Bojonegoro dengan kisaran hasil yang diperoleh 4,6-5,0 t/ha.
Singgih et al. (2002) menyatakan bahwa varietas Numbu dapat beradaptasi
baik pada lahan kering dan masam, hasil 5 t/ha serta tahan terhadap penyakit karat
dan bercak daun. Varietas Kawali dicirikan oleh karakter tanaman yang pendek (135
cm) serta bulir yang agak tertutup sehingga kurang disenangi oleh hama burung.
Kedua varietas ini mempunyai umur dalam, antara 100-105 hari. Karakteristik varietas
yang dirilis pada periode 1970-2012 disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Varietas unggul sorgum yang dirilis selama periode 1970-2012
Varietas
Tahun
Rilis
No. 6C
UPCA-S2
KD4
KERIS
UPCA-S1
BADIK
HEGARI GENJAH
MANDAU
SANGKUR
NUMBU
KAWALI
1970
1972
1973
1983
1985
1986
1986
1991
1991
2001
2001
Potensi
Hasil
(t/ha)
4,6-6
4,0-4,9
4,0
2,5
4,0
3,0-3,5
3,0-4,0
4,0-5,0
3,6-4,0
4,0-5,0
4,0-5,0
Umur
Panen
(Hari)
96-106
105-110
90-100
70-80
90-100
80-85
81
91
82-96
100-105
100-110
Tinggi
tanaman
(cm)
165-238
180-210
140-180
80-125
140-160
145
145
153
150-180
187
135
Warna Biji
Rasa
Nasi
Coklat
Coklat
Putih
Putih Kotor
Putih Kapur
Putih Kapur
Putih Kapur
Coklat Muda
Coklat Muda
Krem
Krem
Kurang
Kurang
Sedang
Sedang
Sedang
Enak
Enak
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
semakin berkurangnya
cadangan bahan
bakar
202
bioenergi tanaman harus diubah terlebih dahulu menjadi biogas atau bioetanol.
Almodares dan Hadi (2009) memaparkan bahwa selain lebih adaptif terhadap
perubahan iklim (kekeringan dan genangan), sorgum juga mempunyai potensi untuk
dimanfaatkan sebagai bahan baku bioetanol melalui fermentasi bagase, juise dan biji.
Sejumlah galur unggul baik introduksi maupun lokal Indonesia disilangkan
untuk menghasilkan varietas unggul sorgum khusus untuk produksi etanol. Eksplorasi
potensi etanol sorgum manis diperoleh dari nira batang sorgum, bagase dan biji. Nira
adalah cairan yang diperoleh dari hasil perasan batang sorgum manis, sedangkan
bagase adalah ampas hasil perasan batang sorgum dalam bentuk sellulosa yaitu
polisakarida yang dihidrolisis menjadi monosakarida seperti glukosa, sukrosa dan
bentuk gula lainnya yang kemudian dikonversi menjadi etanol. Sedangkan sumber
etanol dari biji adalah pati yaitu karbohidrat yang berbentuk polisakarida berupa
polimer anhidromonosakarida, dimana komponen utama
amilosa dan amilo-pektin yang masing masing tersusun atas satuan glukosa (rantai
glukosida) yang kemudian dikonversi menjadi etanol (Prasad et al. 2007; Shoemoker
and Bransby 2010). Sarath et al. (2008) dan Smith et al. (1987) lebih lanjut
menjelaskan bahwa sorgum manis untuk bahan baku bioetanol dicirikan oleh
akumulasi karbohidrat terfrmentasi (FC) dalam batang yang mencapai 15-25%.
Sorgum manis mengandung FC lebih tinggi dibandingkan jagung sehingga sebagai
tanaman biofuel akan lebih menguntungkan apabila pengembangannya dilakukan
pada daerah kering (Reddy et al. 2007).
Balai Penelitian Tanaman Serealia telah mengembangkan enam galur yang
mempunyai potensi tinggi untuk produksi bioetanol yaitu Watar Hammu Putih, 4-183A,
5-193c, 15011A, 15011B, dan 15021A dengan produksi etanol masing-masing sebesar
4315,45 l/ha, 4531,91, 3868,42, 3756,15, 4758,32 l/ha, dan galur 3905,21 l/ha, lebih
tinggi dari varietas Numbu (Balitsereal 2010). Produksi etanol tinggi per ha mempunyai
korelasi yang tinggi dengan produksi biomas batang. Galur/varietas Watar Hammu
Putih, 15011A, dan 15021A menghasilkan produksi biomas tinggi di NTT dan Enrekang
(Sulawesi Selatan), galur 4-183A dan 5-193c menghasilkan produksi biomas tinggi di
Karanganyar dan Karangsari (Yogyakarta) baik di lahan sawah maupun lahan kering,
dan galur 15011B menghasilkan produksi biomas tinggi di Jawa Barat (Pabendon,
2010). BATAN juga telah mengembangkan teknik iradiasi sinar gamma untuk
menghasilkan varietas unggul sorgum manis.
Produksi bioetanol dari sorgum manis dapat ditingkatkan lagi apabila
kemampuan ratun dari sorgum manis dimanfaatkan secara optimal (Efendi dan
Pabendon 2010). Lebih lanjut, Efendi dan Pabendon (2000) memaparkan bahwa bobot
203
biomas segar tanaman primer mencapai 43,0 t/ha, kemudian pada pertanaman ratun
masih mampu menghasilkan biomas 22,6 t/ha. Potensi ratun sangat menjanjikan
utamanya pada lahan kering dimana tanaman palawija lain sudah tidak bisa tumbuh
(Tsuchihashi dan Goto 2004).
terus
menunjukkan
penurunan,
tetapi
terjadi
peningkatan
untuk
Luas
panen yang dicapai pada tahun 2011 masih lebih rendah dibandingkan tahun 2005.
Peningkatan luas panen terjadi mulai tahun 2009 hingga 2011 yang mencapai lebih
dari 20 % per tahun. Hal ini akan terus meningkat dengan perkembangan tanaman
sorgum yang diusahakan oleh Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
sebagai pangan, pakan dan energi alternatif. Luas panen yang dilaporkan oleh salah
satu BUMN (PTPN XII) pada tahun 2013 mencapai 1.154 ha dan akan terus
dikembangkan menjadi 3.000 ha pada tahun 2014 (Anonimus 2013).
Tabel 1. Keragaan Luas Panen dan Produksi Sorgum di Indonesia Tahun 2005-2011
Tahun
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Produktivitas (ku/ha)
16,7
18,3
17,9
18,8
27,3
19,2
21,3
204
Produksi (ton)
6.114
5.399
4.241
4.553
6.172
5.723
7.695
Rata-rata produktivitas dan produksi mulai tahun 2005 hingga 2011 menunjukkan
peningkatan setiap tahun sebesar 6,5 dan 6,2 %. Peningkatan produktivitas dan
produksi sorgum tertinggi terjadi pada tahun 2009 sebagai akibat dari musim kemarau
yang relatif panjang. Badan Litbang Pertanian telah melepas 11 varietas sorgum
dengan potensi hasil mencapai 6 t/ha dan dapat beradaptasi pada lahan marjinal
(Puslitbangtan, 2009). Peluang untuk meningkatkan produksi melalui peningkatan
produktivitas masih sangat besar karena hingga sekarang produktivitas yang telah
dicapai baru sebesar 60 % dari potensi hasil masing-masing varietas baru. Penyebab
utama produktivitas hasil sorgum hingga sekarang adalah penggunaan benih kurang
berkualitas dan pemeliharaan tanaman yang kurang optimal. Sorgum memiliki potensi
hasil yang relatif lebih tinggi dibanding padi, gandum dan jagung. Bila kelembaban
tanah saat pertumbuhan bukan merupakan faktor pembatas, hasil produksi dapat
melebihi 7 t/ha (Hoeman 2008). Sorgum dikenal mempunyai ketahanan terhadap
kekeringan dengan kebutuhan air 300-400 mm (House 1985; FAO 2001). Selain itu,
sorgum juga memiliki sifat yang lebih tahan terhadap genangan air, kadar garam tinggi
dan keracunan aluminium (House 1985).
persen. Pergeseran wilayah utama penghasil sorgum dari pulau Jawa kepada wilayah
Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tenggara dan Selatan disebabkan persaingan antar
komoditas terutama tanaman semusim, kesesuaian agroekologi lahan kering, sistem
irigasi terbatas/tadah hujan dan peluang integrasi dengan sektor peternakan dan
bahan baku industri.
Sebaran luas panen tanaman sorgum di Indonesia hingga bulan April 2013
dapat dibagi kedalam dua wilayah yaitu wilayah timur yang meliputi Nusa Tenggara
dan Sulawesi, serta wilayah barat yang meliputi Pulau Jawa dan Sumatra. Luas panen
di wilayah Nusa Tenggara mencapai 15.414 ha yang tersebar pada 3 (tiga) kabupaten
di wilayah Nusa Tenggara Barat dan 14 kabupaten di Wilayah Nusa Tenggara Timur
(Dinas Pertanian Tanaman Pangan NTT). Wilayah penghasil sorgum yang berada di
Nusa Tenggara Barat terletak pada kabupaten Dompu, Bima dan Sumbawa dengan
total luas 68 ha. Tanaman sorgum di wilayah ini relatif tidak begitu luas hanya sebagai
tanaman pelengkap agar lahan tidak bero. Status sorgum belum dimanfaatkan di luar
pangan. Sebagian besar petani yang menanam sorgum digunakan untuk pangan.
Sulawesi Tenggara
Jumlah
Nusa Tenggara Timur
Kabupaten
Bone
Luwu Timur
Sidenreng Rappang
Jumlah
Konawe Selatan
Lembata
Flores Timur
Ngada
Alor
Ende
Nagekeo
Rote Ndao
Sikka
TTS
Manggarai
TTU
Belu
Sumba Barat Daya
Kupang
Sumba Timur
Jumlah
Dompu
Bima
Sumbawa
Jumlah
206
207
komponen hasil tanaman (Arief dan Zubachtirodin 2012). Penyediaan benih sorgum di
tingkat petani secara berkelanjutan dengan mutu terjamin bukanlah hal yang mudah.
Hasil studi di Nusa Tenggara Timur, faktor kemampuan petani dalam memproduksi
benih, ketersediaan fasilitas penyimpanan serta pasar yang tidak jelas mempengaruhi
kemampuan petani atau penangkar untuk menyediakan benih sorgum (Subagyo dan
Syuryawati 2013).
Monyo et al. (2003) menganalisis system produksi benih di Afrika Selatan dan
membaginya kedalam dua aspek, yaitu (1) formal, terdiri atas badan penelitian
pemerintah, badan usaha milik swasta yang memproduksi dan memasarkan benih,
dan badan yang bertanggungjawab terhadap sertifikasi dan pengawasan mutu benih,
(2) informal, terdiri atas sejumlah petani yang memproduksi benih local atau varietas
introduksi, memasarkan sendiri hasilnya, dan melakukan ujicoba terhadap varietas
yang diproduksinya. Monyo et al (2003) lebih lanjut membagi system perbenihan
formal menjadi dua yaitu (1) model state/parastatal dimana peneliti menyediakan benih
penjenis untuk diperbanyak di kebun milik petani atau penangkar dengan system
kontrak, serta (2) model swasta dimana peneliti menyiapkan benih untuk diperbanyak
oleh pihak swasta dan petani yang bekerjasama dengan swasta.
Dalam sistem perbenihan di Indonesia, Balai Penelitian Komoditas/ Balai
Penelitian Tanaman Serealia (Balitsereal) diberikan kewenangan untuk melakukan
program pemuliaan/pembentukan varietas unggul sorgum termasuk menyediakan
benih sumbernya. Balitsereal diberikan mandat untuk menyediakan benih sumber
khususnya benih kelas BS (breeder seed) dan Foundation Seed (FS). Selanjutnya
benih di kirim ke Dinas Pertanian Provinsi dibawah koordinasi Direktorat Jenderal
Tanaman Pangan untuk diperbanyak menjadi benih klas SS (Stock seed) di BBI/BBU.
Benih yang diproduksi oleh BBI/BBU disebar ke penangkar yang telah terlatih untuk
memproduksi benih klas ES (Extension seed) yang siap dipasarkan ke pengguna
(Bahtiar et al. 2007). Model produksi benih yang relatif panjang menyulitkan untuk
kontrol kualitas benih. Saenong et al. (2005) menyatakan bahwa penangkar yang
dibina dengan baik mampu menghasilkan benih kelas SS sementara BBU dapat
menghasilkan benih kelas FS.
Namun saat ini, peran BBI, khususnya dalam penyediaan benih sorgum sangat
terbatas. Pemerintah juga belum menempatkan sorgum sebagai prioritas dalam
program perluasan areal tanam dengan alasan sorgum bukan kebutuhan pokok,
sehingga perluasan sorgum tidak masuk dalam rencana strategis dan belum ada
anggaran khusus (Direktorat Serealia, 2013). Mengingat peran BBI sangat strategis,
maka sangat besar pengaruhnya terhadap laju pengembangan komoditas sorgum di
209
Indonesia. Data distribusi benih sumber sorgum kelas BS selama periode 2008-2013
disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Jumlah benih kelas BS yang telah didistribusikan UPBS Balitsereal selama
periode 2008-2013
Varietas
Numbu
Kawali
UPCA-S1
Jumlah
Wilayah
penyebaran
2008
234
213
85
532
Jabar,
Kaltim,
SUlsel,
NTT,
NTB
2009
13
18
3
34
DIY,
Kaltim,
NTT,
Sulsel,
Jabar,
Papua
selatan
Selama
peiode
2008-2012,
minat
stakeholder
untuk
mengembangkan
komoditas sorgum masih minim. Hal ini terlihat dari kecilnya permintaan benih sumber
oleh BBI, BPTP dan mitra lainnya, meski Balitsereal telah menyiapkan benih sumber
dalam jumlah besar setiap tahunnya. Data penyebaran/distribusi benih selama periode
2008-2012 hanya mencapai 847 kg atau 169 kg setiap tahun. Selain itu, benih kelas
BS yang disebarkan hanya sebagian kecil yang diperbanyak menjadi benih kelas
dibawahnya, itupun tidak sampai SS atau ES. Bahkan tidak menutup kemungkinan dari
benih kelas BS langsung ditanam sekali saja dan menjadi konsumsi atau pakan ternak.
Hasil pengamatan di sejumlah provinsi di kawasan timur Indonesia menunjukkan
hampir semua BBI tidak mempunyai program perbanyakan benih dan pengembangan
komoditas sorgum. Hal ini diduga karena berkurang atau tidak adanya permintaan
akan sorgum oleh pengguna khususnya petani.
Seiring maraknya kajian pengembangan industri bioetanol dari sorgum yang
diprakarsai oleh Menteri BUMN pada akhir Tahun 2012, permintaan benih sumber pun
kembali meningkat pesat. Kementerian BUMN berencana untuk mengembangkan pilot
project pengembangan sorgum di NTT, Sulawesi Tenggara, Jawa Timur, DIY dan
Sulawesi Selatan Data UPBS 2013 menunjukkan permintaan benih kelas BS mencapai
61.000 kg dari Kementerian BUMN. Benih kelas BS selanjutnya diperbanyak menjadi
kelas dibawahnya sebelum ditanam untuk produksi biji, biomas maupun bioetanol pada
areal >10.000 ha pada Tahun 2014. Balitsereal juga tengah menyiapkan calon varietas
210
sorgum manis untuk mendukung kegiatan eksplorasi potensi energi terbarukan yang
tengah dicanangkan pemerintah. Oleh karena itu, dibutuhkan sinergi antara
kementerian terkait, baik itu Kementerian Pertanian, BUMN dan Perguruan Tinggi agar
pengembangan sorgum lebih focus, bukan hanya untuk pangan semata tetapi dalam
bentuk diversifikasi usaha, diantaranya pakan ternak, sirup, bioetanol dan lain-lain
sehingga nilai ekonomi sorgum akan meningkat dan pada akhirnya mampu bersaing
dengan komoditas unggulan lainnya.
promosi
industri
berbasis
bahan
bakar
nabati.
Industri/pabrik
semen
211
menghindari
terjadinya
kompetisi
dalam
penggunaan
lahan
maka
pengembangan sorgum dapat diarahkan pada lahan marjinal dan lahan non
produktif lainnya. Wilayah timur Indonesia seperti NTB, NTT, Sulsel, Sultra dan
Papua mempunyai prospek yang sangat baik untuk pengembangan sorgum
terintegrasi mengingat ketersediaan lahan yang masih luas.
KESIMPULAN
1.
2.
Pada periode 1980-2013 telah dilepas 11 varietas unggul sorgum dengan daya
hasil cukup tinggi, berumur genjah serta daya adaptasi yang luas telah
berkontribusi dalam peningkatan produksi nasional. Selain itu terdapat sejumlah
calon varietas sorgum manis yang akan rilis Tahun 2013 diharapkan dapat
berperan dalam pengembangan industri etanol berbasis sorgum di Indonesia.
3.
sorgum dapat diarahkan pada lahan marjinal serta lahan non produktif lainnya
yang banyak tersebar di wilayah timur Indonesia.
4.
213
Prasad, S., A. Singh, N. Jain and H. C. Hoshi., 2007. Ethanol Production from sweet
sorghum syrup for utilization as automotive fuel in India. Energy Fuel 21:24152420
Reddy BVS, Rao Prakasha, Deb UK, Stenhouse JW, Ramaiah B and Ortiz R. 2004.
Global sorghum genetik enhancement processes at ICRISAT. Pages 65-102 in
Sorghum genetik enhancement: research process, dissemination and impacts
(Bantilan MCS, Deb UK,Gowda CLL, Reddy BVS, Obilana AB and Evenson
RE, eds.). Patancheru 502 324, Andhra Pradesh, India: International Crops
Research Institute for the Semi-Arid Tropics
Roesmarkan, S., Subandi dan E. Muchlis., 1985. Hasil Penelitian Pemuliaan Sorgum.
Risalah Rapat Teknis Puslitbangtan, Bogor 1985.
Shoemaker, C.E., and D.I. Bransby. 2010. The role of sorghum as a bioenergy
feedstock. In: R. Braun, D. Karlen, and D. Johnson, editors, Sustainable
alternative fuel feedstock opportunities, challenges and roadmaps for six U.S.
regions, Proceeedings of the Sustainable Feedstocks for Advance Biofuels
Workshop, Atlanta, GA. 2830 September. Soil and Water Conserv. Soc.,
Ankeny, IA. p. 149159.
Sholihin, 1996. Evaluasi galur-galur harapan sorgum di Jawa Timur. Hasil Penelitian
Balitjas, 1995/1996. Balai Penelitian Tanaman Serealia.
Sirappa, M. P., 2003.
Prospek Pengembangan sorgum di Indonesia sebagai
alternative komoditas untuk pangan, pakan dan industri. Jurnal Litbang
Pertanian 22 (4)
Sumarni Singgih., Muslimah Hamdani., 1998. Evaluasi Daya Hasil Galur Sorgum.
Risalah Penelitian Jagung dan Serealia Lain, Balai Penelitian Tanaman Jagung
dan Serealia Lain, Maros Sulawesi Selatan.
Unit Pengelola Benih Sumber Balitsereal, 2013. Laporan Produksi dan Distribusi Benih
Jagung, Sorgum dan Gandum Tahun 2013. Balai Penelitian Tanaman Serealia,
Maros Sulawesi Selatan
214