PEMBERSIHAN SIANIDA
DISUSUN OLEH:
Dhanang Edy Pratama
(115061101111007)
(115061101111008)
(115061107111006)
Andhika Megantara
(135061107111001)
TEKNIK KIMIA
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2014
Gambar 1. Pengaruh pH terhadap adsorpsi ion CN-, CNO-, dan SCN- pada permukaan tanah
(Dzombak et. al., 2006, hlm 62).
Dari grafik diatas dapat dilihat adsorbsi CN- pada pH tanah 4 - 9 mengalami peningkatan
atau teradsorbsi maksimal, sedangkan adsorbsi CNO- dan SCN- menurun seiring
peningkatan pH di tanah.
2. Kompleks Logam - Sianida
Logam dapat membentuk kompleks dengan ion sianida. Kompleks logam sianida ini
diwakili dengan rumus kimia [M(CN)x]y-, dimana M adalah kation logam. Logam yang
berikatan dengan sianida ini dapat membentuk kompleks yang lemah maupun kuat,
tergantung pada ikatan logam sianida yang terbentuk (Dzombak et. al., 2006, hlm 65).
a. Kompleks Logam Sianida Lemah
Anion sianida dapat membentuk kompleks logam sianida lemah dengan berbagai
logam transisi, umumnya adalah kadmium, seng, perak, tembaga, nikel, dan merkuri.
Logam-logam ini terdapat pada golongan IB, IIB, dan VIIIB. Kompleks-kompleks
ini akan terdisosiasi pada kondisi asam lemah (4 < pH < 6), sehingga kompleks ini
dikenal pula dengan kompleks weak-acid-dissociable (WAD).
Kompleks logam sianida lemah dapat teradsorp pada tanah dan komponenkomponen yang terdapat pada tanah seperti besi, aluminium, silikon, mangan
dioksida, dan lempung. Adsorpsi tersebut menghambat pembilasan oleh air. Namun,
jika pengompleksan terjadi di air, ia justru akan mencegah sianida untuk teradsorp
pada tanah (Dzombak et. al., 2006, hlm 68).
Parameter pH sangat menentukan kesetimbangan kompleks ini. Berikut ini adalah
contoh pengaruh pH terhadap pembentukan kompleks seng sianida dan nikel
sianida.
Gambar 2. Pengaruh pH terhadap disosiasi kompleks seng sianida (Dzombak et. al., 2006, hlm
67).
Gambar 3. Pengaruh pH terhadap disosiasi kompleks nikel sianida, dimana (a) konsentrasi
sianida = 10-4 M, dan (b) konsentrasi sianida = 10-3 M (Dzombak et. al., 2006, hlm 69).
Dari grafik-grafik tersebut dapat disimpulkan bahwa kompleks logam sianida akan
terdisosiasi pada pH asam.
b. Kompleks Logam Sianida Kuat
Anion sianida dapat membentuk kompleks kuat dengan beberapa logam berat
transisi, utamanya adalah kobalt, platinum, emas, paladium, dan besi.Logam-logam
ini juga termasuk dalam golongan IB, IIB, dan VIIIB. Besi dan emas menjadi
perhatian utama, karena di alam besi paling banyak terdapat di tanah, dan emas
menjadi target dalam penambangan emas oleh sianida. Kompleks-kompleks ini
hanya akan terdisosiasi pada kondisi sangat asam (pH < 2), sehingga digolongkan ke
dalam strong acid dissociable complexes, atau strongly-complexes cyanide
(Dzombak et. al., 2006, hlm 73)..
Seperti halnya kompleks yang lemah, kompleks kuat juga dapat teradsorp pada
permukan tanah dan komponen-komponen sedimen seperti besi, alumunium, mangan
oksida, serta lempung. Adsorpsi ini terjadi akibat kombinasi antara gaya elektrostatik
dan surface complexation. Kebanyakan kompleks logam sianida kuat bersifat
anionik, sehingga ia akan dengan mudah teradsorp pada tanah dengan kapasitas tukar
anion yang besar. Sebaliknya, tanah atau sedimen yang didominasi oleh pasir atau
komponen lain dengan kapasitas tukar kation yang besar memiliki daya adsorpsi
kompleks yang lemah (Dzombak et. al., 2006, hlm 77).
Parameter pH juga berpengaruh terhadap kompleks jenis ini. Secara umum, semakin
rendah pH, adsorpsi kompleks logam sianida kuat akan semakin bertambah kuat
pada permukaan tanah, salah satu contohnya adalah pada kompleks besi sianida
pada grafik berikut:
Gambar 4. Pengaruh pH terhadap adsorpsi kompleks besi sianida pada permukaan tanah
(Dzombak et. al., 2006, hlm 78).
B. REGULASI
Peraturan mengenai kadar sianida di Amerika tertuang dalam Resource Conservation and
Recovery Act (RCRA) dan Comprehensive Environmental Response, Compensation, and
Liability Act (CERCLA). Peraturan ini menerapkan medium specific concentration (MSC)
dalam menentukan kandungan sianida, yaitu konsentrasi rata-rata sianida spesifik yang
diperbolehkan berada pada tanah. Peraturan tersebut adalah:
Sianida bebas untuk tanah permukaan pada daerah pemukiman (kedalaman 0 hingga 15
ft) adalah 4.400 mg/kg.
Sianida bebas untuk tanah permukaan pada daerah non-pemukiman (kedalaman 0 hingga
2 ft) adalah 56.000 mg/kg.
Sianida bebas untuk tanah sub-permukaan pada daerah non-pemukiman (kedalaman 2
hingga 15 ft) adalah 190.000 mg/kg.
Sianida bebas untuk tanah pada daerah pemukiman dan non-pemukiman jika tanah
memiliki dampak terhadap badan air yang dipergunakan dengan TDS < 2.500 mg/L
adalah 200 mg/kg.
Sianida bebas untuk tanah pada daerah pemukiman dan non-pemukiman jika tanah
memiliki dampak terhadap badan air yang dipergunakan dengan TDS > 2.500 mg/L
adalah 2.000 mg/kg.
Sianida bebas untuk tanah pada daerah pemukiman dan non-pemukiman jika tanah tidak
menimbulkan dampak terhadap badan air adalah 190.000 mg/kg (Dzombak et. al., 2006,
hlm 373).
Tabel 2 Efisiensi penghilangan kontaminan pada pembilasan tanah berpasir (Hyman &
Dupont, 2001, hlm 427).
Pada berbagai fasilitas penambangan, bijih yang sudah habis emasnya biasanya dibilas
menggunakan air untuk membantu terjadinya oksidasi sianida bebas dan leaching logam
sianida. Pada tanah, sianida bebas paling banyak terdapat dalam bentuk HCN, bentuk CNsangat sedikit. Penambahan air akan mengakibatkan oksidasi HCN, dengan reaksi
sebagai berikut:
HCN + H2O = HCNO + 2H+ + 2eHidrogen sianat (HCNO) yang terbentuk akan larut ke dalam air, dan bisa terdisosiasi
menjadi sianat (CNO-) pada kondisi basa. Baik hidrogen sianat maupun sianat tidak
berbahaya seperti halnya HCN maupun CN-. Selain melalui oksidasi sianida bebas, air
juga menghilangkan kandungan logam sianida melalui mekanisme leaching. Waktu yang
dibutuhkan untuk membilas bergantung pada jumlah tanah yang diolah, kandungan dan
jenis sianida yang ada di tanah, laju pembilasan air, dan variabel lainnya (Dzombak et.
al., 2006, hlm 62-63).
Pada bijih yang telah mengalami 50 hari leaching dan satu hari pengeringan, tiap 15.000
metrik ton tanah membutuhkan sekitar 2-3 hari pembilasan dengan laju 610.000 liter per
jam.
Salah satu contoh aplikasinya adalah pada penambangan di Fort Knox, Alaska, di mana
tanah sebanyak 150 juta metrik ton dibilas dengan air dengan laju 1,8 juta liter per jam
selama 200 hari (Bleiwas, 2012, hlm 4-5).
2. Kaporit ( Ca(ClO)2 )
Sianida bebas dapat teroksidasi dengan mudah menggunakan oksidator kuat seperti
klorin, hipoklorit, ozon, hidrogen peroksida, dan lain- lain.
Kalsium hipoklorit, atau biasa dikenal dengan kaporit, mampu menghilangkan
kandungan sianida bebas pada tanah. Reaksi oksidasi sianida bebas oleh hipoklorit adalah
sebagai berikut:
CN- + OCl- + H2O = CNCl + 2OHCNCl + 2OH- = CNO- + Cl- + H2O
2CNO + 3OCl- + H2O = 2CO2 + 3Cl- + N2 + 2OH-
Oksidasi sianida menjadi CO2 dan N2 akan berlangsung selama beberapa jam pada pH >
10. Jika kondisi pH saat itu sekitar 8-8,5, oksidasi sianat dapat berlangsung hanya sekitar
1 jam saja. Pada pH yang lebih rendah, hipoklorit berlebih harus ditambahkan untuk
mencegah lepasnya gas sianogen klorida (CNCl). Gas CNCl akan terurai dengan sangat
cepat pada pH > 10, dan pada pH yang lebih rendah hipoklorit berlebih perlu
ditambahkan untuk mempercepat laju dekomposisi (Eckenfelder et. al., 1994, hlm 195196).
Tsang et. al. (2012, hlm 78) menginvestigasi potensi penggunaan kaporit untuk
menghilangkan sianida bebas. Hasilnya adalah dengan komposisi kaporit : tanah sebesar
1:4 dan 1:8 mampu menghilangkan sianida hampir 100% selama 1 jam.
Gambar 5. Pengaruh jumlah kaporit terhadap penghilangan sianida bebas pada tanah
(Tsang et. al., 2012, hlm 78).
Adanya Cu juga mampu merusak kompleks sianida logam lemah (WAD) berdasarkan
reaksi berikut:
Katalis
Cu- 4CNO- + 4H2O + M(OH)2 (s)
M(CN)4-2 + 4H2O2 + 2OH
CNO- + 2H2O NH4+ + CO32dimana M adalah kation logam, seperti Cu dan Zn. Katalis tembaga biasanya terdapat
secara alami di limbahnya sebagai Cu(CN)2-, atau ditambahkan sendiri (Dzombak et. al.,
2006, hlm 400).
Hidrogen peroksida yang dibutuhkan untuk oksidasi bisa sekitar 200 hingga 450% dari
jumlah yang dibutuhkan pada stoikiometri. Hal ini disebabkan karena hidrogen peroksida
dapat mengoksidasi material lain selain sianida, dan juga hidrogen peroksida mudah
terurai menjadi oksigen dan air (Dzombak et. al., 2006, hlm 400).
Tsang et. al. (2012, hlm 78) menginvestigasi penggunaan hidrogen peroksida untuk
menghilangkan sianida bebas pada tanah. Hidrogen peroksida yang digunakan adalah
konsentrasi 30%. Berikut ini adalah hasil dari studi tersebut:
Gambar 7. Pengaruh jumlah klorin dioksida terhadap penghilangan sianida bebas pada
tanah, (perbandingan mL larutan ClO2 terhadap g tanah) (Tsang et. al., 2012, hlm 78).
Didapat bahwa perbandingan 1:200 larutan ClO2 (mL) terhadap tanah (g) mampu
mengoksidasi sianida secara efektif dalam waktu yang relatif singkat, yaitu setengah jam.
Klorin dioksida juga merupakan oksidator paling ekonomis karena jumlah yang
dibutuhkan jauh lebih sedikit daripada kaporit maupun hidrogen peroksida (Tsang et. al.,
2012, hlm 77).
D. SOIL WASHING
Pencucian tanah adalah teknik memisahkan dan membersihkan tanah yang terkontaminasi dan
dapat digunakan untuk membersihkan berbagai kontaminan organik dan anorganik seperti
hidrokarbon, logam dan kontaminan lain. Hal ini dapat mengurangi volume tanah yang
terkontaminasi membutuhkan pembuangan hingga 90% dan memungkinkan tanah
dibersihkan untuk digunakan kembali ke tempat asalnya.
Pencucian tanah paling cocok untuk tanah dengan kandungan granular tinggi, biasanya di
bawah 30%. Hal ini juga dapat digunakan sebagai proses untuk menangani tanah yang
tercemar limbah berbahaya, sehingga cocok untuk pembuangan TPA lokal (edie.net).
Proses pencucian tanah merupakan suatu pendekatan fisik-kimia yang mengacu pada proses
mineral pertambangan. Tanah merupakan suatu bentuk campuran alami dari partikel mineral
dan organik derivatifnya.
Tujuan dari soil washing adalah untuk mengolah keseluruhan volume tanah tercemar. Material
kontaminan yang terlalu besar terlebih dahulu dihilangkan dengan berbagai teknik mekanis,
sedangkan pasir dipisahkan dari campuran lain yang lebih halus dengan menggunakan
teknologi hidrocyclone untuk selanjutnya diolah dengan sesuai dengan keperluan dengan
proses-proses; attritioners, flotation, dan spiral concentrators untuk selanjutnya dikeringkan.
Fraksi pasir dan fraksi lainnya yang terlalu besar kemudian diambil untuk dianalisis menurut
teknik khusus yang disesuaikan dengan kondisi di lapangan, apabila telah mencapai standart
yang telah disyaratkan maka dikembalikan ke lokasa semula sebagai clean backfill.
Bersamaan dengan itu, fraksi fine dikonsolidasi dan dikeringkan menjadi sludge cake, atau
diolah lebih lanjut dengan proses bioslurry atau ekstraksi. Secara tipikal, sistem soil washing
ini diukur melalui pengurangan volume yang dapat dicapai dengan cara menimbang produk
bersih dari material berukuran besar dan pasir, dengan persamaan 1 berikut ;
% reduksi volume =
Sistem pencucian tanah disusun sebagai derivatif dari sistem pertambangan dan peralatan
penanganan material yang ada (ITRC, 1997).
To Water Treatment
Unit
Langkah 3 :
Tanah dicuci menggunakan air. Jumlah air dan kecepatan air yang digunakan bervariasi,
tergantung kondisi tanah dan cemaran sianida yang terdapat di tanah. Variabel ini biasanya
ditentukan terlebih dahulu dari data percobaan laboratorium.
Aditif juga dapat ditambahkan untuk meningkatkan kemampuan pembersihan sianida.
Biasanya aditif itu adalah oksidator kuat. Selain itu, aditif juga dapat berupa asam/basa untuk
mengontrol pH tanah, biasanya adalah NaOH.
Langkah 4 :
Tanah yang sudah dicuci hingga kandungan sianidanya sudah memenuhi ketentuan minimal
siap dikembalikan lagi ke tempatnya semula.
Langkah 5 :
Air bilasan yang kini mengandung sianida dihilangkan kandungan sianidanya pada unit
pengolahan air. Air yang telah bersih kemudian di-recycle untuk membilas tanah kembali
(Mann & Michael, 2000).
Berikut ini adalah flow diagram untuk soil washing:
DAFTAR PUSTAKA