Anda di halaman 1dari 16

TERAPI HIV/AIDS

1. Abacavir sulfate (Ziagen)


1.1. Dosis dan indikasi :
Dewasa : 300 mg p.o. b.i.d. bersama antiretroviral (ARV) lainnya
Anak usia 3 bulan 16 tahun : 8 mg/kg p.o. b.i.d bersama antiretroviral (ARV)
lainnya
1.2. Mekanisme aksi :
Sebagai antiviral : diubah secara intraselular menjadi metabolit aktif carbovir
trifosfat, yang akan menghambat aktivitas transkripsi HIV-1 dengan cara
berkompetisi menempati substrat deoxyguanosine-5-triphosphate (dGTP) dan
dengan bergabung dengan DNA virus.
1.3. Farmakokinetika :
Absorbsi : dengan cepat diabsorbsi setelah administrasi secara oral. Bioavailabilitas
absolute rata-rata tablet adalah 83%.
Distribusi : didistribusikan secara ekstravaskular. Sekitar 50% obat terikat dalam
protein plasma.
Metabolisme : umumnya dimetabolisme oleh alkohol dehidrogenase dan glukorinil
transferase menjadi metabolit yang akan menghambat aktivitas virus.
Ekskresi : umumnya diekskresi melalui urine; sekitar 16% dosis diekskresi melalui
feces. T

eliminasi pada dosis tunggal adalah 1 2 jam.

Onset dan durasi tidak diketahui.


1.4. Kontraindikasi dan perhatian :
Kontraindikasi pada pasien yang hipersensitif dengan obat atau komponen
obat. Hati-hati penggunaan pada pasien yang mengalami gangguan hati, mengalami
reaksi hipersensitif, ibu hamil dan menyusui serta pada anak-anak usia 3 bulan-13
tahun, obat ini tidak dijamin keamanan dan efikasinya.
1.5. Efek samping :

CNS
GI
Kulit
Lainnya

: insomnia dan gangguan tidur, sakit kepala


: nausea, vomiting, diare, anorexia
: ruam
: hipersensitivitas, demam

1.6. Interaksi : tidak diketahui

2. Stavudine (d4T) (Zerit)


2.1. Dosis dan indikasi :
Treatment pasien infeksi HIV yang telah menerima terapi awal zidovudin
Dewasa dan anak-anak dengan BB 60 kg atau lebih : 30 mg p.o. q 12 jam
Dewasa dan anak-anak dengan BB di atas 30 kg tapi di bawah 60 kg : 30 mg p.o.
q 12 jam
Anak-anak dengan BB di bawah 30 kg : 1 mg/kg q 12 jam
Pemberian dosis: untuk anak-anak dengan kelainan ginjal, pemberian dosis
mengikuti table di bawah ini :
Cretinin clearance (ml/min)

Dosis untuk pasien dengan Dosis untuk pasien dengan

26-50
10-25

berat badan 60 kg
20 mg q 12 hours
20 mg q 24 hours

berat badan < 60 kg


15 mg q 12 hours
15 mg q 24 hours

Dewasa yang mengalami hemodialisa : 20 mg q 24 jam untuk pasien dengan BB


60 kg dan 15 mg q 24 jam untuk pasien dengan BB < 60 kg
2.2. Mekanisme aksi :
Sebagai antiviral : stavudin di fosforilasi menjadi stavudin trifosfat, yang akan
memperlambat replikasi HIV dengan cara menghambat transkripsi virus dan
menghambat sintesis DNA virus. Trifosfat ini juga menghambat polymerase DNA
selular dan menurunkan sintesis DNA mitokondria.
2.3. Farmakokinetika :
Absorbsi : dengan cepat diabsorbsi setelah administrasi secara oral.
Bioavailabilitas absolute rata-rata tablet adalah 86,4%.
Distribusi : didistribusikan secara ekstravaskular dengan Vd 58 L. Hanya sedikit
obat terikat dalam protein plasma.
Metabolisme : belum diketahui dengan jelas
Ekskresi : ClT 40%
2.4. Kontraindikasi dan perhatian :

Kontraindikasi pada pasien yang hipersensitif dengan obat atau komponen


obat. Hati-hati penggunaan pada pasien yang mengalami gangguan renal, riwayat
neuropati peripheral dan pada wanita hamil.
2.5. Efek samping :
CNS

: neuropati peripheral, insomnia, kecemasan, depresi, sakit


kepala, gugup, malaise, asthenia, dizziness

CV

: nyeri pada dada

EENT

: konjuktivitis

GI

: nyeri abdominal, nausea, vomiting, diare, anorexia,


dyspepsia, konstipasi

Hematologi

: neutropenia, trombositopenia, anemia

Hati

: meningkatkan jumlah enzim-enzim hati, hepatotoksik

Metabolik

: penurunan berat badan

Musculoskeletal

: myalgia, nyeri punggung, arthralgya

Pernafasan

: dyspnea

Kulit

: ruam, diaphoresis, pruritus, maculopapular rash

2.6. Interaksi :
Penggunaan bersama obat obat Didanosin dan hidroksiurea dapat
meningkatkan resiko hepatotoksik dan pankreatitis.
3. Tenofovir
3.1. Dosis : 300 mg sehari sekali
3.2. Mekanisme :
Tenofovir termasuk golongan analog nukleotida atau nucleotide reverse
transcriptase inhibitor (NRRTI). Obat golongan ini menghambat enzim reverse
transcriptase. Enzim ini mengubah bahan genetik (RNA) HIV menjadikannya
bentuk DNA. Ini harus terjadi sebelum kode genetik HIV dapat dimasukkan ke
kode genetik sel yang terinfeksi HIV.
3.3. Farmakokinetika: t Tenofovir kurang lebih 10 jam

3.4. Kontraindikasi dan Efek samping :


Efek samping tenofovir yang paling umum adalah mual, muntah, dan hilang
nafsu makan. Pada beberapa orang tenofovir dapat meningkatkan tingkat enzim
ginjal kreatinin dan enzim hati ALT. Bila tingkat enzim ini terlalu tinggi, hal ini
dapat menunjukkan adanya kerusakan pada organ tersebut.
3.5. Interaksi obat :
Tingkat tenofovir dalam darah meningkat bila dipakai bersama dengan protease
inhibitor

atazanavir

atau

lopinavir/ritonavir

(Kaletra).

Hal

ini

dapat

meningkatkan risiko efek samping tenofovir. Tenofovir juga mengurangi tingkat


atazanavir dalam darah. Bila atazanavir dipakai bersama dengan tenofovir,
sebaiknya juga ditambah ritonavir.
Tenofovir tidak mempengaruhi tingkat metadon, ribavirin atau adefovir dalam
darah. Tidak diketahui interaksi antara tenofovir dengan buprenorfin.
Tenofovir diuraikan oleh ginjal. Tenofovir tidak dimetabolisasi oleh hati, jadi
kemungkinan obat ini tidak akan berinteraksi dengan sebagian besar obat lain.
Namun, beberapa obat dengan nama dengan -ovir di belakang, misalnya
asiklovir atau gansiklovir dapat berinteraksi dengan tenofovir.
4. DELAVIRDINE
4.1. Dosis dan indikasi :
Dewasa = 400mg tiga kali sehari. Obat ini tidak menyembuhkan atau
mencegah infeksi HIV atau AIDS dan tidak mengurangi risiko penularan virus ke
orang lain me
4.2. Mekanisme: menghalangi replikasi HIV secara langsung
4.3. Farmakokinetika:
4.4. Kontraindikasi: individu yang mempunyai penyakit hati.
4.5. Efek samping:
Ruam kulit melepuh selama 1-3minggu, demam, sendi atau nyeri otot,
kemerahan dan pembengkakan mata, luka di mulut, dan pembengkakan; serius
masalah ginjal, anemia, dan masalah hati dan otot, diare, mual, muntah, kelelahan
yang tidak biasa, dan sakit kepala.

4.6. Interaksi obat


Rifampisin

(Rifadin),

rifabutin

(Mycobutin),

saquinavir

(Invirase),

antikonvulsan (misalnya, Dilantin, Tegretol), antasida dan ddI (Videx) dapat


mengurangi konsentrasi Delavirdine dalam darah sehingga mengurangi
efektivitas Delavirdine.
Clarithromycin (Biaxin), ketoconazole (nizoral) dan fluoxetine (Prozac) dapat
meningkatkan konsentrasi Delavirdine dalam darah ini dan juga dapat
menyebabkan meningkatnya efek samping dari Delavirdine.
Delavirdine meningkatkan konsentrasi darah indinavir (Crixivan), saquinavir
(Invirase),

warfarin

(Coumadin),

quinidine

(Cardioquin,

Quinaglute),

clarithromycin (Biaxin), benzodiazepin (misalnya, Valium, Ativan), nifedipine


(Adalat, Procardia) dan ergotamine (Ergostat). Penggunaan Delavirdine dengan
obat-obat tersebut dapat meningkatkan risiko efek samping yang serius dari
obat-obatan tersebut.
5. Lamivudine
5.1. Dosis dan indikasi:
Per oral 300 mg/ hari ( 1 tablet 150 mg, 2x sehari atau 1 tablet 300 mg 1x
sehari ). Untuk terapi HIV lamivudin, dapat dikombinasikan dengan zidovudin atau
abakavir.
5.2. Mekanisme kerja :
Obat ini bekerja pada HIV RT dan HBV RT dengan cara menghentikan
pembentukan rantai DNA virus.
5.3. Farmakokinetika:
Ketersediaan hayati lamivudin per oral cukup baik dan bergantung pada
ekskresi ginjal.T = 5-7 jam
5.4. Kontraindikasi:
5.5. Efek samping : Sakit kepala dan mual.
5.6. Interaksi obat : Adanya resistensi silang dengan didanosin dan zalsitabin.
6. Zidovudin

6.1. Dosis dan indikasi :


Dalam bentuk kapsul 100 mg, tablet 300 mg dan sirup 5 mg /5ml disi peroral
600 mg / hari. Digunakan untuk infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti HIV
lainnya(seperti lamivudin dan abakafir)
6.2. Mekanisme kerja :
Zidovudin bekerja dengan cara menghambat enzim reverse transcriptase virus,
setelah gugus asidotimidin (AZT) pada zidovudin mengalami fosforilasi. Gugus
AZT 5- mono fosfat akan bergabung pada ujung 3 rantai DNA virus dan
menghambat reaksi reverse transcriptase.
6.3. Farmakokinetik:
Obat mudah diabsorpsi setelah pemasukan oral dan jika diminum bersama
makanan, kadar puncak lebih lambat, tetapi jumlah total obat yang diabsorpsi tidak
terpengaruh. Penetrasi melewati sawar otak darah sangat baik dan obat mempunyai
waktu paruh 1jam. Sebagian besar AZT mengalami glukuronidasi dalam hati dan
kemudian dikeluarkan dalam urine. T = 1 jam
6.4. Kontraindikasi
6.5. Efek samping : anemia, neotropenia, sakit kepala, mual.
6.6. Interaksi obat:
7. ENFUVIRTIDE
7.1. Dosis dan indikasi:
Digunakan untuk pengobatan infeksi HIV-1. Dalam terapi dikombinasi dengan
agen ARV lain. Enfuvirtide disuntik dibawah kulit (subcutan). Dosis yang
dianjurkan Enfuvirtide adalah 90 mg (1 ml) dua kali sehari. Untuk anak-anak usia 6
sampai 16 tahun, dosis yang dianjurkan adalah 2 mg / kg dua kali sehari (dosis
maksimum 90 mg dua kali sehari).
7.2. Mekanisme
Mengikat heptad-repeat 1 (HR1) di dalam subunit gp41 pada glikoprotein
selubung virus. Pengikatan ini menghambat bergabungnya virus HIV-1 dengan sel

CD4 dengan meghalangi/memblok perubahan konformasi dalam gp41 yang


diperlukan untuk penggabungan membran dan masuk ke dalam sel CD4
7.3. Farmakokinetika
T eliminasi: 3,8 jam
7.4. Kontraindikasi
Hipersensitif terhadap enfuvirtide atau komponen lain yang terkandung dalam obat
7.5. Efek samping
Memar, gatal, nodul, nyeri, dan kemerahan. 98% pasien mengalami reaksi pada
kulitnya. Yang lebih serius efek samping obat ini adalah reaksi alergi parah dengan
menggigil, demam, mual dan muntah, masalah ginjal, tekanan darah rendah,
kelumpuhan, ruam parah, kesulitan bernapas dan infeksi berat di tempat-tempat
penyuntikan. Selainitu biasanya efek samping yang terjadi juga berupa rasa tidak
enak di mulut, sembelit, batuk, depresi, diare, infeksi mata, flu, kelelahan, infeksi
herpes simpleks, ruam gatal, kehilangan nafsu makan, nyeri otot dan kelemahan,
rasa sakit dan kesemutan di tangan dan kaki, mual, gugup, masalah sinus, kutil
kulit, sakit perut, pembengkakan kelenjar, dan sulit tidur
7.6. Interaksi Obat
8. DARUNAVIR
8.1. Dosis dan indikasi:
Dosis per-oral untuk dewasa : 600 mg, digunakan dua kali sehari bersama
dengan makanan.
Catatan : koadministrasi dengan ritonavir (100 mg dua kali sehari) bila perlu.
8.2. Mekanisme:
Mengikat HIV-1 protease dan menghambat aktivitas enzimnya. HIV Protease
diperlukan untuk pembelahan virus Gag-Pol poliprotein yang merupakan prekursor
ke fungsional protein individu yang terinveksi HIV. Penghambatan pembelahan
poliprotein ini, menghasilkan pembentukan yang tidak sempurna dan virus tidak
lagi menginfeksi.
8.3. Farmakokinetika

T eliminasi: 15 jam (bersama ritonavir)


8.4. Kontraindikasi
Hipersensitif terhadap darunavir atau komponen lain yang terkandung dalam
formulasi obat. Pemakaian bersaman dengan obat-obat seperti : cisapride,
dihidroergotamin,

ergonovine,

ergotamine,

methylergonovine,

midazolam,

pimozide, triazolam, atau substrat CYP3A4 utama lainnya.


8.5. Efek samping
Diare, mual, sakit kepala, pilek atau sakit tenggorokan, radang hati, tes fungsi
hati

yang

abnormal,

ruam

kulit,

gatal-gatal,

kematian

jaringan

tulang

(osteonekrosis), demam, dan kolesterol normal dan trigliserida tinggi.


Kerusakan hati, terutama drug-induced hepatitis, dapat terjadi ketika darunavir
dan ritonavir dugunakan bersama-sama. Tanda dan gejala kerusakan hati meliputi
tes fungsi hati yang abnormal, urin gelap, sakit kuning, dan kelembutan hati. Pasien
yang koinfeksi hepatitis atau yang sudah memiliki tes fungsi hati yang abnormal
harus dimonitoring selama beberapa bulan pertama.
8.6. Interaksi Obat
9. EFAVIRENZ
9.1. Dosis dan indikasi:
Dewasa (> 12 tahun)= 600mg/ hari.
Digunakan untuk infeksi HIV yang dikombinasikan dengan obat antiretroviral
lainnya.
9.2. Mekanisme:
Efavirenz memiliki aktivitas melawan HIV-1 dengan mengikat untuk mengubah
transcriptase. Ini mengakibatkan pemblokan aktivitas DNA polymerase meliputi
replikasi HIV-1. Ini tidak memerlukan fosforilasi intraseluler untuk aktivitas
antiviral.
9.3. Farmakokinetika:
Diabsorbsi lebih dari 50% dengan makanan berlemak. Dimetabolisme di hati dan
diekskresi lewat feses.
9.4. Kontraindikasi dan perhatian:

gangguan hepar dan ginjal, hepatitis B dan C, ibu hamil ibu menyusui
9.5. Efek samping:
Kemerahan pada kulit, pening, sakit kepala, insomnia, kelelahan, sulit
berkonsentrasi, mual, muntah, diare.
9.6. Interaksi obat:
Berhubungan dengan efek sitokrom P450.
Jika digunakan bersama dengan obat-obatan yang dimetabolisme oleh enzim ini
akan meningkatkan efek dari efavirenz.
Penggunaan bersama dengan fenobarbital, rifampin, rifabutin dapat menurunkan
konsentrasi efavirenz dalam serum.
10. NEVIRAPINE
10.1. Dosis dan indikasi:
Dewasa: 1 kali sehari 200mg untuk 14 hari pertama. Jika tidak muncul ruam merah
selanjutnya 200mg setiap 2 kali sehari.
Anak-anak (2bulan-8tahun) : 4mg/kg 1 kali sehari selama 14 hari pertama. Jika
tidak muncul ruam merah selanjutya 7mg/kg 2 kali sehari.
Digunakan untuk infeksi HIV awal ataupun pertengahan yang biasanya
dikombinasikan dengan 2 obat antiretroviral yang lain.
10.2. Mekanisme:
Nevirapinz memiliki aktivitas melawan HIV-1 dengan mengikat untuk mengubah
transcriptase. Ini mengakibatkan pemblokan aktivitas DNA polymerase meliputi
replikasi HIV-1. Ini tidak memerlukan fosforilasi intraseluler untuk aktivitas
antiviral.
10.3. Farmakokinetika:
Diabsorpsi lebih dari 90% dan terikat protein plasma sebesar 50%-60%.
Diekskresi lewat urin. Kurang dari 3% sebagai obat yang tidak diubah.
10.4. Kontraindikasi:
Ibu menyusui dan orang yang memiliki gangguan hati serta post-exposure
profilaksis.
10.5. Efek samping:

Ruam merah, mual, hepatitis, sakit kepala, sakit perut, kelelahan, demam, dan
myalgia.
10.6. Interaksi obat:
Berhubungan dengan efek sitokrom P450.
Cimetidine, itraconazole, ketoconazole, dan beberapa antibiotic makrolida dapat
meningkatkan konsentrasi obat ini di dalam plasma. Penggunaan bersama
dengan protease inhibitor dan kontrasepsi oral dapat meningkatkan efek toksik
obat ini.
Rifampin dan rifabutin dapat menurunkan konsentrasi nevirapine. Nevirapine
dapat menurunkan efektivitas dari kontrasepsi oral, ketokonasol dan methadone.

KOMPLIKASI HIV/AIDS
Komplikasi muncul akibat penyakit atau penggunaan obat untuk mengobatinya termasuk
nyeri, kejang, ruam, masalah saraf tulang belakang, kurang koordinasi, sulit atau nyeri saat
menelan, cemas berlebihan, depresi, demam, kehilangan penglihatan, kelainan pola berjalan,
kerusakan jaringan otak dan koma. Gejala ini mungkin ringan pada stadium awal AIDS tetapi
dapat berkembang menjadi berat.
1. AIDS dementia complex (ADC)
Disebut juga ensefalitis (peradangan otak) terkait HIV, muncul terutama pada orang
dengan infeksi HIV lebih lanjut. Orang dengan ADC juga menunjukkan pengembangan
fungsi motor yang melambat dan kehilangan ketangkasan serta koordinasi. Apabila tidak
diobati, ADC dapat mematikan.
Gejala: - perubahan perilaku
- penurunan fungsi kognitif secara bertahap
- kesulitan berkonsentrasi, ingatan dan perhatian.
2. Limfoma sususnan saraf pusat (SSP)
Merupakan tumor ganas yang mulai di otak atau akibat kanker yang menyebar dari
bagian tubuh lain. Limfoma SSP hampir selalu dikaitkan dengan virus Epstein-Barr (jenis
virus herpes yang umum pada manusia). Pasien AIDS dapat mengembangkan satu atau
lebih limfoma SSP. Prognosis adalah kurang baik karena kekebalan yang semakin rusak.
Gejala: - sakit kepala

- kejang
- masalah penglihatan
- pusing
- gangguan bicara
- paralisis dan penurunan mental.
3. Infeksi cytomegalovirus (CMV)
Dapat muncul bersamaan dengan infeksi lain. Infeksi CMV pada urat saraf tulang
belakang dan saraf dapat mengakibatkan lemahnya tungkai bagian bawah dan beberapa
paralisis, nyeri bagian bawah yang berat dan kehilangan fungsi kandung kemih. Infeksi
ini juga dapat menyebabkan pneumonia dan penyakit lambung-usus.
Gejala : - lemas pada lengan dan kaki
- gangguan pendengaran dan keseimbangan
- tingkat mental yang berubah
- demensia
- neuropati perifer
- koma dan penyakit retina yang dapat mengakibatkan kebutaan.
4. Progressive multifocal leukoencephalopathy (PML)
Terutama berdampak pada orang dengan penekanan sistem kekebalan (termasuk
hampir 5% pasien AIDS). PML disebabkan oleh virus JC (John Cunningham viruspapovavirus), yang bergerak menuju otak, menulari berbagai tempat dan merusak sel
yang membuat mielin - lemak pelindung yang menutupi banyak sel saraf dan otak.
Beberapa pasien mungkin mengalami gangguan ingatan dan kognitif, dan mungkin
muncul kejang. PML berkembang terus-menerus dan kematian biasanya terjadi dalam
enam bulan setelah gejala awal.
Gejala : - penurunan kejiwaan
- kehilangan penglihatan
- gangguan berbicara
- ataksia (ketidakmampuan untuk mengatur gerakan)
- kelumpuhan
- lesi otak dan terakhir koma.
5. Stroke
Disebabkan oleh penyakit pembuluh darah otak, jarang dianggap sebagai
komplikasi AIDS, walaupun hubungan antara AIDS dan stroke mungkin jauh lebih besar
dari dugaan. Para peneliti di Universitas Maryland, AS melakukan penelitian pertama
berbasis populasi untuk menghitung risiko stroke terkait AIDS dan menemukan bahwa
AIDS meningkatkan kemungkinan menderita stroke hampir sepuluh kali lipat. Para
peneliti mengingatkan bahwa penelitian tambahan diperlukan untuk mengkonfirmasi
hubungan ini. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa infeksi HIV, infeksi lain atau

reaksi sistem kekebalan terhadap HIV, dapat menyebabkan kelainan pembuluh darah
dan/atau membuat pembuluh darah kurang menanggapi perubahan dalam tekanan darah
yang dapat mengakibatkan pecahnya pembuluh darah dan stroke.
6. Ensefalitis toksoplasma (toksoplasmosis otak)
6.1. Diagnosa
Penyebab ensefalitis fokal pada penderita AIDS adalah reaktifasi Toksoplama
gondii yang sebelumnya merupakan infeksi laten, yang dibawa oleh kucing, burung
dan hewan lain yang dapat ditemukan pada tanah yang tercemar oleh tinja kucing
dan kadang pada daging mentah atau kurang matang. Begitu parasit masuk ke
dalam sistem kekebalan, ia menetap di sana; tetapi sistem kekebalan pada orang
yang sehat dapat melawan parasit tersebut hingga tuntas, mencegah penyakit.
Pemeriksaan serologi tidak bermanfaat sebaliknya scan otal (CT scan) banyak
membantu.
6.2. Gejala : - ensefalitis
- demam disertai pusing
- sakit kepala berat yang tidak menanggapi pengobatan
- lemah pada satu sisi tubuh
- kejang
- kelesuan
- kebingungan yang meningkat
- masalah penglihatan, berbicara dan berjalan
- muntah dan perubahan kepribadian.
6.3. Pengobatan
a. Pirimetamin 25mg/hari
b. Sulfadiasin 100mg/kg/hari (maksimum 8 gram)
Efek samping: kemerahan pada kulit dan aplasia sumsum tulang.
Pengobatan dilakukan sampai 3-6bulan. Karena sering kambuh maka pegobatan
intermiten jangka panjang untuk pencegahan sebaiknya dipertimbangkan.
7. Mielopati vakuolar
Menyebabkan lapisan mielin yang melindungi untuk melepaskan diri dari sel saraf
di saraf tulang belakang, membentuk lubang kecil yang disebut vakuol dalam serat saraf.
Gejala :

- kaki lemas dan kaku serta tidak berjalan secara mantap


- sulit berjalan semakin parah seiring dengan perkembangan penyakit
- demensia
- mielopati vakuolar

8. Pnemunia Pneumocytis carinii (PPC)


8.1. Diagnosa
PPC merupakan infeksi oprtunistik awal yang disebabkan oleh organism kecil
yang termasuk golongan protozoa. Pada penderita AIDS, daya tahan tubuh rusak

berat sehingga jasad renik di paru yang semula tidak menjadi, dapat menimbulkan
penyakit.
Gejala: - Penurunan berat badan
- Keringat malam
- Pembesaran kelenjar getah bening
- Rasa lelah
- Kehilangan nafsu makan
- Diare kronik
- Demam (suhunya tidak terlalu tinggi dan timbul pada sore hari)
- Sariawan yang hilang timbul
Foto toraks dan pemeriksaan analisa gas darah tidak spesifik untuk
pemeriksaan PPC ini untuk itu dilakukan bronkoskopi, biopsi transbronkial dan
lavase bronkhoalveolar untuk menemukan protozoa (P. carinii).
PPC merupakan penyakit yang agak spesifik untuk AIDS sehingga kita dapat
membuktikan PPC pada seorang penderita walaupun pemeriksaan serologi HIV
negative, sudah dianggap menderita AIDS, kecuali kita menemukan penyebab lain
dadri kerusakan sistim imunitas tubuhnya, misalnya akibat pemakaian obat
prednisone/imunosupresif/sitostatika sebelumnya.
8.2. Pengobatan
a. Pentamidine isetionat 4mg/kg BB
Efek samping: gangguan faal ginjal dan hati, leukopenia, dan hipotensi.
b. Co-trimoxazole (trimetropin 15-20 mg/kg BB dan sulfametoksasol 75-100mg/kg
BB per hari)
Efek samping: panas, leucopenia, hiponatremia, kemerahan pada kulit, dan
kenaikan kadar transaminase.
c. Dapsone 100mg sehari, biasanya untuk PPC ringan.
d. Zidovudine (untuk mengurangi morbiditas PPC pada penderita AIDS)
9. Tuberkulosis
9.1. Diagnosa
Tuberculosis merupakan penyakit infeksi yang berkaitan erat dengan kerusakan
imunitas seluler yang dapat menyerang penderita AIDS karena imunitas penderita
sangat rendah. Diagnosa dapat dilakukan dengan bronkoskopi atau biopsy kelenjar,
liver, dan otak.
9.2. Pengobatan

Pengobatan yang diberikan tidak berbeda dengan orang penderita tuberculosis


biasa, yaitu dengan pemberian:
a. Isoniazid 5-10mg/kg BB per hari
b. Rifampicin 9mg/kg BB per hari
c. Pyrazinamide 25 mg/kg BB per hari
d. Streptomycin 0,75-1 mg/kg/hari IM
Lama pengobatan dianjurkan selama 9 bulan.
10. Toksoplasmosis
10.1. Diagnosa
Penyebab ensefalitis fokal pada penderita AIDS adalah reaktifasi Toksoplama
gondii yang sebelumnya merupakan infeksi laten. Gejala: sakit kepala, panas,
kejang dan koma.
Pemriksaan serologi tidak bermanfaat sebaliknya scan otal (CT scan) banyak
membantu.
10.2. Pengobatan
c. Pirimetamin 25mg/hari
d. Sulfadiasin 100mg/kg/hari (maksimum 8 gram)
Efek samping: kemerahan pada kulit dan aplasia sumsum tulang.
Pengobatan dilakukan sampai 3-6bulan. Karena sering kambuh maka
pegobatan

intermiten

jangka

panjang

untuk

pencegahan

sebaiknya

dipertimbangkan.
11. Infeksi mukokutan
11.1. Herpes Simpleks
Infeksi herpes simpleks pada penderita AIDS sering tampak pada bibir yang
atipik, berat, lokalisata, persisten dan dapat impetigenisata. Pada daerah mulut
dapat menyerang lidah, mukosa pipi dan gusi. Diagnose dilakukan dengan
pemeriksaan mikroskop, kultur atau deteksi antigen dari specimen jaringan.
Pengobatan sering dilakukan dengan menggunakan acyclovir selama 10 hari
akan menghentikan pembentukan virus herpes setelah 72 jam. Namun infeksi
herpes simpleks rekuren pada daerah genitalia penderita AIDS sulit disembuhkan.
11.2. Herpes Zoster
Pada beberapa penderita AIDS, herpes zoster muncul di banyak tempat dan
menyerupai cacar air. Komplikasi sistemiknya dapat berupa encephalitis,
pneumonitis dan hepatitis sering fatal. Pengobatan dini dengan adenine arabinosid
parenteral atau acyclovir i.v.

11.3. Kandidiasis
Infeksi yang sering kambuh pada mukosa mulut dan tenggorok oleh Candida
albican menimbulkan masalah yang cukup berat pada pasien AIDS ataupun yang
masih dalam tahap infeksi HIV. Kelainan ini tidak spesifik karena dapat disebabkan
oleh berbagai macam keadaan (pemakaian antibiotika yang lama, penderita kanker,
pengobatan sitostatika atau prednison).
Pengobatan dimulai dengan nistatin kumur atau amfoterisin B hisap. Bila perlu
dapat diberikan ketokonasol 200-400 mg p.o. Pengobatan topical dapat
ditambahkan bila didapat kandidiasis di lipat paha.
DIAGNOSIS DINI KOMPLIKASI HIV-AIDS
Beberapa tindakan pemetaan yang tidak menyakitkan dipakai untuk membantu diagnosis
komplikasi neurologi terkait AIDS.

Computed tomography (juga disebut CT scan) memakai sinar X dan komputer untuk
menghasilkan gambar tulang dan jaringan, termasuk peradangan, kista dan tumor otak
tertentu, kerusakan otak karena cedera kepala, dan kelainan lain. CT scan menyediakan
hasil yang lebih rinci dibandingkan rontgen saja.

Magnetic resonance imaging (MRI) memakai komputer, gelombang radio dan bidang
magnetik yang kuat untuk menghasilkan gambar tiga dimensi secara rinci atau - potongan
- struktur tubuh dua dimensi, termasuk jaringan, organ, tulang dan saraf. Tes ini tidak
memakai radiasi ionisasi (serupa dengan rontgen) dan memberi dokter tampilan jaringan
dekat tulang yang lebih baik.

Functional MRI (fMRI) memakai unsur magnetik darah untuk menentukan wilayah otak
yang aktif dan untuk mencatat berapa lama wilayah tersebut tetap aktif. Tes ini dapat
menilai kerusakan otak dari cedera kepala atau kelainan degeneratif contohnya penyakit
Alzheimer, dan dapat menentukan serta memantau kelainan neurologi lain, termasuk
demensia kompleks terkait AIDS.

Magnetic resonance spectroscopy (MRS) memakai medan magnet yang kuat untuk
meneliti komposisi biokimia dan konsentrasi molekul berbasis hidrogen yang beberapa di
antaranya sangat khusus terhadap sel saraf di berbagai wilayah otak. MRS dipakai
sebagai percobaan untuk menentukan lesi otak pada pasien AIDS.

Elektromiografi atau EMG, dipakai untuk mendiagnosis kerusakan saraf dan otot
(misalnya neuropati dan kerusakan serat saraf yang disebabkan oleh HIV) dan penyakit
saraf tulang belakang. Tes ini mencatat kegiatan otot secara spontan dan kegiatan otot
yang digerakkan oleh saraf perifer.

Biopsi adalah pengangkatan dan pemeriksaan jaringan tubuh. Biopsi otak, yang
melibatkan pengangkatan sebagian kecil otak atau tumor dengan bedah, dipakai untuk
menentukan kelainan dalam tengkorak dan tipe tumor. Berbeda dengan kebanyakan
biopsi lain, biopsi otak memerlukan rawat inap. Biopsi otot atau saraf dapat membantu
mendiagnosis masalah saraf otot, sementara biopsi otak dapat membantu mendiagnosis
tumor, peradangan dan kelainan lain.

Analisis cairan sumsum tulang belakang dapat mendeteksi segala perdarahan atau
hemoragi otak, infeksi otak atau tulang belakang (misalnya neurosifilis), dan
penumpukan cairan yang berbahaya. Contoh cairan diambil dengan jarum suntik dengan
bius lokal dan diteliti untuk mendeteksi kelainan.

Anda mungkin juga menyukai