Anda di halaman 1dari 7

RSUD Akan Berada Dibawah Dinas Kesehatan ?

Kajian Kritis terhadap UU 23 / 2014 Tentang Pemerintah Daerah

Sampai dengan saat ini saya masih memimpikan bahwa urusan kesehatan menjadi
urusan absolute yang menjadi kewenangan pemerintah pusat. Era desentralisasi
atau otonomi daerah diberlakukan di Indonesia pada Tahun 1999 sejak
diberlakukaknnya UU Nomor 22 Tahun 1999 yang diperbaharui pada tahun 2004
dengan UU Nomor 32 Tahun 2004. Sejak saat itu, urusan kesehatan diserahkan
kepada pemerinta daerah sampai dengan saat ini. Dari awal pelaksanaan
desentralisasi kesehatan, saya pribadi sudah seringkali menentang dan bersikap
kritis.
Harapan saya bertumpu pada revisi terakhir terhadap Undang-Undang Pemerintah
Daerah dengan terbitnya UU Nomor 23 Tahun 2014 yang disahkan tahun lalu.
Namun ternyata harapan tinggal harapan, jauh panggang dari api dan kembali harus
menelan asa dan menyimpan mimpi itu lagi. UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah
Daerha Pasal 10 Ayat (1) seolah menjadi palu godam yang memupuskan harapan
bahwa urusan kesehatan bisa dikembalikan lagi menjadi urusan pemerintah pusat
yang ter-sentralilsasi.
Di negara Indonesia, urusan pemerintah itu dibagi menjadi tiga yaitu : urusan
pemerintahan absolute, urusan pemerintahan konkruen dan urusan pemerintahan
umum. Urusan pemerintahan absolut adalah Urusan Pemerintahan yang
sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Urusan pemerintahan
konkuren adalah Urusan Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan
Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota. Urusan pemerintahan konkuren yang
diserahkan ke Daerah menjadi dasar pelaksanaan Otonomi Daerah. Sedangkan
urusan pemerintahan umum adalah Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan. (UU 23/2014 Pasal 9 Ayat (1)
sampai Ayat (5) ).
Pasal 10 Ayat (1) UU 23/2014 menjabarkan bahwa urusan pemerintahan absolut
yang menjadi kewenangan pemerintah pusat meliputi urusan politik luar negeri,
pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional serta agama.
Sementara urusan pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan Daerah terdiri
atas Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan. Urusan
Pemerintahan Wajib sebagaimana dimaksud terdiri atas Urusan Pemerintahan yang
berkaitan dengan Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan yang tidak berkaitan
dengan Pelayanan Dasar.
Dimanakah kedudukan urusan tentang kesehatan ? Terdapat pada Pasal 12 Ayat (1)
yang menjelaskan bahwa Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan

Pelayanan Dasar meliputi : pendidikan, KESEHATAN, pekerjaan umum dan


penataan ruang, perumahan rakyat dan kawasan permukiman, ketenteraman,
ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat serta sosial. Di pasal inilah semakin
menegaskan bahwa urusan kesehatan MASIH menjadi urusan wajib pemerintah
daerah. Sehingga harapan akan dikembalikannya urusan kesehatan menjadi
dibawah kewenangan pemerintah pusat telah sirna.
Urusan Kesehatan Di Era Otonomi Daerah
Perbedaan yang paling mencolok pada sektor kesehatan sejak era otonomi adalah
berubahnya status kepegawaian PNS pada sektor kesehatan (Dinas Kesehatan dan
Rumah Sakit) dari PNS Depkes (kala itu) menjadi PNS Daerah. Namun secara
substansial bahwa desentralisasi urusan kesehatan ini telah menyisakan beberapa
persoalan yang menurut saya pribadi perlu untuk dikaji dan dianalisa lebih dalam,
diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Urusan kesehatan menjadi kental dengan kepentingan politik lokal pemerintah
daerah setempat. Isu-isu tentang kesehatan selalu menjadi dagangan politik
menjelang Pilkada dan tetap laris manis diterima oleh masyarakat.
2. Penunjukan pimpinan lembaga yang bergerak di sektor kesehatan (Dinas
Kesehatan dan RSUD) kerap kali lebih mengedepankan pertimbangan politis
ketimbang analisis kompetensi, persyaratan minimal jabatan dan tanpa melalui
proses fit and proper test. Sebelum UU Rumah Sakit berlaku, banyak dijumpai
direktur rumah sakit BUKAN seorang dokter sebagaimana terdapat seorang
Kepala Dinas Kesehatan yang berlatar pendidikan Sarjana Agama (S.Ag), hal ini
terjadi karena pemilihan lebih ke arah loyalitas ketimbang profesionalitas.
3. Munculnya isue bahwa RSUD menjadi sapi perahan pemerintah daerah
(terutama sebelum adanya aturan RSUD harus menjalankan PPK-BLUD), Dinas
Kesehatan menjadi salah satu unit penghasil (Revenue Center) yang berperan
penting dalam menyumbang PAD sebuah daerah.
4. Adanya kebingungan para pemangku kepentingan sektor kesehatan di daerah
dengan adanya dua induk yang harus berpijak pada dua kaki di alam yang
berbeda. Satu kaki terkait dengan aturan-aturan birokrasi aparatur pemerintah
harus tunduk dan patuh terhadap ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan oleh
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), sementara satu kaki lagi harus tetap
mempedomani standar, aturan dan ketentuan dari kementerian teknis sektor
kesehatan yaitu Kementrian Kesehatan (Kemenkes).
5. Banyaknya aturan-aturan yang secara tidak sengaja saling bertabrakan dan
berbenturan antara produk hukum Kemendagri yang harus dipatuhi dan aturan
hukum dari Kemenkes yang juga wajib dipedomani. Bahkan aturan dari
kementrian yang samapun bisa berbenturan manakala aturan tersebut mengatur
hal yang bersifat khusus. Sebagai contoh adanya Permendagri Nomor 61 Tahun
2007 tentang PPK-BLUD yang agak sedikit bertentangan dengan Permendagri

Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Dalam


Permendari 61/2007 dikenal istilah RBA (Rencana Bisnis Anggaran) sementara
Permendagri 13/2006 tetap menggunakan istilah RKA (Rencana Kegiatan dan
Anggaran) dan DPA (Dokumen Pelaksanaan Anggaran). Begitu juga dengan
standar akuntansi keuangan yang digunakan di Pemendagri 13/2006 masih tetap
menggunakan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) yang bersifat cashbased sementara Permendagri 61/2007 telah menggunakan Standar
Akuntansi Keuangan (SAK) yang bersfiat accrual-based. Dampaknya adalah
bagi RSUD yang sudah menerapkan PPK-BLUD maka harus membuat RBA dan
juga membuat DPA, harus menggunkan SAK dan juga SAP yang seringkali harus
dilakukan rekonsiliasi karena adanya perbedaan data keuangan rumah sakit.
6. Meskipun standar SDM dan standar kompetensi telah diatur oleh Kemenkes,
namun persoalan krusial menyangkut standar penghasilan (salary) tenaga
kesehatan masih diserahkan kepada kemampuan pemerintah daerah masingmasing. Akibatnya apa? Terjadinya disparitas yang terlalu jauh terhadap
kesejahteraan tenaga kesehatan terkait reward antara daerah yang kaya (PAD
tinggi) dengan daerah yang masih tertinggal (PAD rendah). Begitu juga dengan
standar kebutuhan SDM yang masih bervariasi antar daerah satu dengan yang
lainnya menjadi persoalan tersendiri sehingga jika kita melihat sebaran
(distribusi) tenaga dokter khususnya dokter spesialis di Indonesia pada hari ini
yang tidak merata, maka inilah salah satu faktor penyebabnya.
7. Kemenkes selaku regulator bidang kesehatan sebetulnya telah banyak
mengeluarkan aturan, ketentuan, pedoman dan standarisasi dengan tujuan agar
pelayanan kesehatan akan dirasakan sama dan merata oleh masyarakat dari
Sabang sampai Merauke. Namun fakta di lapangan, banyak hal yag berbenturan
dengan aturan-aturan lokal daerah seperti Perda, Perbup dan Kepbup
(PERKADA). Fungsi pengawasan dan kontrol oleh Dinas Kesehatan masih lemah
karena meskipun memiliki instrumen yang jelas dari Kemenkes namun tetap sulit
karena berbenturan dengan kepentingan politis lokal.

UU 23/2014 Dan Lenyapnya Kedudukan RSUD


Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi
Pemerintah Daerah (OPD) jelas disebutkan bahwa perangkat daerah terdiri dari :
Sekretariat Daerah, Sekretariat DPRD, Inspektorat, BAPPEDA, Dinas, Lembaga
Teknis Daerah (LTD) dan Kecamatan. Lembaga Teknis Daerah bisa berbentuk
Badan, Kantor dan RUMAH SAKIT. Sehingga jelas kedudukan RSUD adalah sebagai
Lembaga Teknis Daerah yang dipimpin oleh seorang direktur yang
bertanggungjawab langsung kepada Kepala Daerah melalui Sekretaris Daerah (PP
41/2007 Pasal 8 dan Pasal 15).

Namun dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah Pasal 209 Ayat
(2) yang berbunyi bahwa Perangkat Daerah kabupaten/kota terdiri atas : Sekretariat
Daerah, Sekretariat DPRD, Inspektorat, Dinas, Badan dan Kecamatan. Hilanglah
sudah LEMTEKDA sebagai induk lembaga RSUD sebagaimana tercantum pada PP 41
Tahun 2007.
Satu-satunya tafsiran sebagai pintu masuk terhadap entitas RSUD adalah pada Pasal
219 Ayat (1) yang menyebutkan bahwa Badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
209 ayat (1) huruf e dan ayat (2) huruf e dibentuk untuk melaksanakan fungsi
penunjang Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah meliputi :
perencanaan, keuangan, kepegawaian serta pendidikan dan pelatihan, penelitian
dan pengembangan dan fungsi lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Hanya pada poin terakhir yaitu menjalankan fungsi lain
sesuai dengan ketentuan peraturan perudang-undangan yang memungkinkan
sebagai pintu masuk UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit karena berlaku
azas hukum Lex Specialis Derogat Legi Generalis. Jika kita menganggap ini
adalah pintu masuk terhadap legalitas badan hukum rumah sakit, maka kedepan
rumah sakit akan menjadi sebuah Badan dengan dipimpin oleh seorang Kepala
Badan.
RSUD Menjadi UPTD Dinas Kesehatan ?
Dalam UU 23 Tahun 2014 tidak disebutkan adanya kewenangan Dinas membentuk
Unit Pelaksana Teknis sebagaimana pada PP 41 Tahun 2007 Pasal 14 Ayat (6) yang
secara tegas menyatakan bahwa pada dinas daerah dapat dibentuk unit pelaksana
teknis dinas untuk melaksanakan sebagian kegiatan teknis operasional dan/atau
kegiatan teknis penunjang yang mempunyai wilayah kerja satu atau beberapa
kecamatan. Substansi pembentukan Unit Pelaksan Teknis Dinas (UPTD) adalah
untuk melakukan koordinasi dinas yang memiliki rentang kendali dengan unit
kerjanyanya. Sehingga Puskesmas memang betul menjadi UPTD Dinas Kesehatan.
Mari melihat tinjauan kedudukan rumah sakit dalam Undang-Undang 44 Tahun 2009
tentang Rumah Sakit. Pasal 7 Ayat (3) UU RS 44/2009 menyebutkan bahwa Rumah
Sakit yang didirikan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah HARUS berbentuk Unit
Pelaksana Teknis dari Instansi yang bertugas di bidang kesehatan, Instansi tertentu,
ATAU Lembaga Teknis Daerah dengan pengelolaan Badan Layanan Umum atau
Badan Layanan Umum Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Dapat ditafsirkan bahwa pilihan menjadi Unit Pelaksana Teknis (UPT) dari instansi
yang bertugas di bidang kesehatan adalah Rumah Sakit vertikal milik Pemerintah
melalui Kementerian Kesehatan. Pada kenyataannya, memang RSUP-RSUP yang ada
di Indonesia adalah merupakan UPT nya Kementerian Kesehatan dibawah Direktorat
Jendral Bina Upaya Kesehatan (BUK) seperti RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta,

RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung, RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta dan lain-lainnya.
UPT yang dimaksud disini adalah Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP), sedangkan
instansi di bidang kesehatan adalah Kementerian Kesehatan. Harap dicermati bahwa
tidak ada pilihan menjadi UPTD (Unit Pelaksana Teknis Dinas), bedakan antara UPTD
dengan UPT (Unit Pelaksana Teknis).
Sehingga jika fakta bahwa RSUP Dr. Cipto Mangungkusumo (RSCM) sebagai UPT
nya Ditjen BUK Kemenkes kemudian menjadikan sebagai dasar pemikiran bahwa
RSUD sebagai UPTD nya Dinas Kesehatan adalah kekeliruan dalam meng-analogikan. Membandingkan sesuatu tidak secara apple-to-apple.
Kembali ke UU Rumah Sakit Nomor 44 Tahun 2009 terkait kedudukan rumah sakit,
terdapat pilihan ATAU menjadi Lembaga Teknis Daerah (LTD) dengan
pengelolaan secara BLU atau BLUD. Jadi kesimpulan atas tafsiran Pasal 7 Ayat (3)
tersebut adalah jika rumah sakit milik Pemerintah Pusat maka HARUS dalam
bentuk UPT yang berada dibawah Ditjen BUK Kemenkes dengan pengelolaan secara
Badan Layanan Umum (BLU), sedangkan jika rumah sakit milik Pemerintah
Daerah maka HARUS dalam bentuk Lembaga Teknis Daerah dengan
pengelolaan secara Badan Layanan Umum Daerah (BLUD). Ini sejalan dengan
PP 41 Tahun 2007 yang menyatakan bahwa rumah sakit daerah berbentuk Lembaga
Teknis Daerah dibawah kepala daerah langsung. Lembaga Teknis Daerah (LTD)
sangat berbeda dengan UPTD karena Lembaga Teknis Daerah (LTD) berada
dibawah kepala daerah langsung dan bertanggungjawab kepada kepala daerah
melalui sekretaris daerah, sementara UPTD adalah dibawah Dinas dan
bertanggungjawab langsung kepada kepala dinas.
Sempat mendapatkan informasi bahwa akan terbit Undang-Undang Nomor 39 Tahun
2015 yang masih dalam bentuk RUU (Rancangan tapi sudah ada nomernya ?) yang
akan mengatur secara rinci fungsi dan kedudukan rumah sakit umum daerah dimana
informasi tersebut menyatakan bahwasanya RSUD akan menjadi lembaga
fungsional murni (non eselon) berbentuk UPTD dibawah Dinas Kesehatan.
Dasar pemikirannya adalah karena tidak boleh ada matahari kembar yang
membidangi urusan kesehatan di satu daerah, selain itu juga untuk memperkuat
fungsi pengawasan dan pembinaan RSUD oleh Dinas Kesehatan yang dirasakan
masih belum optimal. Juga untuk meningkatkan fungsi koordinasi kebijakan dan
teknis antara RSUD dengan Dinas Kesehatan.
Sampai detik ini saya sudah mencoba mencari-cari draft RUU yang belum diketahui
tema nya tersebut, namun saya belum menemukan draft atau minimal Daftar
Inventaris Masalah (DIM) RUU-nya yang biasanya menjadi proses lazim setiap
penyusunan sebuah produk hukum.
Persoalan yang pasti akan mengikuti adalah seperti pendapat akademisi Prof.
Laksono Trisnantoro dari UGM dalam sebuah seminar nasional tentang

Kedudukan Rumah Sakit dalam UU 23/2014 di Semarang baru-baru ini yang


menyatakan bahwasanya antara regulator dan operator tidak bisa dijadikan satu
dalam sebuah kelembagaan. Dinas Kesehatan akan menjalankan DWI FUNGSI
yaitu sebagai Regulator dan sebagai Operator sehingga akan sangat memberatkan
karena akan membidangi urusan kesehatan dari hulu sampai ke hilir. Sebuah contoh
menarik adalah hubungan antara Kementerian Perhubungan dengan Maskapai
Penerbangan. Kementerian Perhubungan adalah sebagai Regulator yang menyusun
dan menetapkan Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) tentang
angkutan udara dan keselamatan penumpang. Sementara Maskapai Garuda
Indonesia, Lion Air, Air Asia dan sebagainya adalah berfungsi sebagai operator di
lapangan yang menjalankan regulasi dari Kementerian Perhubungan. Jadi antara
regulator dan operator memang tidak bisa disatukan karena masing-masing memiliki
tupoksi dan ranah tanggungjawabnya sendiri-sendiri.
Persoalan yang pasti akan segera muncul ketika memang benar bahwa RSUD akan
menjadi UPTD nya Dinas Kesehatan adalah :
1. Bagaimana dengan status BLUD sebuah RSUD ? Ada kemungkinan akan batal
demi hukum apabila belum ada Peraturan Kepala Daerah (PERKADA) tentang
BLUD secara umum karena berubahnya status badan hukum rumah sakit dari
sebelumnya adalah sebagai Lembaga Teknis Daerah berubah menjadi Unit
Pelaksana Teknis Dinas (UPTD).
2. Bagaimana dengan RSUD yang kebetulan saat ini masih menjadi pusat
pendidikan kedokteran ? Perlu dipahami bahwa kondisi saat ini di Indonesia tidak
semua rumah sakit yang digunakan sebagai pusat pendidikan kedokteran adalah
milik Kementerian Kesehatan atau RSUP. Sebagi contoh RSUD Dr. Moewardi
Surakarta adalah rumah sakit daerah milik Pemerintah Propinsi Jawa Tengah
yang menjadi pusat pendidikan klinis FK UNS dan RSUD Dr. Soetomo
Surabaya adalah rumah sakit daerah milik Pemerintah Propinsi Jawa Timur yang
menjadi pusat pendidikan klinis FK UNAIR. Meskipun saat ini sudah didorong
setiap Fakultas Kedokteran sebuah unversitas harus memiliki rumah sakit
pendidikan (Teaching Hospital) sendiri yang terpisah dengan rumah sakit
pelayanan (Services Hospital), namun faktanya contoh kedua rumah sakit
daerah tersebut diatas sampai saat ini masih dipergunakan sebagai pusat
pendidikan dokter khususnya Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS). Saya pribadi
meyakini bahwa akan timbul banyak persoalan tentang perubahan status dan
badan hukum kedua rumah sakit tersebut.
Jadi... alih-alih adanya reformasi bidang kesehatan yang mengembalikan urusan
kesehatan sebagai urusan pemerintah yang bersifat absolute dibawah kendali penuh
pemerintah pusat, yang terjadi malahan kedudukan RSUD menjadi lenyap tak
berbekas berdasarkan UU 23 Tahun 2014 ini. Dari dokumen notulensi hasil rapat
pengurus Asosiasi Rumah Sakit Daerah (ARSADA) Tanggal 13 Oktober 2014 di

Semarang terdapat beberapa persamaan pandangan dan pola pikir dengan tulisan
ini. Sedikit berbeda dalam hal pengambilan rujukan dasar hukumnya, jika kajian
ARSADA lebih banyak mengambil referensi dari PP Nomor 08 Tahun 2003 tentang
Pedoman Organisasi Perangkat Daerah namun dalam tulisan ini saya banyak
mengambil rujukan dari PP Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat
Daerah (OPD). Yang menarik juga adalah menunggu sikap dan langkah selanjutnya
dari ARSADA terkait hal ini. Bagaimana juga dengan nasib perjuangan anggaran
kesehatan seperti amanat UU 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan ? Nampaknya
mimpi ini harus dibawa tidur kembali sembari berharap akan adanya sebuah gerakan
besar merubah Sistem Kesehatan Nasional (SKN) di Indonesia. Wallahualam.
Sekian,
Tri Muhammad Hani
RSUD Bayu Asih Purwakarta
Jl. Veteran No. 39 Kabupaten Purwakarta Jawa Barat

Anda mungkin juga menyukai