Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit malaria sampai saat ini masih menjadi masalah


kesehatan dengan morbiditas dan
tinggi.

Malaria

terutama

dapat

ditemui

Negara-negara

mortalitas yang cukup

hampir

beriklim

di seluruh

tropis

dan

dunia,

subtropics.

Setiap tahunnya ditemukan 300-500 juta kasus malaria yang


mengakibatkan 1,5-2,7 juta kematian terutama di negara-negara
benua Afrika.(1,2,3)
Berdasarkan The World Malaria Report 2010, sebanyak
lebih dari 1 juta orang termasuk anak-anak setiap tahun
meninggal akibat malaria dimana 80% kematian terjadi di Afrika,
dan 15% di Asia (termasuk Eropa Timur). Secara keseluruhan
terdapat 3,2 Miliyar penderita malaria di dunia yang terdapat di
107 negara. Malaria di dunia paling banyak terdapat di Afrika
yaitu di sebelah selatan Sahara dimana banyak anak-anak
meninggal karena malaria dan malaria muncul kembali di Asia
Tengah, Eropa Timur dan Asia Tenggara. Di Indonesia, sebagai
salah satu negara yang masih beresiko Malaria (Risk-Malaria),
pada tahun 2009 terdapat sekitar 2 juta kasus malaria klinis dan
350 ribu kasus di antaranya dikonfirmasi positif. Sedangkan
tahun 2010 menjadi 1,75 juta kasus dan 311 ribu di antaranya
dikonfirmasi positif.
Upaya penanggulangan di Indonesia telah sejak lama
dilaksanakan, namun daerah endemis malaria bertambah luas,
bahkan menimbulkan kejadian luar biasa (KLB). Berdasarkan
hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)

tahun

2001,

terdapat 15 juta kasus malaria dengan 38.000 kematian setiap


tahunnya. Dari 295 kabupaten/kota yang ada di Indonesia, 167
kabupaten/kota merupakan wilayah endemis malaria.(3)
Nusa Tenggara Barat termasuk salah satu provinsi yang
dinyatakan endemis malaria dengan total kasus pada tahun 2010
dengan gejala klinis malaria adalah 33.334 kasus, sedangkan
yang benar-benar positif malaria sebanyak 9.255 kasus, dengan
jumlah

kasus

meninggal

yaitu

kasus.

Sumbawa

Besar

merupakan salah satu kabupaten di Nusa Tenggara Barat dimana


jumlah kasus yang benar-benar positif malarianya tertinggi yaitu
2.238 kasus, sedangkan kasus yang hanya dengan gejala
klinisnya yaitu 0 kasus.
Beberapa

upaya

dilakukan

untuk

menekan

angka

kesakitan dan kematian akibat malaria, yaitu melalui program


pemberantasan malaria yang kegiatannya antara lain meliputi
diagnosis dini, pengobatan cepat dan tepat, surveilans dan
pengendalian

vector

yang

kesemuanya

memutuskan rantai penularan malaria.(3)

ditujukan

untuk

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Malaria

Malaria merupakan suatu penyakit akut maupun kronik,


yang disebabkan oleh protozoa genus Plasmodium dengan
manifestasi klinis berupa demam, anemia dan pembesaran
limpa. Sedangkan meurut ahli lain malaria merupakan suatu
penyakit infeksi akut maupun kronik yang disebakan oleh
infeksi

Plasmodium

yang menyerang eritrosit dan ditandai

dengan ditemukannya bentuk aseksual dalam darah, dengan


gejala demam, menggigil, anemia, dan pembesaran limpa.(4)
B. Etiologi Malaria

Malaria disebabkan oleh protozoa darah yang termasuk


ke

dalam

protozoa
spesies

genus Plasmodium.
obligat

yaitu

intraseluler.

Plasmodium

Plasmodium

ini

Pada manusia

vivax,

Plasmodium

merupakan
terdapat

falciparum,

Plasmodium malariae dan Plasmodium ovale. Penularan pada


manusia dilakukan oleh

nyamuk

betina

Anopheles

ataupun

ditularkan langsung melalui transfusi darah atau jarum suntik


yang tercemar serta dari ibu hamil kepada janinnya.(6,7)
Malaria vivax disebabkan oleh P. vivax yang juga disebut
juga

sebagai

penyebab

malaria

malaria

tertiana.

malariae

atau

P.

malariae

merupakan

malaria kuartana. P. ovale

merupakan penyebab malaria ovale, sedangkan P. falciparum


menyebabkan malaria falsiparum atau malaria tropika. Spesies
terakhir

ini

paling

ditimbulkannya
singkat

dapat

berbahaya,
menjadi

karena

berat

sebab

malaria

yang

dalam

waktu

dapat menyerang eritrosit dalam jumlah besar,

sehingga menimbulkan berbagai komplikasi di dalam organorgan tubuh.(3,7)


C. Patofisiologi
Gejala

malaria

timbul

saat

pecahnya

mengandung parasit. Gejala yang paling

eritrosit

yang

mencolok adalah

demam yang diduga disebabkan oleh pirogen endogen, yaitu


TNF dan interleukin-1. Akibat demam terjadi vasodilatasi perifer
yang mungkin disebabkan oleh bahan vasoaktif yang diproduksi
oleh parasit. Pembesaran limpa disebabkan oleh terjadinya
peningkatan

jumlah eritrosit yang terinfeksi parasit dan sisa

eritrosit akibat hemolisis. Juga terjadi penurunan

jumlah

trombosit dan leukosit neutrofil. Terjadinya kongesti pada organ


lain meningkatkan resiko terjadinya ruptur limpa.
Anemia terutama disebabkan oleh pecahnya eritrosit dan
difagositosis oleh sistem retikuloendotelial. Hebatnya hemolisis
tergantung dari jenis Plasmodium dan status imunitas pejamu.
Anemia

juga

disebabkan

oleh

hemolisis

autoimun,

sekuestrasi oleh limpa pada eritrosit yang terinfeksi maupun


yang normal, dan gangguan eritropoiesis. Pada hemolisis berat
dapat terjadi hemoglobinuria dan hemoglobinemia. Hiperkalemia
dan hiperbilirubinemia juga sering ditemukan.
Kelainan patologik pembuluh darah kapiler pada malaria
tropika, disebabkan karena sel

darah merah yang terinfeksi

menjadi kaku dan lengket, sehingga perjalanannya dalam kapiler


terganggu dan mudah melekat pada endotel kapiler karena
adanya

penonjolan

membran

eritrosit.

Setelah

terjadi

penumpukan sel dan bahan pecahan sel, maka aliran kapiler


terhambat dan

timbul hipoksi jaringan, terjadi gangguan pada

integritas kapiler dan dapat terjadi perembesan cairan bahkan


perdarahan ke jaringan sekitarnya. Rangkaian kelainan patologis
ini dapat

menimbulkan manifestasi klinis sebagai malaria

serebral, edema paru, gagal ginjal dan malabsorpsi usus.


Pertahanan tubuh individu terhadap malaria dapat berupa
faktor yang diturunkan maupun yang didapat. Pertahanan
terhadap malaria terutama penting untuk melindungi anak kecil
atau bayi karena sifat khusus eritrosit yang relatif resisten
terhadap masuk dan berkembang- biaknya parasit malaria.
Masuknya parasit tergantung pada interaksi antara organel
spesifik pada merozoit dan struktur khusus pada permukaan
eritrosit.
Imunitas humoral dan seluler tehadap malaria didapat
sejalan dengan infeksi ulangan. Namun imunitas ini tidak mutlak
dapat

mengurangi

gambaran

klinis

menyebabkan asimptomatik dalam

infeksi

periode

ataupun

dapat

panjang.

Pada

individu dengan malaria dapat dijumpai hipergamaglobulinemia


poliklonal,

yang

merupakan

suatu

antibodi

spesifik

yang

diproduksi untuk melengkapibeberapa aktivitas opsonin terhadap


eritrosit yang terinfeksi, tetapi proteksi ini tidak lengkap dan
hanya

bersifat

sementara

bilamana

tanpa

disertai

infeksi

ulangan. Tendensi malaria untuk menginduksi imunosupresi,


dapat diterangkan sebagian oleh tidak adekuatnya

respon ini.

Antigen yang heterogen terhadap Plasmodium mungkin juga


merupakan salah satu
partisipan

faktor. Monosit/ makrofag merupakan

selular

yang terpenting dalam fagositosis

eritrosit yang terinfeksi.


D. Klasifikasi
Menurut Harijanto (2000) pembagian jenis-jenis malaria
berdasarkan jenis plasmodiumnya antara lain sebagai berikut :
a. Malaria Tropika (Plasmodium Falcifarum)
Malaria tropika/ falciparum malaria tropika merupakan
bentuk yang paling berat, ditandai dengan panas yang
ireguler,

anemia,

splenomegali,

parasitemia

yang

banyak dan sering terjadi komplikasi. Masa inkubasi 914 hari. Malaria tropika menyerang semua bentuk
eritrosit.

Disebabkan

Plasmodium

ini

berdiameter

1/3

merupakan

oleh

berupa

Plasmodium
Ring/

diameter

satu-satunya

falciparum.

cincin

eritrosit

spesies

kecil

yang

normal

dan

yang

memiliki

kromatin inti (Double Chromatin).


Klasifikasi penyebaran Malaria Tropika:
Plasmodium Falcifarum menyerang sel darah merah
seumur hidup. Infeksi Plasmodium Falcifarum sering kali
menyebabkan sel darah merah yang mengandung
parasit menghasilkan banyak tonjolan untuk melekat
pada lapisan endotel dinding kapiler dengan akibat
obstruksi trombosis dan iskemik lokal. Infeksi ini sering
kali lebih berat dari infeksi lainnya dengan angka
komplikasi

tinggi

(Malaria

Serebral,

gangguan

gastrointestinal, Algid Malaria, dan Black Water Fever).

b. Malaria Kwartana (Plasmoduim Malariae)


Plasmodium Malariae mempunyai tropozoit yang serupa
dengan

Plasmoduim

vivax,

lebih

kecil

dan

sitoplasmanya lebih kompak/ lebih biru. Tropozoit matur


mempunyai granula coklat tua sampai hitam dan
kadang-kadang mengumpul sampai membentuk pita.
Skizon Plasmodium malariae mempunyai 8-10 merozoit
yang tersusun seperti kelopak bunga/ rossete. Bentuk
gametosit sangat mirip dengan Plasmodium vivax tetapi
lebih kecil.

Ciri-ciri demam tiga hari sekali setelah puncak 48 jam.


Gejala lain nyeri pada kepala dan punggung, mual,
pembesaran limpa, dan malaise umum. Komplikasi yang
jarang terjadi namun dapat terjadi seperti sindrom
nefrotik dan komplikasi terhadap ginjal lainnya. Pada
pemeriksaan
proteinuria,

akan

di

temukan

hipoproteinemia,

edema,

tanpa

asites,

uremia

dan

hipertensi.
c. Malaria Ovale (Plasmodium Ovale)
Malaria Tersiana (Plasmodium Ovale) bentuknya mirip
Plasmodium malariae, skizonnya hanya mempunyai 8
merozoit

dengan

masa

pigmen

hitam

di

tengah.

Karakteristik yang dapat di pakai untuk identifikasi


adalah bentuk eritrosit yang terinfeksi Plasmodium
Ovale biasanya oval atau ireguler dan fibriated. Malaria
ovale merupakan bentuk yang paling ringan dari semua

malaria

disebabkan

oleh

Plasmodium

ovale.

Masa

inkubasi 11-16 hari, walau pun periode laten sampai 4


tahun. Serangan paroksismal 3-4 hari dan jarang terjadi
lebih dari 10 kali walau pun tanpa terapi dan terjadi
pada malam hari.
d. Malaria Tertiana (Plasmodium Vivax)
Malaria

Tersiana

(Plasmodium

Vivax)

biasanya

menginfeksi eritrosit muda yang diameternya lebih


besar dari eritrosit normal. Bentuknya mirip dengan
plasmodium

Falcifarum,

namun

seiring

dengan

maturasi, tropozoit vivax berubah menjadi amoeboid.


Terdiri dari 12-24 merozoit ovale dan pigmen kuning
tengguli. Gametosit berbentuk oval hampir memenuhi
seluruh eritrosit, kromatinin eksentris, pigmen kuning.
Gejala malaria jenis ini secara periodik 48 jam dengan
gejala klasik trias malaria dan mengakibatkan demam
berkala 4 hari sekali dengan puncak demam setiap 72
jam.
Dari semua jenis malaria dan jenis plasmodium yang
menyerang system tubuh, malaria tropika merupakan malaria
yang paling berat di tandai dengan panas yang ireguler, anemia,
splenomegali, parasitemis yang banyak, dan sering terjadinya
komplikasi.
e. Gambaran Klinis
Secara
pasienn

klinis,

non-imun

gejala
terdiri

malaria

infeksi

tunggal

pada

atas beberapa serangan demam

dengan interval tertentu (paroksisme), yang diselingi oleh


suatu periode (periode laten) bebas demam. Sebelum demam

pasien biasanya merasa lemah, nyeri kepala, tidak ada nafsu


makan,

mual

atau

muntah.

Pada

pasien

dengan

infeksi

majemuk/ campuran (lebih dari satu jenis Plasmodium atau


satu jenis Plasmodium tetapi infeksi berulang dalam waktu
berbeda),

maka

serangan

demam

terus-

menerus

(tanpa

interval), sedangkan pada pejamu yang imun gejala klinisnya


minimal. Periode paroksisme biasanya terdiri dari tiga stadium
yang berurutan yakni stadium dingin

(cold stage), stadium

demam (hot stage) dan stadium berkeringat (sweating stage).


Paroksisme ini biasanya terlihat jelas pada orang dewasa
namun jarang dijiumpai pada usia muda. Pada anak di bawah
umur lima tahun, stadium dingin seringkali bermanifestasi
sebagai kejang. Serangan demam yang pertama didahului
oleh

masa

iinkubasi

(intrinsik).

Masa inkubasi bervariasi

antara 9- 30 hari t ergantung pada spesies parasit. Masa


inkubasi

ini

juga

tergantung

pada

intensitas

infeksi,

pengobatan yang pernah didapat sebelumnya, dan derajat


imunitas pejamu. Pada malaria akibat transfusi darah, masa
inkubasi Plasmodium falciparum adalah 10 hari, Plasmodium
vivax 16 hari, dan Plasmodium malariae 40 hari atau lebih
setelah transfusi. Masa inkubasi pada penularan secara alamiah
bagi

masing-

masing

spesies

parasit,

untuk

Plasmodium

falciparum 12 hari, Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale


13- 17 hari, dan Plasmodium malariae 28- 30 hari. Setelah lewat
masa inkubasi, pada anak besar dan orang dewasa timbul gejala
demam yang terbagi dalam tiga stadium atau trias malaria
(malaria proxym), yaitu :
1. Stadium dingin
Diawali dengan

gejala

menggigil

atau

perasaan

yang sangat dingin. Gigi gemeretak, nadi cepat tetapi


lemah, bibir dan jari- jari pucatatau sianosis, kulit kering

dan

pucat,

pasien

mungkin

muntah

pada

anak

sering terjadi kejang. Stadium ini berlangsung antara 15


menit sampai 1 jam.
2. Stadium demam
Pada stadium ini pasien

merasa

kepanasan.

Muka

merah, kulit kering dan terasa sangat panas seperti


terbakar, nyeri kepala, mual dan muntah, nadi menjadi
kuat lagi. Biasanya pasien menjadi sangat haus dan
suhu badan dapat meningkat sampai 410
lebih.

Stadium

ini

berlangsung

Demam disebabkan

oleh

dalam

merah

sel

darah

antara

karena
yang

C atau

2-

12

pecahnya

jam.
skizon

telah matang dan

masuknya merozoit darah ke dalam aliran darah.


3. Stadium berkeringat
Pada stadium ini pasien berkeringat banyak sekali,
kemudian suhu badan menurun dengan cepat, kadangkadang sampai di bawah normal. Black water fever
yang merupakan komplikasi berat, adalah munculnya
hemoglobin pada urin sehingga

menyebabkan warna

urin berwarna tua atau hitam. Gejala lain dari black


water fever

adalah ikterus dan muntah berwarna

seperti empedu. Black water fever biasanya dijumpai


pada

mereka

yang

menderita

infeksi

Plasmodium

falciparum berulang dengan infeksi yang cukup berat.2


Anemia merupakan gejala yang sering ditemui pada infeksi
malaria, dan lebih sering ditemukan pada daerah endemik.
Kelainan pada limpa akan terjadi setelah 3 hari
akut

dimana

hiperemis(4,12).

limpa

akan

membengkak,

dari

serangan

nyeri

dan

Hampir semua kematian akibat malaria disebabkan oleh P.


falciparum. Pada infeksi
malaria

berat

dengan

P. falciparum

dapat

menimbulkan

komplikasi umumnya digolongkan

sebagai malaria berat yang menurut WHO didefinisikan sebagai


infeksi P. falciparum stadium aseksual dengan satu atau lebih
komplikasi sebagai berikut:(4,12)
1. Malaria serebral, derajat kesadaran berdasarkan GCS
kurang dari 11.
2. Anemia berat (Hb<5 gr% atau hematokrit <15%) pada
keadaan hitung parasit >10.000/l.
3. Gagal ginjal akut (urin kurang dari 400ml/24jam pada
orang dewasa atau <12 ml/kgBB pada anak-anak setelah
dilakukan rehidrasi, diserta kelainan kreatinin >3mg%.
4. Edema paru.
5. Hipoglikemia: gula darah <40 mg%.
6. Gagal sirkulasi/syok: tekanan sistolik <70 mmHg
diserta keringat dingin atau perbedaan temperature kulitmukosa >1oC.
7. Perdarahan spontan dari hidung, gusi, saluran cerna dan
atau

disertai

kelainan

laboratorik

koagulasi intravaskuler.
8. Kejang berulang lebih

dari

adanya

gangguan

kali/24jam

setelah

pendinginan pada hipertermis.


9. Asidemia (Ph<7,25) atau asidosis (plasma bikarbonat
<15mmol/L).
10. Makroskopik hemaglobinuri oleh karena infeksi malaria
akut bukan karena obat antimalaria pada kekurangan
Glukosa 6 Phospat Dehidrogenase.
11. Diagnosa post-mortem dengan ditemukannya parasit yang
padat pada pembuluh kapiler jaringan otak.
F. Pengendalian Malaria
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No.374 tahun 2010,
Pengendalian

vektor

dilakukan

dengan

memakai

metode

pengendalian vektor terpadu yang merupakan suatu pendekatan


yang menggunakan kombinasi beberapa metode pengendalian
vektor yang dilakukan berdasarkan azas keamanan, rasionalitas
dan

efektifitas

mempertimbangkan

pelaksanaannya
kelestarian

serta

dengan

keberhasilannya.

Mengingat

keberadaan vektor dipengaruhi oleh lingkungan fisik, biologis dan


sosial budaya, maka pengendaliannya tidak hanya menjadi
tanggung jawab sektor kesehatan saja tetapi memerlukan
kerjasama lintas sektor dan program.
Keunggulan Pengendalian Vektor Terpadu (PVT) :
1.

Dapat meningkatkan keefektifan dan efisiensi sebagai

metode atau cara pengendalian.


2. Dapat meningkatkan program pengendalian terhadap lebih
dari satu penyakit tular vector.
3.
Melalui kerjasama lintas sektor hasil yang dicapai lebih
optimal dan saling menguntungkan.
Pengendalian Vektor Terpadu merupakan pendekatan
pengendalian
managemen

vektor
dan

menggunakan

pertimbangan

prinsip-prinsip

terhadap

dasar

penularan

dan

pengendalian peyakit. Pengendalian Vektor Terpadu dirumuskan


melalui proses pengambilan keputusan yang rasional agar
sumberdaya yang ada digunakan secara optimal dan kelestarian
lingkungan terjaga. Prinsip-prinsip PVT meliputi:
1.

Pengendalian

bioekologi

vektor

vektor

harus

setempat,

berdasarkan data

dinamika

penularan

tentang
penyakit,

ekosistem dan prilaku masyarakat yang bersifat spesifik local


(evidence based).
2.
Pengendalian vektor dilakukan dengan partisipasi aktif
berbagai sektor dan program terkait, LSM, Organisasi profesi,
dunia usaha /swasta serta masyarakat.

3.

Pengendalian

vektor

dilakukan

dengan

meningkatkan

penggunaan metoda non kimia dan menggunakan pestisida


secara rasional serta bijaksana
4.
Pertimbangan vektor harus mempertimbangkan kaidah
ekologi dan prinsip ekonomi yang berwawasan lingkungan dan
berkelanjutan.
Pengendalian vektor terpadu dilaksanakan secara bersama
dari beberapa metode, meliputi pengendalian fisik, biologi, kimia
dan

pemberdayaan

masyarakat

(Kementerian

Kesehatan).

Program pengendalian malaria secara terpadu yang lebih rinci


meliputi pengendalian secara biologi, fisika, kimia, dengan
pengaturan pola tanam, dengan perundang-undangan/kebijakan,
dan pemberdayaan masyarakat (Marbaniati, 2010).
1. Pengendalian malaria secara biologis
Pengendalian biologi dapat berupa penebaran ikan dan
Bacillus

thuringiensis

serta

predator

larva

lainnya

(Kementerian Kesehatan). beberapa agent biologis yang


digunakan

seperti

predator

misalnya

pemakan

jentik

(Clarviyorous fish) seperti gambusia, guppy dan panchax


(ikan kepala timah). Selain secara kimiawi dan secara
hayati untuk pencegahan penyakit malaria dapat juga
dilakukan dengan jalan pengelolaan lingkungan hidup
(environmental management), yaitu dengan pengubahan
lingkungan hidup (environmental modification) sehingga
larva nyamuk Anopheles tidak mungkin hidup. Kegiatan ini
antara lain dapat berupa penimbunan tempat perindukan
nyamuk, pengeringan dan pembuatan dam, selain itu
kegiatan

lain

mencakup

pengubahan

kadar

garam,

pembersihan

tanaman

air

atau

lumut

dan

lain-lain

(Hiswani, 2004).
Selain itu, ada juga parasit Romanomermis iyengari.
Merupakan

organisme

yang

termasuk

jenis

cacing

Nematoda dan bersifat parasit pada larva nyamuk. Cacing


tersebut tumbuh dan berkembang jadi dewasa di dalam
tubuh larva yang menjadi inangnya. Setelah dewasa cacing
tersebut keluar dari tubuh inangnya (larva) dengan jalan
menyobek dinding tubuh inang sehingga menyebabkan
kematian inang tersebut (Suwasono, 1997).
2. Pengendalian malaria secara pengaturan pola tanam
Salah satu cara untuk menekan perkembangan penyakit
malaria adalah dengan memperbaiki pola tanam. Dipilih
pola tanam padi dan palawija, karena ditinjau dari strategi
pengadan

pangan/pakan

dan

usaha

peningkatan

pendapatan petani merupakan alternatif terbaik, terutama


dalam usaha pengendalian vektor malaria. Kedua jenis
komoditi ini, yaitu padi dan palawija, mempunyai bentuk
dan ekologi yang jauh berbeda, begitu pula hama dan
penyakitnya. Apabila kedua tanaman ini diselang-seling
dalam satu tahun musim tanam, akan menekan populasi
hama dan vektor malaria karena habitatnya tidak sesuai
dengan perkembangan populasi hama/ vektor malaria
tersebut, apalagi bila ditunjang dengan cara bercocok
tanam dengan teknik yang baik. Dengan demikian akan
tercapai suatu keseimbangan biologi bila hama/penyakit
dari kedua jenis komoditi tersebut hidup berdampingan
pada batas-batas yang tidak membahayakan tanamannya
sendiri.
Keseimbangan biologi ini sangat dipengaruhi oleh :

a.

Tingkat toleransi tanaman. Hal ini tergantung pada

hubungan antara tanaman dengan hama dan penyakit


yang berpengaruh terhadap kepekaan atau ketahanan
tanaman. Hal-hal tersebut antara lain : varietas, cara
bercocok tanam, rotasi, pola tanam dan musim claim
setahun.
b.
Penanaman padi atau satu jenis tanaman terusmenerus sepanjang tahun akan menyebabkan terjadinya
serangan hama dan penyakit malaria yang cukup berat.
Hal ini disebabkan karena keadaan ekologi, habitat dan
tersedianya cukup makanan bagi hama/vektor sehingga
mendorong perkembangan populasi hama dan vektor
penyakit tersebut.
c.
Penggunaan pestisida yang tidak terkendali; akan
menyebabkan serangan hama/penyakit lain yang tadinya
bukan merupakan hama. Hal ini karena predator dan
parasit

yang

termusnahkan.

menjaga
Belum

keseimbangan
lagi

persoalan

alam

ikut

pencemaran

lingkungan makin banyak di Tahun Kasus Annual Parasite


Incidence PELITA I 1972 (Marbaniati, 2010).
3. Pengendalian malaria secara fisik
Pengendalian

fisik

dapat

berupa

penimbunan

kolam,

pengangkatan tumbuhan air, pengeringan sawah secara


berkala

setidaknya

pemasangan

kawat

setiap
kasa

dua
pada

minggu
jendela

sekali

dan

(Kementerian

Kesehatan).
4. Pengendalian malaria secara kimia
Pengendalian

kimia

dapat

menggunakan

kelambu

berinsektisida, indoor residual spray, repellent, insektisida

rumah tangga dan penaburan larvasida (Kementerian


Kesehatan).
a. Repellent
Repellent adalah bahan-bahan kimia yang mempunyai
kemampuan untuk menjauhkan serangga dari manusia
sehingga dapat dihindari gigitan serangga atau gangguan
oleh serangga terhadap manusia. Repellent digunakan
dengan

cara

menggosokkannya

pada

tubuh

atau

menyemprotkannya pada pakaian, oleh karena itu harus


memenuhi

beberapa

pemakainya,

tidak

syarat

yaitu

melekat

atau

tidak

mengganggu

lengket,

baunya

menyenangkan pemakainya dan orang sekitarnya, tidak


menimbulkan

iritasi

pada

kulit,

tidak

beracun,

tidak

merusak pakaian dan daya pengusir terhadap serangga


hendaknya

bertahan

cukup

lama.

DEET

(N,N-diethyl-

mtoluamide) adalah salah satu contoh repellent yang tidak


berbau, akan tetapi menimbulkan rasa terbakar jika
mengenai

mata,

luka

atau

jaringan

membranous

(Soedarto, 1992).
b. Penaburan Larvasida
Pemberantasan nyamuk Anopheles secara kimiawi dapat
dilakukan dengan menggunakan larvasida yaitu zat kimia
yang dapat membunuh larva nyamuk, yang termasuk
dalam kelompok ini adalah solar/minyak tanah, parisgreen,
temephos, fention, altosid dll. Selain zat-zat kimia yang
disebutkan di atas dapat juga digunakan herbisida yaitu zat
kimia

yang

digunakan

mematikan

sebagai

tumbuhtumbuhan

tempat

berlindung

larva

air

yang

nyamuk

(Hiswani, 2004).
c. Kelambu berinsektisida/ LLINs
Menurut WHO dalam Guideline for Laboratory and Field
Testing of LLINs adalah kelambu berinsektisida (kelambu

yang sudah dilapisi racun serangga) buatan pabrik yang


diharapkan dapat mempertahankan aktifitas biologi sampai
jumlah minimum dari standar WHO untuk pencucian, dan
periode waktu minimum di bawah kondisi lapangan. LLINs
diharapkan dapat mempertahankan aktifitas biologinya
minimal 20 kali pencucian menurut standart WHO di bawah
kondisi Laboratorium dan tiga yang direkomendasikan
penggunaannya dalam kondisi

lapangan. Bahan dasar

pembuatan kelambu LLINs yang beredar di Indonesia


terdiri dari dua jenis, yaitu polyester dan polyethylene.
d. Indoor Residual Spraying (IRS)
Pengendalian
vektor
yang
tidak
selektif,
seperti
penggunaan DDT dan obat pembasmi serangga lain, bukan
lagi merupakan strategi yang direkomendasikan. Dengan
adanya

keuangan

dan

sumber

daya

manusia,

dikombinasikan dengan potensi resistensi vektor dan


kepedulian terhadap lingkungan, penyemprotan residual
dalam rumah harus digunakan hanya di dalam situasi yang
khusus atau saat risiko tinggi. DDT sedang dihapus
bertahap

oleh

lingkungan,
politis.
Indikator

dan

karena

penggunaan

menghasilkan

epidemiologi

tersebar

tekanan

digunakan

untuk

luas

ekonomi

di
dan

memutuskan

apakah penerapan penyemprotan residual dalam rumah


harus

ditinjau

kembali

untuk

dipertimbangkan

pola

transmisi, yang bervariasi pada waktu dan area yang


berbeda. Lokasi utama yang dijadikan perimbangan untuk
penyemprotan adalah pada unit operasional yang sekecil
mungkin, dengan target penyemprotan kondisinya baik.
Ukuran-ukuran untuk memutuskan apakah untuk start atau
stop operasi penyemprotan adalah juga diperlukan. Suatu

analisa

informasi

epidemiological

mengijinkan

penyemprotan untuk ditargetkan ke rumah jika resiko


transmisi di tempat tersebut merupakan yang paling tinggi,
seperti

lokasi

dekat

tempat

berkembangbiak

utama

nyamuk itu.
Beberapa kriteria untuk aplikasi pengendalian selektif
malaria dengan indoor residual spraying: hal yang perlu
dipertimbangkan dalam indoor residual spraying adalah
potensi terjadinya resistensi terhadap insektisida dan
kerusakan lingkungan. Cara ini hanya direkomendasikan
bagi area/daerah yang benar-benar memiliki prioritas tinggi
untuk dilakukan indoor residual spraying.
Pada tempat di mana dilakukan indoor residual spraying,
maka area harus tergambar jelas mana yang harus dicakup
dan frekuensi serta waktu aplikasi harus ditentukan dengan
baik dan benar. Ketika suatu penyemprotan dilakukan,
maka harus ada kriteria yang jelas untuk selang waktu
tertentu baru kemudian dapat dilakukan pengembangan
penyemprotan

di

penyemprotan

dan

area

baru,

untuk

untuk

mengatur

keberlanjutan
jarak

waktu

penyemprotan. Program penyemprotan juga harus benarbenar cost-effective.


Ukuran area yang akan disemprot harus cukup besar untuk
mencakup seluruh wilayah yang terkena dampak. Ruang
penyemprotan harus diulang 2-4 kali pada interval dari 3-5
hari dalam jangka waktu 1 hingga 2 minggu, dimulai
segera setelah wabah dinyatakan. Ruang penyemprotan
harus dilakukan secara menyeluruh di bawah pengawasan
teknis

ketat

dalam

hal

dosis,

ukuran

partikel

dan

kepadatan. Ruang penyemprotan harus dilakukan bila


nyamuk dewasa aktif, yaitu dalam waktu sebelum tengah

hari.

Ruang

penyemprotan

harus

diarahkan

atau

dipusatkan di dalam ruangan.


Banyak vektor malaria adalah endophilic, beristirahat di
dalam rumah setelah mengambil makan darah. Nyamuk ini
sangat rentan terhadap kontrol melalui penyemprotan
residu

dalam

ruangan

(IRS). Seperti

namanya,

IRS

melibatkan lapisan dinding dan permukaan lain dari sebuah


rumah dengan sisa insektisida. Selama beberapa bulan,
insektisida akan membunuh nyamuk dan serangga lain
yang datang dalam kontak dengan permukaan ini. IRS
tidak

secara

langsung

mencegah

orang

dari

gigitan

nyamuk. Sebaliknya, biasanya membunuh nyamuk setelah


mereka makan, jika mereka datang untuk beristirahat di
permukaan yang telah disemprot, sehingga IRS mencegah
penularan infeksi ke orang lain. Agar efektif, IRS harus
diterapkan pada proporsi yang sangat tinggi dari rumah
tangga di suatu daerah (biasanya> 70%).
IRS dengan DDT dan dieldrin adalah metode pengendalian
malaria

utama

yang

digunakan

selama

Kampanye

Pemberantasan Malaria Global (1955-1969). Keberhasilan


IRS dalam mengurangi kasus malaria di Afrika Selatan lebih
dari 80% telah menghidupkan kembali minat pada alat
pencegahan malaria ini. Hal ini juga menyulut kembali
perdebatan mengenai mungkin atau tidak DDT harus
memiliki tempat dalam pengendalian malaria. Dengan
dukungan

dari

Global

Fund

untuk

memerangi

AIDS,

Tuberkulosis dan Malaria serta Presiden Malaria Initiative,


beberapa negara

telah memulai program IRS-banyak

menggunakan DDT di gudang mereka-insektisida untuk


pengendalian malaria.

Metode ini menggunakan aplikasi residual insektisida


(secara aktif melawan insekta dewasa). Cara ini suitable
untuk vektor yang memiliki waktu istirahat cukup panjang
pada tempat peristirahatan. Pada pengendalian malaria,
metode

ini

dilakukan

indoor.

Residual

spraying

menggunakan hand-compression sprayer atau knapsack


motorised sprayer yang diaplikasikan saat malam atau pagi
hari (Suwasono, 1997).
5. Pengendalian malaria dengan perundang-undangan/kebijakan
Salah satu kebijakan tentang malaria adalah Keputusan
Menteri Kesehatan RI NO 293 Tahun 2009 tentang Eliminasi
Malaria.

Eliminasi

malaria

adalah

suatu

upaya

untuk

menghentikan penularan malaria setempat dalam satu wilayah


geografis tertentu, dan bukan berarti tidak ada kasus malaria
impor serta sudah tidak ada vektor malaria di wilayah tersebut,
sehingga

tetap

dibutuhkan

kegiatan

kewaspadaan

untuk

mencegah penularan kembali. Eliminasi Malaria dilakukan secara


menyeluruh dan terpadu oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah
bersama mitra kerja pembangunan termasuk LSM, dunia usaha,
lembaga donor, organisasi profesi, organisasi kemasyarakatan
dan masyarakat. Eliminasi Malaria dilakukan secara bertahap
dari kabupaten/kota, provinsi, dan dari satu pulau atau ke
beberapa pulau sampai ke seluruh wilayah Indonesia menurut
tahapan yang didasarkan pada situasi malaria dan kondisi
sumber daya yang tersedia.

BAB III
PERMASALAHAN
Kejadian Malaria di Kelurahan Samapuin pada bulan
Oktober-Desember 2014 di Kelurahan Samapuin.
Bulan

Oktober 2014

Malaria

Klinis Positif

(kasus)

(kasus)

10

November 2014 1

Desember 2014 4

Malaria

Kejadian Malaria di kelurahan Samapuin pada Bulan


Januari-Maret 2015 adalah 14 kasus dengan gejala klinis malaria
dan 1 kasus yang positif malaria. Dengan total kasus di cakupan
wilayah Puskesmas (Seketeng, Pekat, Brang Bara, Samapuin,
Bugis) yaitu 228 kasus dengan gejala klinis malaria dan 10 kasus
positif malaria. Data di atas menunjukkan sangat perlunya
pengendalian malaria di wilayah seketeng. Kasus malaria yang
terjadi relative banyak, hal ini dapat di sebabkan oleh beberapa
hal:
1. Kurangnya pengetahuan warga mengenai penyakit Malaria,

cara penularannya, dan pencegahannya sehingga kasus


malaria tidak kunjung mencapai nilai minimal.
2. Kurangnya kesadaran warga dalam menjaga kebersihan
lingkungan sehingga meningkatkan sarang-sarang nyamuk
yang menyebabkan Malaria.

3. Jumlah kader yang masih kurang sehingga kurangnya


koordinasi mengenai informasi penting dari puskesmas
kepada

masyarakat

yang

mengakibatkan

kurangnya

pengetahuan masyarakat mengenai penyakit malaria.


4. Kurangnya koordinasi lintas sector. Permasalahan malaria
bukan hanya tanggung jawab dari tenaga kesehatan saja
apalagi

pada

daerah

yang

endemis.

Hal

ini

sudah

merupakan tanggung jawab dari seluruh sector termasuk


pertanian, social budaya dll demi upaya pencegahan
malaria.

BAB IV
PEMECAHAN MASALAH
Penyakit

malaria

adalah

masalah

bersama

di

Nusa

Tenggara Barat khususnya Sumbawa. Bukan hanya tenaga


kesehatan yang harus memikirkan tentang masalah ini namun
juga sangat dibutuhkan keterlibatan dari segala macam pihak
seperti

sector

social

budaya,

pertanian,

peternakan,

LSM,

pimpinan daerah, pimpinan kelurahan, dan tentunya adalah


masyarakat itu sendiri. Hal yang paling mudah dilakukan adalah
dengan melakukan penyuluhan mengenai malaria. Penyuluhan
dapat dilakukan secara berkala mengingat tingkat kejadian
malaria di daeah Sumbawa cukup tinggi. Penyuluhan dapat
dilakukan di posyandu, di pertemuan warga, di event event besar
seperti

acara

17

agustus.

Penyuluhan

sebaiknya

dibuat

semenarik mungkin sehingga para pendengar tertarik untuk


mendengarkan, mungkin penting untuk memaparkan sebelum
mulai

penyuluhan

mengenai

mengapa

mereka

harus

mengetahui penyuluhan mengenai malaria ini, kita dapat


memaparkan bahwa ini merupakan kebutuhan kita bersama
demi mencegah perkembangan malaria lebih lanjut.
Selain

penyuluhan,

mungkin

dapat

dilakukan

gotong

royong bersama setiap 2kali seminggu atau setiap minggu untuk


lebih baiknya. Inilah tugas para pemimpin untuk mengingatkan
warganya. Pihak tenaga kesehatan seharusnya berkoordinasi
dengan pihak

pihak

yang

memiliki

jabatan

yang

mampu

memboyong masyarakat untuk hidup sehat demi meminimalkan


kejadian malaria.

Puskesmas juga dapat melakukan pencegahan secara


kimia yaitu salah satunya adalah pembagian kelambu insektisida
gratis. Kelambu dapat diberikan untuk setiap KK.
Tenaga kesehatan dapat berkoordinasi dengan sektor
pertanian dalam menekan perkembangan penyakit malaria.
Salah satu caranya adalah dengan memperbaiki pola tanam.
Dipilih pola tanam padi dan palawija, karena ditinjau dari strategi
pengadan pangan/pakan dan usaha peningkatan pendapatan
petani merupakan alternatif terbaik, terutama

dalam usaha

pengendalian vektor malaria. Kedua jenis komoditi ini, yaitu padi


dan palawija, mempunyai bentuk dan ekologi yang jauh berbeda,
begitu pula hama dan penyakitnya. Apabila kedua tanaman ini
diselang-seling dalam satu tahun musim tanam, akan menekan
populasi hama dan vektor malaria karena habitatnya tidak sesuai
dengan perkembangan populasi hama/ vektor malaria tersebut,
apalagi bila ditunjang dengan cara bercocok tanam dengan
teknik

yang

baik.

Dengan

demikian

akan

tercapai

suatu

keseimbangan biologi bila hama/penyakit dari kedua jenis


komoditi tersebut hidup berdampingan pada batas-batas yang
tidak membahayakan tanamannya sendiri.

BAB V
KESIMPULAN
1. Malaria adalah penyakit menular yang di sebabkan oleh
parasit yang di bawa oleh nyamuk anopheles.
2. Pengetahuan warga mengenai malaria dan cara
pengendaliannya masih sangat kurang.
3. Pengendalian biologi, pengaturan tanaman, fisik, dan
kimiawi dapat dilakukan untuk menekan kejadian malaria.
4. Pengendalian malaria harus melibatkan beberapa sektor
tidak hanya tenaga kesehatan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ramdja

M,

Falsiparum

Mekanisme

Resistensi

Plasmodium

Terhadap Klorokuin. MEDIKA. No. XI, Tahun

ke XXIII. Jakarta, 1997; Hal: 873.


2. Kartono

M.

Nyamuk

Anopheles:

Vektor

Penyakit

Malaria. MEDIKA. No.XX, tahun XXIX. Jakarta, 2003; Hal:


615.
3. Departemen Kesehatan RI. Pedoman Penatalaksanaan
Kasus Malaria di Indonesia. Jakarta, 2006; Hal:1-12, 1523, 67-68.
4. Harijanto PN. Malaria. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid

III,

edisi

IV.

Fakultas

Kedokteran

Universitas

Indonesia. Jakarta, 2006; Hal: 1754-60.


5. Gunawan S. Epidemiologi Malaria. Dalam: Harijanto PN
(editor). Malaria, Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi
Klinis dan Penanganan. Jakarta: EGC, 2000; Hal: 1-15.
6. Rampengan
Harijanto

TH.
PN

Malaria

Pada

(editor).

Malaria,

Anak.

Dalam:

Epidemiologi,

Patogenesis, Manifestasi Klinis dan Penanganan. Jakarta:


EGC, 2000; Hal: 249-60.
7. Nugroho A & Tumewu WM. Siklus Hidup Plasmodium

Malaria.

Dalam Harijanto

Epidemiologi,

PN

Patogenesis,

(editor).

Malaria,

Manifestasi Klinis dan

Penanganan. Jakarta: EGC, 2000; Hal: 38-52.


8. Harijanto PN, Langi J, Richie TL. Patogenesis Malaria
Berat.

Dalam: Harijanto

Epidemiologi,

PN

Patogenesis,

(editor).

Malaria,

Manifestasi Klinis dan

Penanganan. Jakarta: EGC, 2000; Hal: 118-26.


9. Pribadi W. Parasit Malaria. Dalam: gandahusada S,
Ilahude HD, Pribadi W (editor). Parasitologi Kedokteran.
Edisi ke-3. Jakarta, Fakultas Kedokteran UI, 2000, Hal:
171-97.
10.

Zulkarnaen I. Malaria Berat (Malaria Pernisiosa).

Dalam: Noer S et al (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit


Dalam. Jilid I. Edisi ketiga. Jakarta. Balai Penerbit FKUI,
2000;Hal:504-7.
11.

Mansyor A dkk. Malaria. Dalam: kapita Selekta

Kedokteran,

Edisi

ketiga,

Jilid

I,

Jakarta,

Fakultas

Kedokteran UI, 2001, Hal: 409-16.


12.

Arsin. Andi Arsunan. 2012. Malaria di Indonesia

Tinjauan Aspek Epidemiologi. Masagena Press. Makassar.


13.

Harijanto, P.N. 2000. Malaria. EGC. Jakarta.

14.

Harminarti, Nora. 2008. Kelambu Celup Permetrin.

repository.unand.ac.id/430/1/Hal_01_Permetrin__Judul.doc. Diakses tanggal 10 Mei 2013.


15.

Hiswani.

2004.

Malaria

Gambaran

Penyakit

dan

di

Vektor

Indonesia

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3760/1/fk
m-hiswani11.pdf. Diakses tanggal 14 Mei 2013.
16.

Kementerian Kesehatan. Vektor Malaria dan Cara

Pengendaliannya.

http://pppl.depkes.go.id/_asset/_download/Vektor_Malaria
_1.pdf. Diakses tanggal 7 Mei 2013.
17.
di

Kementerian Kesehatan. 2011. Epidemiologi Malaria


Indonesia.

Buletin

Jendela

Data

dan

Informasi

Kesehatan volume 1. Jakarta.


18.

Marbaniati,dkk.

2010.

http://polatanam.wordpress.com/2008/12/24/pengaruhpola-tanam-terhadap-insidens-malaria-di-kabupatenbanjarnegara/. Diakses tanggal 2 Mei 2013.


19.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

nomor

374/Mekes/PER/III/2010

tentang

Pengendalian

Vektor.
20.

Soedarto.

1992.

Entomologi

kedokteran.

Buku

Berbagai

Cara

Kedokteran ECG. Jakarta.


21.

Suwasono,

Pemberantasan

Hadi.
Larva

Kedokteran. Jakarta.

1997.
Anopheles

sp.

Cermin

Dunia

Penyuluhan Mengenai Gejala dan Tanda Malaria serta


Pencegahannya sebagai program Pencegahan Penyakit
Menular di Kelurahan Samapuin

Disusun Oleh:
Dr. Azaliya Pranjasdhita

PROGRAM DOKTER INTERNSHIP


PUSKESMAS UNIT 1 SUMBAWA
2015

Anda mungkin juga menyukai