Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN
Sindroma Stevens-Johnson merupakan suatu sindroma (kumpulan gejala) yang
mengenai kulit,selaput lendIr di orificium dan mata dengan keadaan umum yang bervariasi
dari ringan sampai berat. Penyakit ini bersifat akut dan pada bentuk yang berat dapat
menyebabkan kematian, Oleh karena itu penyakit ini merupakan salah satu kegawat daruratan
penyakit kulit. Sindrom ini dianggap sebagai jenis dari Eritema Multiforme. 3
Ada berbagai sinonim yang digunakan untuk penyakit ini, diantaranya Ektoderma
Eerosive Pluriorifisialis, Sindroma Mukokutanea-Okuler, Eritema Multiformis tipe Hebra,
Eritema Mulitiforme Exudatorum danEeritema Bulosa Maligna. Meskipun demikian yang
umum digunakan ialah Sindroma Stevens- Johnson. 3
Nekrolisis epidermal toksik (N.E.T) umumnya meerupakan penyalit yang berat, lebih
berat daripada sindrom steven Johnson (S.S.J), sehingga jika pengobatannya tidak cepat dan
tepat sering menyebabkan kematian. Insidennya lmjuga makin meningkat karena penyebab
utamanya alergi obat dan hampir semua obat dapat dibeli bebas. Dahulu Staphylococcal
Scaled Skin Sindrom (S.S.S.S) dimasukkan di dalam N.E.T., tetapi sekarang dipisahkan
karena therapi dan prognosis berbeda. 2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. SINDROM STEVEN JOHNSON
1.1 DEFINISI
Sindrom Stevens Johnson merupakan sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di
orifisum, dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat kelainan pada
kulit berupa eritema, vesikel/bula dapat disertai purpura. 1
1.2 ETIOLOGI
Penyebab yang pasti belum diketahui, dikatakan Multifaktorial. Ada yang
beranggapan bahwa sindrom ini merupakan Eritema Multiforme yang berat dan disebut
Eritema Multiforme Mayor, sehingga dikatakan mempunyai penyebab yang sama. Beberapa
factor yang dapat menyebabkan timbulnya sindrom ini antara lain: 3
1. Infeksi
a.Virus
Sindrom Stevens-Johnson dapat terjadi pada stadium permulaan dari infeksi salauran
nafas atas oleh virus pneumonia. Hal ini dapat terjadi pada Asian flu ,Lympho Granuloma
Venerium, Measles, Mumps dan vaksinasi Smallpox virus. Virus-virus Coxsackie, Echovirus
dan Poliomyelitis juga dapat menyebabkan Sindroma Stevens-Johnson. 3
b.Bakteri
Beberapa bakteri yang mungkin dapat menyebabkan Sindroma Stevens- Johnson ialah
Brucellosis,Dyptheria,

Erysipeloid,

Glanders,

Pneumonia,

Psittacosis,

Tuberculosis,

Tularemia,Lepromatous Leprosy atau Typhoid Fever. 3


c.Jamur
Coccidiodomycosis dan Histoplasmosis dapat menyebabkan Eritema Multiforme
Bulosa, yang pada keadaan berat juga dikatakan sebagai Sindroma Stevens-Johnson. 3

d.Parasit
Malaria dan Trichomoniasis juga dikatakan sebagai agen penyebab. 3
2. Alergi Sistemik terhadap:
a.Obat
Berbagai obat yang diduga dapat menyebabkan Sindrom Stevens-Johnson antara lain:
Penisilin dan derivatnya, Streptomysin, Sulfonamide, Tetrasiklin, Analgesik/antipiretik
(misalnya Derivat Salisilat ,Pirazolon, Metamizol, Metampiron dan Paracetamol), Digitalis,
Hidralazin, Barbiturat(Fenobarbital), Kinin Antipirin ,Chlorpromazin ,Karbamazepin dan
jamu-jamuan. 3
b.Zat tambahan pada makanan (Food Additive) dan zat warna 3
c.Kontaktan:
Bromofluorene, Fire sponge(Tedania Ignis) dan rhus(3- Pentadecylcatechol). 3
d.Faktor Fisik:
Sinar X, sinar matahari, cuaca dan lainlain. 3
3. Penyakit penyakit Kolagen Vaskuler. 3
4. Pasca vaksinasi :
BCG, Smallpox dan Poliomyelitis.3
5. Penyakit-penyakit keganasan :
Karsinoma penyakit Hodgkins, Limfoma, Myeloma, dan Polisitemia.
6. Kehamilan dan Menstruasi.
7. Neoplasma.

8. Radioterapi.
Pada sebagian penderita tidak diketahui penyebabnya. Yang diduga sebagai penyebab
tersering ialah alergi Sistematik terhadap obat dan infeksi.
1.3 PATOGENESA
Patogenesanya belum jelas, mungkin disebabkan oleh reaksi alergi tipe III dan IV.
Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya kompleks Antigen Antibodi yang membentuk
Mikropresipitasi sehingga terjadi aktivasi sistim komplemen. Akibatnya terjasi Akumulasi
Neutrofil yang kemudian melepaskan Lisosim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada
organ sasaran ( Target Organ ) . 3
Reaksi tipe I V terjadi akibat Limposit T yang tersensitisasi berkontak kembali dengan
antigen yang sama, kemudian Limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang. 3

1.4 HISTOPATOLOGI
Gambaran Histopatologinya sesuai dengan Eritema Multiforme, bervariasi dari
perubahan Dermal yang ringan sampai Nekrolisis Epidermal yang menyeluruh.
Kelainan berupa : 1,3
1. Infiltrat Sel Mononuklear disekitar pembuluh pembuluh darah Dermis Superfisial.
2. Edema dan Ekstravasasi sel darah merah di Dermis Papular.
3. Degenerasi Hidrofik lapisan Basalis sampai terbentuk Vesikel Subepidermal.
4. Nekrosis sel Epidermal dan kadang kadang di Adnexa.
5. Spongiosis dan Edema Interasel di Epidermis.
Pemeriksaan histopatologi tidak penting untuk diagnosis, karena kelainannya
sesuai dengan Eritema Multiforme. 3
1.5 IMUNOLOGI
Pada sebagian besar kasus terdapat kompleks Imun yang mengandung Ig G, Ig M, Ig
A secara sendiri atau dalam kombinasi. Beberapa kasus menunjukan deposit Ig M dan C3 di
pembuluh darah Dermal Superfisial dan pada pembuluh darah yang mengalami kerusakan. 3

1.6 GEJALA KLINIS


Perjalanan penyakit sangat akut dan mendadak dapat di sertai gejala prodromal
berupa demam tinggi ( 30 C 40 C ), mulai nyeri kepala, batuk ,pilek dan nyeri tenggorokan
yang dapat berlangsung 2 minggu. Gejala gejala ini dengan segera akan menjadi berat yang
ditandai meningkatnya kecepatan nadi dan pernafasan, denyut nadi melemah, kelemahan
yang hebat serta menurunnya kesadaran, soporous sampai koma.
Pada sindroma ini terlihat adanya trias kelainan berupa :
a. Kelainan kulit. 1,3
Kelainan pada kulit dapat berupa Eritema, vesikal, dan bulla. Eritema berbentuk
cincin (pinggir Eritema tengahnya relative hiperpigmentasi ) yang berkembang menjadi
urtikari atau lesipapuler berbentuk target dengan pusat ungu atau lesi sejenis dengan
vesikel kecil. Vesikel kecil dan Bulla kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas.
Disamping itu dapat juga terjadi Erupsi Hemorrhagis berupa Ptechiae atau Purpura. Bila
disertai Purpura - prognosisnya menjadi lebih buruk. Pada keadaan yang berat kelainannya
menjadi Generalisata. Kelainan selaput lendir di orifisium yang tersering ialah pada
mukosa mulut / bibir (100%), kemudian disusul dengan kelainan dilubang alat genetalia
(50%), sedangkan di lubang hidung dan anus jarang (masing masing 8%-4%).
b. Kelainan selaput lendir di orifisium. 1,3
Kelainan yang terjadi berupa Stomatitis
dengan vesikel pada bibir, lidah, mukosa
mulut bagian Buccal Stomatitis merupakan
gejala yang dini dan menyolok. Stomatitis ini
kemudian

menjadi

lebih

berat

dengan

pecahnya vesikel dan Bulla sehingga terjadi


erosi, excoriasi, pendarahan, ulcerasi dan

Krusta pada bibir

terbentuk krusta kehitaman. Juga dapat terbentuk pseudomembran. Di bibir kelainan yang
sering tampak ialah krusta berwarna hitam yang tebal. Adanyastomatitis ini dapat
menyebabkan penderitaan sukar menelan. Kelainan Dimukosa dapat juga terjadi di Faring,
Traktus Respiratorius bagian atas dan Esophagus. Terbentuknya Pseudo membrane di
Faring dapat memberikan keluhan sukar bernafas dan penderita tidak dapat makan dan
minum.

c. Kelainan mata. 1,3


Kelainan pada mata merupakan 80% diantar semua kasus, yang sering terjadi ialah
Conjunctivitis Kataralis. Selain itu dapat terjadi Conjunctivitis Purulen, pendarahan,
Simblefaron , Ulcus Cornea, Iritis/Iridosiklitis yang pada akhirnya dapat terjadi kebutaan
sehingga dikenal trias yaitu Stomatitis, Conjuntivitis, Balanitis, Uretritis.
Pernah dilaporkan pada beberapa kasus dapat tanpa disertai kelainan kulit,
penderita ini hanya menunjukan Stomatitis, Rhinitis dengan Epistaxis, Conjunctivitis dan
kadang kadang Uretritis. Tapi pada hamper semua kasus diikuti kelainan kulit berupa
Vesiko Bulosa atau Erupsi Hemorrhagis, khususnya pada wajah, tangan dan kuku.
Selain trias kelainan diatas organ organ dala m juga dapat di serang, misalnya
paru, Gastrointestinal, Ginjal (Nefritis) dan Onikolisis. 3
1.7 DIAGNOSA
Diagnosa dapat dibuat berdasarkan anamnesa dan gambaran klinis. Pada Anamnesa
hendaknya ditanyakan secara teliti apakah ada hubungannya dengan alergi obat secara
sistemik. Pada kasuskasus dimana telah mengalami dua kali reaksi alergi dengan obat yang
sama membuktikan bahwa memang obat tersebutlah yang menjadipenyebabnya. Gambaran
Klinis khas berupa adanya trias kelainan yaitu kelainan pada kulit, selaput lendir orifisium
dan mata. Keadaan Umum penderita bervariasi dari ringan sampai berat. 3
Pemeriksaan laboratorium darah dapat membantu memperkirakan kemungkinan
penyebab meskipun tidak khas. Jika terdapat lekositosis menunjukkan penyebabnya
kemungkinan karena infeksi. Bila terdapat Eosinofilia kemungkinan karena alergi. Jika
disangka penyebabnya. 3
1.8 DIAGNOSA BANDING
Beberapa penyakit yang dapat merupakan diagnosa banding Sindrom StevensJohnson ialah:
1. Nekrolisisi Epidermal Toksik (NET)
Penyakit ini sangat mirip dengan Sindrom Stevens- Johnson. Pada NET terdapat
Epidemolisis (Epidermis terlepas dari dasarnya) yang menyeluruh dan keadaan umum
penderita biasanya lebih buruk/berat. 1.3

2. Pemfigus Vulgaris
Sering dijumpai pada orang dewasa, keadaan umum buruk, tidak gatal, bula
berdinding kendor dan biasanya generalisata. 3
3. Pemfigoid Bulosa
Pada penyakit ini keadaan umumnya baik, dinding bula tegang,
letaknya subepidermal. 3
4. Dermatitis Herpertiformis
Didapatkan keadaan umum yang baik, keluhan dengan gatal dan dinding
vesikel/bula tegang dan berkelompok. 3
1.9 PENATALAKSANAAN
Menurut penelitian yang dialkukan oleh Athuf Atha. Sindrom Stevens-Johnson
merupakan penyakit yang dapat menyebabkan kematian sehingga perlu penanganan cepat
dan tepat/optimal, mengenali dan menghentikan segera obat yang bertanggung jawab (pada
kasus yang meragukan, menghentikan semua obat yang dikonsumsi dalam 8 minggu sebelum
onset) dan merawat pasien di rumah sakit. Pasien dengan SCORTEN 01 dirawat dibangsal
dan yang lebih berat (>= 2) dirawat di unit rawat intensif. 4
Penanganan

simptomatik

suportif

yaitu

mempertahankan

keseimbangan

hemodinamik, dan mencegah terjadi komplikasi yang mengancam jiwa. Pemberian antibiotik
profilaksis tidak dianjurkan. Pasien mendapat antibiotik bila dicurigai adanya infeksi klinis,
terutama bila terjadi sepsis. Tanda awal infeksi diantaranya peningkatan jumlah bakteri pada
kultur lesi kulit, suhu tubuh mendadak turun, dan keadaan umum bertambah parah. Pemilihan
antibiotik berdasarkan hasil kultur dan antibiotik dosis tinggi dibutuhkan (karena gangguan
farmokinetik) agar mencapai level terapetik serum. Selama perawatan di rumah sakit
disarankan pemberian antikoagulan profilaksis (heparin) sepanjang masa perawatan di rumah
sakit. Pemberian antasid dilakukan untuk mengurangi kemungkinan perdarahan lambung. 4
Pemeriksaan mata dilakukan tiap hari oleh dokter spesialis mata. Air mata artifisial,
antibiotik atau tetes mata antiseptik, dan vitamin A digunakan tiap 2 jam pada fase akut, dan
dianjurkan tindakan mekanik terhadap sinekia awal. Mulut dicuci beberapa kali setiap hari
dengan antiseptik atau larutan anti jamur dan dilakukan perawatan lesi kulit.

Hindari pemakaian silver sulfadiazine dengan menggunakan antiseptik lain yaitu 0,5%
silver nitrate atau 0,05% chlorhexidine. Terapi insulin intra vena dibutuhkan bila terjadi
gangguan glycoregulation. 4
Namun pada umumnya penanganan terhadap penderita Sindrom Steven Johnson
sebagai berikut:
1. Kortikosteroid
Penggunaan obat Kortikosteroid merupakan tindakan life-saving. Pada Sindrom
Stevens Johnson yang ringan cukup diobati dengan Prednison dengan dosis 30-40mg/hari.
Pada bentuk yang berat, ditandai dengan kesadaran yang menurun dan kelainan yang
menyeluruh, digunakan Dexametason intravena dengan dosis awal 4-6x5 mg/hari.
Setelah beberapa hari (2-3 hari) biasanya mulai tampak perbaikan (masa kritis telah
teratasi),ditandai dengan keadaan umum yang membaik,lesi kulit yang baru tidak timbul
sedangkan lesi yang lama mengalami Involusi. Pada saat ini dosis Dexametason diturunkan
secara cepat, setiap hari diturunkan sebanyak 5 mg. Setelah dosis mencapai 5 mg sehari lalu
diganti dengan tablet Prednison yang diberikan pada keesokan harinya dengan dosis 20 mg
sehari. Pada hari berikutnya dosis diturunkan menjadi 10 mg, kemudian obat tersebut
dihentikan. Jadi lama pengobatan kira-kira 10 hari. 1,3
2. Antibiotika
Penggunaan Antibiotika dimaksudkan untuk mencegah terjadinya infeksi akibat efek
Imunosupresif Kortikosteroid yang dipakai pada dosis tinggi. Antibiotika yang dipilih
hendaknya yang jarang menyebabkan alergi, berspektrum luas dan bersifat bakterisidal.
Di RS Cipto mangunkusumo dahulu biasa digunakan Gentamisin dengan dosis 2 x 60-80
mg/hari. Sekarang dipakai Netilmisin Sulfat dengan dosis 6 mg/kg BB/hari,dosis dibagi dua.
Alasan menggunakan obat ini karena pada beberapa kasus mulai resisten terhadap
Gentamisin, selain itu efek sampingnya lebih kecil dibandingkan Gentamisin. 1,3
3. Menjaga Keseimbangan Cairan, Elektrolit dan Nutrisi.
Hal ini perlu diperhatikan karena penderita mengalami kesukaran atau bahkan tidak
dapat menelan akibat lesi di mulut dan di tenggorokan serta kesadaran yang menurun. Untuk
ini dapat diberikan infuse berupa Glukosa 5% atau larutan Darrow. Pada pemberian
Kortikosteroid terjadi retensi Natrium, kehilangan Kalium dan efek Katabolik untuk
mengurangi efek samping ini perlu diberikan diet tinggi protein dan rendah garam, KCl 3 x
8

500mg/ hari dan obat obat Anabolik. Untuk mencegah penekanan korteks kelenjar Adrenal
diberikan ACTH (Synacthen depot) dengan dosis 1 mg/ hari setiap minggu dimulai setelah
pemberian Kortikosteroid. 1,3
4. Transfusi Darah
Bila dengan terapi diatas belum tampak tanda-tanda perbaikan dalam 2-3 hari, maka
dapat diberikan transfuse darah sebanyak 300-500 cc setiap hari selama 2 hari berturut-turut.
Tujuan pemberian darah ini untuk memperbaiki keadaan umum dan menggantikan
kehilangan darah pada kasus dengan purpura yang luas. Pada kasus Purpura yang luas dapat
ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg sehari intravena dan obat-obat Hemostatik. 1,3
5. Perawatan Topikal
Untuk lesi kulit yang erosive dapat diberikan Sofratulle yang bersifat sebagai protektif
dan antiseptic atau Krem Sulfadiazin Perak. Sedangkan untuk lesi dimulut/bibir dapat diolesi
dengan Kenalog in Orabase. Selain pengobatan diatas, perlu dilakukan konsultasi pada
beberapa bagian yaitu ke bagian THT untuk mengetahui apakah ada kelainan di
Faring,karena kadang-kadang terbentuk pseudomembran yang dapat menyulitkan penderita
bernafas dan sebagaian penyakit dalam. Pemeriksaan sinar X Thoraks perlu dilakukan untuk
mengetahui apakah ada kelainan pada paru, misalnya tuberculosis atau Bronchopneumonia
Aspesifik. 3
1.10 KOMPLIKASI
Komplikasi yang tersering ialah Bronchopneumonia (16%) yang dapat menyebabkan
kematian. Komplikasi yang lain ialah kehilangan cairan atau darah ,gangguan keseimbangan
elektrolit sehingga dapat menyebabkan shock .Pada mata dapat terjadi kebutaan karena
gangguan Lakrimasi. 1,3
1.11 PROGNOSIS
Dengan penanganan yang tepat dan cepat maka prognosis Sindrom Stevens-Johnson
sangat baik. Dalam kepustakaan angka kematian berkisar antara 5-15%. Dibagian kulit dan
kelamin RS Ciptomangunkusumo angka kematian hanya sekitar 3,5%. Kematian biasanya
terjadi akibat sekunder infeksi. 1,3

2. NEKROLISIS TOKSIK EPIDERMAL

2.1 DEFINISI
N.E.T

ialah penyakit berat, gejala kulit yang terpenting ialah epidermiolisis

generalisata, dapat disertai kelainan pada selaput lendir di orifisium dan mata. 2
2.2 EPIDEMIOLOGI
Dibandingkan dengan S.S.J. penyakit ini lebih jarang, di bagian kami hanya 2-3 kasus
setuap tahun. Umumnya pada orang dewasa sama dengan S.S.J 2
2.3 ETIOLOGI
Etiologinya sama dengan S.S.J. penyebab utama juga alergi obat yang berjumlah 8095% dari semua pasien. Pada penelitian selama 5 tahun (1998-2002) peyebab utama ialah
derivat penisilin (24%),disusul oleh parasetamol (17%) dan karbamazepin (14%). Penyebab
lain adalah analgetik/antipiretik yang lain, kotrimoksazol, dilantin, klorokuin, seftriakson,
jamu, dan aditif. 2

Sumber dari: http://dermnetnz.org/reactions/sjs-ten.html

10

2.4 PATOGENESIS
Menurut Djuanda N.E.T. ialah bentuk parah SSJ. Sebagai kasus kasus S.S.J.
berkembang menjadi N.E.T. demikian pula pendapat Fritsch dan Maldorado. Tentang
imunopatogenesis sama dengan S.S.J yakni merupakan reaksi tipe II (sitolitik) menurut
Coomb dan Gel. Jadi gambaran klinisnya bergantung pada sel sasaran (target cell). Gejala
utama N.E.T ialah epidermiolisis karena sel sasarannya ialah epidermis. Gejala atau tanda
yang lain dapat menyertai N.E.T. bergantung pada sel sasaran yang dikenai, misalnya akan
terjadi leukopenia bila sasarannya leukosit, dapat terlihat purpura jika rombosit menjadi sel
sasaran. 2, 6
2.5 GEJALA KLINIS
N.E.T merupakan penyakit yang berat dan sering menyebabkan kematian karena
gangguan keseimbangan cairan / elektrolit atau karena sepsis. Gejalanya mirip S.S.J. yang
berat. 2, 6
Penyakit mulai secara akut dengan gejala prodormal. Pasien tampak sakit berat
dengan demam tinggi, kesadaran menurun (soporokomatosa). Kelainan kulit mulai dengan
eritema generalisat kemudian timgul banyak vesikel dan bula, dapat pula disertai purpura.
Lesi pada kulit dapat disertai lesi pada bibir dan selaput lendir mulut berupa erosi, ekskoriasi,
dan perdarahan sehingga terbentuk krusta berwarna merah hitam pada bibir. Kelainan
semacam itu pula dapat terjadi di orifisium genitalia eksterna. Juga dapat disertaikelainan
pada mata sepertipada SSJ. 2,6
Pada N.E.T yang penting ialah terjadinya epider,iolisis, yaituepiermis terlepas dari
dasarmyayanmg kemudian menyeluruh. Gambaran klinisnya menyerupai kombusio. Adanya
epidermiolisis menyebabkan tanda Nikolskiy positif pada kulit yang eritematosa, yaitu jika
kulit ditekan dan digeser, maka kulit akan terkelupas. Epidermiolisis mudah dilihat pada
tempat yang sering terkena tekanan, yakni pada punggung dan bokong karena biasanya
pasien berbaring. Pada sebagian para pasien jelainan kulit hanya berupa epidermiolisis dan
purpura, tanpa disertai erosi, vesikel, dan bula. Kuku dapat terlepas (onikolisis). Kadang
kadang dapat terjadi perdarahan di traktus gastrointestinal. 2,6

11

2.6 DIAGNOSIS
Diagnosis dicurigai secara klinis dan diklasifikasikan berdasarkan luas permukaan
kulit yang terpisah pada batas maksimum. 2
Sebagai daerah-daerah detasemen kulit pada batas maksimum , kategori tidak selalu
dapat didefinisikan dengan pasti pada presentasi awal . Diagnosis karena itu mungkin
berubah selama beberapa hari pertama di rumah sakit . 2

Sumber: Bastuji-Garin et al. SCORTEN: A severity-of-illness score for toxic epidermal necrolysis. J
Invest Dermatol. 2000;115:149

Jika tes ini tersedia , peningkatan kadar serum granulysin diambil dalam beberapa hari
pertama dari letusan obat mungkin prediksi SJS / TEN. 2,6
Biopsi kulit biasanya diperlukan untuk mengkonfirmasi diagnosis klinis dan untuk
mengecualikan Syndrome stafilokokus tersiram air panas Kulit ( SSSS ) dan ruam umum
lainnya dengan lecet.2,6
Histopatologi menunjukkan keratinosit nekrosis ( kematian sel-sel kulit individual ) ,
ketebalan penuh epidermal / nekrosis epitel ( kematian seluruh lapisan kulit ) , peradangan
minimal ( infiltrate limfositik sangat ringan dari dermis superfisial ) . Tes immunofluoresence
langsung pada biopsi kulit negatif , menunjukkan penyakit ini bukan karena pengendapan
antibodi dalam kulit.

12

Tes darah tidak membantu untuk membuat diagnosis tetapi sangat penting untuk
memastikan nutrisi cairan dan penting telah diganti , untuk mengidentifikasi komplikasi dan
untuk menilai faktor prognostik. 6
Kelainan dapat meliputi :
-

Anemia terjadi di hampir semua kasus ( hemoglobin tereduksi ) .

Leukopenia ( mengurangi sel darah putih ) , terutama limfopenia ( limfosit berkurang)


adalah sangat umum ( 90 % ).

- Neutropenia ( penurunan neutrofil ) , jika ada , adalah tanda prognosis buruk .


-

Eosinofilia ( mengangkat jumlah eosinofil ) dan limfositosis atipikal ( tampak aneh


limfosit ) tidak terjadi .

Enzim hati agak diangkat adalah umum ( 30 % ) dan sekitar 10 % berkembang


menjadi hepatitis terbuka .

Proteinuria ringan ( protein bocor ke dalam urin ) terjadi pada sekitar 50 % . Beberapa
perubahan fungsi ginjal terjadi pada mayoritas.

Patch pengujian jarang mengidentifikasi pelakunya di SJS / TEN mengikuti pemulihan ,


dan tidak direkomendasikan . 6
SCORTEN
Scorten adalah skor keparahan penyakit yang telah dikembangkan untuk memprediksi
kematian di SJS dan TEN kasus. Satu hal yang mencetak gol untuk masing-masing dari tujuh
kriteria hadir pada saat penerimaan. Kriteria SCORTEN adalah: 4,6

Age >40 years

Presence of a malignancy (cancer)

Heart rate >120

Initial percentage of epidermal detachment >10%

Serum urea level >10 mmol/L

Serum glucose level >14 mmol/L

Serum bicarbonate level <20 mmol/L

13

Skorten

Mortality

Scorten 0-1

>3.2%

Scorten 2
Scorten 3
Scorten 4
Scorten 5

>12.1%
>35.3%
>58.3%
>90%

Sumber: Bastuji-Garin et al. SCORTEN: A severity-of-illness score for toxic epidermal necrolysis. J
Invest Dermatol. 2000;115:149

2.7 KOMPLIKASI
Komplikasi

pada

ginjal

berupa

nekrosis

tubular

akut

akibat

terjadinya

ketidakseimbangan cairan bersama-sama dengan glomerulonefritis. Komplikasi yang lain


sepertipada S.S.J. 2
2.8 HISTOPATOLOGI
Pada stadium dini tampak vakuolisasi dan nekrosis sel-sel basal sepajang di
perbatasan dermal-ep 2 idermal. Sel radang di dermis hanya sedikit terdiri dari limfohistiosit.
Pada lesi yang telah lanjut terdapat nekrosis eusinofilik sel epidermis dengan pembentukan
lepuh subepidermal.
2.9 DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis N.E.T tidak cukup secara klinis. Kelainan kulit yang utama ialah
epidermiolisis mirip kumbutio dan pasien tampak sakit berat. N.E.T. mirip S.S.J. perbedaanya
pada S.S.J. tidak terdapat epidermiolisis. Keadaan umum pada N.E.T. lebih buruk daripada
S.S.J. 2,4
Perbedaan yang lain adalah dengan Staphylococcus Scalled Skin Syndrom (S.S.S.S.)
ambaran klinisnya mirip karena pada S.S.S.S. juga terdapat epidermiolisis, tetapi selaput
lendir jarang dikenai. Penyebab S.S.S.S. ialah staphylococcus aureus, biasanya pada anak
dibawah umur 5 tahun. Mulai kelainan kulit di muka, leher, aksila, dan lipat paha disertai
leukositosis. Hambaran histopatologiknya juga berbeda, pada SSSS letak celah di stratum
granulosum, sedangkan pada N.E.T. di subepidermal. 2,4
2.10 THERAPI
14

Obat yang tersangka menyebabkan alergi segera dihentikan. Di kepustakaan terdapat


cara pengobatan yang berbeda-beda. Ada yamg menggunakan kortikosteroid, ada yang
mengobatinya sebagai luka bakar yaitu dengan menggunakan plasmafaresis dan ada pula
yang mengobatinya dengan menggunakan keseimbangan cairan elektrolit. 2
Pengobatan yang dilakukan yaitu dengan kortikosteroid. Cara pengobatan mirip
dengan pengobatan pada Sindrom Stevens Johnson (SSJ). Perbedaannya mengenai dosisnya,
Nekrolisis epidermal toksik (NET) lebih parah daripada SSJ sehingga dosis kortikosteroid
lebih tinggi, umumnya deksametason 40 mg sehari Intra vena dosis terbagi. Bila setelah dua
hari diobati dengan cara tersebut, masih juga timbul lesi baru hendaknya dipikirkan
kemungkinan alergi terhadap obat yang diberikanpada waktu rawat inap. 2,4,6
Penggantian plasma menghasilkan remisi yang komplit dalam dua kali pemberian.
Plasmaparesis merupakan intervensi yang aman bagi pasien yang parah dan menurunkan
tingkat mortalitas. Intravena immunoglobulin G merupakan penalatalaksanaan yang aman
dan efektif untuk penderita NET dewasa dan anak-anak. Penatalaksanaan dengan IVIG 3g/Kg
dalam 3 hari atau 1g/Kg perhari untuk 3 hari direkomendasikan. Untuk mendapatkan hasil
yang baik beberapa penulis melaporkan dengan dosis maksimal 4g/Kg dalam 4 hari. 2,4
Pasien NET membutuhkan penggantian cairan elektrolit (0,7/kgBB/% area tubuh
yang terkena) dan albumin (5% human albumin, 1 ml/kgBB/% daerah yang terkena). Jika
pasien tidak dapat makan secara langsung, harus diberikan makanan melalui selang
nasogastrik (1500 kalori dalam 1500 ml pada 24 jam pertama, dan dinaikkan 500 kalori
hingga mencapai 3500-4000 kalori per hari). 2,4
Monitoring untuk pencegahhan infeksi diperlukan, jika terdapat tanda infeksi
pemeberian antibiotik dianjurkan dan menunggu hingga hasil kultur dan sensitivitas keluar.
Pemberian sedasi dan analgesik dianjurkan berdasrkan tingkat keparahan. 2,4
2.11 KOMPLIKASI
Kondisi ini dapat berakibat fatal karena komplikasi pada fase akut . Tingkat kematian
sampai 10 % untuk SJS dan setidaknya 30 % untuk TEN . 2,4
Selama fase akut , komplikasi fatal meliputi:
-

Dehidrasi dan malnutrisi akut

Infeksi kulit , selaput lendir , paru-paru ( pneumonia ) , septicemia ( keracunan darah )

Syok dan kegagalan organ multiple termasuk gagal ginjal

Tromboemboli dan disebarluaskan koagulopati intravaskular

Komplikasi jangka panjang meliputi: 2,4


15

Perubahan pigmen - tambal sulam meningkat dan penurunan pigmentasi

Jaringan parut kulit , terutama pada situs tekanan atau infeksi

Kehilangan kuku dengan jaringan parut permanen ( pterygium ) dan kegagalan untuk
menumbuhkan kembali

kontraktur sendi

Genitalia bekas luka - phimosis ( tercekat kulup yang tidak dapat menarik kembali )
dan sinekia vagina ( tersumbat vagina)

Masalah mata yang serius , yang dapat menyebabkan kebutaan . Ini adalah yang
paling penting dari komplikasi jangka panjang . Ini termasuk :

Kering dan / atau berair mata , yang dapat membakar dan menyengat bila terkena
cahaya

Konjungtivitis : merah , berkulit , atau ulserasi konjungtiva

Ulkus kornea , kekeruhan dan jaringan parut

Symblepharon : adhesi konjungtiva kelopak mata untuk bola mata

Ectropion atau entropion : berubah -out atau berubah -in kelopak mata

Trichiasis : terbalik eyelashes

Sinekia : iris menempel pada kornea

Mungkin waktu berminggu-minggu sampai berbulan-bulan untuk gejala dan tanda-tanda


untuk menetap. 4
2.12 PROGNOSIS
Jika penyebabnya infeksi, maka prognosisnya lebih baik daripada jika disebabkan
alergi terhadap obat. Kalau kelainan kulit meliputi 50-70% permukaan kulit, prognosisnya
buruk. Jadi luas kulit yang terkena mempengaruhi prognosisnya. Juga bila terdapat purpura
yang luas dan leukopenia. Angka kematian antara tahun 1999-2004 (selama 5 tahun) hanya
16,0% jadi lebih tinggi dari pada SSJ yang hanya 1 % karena NET memang lebih berat. 2,4
Tingkat mortalitas pada pasien NET meningkat pada pasien yang berusia lebih tua dan
mengenai area tubuh yang luas. 4

16

Atlas Komplikasi N.E.T


Sumber dari : Nekrolysis Toxic Epidermal http://dermnetnz.org/reactions/sjs-ten.html

Dyspigmentation

Symblepharon

Nail shedding

Lesi pada mukokutaneus

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

17

Kesimpulan : 3
1.Sindrom Stevens Johnson merupakan suatu sindroma yang bersifat akut, yang bila berat
dapat menyebabkan kematian. Penyakit ini merupakan salah satu kegawat daruratan
penyakit kulit.
2.Penyebab yang pasti belum diketahui dapat dikatakan multifaktorial yangdiduga sebagai
penyebab tersering ialah alergi sistemik terhadap obat dan infeksi,
3.Penyakit ini umumnya menyerang anak dan dewasa muda.
4.Pada Sindrom Stevens Johnson ini ditemukan adanya trias kelainan berupa kelainan
kulit,kelainan selaput lendir di orificium dan kelainan mata.
5.Penggunaan obat Kortikosteroid untuk tindakan live saving merupakan pilihan utama.
6.Komplikasi yang tersering adalah Bronchopneumonia yang dapat menyebabkan kematian.
7.Dengan penanganan yang tepat dan cepat maka prognosis Sindrom Stevens Johnson sangat
baik.
Saran: 3
1.Sebaiknya para dokter mewaspadai timbulnya sindrom Stevens Johnson pada anak-anak
bila panas tinggi timbul beberapa hari sesudah munculnya gejala pada kulit disertai keadaan
umum yang memburuk serta tidak ditemukannya hasil laboratorium yang spesifik.
2. Menanyakan kepada penderita yang datang berobat apakah alergi terhadap obat tertentu.

18

Anda mungkin juga menyukai