Analisis Filhum Kelompok 40 Orang
Analisis Filhum Kelompok 40 Orang
Analisis Filhum Kelompok 40 Orang
ekspos
dengan
resume
pemeriksaan
Laporan
Harta
Kekayaan
Penyelenggara Negara (LHKPN) pada Juli 2013. Alhasil, KPK menyimpulkan telah
terjadi peristiwa pidana dan perkara BG ditingkatkan ke penyelidikan. KPK menduga
transaksi mencurigakan yang dilakukan BG terkait dengan dugaan penerimaan hadiah
atau janji.
10 Januari 2015
Presiden Joko Widodo memilih BG sebagai kandidat tunggal Kapolri menggantikan
Sutarman1. Dalam menentukan ini, Presiden hanya menerima rekomendasi Kompolnas,
seperti yang tercantum dalam Undang-Undang No.2 Tahun 200 tentang Kepolisian.2
13 Januari 2015
KPK mengumumkan BG sebagai tersangka korupsi saat ia menjabat Kepala Biro
Pembinaan Karier Deputi Sumber Daya Manusia Polri periode 2003-2006 dan jabatan
lainnya di kepolisian. Ketua KPK mengatakan Komjen BG sejak lama sudah
mendapatkan catatan merah dari KPK3.
1
Fidel Ali Permana, Presiden Joko Widodo Tunjuk Budi Gunawan sebagai Calon Kapolri,
http://nasional.kompas.com/read/2015/01/10/00082341/Presiden.Joko.Widodo.Tunjuk.Budi.Gunawan.seb
agai.Calon.Kapolri diunduh pada Selasa, 28 April 2015 pukul 10:15 WIB
2
Sabrina Arsil, Istana Benarkan Penunjukan Budi Gunawan sebagai Calon Tunggal Kapolri,
http://nasional.kompas.com/read/2015/01/10/09271501/Istana.Benarkan.Penunjukan.Budi.Gunawan.seba
gai.Calon.Tunggal.Kapolri, di unduh pada Selasa, 28 April 2015 pukul 11:12 WIB
3
14 Januari 2015
BG dinyatakan lulus uji kelayakan dan kepatutan oleh Komisi III DPR.
15 Januari 2015
Rapat Paripurna DPR menetapkan Komjen BG sebagai calon Kapolri menggantikan
Jenderal Sutarman, pada Kamis (15/01) siang. Keputusan Sidang Paripurna itu
didukung oleh delapan fraksi yaitu PDI-P, Golkar, Gerindra, PKS, PKB, Nasdem,
Hanura, dan PPP. Sementara Fraksi Demokrat dan PAN meminta DPR menunda
persetujuan dengan sejumlah pertimbangan, antara lain adanya penetapan tersangka BG
oleh KPK.
19 Januari 2015
BG mendaftarkan gugatan pra peradilan terkait penetapan tersangka atas dirinya
oleh KPK ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
22 Januari 2015
Kuasa Hukum BG melaporkan para komisioner KPK ke Badan Reserse Kriminal
Mabes Polri dengan tuduhan membocorkan rahasia negara berupa laporan Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK ) terhadap rekening BG dan
keluarganya. Pada hari yang sama, PLT Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto memberikan
pernyataan publik bahwa Abraham Samad pernah mengutarakan ambisi menjadi calon
Wakil Presiden dan menuduh BG menggagalkan ambisinya.
25 Januari 2015
Jokowi membentuk tim 9 untuk membantu mencarikan solusi ketegangan KPKPolri.
28 Januari 2015
Tim 9 mengusulkan kepada Presiden Joko Widodo untuk mencabut pencalonan
Komjen BG sebagai Kapolri, karena beliau sudah ditetapkan KPK sebagai tersangka
dalam kasus dugaan korupsi. Alasan karena dia telah berstatus tersangka sehingga
bukan hanya rule of law tetapi juga rule of ethics yang harus dijadikan pegangan. Tim
bentukan Presiden ini memberikan usulannya untuk mendesak Jokowi agar segera
bertindak agar keadaan negara tidak terombang-ambing.
2 Februari 2015
Sidang gugatan pra peradilan Budi Gunawan dimulai di Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan.
16 Februari 2015
Majelis Hakim PN Jakarta Selatan mengabulkan gugatan BG dan menyatakan
penetapannya sebagai Tersangka tidak sah dan tidak bersifat mengikat secara hukum.
Adapun alasan Hakim mengabulkan gugatan BG, yakni :
a) Penetapan Tersangkan merupakan salah satu upaya paksa;
b) BG ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK berdasarkan Sprindik nomor
03/01/01/2015 pada 12 Januari 2015 dalam kapasitasnya sebagai Kepala Biro
Pengembangan Karir Deputi SSDM Polri, yang peristiwa pidana itu dilakukan
dalam rentang tahun 2003-2006.
c)
Penasehat KPK, serta seorang atau lebih nara sumber yang berasal dari luar
KPK. Nara sumber tersebut ditentukan oleh gabungan Pimpinan dan Penasehat
KPK.
KPK sebagai lembaga yang berwenang memberantas korupsi di Indonesia diatur
dalam beberapa aturan hukum positif, yaitu :
a) Ketetapan MPR RI No.VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah
Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Pasal 2 angka 6 huruf a Tap MPR RI No.VIII/MPR/2001, yaitu: Arah
kebijakan pemberantasan korupsi, kolusi dan npotisme adalah membentuk
undang-undang
beserta
peraturan
pelaksanaannya
untuk
membantu
Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Jakarta :
Rajawali Press, 2001,hlm. 97.
5
Adiwinata, Istilah Hukum Latin Indonesia, PT. Intermesa, Jakarta, Cet. 1, 1997, hlm.63.
6
Arif Wicaksono,
Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam Sistem
Ketatangearaan Republik Indonesia. http://fh.undip.ac.id.perpus , diakses pada tanggal 23 April 2015.
Dalam kasus ini, KPK seharusnya menyurati Presiden terlebih dahulu yang
menyatakan bahwa BG terlibat dalam kasus tindak pidana korupsi sehingga ditetapkan
jadi tersangka meski tim penulis tidak menemukan ketentuan positif yang secara
eksplisit melarang penetapan tersangka seseorang diumumkan kepada khalayak umum
(media massa)7. Selain itu, KPK juga seharusnya meminta usulan Presiden terkait hal
itu. Usulan yang merupakan rekomendasi tersebut dapat dijadikan pertimbangan KPK
terhadap proses penetapan tersangka BG. Selain memperhatikan dan menghormati
usulan Presiden, KPK juga harus mempertimbangkan gejolak di masyarakat Indonesia
sebagai dampak dari penetapan tersangka BG yang notabene merupakan calon Kapolri
yang diusulkan oleh Presiden. KPK juga tidak menerbitkan surat penetapan tersangka
kepada Budi Gunawan sebelum mengumumkannya di media massa. Hal ini jelas KPK
telah melanggar pertanggungjawaban jabatan yang seharusnya melaporkan terlebih
dahulu kepada Presiden tapi KPK tidak melakukannya. Oleh karena itu, tindakan KPK
tersebut menimbulkan perdebatan di masyarakat karena ketidak-etisan KPK dalam
mengumumkan penetapan tersangka Budi Gunawan di media massa. Menurut ahli
hukum I Gede Panca Astawa menyatakan bahwa tidak etis dalam menetapkan orang
yang telah dinyatakan bersih oleh suatu lembaga hukum, kemudian dijadikan tersangka
oleh penegak hukum lainnya.8 Dengan demikian, diharapkan preseden buruk terhadap
lembaga-lembaga dan pihak-pihak bersangkutan akan jauh tereduksi, dan martabat
masing-masing lembaga akan jauh lebih terjaga. Di sisi lain, bilamana ditinjau secara
teoritis, dengan landasan normative ethics yang menghendaki adanya suatu landasan
mengenai apa yang benar dan yang salah, sebenarnya sudah dapat disimpulkan bahwa
KPK sudah melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dijadikan
acuan dalam bertindak sebagaimana diangkat dalam kode etiknya sendiri.
Ambaranie Nadia, Kaligis : KPK Sewenang Wenang Tetapkan BG sebagai Tersangka, dari
media
online
Kompas
News
diakses
pada
hari
Selasa,
28
April
2015
di
http://nasional.kompas.com/read/2015/02/15/1629092/Kaligis.KPK.Sewenangwenang.Tetapkan.BG.sebagai.Tersangka.
Tiap tindakan yang dilakukan oleh para penegak hukum atau pejabat
administrasi negara, sebelum menjalankan tugasnya harus terlebih dahulu dilekatkan
dengan suatu kewenangan yang sah berdasarkan peraturan perundang undangan.
Wade dalam hal ini mengatakan bahwa pada dasarnya untuk menghindari abuse of
power , maka semua kekuasaan dibatasi oleh hukum atau peraturan perundang
undangan.9 Oleh karena itu, dasar kewenangan KPK dalam menjalankan kewajibannya
yakni tugas yang diamanatkannya terdapat pada Undang Undang Nomor 32 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Undang Undang
tersebut diatur mengenai pembatasaan kekuasaan dalam kewenangan KPK di setiap
tindakan hukum yang dilakukannya. Berdasarkan uraian di atas, tim penulis
berpendapat bahwa pernyataan KPK terhadap penetapan tersangka BG akan menjadi
etis apabila didahului dengan memperhatikan dan menghormati usulan atau
pertimbangan dari Presiden, di mana dalam hal ini penggunaan wewenang KPK
dilakukan untuk tujuan lain di luar kewajiban dan tujuan diberikannya wewenang KPK,
merupakan suatu bentuk tindakan penyalahgunaan wewenang atau abuse of power10.
Seharusnya dalam hal ini KPK sebagai lembaga yang independen yang
tanggungjawab atas segala tindakan kepada presiden tidak bertindak sendiri dalam
melakukan tindakan hukum, harus ada pertimbangan dari Presiden terhadap tindakan
yang dilakukan KPK karena dalam hal ini kedudukan KPK berada dibawah presiden
secara langsung. KPK telah gegabah dalam Dengan demikian, seharusnya KPK lebih
berhati hati dalam melakukan penetapan tersangka sebagai status hukum kepada
siapapun itu.
D. KESIMPULAN
E. SARAN
H.W.R Wade & C.F. Forsyth, Administrative Law, 7th ed, New York : Oxford University Press,
1994), hlm. 379.
10
http://www.beritasatu.com/hukum/249310-oc-kaligis-kpk-melakukan-penyalahgunaanwewenang-dalam-penetapan-bg-jadi-tersangka.html diakses pada Rabu, 29 April 2015 pukul 21.55 WIB.