Anda di halaman 1dari 5

Langit semakin terang menyilaukan mata.

Sang raja tata surya


sudah menampakkan dirinya. Burung gereja di dahan pohon
cemara bernyanyi serabutan. Bunyinya tak jelas namun enak
didengar. Ayam keluar dari kandangnya dan berkokok nyaring.
Suara itu membuat wanita separuh baya di dapur berteriak pada
anaknya yang tak segera berangkat sekolah.
Dind, sudah jam berapa ini? Kamu ndak berangkat, Sayang?
teriak wanita itu sambil membereskan piring di meja makan.
Iya, Bu. Sebentar. Anak perempuan yang akrab dipanggil Dinda
langsut menyahut ketika ibunya bertanya sambil berlari ke dapur.
Dinda berangkat sekarang, Bu. Assalamualaikum. Ucap Dinda
sambil mencium tangan ibunya, kemudian langsung lari ke teras
dan memakai sepatu. Ibunya membuntutinya dari belakang.
Setelah memakai sepatu, Dinda langsung mencium tangan
ibunya dan mengucapkan salam sekali lagi. Kemudian langsung
ngeluyur melewati jembatan sederhana yang tertidur di atas
sungai kecil di depan rumah. Ibunya tersenyum sambil melihat
kepergian anaknya untuk berjihat menuntut ilmu.
Ayah Dinda adalah seorang penjual tahu. Pagi-pagi buta setelah
adzan shubuh berkumandang dan seusai Ayah menunaikan
kewajibannya sebagai hamba, Ayah sudah harus pergi ke
kampung seberang untuk berjualan. Terkadang jika sayur yang
Ayah tanam sudah bisa dipanen, Ayah menjual sayur-sayurnya
bersama dengan tahu. Terkadang Ibu yang hanya menjadi ibu
rumah tangga membuat jajanan dari ketela pohon, ketela rambat,

dan kentang untuk dijual. Ibu juga memanfaatkan tanaman liar


yang tumbuh disampimg rumah untuk membuat botok. Ibu selalu
punya cara agar hidup kami tetap berkecukupan. Semua itu
dilakukan karena uang yang didapatkan Ayah masih kurang untuk
mencukupi kebutuhan mereka. Apalagi Ibu sangat menginginkan
Dinda sekolah hingga menjadi sarjana. Ibu ingin melihat anak
semata wayangnya sukses. Ibu berharap kehidupan anaknya
kelak tidak sesulit yang Ibu dan Ayahnya alami. Itu merupakan
keinginan mulia seorang Ibu yang ingin melihat anaknya bahagia.
Sedangkan Ayah lebih ingin Dinda menuntut ilmu di pondok
pesantren. Dinda selalu menolak. Sejak masuk SMP dan kenal
dengan guru matematika sekaligus wali kelasnya, Dinda bertekat
ingin menjadi guru. Perhatian dan kecerdasan gurunya membuat
Dinda ingin menjadi sosok seperti orang yang dikaguminya itu.
Menjadi guru matematika yang professional. Tidak hanya
mengajarkan ilmu matematika dan memberikan contohnya dalam
kehidupan sehari-hari, tapi Dinda ingin menjadi orang tua
sekaligus sahabat bagi anak didiknya nanti. Dinda ingin
menanamkan karakter positif pada generasi penerus bangsa itu.
Dinda seakan tak rela apabila anak didiknya hanya berpasrah
kepada kehidupan dan terjerumus oleh pergaulan yang tak
karuan.
Di jalan kampung, Dinda berlari hingga sepatunya mengeluarkan
bunyi derap yang begitu keras. Tetangga yang mulanya menyapu
halaman spontan menoleh ke arahnya dan tersenyum sambil
menggeleng-gelengkan kepala seakan hal itu adalah hal yang

biasa Dinda lakukan. Para ijtihat yang berada di jalan besar pun
menoleh. Dinda melihat matahari yang beranjak naik dari sebelah
timur. Tidak terlalu tinggi. Jadi kemungkinan Pak Hasbu masih
belum lewat. Tak berapa lama mikrolet berwarna hijau berhenti di
depannya. Dinda segera masuk dan duduk disamping pak sopir.
Sedangkan beberapa anak-anak yang memakai baju putih-biru
pun segera naik.
Pagi-pagi sudah olahraga ya, Dind? kata pak sopir.
Iya. Pak Komar ini tau aja. Hehe. Tadi kesiangan. Padahal
bangunnya sama aja kayak biasanya. jawab Dinda sambil
mengusap keringat yang menetes dari pelipisnya.
Dinda memang sering naik mikroletnya Pak Komar. Dinda sudah
terbiasa naik mikrolet itu, jadi dia tak mau ketinggalan hanya
gara-gara berangkat kesiangan. Sudah hampir 6 tahun Dinda
kenal dengan Pak Komar. Ibu Dinda yang mengenalkan mereka.
Katanya sih itu supir mikrolet yang dulu nganterin ibu Dinda ke
rumah sakit saat akan melahirkan.
SMP tempat Dinda menuntut ilmu memang agak jauh dari
rumahnya. Sekitar 15 menit jika ditempuh dengan mikrolet, itu
belum termasuk dugaan macet dan semacamnya. Sekarang SMA
nya malah tambah jauh. Sekitar setengah jam jika ditempuh
dengan bus. Kalo naik mikrolet, maka perlu waktu lebih lama lagi.
Yah sekitar 30 menitan. Tapi Dinda lebih suka naik mikrolet.
Katanya sih lebih nyaman. Memang, kalau naik bus ke sekolah dia
tidak pernah dapat tempat duduk. Jam berangkatnya sama

dengan jam berangkat kerja. Jadi bis sudah pasti penuh dengan
orang-orang berpakaian rapi, walau kenyataannya saat turun baju
mereka sudah lusuh karena berdesak-desakkan.
Kiri, Pak. Ucap Dinda.
Iya, Dind. Pak Komar belum pikun kok. haha Dinda cengingisan.
Ia baru ingat bahwa sekarang ia sedang naik mikrolet
kesayangannya. Pak komar menghentikan mikrolet tuanya tepat
di depan pagar. Seperti biasa, pak satpam di sekolah Dinda
menghampiri Pak Komar. Ngomel-ngomel nggak jelas. Kalimat
yang diucapkan tetap itu-itu saja. Seperti biasa. Pak Komar
meminta maaf untuk kesejuta kalinya. Seperti biasa. Dan seperti
biasa juga, pak satpam hanya menggeleng-geleng kepala. Sudah
iya duga, sopir mikrolet satu itu punya penyakit yang tidak
menyakitkan, tapi amat berbahaya. Pikun. Sudah sering sekali Pak
Komar diingatkan untuk tidak menghentikan mikrolet tepat di
depan gerbang. Tapi, tetap saja lupa. Kebiasaan memang sulit
dirubah.
Dinda? Tentu saja dia sudah pergi sejak tadi. Meninggalkan Pak
Komar dengan uang Rp 2000,00 dari sakunya. Dia berjalan
menyusuri koridor di sekolahnya. Hari ini tidak akan ada
pelajaran. Tentu saja. Dinda sudah dinyatakan lulus dari SMA nya.
Tapi sayang sekali, dia tidak lulus SNMPTN. Dia berniat ikut tes
tulis bersama teman-temannya yang bernasib tragis seperti
dirinya.
Dinda! Sini! seseorang memanggilnya dari kejauhan. Dinda
yang terkejut langsung menoleh dan membenarkan kacamatanya

yang agak melorot. Setelah tau siapa yang memanggilnya, dia


langsung mendekat.
Ini. Itu formulir pendaftaran. Sekolah hanya punya 5 form. Satu
untukmu, satu untukku, satu untuk Sam, dan yang dua kuberikan
pada temanku anak IPS. Kata Sandi, teman sebangku Dinda seja

Anda mungkin juga menyukai