sebenarnya dari layu'adzdziba artinya yata'allama (merasa sedih), artinya mayyit tersebut merasa
sedih mengapa keluarganya tidak memahami hakikat hidup tersebut.
2. Dilihat sejarahnya (ta'arikh), jika tidak bisa digabungkan pengertiannya (tetap bertentangan),
maka dilihat mana yang lebih dulu dan mana yang belakangan, sehingga yang belakangan adalah
menghapus hukum yang duluan. Seperti hadits nikah Mut'ah yang banyak dipakai kaum syi'ah,
memang benar Nabi SAW pernah membolehkannya dalam 1 peperangan tapi kemudian dihapus
selama2nya oleh Nabi SAW setelah nampak bahaya dan dampaknya. Atau hadits yang melarang
ziarah kubur, yang kemudian dihapus sendiri oleh Nabi SAW.
3. Dipilih mana yang lebih kuat (tarjih), jika kedua hal di atas tidak bisa juga, maka barulah
dicari mana yang lebih shahih dan dibuang yang kurang shahih (artinya bisa juga keduanya
shahih tapi yang 1 lebih shahih dari yang lain, maka yang dipakai yang lebih shahih tersebut).
5. Melihat pada isi hadits tersebut dan bukan pada sarananya (an Nazhru ilal ushul la lil wasa'il),
contoh2 nya ;
1. Hadits bahwa Nabi SAW memakai gamis, ternyata banyak hadits yang menyebutkan bahwa
Nabi SAW juga memakai kain Yamani, baju Kisrawaniyyah, dll. Ternyata ushul dari hadits ttg
pakaian tersebut adalah menutup auratnya dan bukan pada jenis pakaiannya.
2. Hadits bahwa Nabi SAW memerintahkan belajar memanah, yang ushul nya adalah berlatih
menggunakan senjata dan bukan pada panahnya. Demikian pula berkuda, yang ushul
mengendarai kendaraannya dan bukan kudanya.
3. Hadits bahwa pengobatan terbaik adalah menggunakan kai (besi dipanaskan), ternyata yang
ushul adalah metode shock terapy nya spt dengan akupunktur, refleksi, dsb.
6. Menegaskan apa yang ditunjukkan oleh lafazh hadits (Ta'akkud dilalatu alfazh al hadits).
Seperti hadits : La'anallahal mushawwirin (Allah melaknat para pelukis), yang dilalahnya adalah
jika untuk diagungkan, dipuja, lukisan 3 dimensi (patung), karena ternyata gambar yang telah
dipotong dan dijadikan bantal oleh Aisyah ra tidak dilarang oleh Nabi SAW.
7. Membedakan antara hakikat dan majas. Jika hal ini tidak dipahami secara benar maka akan
menimbulkan pemahaman yang keliru. Sebagai contoh, hadits Yang paling cepat bertemu
denganku (nabi) adalah yang paling panjang tangannya. Panjang di sini diartikan : paling
banyak amalnya.