Anda di halaman 1dari 6

Vol. 3 No. 2 (2014) : Jurnal Pendidikan Matematika, Part 1 : Hal.

54-59

PENGARUH PENDEKATAN PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH


TERHADAP KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA
SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 1 PADANG
TAHUN PELAJARAN 2013/2014
Shinta Sari1), Sri Elniati2), Ahmad Fauzan3)
1

) FMIPA UNP : email: shinta130992@gmail.com


2,3
)Staf Pengajar Jurusan Matematika FMIPA UNP
Abstract

Mathematics problem solving skill of students in Junior High School Number 1 Padang hadnot developed optimally.
Problem Based Learning (PBL) Approach was hoped to become the solution to develop mathematics problem
solving skill of students. Problem Based Learning Approach facilitated the unstructured contextual problem as the
starting point of learning. The aim of this research was to compare the increasing of mathematics problem solving
skill between students who were taught by using PBL approach and convensional, and describe the developing of
mathematics problem solving skill of students who were taught by using PBL approach. The kind of this research
was combination experiment research and descriptive by using Randomized Control Group Pretest-Posttest Design.
Instrument that was used in this research was test of mathematics problem solving and worksheet. Increasing of
students score of the test was analyzed by using Mann-Whitney U test, and the data of students worksheet score
was analyzed descriptively. Result of this research shows that the increasing of mathematics problem solving skill of
students who were taught by using PBL approach is higher than convensional, and PBL approach has positive
impact to develop mathematics problem solving skill of students.
Keywords problem based learning approach, mathematics problem solving skill
PENDAHULUAN
Salah satu tujuan negara Indonesia sesuai amanat
UUD 1945 adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Cara
mencapai tujuan tersebut antara lain dengan melakukan
pembelajaran
matematika disekolah.
Pembelajaran
matematika diharapkan dapat mengembangkan kemampuan
siswa dalam berpikir, sehingga kecerdasan yang diperoleh
bukan hanya berdasarkan nilai akademis di sekolah, akan
tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari.
Berikut ini diungkapkan tujuan pembelajaran
matematika berdasarkan Permendiknas No. 22 Tahun 2006,
yaitu: (1) Memahami konsep matematika, menjelaskan
keterkaitan antarkonsep, dan mengaplikasikan konsep atau
algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam
pemecahan masalah. (2) Menggunakan penalaran pada pola
dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam
membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan
gagasan dan pernyataan matematika. (3) Memecahkan
masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,
merancang pendekatan matematika, menyelesaikan
pendekatan, dan menafsirkan solusi yang diperoleh. (4)
Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram,
atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.

(5) Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika


dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian,
dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet
dan percaya diri dalam pemecahan masalah [1].
Berdasarkan lima tujuan yang telah dikemukakan,
kemampuan pemecahan masalah memegang peranan
penting, karena selain sebagai tuntutan pembelajaran
matematika, kemampuan tersebut juga bermanfaat bagi
siswa dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini didukung oleh
fakta bahwa poin utama penilaian pada studi internasional
seperti Thrends International Mathematics Science Study
(TIMSS) dan Programme for International Student
Assessment (PISA) adalah kemampuan pemecahan masalah
matematika siswa.
Hasil terbaru TIMSS tahun 2011 menunjukkan bahwa
penguasaan matematika siswa Indonesia kelas delapan
SMP berada di peringkat 38 dari 45 negara. Indonesia
hanya mampu mengumpulkan 386 poin dari skor rata-rata
500. Demikian juga penelitian dari PISA 2009 dengan hasil
yang relatif sama untuk nilai matematika, Indonesia berada
pada peringkat ke-61 dari 65 negara peserta [2].
Hal tersebut di atas terjadi karena pengaplikasian
kurikulum mengenai kemampuan pemecahan masalah

54

Vol. 3 No. 2 (2014) : Jurnal Pendidikan Matematika, Part 1 : Hal. 54-59

matematika siswa di Indonesia masih kurang [3].


Pembelajaran matematika cenderung berorientasi pada
pemberian rumus, contoh soal dan latihan soal. Siswa lebih
dominan berlatih mengerjakan soal rutin yang
penyelesaiannya menggunakan rumus dan algoritma.
Konsekuensinya jika siswa diberikan soal non rutin atau
bentuk pemecahan masalah, maka mereka belum mampu
menyelesaikannya. Bagi siswa di sekolah unggul sekalipun,
soal pemecahan masalah masih dianggap sebagai soal yang
rumit dan langka.
Salah satu sekolah unggul di Kota Padang adalah SMP
Negeri 1 Padang. Beragam prestasi, baik dari segi
akademik maupun non-akademik pernah diraih oleh
sekolah ini, akan tetapi predikat unggul yang dimiliki oleh
sekolah belum menjamin kemampuan pemecahan masalah
matematika siswanya tinggi. Berdasarkan tes yang
diberikan, diketahui bahwa siswa mengalami kendala
dalam menyelesaikan soal pemecahan masalah matematika.
Berikut ini contoh soal pemecahan masalah yang diberikan
kepada 23 siswa kelompok VIII SMPNegeri 1 Padang.
Luas suatu persegi panjang 40 satuan. Persegi
panjang itu dibagi menjadi 4 bagian dengan luas
masing-masing bagian adalah 7, 8, n dan x satuan
dengan x > n. Jika selisih dari x dan n adalah 5
satuan, tentukan luas persegi panjang yang belum
diketahui!
Berdasarkan penyelesaian siswa untuk soal tersebut,
dapat dilakukan analisa sesuai indikator pemecahan
masalah matematika. Indikator pemecahan masalah
matematika yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: (1)
memahami masalah, (2) merencanakan penyelesaian, (3)
menjalankan rencana, dan (4) mengecek kembali dan
menarik kesimpulan.
Terdapat 9 siswa yang mampu memahami
permasalahan yang diberikan dan 14 siswa belum
memahami permasalahan tersebut. Pemahaman siswa
terhadap masalah dilihat dari kemampuan mereka
menuliskan informasi yang diketahui dan ditanya oleh soal.
Kekeliruan siswa dalam memahami masalah
disebabkan mereka kurang terbiasa dalam menyelesaikan
soal pemecahan masalah. Soal yang diberikan kepada siswa
cenderung bersifat rutin dan berupa penerapan algoritma
biasa.
Pemahaman siswa terhadap masalah harus diikuti
dengan
perencanaan
penyelesaian.
Perencanaan
penyelesaian
meliputi
penetapan
langkah-langkah,
pemilihan konsep, persamaan, dan teori yang sesuai. Dari 9
siswa yang mampu memahami masalah, terdapat 8 orang
yang membuatkan persamaan yang sesuai untuk
permasalahan. Mereka dapat membuatkan bahwa
pembagian persegi panjang tersebut memenuhi persamaan
.
Siswa tidak membuat perencanaan penyelesaian karena
mereka belum mampu mengaitkan permasalahan yang

ditemui dengan konsep matematika yang telah dipelajari.


Pembelajaran yang kurang bermakna menjadi pemicu hal
tersebut. Perencanaan penyelesaian diperlukan agar siswa
lebih terbantu dalam menyelesaikan soal dan apa yang akan
dikerjakan menjadi lebih jelas.
Siswa yang mampu menjalankan penyelesaian sesuai
persamaan yang telah dirancang adalah sebanyak 7 orang,
sedangkan satu orang lainnya terkendala dalam
menghubungkan
persamaan-persamaan
yang
telah
diperoleh. Siswa tersebut sudah mendapatkan bahwa
dan juga mengetahui
, akan tetapi
penyelesaian tidak dilanjutkan karena belum mengetahui
metode yang tepat untuk menghubungkan kedua persamaan
tersebut.
Setelah menyelesaikan permasalahan, siswa harus
melakukan pengecekan terhadap pekerjaan mereka untuk
meyakinkan kebenaran langkah-langkah dan penyelesaian
yang didapatkan. Sebagian besar siswa mengungkapkan
bahwa mereka hanya melakukan pengecekan apabila
merasa ragu terhadap hasil yang diperoleh. Jika pengecekan
kembali tidak dilakukan, maka penyelesaian yang diperoleh
siswa belum sesuai dengan persyaratan yang terdapat di
soal. Misalnya pada kasus siswa yang mendapatkan hasil
x=20 dan n=5, ditemukan kesalahan karena pada soal
dinyatakan selisih x dan n adalah 5.
Pengecekan kembali juga dapat berupa penulisan
penafsiran atau kesimpulan terhadap penyelesaian masalah.
Jika dilihat dari permasalahan yang diberikan, maka 7
orang siswa mendapatkan hasil yang benar dan sesuai
dengan persyaratan, akan tetapi mereka tidak
menyimpulkan dengan kalimat, sehingga dapat dikatakan
mereka belum menjawab yang ditanyakan.
Berdasarkan hasil analisa terhadap jawaban siswa, dapat
diperoleh bahwa 23 orang belum mampu menyelesaikan
soal pemecahan masalah secara tepat, sehingga dapat
disimpulkan bahwa kemampuan pemecahan masalah
matematika siswa masih rendah. Mengingat pentingnya
kemampuan pemecahan masalah matematika bagi siswa,
sudah sewajarnya dicarikan solusi untuk mengembangkan
kemampuan tersebut. Solusi yang diperkirakan cocok
adalah dengan menggunakan pendekatan Pembelajaran
Berbasis Masalah (PBM) yang diterjemahkan dari Problem
Based Learning (PBL).
Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) termasuk dalam
ketegori teaching via problem solving, dimana pengajaran
konten matematika dilakukan melalui penyajian masalah
yang berorientasi inkuiri. Pembelajaran dimulai dari situasi
konkrit dan berangsur-angsur ke masalah yang abstrak.
Sejalan dengan itu, Barell mengungkapkan bahwa PBM
mengajak siswa untuk tertarik menemukan pengetahuan
yang nyata dan relevan, serta membiarkan mereka untuk
belajar dari situasi nyata [4].
Melalui pendekatan PBM, diharapkan siswa dapat
berlatih mengaitkan masalah kehidupan sehari-hari dengan

55

Vol. 3 No. 2 (2014) : Jurnal Pendidikan Matematika, Part 1 : Hal. 54-59

pembelajaran matematika, sehingga matematika tidak lagi


terlalu abstrak bagi mereka dan pembelajaran menjadi lebih
bermakna. Fogarty mendefinisikan PBM sebagai suatu
model kurikulum yang didisain di seputar masalah dunia
nyata yang tidak terstruktur, open-ended atau ambigu.
Suatu masalah yang tidak terstruktur bersifat samar-samar,
tidak jelas, atau belum teridentifikasi. Situasi yang
diciptakan dalam permasalahan tersebut seringkali
membingungkan dan kompleks, serta memuat hal-hal yang
tidak berhubungan [4].
Menurut Hung, peserta didik memperoleh beberapa
manfaat melalui PBM yaitu: (1) dapat beradaptasi dengan
perubahan, (2) dapat bernalar dan berhadapan dengan
masalah, (3) membiasakan bersikap empati, bekerja sama
dan menghargai orang lain, (4) mengidentifikasi kelemahan
dan kekuatan sendiri, (5) memelihara suatu pembelajaran
dengan terbuka, kritis dan aktif [5]. Hal tersebut
menjelaskan bahwa PBM dapat memberikan manfaat
dalam kehidupan peserta didik. Melalui pendekatan PBM,
peserta didik dapat belajar memecahkan masalah,
menggunakan penalaran dan bekerjasama dengan orang
lain.
Senada dengan hal tersebut, Duch, Gron, dan Alen
dalam Armiati menyebutkan bahwa PBM dapat
menghasilkan banyak kemampuan, diantaranya: (1)
berpikir kritis, menganalisa dan menyelesaikan masalah
kompleks dan masalah dunia nyata, (2) menemukan,
mengevaluasi, dan menggunakan sumber-sumber belajar
yang sesuai, (3) bekerja secara kooperatif, baik kelompok
besar maupun kelompok kecil, (4) komunikasi yang efektif
dan akurat secara lisan maupun tulisan, (5) menerapkan
pengetahuan dan keterampilan intelektual yang diperlukan
untuk menjadi pebelajar sepanjang hayat [5].
Berdasarkan kedua pendapat sebelumnya, terlihat
bahwa pendekatan PBM membuat peserta didik berpikir
visibel dan menstimulasikan pemikiran yang multipel untuk
menyelesaikan masalah-masalah yang tidak terstruktur dan
baru. Melalui penerapan pendekatan PBM dalam proses
pembelajaran diharapkan dapat meningkatkan dan
mengembangkan kemampuan peserta didik dalam
memecahkan masalah.
Berdasarkan uraian di atas, dan untuk melihat lebih
mendalam dampak penerapan pendekatan PBM dalam
proses pembelajaran matematika di sekolah terhadap
kemampuan pemecahan masalah matematika siswa,
dilakukan penelitian dengan judul Pengaruh Pendekatan
Pembelajaran Berbasis Masalah terhadap Kemampuan
Pemecahan Masalah Matematika Siswa Kelas VIII SMP
Negeri 1 Padang Tahun Pelajaran 2013/2014.
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan
peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika
siswa yang diajar dengan pendekatan PBM dan siswa yang
diajar secara konvensional, serta mendeskripsikan
perkembangan
kemampuan
pemecahan
masalah

matematika siswa yang diajar dengan pendekatan PBM.


Hipotesis yang diajukan adalah Peningkatan kemampuan
pemecahan masalah matematika siswa yang diajar dengan
pendekatan PBM lebih tinggi daripada peningkatan
kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang
diajar secara konvensional.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah gabungan antara penelitian
eksperimen semu dan deskriptif [6]. Rancangan penelitian
yang digunakan adalah Randomized Control Group
Pretest-Posttest Design [7]. Rancangan tersebut dapat
digambarkan dalam Tabel I berikut.
TABEL I
RANCANGAN PENELITIAN

Eksperimen

T1

Variabel
Terikat
X

Kontrol

T1

Kelompok

Pretest

Posttest
T2
T2

Populasi dari penelitian ini adalah semua siswa kelas


VIII SMP Negeri 1 Padang tahun pelajaran 2013/2014 yang
terdiri dari 6 kelas. Setelah dilakukan penarikan sampel
secara acak, terpilih kelas VIII D sebagai kelompok
eksperimen dan kelas VIII F sebagai kelompok kontrol.
Selanjutnya, siswa kelompok eksperimen atau VIII D yang
diajar dengan pendekatan PBM dijadikan subjek penelitian
deskriptif.
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pendekatan
PBM, sedangkan variabel terikat yaitu kemampuan
pemecahan masalah matematika siswa. Prosedur penelitian
dibagi menjadi tiga tahap, yaitu: persiapan, pelaksanaan
dan penyelesaian. Instrumen penelitian yang digunakan
untuk mendapatkan data dalam penelitian ini yaitu berupa
tes kemampuan pemecahan masalah matematika siswa
(pretest dan posttest) dan LKS (individual worksheet).
Data yang diperoleh dari peningkatan hasil tes
kemampuan pemecahan masalah matematika siswa
dianalisa menggunakan uji Mann-Whitney U. Pengujian
dengan Mann-Whitney U dilakukan karena data yang
diperoleh tidak berdistribusi normal. Data yang diperoleh
dari skor LKS siswa dianalisa secara deskriptif dengan
melihat perkembangan kemampuan pemecahan masalah
matematika siswa selama diajar dengan pendekatan PBM.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Pretest dan Posttest
Hasil pretest kedua kelompok sampel dideskripsikan
pada Tabel II berikut.

56

Vol. 3 No. 2 (2014) : Jurnal Pendidikan Matematika, Part 1 : Hal. 54-59

TABEL II
HASIL PRETEST KEMAMPUAN
PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA SISWA

Kelompok

Eksperimen
Kontrol

24
22

Skor
Maks
96
96

64
83

28
27

45,13
49,27

TABEL IV
HASIL PRETEST SISWA KELOMPOK KONTROL PER INDIKATOR PEMECAHAN
MASALAH MATEMATIKA

12,24
14,52

Pada Tabel II terlihat bahwa rata-rata kemampuan


pemecahan masalah matematika siswa kelompok kontrol
lebih tinggi daripada eksperimen. Nilai maksimum siswa
kelompok kontrol lebih tinggi daripada eksperimen,
sedangkan nilai minimum siswa kelompok eksperimen
lebih tinggi daripada kelompok kontrol.
Berikut ini disajikan hasil pretest siswa kelompok
eksperimen untuk setiap indikator pemecahan masalah
matematika.
TABEL III
HASIL PRETESTSISWA KELOMPOK EKSPERIMEN PER INDIKATOR
PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA

Ukuran
Rata-rata
Skor Tertinggi
Skor Terendah
Skor Ideal
Skor Minimal
untuk Kategori
Pencapaian
Indikator
Jumlah Siswa
yang Mencapai
Indikator
Persentase
Siswa yang
Mencapai
Indikator

Indikator Pemecahan Masalah Matematika


1
2
3
4
15,96
10,92
14,00
4,25
24
19
19
10
10
4
7
0
24
24
24
24
18

18

18

18

10

41,67%

4,17%

12,5%

Keterangan:
1. Memahami Masalah
2. Merencanakan Penyelesaian
3. Menjalankan Rencana
4. Mengecek Kembali dan Menarik Kesimpulan
Pada tabel III tampak bahwa persentase siswa yang
mencapai indikator pemecahan masalah masih rendah dan
kurang dari 50%, bahkan mencapai 0 untuk indikator
mengecek kembali dan menarik kesimpulan. Hal ini
menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan masalah
matematika siswa untuk kelompok eksperimen masih
rendah.
Hasil pretest siswa kelompok kontrol untuk setiap
indikator pemecahan masalah matematika disajikan pada
Tabel IV.

Indikator Pemecahan Masalah Matematika


1
2
3
4
16,09
13,91
14,50
4,77
23
20
23
17
8
7
8
0
24
24
24
24

Ukuran
Rata-rata
Skor Tertinggi
Skor Terendah
Skor Ideal
Skor Minimal
untuk Kategori
Pencapaian
Indikator
Jumlah Siswa
yang Mencapai
Indikator
Persentase
Siswa yang
Mencapai
Indikator

18

18

18

18

10

45,45%

18,18%

31,82%

Sama halnya dengan kelompok eksperimen, pada


kelompok kontrol juga belum terdapat siswa yang mampu
menguasai indikator mengecek kembali dan menarik
kesimpulan.
Data
tersebut
menunjukkan
bahwa
kemampuan pemecahan masalah matematika siswa
kelompok kontrol masih rendah.
Apabila diadakan perbandingan antara kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol, maka persentase siswa
kelompok kontrol yang mampu menguasai indikator
memahami masalah, merencanakan penyelesaian, dan
menjalankan rencana sedikit lebih tinggi daripada siswa
kelompok eksperimen, namun tetap belum ada yang
mencapai 50%. Untuk indikator mengecek kembali dan
menarik kesimpulan, siswa pada kedua kelompok
memperoleh persentase yang sama, yaitu 0. Hal ini
menunjukkan bahwa siswa pada kelompok eksperimen dan
kontrol
sama-sama
mengalami
kesulitan
dalam
mengembangkan
kemampuan
pemecahan
masalah
matematika, terutama pada indikator mengecek kembali
dan menarik kesimpulan.
Hasil posttest kedua kelompok sampel dideskripsikan
pada Tabel V.
TABEL V
HASIL POSTTEST KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA
SISWA

Kelompok

Eksperimen
Kontrol

24
22

Skor
Maks
96
96

94
84

43
5

78,00
61,77

15,27
17,33

Pada Tabel V terlihat bahwa rata-rata kemampuan


pemecahan masalah matematika siswa kelompok
eksperimen lebih tinggi daripada kelompok kontrol. Nilai

57

Vol. 3 No. 2 (2014) : Jurnal Pendidikan Matematika, Part 1 : Hal. 54-59

maksimum dan nilai minimum siswa kelompok eksperimen


juga lebih tinggi daripada siswa kelompok kontrol.
Interpretasi perbandingan rata-rata kemampuan
pemecahan masalah matematika siswa kelompok sampel
seperti terlihat pada Gambar. 1.
80

Skor

60
40

Eksperimen

20

Kontrol

Gambar. 1 Rata-rata Pretest dan PosttestKelompok Sampel

Gambar. 1 memperlihatkan adanya peningkatan skor


rata-rata yang diperoleh siswa kedua kelompok sampel dari
pretest ke posttest. Peningkatan yang lebih tinggi dialami
oleh kelompok eksperimen. Hal ini menunjukkan bahwa
kemampuan pemecahan masalah matematika siswa
kelompok eksperimen mengalami peningkatan lebih tinggi
daripada siswa kelompok kontrol.
Data gain ternormalisasi dideskripsikan sebagai skor
peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika
pada masing-masing kelompok sampel. Total nilai gain
ternormalisasi yang diperoleh dari kelompok eksperimen
adalah 15,41 dengan rata-rata gain ternormalisasi 0,64.
Skor tertinggi gain pada kelompok eksperimen adalah 0,97
dan skor terendah adalah -0,09. Total nilai gain
ternormalisasi yang diperoleh dari kelompok kontrol
adalah 4,03 dengan rata-rata gain ternormalisasi 0,18. Skor
tertinggi gain pada kelompok kontrol adalah 0,80 dan skor
terendah -1,31.
Perbandingan rata-rata gain ternormalisasi kedua
kelompok sampel diinterpretasikan seperti pada Gambar. 2.
0,8

Skor

0,6
Eksperimen

0,4

Kontrol

0,2

pendekatan PBM lebih tinggi daripada peningkatan


kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang
diajar dengan pembelajaran konvensional. Berdasarkan
kriteria gain ternormalisasi, maka peningkatan kemampuan
pemecahan masalah matematika siswa kelompok
eksperimen termasuk kategori sedang karena rata-rata gain
ternormalisasi kelompok tersebut berada pada rentang
0,3 g < 0,7. Peningkatan kemampuan pemecahan masalah
matematika siswa pada kelompok kontrol tergolong
kategori rendah dengan nilai rata-rata gain ternormalisasi
0,18.
Uji hipotesis dengan menggunakan data dari gain
ternormalisasi skor tes masing-masing siswa memberikan
hasil z = -3,64, sehingga nilai P = 0,0001. Nilai P tersebut
lebih kecil dari = 0,05 yang ditetapkan, dan
mengakibatkan H0 ditolak. Dapat disimpulkan bahwa
peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika
siswa kelompok eksperimen lebih tinggi daripada
peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika
siswa kelompok kontrol.
B. Data Perkembangan Kemampuan Pemecahan Masalah
Matematika
Data kemampuan pemecahan masalah matematika
siswa pada tiap pertemuan dideskripsikan pada Tabel VI.
Pada tabel tampak bahwa rata-rata skor LKS tertinggi
berada pada LKS 2 yaitu 3,84 dan yang terendah terdapat
pada LKS 6 yaitu 3,23. Rata-rata perolehan skor siswa
selama 8 kali pertemuan pembelajaran dengan pendekatan
PBM mengalami peningkatan dan penurunan. Hal ini
berarti bahwa perkembangan kemampuan siswa dalam
menyelesaikan masalah matematika juga berfluktuasi;
terkadang meningkat dan terkadang menurun. Peningkatan
dan penurunan kemampuan siswa tersebut dipengaruhi oleh
pendekatan PBM yang digunakan, dan perbedaan tingkat
penguasaan siswa terhadap masing-masing materi yang
dipelajari.
Soal
Seorang walikota merencanakan membuat
taman rekreasi berbentuk lingkaran dengan
diameter 1.400 m. Karena kekurangan dana, dalam
realisasinya hanya dibangun taman dengan
diameter 700 m. Berapa persen biaya yang bisa
dihemat dari biaya pembebasan tanah untuk taman
itu dari rencana semula?
Contoh Jawaban Siswa:

Gain Ternormalisasi
Gambar. 2 Rata-rata Gain TernormalisasiKelompok Sampel

Tampak pada Gambar. 2 bahwa peningkatan kemampuan


pemecahan masalah matematika siswa yang diajar dengan

Gambar. 3 Contoh Jawaban Siswa pada Saat Pretest

58

Vol. 3 No. 2 (2014) : Jurnal Pendidikan Matematika, Part 1 : Hal. 54-59

Berdasarkan jawaban siswa pada Gambar. 3, tampak


bahwa mereka belum memahami permasalahan yang
diberikan. Siswa menuliskan luas sebagai hal yang
diketahui dari permasalahan, padahal pada permasalahan
tidak diketahui mengenai luas. Pada jawaban belum
terdapat perencanaan penyelesaian yang memuat rumus
ataupun konsep. Siswa langsung mendapatkan jawaban
50% tanpa menuliskan langkah-langkah ataupun rumus
yang digunakan. Siswa sudah membuat kesimpulan pada
bagian akhir penyelesaian, akan tetapi kesimpulan yang
didapatkan masih belum tepat.
Gambar. 4 merupakan jawaban siswa pada saat
posttest.

Gambar. 4 Contoh Jawaban Siswa pada Saat Posttest

SIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah
dikemukakan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut.
1. Peningkatan kemampuan pemecahan masalah
matematika siswa yang diajar dengan pendekatan
PBM lebih tinggi daripada siswa yang diajar secara
konvensional.
2. Pendekatan PBM memberikan pengaruh positif
terhadap perkembangan kemampuan pemecahan
masalah matematika siswa terutama dalam hal
mengecek kembali dan menarik kesimpulan.
REFERENSI
[1] Tim Depdiknas. 2006. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan
Dasar dan Menengah.
[2] International Study Center. (2011) TIMSS 2011. [Online]. Available:
http://timssandpirls.bc.edu/data-release-2011/pdf/Overview-TIMSSand-PIRLS-2011-Achievement.pdf
[3] Kesumawati, Nila. (2008) Pemahaman Konsep Matematik dalam
Pembelajaran Matematika.[Online].Available:
http://eprints.uny.ac.id/6928/1/P-18%20Pendidikan(Nila%20K).pdf
[4] Fogarty, Robin. 1997. Problem-Based Learning and Other
Curriculum Models for the Multiple Intelegences Classroom.Hawker
Brownlow Education.Melbourn Australia.
[5] Armiati. 2010. Menata Kecerdasan Emosional melalui Pembelajaran
Berbasis Masalah dalam Matematika. Semnas Matematika. UNP.
[6] Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan
Praktik.Jakarta: Rineka Cipta.
[7] Suryabrata, Sumadi. 2008. Metodologi Penelitian. Jakarta:
Rajagrafindo Persada.

Berdasarkan jawaban pada Gambar. 4, terlihat bahwa


siswa telah mampu memahami permasalahan yang
diberikan. Hal yang diketahui dan ditanya sudah sesuai
dengan yang terdapat pada permasalahan. Untuk indikator
perencanaan penyelesaian, siswa juga sudah terlihat mampu
merencanakan penyelesaian dengan menuliskan konsep
mengenai perubahan luas yang akan digunakan. Siswa
sudah baik dalam menjalankan rencana dengan melakukan
prosedur yang benar dan lengkap, serta mendapatkan hasil
yang benar. Kesimpulan yang dituliskan oleh siswa sudah
mampu menjawab permasalahan yang ada dengan bahasa
penulisan yang jelas.
Berdasarkan perbandingan kedua jawaban siswa pada
saat pretest dan posttest tersebut, dapat dilihat bahwa
kemampuan pemecahan masalah matematika siswa untuk
setiap indikator pemecahan masalah matematika
mengalami peningkatan.

59

Anda mungkin juga menyukai