Lapsus Kejang Demam
Lapsus Kejang Demam
I.
II.
IDENTITAS PASIEN
Nama
: An. P
Usia
: 1 tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Alamat
: Secang, Magelang
Suku bangsa
: Jawa
Agama
: Islam
ANAMNESIS
Didapatkan keterangan dari ibu pasien (allo anamnesis) pada tanggal 5-1-2015.
Keluhan Utama
: kejang demam
Keluhan Tambahan
Penyakit
Keterangan
Disangkal
Disangkal
Disangkal
Disangkal
Disangkal
Perawatan antenatal
Penyakit kehamilan
: tidak ada
Kelahiran
Persalinan
: di klinik bersalin
Penolong persalinan
: Bidan
Cara persalinan
: Normal pervaginam
Masa gestasi
: 38 minggu
Keadaan bayi
= 2800 gr
Panjang badan
= tidak tahu
Lingkar kepala
= tidak tahu
Nilai APGAR
= Tidak tahu
Kelainan bawaan
= Tidak ada
RIWAYAT IMUNISASI
Ibu pasien mengakui anaknya imunisasi lengkap.
RIWAYAT PENYAKIT DALAM KELUARGA
Ayah : menyangkal memiliki riwayat alergi ataupun asma
Ibu
III.
PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan tanggal
: 5-1-2015
Pemeriksaan Umum
Keadaan Umum
Kesadaran
: Compos Mentis
Tanda Vital
Laju nadi
Laju pernapasan
Suhu
: 108 x/menit
: 28 x/menit
: 37 0C
Data Antropometri
Berat badan
: 9.5 kg
Kepala
: Normocephali
Rambut
Mata
Telinga
Hidung
Mulut
Lidah
: tidak kotor
Tenggorokan
Leher
Thorax
o Cor
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS V tidak kuat angkat
Perkusi :
Batas kanan atas : sela iga II linea parasternalis dekstra
Batas kanan bawah : sela iga IV linea parasternalis dekstra
Batas kiri atas
: sela iga II linea parasternalis sinistra
Batas kiri bawah : sela iga IV linea midclavicularis sinistra
Auskultasi : BJ I/II normal, murmur (-), gallop (-)
o Pulmo
Inspeksi : Simetris saat statis dan dinamis, Retraksi (+)
Palpasi : simetris kanan dan kiri +/+
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler, Ronki basah +/+, Wheezing -/-
Abdomen
Inspeksi
Palpasi
: Supel, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-) Turgor <2detik
Perkusi
Auskultasi
Ekstremitas : Akral hangat, capillary refill time <2 detik, edema (), sianosis ()
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium tangga 6/1/2015
Hematologi
Parameter
Hasil
Nilai Rujukan
Hemoglobin
10.2 g/dL
13-16 g/dl
Leukosit
5.500 /uL
5.000-10.000 /uL
Trombosit
156.000 /uL
150.000-400.000/uL
Hematokrit
Eritrosit
30.6 %
4.11 juta/uL
37-43 %
3.5-5.5 juta/ul
V. DIAGNOSA KERJA
Kejang demam
2. Urin lengkap
3. GDA
IX. PENATALAKSANAAN
IGD
BANGSAL
Clatax 3x1/3 gr
Valium 3mg IV kp
Kalmetasone 3x amp
Ranitidin 2x amp
Sanmol 125 mg
XI. FOLLOW UP
Tanggal
6/1/2015
H+1
Subjek
Kejang (-)
Demam (-)
Muntah (-)
BAB/BAK (+)
MA/MI (+)
Objek
Assaemen
Ku/kes/GCS:
E4V5M6
Sedang-
Kejang
Planning
demam
compos
NS 1000cc /
24 jam
Clatax 3x1/3
gr
Valium 3mg
IV kp
Kalmetasone
3x amp
Ranitidin 2x
amp
Sanmol 125
mg
Stesolit 0,3
mg puyer 3x1
Dl, ul,
mentis
Vital sign :
N : 124 x/menit
RR : 24 x/menit
S: 37.20C
K/L : A/I/C/D
-/-/-/-
mata
elektrolit,
GDA
+,
Bibir kering (-),
lidah
IVFD D5
kotor
(-)
supel,
BU
(+)
normal, NT (-)
Ekstermitas : dbn
7/1/2015
H+2
Kejang (-)
Demam (-)
Muntah (-)
BAB/BAK (+)
MA/MI (+)
Ku/kes/GCS:
E4V5M6
Sedang-
Kejang
demam
compos
NS 1000cc /
24 jam
Clatax 3x1/3
gr
Valium 3mg
IV kp
Kalmetasone
3x amp
Ranitidin 2x
amp
Sanmol 125
mg
Stesolit 0,3
mentis
Vital sign :
N : 122 x/menit
RR : 24 x/menit
S: 360C
K/L : A/I/C/D
-/-/-/-
mg puyer 3x1
mata
kotor
IVFD D5
(-)
BU
(+)
normal, NT (-)
Ekstermitas : dbn
8/1/2015
Ku/kes/GCS:
E4V5M6
BLPL
demam
H+3
Sedang-
Kejang
compos
NS 1000cc /
24 jam
Clatax 3x1/3
gr
Valium 3mg
IV kp
Kalmetasone
3x amp
Ranitidin 2x
amp
Sanmol 125
mg
Stesolit 0,3
mentis
Vital sign :
N : 122 x/menit
RR : 28 x/menit
S: 360C
K/L : A/I/C/D
-/-/-/-
mg puyer 3x1
mata
kotor
(-)
IVFD D5
Pulmo : Sd ves +/
+, wheezing -/-,
Ronchi -/Abdomen : datar,
supel,
BU
(+)
normal, NT (-)
Ekstermitas : dbn
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Definisi
Kejang demam didefinisikan sebagai bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (380C, rektal), biasanya terjadi pada bayi dan anak antara umur 6 bulan dan 5 tahun, yang
disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium, dan tidak terbukti adanya penyebab tertentu. Anak
yang pernah mengalami kejang tanpa demam tidak termasuk dalam batasan ini.
Definisi ini menyingkirkan kejang yang disertai penyakit saraf seperti meningitis,
ensefalitis, atau ensefalopati. Kejang pada keadaan ini mempunyai prognosis berbeda dengan
kejang demam karena keadaan yang mendasarinya mengenai sistim susunan saraf pusat. Kejang
demam harus dibedakan dengan epilepsy, yaitu ditandai dengan kejang berulang tanpa demam.
II.2. Epidemiologi
Kejadian kejang demam diperkirakan 2-4% di Amerika Serikat, Amerika Selatan dan
Eropa Barat. Di negara Asia dilaporkan lebih tinggi. Kira-kira 80% dan mungkin mendekati 90%
dari seluruh kejang demam adalah kejang demam sederhana. Beberapa studi prospektif
menunjukkan bahwa kira-kira 20% kasus merupakan kejang demam kompleks. Umumnya
kejang demam timbul pada tahun kedua kehidupan (17-23 bulan). Kejang demam sedikit lebih
sering pada anak laki-laki.
Faktor risiko kejang demam pertama
Studi telah memperlihatkan bahwa tingginya temperature merupakan factor risiko untuk
terjadinya kejang demam, seperti halnya riwayat kejang demam pada orang tua atau saudara
kandung. Perkembangan terhambat, problem pada masa neonates, dan anak dalam perawatan
khusu juga merupakan factor risiko. Rendahnya kadar natrium serum juga mempunyai korelasi
dengan kejadian kejang demam. Bila seorang anak mempunyai 2 atau lebih factor risiko tersebut
diatas, maka risiko untuk mendapatkan kejang demam kira-kira 30%.
demam juga merupakan factor risiko. Riwayat keluarga dengan epilepsy dilaporkan juga sebagai
risiko oleh beberapa peneliti tetapi tidak oleh peneiliti lain. Usia dini saat kejang demam dan
riwayat kejang dalam keluarga merupakan factor risiko yang kuat untuk timbulnya rekurensi.
Rekurensi lebih sering bila serangan pertama terjadi pada bayi berumur kurang dari 1 tahun,
yaitu sebanyak 50% dan bila terjadi pada usia lebih dari 1 tahun risiko rekurensi menjadi 28%.
Faktor genetik
Faktor genetik tampaknya sangat kuat, meskipun cara diturunkannya belum jelas, tetapi
diduga cara autosomal dominan sederhana banyak yang disebut-sebut. Kejang demam cenderung
terjadi dalam keluarga, meskipun belum jelas diketahui cara diturunkannya. Pada anak dengan
kejang demam sering dijumpai keluarganya mempunyai riwayat kejang demam. Tingginya
kejadian epilepsy dalam keluarga yang mempunyai anak dengan kejang demam tidak
sepenuhnya terbukti. Risiko epilepsy juga tinggi pada saudara kandung yang mempunyai kejang
demam, tetapi tidak untuk saudara yang lain.
Orang tua mungkin menanyakan kemungkinan risiko kejang demam untuk anak yang
lainnya, dan ini kira-kira 10-20% akan lebih tinggi jika orang tuanya mempunyai riwayat kejang
demam.
II.3. Patofisiologi/Etiologi
Mengapa seorang anak yang menderita demam dapat mengalami kejang sedangkan anak
yang lain tidak, hingga kini masih belum diketahui dengan pasti. Meskipun demikian faktor
suhu, infeksi, dan umur secara bersamaan memegang peranan yang penting. Berbagai hipotesis
telah diajukan, antara lain bahwa secara genetika ambang kejang pada anak berbeda-beda dan
akan turun pada kenaikan suhu tubuh.
Demam pada kejang demam sering disebabkan oleh infeksi yang umum terdapat pada
anak seperti tonsillitis, infeksi traktus respiratorius (38-40% kasus), otitis media (15-23%), dan
gastroenteritis akut (7-9%). Anak usia prasekolah seringkali mendapat infeksi ini dan disertai
demam, yang bila dikombinasikan dengan ambang kejang yang rendah, makan anak tersebut
akan mudah mendapatkan kejang. Hanya 11% anak dengan kejang demam mengalami kejang
pada suhu <37,90C, 14-40% kejang terjadi pada temperature antara 38 0C dan 38,90C, dan 4050% pada temperature antara 390C dan 39,90C.
II.4. Klasifikasi
Dahulu Livingstone membagi kejang demam menjadi dua golongan, yaitu kejang demam
sederhana (simple febrile convulsion) dan epilepsi yang diprovokasi oleh demam (epilepsy
triggered off by fever). Definisi ini tidak lagi digunakan karena studi prospektif epidemiologi
membuktikan bahwa risiko berkembangnya epilepsy atau berulangnya kejang tanpa demam tidak
sebanyak yang diperkirakan.
Kriteria Livingstone
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Akhir-akhir ini kejang demam diklasifikasikan menjadi 2 golongan, yaitu kejang demam
sederhana, yang berlangsung kurang dari 15 menit, umum, dan tunggal; dan kejang demam
kompleks yang berlangsung lebih lama dari 15 menit, atau fokal, dan atau multiple (terjadi 2 kali
kejang atau lebih dalam 24 jam). Dalam hal ini anak sebelumnya dapat mempunyai kelainan
neurologi atau riwayat kejang demam atau kejang tanpa demam dalam keluarga.
II.5. Manifestasi Klinis
Kejang demam biasanya terjadi pada awal demam. Seringkali diperkirakan bahwa
cepatnya peningkatan temperature merupakan pencetus untuk terjadi kejang, meskipun belum
ada data yang menunjangnya.
Umumnya serangan kejang tonik-klonik, awalnya dapat berupa menangis, kemudian
tidak sadar dan timbul kekakuan otot. Selama fase tonik mungkin disertai henti nafas dan
inkontinensia. Kemudian diikuti fase klonik berulang, ritmik dan akhirnya setelah kejang letargi
atau tidur.
Bentuk kejang lain dapat juga terjadi seperti mata terbalik ke atas dengan disertai
kekakuan atau kelemahan otot, gerakan sentakan berulang tanpa didahului kekakuan, atau hanya
sentakan atau kekakuan fokal. Serangan dalam bentuk absens atau mioklonik sangat jarang.
Sebagian besar kejang berlangsung kurang dari 5 menit, kurang dari 1% berlangsung
lebih dari 15 menit, dan 4% kejang berlangsung lebih dari 30 menit. Jadi umumnya anak tidak
kejang lagi pada waktu dibawa kedokter. Bila anak kejang lagi perlu diidentifikasi apakah ada
penyakit lain yang memerlukan pengobatan tersendiri. Perlu juga diketahui mengenai
pengobatan sebelumnya, ada tidaknya trauma, perkembangan psikomotor, dan riwayat keluarga
dengan epilepsy atau kejang demam.
Diskripsi lengkap mengenai kejang sebaiknya didapat dari orang yang melihatnya. Dari
pemeriksaan fisis, derajat kesadaran, adanya meningismus, ubun-ubun besar yang tegang atau
membonjol, tanda Kernig atau Brudzinski, kekuatan dan tonus harus diperiksa dengan teliti dan
dinilai ulang secara periodic. Kira-kira 6% anak akan mengalami rekurensi dalam 24 jam
pertama, namun belum diketahui kasus yang mana akan cepat mengalami kejang kembali.
II.6. Diagnosis
a. Anamnesis
o Adanya kejang, jenis kejang, kesadaran, lama kejang, suhu sebelum/saat
kejang, frekuensi, interval, pasca kejang, penyebab kejang diluar SSP
o Tidak ada riwayat kejang tanpa demam sebelumnya
o Riwayat kelahiran, perkembangan, kejang demam dalam keluarga, epilepsy
dalam keluarga (kakak-adik, orang tua)
o Singkirkan dengan anamnesis penyebab kejang yang lain
b. Pemeriksaan Fisis
Kesadaran, suhu tubuh, tanda rangsang meningeal, tanda peningkatan tekanan
intracranial, dan tanda infeksi diluar SSp.
c. Pemeriksaan Neurologis
Umumnya tidak dijumpai adanya kelainan neurologis, termasuk tidak ada
kelumpuhan nervi kranialis
d. Pemeriksaan Penunjang
o Pemeriksaan laboratorium dilakukan sesuai indikasi untuk mencari penyebab
kejang demam. Pemeriksaan dapat meliputi: darah perifer lengkap, gula darah,
elektrolit serum, ureum, kreatinin, urinalisis, biakan darah, urin, atau feses.
o Pungsi lumbal sangat dianjurkan pada anak dibawah umur 12 bulan,
dianjurkan pada umur 12-18 bulan, dan dipertimbangkan pada anak berumur
di atas 18 bulan, atau dicurigai menderita meningitis.
o Elektroensefalografi dipertimbangkan pada keadaan kejang demam kompleks,
kejang fokal, kesadaran menurun.
o Pemeriksaan pencitraan (CT scan atau MRI kepala) dapa diindikasi pada
keadaan:
Adanya riwayat atau tanda klinis trauma kepala
II.7. Tatalaksana
Pada tatalaksana kejang demam ada 3 hal yang perlu dikerjakan, yaitu pengobatan fase
akut, mencari dan mengobati penyebab, pengobatan profilaksis terhadap berulangnya kejang
demam.
Pengobatan fase akut
Pada sebagian kasus kejang demam, seringkali kejang berhenti sendiri. Dalam hal
demikian tindakan yang perlu dilakukan ialah mencari penyebab demam, dan memberikan
pengobatan yang adekuat terhadap penyebab tersebut. Untuk mencegah agar kejang tidak
berulang kembali sebaiknya diberikan profilaksis antikonvulsan karena kejang masih dapat
kambuh selama anak masih demam.
Pada anak yang sedang mengalami kejang, dilakukan perawatan yang adekuat. Penderita
dimiringkan agar jangan terjadi aspirasi ludah atau lender dari mulut. Jalan nafas dijaga agar
tetap terbuka, agar suplai oksigen tetap terjamin. Bila perlu diberikan oksigen. Fungsi vital,
keadaan jantung, tekanan darah, kesadaran perlu di ikuti dengan seksama. Suhu yang tinggi
harus segera diturunkan dengan kompres dan pemberian antipiretik.
Kejang harus segera dihentikan, untuk mencegah agar tidak terjadi kerusakan pada otak
atau meninggalkan gejala sisa atau bahkan kematian. Obat yang paling cepat untuk
menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena atau intrarektal. Dosis
intravena 0,3-0,5 mg/kg diberikan perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit dengan dosis
maksimal 20 mg. Apabila sukar mencari vena dapat diberikan diazepam rectal dengan dosis 0,5
mg/kg atau 5 mg untuk berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg bila berat badan lebih dari 10
kg.
Apabila kejang belum berhenti, 5 menit kemudian dapat diulangi lagi pemberian
diazepam dengan dosis dan cara yang sama. Bila kejang tidak berhenti, diberikan fenitoin
dengan dosis awal 10-20 mg/kg/per drip selama 20 menit setelah dilarutkan dalam cairan NaCL
fisiologis. Dosis selanjutnya diberikan 4-8 mg/kg/hari, 12-24 jam setelah dosis awal.
Setelah kejang berhenti harus ditentukan apakah perlu pengobatan profilaksis atau tidak,
tergantung jenis kejang demam dan faktor risiko yang ada pada anak tersebut.
Pengobatan profilaksis
Profilaksis intermiten
Obat anti konvulsan hanya diberikan pada waktu penderita demam dengan ketentuan
orang tua atau pengasuh mengetahui dengan cepat adanya demam pada penderita. Obat yang
diberikan harus cepat diabsorpsi dan cepat masuk ke otak. Diazepam dapat diberikan secara oral
dengan dosis 0,3 mg/kg/kali tiap 8 jam atau intrarektal sebanyak 5 mg untuk berat badan kurang
dari 10 kg dan 10 mg bila berat badan lebih dari 10 kg, setiap penderita menunjukkan suhu
38,50C atau lebih. Efek samping diazepam (25-39%) adalah ataksia, mengantuk, iritabel, dan
hipotonia.
Obat antipiretik sering dianjurkan meskipun tidak terbukti dapat mengurangi risiko
rekurensi, tetapi efektif menurunkan suhu sehingga dapat membuat anak menjadi tenang.
American Academy of Pediatric merekomendasikan untuk tidak memberikan profilaksis
intermiten apalagi profilaksis terus menerus pada kejang demam sederahana pertama atau yang
berulang tanpa faktor risiko.
Profilaksis terus menerus
Kontroversi masih berlanjut mengenai pemberian profilaksis terus menerus pada anak
dengan kejang demam. Mengingat sebagian besar penderita kejang demam mempunyai
prognosis yang baik dan sangat rendahny komplikasi yang diakibatkan oleh kejang demam serta
pertimbangan akan efektifitas dan efek samping obat antikonvulsan, maka pemberian profilaksis
terus menerus hanya diberikan secara individual atau pada kasus tertentu saja.
Studi prospektif telah membuktikan bahwa profilaksis terus menerus dengan fenobarbital
efektif dibandingkan placebo dalam mencegah berulangnya kejang kembali, dan terlihat juga
kelompok fenobarbital mempunyai IQ 8,4 lebih rendah daripada kelompok placebo.
Obat profilaksis terus menerus yang diberikan setiap hari adalah fenobarbital 3-5
mg/kg/hari, tetapi obat ini tidak efektif untuk profilaksis intermiten. Obat lain yang digunakan
untuk profilaksis kejang demam adalah asam valproat yang sama atau bahkan lebih baik
dibandingkan fenobarbital, tetapi meskipun jarang mempunyai efek samping hepatotoksis. Dosis
asam valproat adalah 15-40 mg/kg/hari. Fenitoin dan karbamazepin tidak efektif untuk
pencegahan kejang demam.
Unit Kerja Koordinasi Neurologi Anak IDAI 2005 merekomendasikan pemberian
profilaksis terus menerus bila ada salah satu criteria di bawah ini:
1. Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan neurologis atau kelainan
perkembangan yang nyata (palsi serebral, retardasi mental, mikrosefali)
2. Kejang demam lama
3. Kejang demam fokal
4. Dapat dipertimbangkan pemberian profilaksis bila kejang demam terjadi pada bayi
berumur kurang dari 12 bulan atau terjadi kejang multiple dalam satu episode demam
atau kejang demam > 4 kali per tahun.
Lama pemberian profilaksis terus menerus yang dilanjutkan ialah 1 tahun setelah kejang terakhir,
kemudian dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan.
II.8. Pencegahan dan Pendidikan
muntahan
atau
lender
dimulut
atau
hidung.
Jangan
Daftar Pustaka
1. Dini Putro Widodo, Kejang Demam: Apa yang Perlu Diwaspadai, Penanganan Demam
pada Anak Secara Profesional, hal 58-65, Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan, Ilmu
Kesehatan Anak XLVII, Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, RS. DR. Cipto Mangunkusumo, 2005
2. Draft Panduan Pelayanan Medis, Departemen Ilmu Kesehatan Anak, RSCM, Jakarta:
Agustus 2007
3. Matondang, Wahidiyat, Sastroasmoro, Diagnosis Fisis pada Anak, edisi ke-2, hal 9, CV
Sagung Seto, Jakarta: 2003
4. Marvin A. Fishman, Febrile Seizures, Rudolphs Pediatric 20th edition, hal 1965-1966,
Prentice Hall International, Inc.
5. Behrman, Kliegman, Jenson, The Nervous System, Febrile Seizures, Nelson Textbook of
Pediatric 17th edition, hal 1994
6. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Kejang demam.
Dalam: Hasan R, Alatas H. Buku Kuliah 2 Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 9. Jakarta. Infomedika.
1985. h. 847-55