Anda di halaman 1dari 19

ASPEK PERPAJAKAN PEMERINTAH PUSAT

Disusun

untuk memenuhi tugas mata kuliah Perpajakan Sektor Publik

DISUSUN OLEH KELOMPOK 11:


1.
2.
3.
4.
5.

BAYU MAHENDRA L.S.P


M. FAJAR SETOADI
M. RIZA HARI
YUSUF BASTIAN W.M
YULIA TRISAPTYA

F1314024
F1314059
F1314060
F1314094
F1314107

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2015
ASPEK PERPAJAKAN PEMERINTAH PUSAT

1. PENGERTIAN PAJAK
Pajak adalah iuran wajib yang dipungut oleh pemerintah dari masyarakat (wajib
pajak) untuk menutupi pengeluaran rutin negara dan biaya pengeluaran rutin negara dan
biaya pembangunan tanpa balas jasa langsung.
2.

JENIS PAJAK

Ditinjau dari siapa pemungut pajaknya, maka pajak dapat dibedakan menjadi pajak negara
atau pajak pusat dan pajak daerah. Disebut dengan pajak pusat, bila pajak yang dipungut
dilakukan oleh pemerintah pusat. Contoh pajak pusat adalah PPh, PPN, PPn dan Bea Materai.
Sedangkan pajak daerah, adalah apabila pemungutan pajak dilakukan oleh pemerintah
daerah. Contoh pajak daerah adalah Pajak tontonan, pajak reklame, PKB (Pajak Kendaraan
Bermotor), PBB, Iuran kebersihan, Retribusi terminal, Retribusi parkir, Retribusi galian pasir
dan lain-lain.
Beberapa jenis pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat:
1. Pajak Penghasilan (PPh). PPh adalah pajak langsung dari pemerintah pusat yang dipungut
atas penghasilan dari semua orang yang berada di wilayah Republik Indonesia .
2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN). PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang
Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean. Orang Pribadi, perusahaan,
maupun pemerintah yang mengkonsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak
dikenakan PPN. Pada dasarnya, setiap barang dan jasa adalah Barang Kena Pajak atau Jasa
Kena Pajak, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang PPN.
3. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM.) Selain dikenakan PPN, atas barang-barang
kena pajak tertentu yang tergolong mewah, juga dikenakan PPn BM. Yang dimaksud
dengan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah adalah :
a)
b)
c)
d)
e)

Barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok.


Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu
Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi
Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status
Apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat, serta
mengganggu ketertiban masyarakat.

4. Bea Meterai. Bea Meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen, dengan
menggunakan benda materai atau benda lainya.

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 (PPh PASAL 21)


Setiap karyawan dikenakan pajak penghasilan atas gaji yang diperoleh dari perusahaan yang
memberi kerja, dan pada dasarnya pajak tersebut menjadi tanggung jawab perusahaan untuk
membayarkannya langsung kepada Direktorat Jenderal Pajak, serta menjadi tanggung jawab
karyawan untuk melaporkan pajak yang dimaksud setiap satu tahun sekali, melalui Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Pasal 21.
Menurut Undang-undang Republik Indonesia No. 36 tahun 2008, Pajak Penghasilan Pasal 21
(PPh Pasal 21) adalah pajak yang dipotong atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan,
jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri.
Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh Pasal 21)
Tarif pemotongan pajak atas penghasilan dijelaskan pada Pasal 17 ayat (1) huruf a. Tarif
berikut berlaku pada Wajib Pajak yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
WP dengan penghasilan tahunan sampai dengan Rp 50.000.000,- 5%
WP dengan penghasilan tahunan di atas Rp 50.000.000,- sampai dengan Rp 250.000.000,15%
WP dengan penghasilan tahunan di atas Rp 250.000.000,- sampai dengan Rp 500.000.000,25%
WP dengan penghasilan tahunan di atas Rp 500.000.000,- 30%
Untuk Wajib Pajak yang tidak memiliki NPWP, dikenai tarif 20% lebih tinggi dari mereka
yang memiliki NPWP.
PAJAK PENGHASILAN PASAL 22 (PPh Pasal 22)
Badan-badan usaha tertentu, baik milik pemerintah maupun swasta, yang melakukan kegiatan
perdagangan ekspor, impor, dan re-impor dikenai Pajak Penghasilan Pasal 22 (PPh Pasal 22).
Tarif untuk jenis pajak ini bervariasi, tergantung dari pemungut, obyek, dan jenis
transaksinya.
Menurut hukum Indonesia, Nomor 36 tahun 2008, Pajak Penghasilan Pasal 22 (PPh Pasal 22)
adalah bentuk pemotongan atau pemungutan pajak yang dilakukan satu pihak terhadap Wajib
Pajak dan berkaitan dengan kegiatan perdagangan barang. Mengingat sangat bervariasinya
obyek, pemungut, dan bahkan tarifnya, Ketentuan PPh Pasal 22 relatif lebih rumit
dibandingkan dengan PPh lainnya, seperti PPh 21 atau pun 23. Pada umumnya, PPh Pasal 22
dikenakan terhadap perdagangan barang yang dianggap menguntungkan sehingga baik
penjual maupun pembelinya dapat menerima keuntungan dari perdagangan tersebut. Karena
itulah PPh Pasal 22 dapat dikenakan baik saat penjualan maupun pembelian.

Pemungut dan Obyek PPh Pasal 22


Yang termasuk pemungut dan obyek pajak dalam hal ini adalah:
Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) atas impor barang;
Bendahara Pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai pemungut pajak
pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Instansi atau Lembaga Pemerintah dan

lembaga-lembaga negara lainnya,, berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang;


Bendahara pengeluaran berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang yang

dilakukan dengan mekanisme uang persediaan (UP);


Kuasa Pengguna Anggaran (KPA)atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang
diberikan delegasi oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), berkenaan dengan
pembayaran atas pembelian barang kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan

mekanisme pembayaran langsung (LS);


Badan Usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri rokok, industri
kertas, Industri baja, dan industri otomotif, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan

Pajak, atas penjualan hasil produksinya di dalam negeri;


Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yaitu badan usaha yang seluruh atau sebagian
besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal

dari kekayaan negara yang dipisahkan, yang meliputi:;


PT Pertamina (Persero), PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), PT Perusahaan Gas
Negara (Persero) Tbk., PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk., PT Garuda
Indonesia (Persero) Tbk., PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk., PT Wijaya Karya
(Persero) Tbk., PT Adhi Karya (Persero) Tbk., PT Hutama Karya (Persero), PT Krakatau

Steel (Persero);
Bank-bank Badan Usaha Milik Negara,berkenaan dengan pembayaran atas pembelian

barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan kegiatan usahanya.


Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri
baja, industri otomotif, dan industri farmasi, atas penjualan hasil produksinya kepada

distributor di dalam negeri;


Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan importir

umum kendaraan bermotor, atas penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri;


Produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas, atas

penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas;


Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian,
peternakan, dan perikanan, atas pembelian bahan-bahan dari pedagang pengumpul untuk

keperluan industrinya atau ekspornya.


Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri baja yang merupakan industri
hulu, termasuk industri hulu yang terintegrasi dengan industri antara dan industri hilir.

Pedagang pengumpul berupa badan atau orang pribadi yang kegiatan usahanya:
mengumpulkan hasil kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan; dan
menjual hasil tersebut kepada badan usaha industri dan eksportir yang bergerak dalam
sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan.

Tarif PPh Pasal 22


Atas impor :
yang menggunakan Angka Pengenal Importir (API) = 2,5% x nilai impor;
non-API = 7,5% x nilai impor;
yang tidak dikuasai = 7,5% x harga jual lelang.
Atas pembelian barang yang dilakukan oleh DJPB, Bendahara Pemerintah,

BUMN/BUMD = 1,5% x harga pembelian (tidak termasuk PPN dan tidak final.)
Atas penjualan hasil produksi ditetapkan berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak,

yaitu:
Kertas = 0.1% x DPP PPN (Tidak Final)
Semen = 0.25% x DPP PPN (Tidak Final)
Baja = 0.3% x DPP PPN (Tidak Final)
Otomotif = 0.45% x DPP PPN (Tidak Final)
Atas penjualan hasil produksi atau penyerahan barang oleh produsen atau importir bahan

bakar minyak,gas, dan pelumas adalah sebagai berikut:


Pungutan PPh Pasal 22 kepada penyalur/agen, bersifat final. Selain penyalur/agen

bersifat tidak final


Atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor dari pedagang

pengumpul ditetapkan = 0,25 % x harga pembelian (tidak termasuk PPN.)


Atas impor kedelai, gandum, dan tepung terigu oleh importir yang menggunakan API =

0,5% x nilai impor.


Atas Penjualan
Pesawat udara pribadi dengan harga jual lebih dari Rp20.000.000.000,00
Kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp10.000.000.000,00
Rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih dari

Rp10.000.000.000,00 dan luas bangunan lebih dari 500 m2.


Apartemen, kondominium,dan sejenisnya dengan harga jual atau pengalihannya lebih

dari Rp10.000.000.000,00 dan/atau luas bangunan lebih dari 400 m2.


Kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang berupa sedan,
jeep, sport utility vehicle(suv), multi purpose vehicle (mpv), minibus dan sejenisnya
dengan harga jual lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan dengan
kapasitas silinder lebih dari 3.000 cc. Sebesar 5% dari harga jual tidak termasuk PPN dan

PPnBM.
Untuk yang tidak ber-NPWP dipotong 100% lebih tinggi dari tarif PPh Pasal 22
Pengecualian Pemungutan Pajak Berdasarkan PPh Pasal 22

Impor barang-barang dan/atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan


perundang-undangan tidak terutang PPh. Pengecualian tersebut, harus dinyatakan dengan

Surat Keterangan Bebas PPh Pasal 22 yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Impor barang-barang yang dibebaskan dari bea masuk :
yang dilakukan ke dalam Kawasan Berikat (kawasan tanpa bea masuk hingga barang
tersebut dikeluarkan untuk impor, ekspor, atau re-impor) dan Entrepot Produksi Untuk
Tujuan Ekspor (EPTE),

yaitu tempat

penimbunan barang

dagangan karena

pengimpornya tidak membayar bea masuk sebagaimana mestinya;


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7 PP Nomor 6 Tahun 1969 tentang
Pembebanan atas Impor sebagaimana diubah dan ditambah terakhir dengan PP Nomor 26

tahun 1988 Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 1973;


berupa kiriman hadiah;
untuk tujuan keilmuan.
Pembayaran atas penyerahan barang yang dibebankan kepada belanja negara/daerah
yang meliputi jumlah kurang dari Rp 2.000.000,00 (bukan merupakan jumlah yang

dipecah-pecah).
Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum/PDAM,
benda-benda pos, dan telepon.

PAJAK PENGHASILAN PASAL 23 ( PPh PASAL 23 )


Pajak penghasilan pasal 23 ( PPh Pasal 23 ) adalah pajak yang dikenakan pada penghasilan
atas modal, penyerahan jasa, atau hadiah dan penghargaan, selain yang telah dipotong PPh
Pasal 21.
Umumnya penghasilan jenis ini terjadi saat adanya transaksi antara dua pihak. Pihak yang
menerima penghasilan / penjual / pemberi jasa akan dikenakan PPh pasal 23. Pihak pemberi
penghasilan / pembeli / penerima jasa akan memotong dan melaporkan PPh pasal 23 tersebut
kepada kantor pajak.
Pihak pemotong PPh Pasal 23, dan pihak yang dikenakan PPh Pasal 23
Tidak semua pihak dapat dikenakan atau pun memotong PPh Pasal 23. Pihak-pihak tersebut
hanya mereka yang masuk pada kelompok berikut:
Pihak pemotong PPh Pasal 23
Badan pemerintah
Subjek Pajak dalam negeri
Penyelenggara kegiatan

Bentuk Usaha Tetap


Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya
Wajib pajak orang pribadi tertentu yang ditunjuk Dirjen Pajak
Pihak yang dikenakan PPh Pasal 23
Wajib pajak dalam negeri
Bentuk Usaha Tetap
Tarif dan Objek PPh Pasal 23
Tarif dikenakan pada nilai Dasar Pengenaan Pajak ( DPP ) / jumlah bruto dari penghasilan.
Pada dasarnya dikenakan 2 jenis tarif ( 15% dan 2% ) pada penghasilan ini, tergantung dari
objeknya.
Tarif 15% untuk objek pajak:
Dividen, bunga, royalti, hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong Pajak
Penghasilan Pasal 21.
Tarif 2% untuk objek pajak:
Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali yang telah dikenai
PPh Pasal 4 ayat (2), serta
Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan
jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21.
Jasa lain yang dimaksud pada penjelasan di atas, adalah jasa yang diuraikan dalam Peraturan
Menteri Keuangan No. 244/PMK.03/2008.
Pengecualian PPh Pasal 23
Pemotongan PPh Pasal 23 dikecualikan atas:
penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank,
sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak
opsi,
dividen tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f dan dividen yang
diterima oleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri,
bagian laba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf i
sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya,

penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang
berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan yang diatur dengan Peraturan
Menteri Keuangan.
Pembayaran, Pelaporan, dan Bukti Pemotong PPh Pasal 23 ( dari pihak pemotong )
Pembayaran PPh Pasal 23
Pembayaran dilakukan oleh pihak pemotong dengan cara mengisi Surat Setoran Pajak
(SSP) dan membayarnya melalui Bank Persepsi yang ditunjuk Dirjen Pajak. Jatuh Tempo
pembayaran adalah tanggal 10, sebulan setelah bulan terutang pajak penghasilan 23.
Pelaporan PPh Pasal 23
Pelaporan dilakukan oleh pihak pemotong dengan cara mengisi SPT Masa PPh Pasal 23
yang kemudian dilaporkan kepada Kantor Pelayanan Pajak dimana pihak pemotong
terdaftar. Jatuh Tempo pelaporan adalah tanggal 20, sebulan setelah bulan terutang pajak
penghasilan 23.
Bukti Pemotong PPh Pasal 23
Sebagai tanda bahwa PPh Pasal 23 telah dipotong, pihak pemotong harus memberikan
Bukti Potong (rangkap ke-1) yang sudah dilengkapi kepada pihak yang dikenakan pajak
tersebut, dan kepada Kantor Pelayanan Pajak (rangkap ke-2) saat dilakukannya
Pelaporan PPh Pasal 23.
Wajib Pajak (WP), baik berupa Orang Pribadi atau pun Badan yang melakukan suatu
kegiatan usaha dikenai Pajak Penghasilan Pasal 25 (PPh 25) berupa angsuran PPh tiap
bulannya. Keterlambatan, baik dalam menyetor maupun melapor, dapat dikenai sanksi sesuai
ketentuan dan peraturan yang berlaku.
PAJAK PENGHASILAN PASAL 25 (PPh PASAL 25)
Pajak Penghasilan Pasal 25 (PPh Pasal 25) adalah pembayaran Pajak Penghasilan secara
angsuran. Tujuannya adalah untuk meringankan beban Wajib Pajak, mengingat pajak yang
terutang harus dilunasi dalam waktu satu tahun. Pembayaran ini harus dilakukan sendiri dan
tidak bisa diwakilkan.
Wajib Pajak untuk setiap bulan sebesar Pajak Penghasilan yang terutang pajak tahun lalu,
yang dikurangi dengan:

Pajak Penghasilan yang dipotong sesuai Pasal 21 (yaitu sesuai Tarif Pasal 17 ayat (1)
bagi pemilik NPWP dan tambahan 20% bagi yang tidak memiliki NPWP) dan Pasal 23
(15% berdasarkan dividen, bunga, royalti, dan hadiah - serta 2% berdasarkan sewa dan
penghasilan lain serta imbalan jasa) - serta Pajak Penghasilan yang dipungut sesuai Pasal
22 (pungutan 100% bagi yang tidak memiliki NPWP);

Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan
sesuai Pasal 24;

lalu dibagi 12 atau total bulan dalam pajak masa setahun.

Tarif untuk Pajak Penghasilan Pasal 25


Terdapat dua (2) jenis pembayaran angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 (PPh Pasal 25) untuk
Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP), yaitu:
-

Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (WP OPPT), yaitu yang melakukan
usaha penjualan barang, baik grosir maupun eceran, serta jasa dengan satu atau lebih
tempat usaha. PPh 25 bagi OPPT = 0.75% x omzet bulanan tiap masing-masing tempat
usaha.

Wajib Pajak Orang Pribadi Selain Pengusaha Tertentu (WP OPSPT), yaitu pekerja
bebas atau karyawan, yang tidak memiliki usaha sendiri. PPh 25 bagi OPSPT =
Penghasilan Kena Pajak (PKP) x Tarif PPh 17 ayat (1) huruf a UU PPh (12 bulan).

Tarif PPh 17 ayat (1) huruf a UU PPh adalah:


-

Sampai Rp.50.000.000 = 5%

Rp.50.000.000 Rp.250.000.000 = 15%

Rp.250.000.000 Rp.500.000.000 = 25%

Di atas Rp.500.000.000 = 30%

Pembayaran angsuran PPh 25 untuk Wajib Pajak Badan yaitu = Penghasilan Kena Pajak
(PKP) x 25% (Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf b UU PPh).
Saat Pembayaran:
Misalnya: untuk bulan Februari 2014, angsuran PPh 25 harus dibayar paling lambat 15 Maret
2014. Jika batas waktu penyetoran jatuh pada hari libur (termasuk Sabtu, Minggu, hari libur
nasional, dan Pemilihan Umum), maka pembayaran masih dapat dilakukan pada hari
berikutnya sesuai Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan No.184/PMK.03/2007, yang
kemudian diubah lagi sesuai Peraturan Menteri Keuangan No.80/PMK.03/2010.

Sesuai Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-22/PJ/2008 pada 21 Mei 2008,
pembayaran harus dilakukan dengan membawa Surat Setoran Pajak (SSP) atau dokumen
sejenisnya.
Sanksi-sanksi:
Apabila Wajib Pajak (WP) terlambat membayar, maka WP akan dikenai bunga sebesar 2%
per bulan, dihitung dari tanggal jatuh tempo hingga tanggal pembayaran. Misalnya: untuk
bulan Februari 2014, WP terlambat dan baru membayarnya pada 16 Maret. Sesuai Pasal 9
ayat (2a) UU KUP, WP dikenai bunga 2%.
PEMOTONGAN PAJAK FINAL (PPh PASAL 4 AYAT 2)
Pemotongan pajak final dikenakan kepada wajib pajak, atas beberapa jenis penghasilan yang
mereka dapatkan, seperti kepentingan deposito, hadiah berupa lotere / undian, transaksi
saham, dan lain-lain. Tarif berbeda untuk satu jenis penghasilan yang lain, seperti yang diatur
dalam Peraturan Pemerintah, yang akan dibahas lebih lanjut di sini.
Tarif PPh Pasal 4 (2) - Pemotongan Pajak Final
Ada beberapa jenis penghasilan yang dikenakan dengan pemotongan pajak final ini, dimana
masing-masing memiliki tarif yang berbeda dan itu diatur dalam Peraturan Pemerintah. Di
bawah inilah berbagai objek pajak dengan tarif masing-masing sesuai peraturan yang
mendukung:

Bunga deposito dan jenis-jenis tabungan, Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan diskon jasa
giro, tarif sebesar 20% sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 131
tahun 2000 dan turunannya Keputusan Menteri Keuangan Nomor 51/KMK. 04/2001.

Bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota masing-masing, dengan
tarif sebesar 10% sebagaimana diatur dalam Pasal 17 (7) dan turunannya Peraturan
Pemerintah Nomor 15 tahun 2009.

Bunga dari kewajiban, dengan berbagai tarif dari 0% sampai 20%. Penjelasan lebih
lanjut dapat ditemukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2009.

Dividen yang diterima oleh Indonesia Wajib Pajak orang pribadi, tarif sebesar 10%
sebagaimana diatur dalam Pasal 17 (2c).

Hadiah lotere / undian, tarif sebesar 25% sebagaimana diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 132 tahun 2000.

Transaksi derivatif dalam bentuk berjangka panjang yang diperdagangkan di bursa,


dengan tarif sebesar 2,5% sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 17
tahun 2009.

Transaksi Penjualan saham pendiri, dan saham non-founder (bukan pendiri), tarif sebesar
0,5% dan 0,1% masing-masing, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor
14

tahun

1997, yang

derivatif-nya

berupa

turunan

Menteri

Keuangan

No

282/KMK.04/1997, yang SE-15/PJ.42/1997 dan SE-06/PJ.4/1997.

Jasa konstruksi, dengan berbagai tarif dari 2% sampai 6%. Penjelasan lebih lanjut dapat
ditemukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2008 dan turunannya Peraturan
Pemerintah Nomor 40 tahun 2009.

Sewa atas tanah dan / atau bangunan, dengan tarif 10% sebagaimana diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 1996 dan turunannya Peraturan Pemerintah
Nomor 5 tahun 2002.

Pengalihan hak atas tanah dan / atau bangunan (termasuk usaha real estate), tarif sebesar
5% sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2008.

Transaksi penjualan saham atau pengalihan ibukota mitra perusahaan yang diterima oleh
modal usaha, dengan tarif 0,1% sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor
4 tahun 1995.

Istilah 'final' di sini berarti bahwa, jenis pajak ini harus diselesaikan / lunas dalam masa pajak
yang sama seperti mereka diterima, dan tidak perlu dilaporkan lagi pada akhir tahun pajak.
Pajak penghasilan pasal 4 ayat (2) dikenakan pada jenis tertentu dari penghasilan /
pendapatan, dan berupa:

bunga dari deposito dan jenis-jenis tabungan, bunga dari obligasi dan obligasi negara,
dan bunga dari tabungan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota masing-masing;

hadiah berupa lotere / undian

transaksi saham dan surat berharga lainnya, transaksi derivatif perdagangan di bursa, dan
transaksi penjualan saham atau pengalihan ibukota mitra perusahaan yang diterima oleh
perusahaan modal usaha;

transaksi atas pengalihan aset dalam bentuk tanah dan / atau bangunan, usaha jasa
konstruksi, usaha real estate, dan sewa atas tanah dan / atau bangunan; dan

pendapatan tertentu lainnya, sebagaimana diatur dalam atau sesuai dengan Peraturan
Pemerintah

Ketika pajak final dikenakan atas transaksi antara perusahaan dan seorang individu, dimana
perusahaan bertindak sebagai penerima penghasilan tersebut, maka perusahaan wajib
menyelesaikan pajak ini saja. Dalam kasus transaksi yang terjadi antara dua perusahaan,
maka pembayar harus mengumpulkan dan menyelesaikan pajak bukan penerima.
PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 (PPh PASAL 26)
Badan usaha apa pun di Indonesia yang melakukan transaksi pembayaran (gaji, bunga,
dividen, royalti, dan sejenisnya) kepada Wajib Pajak Luar Negeri, diwajibkan untuk
memotong Pajak Penghasilan Pasal 26 atas transaksi tersebut. Tarif umum untuk PPh pasal
26 adalah 20%. Namun jika mengikuti tax treaty/Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda
(P3B), maka tarif dapat berubah.
Menurut hukum Indonesia, Nomor 36 tahun 2008, Pajak Penghasilan Pasal 26 (PPh Pasal
26) adalah pajak penghasilan yang dikenakan atas penghasilan yang diterima Wajib Pajak
Luar Negeri dari Indonesia selain bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia.
Yang menentukan seorang individu atau perusahaan sebagai wajib pajak luar negeri, adalah:
seorang individu yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, individu yang tinggal di
Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam setahun/12 bulan, dan perusahaan yang tidak
didirikan atau berada di Indonesia, yang mengoperasikan usahanya melalui bentuk usaha
tetap di Indonesia.
seorang individu yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, individu yang tinggal di
Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam setahun/12 bulan, dan perusahaan yang tidak
didirikan atau berada di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan
dari Indonesia tidak melalui menjalankan usaha melalui suatu bentuk usaha tetap di
Indonesia.
Tarif untuk Pajak Penghasilan Pasal 26 (PPh Pasal 26)
Tarif 20% (final) atas jumlah bruto dari:
Dividen
Bunga, termasuk premium, diskonto, insentif yang terkait dengan jaminan pembayaran
pinjaman
Royalti, sewa, dan pendapatan lain yang terkait dengan penggunaan aset
Insentif yang berkaitan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan
Hadiah dan penghargaan

Pensiun dan pembayaran berkala


Premi swap dan transaksi lindung lainnya
Perolehan keuntungan dari penghapusan utang
Tarif 20% (final) dari laba bersih yang diharapkan dari:
Pendapatan dari penjualan aset di Indonesia
Premi asuransi, premi reasuransi yang dibayarkan langsung maupun melalui pialang
kepada perusahaan asuransi di luar negeri.
Tarif 20% (final) dari laba bersih yang diharapkan selama penjualan atau pengalihan saham
perusahaan antara perusahaan media atau perusahaan tujuan khusus yang didirikan atau
bertempat di negara yang memberikan perlindungan pajak yang memiliki hubungan khusus
untuk suatu entitas atau bentuk usaha tetap (BUT) didirikan di Indonesia.
Tarif 20% yang dipungut dari penghasilan kena pajak setelah dikurangi dengan pajak, suatu
bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di
Indonesia.
Tingkat berdasarkan tax treaty (perjanjian pajak), yang dikenal sebagai JGI Penghindaran
Pajak berganda (P3B) antara Indonesia dan negara-negara lain yang berada dalam perjanjian,
mungkin berbeda satu sama lain. Tarif mereka biasanya mengurangi tingkat dari tarif biasa
20%, dan beberapa mungkin memiliki tarif 0%.
PAJAK PENGHASILAN PASAL 29 (PPh PASAL 29)
Untuk pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak yang lebih besar daripada kredit pajak
(sesuai Pajak Penghasilan Pasal 28 ayat (1)), kekurangan pembayarannya harus dilunasi
sebelum keluarnya Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan. Untuk itulah kita dapat
mengacu pada Pajak Penghasilan Pasal 29 (PPh 29).
Menurut UU No.36 Tahun 2008, Pajak Penghasilan Pasal 29 (PPh 29) adalah PPh Kurang
Bayar (KB) yang tercantum dalam SPT Tahunan PPh, yaitu sisa dari PPh yang terutang
dalam tahun pajak yang bersangkutan dikurangi dengan kredit PPh (PPh Pasal 21, 22, 23, dan
24) dan PPh Pasal 25. Dalam hal ini, Wajib Pajak (WP) wajib memiliki kewajiban melunasi
kekurangan pembayaran pajak yang terutang sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan disampaikan. Apabila tahun buku sama dengan tahun kalender, kekurangan
pajak tersebut wajib dilunasi paling lambat 31 Maret bagi Wajib Pajak Orang Pribadi atau 30
April bagi Wajib Pajak Badan (WPB) setelah tahun pajak berakhir.

Bagaimana bila tahun buku tidak sama dengan tahun kalender, misalnya dimulai dari 1 Juli
sampai dengan 30 Juni tahun depan? Maka, kekurangan wajib pajak harus dilunasi paling
lambat 30 September bagi Wajib Pajak Orang Pribadi atau 31 Oktober bagi Wajib Pajak
Badan (WPB).
Tarif PPh Pasal 29
Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (WPOP-PT) :
PPh 25 yang sudah dilunasi = 0.75 x jumlah penghasilan / omzet per bulan.
PPh 29 yang harus dilunasi = PPh yang masih terutang - PPh 25 yang sudah dilunasi.
Wajib Pajak Badan (WPB) :
Angsuran PPh 25 = PPh terutang tahun lalu x 12.
PPh 29 yang harus dilunasi = PPh yang terutang - angsuran PPh 25.
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN) Dan PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG
MEWAH (PPnBM)
PPN dan PPnBM yang terutang dihitung dengan cara mengalikan Tarif Pajak dengan Dasar
Pengenaan Pajak (DPP).
Tarif PPN dan PPnBM
1. Tarif PPN adalah 10% (sepuluh persen).
2. Tarif PPN sebesar 0% (sepuluh persen) diterapkan atas:
-

ekspor Barang Kena Pajak (BKP) Berwujud;

ekspor BKP Tidak Berwujud; dan

ekspor Jasa Kena Pajak.

3. Tarif PPnBM adalah paling rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi 200% (dua
ratus persen).
4. Tarif PPnBM atas ekspor BKP yang tergolong mewah adalah 0% (nol persen).
Dasar Pengenaan Pajak (DPP)
Dasar Pengenaan Pajak adalah dasar yang dipakai untuk menghitung pajak yang terutang,
berupa: Jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lain yang
ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.

1. Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya
diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak (BKP), tidak termasuk PPN
yang dipungut menurut Undang-Undang PPN dan potongan harga yang dicantumkan
dalam Faktur Pajak.
2. Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP),ekspor
Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk
PPN yang dipungut menurut Undang-Undang PPN dan potongan harga yang
dicantumkan dalam Faktur Pajak atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya
dibayar oleh penerima jasa karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau oleh penerima
manfaat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud.
3. Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk
ditambah pungutan lainnya yang dikenakan pajak berdasarkan ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan Pabean untuk Impor BKP, tidak termasuk PPN yang dipungut
menurut Undang-Undang PPN.
4. Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh eksportir.
5. Nilai lain adalah nilai berupa uang yang ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan Pajak
dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Nilai lain yang ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan Pajak adalah sebagai berikut :
1. untuk pemakaian sendiri BKP dan/atau JKP adalah Harga Jual atau Penggantian setelah
dikurangi laba kotor;
2. untuk pemberian cuma-cuma BKP dan/atau JKP adalah Harga Jual atau Penggantian
setelah dikurangi laba kotor;
3. untuk penyerahan media rekaman suara atau gambar adalah perkiraan harga jual ratarata;
4. untuk penyerahan film cerita adalah perkiraan hasil rata-rata per judul film;
5. untuk penyerahan produk hasil tembakau adalah sebesar harga jual eceran;
6. untuk Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula
tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan,
adalah harga pasar wajar;

7. untuk penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau
penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang adalah harga pokok penjualan atau harga
perolehan;
8. untuk penyerahan Barang Kena Pajak melalui juru lelang adalah harga lelang;
9. untuk penyerahan jasa pengiriman paket adalah 10 % (sepuluh persen) dari jumlah yang
ditagih atau jumlah yang seharusnya ditagih; atau
10. untuk penyerahan jasa biro perjalanan atau jasa biro pariwisata adalah 10% (sepuluh
persen) dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih.
Contoh Cara Menghitung PPN dan PPnBM
1. PKP A menjual tunai Barang Kena Pajak dengan Harga Jual Rp 25.000.000,00
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang= 10 % x Rp25.000.000,00 = Rp2.500.000,00
PPN sebesar Rp2.500.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh
Pengusaha Kena Pajak A.
2. PKP B melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak dengan memperoleh Penggantian
sebesar Rp20.000.000,00
PPN yang terutang yang dipungut oleh PKP B
= 10% x Rp20.000.000,00 = Rp 2.000.000,00
PPN sebesar Rp2.000.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh
Pengusaha Kena Pajak B.
3. Seseorang mengimpor Barang Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dengan Nilai Impor
sebesar Rp15.000.000,00. PPN yang dipungut melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
= 10% x Rp15.000.000,00 = Rp 1.500.000,00
4. Pengusaha Kena Pajak D mengimpor Barang Kena Pajak yang tergolong Mewah
dengan Nilai Impor sebesar Rp5.000.000,00 Barang Kena Pajak yang tergolong mewah
tersebut selain dikenai PPN juga dikenai PPnBM misalnya dengan tarif 20%.
Penghitungan PPN dan PPnBM yang terutang atas impor Barang Kena Pajak yang
tergolong mewah tersebut adalah:
Dasar Pengenaan Pajak = Rp 5.000.000,00
PPN = 10% x Rp5.000.000,00 = Rp500.000,00
PPn BM = 20% x Rp5.000.000,00 = Rp1.000.000,00
5. Kemudian PKP D menggunakan BKP yang diimpor tersebut sebagai bagian dari suatu
BKP yang atas penyerahannya dikenakan PPN 10% dan PPnBM dengan tarif misalnya
35%.

Oleh karena PPnBM yang telah dibayar atas BKP yang diimpor tersebut tidak dapat
dikreditkan, maka PPnBM sebesar Rp1.000.000,00 dapat ditambahkan ke dalam harga
BKP yang dihasilkan oleh PKP D atau dibebankan sebagai biaya.
Misalnya PKP D menjual BKP yang dihasilkannya, maka penghitungan PPN dan PPn
BM yang terutang adalah :
Dasar Pengenaan Pajak = Rp50.000.000,00
PPN = 10% x Rp50.000.000,00 = Rp5.000.000,00
PPn BM = 35% x Rp50.000.000,00 = Rp17.500.000,00
PPN sebesar Rp500.000,00 yang dibayar pada saat impor merupakan pajak masukan
bagi PKP D dan PPN sebesar Rp5.000.000,00 merupakan pajak keluaran bagi PKP
D. Sedangkan PPnBM sebesar Rp1.000.000,00 tidak dapat dikreditkan. Begitu pun
dengan PPnBM sebesar Rp17.500.000,00 tidak dapat dikreditkan oleh PKP X.
BEA METERAI
Bea Meterai merupakan pajak yang dikenakan terhadap dokumen yang menurut Undangundang Bea Meterai menjadi objek Bea Meterai. Atas setiap dokumen yang menjadi objek
Bea Meterai harus sudah dibubuhi benda meterai atau pelunasan Bea Meterai dengan
menggunakan cara lain sebelum dokumen itu digunakan.
Objek Bea Meterai
Pada prinsipnya dokumen yang harus dikenakan meterai adalah dokumen menyatakan nilai
nominal sampai jumlah tertentu, dokumen yang bersifat perdata dan dokumen yang
digunakan di muka pengadilan, antara lain :
a. Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan
sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat
perdata.
b. Akta-akta notaris termasuk salinannya.
c. Akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah termasuk rangkap-rangkapnya.
d. Surat yang memuat jumlah uang yaitu:
-

yang menyebutkan penerimaan uang;

yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening bank;

yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank

yang berisi pengakuan bahwa utang uang seluruhnya atau sebagian telah dilunasi atau
diperhitungkan.

e. Surat berharga seperti wesel, promes, aksep dan cek.


f. Dokumen yang dikenakan Bea Meterai juga terhadap dokumen yang akan digunakan
sebagai alat pembuktian di muka pengadilan yaitu surat-surat biasa dan surat-surat
kerumahtanggaan, dan surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea Meterai berdasarkan
tujuannya, jika digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang lain, lain dan
maksud semula.
Tarif Bea Meterai
1. Tarif Bea Meterai Rp 6.000,00 untuk dokumen sebagai berikut:
a. Surat Perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan
sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat
pendata
b. Akta-akta Notaris termasuk salinannya
c. Surat berharga seperti wesel, promes, dan aksep selama nominalnya lebih dan
Rp1.000.000,00.;
d. Dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka Pengadilan, yaitu:
-

surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan.

surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea Meterai berdasarkan tujuannya, jika
digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang lain selain dan tujuan
semula.

2. Untuk dokumen yang menyatakan nominal uang dengan batasan sebagai berikut:
-

nominal sampai Rp250.000,- tidak dikenakan Bea Meterai

nominal antara Rp250.000,- sampai Rp1.000.000,- dikenakan Bea Meterai Rp3.000,-

nominal diatas Rp 1.000.000,- dikenakan Bea Meterai Rp 6.000,-

3. Cek dan Bilyet Giro dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp 3.000,- tanpa batas
pengenaan besarnya harga nominal.
4. Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang mempunyai harga nominal sampai
dengan Rp1.000.000,- dikenakan Bea Meterai Rp 3.000,- sedangkan yang mempunyai
harga nominal lebih dari Rp 1.000.000,- dikenakan Bea Meterai Rp 6.000,-.
5. Sekumpulan Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang tercantum dalam surat
kolektif yang mempunyai jumlah harga nominal sampai dengan Rp 1.000.000,-

dikenakan Bea Meterai Rp 3.000,-, sedangkan yang mempunyai harga nominal lebih dan
Rp 1.000.000,- dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp 6.000,-.

Anda mungkin juga menyukai