Anda di halaman 1dari 8

SUMBER : INTERNET

ARTIKEL-1 : DOKTER GIGI HANYA DIBAYAR Rp. 2.000


Hikayat angka Rp. 2.000 berkembang liar di jejaring sosial yang saat ini
sedang digandrungi dokter gigi. Ada yang mengatakan "dibayar Rp. 2.000
setiap merawat pasien" ada yang berpendapat "bukan per kedatangan tapi
per bulan dikali jumlah pasien" dan lain sebagainya.
Sistem pembayaran jasa kesehatan dalam Sistem Jaminan Kesehatan
Nasional terbagi menjadi dua yaitu sistem kapitasi dan sistem non-kapitasi
(klaim). Tarif kapitasi adalah besaran pembayaran per-bulan yang dibayar
dimuka oleh BPJS Kesehatan kepada fasilitas kesehatan tingkat pertama
berdasarkan jumlah peserta yang terdaftar tanpa memperhitungkan jenis
dan jumlah pelayanan kesehatan yang diberikan.
Tarif non-kapitasi adalah besaran pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan
kepada fasiltas kesehatan tingkat pertama berdasarkan jenis dan jumlah
pelayanan kesehatan yang diberikan.
Khusus untuk fasilitas kesehatan tingkat lanjutan berlaku tarif Indonesia
Cased Based Groups (INA-CBG's) yaitu besaran pembayaran klaim oleh BPJS
Kesehatan kepada fasilitas kesehatan tingkat lanjutan atas paket layanan
yang didasarkan kepada pengelompokan diagnosis penyakit.
Standar tarif pelayanan kesehatan pada fasilitas kesehatan tingkat pertama
maupun lanjutan dalam penyelenggaraan Sistem Jaminan Kesehatan
ditetapkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 69 Tahun 2013
tertanggal 1 November 2013.
Dalam Lampiran I peraturan tersebut disebutkan bahwa tarif kapitasi di
Puskesmas atau fasilitas kesehatan yang setara adalah Rp. 3.000 sampai Rp.
6.000. Tarif di rumah sakit pratama, klinik pratama, praktek dokter atau
fasilitas kesehatan yang setara adalah Rp. 8.000-Rp. 10.000. Bagi dokter gigi
yang praktik di luar kedua jenis fasilitas kesehatan tersebut tarifnya Rp.
2.000.
Untuk memperjelas urusan tarif ini Menteri Kesehatan mengeluarkan Surat
Edaran Nomor HK/Menkes/31/I/2014 yang menegaskan bahwa tarif kapitasi
Rp. 6.000 di Puskesmas atau Rp. 10.000 di Klinik telah termasuk layanan
kesehatan gigi. Sedangkan tarif Rp. 2.000 hanya bagi dokter gigi yang
praktek di luar fasilitas kesehatan tersebut..

Dalam Surat Edaran tersebut juga diatur secara khusus tarif alat bantu
kesehatan diluar INA-CBG's yaitu untuk protesa gigi maksimal Rp. 1.000.000
untuk yang penuh dan Rp. 500.000 untuk yang sebagian.
Dalam Lampiran II Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 69 Tahun 2013 diatur
standar tarif kesehatan di fasilitas kesehatan lanjutan (rumah sakit)
berdasarkan INA-CBG's yang untuk gigi dan mulut ternyata hanya muncul
beberapa item saja, yaitu Gigi (Q 5 12 0) sebesar Rp. 457.779, Prosedur
pada Gigi (U 3 16 0) sebesar Rp. 624.211, Operasi Bibir Sumbing dan LangitLangit Mulut (U 2 14 0) sebesar Rp. 1.298.560, Prosedur Besar pada Telingga,
Hidung, Mulut dan Tenggorokan (U 2 21 0) Rp. 860.157, Prosedur Sedang
pada Telingga, Hidung, Mulut dan Tenggorokan (U 2 22 0) Rp. 1.659.805,
Prosedur Besar pada Mulut dan Lidah (U 2 31 0) Rp. 563.772, serta Prosedur
Kecil pada Mulut dan Lidah (U 2 32 0) Rp. 697.728.
Merujuk pada berbagai aturan yang diuraikan di atas jelaslah bahwa jasa
untuk dokter gigi dalam Sistem Jaminan Kesehatan Nasional ini bukanlah Rp.
2.000 per-bulan per-peserta tetapi lebih kecil dari itu.
Pembayaran kapitasi tentu meliputi obat, alat, bahan, serta jasa medis untuk
semua aktifitas baik umum, gigi, maupun kebidanan, sehingga yang Rp.
6.000 atau Rp. 10.000 akan dibagi-bagi sesuai alokasi.
Untuk memastikan dokter serta pegawai Puskesmas / Klinik mendapat
bagian dari dana JKN, Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2014 Pasal 12
Ayat (4) mengamanatkan bahwa besar jasa pelayanan kesehatan adalah
60% dari total penerimaan kapitasi JKN.
Sementara itu Rp. 2.000 tenyata adalah pembayaran bagi dokter gigi yang
praktek diluar fasilitas kesehatan itupun sudah termasuk bahan dan alat
habis pakai. Sedangkan Bagi dokter gigi yang bekerja di rumah sakit dengan
pola tarif INA-CBG's besaran jasa diatur dengan mekanisme jasa medis.
Bagi dokter gigi yang praktek mandiri provider BPJS perhitungan
penerimaannya sederhana yaitu Rp. 2.000 X jumlah peserta, misal peserta
5.000 orang maka akan mendapat Rp. 10.000.000. Bagi dokter gigi
Puskesmas, klinik, dan rumah sakit besar jasanya mengunakan mekanisme
jasa medis yang besarnya sangat tergantung dari pengaturan internal yang
dibuat. *Dentamedia No 1 Vol 18 Jan-Mar 2014. Naskah: BPJS Kesehatan,
Kemkes, Kosterman Usri. Foto: Suara.com

ARTIKEL-2 : SYARAT IZIN KLINIK GIGI TERLALU BERAT


Di ruang kuliah sebuah Fakultas Kedokteran Gigi ternama, seorang dosen
berpesan pada anak didiknya, apabila kelak saat awal menjadi dokter gigi
tidak memiliki cukup modal, berkongsilah dengan teman sejawat lain untuk
praktek berkelompok, dengan bersama, modal akan menjadi ringan.
Namun agaknya petuah sang dosen saat ini menjadi sulit untuk diterapkan.
Bentuk Praktek Berkelompok landasan hukumnya telah dicabut, kini hanya
dikenal satu bentuk praktek bersama yaitu "Klinik", yang sayangnya
syaratnya cukup berat dan modalnyapun tidak akan sesuai dengan porsi
kemampuan dokter gigi muda yang justru tidak memiliki modal untuk
praktek mandiri.
Yang menjadi pangkal beratnya syarat izin klinik adalah Permenkes Nomor
028/Menkes/Per/I/2011 tentang Klinik. Di awal kemunculannya Perminkes ini
disambut gembira kalangan dokter gigi karena Klinik Gigi yang selama ini
tidak payung hukumnya menjadi terlindungi oleh Permenkes baru tersebut.
Sebelumnya pemerintah tidak mengenal istilah klinik gigi, dalam Permenkes
Nomor 920/Menkes/Per/XII/1986 yang sekarang sudah dinyatakan tidak
berlaku digunakan istilah balai pengobatan, aturan lama ini juga sama sekali
tidak mengakomondasi pelayanan kesehatan gigi sehingga tidak dikenal
istilah balai pengobatan gigi.
Permenkes 028/Menkes/Per/I/2011 tidak lagi menggunakan istilah balai
pengobatan, digantikan dengan istilah "klinik" yang memang lebih populer
ditengah masyarakat. Aturan ini pula memungkinkan sebuah klinik
mengkhususkan diri pada disiplin ilmu, umur, organ, atau penyakit tertentu;
sehingga keberadaan klinik gigi menjadi terakomondasi. Segi positif lainnya
dari Permenkes baru adalah diperbolehkannya seorang dokter gigi untuk
memimpin klinik campuran yang di dalamnya ada dokter umum dan dokter
gigi.
Menurut aturan baru, klinik dibagi menjadi dua jenis yaitu klinik pratama dan
klinik utama. Klinik pratama hanya menyelenggarakan pelayanan medik
dasar sedangkan klinik utama menyelenggarakan pelayanan medik dasar
dan/atau spesialistik. Untuk klinik umum kini boleh menerima pasien rawat
inap seperti layaknya rumah sakit, tetapi maksimal 5 hari perawatan.
Dari segi sumber daya manusia, di sebuah klinik harus ada lebih dari satu
jenis tenaga kesehatan serta lebih dari satu tenaga medis, jadi minimal 2
dokter gigi ditambah perawat gigi dan apoteker yang semuanya memiliki izin

praktek/kerja dari Dinas Kesehatan. Apoteker diperlukan karena dalam


aturan baru semua klinik dipersyaratkan memiliki ruang farmasi yang
dipimpin seorang apoteker. Khusus untuk Klinik Utama dari tiap macam
spesialis minimal ada seorang dokter gigi spesialis.
Dari sekian banyak syarat klinik, berdasarkan hasil penelusuran Dentamedia,
setidaknya ada enam syarat yang dianggap menyulitkan dalam pengurusan
izin pendirian klinik gigi, terutama bagi dokter gigi bermodal kecil.
Bangunan Khusus
Selama ini banyak klinik gigi yang berbentuk Ruko ataupun bahkan menyatu
dengan rumah tinggal. Pasal 8 Permenkes Nomor 028/Menkes/Per/I/2011
tentang Klinik secara tegas menyebutkan "Klinik diselenggarakan pada
bangunan yang permanen dan tidak bergabung dengan tempat tinggal atau
unit kerja lainnya".
IPPT
Pasal 7 Permenkes Nomor 028/Menkes/Per/I/2011 tentang Klinik
menyebutkan " Lokasi pendirian klinik harus sesuai dengan tata ruang
daerah masing-masing". Ketentuan ini menyebabkan calon pemilik klinik
harus mengurus Izin Peruntukan Penggunaan Tanah (IPPT).
Izin Lokasi
Pasal 21 Ayat (3) Butir d Permenkes Nomor 028/Menkes/Per/I/2011 tentang
Klinik menyebutkan "Surat Keterangan persetujuan lokasi dari pemerintah
daerah setempat". Di Pemerintah Daerah, izin ini dikenal sebagai Izin Lokasi,
dapat dimohonkan setelah pemohon memiliki IPPT.
UKL/UPL
Pasal 21 Ayat (3) Butir f Permenkes Nomor 028/Menkes/Per/I/2011 tentang
Klinik menyebutkan "Dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan
Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL). Walaupun biaya pengurusan UKL/UPL
tidak mahal tetapi Pemerintah Daerah mensyaratkan UKL/UPL harus dibuat
oleh konsultan terdaftar, yang ternyata ongkos jasanya sangat mahal.
IMB Harus Sesuai
Walaupun dalam Permenkes Nomor 028/Menkes/Per/I/2011 tentang Klinik
tidak tertulis persyaratan harus adanya Izin Mendirikan Bangunan (IMB)

tetapi IMB merupakan syarat pengurusan UKL/UPL dan pada IMB harus
tertulis peruntukan bangunan memang untuk klinik.
Izin Edar Peralatan Medis
Pasal 11 Ayat (3) Permenkes Nomor 028/Menkes/Per/I/2011 tentang Klinik
menyebutkan "Selain memenuhi standar sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) peralatan medis harus memiliki izin edar sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan. Masalahkan penjual bahkan importir alat ternyata
banyak yang tidak memilikinya.
Apoteker
Walaupun di Klinik Gigi, obat hanya kadang-kadang diberikan dan itupun
terbatas pada golongan tertentu saja tetapi Pasal 24 Ayat (3) Permenkes
Nomor 028/Menkes/Per/I/2011 tentang Klinik mewajibkan Klinik Gigi memiliki
tenaga Apoteker. Masalahnya gaji Apoteker telah ditetapkan oleh Ikatan
Apoteker Indonesia (IAI)
yang cukup memberatkan pemilik klinik.
*Dentamedia No 3 Vol 17 Jul-Sep 2013. Naskah: Kosterman Usri. Foto:
Bisnissolo

ARTIKEL-3 : PERAWAT GIGI BOLEH PRAKTEK MANDIRI


Permenkes No. 58 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pekerjaan Perawat
Gigi menyebutkan bahwa perawat gigi sebagai salah satu tenaga kesehatan
diperbolehkan menyelenggarakan praktek mandiri tanpa harus berkolaborasi
dengan dokter gigi.
Untuk dapat praktek, seorang perawat gigi harus memiliki Sertifikat
Kompetensi, Surat Tanda Registrasi Perawat Gigi (STRPG), serta Surat Izin
Kerja Perawat Gigi (SIKPG) bagi perawat gigi yang akan bekerja di fasilitas
pelayanan kesehatan atau Surat Izin Praktek Perawat Gigi (SIPPG) bagi yang
akan melakukan praktek mandiri.
Perawat gigi yang praktek di sarana pelayanan kesehatan dengan SIKPG
memiliki kewenangan : upaya peningkatan kesehatan gigi dan mulut, upaya
pencegahan penyakit gigi, tindakan medis dasar pada kasus penyakit gigi
terbatas, serta pelayanan higiene kesehatan gigi. Untuk perawat gigi yang
praktek mandiri dengan SIPPG hanya memiliki kewenangan upaya
peningkatan kesehatan gigi dan mulut serta upaya pencegahan penyakit gigi
saja.

Upaya peningkatan kesehatan gigi dan mulut meliputi penyuluhan kesehatan


gigi dan mulut kepada individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat;
pelatihan kader; serta penggunaan alat peraga gigi.
Upaya pencegahan penyakit gigi meliputi pemeriksaan plak; teknik sikat gigi
yang baik; pembersihan karang gigi; pencegahan karies gigi dengan fluor
dengan teknik kumur-kumur dan pengolesan fluor pada gigi; dan pengisian
pit dan fissure gigi dengan bahan fissure sealant.
Kedua upaya diatas boleh dilakukan oleh perawat gigi dengan SIKPG maupun
SIPPG. Sementara itu tindakan medis dasar pada kasus penyakit gigi
terbatas serta pelayanan higiene kesehatan gigi hanya boleh dilakukan oleh
perawat gigi dengan SIKPG di fasilitas pelayanan kesehatan.
Tindakan medik dasar pada kasus penyakit gigi terbatas meliputi: tindakan
kegawatdaruratan pada kasus gigi dan mulut sesuai dengan standar
pelayanan serta perawatan pasca tindakan yang hanya dapat dilakukan
berdasarkan permintaan dari dokter gigi.
Pelayanan higiene kesehatan gigi meliputi: higiene petugas kesehatan gigi
dan mulut, sterilisasi alat-alat kesehatan gigi, pemeliharaan alat-alat
kesehatan gigi, lingkungan kerja; dan pencegahan infeksi silang..
perlu diingat kewenangan perawat gigi dibatasi hanya pada upaya
peningkatan kesehatan gigi dan mulut serta upaya pencegahan penyakit
gigi.
Aturan baru ini tentu menimbulkan pro dan kontra terutama di kalangan
dokter gigi, namun jika ditanggapi dengan positif, perawat gigi yang
menyelenggarakan praktek mandiri bisa menjadi solusi untuk meningkatkan
taraf kesehatan gigi dan mulut masyarakat, mengingat masih kurangnya
tenaga dokter gigi. Namun tentu saja diperlukan pengawasan dari regulator
dan organisasi profesi agar praktek mandiri perawat gigi seperti juga
praktek dokter gigi tidak keluar dari batas kewenangan dan kompetensinya.
*Dentamedia No 2 Volume 17 Apr-Jun 2013. Naskah: Kosterman Usri, Nadia
Faradiba. Foto: Eriska Riyanti

ARTIKEL-4 : DOKTER TAKUT TEKOR, INI JAWABAN BPJS


KOMPAS.com Sistem asuransi kesehatan jaminan kesehatan nasional (JKN)
2014 sudah resmi dilaksanakan pada 1 Januari 2014. Kendati sistem ini

menjamin pelayanan kesehatan yang diperoleh masyarakat, pelaksanaan


JKN 2014 masih menimbulkan kekhawatiran. Salah satunya mengenai
besaran pendapatan yang diterima dokter.
Biaya kapitasi dan INA-CBGs yang terlalu kecil berisiko menyebabkan
dokter tekor. Kalau sudah begitu dokter tidak mampu lagi memenui
kebutuhan sehari-hari. Padahal kita juga perlu mengikuti kursus untuk
menambah pengetahuan, kata Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter
Indonesia (PB-IDI), Zainal Abidin, pada KOMPAS Health Senin (6/1/2013).
Kekhawatiran ini dibantah PT Askes sebagai penyelenggara BPJS Kesehatan.
Menurut Direktur Pelayanan PT Askes (persero), Fadjriadinur besaran biaya
kapitasi untuk fasilitas layanan primer dan Indonesia Case Based Groups
(INA-CBGs) untuk fasilitas kesehatan tingkat lanjut, sudah sesuai dan
memberi manfaat bagi dokter maupun pasien.
Sebetulnya pelaksanaan JKN 2014 tidak perlu membuat dokter khawatir,
karena tidak perlu lagi mengumpulkan banyak pasien seperti fee for
services, ujarnya.
Tarif kapitasi dihitung berdasarkan jumlah peserta terdaftar, tanpa
memperhitungkan jenis dan jumlah pelayanan kesehatan yang diberikan.
Tarif ini terdiri atas Rp. 3 ribu Rp. 6 ribu untuk puskesmas, Rp. 8 ribu Rp.
10 ribu untuk klinik pratama, praktek dokter, atau dokter praktek beserta
jaringannya, dan Rp 2 ribu untuk praktik dokter gigi mandiri. Perbedaan
didasarkan atas kelengkapan fasilitas dan kapasitas pasien pada tiap
layanan kesehatan.
Ada beberapa pembeda salah satunya dokter gigi. Fasilitas kesehatan yang
punya dokter gigi akan memperoleh kapitasi lebih besar. Pembeda lain
adalah jumlah dokter dan lamanya layanan dibuka untuk umum, kata
Fadjriadinur, pada temu media yang membahas BPJS Kesehatan di Jakarta
pada Senin (6/1/2013).

Pendapatan dokter layanan primer, lanjutnya, akan bergantung pada sisa


biaya kapitasi. Makin sedikit masyarakat yang sakit, maka biaya kapitasi
yang digunakan untuk mengobati penyakit semakin kecil. Sehingga sisa
biaya, yang salah satunya digunakan untuk membayar jasa medik dokter,
bisa semakin besar.

Dokter layanan primer memang tidak memiliki pemasukan tetap karena


biaya kapitasi yang mungkin berubah tiap bulannya. Di sinilah dokter
layanan primer rmemfungsikan diri sebagai dokter keluarga, yang
merupakan care manager. Dia dituntut melakukan upaya promotif dan
preventif, sekaligus menjalin jejaring sehingga biaya kapitasi layanannya
bisa lebih besar, kata Fajriadinur.
Satu dokter layanan primer, kata Fajriudin, idealnya melayani 5.000
penduduk. Bila pada layanan tersebut ada 2-3 dokter, maka tanggungan
pasien bisa menjadi 10.000- 15.000 jiwa. Dengan biaya kapitasi 8.000, maka
anggaran fasitas kesehatan tersebut berkisar Rp. 80.000.000 Rp.
120.000.000. Bila yang sakit hanya 3.000 penduduk maka kapitasi yang
keluar adalah Rp, 24.000.000, sehingga layanan primer memiliki sisa kapitasi
Rp.56.000.000 - Rp. 96.000.000. Jumlah itulah yang kemudian mejadi
pemasukan dokter, setelah dikurangi biaya operasional lain yang berbeda di
tiap wilayah.
Sementara dokter di tingkat layanan lanjut dibayar melalui sistem
renumerasi, yang merupakan kesepakatan antara dokter dan manajemen
rumah sakit swasta maupun pemerintah. Tarif renumerasi tersebut dibayar
dengan harga paket yang ada dalam INA-CBGs, termasuk penggunaan obat
dan fasilitas lainnya. Tarif rumahsakit A, B, C, dan D berbeda bergantung
pada fasilitas dan kapasitas di rumah sakit tersebut.
Tarif ini nantinya mirip gaji bulanan dan diterima dalam jumlah tetap, tak
bergantung pada banyaknya pasien yang datang seperti fee for services.
Sistem ini memungkinkan pasien terdistribusi merata pada seluruh dokter.
Banyaknya paket yang diambil bisa menyesuaikan dengan jumlah dokter
serupa di layanan kesehatan tersebut, kata Fajriudin.
Meski dokter layanan primer terkesan tidak memperoleh pemasukan tetap,
layaknya dokter pada layanan tingkat lanjut, namun hal tersebut secara
perlahan menurut Fajriudin akan membaik dan menemukan pola yang
cenderung tetap.
Dengan pengaturan ini, diharapkan dokter tak lagi khawatir pada jumlah
pemasukan. Apalagi sistem ini masih membuka kemungkinan dokter
berpraktek di tempat lain, dengan jumlah maksimal 3 lokasi.

Anda mungkin juga menyukai