Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN
Autisme adalah gangguan perkembangan saraf yang kompleks dan ditandai dengan
kesulitan dalam interaksi sosial, komunikasi, dan perilaku terbatas, berulang-ulang dan karakter
stereotip. Gejala autis muncul sbelum 3 tahun pertama kelahiran sang anak. Autisme merupakan
salah satu dari tiga gangguan auism spectrum disorder.
Anak-anak dengan autisme mungkin memiliki masalah dengan komunikasi, keterampilan
sosial, dan bereaksi terhadap dunia di sekitar mereka. Tidak semua perilaku tersebut terdapat di
setiap anak. Diagnosis harus dilakukan oleh dokter anak atau dokter yang sesuai dalam
bidangnya.

BAB II
ISI
EPIDEMIOLOGI
Selama beberapa dekade sejak pertama kali dijelaskan oleh Leo Kanner pada tahun 1943,
autisme diyakini terjadi dengan angka 4-5 per 10.000 anak. Mungkin, penyebab autisme pada
saat itu terutama karena genetik. Dari survei yang dilakukan antara tahun 1966 dan 1998 di 12
negara (misalnya, Amerika Serikat, Inggris, Denmark, Jepang, Swedia, Irlandia, Jerman,
Kanada, Perancis, Indonesia, Norwegia, dan Islandia), prevalensi (yaitu, jumlah penyakit yang
ada kasus dalam kelompok orang yang ditentukan selama periode waktu tertentu) berkisar antara
0,7-21,1 / 10.000, dengan nilai rata-rata 5,2 / 10.000 (atau 1/1923). Untuk semua bentuk PDD,
prevalensi adalah 18,7 / 10.000 (atau 1/535). Di Amerika Serikat, prevalensi (diukur pada tahun
1970) adalah 0,7 / 10.000 (atau 1 / 14.286). Di California, ketika prevalensi 1998 autisme
dibandingkan dengan tahun 1987, tercatat prevalensi meningkat 273%; dibandingkan dengan
pervasive developmental disorder (PDD) lainnya, peningkatannya 1.966% (Ratajczak, 2011).
Seperti prevalensi, insiden (yaitu, jumlah kasus baru penyakit dalam kelompok orang yang
ditentukan selama waktu tertentu) autisme juga meningkat tajam. Sebuah peningkatan 10 kali
lipat dalam kejadian di Amerika Serikat dilaporkan pada tahun 2001, dengan tingkat 1/250 pada
tahun 1990 dibandingkan dengan 1/2500 di tahun 1970-an. CDC menyatakan bahwa prevalensi
autisme meningkat pada tingkat epidemi. Menggunakan metode yang sama untuk analisis data
dari kedua tahun, perbandingan prevalensi pada tahun 2002 dengan tahun 2006. Hasilnya 1/150
pada tahun 2002 dan 1/110 untuk tahun 2006. Dari 10 situs yang mengumpulkan data untuk
kedua surveilans tahun 2002 dan 2006, 9 mengamati peningkatan prevalensi autisme, dengan
kenaikan antara laki-laki di semua situs dan di antara perempuan di 4 / 11 situs, dan variasi
antara subkelompok lainnya. Kenaikan rata-rata keseluruhan 2002-2006 adalah 57%. Dalam
sebuah survei yang dilakukan orang tua pada tahun 2007 oleh National Survey of Childrens
Health, prevalensinya adalah 1/91. Prevalensi resmi terbaru untuk Amerika Serikat adalah ratarata sekitar 1/110. Sebagai perbandingan, kejadian di Inggris juga meningkat, dengan tingkat
lebih tinggi daripada di Amerika Serikat. Pada tahun 2006, prevalensi autisme dalam kelompok

anak-anak di South Thames adalah 1/86. Tiga tahun kemudian, sebuah studi berbasis sekolah
Cambridgeshire melaporkan prevalensi 1/64 (Ratacjzak, 2011).

ETIOLOGI
Dibagi atas beberapa faktor yaitu (Sadock & Sadock, 2015) :
1. Faktor Genetik
Bukti saat ini mendukung genetik sebagai dasar pengembangan gangguan autisme dalam banyak
kasus, dengan kontribusi hingga empat atau lima gen. Studi pada keluarga telah menunjukkan 50
sampai 200 kali peningkatan tingkat autisme pada saudara kandung dari anak dengan gangguan
autis. Selain itu, bahkan apabila tidak terpengaruh dengan autisme, saudara berada pada
peningkatan risiko untuk berbagai gangguan perkembangan yang sering berhubungan dengan
komunikasi dan keterampilan sosial. Kesulitan-kesulitan ini dalam keluarga non autis orang
dengan gangguan autis juga dikenal oleh para peneliti sebagai fenotipe yang luas. Bentuk
spesifik diturunkannya genetik autism masih belum jelas.
Penelitian saat ini telah mengungkapkan mengarah pada gen kandidat yang akan mendasari
perkembangan gangguan autis. Analisis hubungan menunjukkan bahwa daerah kromosom 7, 2,
4, 15, dan 19 cenderung untuk berkontribusi pada dasar genetik autisme. Sekarang tampak
bahwa beberapa gen yang terlibat dalam pengembangan autisme. Para peneliti berhipotesis
bahwa beberapa bentuk genetik autisme dapat diidentifikasi dalam waktu dekat.
2. Faktor Biologis
Tingginya tingkat keterbelakangan mental pada anak-anak dengan gangguan autis dan tingkat
seizure yang lebih tinggi mendukung dasar biologis untuk gangguan autistik. Sekitar 70 persen
anak-anak dengan gangguan autis memiliki keterbelakangan mental. Sekitar sepertiga dari anakanak ini memiliki ringan keterbelakangan mental ringan sampai sedang, dan hampir setengah
dari anak-anak ini mengalami keterbelakangan mental berat. Anak-anak dengan gangguan autis
dan keterbelakangan mental biasanya menunjukkan defisit lebih jelas pada penalaran abstrak,
pemahaman sosial, dan tugas lisan daripada tugas-tugas kinerja, ingatan digit, di mana detail
dapat diingat.
Orang dengan autisme, 4-32 persen mengalami grand mal seizure pada suatu waktu, dan sekitar
20 sampai 25 persen menunjukkan pembesaran ventrikel pada computed tomography (CT) scan.
3

Berbagai kelainan electroencephalogram (EEG) ditemukan dalam 10 sampai 83 persen dari


anak-anak autis, dan meskipun tidak ada temuan EEG khusus untuk gangguan autistik, ada
beberapa indikasi kegagalan lateralisasi serebral. Baru-baru ini, studi satu magnetic resonance
imaging (MRI) mengungkapkan hipoplasia cerebellar lobulus Vermal VI dan VII, dan studi MRI
lain mengungkapkan kelainan kortikal, terutama polymicrogyria, pada beberapa pasien autis.
Mereka kelainan mungkin mencerminkan migrasi sel yang tidak normal dalam 6 bulan pertama
kehamilan. Sebuah studi otopsi menunjukkan sel-sel Purkinje lebih sedikit, dan studi lain
menemukan peningkatan metabolisme kortikal difus selama positron emission tomography
(PET) scan.
3. Faktor Imunologi
Beberapa laporan menunjukkan bahwa ketidakcocokan imunologis (yaitu, antibodi ibu
menyerang janin) dapat berkontribusi untuk gangguan autisme. Limfosit dari beberapa anak autis
bereaksi dengan antibodi maternal, yang meningkatkan kemungkinan bahwa jaringan saraf atau
ekstraembrionik embrio mungkin rusak selama kehamilan.
4. Faktor Perinatal
Tingginya insiden komplikasi perinatal tampaknya terjadi pada bayi yang kemudian didiagnosis
dengan gangguan autis. Perdarahan setelah trimester pertama dan mekonium dalam cairan
ketuban telah dilaporkan dalam sejarah anak-anak autis lebih sering daripada populasi umum.
Pada periode neonatal, anak-anak autis memiliki insiden respiratory distress syndrome dan
anemia neonatal yang lebih tinggi. Pria dengan autisme ditemukan memiliki usia kehamilan yang
lebih panjang dan lebih berat saat lahir daripada bayi pada populasi umum. Wanita dengan
autisme lebih cenderung memiliki riwayat kehamilan postterm dibandingkan dengan bayi pada
populasi umum.
5. Faktor neuroanatomi
Dasar neuroanatomical autisme masih belum diketahui, namun bukti terbaru menunjukkan
bahwa pembesaran volume white matter dan grey matter cerebrum, tapi tidak volume
cerebellum, yang hadir pada anak-anak dengan gangguan autis pada usia 2 tahun. Lingkar kepala
tampak normal saat lahir, dan peningkatan laju pertumbuhan lingkar kepala tampaknya muncul
di sekitar usia 12 bulan. Sebelumnya studi MRI membandingkan subjek autis dan kontrol normal
mengungkapkan total volume otak lebih besar pada mereka dengan autisme, meskipun anak4

anak autis dengan keterbelakangan mental yang berat umumnya memiliki kepala yang lebih
kecil. Rata-rata persentase kenaikan terbesar dalam ukuran terjadi di lobus oksipital, lobus
parietalis, dan lobus temporal. Tidak ada perbedaan yang ditemukan di lobus frontal. Asal
spesifik pembesaran ini tidak diketahui. Peningkatan volume dapat timbul dari tiga mekanisme
yang berbeda yang mungkin: peningkatan neurogenesis, penurunan kematian neuronal, dan
peningkatan produksi jaringan otak non saraf, seperti sel-sel glial atau pembuluh darah.
Pembesaran otak telah disarankan sebagai penanda biologis yang mungkin untuk gangguan
autisme.
6. Faktor Biokimia
Sejumlah studi dalam beberapa dekade terakhir telah menunjukkan bahwa sekitar sepertiga dari
pasien dengan gangguan autis memiliki konsentrasi serotonin plasma yang tinggi. Temuan ini
tidak spesifik untuk gangguan autisme, dan orang-orang dengan keterbelakangan mental tanpa
gangguan autisme juga menampilkan sifat ini. Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa
individu autis tanpa keterbelakangan mental memiliki insiden hyperserotonemia yang tinggi.
Pada beberapa anak autis, konsentrasi asam homovanillic yang tinggi (metabolit dopamin utama)
dalam cairan serebrospinal (CSF) berhubungan dengan peningkatan penarikan dan stereotip.
Beberapa bukti menunjukkan bahwa keparahan gejala berkurang sebagai rasio 5-hidroksi asam
(5-HIAA, metabolit serotonin) untuk homovanillic asam dalam CSF meningkat. Konsentrasi 5HIAA di CSF mungkin berbanding terbalik dengan konsentrasi serotonin dalam darah, yang
meningkat pada sepertiga pasien gangguan autis, penemuan yang spesifik yang juga terjadi pada
orang cacat mental.
7. Faktor Keluarga & Psikososial
Studi membandingkan orang tua anak-anak autis dengan orang tua dari anak normal
menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan dalam keterampilan membesarkan anak.
Anak-anak dengan gangguan autis, sebagai anak-anak dengan gangguan lain, dapat merespon
terhadap stresor psikososial, termasuk perselisihan keluarga, kelahiran saudara baru, atau
bergerak keluarga. Beberapa anak dengan gangguan autis mungkin luar biasa sensitif terhadap
perubahan kecil dalam keluarga mereka dan lingkungan sekitar.

PATOFISIOLOGI
Pada pasien dengan autisme, neuroanatomic dan neuroimaging mengungkapkan kelainan
konfigurasi seluler di beberapa daerah otak, termasuk lobus frontal dan temporal dan otak kecil.
Pembesaran amigdala dan hippokampus yang umum di masa kanak-kanak. Nyata lebih banyak
neuron terdapat dalam korteks prefrontal spesimen otopsi dari beberapa anak dengan autisme,
dibandingkan dengan mereka yang tidak autisme (Brasic, 2014).
Magnetic resonance imaging (MRI) menunjukkan bukti perbedaan neuroanatomy dan
konektivitas pada orang dengan autisme dibandingkan dengan kontrol normal. Secara khusus,
penelitian ini telah ditemukan berkurangnya atau konektivitas atipikal di daerah otak frontal,
serta penipisan corpus callosum pada anak-anak dan orang dewasa dengan autisme dan kondisi
terkait. Yang penting, beberapa perbedaan regional dalam neuroanatomy berkorelasi secara
signifikan dengan tingkat keparahan gejala autis tertentu. Sebagai contoh, defisit sosial dan
bahasa orang dengan autisme cenderung berhubungan dengan disfungsi lobus frontal dan
temporal (Brasic & Mohamed, 2011).
Dalam sebuah studi dari jaringan otak postmortem dari 11 anak autis dan 11 kontrol tidak
terpengaruh, peneliti menemukan gangguan fokus arsitektur laminar kortikal di cortexes dari 10
anak-anak dengan autisme dan 1 kontrol, menunjukkan bahwa penyimpangan otak autisme
mungkin memiliki asal prenatal. Patch neuron yang abnormal ditemukan di lobus frontal dan
temporal, daerah yang terlibat dalam sosial, emosional, fungsi komunikasi, dan bahasa. Karena
perubahan itu dalam bentuk patch, para peneliti percaya bahwa pengobatan dini dapat
memperbaiki gejala ASD. Pada scan MRI, otak anak-anak dengan gangguan spektrum autisme
menunjukkan mielinisasi yang lebih besar dalam korteks medial frontal bilateral dan kurang
mielinisasi di persimpangan temporoparietal kiri. Demikian pula, perbedaan khusus kawasan
dalam konsentrasi grey matter, yang terdiri dari sel badan saraf, dendrit, unmyelinated axon dan
sel glial, juga ditemukan dalam otak penderita autisme (Brasic, 2014).
Spesimen postmortem dari otak orang dengan autisme menunjukkan penurunan reseptor gammaaminobutyric acid-B (GABAB) di korteks cingulate, wilayah kunci untuk evaluasi hubungan
sosial, emosi, dan kognisi, dan gyrus fusiform, yang penting daerah untuk mengevaluasi wajah
6

dan ekspresi wajah. Temuan ini memberikan dasar untuk penyelidikan lebih lanjut autisme dan
gangguan perkembangan pervasif lainnya (Oblak, Gibbs, Blatt, 2010).
MANIFESTASI KLINIS
Gejala autisme biasanya timbul sebelum anak mencapai usia 3 tahun. Namun, pada
sebagian anak gejala gangguan perkembangan ini sudah terlihat sejak lahir. Gejala yang sangat
menonjol adalah tidak adanya kontak mata dan kurangnya minat untuk berinteraksi dengan orang
lain. Dalam perkembangannya yang normal, seorang bayi mulai bisa berinteraksi dengan ibunya
pada usia 3 - 4 bulan. Bila ibu merangsang bayinya dengan menggerincingkan mainan dan
mengajak berbicara, maka bayi tersebut akan berespon dan bereaksi dengan ocehan serta
gerakan. Makin lama bayi makin responsive terhadap rangsang dari luar seiring dengan
berkembangnya kemampuan sensorik. Pada umur 6-8 bulan ia sudah bisa berinteraksi dan
memperhatikan orang yang mengajaknya bermain dan berbicara. Hal ini tidak muncul atau
sangat kurang pada bayi autistik. Ia bersikap acuh tidak acuh dan seakan-akan menolak interaksi
dengan orang lain. Ia lebih suka bermain dengan dirinya sendiri atau dengan mainannya.
Gangguan-gangguan yang terjadi pada anak autism dapat berupa (Volkmar et al, 2005):
1.
Gangguan Komunikasi:
Pada anak tidak tampak usaha untuk berkomunikasi dengan lingkungan sekitar.
Tidak mampu untuk memulai suatu pembicaraan yang melibatkan komunikasi dua arah dengan
baik.
Anak tidak imajinatif dalam hal permainan atau cenderung monoton.
Bahasa yang tidak lazim yang selalu diulang-ulang atau stereotipik.
2.
Gangguan Interaksi Sosial:
Anak mengalami kegagalan untuk bertatap mata, menunjukkan wajah yang tidak berekspresi.
Ketidakmampuan untuk secara spontan mencari teman untuk berbagi kesenangan dan
melakukan sesuatu bersama-sama.
Ketidakmampuan anak untuk berempati dan mencoba membaca emosi yang dimunculkan
orang lain.
3.
Gangguan Perilaku Aktivitas:
Adanya suatu kelekatan pada rutinitas atau ritual yang tidak berguna.
Adanya suatu preokupasi yang sangat terbatas pada sutu pola perilaku yang tidak normal.
Adanya gerakan-gerakan motorik aneh yang diulang-ulang, seperti menggoyang-goyang badan
dan geleng-geleng kepala.
4.
Gangguan Sensoris:
Sangat sensitif terhadap sentuhan, seperti tidak suka dipeluk.
Bila mendengar suara keras langsung menutup telinga.
Senang mencium-cium, menjilat mainan atau benda-benda.
Tidak sensitif terhadap rasa sakit dan rasa takut.
7

5.
Gangguan Pola Bermain
Tidak bermain seperti anak-anak pada umumnya.
Tidak suka bermain dengan anak sebayanya.
Tidak bermain sesuai fungsi mainan.
Menyenangi benda-benda yang berputar.
Dapat sangat lekat dengan benda-benda tertentu yang dipegang terus dan dibawa kemanamana.
6.
Gangguan Emosi:
Sering marah-marah tanpa alasan yang jelas, tertawa-tawa dan menangis tanpa alasan.
Temper tantrum (mengamuk tak terkendali) jika dilarang.
Kadang suka menyerang dan merusak, berperilaku yang menyakiti dirinya sendiri, serta tidak
mempunyai empati dan tidak mengerti perasaan orang lain.
Gangguan perkembangan di atas tidak semua muncul pada setiap anak autisme,
tergantung dari berat ringannya gangguan yang diderita anak.
DIAGNOSIS
Menurut DSM IV, pada dasarnya gangguan autisme tergolong dalam gangguan
perkembangan pervasive, namun bukan satu-satunya golongan yang termasuk dalam gangguan
perkembangan pervasif ( Pervasive Developmental Disorder). Namun dalam kenyataannya
hampir keseluruhan golongan gangguan perkembangan pervasif disebut oleh para orangtua atau
masyarakat sebagai Autisme. Padahal di dalam gangguan perkembangan pervasif meski samasama ditandai dengan gangguan dalam beberapa area perkembangan seperti kemampuan
interaksi sosial, komunikasi serta munculnya perilaku stereotipe, namun terdapat beberapa
perbedaan antar golongan gangguan autistik (Autistic Disorder) dengan gangguan Rett ( Retts
Disorder), gangguan disintegatif masa anak ( Childhood Disintegrative Disorder ) dan gangguan
Asperger ( Aspergers Disorder ) (Filipek et al, 2000; APA, 2000: Matson et al, 2008).
Menurut DSM IV (APA, 2000), kriteria gangguan autistme adalah sebagai berikut :
a. Harus ada total 6 gejala dari (1),(2) dan (3), dengan minimal 2 gejala dari (1) dan masingmasing 1 gejala dari ( 2 ) dan (3) :
(1). Kelemahan kwalitatif dalam interaksi sosial, yang termanifestasi dalam sedikitnya 2
dari beberapa gejala berikut ini :
Kelemahan dalam penggunaan perilaku nonverbal, seperti kontak mata, ekspresi wajah,
sikap tubuh, gerak tangan dalam interaksi sosial.
Kegagalan dalam mengembangkan hubungan dengan teman sebaya sesuai dengan
tingkat perkembangannya.
Kurangnya kemampuan untuk berbagi perasaan dan empati dengan orang lain.
8

Kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional yang timbal balik.
(2). Kelemahan kualitatif dalam bidang komunikasi. Minimal harus ada 1 dari gejala
berikut ini:
Perkembangan bahasa lisan ( bicara) terlambat atau sama sekali tidak berkembang dan
anak tidak mencari jalan untuk berkomunikasi secara non verbal.
Bila anak bisa bicara, maka bicaranya tidak digunakan untuk berkomunikasi
Sering menggunakan bahasa yang aneh, stereotype dan berulangulang.
Kurang mampu bermain imajinatif (make believe play) atau permainan imitasi sosial
lainnya sesuai dengan taraf perkembangannya.
(3). Pola perilaku serta minat dan kegiatan yang terbatas, berulang. Minimal harus ada 1
dari gejala berikut ini :
Preokupasi terhadap satu atau lebih kegiatan dengan fokus dan intensitas yang
abnormal/ berlebihan.
Terpaku pada suatu kegiatan ritualistik atau rutinitas
Gerakan-gerakan fisik yang aneh dan berulang-ulang seperti menggerak-gerakkan
tangan, bertepuk tangan, menggerakkan tubuh.
Sikap tertarik yang sangat kuat/ preokupasi dengan bagianbagian tertentu dari obyek.
b. Keterlambatan atau abnormalitas muncul sebelum usia 3 tahun minimal pada salah satu
bidang (1) interaksi sosial, (2) kemampuan bahasa dan komunikasi, (3) cara bermain
simbolik dan imajinatif.
c. Bukan disebabkan oleh Sindroma Rett atau Gangguan Disintegratif Masa Anak.
Dengan kriteria diagnostik tersebut, tidak sulit untuk menentukan apakah seorang anak
termasuk penyandang autisme atau gangguan perkembangan lainnya. Namun kesalahan
diagnosis masih sering terjadi terutama pada autisme ringan yang umumnya disebabkan adanya
tumpang tindih gejala. Sebagai contoh, penyandang hiperaktivitas dengan konsentrasi yang
kurang terfokus kadang kala juga menunjukkan keterlambatan bicara dan bila dipanggil tidak
selalu berespon sesuai yang diharapkan. Demikian juga bagi penderita retardasi mental yang
moderate, severe dan profound mereka menunjukkan gejala yang hampir sama dengan autisme
seperti keterlambatan bicara, kurang adaptif dan impulsive (Filipek et al, 2000; APA, 2000).
Autisme merupakan gangguan neurobiologis yang menetap. Walaupun autisme adalah
gangguan yang tidak bisa disembuhkan (not curable), namun bisa diterapi ( treatable ). Semakin
dini terdiagnosis dan terintervensi, semakin besar kesempatan untuk sembuh. Penyandang
autisme dinyatakan sembuh bila gejalanya tidak terlihat lagi sehingga ia mampu hidup dan
berbaur secara normal dalam masyarakat luas. Kesembuhan pada pasien autisme dipengaruhi
oleh berbagai faktor yaitu:
9

a. Berat ringannya gejala atau berat ringannya kelainan otak.


b. Usia, diagnosis dini sangat penting oleh karena semakin muda umur anak saat dimulainya
terapi semakin besar kemungkinan untuk berhasil.
c. Kecerdasan, makin cerdas anak tersebut makin baik prognosisnya
d. Bicara dan bahasa, 20 % penyandang autis tidak mampu berbicara seumur hidup, sedangkan
sisanya mempunyai kemampuan bicara dengan kefasihan yang berbeda-beda. Mereka dengan
kemampuan bicara yang baik mempunyai prognosis yang lebih baik.
e. Terapi yang intensif dan terpadu.
Jenis-Jenis Terapi
Terapi perlu diberikan untuk membangun kondisi yang lebih baik. Terapi juga harus rutin
dilakukan agar apa yang menjadi kekurangan anak dapat terpenuhi secara bertahap. Terapi perlu
diberikan sedini mungkin sebelum anak berusia 5 tahun. Sebab, perkembangan pesat otak anak
umumnya terjadi pada usia sebelum 5 tahun, puncaknya pada usia 2-3 tahun. Beberapa terapi
yang ditawarkan oleh para ahli adalah sebagai berikut (Levy & Hyman, 2008; Lofthouse et al,
2012).
a. Applied Behavioral Analysis (ABA)
ABA adalah jenis terapi yang telah lama dipergunakan dalam penatalaksanaan pasien
autism. Sistem yang dipakai adalah memberi pelatihan khusus pada anak dengan memberikan
positive reinforcement (hadiah/pujian). Saat ini terapi inilah yang paling banyak dipakai di
Indonesia.

b. Terapi Wicara
Terapi wicara (speech therapy) merupakan suatu keharusan, karena anak autis
mempunyai keterlambatan bicara dan kesulitan berbahasa. Tujuannya adalah untuk melancarkan
otot-otot mulut agar dapat berbicara lebih baik. Hampir semua anak dengan autisme mempunyai
kesulitan dalam bicara dan berbahasa. Biasanya hal inilah yang paling menonjol, banyak pula
10

individu autis yang non-verbal atau kemampuan bicaranya sangat kurang. Kadang-kadang
bicaranya cukup berkembang, namun mereka tidak mampu untuk berkomunikasi/berinteraksi
dengan orang lain. Dalam hal ini terapi wicara dan berbahasa akan sangat menolong.
c. Terapi Okupasi
Hampir semua anak autistik mempunyai keterlambatan dalam perkembangan motorik
halus. Gerak-geriknya kaku dan kasar, mereka kesulitan untuk memegang pinsil dengan cara
yang benar, kesulitan untuk memegang sendok dan menyuap makanan kemulutnya, dan lain
sebagainya. Terapi okupasi ini sangat penting untuk melatih mempergunakan otot-otot halus
anak dengan benar. Pada terapi okupasi terapis menyediakan waktu dan tempat secara khusus
kepada anak untuk belajar bagaimana cara yang benar memegang benda.
d. Terapi Fisik
Autisme adalah suatu gangguan perkembangan pervasif. Banyak diantara individu
autistic mempunyai gangguan perkembangan dalam motorik kasarnya. Kadang-kadang tonus
ototnya lembek sehingga jalannya kurang kuat. Fisioterapi dan terapi integrasi sensoris akan
sangat banyak menolong untuk menguatkan otot-ototnya dan memperbaiki keseimbangan
tubuhnya
e. Terapi Sosial
Kekurangan yang paling mendasar bagi individu autisme adalah dalam bidang
komunikasi dan interaksi. Banyak anak-anak ini membutuhkan pertolongan dalam ketrampilan
berkomunikasi 2 arah, membuat teman dan main bersama ditempat bermain. Seorang terapis
sosial membantu dengan memberikan fasilitas pada mereka untuk bergaul dengan teman-teman
sebaya dan mengajari cara-caranya.

f. Terapi Integrasi Sensori


Anak autis memiliki kekurangan dalam kemampuan mengolah, mengartikan seluruh
rangsangan sensoris yang diterima oleh tubuh meupun lingkungan dan menghasilkan respon
yang terarah. Terapi integrasi sosial ini berfungsi meningkatkan kematangan susunan saraf pusat.
11

Aktivitas terapi ini merangsang koneksi sinaptik yang lebih kompleks sehingga dapat
meningkatkan kapasitas untuk belajar.

g. Terapi Bermain
International Association for Play Therapy (APT), sebuah asosiasi terapi bermain yang
berpusat di Amerika, mendefinisikan terapi bermain sebagai penggunaan secara sistematik dari
model teoritis untuk memantapkan proses interpersonal. Terapi bermain ini merupakan
pemanfaatan pola permainan sebagai media yang efektif melalui kebebasan eksplorasi dan
ekspresi diri.
Bermain merupakan bagian masa kanak-kanak yang merupakan media untuk
memfasilitasi ekspresi bahasa, ketrampilan komunikasi, perkembangan emosi, keterampilan
sosial, keterampilan pengambilan keputusan dan perkembangan kognitif pada anak-anak.
Bermain pada anak-anak seperti berbicara pada orang dewasa.
h. Terapi Perilaku
Terapi perilaku memfokuskan penanganan pada pemberian reinforcement positif tiap kali
anak memberikan respon benar sesuai instruksi yang diberikan. Tetapi bila anak memberikan
respon negatif atau tidak merespon sama sekali maka anak tersebut tidak mendapatkan
reinforcement postif yang disukai. Tujuan terapi ini adalah untuk meningkatkan pemahaman dan
kepatuhan anak terhadap aturan.
i. Terapi Perkembangan
Beberapa terapi perkembangan adalah Floortime, Son-rise dan RDI (Relationship
Developmental Intervention).
Floortime dilakukan oleh orangtua untuk membantu melakukan interaksi dan kemampuan
bicara
RDI mencoba membantu anak autis menjalin interaksi positif dengan orang lain meskipun
12

tanpa menggunakan bahasa.


Son-rise merupakan terapi untuk mempelajari minat anak, kekuatannya dan tingkat
perkembangannya, kemudian ditingkatkan kemampuan sosial, emosional dan Intelektualnya.

j. Terapi Visual
Individu autistik lebih mudah belajar dengan melihat (visual learners/visual thinkers).
Hal inilah yang kemudian dipakai untuk mengembangkan metode belajar komunikasi melalui
gambar-gambar, misalnya dengan PECS (Picture Exchange Communication System).
k. Terapi Musik
Terapi musik adalah terapi menggunakan musik untuk membantu seseorang dalam fungsi
kognitif, psikologis, fisik, perilaku dan social yang mengalami hambatan maupun
kecacatan.terapi musik memiliki manfaat sebagai berikut:
Memperbaiki self-awareness
Meningkatkan hubungan sosial, penyesuaian diri, lebih mandiri dan peduli dengan orang lain
Mangakomodasi dan membangun gaya komunikasi
Membangun identifikasi dan ekspresi emosi yang sesuai
l. Terapi Medikamentosa
Terapi ini dilakukan dengan pemberian obat-obatan oleh dokter yang berwenang. Gejala
yang sebaiknya dihilangkan dengan obat adalah hiperaktivitas yang hebat, menyakiti diri sendiri,
menyakiti orang lain (agresif), merusak (destruktif) dan gangguan tidur. Sampai saat ini, tidak
ada obat yang dibuat khusus untuk menyembuhkan autisme. Kebanyakan obat dipakai untuk
menghilangkan gejala dan gangguan pada susunan saraf pusat.
Beberapa jenis obat memiliki efek yang sangat bagus untuk menimbulkan respon anak
terhadap dunia luar. Dengan pemakaian obat, intervensi dini untuk mengobati anak autis akan
lebih cepat berhasil.
13

n. Terapi Melalui Makanan


Terapi melalui makanan (diet therapy) diberikan pada anak-anak dengan masalah alergi
makanan tertentu. Terapi ini memberikan solusi tepat bagi orangtua untuk menyiasati menu yang
cocok dan sesuai bagi anaknya sesuai dengan petunjuk ahli mengenai gizi makanan.
Diet yang sering dilakukan pada anak autis adalah GFCF (Glutein Free Casein Free).
Penderita autisme memang tidak disarankam untuk mengasup makanan dengan kadar gula
tinggi. Hal ini berpengaruh pada sifat hiperaktif sebagian besar dari mereka.
Pemilihan terapi tersebut diatas yang diberikan pada anak, tergantung dari kondisi
kemampuan dan kebutuhan anak. Jadi tidak semua terapi sesuai dengan kebutuhan anak, namun
terapi utama bagi anak adalah terapi perilaku, terapi wicara dan terapi okupasi (Levy & Hyman,
2008).
TERAPI NUTRISI AUTISME
Diet yang umum dilakukan adalah Diet Gluten Free Casein Free (GFCF). Pada
umumnya, orangtua mulai dengan diet tanpa gluten dan kasein, yang berarti menghindari
makanan dan minuman yang mengandung gluten dan kasein. Suatu penelitian menemukan
kandungan peptida yang tidak normal dalam urine penderita autisme. Sebagian besar dari peptida
yang terkandung dalam urine tersebut terbentuk karena penderita mengonsumsi gluten atau
kasein, atau keduanya. Gluten adalah protein yang terkandung dalam gandum, sedangkan kasein
adalah protein yang ditemukan di semua susu hewan dan produk-produk olahannya. Bagian yang
tidak dapat terpisah dari peptida, yang disebut beta-casomorphin dan gliadinomorphin, adalah
zat yang mirip dengan opioid. Zat ini memiliki efek sama seperti heroin atau morfin dan akan
menimbulkan gejala sama seperti pecandu heroin. Maka dari penelitian tersebut disimpulkan
anak-anak dan orang dewasa yang urinenya banyak mengandung peptida dari gluten dan kasein
kondisinya hanya akan membaik jika setiap sumber kasein dan gluten dihilangkan dari diet
makanan dan lingkungan mereka.
Diet GFCF dilaksanakan pada anak autisme dengan cara menghindari sumber makanan
yang mengandung protein gluten dan kasein. Susu sapi mengandung protein kasein sedangkan
terigu mengandung protein gluten. Diet GFCF adalah terapi yang dilaksanakan dari dalam tubuh
14

dan apabila dilaksanakan dengan terapi lain, seperti terapi perilaku, terapi wicara, dan terapi
okupasi yang bersifat fisik akan lebih baik. Setelah mengikuti dan menjalani diet GFCF banyak
anak autisme mengalami perkembangan pesat dalam kemampuan bersosialisasi dan mengejar
ketinggalan dari anak-anak lain.
Seperti yang kita ketahui, penerapan diet ini tidak lah mudah karena beberapa produk
makanan seperti susu dan roti mengandung glutein dan kasein, sehingga anak autism akan
cenderung mengalami defisiensi kalsium, vitamin A, vitamin B, vitamin D, serta kekurangan
kalori.

Suplemen Makanan yang direkomendasikan untuk anak autism (Zahra dan Warsiki, 2012)
:
a. Vitamin B6 dan Magnesium
Dibutuhkan dosis harian Vitamin B6 300-50 mg diberikan bersamaan dengan 200 mg
magnesium. Manfaatnya mencakup peningkatan pada kontak mata, bertambah minatnya
terhadap dunia sekitar mereka, berkurangnya tantrum, dapat meningkatkan kemampuan
berbicara, merangsang perkembangan bicara (speech), mendukung sistem imun, proses visual,
sensori, dan kemampuan kognitif, mendukung proses detoksifikasi, serta mendukung sistem
pencernaan.
b. Seng /Zinc
Penambahan seng berhubungan dengan peningkatan pertumbuhan terutama diantara anak-anak
yang terhambat pertumbuhannya. Seng juga mengurangi jangka waktu dan tingkat diare kronis
serta akut. Dosis yang umum diberikan adalah 25-50 mg (2-3 mg per kilogram berat badan),
namun jika anak autisme tersebut juga memiliki kadar copper/ tembaga yang tinggi maka dosis
seng dapat ditingkatkan karena bermanfaat untuk melawan dan menurunkan kadar tembaganya
karena seng dapat berfungsi untuk proses metallothioneine yang diperlukan untuk melawan
radikal bebas dan mengeluarkan racun logam berat dari tubuh.
c. Kalsium
15

Anak-anak yang kekurangan kalsium lebih cenderung menunjukkan sifat mudah tersinggung,
mengalami gangguan tidur, amarah dan tidak mampu memberikan perhatian pada sesuatu. Anakanak membutuhkan kalsium 800 200 mg perhari terutama yang sedang menjalani diet GFCF.
d. Selenium
Selenium adalah mineral dengan sifat antioksidan yang bekerja sama dengan vitamin E untuk
mencegah radikal bebas yang dapat merusak membran sel. Kekurangan selenium menyebabkan
penurunan fungsi imun dan berakibat meningkatnya kerentanan pada infeksi karena penurunan
kadar sel darah putih. Total pemberian selenium berkisar 100- 200 mcg/hari, hati-hati agar tidak
overdosis karena dapat mengakibatkan toksik bagi tubuh.
e. Vitamin A
Vitamin A berperan sebagai antioksidan dan meningkatkan imun. Vitamin A dalam bentuk alami
dapat ditemukan pada cod liver oil yang dapat diberikan pada anak autisme dengan pemberian
suplemen cod liver oil (5000 IU/hari) sehingga dapat meningkatkan fungsi penglihatan, persepsi
sensorik, pengolahan bahasa dan perhatian.

f. Vitamin C dan E
Vitamin C bekerja secara sinergis dengan vitamin E sehingga keduanya harus diberikan secara
bersamaan. Vitamin C dianjurkan hingga 1000 mg per hari atau lebih dan vitamin E 200- 600 IU/
hari. Vitamin E merupakan antioksidan utama yang sangat penting, berfungsi untuk menjaga
membran sel dari kerusakan oksidatif, dapat memperbaiki metabolisme dan penerimaan vitamin
D serta kalsium, meningkatkan sirkulasi, dan memperbaiki jaringan tubuh.
g. Asam Lemak Essential
Asam lemak Omega-3 sangat vital untuk perkembangan normal otak dan pemeliharaan
neurotransmitter yang diperlukan untuk mempengaruhi perilaku dan cara belajar serta dapat
meningkatkan perhatian. Asam lemak Omega-3 essential juga membantu meningkatkan respon
imun, membantu melawan inflamasi di sistem pencernaan. Dosis yang dinjurkan untuk EPA
16

(Eicosapentaenoic Acid) 500-1000 mg/hari, DHA (Docosahexaenoic Acid )250-500 mg/hari dan
GLA (Gamma Linolenic Acid ) 50-100 mg/hari.
h. Asam amino
Fungsi asam amino, diantaranya untuk membangun struktur protein otot, membuat enzim yang
mengontrol setiap reaksi kimia dalam tubuh, membuat variasi neurotransmitter otak dan hormonhormon, berperan dalam detoksifikasi dan proteksi anti oksidan. Kekurangan asam amino dapat
menyebabkan efek yang merugikan seperti gangguan belajar dan perilaku.Pada anak autisme
dibutuhkan 700 mg suplemen asam amino setiap harinya.
PROGNOSIS
Sebuah studi follow-up selama dua puluh tahun pada orang dewasa dengan autism. Lima puluh
empat persen dipekerjakan dalam pekerjaan penuh atau paruh waktu. Meskipun demikian, hanya
sekitar 12% hidup mandiri dan 56% tinggal bersama orang tua mereka. (Farley, 2009)
Sekitar 75% dari anak-anak dengan baik cacat intelektual dan gangguan spektrum autisme akan
membutuhkan dukungan sosial dan pendidikan jangka panjang. (Mefford, 2012)

KOMPLIKASI
Anak-anak dengan ASD biasanya menderita gejala gastrointestinal, seperti sembelit, diare,
muntah, dan nyeri perut, sering, dan mungkin lebih sering, daripada anak-anak lain. Prevalensi
telah dilaporkan mencapai 70% dalam beberapa studi. (Buie, 2010)
BAB III
PENUTUP
Austime adalah kelainan perkembangan sistem saraf pada seseorang yang kebanyakan
diakibatkan oleh faktor hereditas dan kadang-kadang telah dapat dideteksi sejak bayi berusia 6
bulan. Deteksi dan terapi sedini mungkin akan menjadikan penderita lebih dapat menyesuaikan
dirinya dengan yang normal.
17

Dengan melakukan berbagai jenis terapi kemungkinan untuk memperbaiki keadaan


autisme sangat mungkin, terutama dalam hal nutrisi. Tetapi prognosis hanya sedikit dari
penderita autisme yang dapat hidup sendiri dimana sisanya harus hidup dengan orang tuanya
ataupun saudaranya.

18

DAFTAR PUSTAKA
American Psychiatric Association (APA). 2000. Diagnostic and statistical manual of mental
disorders (4th ed., text rev.). Washington, DC: Author.
Brasic JR, Mohamed M, 2011. Human brain imaging of autism spectrum disorders. In: Seeman
P, Madras B, Eds. Imaging of the Human Brain in Health and Disease. Neuroscience-Net,
LLC.

Available

from:

http://neuroscience.com/books/book-1-imaging-human-brain-

health-and-disease/human-brain-imaging-autism-spectrum-disorders. Accessed on : 14 of
April 2015
Buie, T., Campbell, DB., Fuchs, GJ et al. 2010. Evaluation, Diagnosis, and Treatment of
Gastrointestinal Disorders in Individuals With ASDs: A Consensus Report. Department
of Pediatrics, Harvard Medical School, Boston, Massachusetts. Available from :
http://pediatrics.aappublications.org/content/125/Supplement_1/S1.full . Accessed on : 15
of April 2015
Farley, MA., McMahon, WM., Fombonne, E et al. 2009. Twenty-Year Outcome for Individuals
With Autism and Average or Near-Average Cognitive Abilities. Department of
Psychiatry, University of Utah. Available from :
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19455645. Accessed on : 15 of April 2015
Feero, WG., Guttmacher AE. 2012. Genomics, Intellectual Disability, and Autism. Department
of Pediatrics, Division of Genetic Medicine, University of Washington, Seatle. Available
from : http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMra1114194 . Accessed on : 15 of April
2015
Filipek et al, 2000. Practice parameter: Screening and diagnosis of autism. American Academy of
Neurology and the Child Neurology Society. 55:468 479.
19

Matson J L et al. 2008. Early identication and diagnosis in autism spectrum disorders in young
children and infants: How early is too early?. Research in Autism Spectrum Disorders (2):
75-84.
Oblak AL, Gibbs TT, Blatt GJ, 2010. Decreased GABA(B) receptors in the cingulate cortex and
fusiform gyrus in autism. J Neurochem. Sep 1 2010;114(5):1414-23. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2923229/. Accessed on : 14 of April 2015
Ratajczak HV, 2011. Theoretical Aspects of Autism: Causes-A Review. Journal of
Immunotoxicology,

2011;

8(1):

6879.

Available

from:

http://www.rescuepost.com/files/theoretical-aspects-of-autism-causes-a-review1.pdf.
Accessed on : 14 of April 2015
Sadock BJ, Sadock, BA, 2015. Kaplan & Sadocks Synopsis of Psychiatry: Behavioral
Sciences/Clinical Psychiatry. 11th ed. New York, Lipincott Williams & Wilkins.
Volkmar F et al. 2005. Autism in Infancy and Early Childhood. Annu. Rev. Psychol. 56:31536.

20

Anda mungkin juga menyukai