EKONOMI Kerakyatan adalah istilah yang relatif baru.
Istilah ini mulai diperkenalkan
oleh Prof Sarbini Sumawinata, guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, pada 1985, dalam artikelnya di majalah Prisma. Dalam penjelasannya, Ekonomi Kerakyatan bukanlah suatu ideologi atau konsep sistem ekonomi, melainkan suatu gagasan mengenai cara, sifat, dan tujuan pembangunan, dengan sasaran utama perbaikan nasib rakyat yang umumnya hidup di pedesaan. Asumsinya pada waktu itu adalah 80 persen penduduk Indonesia hidup di pedesaan, 40 persen di antaranya hidup di bawah garis kemiskinan. Konsep Ekonomi Kerakyatan dalam pandangan Sarbini adalah bagian dari ideologi Sosialisme Kerakyatan, yang dicetuskan pendiri Partai Sosialis Indonesia (PSI), Sutan Sjahrir, pada 1947. Ekonomi Kerakyatan adalah komponen ekonomi dari ideologi Sosialisme Kerakyatan yang mencakup berbagai sektor kehidupan, bertolak dari suatu konsep politik kebudayaan yang berintikan kebebasan, pembebasan, dan kemajuanyang menganggap Marxisme dan Komunisme adalah ajaran yang ketinggalan zaman. Penganut utama ideologi ini antara lain adalah Soedjatmoko, Sarbini, dan muridnya, Dr Sjahrir. Dengan demikian, Ekonomi Kerakyatan adalah suatu konsep strategi pembangunan dalam konteks Indonesia. Inti konsep ini adalah pembangunan pedesaan dan industrialisasi pedesaan dalam arti luas, yang mencakup mekanisasi pertanian dalam rangka pemberantasan kemiskinan, melalui penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan pendapatan rakyat kecil dalam pengertian petit peuple atau wong cilik. Namun rakyat kecil ini bukan hanya sasaran atau pelengkap penderita dalam pembangunan, melainkan juga pelaku ekonomi aktif. Hanya, yang bertugas menggerakkan pembangunan ini adalah negara atau pemerintah. Hal itu dilakukan melalui alokasi anggaran khusus dan berbagai kebijakan pemberdayaan masyarakat dan yang menghilangkan hambatan yang merintangi kegiatan produktif rakyatyang terkandung dalam sistem kapitalisme pasar bebas dan monopoli korporasi. Dikatakannya bahwa ekonomi kerakyatan bisa menjadi landasan ekonomi nasional. Menurut Sarbini, ekonomi kerakyatan mengandung tiga unsur: 1. populis; 2. berkeadilan sosial; dan 3. demokratis. Populis artinya perhatian yang dominan diarahkan untuk memberantas kemiskinan rakyat banyak. Investasi segala sumber daya dan tenaga dicurahkan untuk membangun rakyat guna mencapai tingkat kemakmuran dan kesejahteraan yang adil dan merata. Populisme adalah merupakan penolakan sekaligus sebagai pembedaan terhadap elitisme. Artinya, pembangunan yang populis itu tidak dan/atau bukan elitis. Sebaliknya, kalau kerakyatan itu memang tidak hanya populis saja tetapi dia juga mengandung demokrasi dan mengandung keadilan social.