Anda di halaman 1dari 18

Serosis Hepatis

Definisi

Sirosis adalah penyakit hati kronis yang dicirikan dengan distorsi arsitektur hati normal oleh
lembar-lembar jaringan ikat dan nodul-nodul regenerasi sel hati, yang tidak berkaitan dengan
vaskulatur normal ( Price & Wilson, 2005, hal. 493).
Sirosis hati adalah penyakit kronis hati yang dikarakteristikkkan oleh gangguan struktur dan
perubahan degenerasi, gangguan fungsi seluler, dan selanjutnya aliran darah ke hati.
Penyebab meliputi malnutrisi, inflamasi (bakteri atau virus), dan keracunan (alcohol, karbon
tetraklorida, acetaminoven). (Doenges, dkk, 2000, hal. 544)
Sirosis hati adalah penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan adanya pembentukan
jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai dengan adanya proses peradangan nekrosis sel
hati yang luas, pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi nodul. Distorsi arsitektur hati
akan menimbulkan perubahan sirkulasi mikro dan makro menjadi tidak teratur akibat
penambahan jaringan ikat dan nodul tersebut (Suzanne C. Smeltzer dan Brenda G. Bare,
2001).

Etiologi

Ada 3 tipe sirosis atau pembentukan parut dalam hati :


1. Sirosis portal laennec (alkoholik nutrisional), dimana jaringan parut secara khas
mengelilingi daerah portal. Sering disebabkan oleh alkoholis kronis. Perubahan
pertama pada hati yang ditimbulkan alcohol adalah akumulasi lemak secara bertahap
di dalam sel-sel hati (ilfiltrasi lemak). Secara makroskopis hati membesar, rapuh,
tampak berlemak, dan mengalami gangguan fungsional akibat akumulasi lemak dalam
jumlah yang banyak. Pada kasus sirosis Laennec sangat lanjut, lembaran-lembaran
jaringan ikat yang tebal terbentuk pada tepian lobules, membagi parenkim menjadi
nodul-nodul halus. Nodul-nodul ini dapat membesar akibat aktivitas regenerasi dan
degenerasi yang dikemas padat dalam kapsula fibrosa yang tebal. Penderita sirosis
Laennec lebih berisiko menderita karsinoma sel hati primer (hepatoseluler)
2. Sirosis pascanekrotik, dimana terdapat pita jaringan parut yang lebar sebagai akibat
lanjut dari hepatitis virus akut yang terjadi sebelumnya. Hepatosit dikelilingi dan
dipisahkan oleh jaringan parut dengan kehilangan banyak sel hati dan diselingi
dengan parenkim hati normal. Sekitar 75% kasus cenderung berkembang dan berakhis
dengan kematian dalam 1 hingga 5 tahun. Sekitar 25 hingga 75% kasus memiliki
riwayat hepatitis virus sebelumnya. Sejumlah kecil kasus akibat intoksikasi yang
pernah diketahui adalah dengan bahan kimia industry, racun, ataupun obat-obatan
seperti fosfat, kontrasepsi oral, metal-dopa, arsenic, dan karbon tetraklorida.
3. Sirosis bilier, dimana pembentukan jaringan parut terjadi dalam hati di sekitar saluran
empedu. Terjadi akibat obstruksi bilier yang kronis dan infeksi (kolangitis).
Kerusakan sel hati dimulai dari sekitar duktus biliaris. Tipe ini merupakan 2%
pemnyebab kematian akibat sirosis. Penyebab tersering sirosis biliaris adalah
obstruksi biliaris pascahepatik. Hati membesar, kerasa, bergranula halus, dan

berwarna kehijauan. Ikterus selalu menjadi bagian awal dan utama dari sindrom ini,
pruritus, malaabsorpsi, dan steatorea.

Manifestasi Klinis

Gambaran klinis dan komplikasinya umumnya sama untuk semua tipe tanpa memandang
penyebabnya, meskipun beberapa tipe sirosis individual mungkin memiliki cirri-ciri klinis
dan biokimia yang agak berbeda. Masa dimana sirosis bermanifestasi sebagai masalah klinis
bersifat laten, dimana perubahan-perubaha patologis bersifat lambat hingga akhirnya gejalagejala yang tibul akan membangkitkan kesadaran akan kondisi selama masa laten yang
panjang, fungsi hati mengalami kemunduran secara bertahap. Manifestasi utama dan lanjut
dari sirosis merupakan akibat dari dua tipe gangguan fisiologis : gagal sel hati dan hipertensi
portal, yang masing-masing memperlihatkan gejala klinis berupa :
1. Pembesaran hati. Pada awal perjalanan sirosis, hati cenderung membesar dan selselnya dipenuhi oleh lemak. Hati tersebut menjadi keras dan memiliki tepi tajam yang
dapat diketahui melalui palpasi. Nyeri abdomen dapat terjadi sebagai akibat dari
pembesaran hati yang cepat dan baru saja terjadi sehingga mengakibatkan regangan
pada selubung fibrosa hati (kapsula Glissoni). Pada perjalanan penyakit yang lebih
lanjut, ukuran hati akan berkurang setelah jaringan parut menyebabkan pengerutan
jaringan hati. Apabila dapat dipalpasi, permukaan hati akan teraba benjol-benjol
(noduler).
2. Obstruksi Portal dan Asites. Manifestasi lanjut sebagian disebabkan oleh kegagalan
fungsi hati yang kronis dan sebagian lagi oleh obstruksi sirkulasi portal. Semua darah
dari organ-organ digestif praktis akan berkumpul dalam vena portal dan dibawa ke
hati. Karena hati yang sirotik tidak memungkinkan pelintasan darah yang bebas,
maka aliran darah tersebut akan kembali ke dalam limpa dan traktus gastrointestinal
dengan konsekuensi bahwa organ-organ ini menjadi tempat kongesti pasif yang
kronis; dengan kata lain, kedua organ tersebut akan dipenuhi oleh darah dan dengan
demikian tidak dapat bekerja dengan baik. Pasien dengan keadaan semacam ini
cenderung menderita dispepsia kronis atau diare. Berat badan pasien secara
berangsur-angsur mengalami penurunan. Cairan yang kaya protein dan menumpuk di
rongga peritoneal akan menyebabkan asites. Hal ini ditunjukkan melalui perfusi akan
adanya shifting dullness atau gelombang cairan. Splenomegali juga terjadi. Jaringjaring telangiektasis, atau dilatasi arteri superfisial menyebabkan jaring berwarna biru
kemerahan, yang sering dapat dilihat melalui inspeksi terhadap wajah dan
keseluruhan tubuh.
3. Varises Gastrointestinal. Obstruksi aliran darah lewat hati yang terjadi akibat
perubahan fibrofik juga mengakibatkan pembentukan pembuluh darah kolateral
sistem gastrointestinal dan pemintasan (shunting) darah dari pernbuluh portal ke
dalam pernbuluh darah dengan tekanan yang lebih rendah. Sebagai akibatnya,
penderita sirosis sering memperlihatkan distensi pembuluh darah abdomen yang
mencolok serta terlihat pada inspeksi abdomen (kaput medusae), dan distensi
pembuluh darah di seluruh traktus gastrointestinal. Esofagus, lambung dan rektum
bagian bawah merupakan daerah yang sering mengalami pembentukan pembuluh
darah kolateral. Distensi pembuluh darah ini akan membentuk varises atau temoroid
tergantung pada lokasinya. Karena fungsinya bukan untuk menanggung volume darah
dan tekanan yang tinggi akibat sirosis, maka pembuluh darah ini dapat mengalami

ruptur dan menimbulkan perdarahan. Karena itu, pengkajian harus mencakup


observasi untuk mengetahui perdarahan yang nyata dan tersembunyi dari traktus
gastrointestinal. Kurang lebih 25% pasien akan mengalami hematemesis ringan;
sisanya akan mengalami hemoragi masif dari ruptur varises pada lambung dan
esofagus.
4. Edema. Gejala lanjut lainnya pada sirosis hepatis ditimbulkan oleh gagal hati yang
kronis. Konsentrasi albumin plasma menurun sehingga menjadi predisposisi untuk
terjadinya edema. Produksi aldosteron yang berlebihan akan menyebabkan retensi
natrium serta air dan ekskresi kalium.
5. Defisiensi Vitamin dan Anemia. Karena pembentukan, penggunaan dan penyimpanan
vitamin tertentu yan tidak memadai (terutama vitamin A, C dan K), maka tanda-tanda
defisiensi vitamin tersebut sering dijumpai, khususnya sebagai fenomena hemoragik
yang berkaitan dengan defisiensi vitamin K. Gastritis kronis dan gangguan fungsi
gastrointestinal bersama-sama asupan diet yang tidak adekuat dan gangguan fungsi
hati turut menimbulkan anemia yang sering menyertai sirosis hepatis. Gejala anemia
dan status nutrisi serta kesehatan pasien yang buruk akan mengakibatkan kelelahan
hebat yang mengganggu kemampuan untuk melakukan aktivitas rutin sehari-hari.
6. Kemunduran Mental. Manifestasi klinik lainnya adalah kemunduran fungsi mental
dengan ensefalopati dan koma hepatik yang membakat. Karena itu, pemeriksaan
neurologi perlu dilakukan pada sirosis hepatis dan mencakup perilaku umum pasien,
kemampuan kognitif, orientasi terhadap waktu serta tempat, dan pola bicara.
7.

Patofisiologi

Patofisiologi penyakit sirosis hepatis dapat terjadi dalam waktu yang singkat atau dalam
keadaan yang kronis atau perlukaan hati yang terus menerus yang terjadi pada peminum
alkohol aktif. Hati kemudian merespon kerusakan sel tersebut dengan membentuk ekstra
seluler matriks yang mengandung kolagen, glikoprotein, dan proteoglikans. Sel stellata
berperan dalam membentuk ekstraseluler ini. Pada cidera yang akut, sel stella membentuk
kembali ekstraseluler matriks ini sehingga ditemukan pembengkakan pada hati. Namun, ada
beberapa parakrine faktor yang menyebabkan sel stella menjadi sel penghasil kolagen. Faktor
parakrine ini mungkin dilepaskan oleh hepatocytes, sel kupffer, dan endotel sinusoid sebagai
respon terhadap cidera berkepanjangan.
Peningkatan deposissi kolagen pada peresinusoidal dan berkurangnya ukuran dari fenestra
endotel hepatik menyebabkan kapilerisasi (ukuran pori seperti endotel kapiler) dari sinusoid.
Sel stellata dalam memproduksi kolagen mengalami kontraksi yang cukup besar untuk
menekan daerah perisisnusoidal. Adanya kapilarisasi dan kontraktilitas sel stellata inilah yang
menyebabkan penekanan pada banyak vena di hati sehingga mengganggu proses aliran darah
ke sel hati dan pada akhirnya sel hati mati, kematian hepaticytes dalam jumlah yang besar
akan menyebabkan banyaknya fungsi hati yang rusak sehingga menyebabkan banyak gejala
klinis. Kompresi dari vena pada hati akan dapat menyebabkan hipertensi portal yang
merupakan keadaan utama penyebab terjadinya manifestasi klinis.

Komplikasi

1. Perdarahan gastrointestinal
Hipertensi portal menimbulkan varises oesopagus, dimana suatu saat akan pecah sehingga
timbul perdarahan yang masih.
2. Koma Hepatikum.
4. Ulkus Peptikum
5. Karsinoma hepatosellural. Kemungkinan timbul karena adanya hiperflasia noduler yang
akan berubah menjadi adenomata multiple dan akhirnya menjadi karsinoma yang multiple.
6. Infeksi
Misalnya : peritonisis, pnemonia, bronchopneumonia, tbc paru,
glomerulonephritis kronis, pielonephritis, sistitis, peritonitis, endokarditis, srisipelas,
septikema

Penatalaksanaan

1. Medis
a. Asites
- Asites diterapi dengan tirah baring total dan diawali dengan diet rendah garam, konsumsi
garam sebanyak 5,2 gr atau 90mmol/hari.
- Diet rendah garam dikombinasi dengan obat-obatan diuretik.
- Awalnya dengan pemberian spironolakton dengan dosis 100-200mg sekali sehari.
- Respons diuretik bisa dimonitor dengan penurunan berat badan 0,5 kg/hari, tanpa adanya
edema kaki atau 1 kg/ hari bila edema kaki ditemukan.
- Bila pemberian spironolaktin belum adekuat maka bisa dikombinasi dengan furosemide
dengan dosis 20-40 mg/hari. Parasintesis
dilakukan jika jumlah asites sangat besar.
b. Encephalophaty
Pada pasien dengan adanya ensephalophaty hepatik dapat digunakan laktulosa untuk
mengeluarkan amonia dan neomisin dapat digunakan untuk mengeliminasi bakteri usus
penghasil amonia.
c. Pendarahan Esofagus

Untuk perdarahan esofagus pada sebelum dan sesudah berdarah dapat diberikan propanolol.
Waktu perdarahan akut, dapat diberikan preparat somatostatin atau okreotid dan dapat
diteruskan dengan tindakan ligasi endoskopi atau skleroterapi.
2. Keperawatan
a. Pengkajian keperawatan berfokuskan pada kawitan gejala dan riwayat faktor-faktor
pencetus
b. Status mental dikaji melalui anamnesis dan interaksi lain dengan pasien; orientasi terhadap
orang, tempat dan waktu harus diperhatikan
c. Kemampuan pasien untuk melaksanakan pekerjaan atau kegiatan rumah tangga
memberikan informasi tentang status jasmani dan rohani
2.2 Dyspepsia

Definisi

Dispepsia berasal dari bahasa Yunani δυς- (Dys-), berarti sulit , dan
π & psi ;η (Pepse), berarti pencernaan Dispepsia merupakan kumpulan
keluhan/gejala klinis yang terdiri dari rasa tidak enak/sakit di perut bagian atas yang menetap
atau mengalami kekambuhan. Keluhan refluks gastroesofagus klasik berupa rasa panas di
dada (heartburn) dan regurgitasi asam lambung, kini tidak lagi termasuk dispepsia.
Dyspepsia merupakan kumpulan keluhan/gejala klinis yang terdiri dari rasa tidak enak/sakit
di perut bagian atas yang menetap atau mengalami kekambuhan (Arif, 2000).
Dyspepsia merupakan kumpulan gejala atau sindrom yang terdiri dari nyeri ulu hati, mual,
kembung, muntah, rasa penuh, atau cepat kenyang, sendawa (Dharmika, 2001).
Sedangkan menurut Aziz (1997), sindrom dyspepsia merupakan kumpulan gejala yang sudah
dikenal sejak lama, terdiri dari rasa nyeri epigastrium, kembung, rasa penuh, serta mual-mual.

Etiologi

Penyebab dyspepsia dapat dibedakan menjadi 2 yaitu :


1. Dyspepsia organik, bila telah diketahui adanya kelainan organik sebagai penyebabnya
(misalnya tukak peptic, gastritis, pankreastitis, kolesistitis dan lainnya).
2. Dyspepsia non organik atau dyspepsia fungsional atau dyspepsia non ulkus (DNU),
bila tidak jelas penyebabnya.

Manifestasi Klinis

Sindroma dispepsia dapat bersifat ringan, sedang, dan berat, serta dapat akut atau kronis
sesuai dengan perjalanan penyakitnya. Pembagian akut dan kronik berdasarkan atas jangka
waktu tiga bulan. Nyeri dan rasa
tidak nyaman pada perut atas atau dada mungkin

disertai dengan sendawa dan suara usus yang keras (borborigmi). Pada beberapa penderita,
makan dapat memperburuk nyeri;pada penderita yang lain, makan bisa mengurangi nyerinya.
Gejala lain meliputi nafsu makan yang menurun, mual, sembelit, diare dan flatulensi (perut
kembung). Jika dispepsia menetap selama lebih dari beberapa minggu, atau tidak memberi
respon terhadap pengobatan, atau disertai penurunan berat badan atau gejala lain yang tidak
biasa, maka penderita harus menjalani pemeriksaan.
Didasarkan atas keluhan/gejala yang dominan, membagi dyspepsia menjadi tiga tipe :
1. Dyspepsia dengan keluhan seperti ulkus (ulcus-like dyspepsia), dengan gejala :

Nyeri epigastrium terlokalisasi

Nyeri hilang setelah makan atau pemberian antasid

Nyeri saat lapar

Nyeri episodik
1. Dyspepsia dengan gejala seperti dismotilitas (dysmotility-like dyspepsia), dengan
gejala :

Mudah kenyang

Perut cepat terasa penuh saat makan

Mual

Muntah

Upper abdominal bloating

Rasa tak nyaman bertambah saat makan.


1. Dyspepsia non spesifik (tidak ada gejala seperti kedua tipe di atas)

Patofisiologi

Perubahan pola makan yang tidak teratur, obat-obatan yang tidak jelas, zat-zat seperti nikotin
dan alkohol serta adanya kondisi kejiwaan stres, pemasukan makanan menjadi kurang
sehingga lambung akan kosong, kekosongan lambung dapat mengakibatkan erosi pada
lambung akibat gesekan antara dinding-dinding lambung, kondisi demikian dapat
mengakibatkan peningkatan produksi HCL yang akan merangsang terjadinya kondisi asam
pada lambung, sehingga rangsangan di medulla oblongata membawa impuls muntah sehingga
intake tidak adekuat baik makanan maupun cairan.

Komplikasi

Perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) berupa hematemesis dan melena, dapat
berakhir sebagai syok hemoragik. Khusus untuk perdaraban SCBA, perlu dibedakan dengan

tukak peptik. Gambaran klinis yang diperlihatkan hampir sama. Nanum pada tukak peptik
peny ebab utarnanya adalah infeksi Helicobacter pylori, sebesar 100% pada tukak duodenum
dan 60-90% pada tukak lambung. Diagnosis pasti dapat ditegakkan dengan endoskopi.

Penatalaksanaan

1. Modifikasi Pola HidupKlien perlu diberi penjelasan untuk dapat mengenali dan
menghindari keadaan yang potensial mencetuskan serangan dyspepsia. Belum ada
kesepakatan tentang bagaimana diet yang diberikan pada kasus dyspepsia. Penekanan
lebih ditujukan untuk menghindari jenis makanan yang dirasakan sebagai faktor
pencetus. Pola diet porsi kecil tetapi sering, makanan rendah lemak, hindari / kurangi
makanan, minuman yang spesifik (kopi, alkohol, pedas, dll). Akan banyak
mengurangi gejala terutama gejala setelah makan (Post prandial).
2. Obat obatanSampai saat ini belum ada regimen pengobatannya yang memuaskan
terutama dalam mengantisipasi kekambuhan. Hal ini dapat dimengerti karena proses
patofisiologinya pun masih belum jelas. Dilaporkan bahwa sampai 70 % kasus
dyspepsia terhadap plasebo.
Antasida dapat mengurangi / menghilangkan keluhan, tetapi secara studi klinis tidak
berbeda dengan efek plasebo.
Agen anti sekresi, obat antagonis reseptor H2 telah sering dipakai. Dari berbagai studi
yang ada, sebagian diperoleh hasil yang lebih baik dibandingkan plasebo tetapi sebagian lagi
tidak.
Prokinetik, dari banyak studi penggunaan obat prokinetik, seperti metoklopramid,
domperidon dan terutama cisapride, diperoleh hasil yang baik dipandingkan plasebo
walaupun tidak jarang , didapat data tidak adanya korelasi perbaikan motilitas terhadap gejala
/ keluhan ataupun sebaliknya. Hal ini terutama pada kelompok kasus dyspepsia tipe
dismotilitas.
Eradikasi Helicobaster Pylori ; Eradikasi Hp pada kasus dyspepsia kontroversial kecuali
bila pada kasus dengan Hp positif yang gagal dengan terapi konvensional dapat disarankan
untuk eradikasi Hp.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sirosis adalah penyakit hati kronis yang dicirikan dengan distorsi arsitektur hati normal oleh
lembar-lembar jaringan ikat dan nodul-nodul regenerasi sel hati, yang tidak berkaitan dengan
vaskulatur normal
Dispepsia merupakan kumpulan keluhan/gejala klinis yang terdiri dari rasa tidak enak/sakit di
perut bagian atas yang menetap atau mengalami kekambuhan.
3.2 Kritik dan Saran

Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penysun dan pembaca. Kritik dan saran kami
tunggu untuk pembelajaran ke depan yang lebih baik
DAFTAR PUSTAKA
1. Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G. Bare. (2001). Keperawatan medikal bedah 2. (Ed
8). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC).
1. Doenges, Marilynn E, Mary Frances Moorhouse dan Alice C. Geisser. (1999).
Rencana asuhan keperawatan : pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian
perawatan pasien. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC).
1. Tjokronegoro dan Hendra Utama. (1996). Ilmu penyakit dalam jilid 1. Jakarta: FKUI.
1. Price, Sylvia A dan Lorraine M. Wilson. (1994). Patofisiologi, konsep klinis prosesproses penyakit. Jakarta: Penerbit EGC.
1. Lambert JR. The Role of Helicobacter Pylori in Nonulcer Dyspepsia A Debate for.
Dalam: Dooley CP. ed. Gastroenterology Clinics of North America. Philadelphia:
W.B. Saunders, 1993: 141-51.
1. Manan C. Sindrom Dispepsia. Dalam: Mansyur M. ed. Dispepsia. Jakarta: Yayasan
Penerbit IDI, 1994: 1-7.
1. Soemoharjo S. Mengenal Lebih Dekat Helicobacter Pylori Dan Penyakit
Gastroduodenal. Mataram, 1997.

AsKep Sirosis Hepatis


BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Hati merupakan organ terbesar dalam tubuh manusia. Di dalam hati terjadi prosesproses penting bagi kehidupan kita, yaitu proses penyimpanan energi, pengaturan
metabolisme kolesterol, dan peneralan racun/obat yang masuk dalam tubuh kita. sehingga
dapat kita bayangkan akibat yang akan timbul apabila terjadi kerusakan pada hati.
Sirosis hepatis adalah suatu penyakit di mana sirkulasi mikro, anatomi pembuluh
darah besar dan seluruh system arsitekture hati mengalami perubahan menjadi tidak teratur
dan terjadi penambahan jaringan ikat ( firosis ) di sekitar paremkin hati yang mengalami
regenerasi. sirosis didefinisikan sebagai proses difus yang di karakteristikan oleh fibrosis dan
perubahan strukture hepar normal menjadi penuh nodule yang tidak normal.
Peradangan sel hati yang luas dan menyebabkan banyak kematian sel menyebabkan
banyaknya terbentuk jaringan ikat dan regenerasi noduler dengan berbagai ukuran yang di
bentuk oleh sel paremkim hati yang masih sehat.
akibatnya bentuk hati yang normal akan berubahdisertai terjadinya penekanan pada pembuluh
darah dan terganggunya aliran darah vena pota yang akhirnya menyebakan hipertensi portal.

Penyebab sirosis hati beragam. selain disebabkan oleh virus hepatitis B ataupun C,
bisa juga di akibatkan oleh konsumsi alkohol yang berlebihan, bergai macam penyakit
metabolik, adanya ganguan imunologis, dan sebagainya.
Di negara maju, sirosis hati merupakan penyebab kematian terbesar ke tiga pada pasien yang
berusia 45 46 tahun ( setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker ). di seluruh dunia sirosis
menempati urutan ketujuh penyebab kematian, 25.000 orang meninggal setiap tahun akibat .
Dalam makalah ini penulis akan membahas tentang asuhan keperawatan pada pasien
dengan penyakit sirosis hepatis untuk memudahkan kita sebagai calon perawat dalam
merawat pasien dengan penyakit sirosis hepatis .
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mendapatkan gambaran secara nyata dalam melaksanakan asuhan keperawatan
klien sirosis hepatis.
2. Tujuan khusus
Untuk memperoleh gambaran nyata mengenai:
a. Pengkajian klien sirosis hepatis
b. Diagnosa yang mungkin timbul pada klien sirosis hepatis
c. Intervensi yang akan dilaksanakan pada klien sirosis hepatis
d. Pelaksaan tindakan keperawatan pada klien sirosis hepatis

BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Konsep Medik
1. Definisi:
a. Siarosis hepatis adalah penyakit kronis hati akibat tersumbat saluran empedu serta pus
sehingga timbul ajaringan baru yabg berlebihan yang tidak berhubungan yang di kelilingi
oleh jaringan perut (bruner and sudarth).
b. Siarosis hepatis adalah penyakit yang difus di tandai dengan adanya pembentukan jaringan
ikat disertai nodul .(marillyn E. Doengoes 1996)
c. Sirosis hepatis adalah penyakit yang ditandai dengan adanya peradangan difus dan membran
pada hati, diikuti dengan proliferasi jaringan ikat, degenerasi dan regresi sel-sel hati, sehingga
timbul kekacauan dalam susunan parenkim hati (Mansjoer, 2001).
Kesimpulan: Dari beberapa pengertian di atas dapat di simpulkan bahwa siarosis hepatis
adalah penyakit menahun di tandi dengan adanya gangguan struktur hati
yaitu timbulnya jaringan baru yang berlebihan dan tidak saling berhubungan
yang di kelilingi oleh jaringan perut serta gangguan aliran darah ke hati.

2. Anatomi dan Fisiologi:


Hati merupakan kelenjar terbesar di dalam tubuh manusia. Hati terletak di belakang
tulang-tulang iga (kosta) dalam rongga abdomen daerah kanan atas. Hati memiliki berat
sekitar 1500 gram, dan dibagi menjadi empat lobus. Setiap lobus hati terbungkus oleh lapisan
tipis jaringan ikat yang membentang ke dalam lobus itu sendiri dan membagi massa hati

1.
2.
3.

4.
5.

menjadi unit-unit yang lebih kecil, yang disebut lobulus. Permukaan atas terletak bersentuhan
di bawah diafragma, permukaan bawah terletak bersentuhan di atas organ-organ abdomen.
Hepar difiksasi secara erat oleh tekanan intraabdominal dan dibungkus oleh peritoneum
kecuali di daerah posterior-superior yang berdekatan dengan v.cava inferior dan mengadakan
kontak langsung dengan diafragma. Bagian yang tidak diliputi oleh peritoneum disebut bare
area. Hepar diperdarahi oleh dua pembuluh darah utama yang mensuplai hati yaitu arteri
hepatica dan vena porta. Hati menerima darah teroksigenasi dari arteri hepatica dan darah
yang tidak teroksigenasi tetapi kaya akan nutrien dari vena porta hepatica. Vena porata
pembawa darah yang mengandung nutrisi yang berasal dari lambung, usus halus, kolon,
pancreas, lien ke hati. Terdapat refleksi peritoneum dari dinding abdomen anterior, diafragma
dan organ-organ abdomen ke hepar berupa ligamen.
Macam-macam ligamen:
Ligamentum falciformis: Menghubungkan hepar ke dinding ant. abd dan terletak di antara
umbilicus dan diafragma.
Ligamentum teres hepatis = round ligament: Merupakan bagian bawah lig. falciformis;
merupakan sisa-sisa peninggalan v.umbilicalis yg telah menetap.
Ligamentum gastrohepatica dan ligamentum hepatoduodenalis: Merupakan bagian dari
omentum minus yg terbentang dari curvatura minor lambung dan duodenum sblh prox ke
hepar. Di dalam ligamentum ini terdapat Aa.hepatica, v.porta dan duct.choledocus communis.
Ligamen hepatoduodenale turut membentuk tepi anterior dari Foramen Wislow.
Ligamentum Coronaria Anterior kika dan Lig coronaria posterior ki-ka: Merupakan refleksi
peritoneum terbentang dari diafragma ke hepar.
Ligamentum triangularis ki-ka: Merupakan fusi dari ligamentum coronaria anterior dan
posterior dan tepi lateral kiri kanan dari hepar.Secara anatomis, organ hepar terletak di
hipochondrium kanan dan epigastrium, dan melebar ke hipokondrium kiri. Hepar dikelilingi
oleh cavum toraks dan bahkan pada orang normal tidak dapat dipalpasi (bila teraba berarti
ada pembesaran hepar).

3. Etiologi:
Beberapa hal yang menjadi penyebab sirosis hepatis adalah (Fkui, 1996):
1. Hepatitis virus tipe B dan C
2. Alkohol
3. Metabolik : DM
4. Kolestatis kronik
5. Toksik dari obat : INH
6. Malnutrisi
4. Kasifikasi:
Secara makroskopik, sirosis dibagi atas :
a. Sirosis mikronodular
Ditandai dengan terbentuknya septa tebal teratur, didalam septa parenkim hati mengandung
nodul halus dan kecil merata diseluruh lobus, besar nodulnya sampai 3 mm. Sirosis
mikronodular ada yang berubah menjadi makronodular.
b. Sirosis makronodular
Ditandai dengan terbentuknya septa dengan ketebalan bervariasi, dengan besar nodul lebih
dari 3 mm.
c. Sirosis campuran
Umumnya sirosis hepatis adalah jenis campuran ini.
Selain klasifikasi diatas, sirosis hepatis terbagi dalam 3 pola yaitu :

a.

Sirosis laennec/sirosis alkoholik, portal dan sirosis gizi


Sirosis ini berhubungan dengan penyalahgunaan alkohol kronik. Sirosis jenis ini merupakan
50% atau lebih dari seluruh kasus sirosis. Perubahan pertama pada hati yang ditimbulkan
alkohol adalah akumulasi lemak secara gradual didalam sel-sel hati (infiltrasi
lemak).Akumulasi lemak mencerminkan adanya sejumlah gangguan metabolik. Pada kasus
sirosis laennec yang sangat lanjut, membagi parenkim menjadi nodula-nodula halus. Nodulanodula ini dapat membesar akibat aktifitas regenerasi sebagai usaha hati untuk mengganti selsel yang rusak. Hati tampak terdiri dari sarang-sarang sel-sel degenerasi + regenerasi yang
dikemas padat dalam kapsula fibrosa yang tebal. Pada keadaan ini sirosis sering disebut
sebagai sirosis nodular halus.Hati akan menciut, keras dan hampir tidak memiliki parenkim
normal pada stadium akhir sirosis, dengan akibat hipertensi portal dan gagal hati.
b. Sirosis post nekrotik
Terjadi menyusul nekrosis berbercak pada jaringan hati, menimbulkan nodula-nodula
degeneratif besar dan kecil yang dikelilingi dan dipisah-pisahkan oleh jaringan parut,
berselang-seling dengan jaringan parenkim hati normal. Sekitar 25% kasus memiliki riwayat
hepantis virus sebelumnya. Banyaknya pasien dengan hasil tes HbsAg positif menunjukkan
bahwa hepatitis kronik aktif agaknya merupakan peristiwa yang besar peranannya.Beberapa
kasus berhubungan dengan intoksikasi bahan kimia industri, dan ataupun obat-obatan seperti
fosfat, kloroform dan karbon tetraklorida/jamur beracun. Sirosis jenis ini merupakan
predisposisi terhadap neoplasma hati primer.
c. Sirosis Billaris
Kerusakan sel hati dimulai disekitar duktus billaris, penyebabnya obstruksi billaris post
hepatik. Sifat empedu menyebabkan penumpukan empedu didalam masa hati dengan akibat
kerusakan sel-sel hati, terbentuk lembar-lembar fibrosa di tepi lobulus.Sumber empedu sering
ditemukan dalam kapiler-kapiler,duktulus empedu dan sel-sel hati seringkali mengandung
pigmen hijau.
5. Patofisiologi:
Hati pada awal perjalanan penyakitnya cenderung membesar dan sel-selnya dipenuhi
oleh lemak-lemak. Hati tersebut menjadi keras dan dapat diketahui melalui palpasi. Nyeri
abdomen dapat terjadi akibat pembesaran hati yang cepat sehingga menyebabkan regangan
pada selubung fibrosa hati (kapsule glissoni). Pada perjalanan penyakit yang lebih lanjut
ukuran hati akan mengecil setelah jaringan parut menyebabkan pengerutan jaringan. Apabila
dapat dipalpasi maka permukaan hati akan teraba benjol-benjol (Brunner, 2001).
Sirosis Laennec merupakan penyakit yang ditandai oleh episode nekrosis yang
melibatkan sel-sel hati dan kadang-kadang berulang di sepanjang perjalanan penyakit
tersebut. Sel-sel hati tersebut secara berangsur-angsur digantikan oleh jaringan parut.
Akhirnya jumlah jaringan parut melebihi jumlah jaringan hati yang masih berfungsi. Pulaupulau jaringan normal yang masih tersisa dan jaringan hati hasil regeneasi dapat menonjol
dari bagian-bagian yang berkonstruksi sehingga hati yang sirotik memperlihatkan gambaran
mirip paku sol sepatu berkepala besar (hobnail appearance) yang khas. Sirosis hepatis
biasanya memiliki awitan yang insidius dan perjalanan penyakit yang sangat panjang
sehingga kadang-kadang melewati rentang waktu 30 tahun atau lebih (Brunner, 2002).
Varises esofagus merupakan pembuluh darah yang berdilatasi, berkelok-kelok dan
biasanya dijumpai pada sub mukosa bagian bawah, namun varises ini dapat terjadi pada
bagian lebih tinggi atau meluas sampai ke lambung. Keadaaan semacam ini hampir selalu
disebabkan oleh hipertensi portal yang terjadi obstruksi pada saluran vena porta, pada hati
yang mengalami serosis. Peningkatan obstrukisi pada vena porta menyebabkan darah vena
dari traktus intestinal dan limpa akan mencari jalan keluar melalui kolateral (lintasan baru
untuk kembali ke atrium kanan). Akibat yang ditimbulkan adalah peningkatan tekanan,

khusunya adalah pembuluh darah pada lapisan submukosa esofagus bagian bawah dan
lambung bagian atas. Pembuluh-pembuluh kolateral ini tidak bersifat elastis tapi bersifat
rapuh, berkelok-kelok dan mudah mengalami perdarahan. Penyebab varises lainya yang lebih
jarang ditemukan adalah kelainan sirkulasi dalam vena linealis atau vena kava superior dan
trombosis vena hepatika.
Varises esofagus yang mengalami perdarahan dapat menyebabkan kematian dan
menyebabkan syok haemorargik yang menyebabkan penurunan perfusi serebral, hepatik serta
ginjal. Selanjutnya akan terjadi peningkatan beban nitrogen akibat perdarahan kedalam
traktus gastrointestinal dan kenaikan kadar amonia serum yang meningkatkan resiko
encefalopati. Kemungkinan terjadinya perdarahan pada varises esofagus harus dicurigai jika
ada hematemisis dan melena, khususnya pada klien yang biasa mengkonsumsi minuman
keras.
Vena yang mengalami dilatasi biasanya tidak mengalami gejala kecuali jika ada
peningkatan tekanan porta yang tajam dan mukosa atau struktur yang menyangga menjadi
tipis, sehingga kemungkinan akan timbul haemorargik masif. Faktor-faktor yang
menimbulkan perdarahan bisa jadi dari mengangkat barang berat, mengejan pada saat
defekasi, bersin, batuk atau muntah, esofagitis, atau iritasi pembuluh darah akibat makan
makanan yang tidak dikunyah dengan baik atau minum cairan yang merangsang. Salisilat dan
setiap obat yang dapat menimbulkan erosi mukosa, serta mengganggu replikasi sel dapat pula
menyebabkan perdarahan.(Brunner, 2000)
6. Manefestasi klinik:
1. Gejala terjadi akibat perubahan morfologi dan lebih menggambarkan
beratnya
kerusaka yang tejadi. Didapatkan gejala dan tanda sebagai
berikut :
a. Gejala-gejala gastrointestinal yang tidak khas seperti anoreksia, mual, muntah dan diare.
b. Demam, berat badan turun dan lekas lelah
c. Asites, hidrothoraks dan edema.
d. Ikterus, kadang-kadang urine menjadi lebih tua warnanya atau kecoklatal.
e. Hepatomegali, bila telah lanjut hati dapat mengecil karena fibrosis. Bila secara klinis
didapati adanya demam, ikterus dan asites, dimana demam bukan karena sebab-sebab lain,
dikatakan Sirois dalam keadaan aktif.
f. Hati-hati akan timbulnya prekoma dan koma hepatikum.
g. Kelainan pembuluh darah seperti kolateral-kolateral di dinding abdomen dan thoraks, kaput
medusa, wasir dan varises esofagus.
7.
1.
a.
b.
2.
a.
b.
3.
a.
b.

Komplikasi:
Komplikasi menurut Brunner (2000) ada dua yaitu:
Perdarahan dan hemorargia
Ensefalopati hepatic
Komplikasi menurut Mansjoer (2001) ada dua yaitu:
Hematemisis melena
Koma hepatikum
Komplikasi menurut Engram (2000) ada empat yaitu:
Encefalo hepatik yang disebabkan oleh peningkatan kadar amonia darah.
Asites ruang disebabkan oleh ekstravasase cairan serosa ke dalam rongga peritoneal yang
disebabkan oleh peningkatan hipertensi portal, peningkatan reabsorpsi ginjal terhadap
natrium dan penurunan albumin serum.
c. Sindrom hepatorenal yang disebabkan oleh dehidrasi atau infeksi.

d. Gangguan endokrin yang disebabkan oleh depresi sekresi gonadotropi


8. Pemeriksaan Diagnostik:
a. Pemeriksaan Laboratorium
1. Pada darah dijumpai HB rendah, anemia normokrom nomosister, hipokrom
mikrosister/hipokrom makrosister.
2. Kenaikan kadar enzim transaminase-SGOT, SGPT bukan merupakan petunjuk berat
ringannya kerusakan parenkim hati, kenaikan kadar ini timbul dalam serum akibat kebocoran
dari sel yang rusak, pemeriksaan billirubin, transaminase dan gamma GT tidak meningkat
pada sirosis inaktif.
3. Albumin akan merendah karena kemampuan sel hati yang berkurang, dan juga globulin yang
naik merupakan cerminan daya tahan sel hati yang kurang dan menghadapi stress.
4. Pemeriksaan CHE (kolinesterasi). Ini penting karena bila kadar CHE turun, kemampuan sel
hati turun, tapi bila CHE normal/tambah turun akan menunjukkan prognosis jelek.
5. Kadar elektrolit penting dalam penggunaan diuretic dan pembatasan garam dalam diet, bila
ensefalopati, kadar Na turun dari 4 meg/L menunjukkan kemungkinan telah terjadi sindrom
hepatorenal.
6. Pemeriksaan marker serologi seperti virus, HbsAg/HbsAb, HbcAg, HcvRNA, untuk
menentukan etiologi sirosis hati dan pemeriksaan AFP (Alfa Feto Protein) penting dalam
menentukan apakah telah terjadi transformasi ke arah keganasan.
b. Pemeriksaan penunjang lainnya:
1. Radiologi : dengan barium swallow dapat dilihat adanya varises esophagus untuk konfirmasi
hipertensi portal.
2. Esofagoskopi : dapat dilihat varises esophagus sebagai komplikasi sirosis hati/hipertensi
portal.
3. Ultrasonografi : pada saat pemeriksaan USG sudah mulai dilakukan sebagai alat pemeriksaan
rutin pada penyakit hati.

9. Penatalaksanaan Medis:
Terapi dan prognosis sirosis hati tergantung pada derajat komplikasi kegagalan hati dan
hipertensi portal. Dengan kontrol pasien yang teratur pada fase dini akan dapat dipertahankan
keadaan kompensasi dalam jangka panjang dan kita dapat memperpanjang timbulnya
komplikasi.
1. Diet rendah protein diet hati III : Protein 1g/kg bb, 55g protein, 200 kalori), bila ada asites
diberikan diet rendah garam II (600-800 mg) atau III (1000-2000 mg). Bila proses tidak aktif,
diperlukan diet tinggi kalori (2000-3000) dan tinggi protein (80-125g/hari).
2. Bila ada tanda-tanda prekoma atau koma hepatikum, jumlah protein dalam makanan
dihentikan (diet hati I )untuk kemudian diberikan sedikit demi sedikit sesuai toleransi dan
kebutuhan tubuh. Pemberian protein yang melebihi kemampuan klien atau meningginya hasil
metabolisme protein dalam darah viseral dapat mengakibatkan timbulnya koma hepatikum.
Diet yang baik dengan protein yang cukup perlu diperhatikan.
3. Mengatasi infeksi dengan antibiotik, dengan pengunaan obat-obatan yang jelas tidak
hepatotoksik.
4. Memperbaiki keadaan gizi, bila perlu dengan memberikan asam aminoesensial berantai
cabang dan glukosa.
5. Pemberian robboransia. Vitamin B kompleks.

B. Konsep Askep
1. Pengkajian menurut (Doenges, dkk 2000)
a. Aktivitas atau istirahat, adanya kelemahan, kelelahan, letargi, penurunan masa otot atau
tonus.
b. Sirkulasi
Riwayat perikarditis, penyakit jantung rematik, kanker (tidak berfungsinya hati menyebebkan
gagal hati), disritmia, distensi pembuluh darah perut
c. Eliminasi
Flatus, distensi abdomen, hepatomegali, splenomegali, asites, penurunan atau tidak adanya
peristaltik usus, feses warna tanah liat, melena, urine gelap dan pekat
d. Makanan atau cairan
Anoreksia, tidak toleran terhadap makanan, mual, muntah, penurunan BB, edema umum pada
jaringan, nafas berbau, perdarahan gusi.
e. Neurosensori
Perubahan kepribadian, penurunan mental, bingung, bicara lambat, tidak jelas atau koma.
f. Nyeri atau kenyamanan
Nyeri tekan abdomen atau nyeri dikuadran kanan atas, pruritis, neuronefritis perifer.
g. Pernapasan
Dispneaa, takipnea, pernapasan dangkal, bunyi nafas tambahan, ekspansi paru terbatas,
hipoksia.
h. Keamanan
Pruritus, demam, ikterik, eritema palmaris, ptechie
i. Aspek psikologis
Konsep diri, keadaaan emosional, pola interaksi, mekanisme kopping.
j. Aspek sosial
Hubungan yang berarti, budaya keluarga, lingkungan keluarga
k. Aspek spiritual
Agama, keyakinan tentang sehat dan sakit, nilai kegiatan agama

a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

2. Diagnosa keperawatan
Resiko injuri b/d anemia, trombositopenia, leukopenia, gangguan mekanisme pembekuan
darah, penurunan kesadaran dan perdarahan gastrointestinal.
Aktual atau resiko pola nafas tidak efektif b/d ekspansi menurun.
Intoleransi aktivitas b/d cepat lelah, kelemahan fisik umum sekunder dari perubahan
metabolisme sistemik
Kekurangan volume cairan b/d diare
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d ketidakmampuan untuk
memproses dan mencerna makanan
Resiko kerusakan integritas kulit b/d gatal-gatal
Resiko infeksi b/d pertahanan primer tidak adekuat (leukopenia)

3. Intervensi:

a.

Resiko injuri b/d anemia, trombositopenia, leukopenia, gangguan mekanisme pembekuan


darah, penurunan kesadaran dan perdarahan gastrointestinal.
Tujuan: dalam waktu 2x24 jam pasca intervensi pasien tidak mengalami
injuri.
Intervensi:
1. Kaji faktor resiko injuri pada pasien sirosis hepatis
R/: factor resiko injuri pada pasien sirosis bervariasi. Kondisi
anemia akan meningkatkan gangguan dalam pengikatan O2 ke
jaringan.
2. Kaji status neurologis dan laporkan apabila terdapat perubahan status neurologis.
R/: pengkajian status neurologis dilakukan pada setiap pergantian
sif jaga. Setiap adanya perubahan status neurologis merupakan
salah satu tanda terjadi komplikasi bedah.
3. Berikan terapi sesuai pesanan
R/: terapi dapat mencakup penggunaan laktulosa, serta antibiotic
saluran cerna yang tidak dapat diserap untuk menurunkan kadar
ammonia.
4. Lakukan tirah baring pada pasien
R/: istirahat akan mengurangi kebutuhan dalam hati dan
meningkatkan suplai darah di hati dan untuk mencegah
gangguan pernafasan, sirkulasi dan vascular.
5. Beri posisi duduk dan O2 3L/menit
R/: untuk mencapai status pernafasan yang efesien dan maksimal
b. Aktual atau resiko pola nafas tidak efektif b/d ekspansi menurun.
Tujuan: dalam waktu 1x24 jam tidak terjadi perubahan pola nafas
Intervensi:
1. Kaji factor penyebab pola nafas tidak efektif
R/: mengidentifikasi untuk mengatasi penyebabdasar dari alkalosis
2. Kaji TTV
R/: perubahan TTV akan memberikan dampak pada resiko alkalosis
yang bertambah berat dan berindikasi pada intervensi untuk
secepatnya melakukan koreksi alkalosis
3. Istirahatkan pasien dengan posisi fowler
R/: posisi fowler akan meningkatkan ekspansi paru optimal. Istirahat akan mengurangi kerja
jantung, meningkatkan tenaga cadangan jantung dan menurunkan tekanan darah.
4. Ukur intake dan output
R/: penurunan curah jantung mengakibatkan perfusi ginjal, retensi
natrium/air, dan penurunan urine output.
5. Beri lingkungan tenang dan batasi pengunjung
R/: lingkungan tenang akan menurunkan stimulus nyeri eksternal
dan pembatasan pengunjung akan membantu meningkatkan
kondisi oksigen ruangan yang akan berkurang apabila banyak
pengunjung yang berada di ruangan.
6. Beri O2 3L/menit
R/: terapi pemeliharaan untuk kebutuhan oksigenasi.
c. Intoleransi aktivitas b/d cepat lelah, kelemahan fisik umum sekunder dari perubahan
metabolisme sistemik.
Tujuan: dalam waktu 3x24 jam perawatan diri pasien optimal sesuai tingkat toleransi individu
Intervensi:
1. Kaji perubahan pada sistem saraf pusat dan status kardiorespirasi

R/: identifikasi terhadap kondisi penurunan tingkat kesadaran,


khususnya pada pasien sirosis hepatic dengan ensefalopati.
2. Pantau respon individu terhadap aktivitas
R/: beberapa pasien sirosis hepatis lebih banyak berhubungan
dengan kondisi penurunan fungsi hati dengan manifestasi
anemia, cepat lelah, kondisi ini dipertimbangkandalam
memenuhi aktivitas pasien sehari-hari.
3. Tingkatkan aktivitas secara bertahap
R/: intervensi ini memudahkan pemulihan pada pasien sirosis
hepatis, pascaevakuasi cairan asites dan pasien yang
mempunyai toleransi yang membaik.
4. Ajarkan pasien metodepenghematan energy untuk aktivitas
R/: metode penghematan energy dapat mengurangi kebutuhan
metabolisme pada pasien sirosis hepatis.
5. Berikan bantuan sesuai tingkat toleransi ( makan, minum, mandi, berpakaian dan eliminasi).
R/: teknik penghematan energy menurunkan penggunaan energy
6. Bantu aktivitas sehari-hari pasien
R/: perawat mambantu memfasilitasi kebutuhan pasien untuk
melakukan perawatan diri, kebutuhan eliminasi masih dilakukan
di tempat tidur. Menjaga kewaspadaan umum yaitu dengan
menggunakan sarung tangan, celemek dan masker khususnya
pada pasien sirosis hepatis dengan riwayat hepatitis B & C.
d. Kekurangan volume cairan b/d diare
Tujuan: mempertahankan hidrasi adekuat dibuktikan oleh tanda vital stabil, turgor kulit baik,
pengisian kapiler, nadi perifer kuat, dan haluaran urine individu sesuai.
Intervensi:
1. Awasi masukan dan haluaran, bandingkan dengan berat badan harian.
R/: memberikan informasi tentang kebutuhan penggantian/efek terapi.
2. Kaji tanda vital, nadi perifer, pengisian kapiler, turgor kulit, dan membrane mukosa.
R/: indicator volume sirkulasi/perkusi.
3. Periksa asites atau pembentukan edema. Ukur lingkar abdomen sesuai indikasi.
R/: menurunkan kemungkinan perdarahan kedalam jaringan.
4. Observasi tanda perdarahan contohnya hematuria/melena, ekimosis.
R/: kadar protombin menurun dan waktu koagulasi memanjang bila absorbs vitamin K terganggu
pada traktus GI dan sintesis protombin menurun karena mempengaruhi hati.
5. Awasi nilai laboratorium, contohnya HB/HT, Na+ albumin, dan waktu pembekuan.
R/: menunjukkan hidrasi dan mengidentifikasi retensi natrium/kadar protein yang dapat
menimbulkan pembentukan edema.
e. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d ketidakmampuan untuk
memproses dan mencerna makanan.
Tujuan: menunjukkan peningkatan berat badan progresif mencapai tujuan dengan nilai
laboratorium normal dan tidak mengalami tanda malnutrisi lebih lanjut.
Intervensi:
1. Ukur masukan diet harian dengan jumlah kalori
R/: memberikan informasi tentang kebutuhan pemasukan/ defisiensi
2. Dorong pasien untuk makan semua makanan/ makanan tambahan
R/: pasien mungkin hanya makan sedikit karena kehilangan nafsu
makan dan mengalami mual, kelemahan umum, malaise.
3. Berikan makanan sedikit dan sering
R/: buruknya toleransi terhadap makan banyak berhubungan dengan

4.
5.
6.

f.
1.

2.
3.
4.
5.

peningkatan tekanan intraabdomen/asites.


Berikan makanan halus, hindari makanan kasar sesuai indikasi.
R/: perdarahan dari varises esophagus dapat terjadi pada sirosis berat.
Anjurkan menghentikan merokok.
R/: menurunkan rangsangan gaster berlebihan dan resiko
iritasi/perdarahan.
Berikan obat sesuai indikasi, contoh: tambahan vitamin, tiamin, besi, asam folat.
R/: pasien biasanya kekurangan vitamin karena diet yang buruk
sebelumnya. Juga hati yang rusak tidak dapat menyimpan vit A,
B komplek, D dan K. Juga dapat terjadi kekurangan besi dan
asam folat yang menimbulkan anemia.
Resiko kerusakan integritas kulit b/d gatal-gatal
Tujuan: dalam waktu 3x24 jam tidak terjadi kerusakan integritas kulit.
Intervensi:
Kaji terhadap kekeringan kulit, pruritis, spider navi dan infeksi.
R/: perubahan mungkin disebabkan oleh penurunan aktivitas
kelenjar keringat atau pengumpulan bilirubin pada vascular
integumen.
Kaji terhadap adanya petekie dan purpura.
R/: perdarahan yang abnormal sering dihubungkan dengan
penurunan jumlah dan fungsi platelet akibat hepatitis.
Monitor area yang mudah dijangkau pasien untuk menggaruk.
R/: area-area ini sangat mudah terjadinya injuri.
Anjurka pasien melakukan distraksi pada saat respon gatal.
R/: intervensi untuk menurunkan respon gatal.
Gunting kuku dan pertahankan kuku terpotong pendek dan bersih.
R/: menghindari iritasi integumen akibat bekas garukan dari kuku
pasien yang panjang.

g. Resiko infeksi b/d pertahanan primer tidak adekuat (leukopenia)


Tujuan: menunjukkan teknik melakukan perubahan pola hidup untuk menghindari infeksi.
1. Hitung darah lengkap, perhatikan apakah leukosit menurun atau tiba-tiba terjadi perubahan
pada neutrofril.
R/: penurun jumlah leukosit normal dapat diakibatkan proses
penyakit atau kemoterapi, menyebabkan respon imun dan
peningkatan resiko infeksi.
2. Observasi tanda infeksi contohnya demam dan distres pernafasan berhubungan dengan
ikterik.
R/: ikterik kolestatik dan penurunan fungsi hati mungkin tanda
pertama sepsis dari organisme gram negative.
3. Berikan diet rendah bakteri, misalnya makanan dimasak, diproses.
R/: meminimalkan sumber potensial kontaminasi bacterial.
4. Berikan antibiotik tepat untuk agen pencegahan atau proses sekunder.
R/: untuk mencegah atau membatasi infeksi sekunder.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Sirosis Hepatis adalah penyakit menahun di tandi dengan adanya gangguan struktur
hati yaitu timbulnya jaringan baru yang berlebihan dan tidak saling berhubungan yang di
kelilingi oleh jaringan perut serta gangguan aliran darah ke hati
B. Saran
Sebagai mahasiswa keperawatan kita harus mengetahui tentang penyakit sitosis ini,hal
ini ditujukan apabila mahasiswa menemukan kasus penyakit sirosis hepatis di
lingkungannya,mahasiswa dapat melakukan tindakan lebih awal dengan meminta pasien
memeriksakan dirinya ke dokter. Selainn itu asuhan keperawatan pada klien dengan sirosis
sangat penting dipelajari siswa agar siswa dapat membuat asuhan keperawatan pada klien
dengan sirosis dan merawat klien jika berhadapan langsung dengan klien dengan sirosis
hepatis.

DAFTAR PUSTAKA
Doenges, M .E, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan, EGC, Jakarta
Engram, B, 1999, Rencana asuhan Keperawatan, volume 3, EGC, Jakarta
Gallo, H, 1996, Keperawatan Kritis, volume 2, EGC, Jakarta
NANDA, 2005, Nursing diagnosis, Philadelphia the assocation, Philadelphia
Priharjo, R, 1993, Pengkajian Fisik Keperawatan, EGC, Jakarta
Suddart, B, 2002, Keperawatan Medikal Bedah, edisi 8, EGC, Jakarta
Waspandji, S, 1987, Ilmu Penyakit Dalam, Balai penerbit , edisi 2, FKUI, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai