biasa Dinda lakukan. Para ijtihat yang berada di jalan besar pun
menoleh. Dinda melihat matahari yang beranjak naik dari sebelah
timur. Tidak terlalu tinggi. Jadi kemungkinan Pak Hasbu masih
belum lewat. Tak berapa lama mikrolet berwarna hijau berhenti di
depannya. Dinda segera masuk dan duduk disamping pak sopir.
Sedangkan beberapa anak-anak yang memakai baju putih-biru
pun segera naik.
Pagi-pagi sudah olahraga ya, Dind? kata pak sopir.
Iya. Pak Komar ini tau aja. Hehe. Tadi kesiangan. Padahal
bangunnya sama aja kayak biasanya. jawab Dinda sambil
mengusap keringat yang menetes dari pelipisnya.
Dinda memang sering naik mikroletnya Pak Komar. Dinda sudah
terbiasa naik mikrolet itu, jadi dia tak mau ketinggalan hanya
gara-gara berangkat kesiangan. Sudah hampir 6 tahun Dinda
kenal dengan Pak Komar. Ibu Dinda yang mengenalkan mereka.
Katanya sih itu supir mikrolet yang dulu nganterin ibu Dinda ke
rumah sakit saat akan melahirkan.
SMP tempat Dinda menuntut ilmu memang agak jauh dari
rumahnya. Sekitar 15 menit jika ditempuh dengan mikrolet, itu
belum termasuk dugaan macet dan semacamnya. Sekarang SMA
nya malah tambah jauh. Sekitar setengah jam jika ditempuh
dengan bus. Kalo naik mikrolet, maka perlu waktu lebih lama lagi.
Yah sekitar 30 menitan. Tapi Dinda lebih suka naik mikrolet.
Katanya sih lebih nyaman. Memang, kalau naik bus ke sekolah dia
tidak pernah dapat tempat duduk. Jam berangkatnya sama
dengan jam berangkat kerja. Jadi bis sudah pasti penuh dengan
orang-orang berpakaian rapi, walau kenyataannya saat turun baju
mereka sudah lusuh karena berdesak-desakkan.
Kiri, Pak. Ucap Dinda.
Iya, Dind. Pak Komar belum pikun kok. haha Dinda cengingisan.
Ia baru ingat bahwa sekarang ia sedang naik mikrolet
kesayangannya. Pak komar menghentikan mikrolet tuanya tepat
di depan pagar. Seperti biasa, pak satpam di sekolah Dinda
menghampiri Pak Komar. Ngomel-ngomel nggak jelas. Kalimat
yang diucapkan tetap itu-itu saja. Seperti biasa. Pak Komar
meminta maaf untuk kesejuta kalinya. Seperti biasa. Dan seperti
biasa juga, pak satpam hanya menggeleng-geleng kepala. Sudah
iya duga, sopir mikrolet satu itu punya penyakit yang tidak
menyakitkan, tapi amat berbahaya. Pikun. Sudah sering sekali Pak
Komar diingatkan untuk tidak menghentikan mikrolet tepat di
depan gerbang. Tapi, tetap saja lupa. Kebiasaan memang sulit
dirubah.
Dinda? Tentu saja dia sudah pergi sejak tadi. Meninggalkan Pak
Komar dengan uang Rp 2000,00 dari sakunya. Dia berjalan
menyusuri koridor di sekolahnya. Hari ini tidak akan ada
pelajaran. Tentu saja. Dinda sudah dinyatakan lulus dari SMA nya.
Tapi sayang sekali, dia tidak lulus SNMPTN. Dia berniat ikut tes
tulis bersama teman-temannya yang bernasib tragis seperti
dirinya.
Dinda! Sini! seseorang memanggilnya dari kejauhan. Dinda
yang terkejut langsung menoleh dan membenarkan kacamatanya