Anda di halaman 1dari 8

1.

MM Hipersensitivitas
1.1Definisi
Hipersensitivitas adalah peningkatan reaktivitas atau sensitivitas terhadap antigen yang
pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya. ( IMUNOLOGI DASAR, edisi 11, 2014)
1.2Klasifikasi

Menurut waktu timbulnya reaksi


Reaksi cepat
Reaksi cepat terjadi dalam hitungan detik, menghilang dalam 2 jam. Ikatan silang antara
alergen dan IgE pada permukaan sel mast menginduksi pelepasan mediator vasoaktif.
Manifestasi reaksi cepat berupa anafilaksis sitemik atau anafilaksis lokal
Reaksi intermediet
Reaksi intermediet terjadi beberapa jam dan menghilang dalam 24 jam. Reaksi ini
melibatkan pembentukan komplek imun IgG dan kerusakan jaringan melalui aktivasi
komplemen dan atau sel NK/ ADCC. Manifestasi intermediet dapat berupa :
Reaksi tranfusi darah, eritroblastosis fetalis dan anemia hemoliyi dan auto imun
Reaksi arthus lokal dan reaksi sistemik seperti serum sickness, vaskulitis nekrosis,
dan LES
Reaksi intemediet diawali oleh IgG dan kerusakan jaringan pejamu yang disebabkan oleh
sel neutrofil atau sel NK
Reaksi lambat
Reaksi lambat terlihat sekitar 48 jam setelah terjadinya pajanan dengan antigen yang
terjadi oleh aktivasi sel Th. Pada DTH sitokin yang dilepas sel T mengaktifkan sel efektor
makrofag yang menimbulkan kerusakan jaringan. Contoh reaksi lamabat adalah
dermatitis kontak, reaksi M tuberkulosis dan reaksi penolakan tandur.

Perbedaan
Reaksi cepat
Reaksi intermediet
Reaksi lambat
Waktu timbul
Terjadi setelah
Terjadi setelah 48
Hitungan detik
reaksi
beberapa jam terpajan jam terpajan
Menurut Gell dan Coombs
- Reaksi hipersensitivitas tipe I atau reaksi cepat atau reaksi alergi.
- Reaksi hipersensitivitas tipe II atau reaksi sitotoksik.
- Reaksi hipersensitivitas tipe III atau reaksi kompleks imun.
- Reaksi hipersensitivitas tipe IV atau reaksi lambat.
Pembagian Gell dan Coombs seperti terlihat diatas dibuat sebelum analisis yang
mendetail mengenai subset dan fungsi sel T diketahui. Berdasarkan penemuan-penemuan dalam
penelitian imunologi, telah dikembangkan beberapa subtype reaksi. Meskipun reaksi Tipe I, II,
III dianggap sebagai reaksi humural, sebetulnya reaksi-reaksi tersebut masih memerlukan
bantuan sel T atau peran selular. Oleh karena itu pembagian Gell dan Cooms telah dimodifikasi
sbb:

Tipe/mekanisme

I / IgE

Gejala

Contoh
Penisilin dan -laktam
Anafilaksis,
urtikaria,
lainnya, enzim, antiserum,
angioedema,
mengi,
protamin, heparin antibodi
hipotensi, nausea, muntah,
monoklonal,
ekstrak
sakit abdomen, diare
alergen, insulin
Metamizol, fenotiazin
Agranulositosis

Penisilin, sefalosporin, laktam, kinidin, metildopa

II / sitotoksik (IgG dan Anemia hemolitik


IgM)

Karbamazepin, fenotiazin,
tiourasil,
sulfonamid,
antikonvulsan,
kinin,
Trombositopenia
kinidin,
parasetol,
sulfonamid,
propil,
tiourasil, preparat emas
-laktam,
sulfonamid,
Panas, urtikaria, atralgia, fenotiazin, streptomisin
III / kompleks imun (IgG limfadenopati
dan IgM)
serum
xenogenik,
Serum sickness
penisilin, globulin antitimosit
Penisilin, anestetik lokal,
antihistamin
topikal,
neomisin,
pengawet,
Eksim (juga sistemik)
eksipien (lanolin, paraben),
eritema, lepuh, pruritus
desinfekstan
IV
/
selular

hipersensitivitas Fotoalergi
Fixed drug eruption
Lesi makulopapular

V / reaksi granuloma

Granuloma

VI
/
hipersensitivitas (LE yang diinduksi obat?)
stimulasi
Resistensi insulin

Salislanilid (halogeneted),
asam nalidilik
Barbiturat, kinin
Penisilin, emas, barbiturat,
-blocker
Ekstrak alergen, kolagen
larut
Hidralazin, prokainamid
Antibodi terhadap insulin
(IgG)

1.3Etiologi

Penyebab alergi tidaklah jelas walaupun tampaknya terdapat predisposisi genetic.


Predisposisi tersebut dapat berupa pengikatan IgE yang berlebihan, mudahnya sel mast dipicu
untuk berdegranulasi , atau respon sel T helper yang berlebihan. Hasil penelitian terkini
menunjukan bahwa defisiensi sel T regulatori dapat menyebabkan responsivitas berlebihan dari
system imun dan alergi. Pajanan berlebihan terhadap alergen-alergen tertentu setiap saat,
termasuk selama gestasi, dapat menyebabkan respon alergi.
Secara umum semua benda di lingkungan (pakaian, makanan, tanaman, perhiasan, alat
pembersih, dsb) dapat menjadi penyebab alergi, namun faktor lain misalnya :

Perbedaan keadaan fisik setiap bahan


Kekerapan pajanan
Daya tahan tubuh seseorang
Adanya reaksi silang antar bahan akan berpengaruh terhadap timbulnya alergi
(Retno W.Soebaryo, 2002)

Faktor yang berperan dalam alergi makanan yaitu :


Faktor Internal
Imaturitas usus secara fungsional (misalnya dalam fungsi-fungsi : asam lambung, enzymenzym usus, glycocalyx) maupun fungsi-fungsi imunologis (misalnya : IgA sekretorik)
memudahkan penetrasi alergen makanan. Imaturitas juga mengurangi kemampuan usus
mentoleransi makanan tertentu.
Genetik berperan dalam alergi makanan. Sensitisasi alergen dini mulai janin sampai masa
bayi dan sensitisasi ini dipengaruhi oleh kebiasaan dan norma kehidupan setempat.
Mukosa dinding saluran cerna belum matang yang menyebabkan penyerapan alergen
bertambah.
Fakor Eksternal
Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas, hujan), faktor psikis (sedih, stress) atau
beban latihan (lari, olah raga).
Contoh makanan yang dapat memberikan reaksi alergi menurut prevalensinya: ikan
15,4%; telur 12,7%; susu 12,2%; kacang 5,3% dll.
Hampir semua jenis makanan dan zat tambahan pada makanan dapat menimbulkan reaksi
alergi.
2. MM Hipersensitivas Tipe II
2.1Definisi

Reaksi tipe II disebut juga reaksi sitotoksik, terjadi karena dibentuknya antibodi jenis
IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu. Reaksi diawali
oleh reaksi antibody dengan determinan antigen yang merupakan bagian dari
membrane sel. Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel yang memiliki reseptor Fcy-

R dan juga sel NK yang dapat berperan sebagai sel efektor dan menimbulkan
kerusakan melalui ADCC.

2.2Respon Imun
Reaksi transfusi
a
Sejumlah besar protein dan glikoprotein pada membran SDM disandi
oleh berbagai gen.
b
Individu golongan darah A mendapat transfusi golongan B terjadi
reaksi transfusi, karena anti B isohemaglutinin berikatan dengan sel
darah B yagn menimbulkan kerusakan darah direk oleh hemolisis masif
intravaskular
Reaksi dapat cepat/ lambat
-

Reaksi cepat:
Disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah ABO yang
dipacu oleh IgM.
Dalam beberapa jam hemoglobin bebas dapat ditemukan dalam
plasma dan disaring melalui ginjal dan menimbulkan
hemaglobinuria.
Beberapa hemaglobin diubah menjadi bilirubin yang pada kadar
tinggi bersifat toksik.
Gejala khas:
Demam, menggigil, nausea, bekuan dalam pembuluh darah,
nyeri pinggang bawah, dan hemoglobinuria.
Reaksi lambat:
Terjadi pada orang yang mendapat transfusi berulang dengan
darah yang kompatibel ABO namun inkompatibel dengan
golongan darah yang lain.
Terjadi 2-6 hari setelah transfusi.
Darah yagn ditransfusikan memacu pembentukan IgG terhadap
berbagai antigen membran golongan darah, tersering adalah
golongan resus, Kidd, Kell, dan Duffy

Ada sejenis reaksi transfusi yaitu reaksi inkompabilitas Rh yang terlihat


pada bayi baru lahir dari orang tuanya denga Rh yang inkompatibel (ayah
Rh+ dan ibu Rh-). Jika anak yang dikandung oleh ibu Rh- menpunyai
darah Rh+ maka anak akan melepas sebagian eritrositnya ke dalam
sirkulasi ibu waktu partus. Hanya ibu yang sudah disensitasi yang akan
membentuk anti Rh (IgG) dan hal ini akan membahayakan anak yang
dikandung kemudian. Hal ini karena IgG dapat melewati plasenta. IgG
yang diikat antigen Rh pada permukaan eritrosit fetus biasanya belum
menimbulkan aglutinasi atau lisis. Tetapi sel yang ditutupi Ig tersebut
mudah dirusak akibat interaksi dengan reseptor Fc pada fagosit. Akhirnya
terjadi kerusakan sel darah merah fetus dan bayi lahir kuning, Transfusi
untuk mengganti darah sering diperlukan dalam usaha menyelamatkan
bayi.

Penyakit hemolitik pda bayi baru lahir (Reaksi Antigen Rhesus)

Ada sejenis reaksi transfusi yaitu reaksi inkompabilitas Rh yang terlihat pada bayi
baru lahir dari orang tuanya denga Rh yang inkompatibel (ayah Rh+ dan ibu Rh-).
Jika anak yang dikandung oleh ibu Rh- menpunyai darah Rh+ maka anak akan
melepas sebagian eritrositnya ke dalam sirkulasi ibu waktu partus. Hanya ibu
yang sudah disensitasi yang akan membentuk anti Rh (IgG) dan hal ini akan
membahayakan anak yang dikandung kemudian. Hal ini karena IgG dapat
melewati plasenta. IgG yang diikat antigen Rh pada permukaan eritrosit fetus
biasanya belum menimbulkan aglutinasi atau lisis. Tetapi sel yang ditutupi Ig
tersebut mudah dirusak akibat interaksi dengan reseptor Fc pada fagosit. Akhirnya
terjadi kerusakan sel darah merah fetus dan bayi lahir kuning, Transfusi untuk
mengganti darah sering diperlukan dalam usaha menyelamatkan bayi.
Anemia hemolitik
Antibiotika tertentu seperti penisilin, sefalosporin, dan
streptomisin dapat diabsorbsi non spesifik pada protein
membran SDM yang membentuk kompleks serupa kompleks
molekul hapten pembawa
Pada beberapa penderita, kompleks membentuk ab yang
selanjutnya mengikat obat pada SDM dan dengan bantuan
komplemen menimbulkan lisis dengan dan anemia progresif.
Reaksi Obat
Obat dapat berfungsi sebagai hapten (molekul kecil yang bila bergabung dengan
molekul besar seperti protein serum akan berubah menjadi imunogenik) dan diikat pada
permukaan eritrosit yang menimbulkan pembentukan Ig dan kerusakan sitotoksik.
Sedormid (sedatif) (obat-obat yang memberikan efek tidur) dapat mengikat trombosit dan
Ig yang dibentuk terhadapnya akan menghancurkan trombosit dan menimbulkan purpura.
Chloramphenicol dapat mengikat sel darah putih, phenacetin dan chloropromazin
(tranguilizer) mengikat sel darah merah. Akibatnya ialah agranulositosis dan anemia
hemolitik. Kerusakn sel terjadi oleh karena sitolisis melalui komplemen atau fagositosis
melalui reseptor Fc atau C3b.
Sindrom Goodpasture
Pada sindrom ini serum ditemukan antibodi yang bereaksi dengan membran basal
glomerulus dan paru. Antibodi tersebut mengendap di ginjal dan paru yang menunjukkan
endapan linier yang terlihat pada imunoflouresen. Jadi, sindrom Goodpasture merupakan
penyakit autoimun yang membentukantibodi terhadap membran basal.

2.3Mekanisme
Reaksi yang bergantung pada
Komplemen
Hipersensitivi
tas
Tipe II

Reaksi yang bergantung pada ADCC


Disfungsi Sel akibat Antibodi

REAKSI YANG BERGANTUNG PADA KOMPLEMEN

Sel normal terinfeksi oleh antigen IgG berikatan dengan antigen Sel
diopsonisasi agar mudah di fagosit Pengaktifan komplemen yang menghasilkan C3B
dan C4B yang dapat meningkatkan fagositosis Sel yang diopsonisasi dikenali oleh Fc
receptor Sel di fagositosis oleh makrofag dan neutrofil

Antibodi terikat pada jaringan ekstraseluler (membrane basal atau matriks)


Pengaktifan komplemen Menghasilkan C5a dan C3a C5a menarik neutrofil dan monosit
Leukosit aktif melepaskan bahan perusak Kerusakan Jaringan
Saat antibodi terikat pada jaringan ekstraselular (membran basal dan matriks), kerusakan
yang dihasilkan merupakan akibat dari inflamasi, bukan fagositosis/lisis sel. Antibodi yang
terikat tersebut akan mengaktifkan komplemen, yang selanjutnya menghasilkan terutama C5a
(yang menarik neutrofil dan monosit). Sel yang sama juga berikatan dengan antibodi melalui
reseptor Fc. Leukosit aktif, melepaskan bahan-bahan perusak (enzim dan intermediate oksigen
reaktif), sehingga menghasilkan kerusakan jaringan. Reaksi ini berperan pada glomerulonefritis
dan vascular rejection dalam organ grafts.
REAKSI YANG BERGANTUNG PADA ADCC
Pertama, sel target mengekspresikan protein asing atau antigen. Lalu antigen ditangkap
oleh limfosit b. Selanjutnya, limfosit B aktif dan berubah menjadi sel plasma.Lalu sel plasma
menghasilkan antibody. Antibody akan berikatan dengan sel killer yang memiliki reseptor
antibody. Sel killer bersana dengan antibody yang menempel di permukaannya selanjutnya
menyerang sel target yang memasang antigennya di permukaannya. Antibody berikatan dengan
antigen di permukaan dan selanjutnya menyebabkan sel target tersebut lisis

DISFUNGSI SEL AKIBAT ANTIBODI

Pada beberapa kasus, antibodi yang diarahkan untuk melawan reseptor permukaan sel
merusak atau mengacaukan fungsi tanpa menyebabkan jejas sel atau inflamasi. Contohnya yaitu
pada penyakit miastenia gravis, antibodi terhadap reseptor asetilkolin dalam motor end-plate
otot-otot rangka mengganggu transmisi neuromuskular disertai kelemahan otot. Jadi antibodi
mem-block reseptor asetikolin yang berfungsi dalam kontraksi otot.
Contoh lainnya yaitu yang terjadi pada Graves disease. Graves disease adalah penyakit
yang biasanya ditandai oleh produksi otoantibodi yang memiliki kerja mirip TSH pada kelenjar
tiroid. Akibatnya, Sel tiroid akan memproduksi hormon tiroid yang berlebihan (hipertiroidisme).

2.4Contoh-Contoh

Anda mungkin juga menyukai