Anda di halaman 1dari 18

2.1.

Definisi
Syok adalah suatu sindrom klinis yang terjadi akibat gangguan hemodinamik dan
metabolik yang ditandai dengan kegagalan sistem sirkulasi untuk mempertahankan
perfusi yang adekuat ke organ-organ vital tubuh. Hal ini muncul akibat kejadian
pada hemostasis tubuh yang serius, seperti perdarahan masif, trauma dan luka
bakar yang berat (syok hipovolemik), infark miokard luas atau emboli paru (syok
kardiogenik), sepsis akibat bakteri yang tidak terkontrol (syok sepsis), tonus
vasomotor yang tidak adekuat (syok neurogenik) atau akibat respon imun (syok
anafilaktik).7
Syok diklasifikasikan menurut etiologi, yaitu :
1. Syok hipovolemik : dehidrasi, kehilangan darah dan luka bakar
2. Syok distributif : kehilangan tonus vascular (anafilakfik, septik, syok
toksik)
3. Syok kardiogenik : kegagalan pompa jantung
4. Syok obstruktif : hambatan terhadap sirkulasi oleh obstruksi instrinsik dan
ekstrinsik. Emboli paru, robekan aneurisma dan
tamponade perikardi.2
Syok hipovolemik merupakan kondisi medis atau bedah dimana terjadi kehilangan
cairan dengan cepat yang berakhir pada kegagalan beberapa organ, disebabkan
oleh volume sirkulasi yang tidak adekuat dan berakibat pada perfusi yang tidak
adekuat. Paling sering, syok hipovolemik merupakan akibat kehilangan darah yang
cepat (syok hemoragik).1, 5
2.2. Etiologi
Syok hipovolemik adalah terganggunya sistem sirkulasi akibat dari volume darah
dalam pembuluh darah yang berkurang. Hal ini bisa terjadi akibat dari volume
darah yang berkurang. Hal ini bisa terjadi akibat pendarahan yang masif atau
kehilangan plasma darah.7
Penyebab syok hipovolemik dapat diklasifikasikan dalam tiga kelompok yang terdiri
dari:
1. Perdarahan:
Hematom subkapsular hati
Aneurisma aorta pecah
Pendarahan gastrointestinal
Perlukaan berganda
2. Kehilangan plasma:
Luka bakar yang luas
Pankreatitis
Deskuamasi kulit
Sindrom Dumping
3. Kehilangan cairan ekstraselular:
Muntah (vomitus)
Dehidrasi
Diare

Terapi diuretik yang sangat agresif


Diabetes insipidus
Insufisiensi renal
2.3. Patofisiologi
Tubuh manusia berespon terhadap pendarahan akut dengan mengaktivasi sistem
fisiologi utama sebagai berikut: sistem hematologi, kardiovaskular, ginjal, dan
sistem neuroendokrin.5
Sistem hematologi berespon terhadap kehilangan darah yang berat dan akut
dengan mengaktivasi kaskade koagulasi dan vasokonstriksi pembuluh darah
(melalui pelepasan tromboksan A2 lokal). Selain itu, platelet diaktivasi (juga melalui
pelepasan tromboksan A2 lokal) dan membentuk bekuan darah immatur pada
sumber pendarahan. Pembuluh darah yang rusak menghasilkan kolagen, yang
selanjutnya menyebabkan penumpukan fibrin dan menstabilkan bekuan darah.
Dibutuhkan waktu sekitar 24 jam untuk menyempurnakan fibrinasi dari bekuan
darah dan menjadi bentuk yang sempurna.5
Sistem kardiovaskuler pada awalnya berespon terhadap syok hipovolemik dengan
meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas miokard, dan
vasokonstriksi pembuluh darah perifer. Respon ini terjadi akibat peningkatan
pelepasan norepinefrin dan penurunan ambang dasar tonus nervus vagus (diatur
oleh baroreseptor di arcus caroticus, arcus aorta, atrium kiri, dan penbuluh darah
pulmonal). Sistem kardiovaskuler juga berespon dengan mengalirkan darah ke otak,
jantung, dan ginjal dengan mengurangi perfusi kulit, otot, dan traktus
gastrointestinal.5
Sistem renalis berespon terhadap syok hemoragik dengan peningkatan sekresi renin
dari apparatus juxtaglomeruler. Renin akan mengubah angiotensinogen menjadi
angiotensin I, yang selanjutnya akan dikonversi menjadi angiotensin II di paru-paru
dah hati. Angotensin II mempunyai 2 efek utama, yang keduanya membantu
perbaikan keadaan pada syok hemoragik, yaitu vasokonstriksi arteriol otot polos,
dan menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron
bertanggungjawab pada reabsorbsi aktif natrium dan akhirnya akan menyebabkan
retensi air.5
Sistem neuroendokrin berespon terhadap syok hemoragik dengan meningkatan
Antidiuretik Hormon (ADH) dalam sirkulasi. ADH dilepaskan dari glandula pituitari
posterior sebagai respon terhadap penurunan tekanan darah (dideteksi oleh
baroreseptor) dan terhadap penurunan konsentrasi natrium (yang dideteksi oleh
osmoreseptor). Secara tidak langsung ADH menyebabkan peningkatan reabsorbsi
air dan garam (NaCl) pada tubulus distalis, duktus kolektivus, dan lengkung Henle.5
Mekanisme yang rumit yang telah dijelaskan sebelumnya efektif dalam memenuhi
perfusi organ vital pada kehilangan darah yang berat. Tanpa resusitasi cairan dan
darah dan atau koreksi keadaan patologi yang mendasari perdarahan, perfusi
jantung akhirnya akan berkurang, dan kegagalan berbagai organ akan segera
terjadi.5
Perdarahan akan menurunkan tekanan pengisian darah rata-rata dan menurunkan

aliran darah balik ke jantung. Hal inilah yang menimbulkan penurunan curah
jantung. Curah jantung yang rendah di bawah normal akan menimbulkan beberapa
kejadian pada beberapa organ.
Mikrosirkulasi
Ketika curah jantung turun, tahanan vaskular sistemik akan berusaha untuk
meningkatkan tekanan sistemik guna menyediakan perfusi yang cukup bagi jantung
dan otak melebihi jaringan lain seperti otot, kulit dan khususnya gastrointestinal.
Kebutuhan energy untuk penalaksanaan metabolism di jantung dan otak sangat
tinggi tetapi kedua sel organ tersebut tidak mampu menyimpan cadangan energy.
Sehingga keduanya sangat bergantung akan kesediaan oksigen dan nutrisi tetapi
sangat rentan bila terjadi iskemia yang berat untuk waktu yang melebihi
kemampuan toleransi jantung dan otak. Ketika tekanan arterial rata-rata (mean
arterial pressure/MAP) jatuh hingga < 60 mmHg, maka aliran ke organ akan turun
drastis dan fungsi sel di semua organ akan terganggu.
Neuroendokrin
Hipovolemia, hipotensi dan hipoksia dapat dideteksi oleh baroreseptor dan
kemoreseptor tubuh. Kedua reseptor tadi berperan dalam respons autoimun tubuh
yang mengatur perfusi serta substrak lain.
Kardiovaskular
Tiga variabel seperti : pengisian atrium, tahanan terhadap tekanan (ejeksi) ventrikel
dan kontraksi miokard, bekerja keras dalam mengontrol volume sekuncup. Curah
jantung, penentu utama dalam perfusi jaringan, adalah hasil kali volume sekuncup
dan frekuensi jantung. Hipovolemia menyebabkan penurunan pengisian ventrikel,
yang pada akhirnya menurunkan volume sekuncup. Suatu peningkatan frekuensi
jantung sangat bermanfaat namun memiliki keterbatasan mekanisme kompensasi
untuk mempertahankan curah jantung.

Gastrointestinal
Akibat aliran darah yang menurun ke jaringan intestinal, maka terjadi peningkatan
absorpsi endotoksin yang dilepaskan oleh bakteri gram negatif yang mati dalam
usus. Hal ini memicu pelebaran darah serta peningkatan metabolisme dan bukan
memperbaiki sel dan menyebabkan depresi jantung.
Ginjal
Gagal ginjal akut adalah suatu komplikasi dari syok dan hipoperfusi, frekuensi
terjadinya sangat jarang karena cepatnya pemberian cairan pengganti. Yang banyak
terjadi kini adalah nekrosis tubular akut akibat interaksi antara syok, sepsis dan
pemberian obat yang nefrotoksik seperti aminoglikosida dan media kontras
angiografi. Secara fisiologi, ginjal mengatasi hipoperfusi dengan mempertahankan
garam dan air. Pada saat aliran darah di ginjal berkurang, tahanan arteriol aferen

meningkat untuk mengurangi laju filtrasi glomerulus, yang bersama-sama dengan


aldosteron dan vesopresin bertanggung jawab terhadap menurunnya produksi urin.
7
Pada syok, konsumsi oksigen dalam jaringan menurun akibat berkurangnya aliran
darah yang mengandung oksigen atau berkurangnya pelepasan oksigen ke dalam
jaringan. Kekurangan oksigen di jaringan menyebabkan sel terpaksa
melangsungkan metabolisme anaerob dan menghasilkan asam laktat. Keasaman
jaringan bertambah dengan adanya asam laktat, asam piruvat, asam lemak, dan
keton (Stene-Giesecke, 1991). Yang penting dalam klinik adalah pemahaman kita
bahwa fokus perhatian syok hipovolemik yang disertai asidosis adalah saturasi
oksigen yang perlu diperbaiki serta perfusi jaringan yang harus segera dipulihkan
dengan penggantian cairan. Asidosis merupakan urusan selanjutnya, bukan
prioritas utama.3,8
2.4. Gejala Klinis
Gejala syok hipovolemik cukup bervariasi, tergantung pada usia, kondisi premorbid,
besarnya volume cairan yang hilang, dan lamanya berlangsung. Kecepatan
kehilangan cairan tubuh merupakan faktor kritis respons kompensasi. Pasien muda
dapat dengan mudah mengkompensasi kehilangan cairan dengan jumlah sedang
dengan vasokonstriksi dan takhikardia. Kehilangan volume yang cukp besar dalam
waktu lambat, meskipun terjadi pada pasien usia lanjut, masih dapat ditolerir juga
dibandingkan kehilangan dalam waktu yang cepat atau singkat.3,8
Gejala dan tanda yang disebabkan oleh syok hipovolemik akibat non-perdarahan
serta perdarahan adalah sama meski ada sedikit perbedaan dalam kecepatan
timbulnya syok. Respon fisiologi yang normal adalah mempertahankan perfusi
terhadap otak dan jantung sambil memperbaiki volume darah dalam sirkulasi
efektif. Di sini akan terjadi peningkatan kerja simpatis, hiperventilasi, pembuluh
vena yang kolaps, pelepasan hormon stress serta ekspansi besar guna pengisian
volume pembuluh darah dengan menggunakan cairan interstisial, interselular dan
menurunkan produksi urin.7
Pada pasien dengan kemungkinan syok akibat hipovolemik, riwayat penyakit
penting untuk menentukan penyebab yang mungkin dan untuk penanganan
langsung. Syok hipovolemik akibat kehilangan darah dari luar biasanya nyata dan
mudah didiagnosis. Perdarahan dalam kemungkinan tidak nyata, seperti pasien
hanya mengeluhkan kelemahan, letargi, atau perubahan status mental. Gejalagejala syok seperti kelemahan, penglihatan kabur, dan kebingungan, sebaiknya
dinilai pada semua pasien.
Pada pasien trauma, menentukan mekanisme cedera dan beberapa informasi lain
akan memperkuat kecurigaan terhadap cedera tertentu (misalnya, cedera akibat
tertumbuk kemudi kendaraan, gangguan kompartemen pada pengemudi akibat
kecelakaan kendaraan bermotor).5
Apabila syok telah terjadi, tanda-tandanya akan jelas. Pada keadaan hipovolemia,
penurunan darah lebih dari 15 mmHg dan tidak segera kembali dalam beberapa
menit. Adalah penting untuk mengenali tanda-tanda syok, yaitu:

1. Kulit dingin, pucat, dan vena kulit kolaps akibat penurunan pengisian kapiler
selalu berkaitan dengan berkurangnya perfusi jaringan.
2. Takikardia: peningkatan laju jantung dan kontraktilitas adalah respons
homeostasis penting untuk hipovolemia. Peningkatan kecepatan aliran darah ke
mikrosirkulasi berfungsi mengurangi asidosis jaringan.
3. Hipotensi: karena tekanan darah adalah produk resistensi pembuluh darah
sistemik dan curah jantung, vasokonstriksi perifer adalah faktor yang esensial
dalam mempertahankan tekanan darah. Autoregulasi aliran darah otak dapat
dipertahankan selama tekanan arteri turun tidak di bawah 70 mmHg.
4. Oliguria: produksi urin umumnya akan berkurang pada syok hipovolemik. Oliguria
pada orang dewasa terjadi jika jumlah urin kurang dari 30 ml/jam.3,8
Tanda-tanda vital ortostatik mungkin normal pada individu hipovolemik, atau
individu normal dapat memperlihatkan perubahan-perubahan ortostatik yaitu
hipotensi. Jadi, gunakan pertimbangan klinis. Sebagai tambahan, ingesti alkohol,
makan atau usia lanjut dapat menyebabkan perubahan-perubahan ortostatik dalam
tekanan darah dan nadi. Penurunan diastolik ortostatik sebesar 10-20 mmHg atau
peningkatan nadi sebesar 15 detak/detik dianggap bermakna.periksa tanda-tanda
vital ortostatik, berbaring dan setelah berdiri selama 1 sampai 2 menit. Takikardia
biasanya tetap ada tetapi mungkin tidak didapatkan bila ada iritasi diafragma, yang
menyebabkan stimulasi vagal. Hipoperfusi ditandai oleh berkurangnya jumlah urin,
daya pikir menurun, ekstremitas dingin, bercak-bercak, dll.3,8
Pada penderita yang mengalami hipovolemia selama beberapa saat, dia akan
menunjukkan adanya tanda-tanda dehidrasi seperti:
(1) Turunnya turgor jaringan
(2) Mengentalnya sekresi oral dan trakhea, bibir dan lidah menjadi kering; serta
(3) Bola mata cekung.3,8
Dehidrasi dapat timbul pada diare berat dan asupan oral terbatas karena nausea
dan muntah, terutama pada anak kecil dan lanjut usia. Dehidrasi bermanifestasi
sebagai rasa haus yang meningkat, berkurangnya jumlah buang air kecil dengan
warna urine gelap, tidak mampu berkeringat, dan perubahan ortostatik. Pada
keadaan berat dapat mengarah ke gagal ginjal akut dan perubahan status jiwa
seperti kebingungan dan pusing kepala.7
Dehidrasi menurut keadaan klinisnya dapat dibagi 3 tingkatan, yaitu :
1. Dehidrasi ringan (hilang cairan 2-5 % BB) : gambaran klinisnya turgor kurang,
suara serak (vox cholerica), pasien belum jatuh dalam presyok.
2. Dehidrasi sedang (hilang cairan 5-8 % BB) : turgor buruk, suara serak, pasien
jatuh dalam presyok atau syok, nadi cepat, nafas cepat dan dalam.
3. Dehidrasi berat (hilang cairan 8-10 % BB) : tanda dehidrasi sedang ditambah
kesadaran menurun (apatis sampai koma), otot-otot kaku, sianosis.7
Kelainan-kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan fisik sangat berguna dalam
menentukan beratnya diare daripada menentukan penyebab diare. Status volume
dinilai dengan memperhatikan perubahan ortostatik pada tekanan darah dan nadi,
tempratur tubuh dan tanda-tanda toksisitas. Pemeriksaan abdomen yang seksama
merupakan hal yang penting. Adanya kualitas bunyi usus dan adanya distensi

abdomen dan nyeri tekan merupakan clue bagi etiologi.7


Jika sadar, pasien mungkin dapat menunjukkan lokasi nyeri. Tanda vital, sebelum
dibawa ke unit gawat darurat sebaiknya dicatat. Nyeri dada, perut, atau punggung
mungkin menunjukkan gangguan pada pembuluh darah. Tanda klasik pada
aneurisma arteri torakalis adalah nyeri yang menjalar ke punggung. Aneurisma
aorta abdominalis biasanya menyebabkan nyeri, nyeri punggung atau nyeri
panggul.5
Skor penilaian klinis dehidrasi :
1. Rasa haus/muntah (1)
2. Tekanan darah sistolik 60-90 mmHg (1)
3. Tekanan darah sistolik <60 mmHg (2)
4. Frekuensi nadi >120 kali/menit (1)
5. Kesadaran apatis (1)
6. Kesadaran somnolen, sopor atau koma (2)
7. Frekuensi nafas >30 kali/menit (1)
8. Facies cholerica (2)
9. Vox cholerica (2)
10. Turgor kulit menurun (1)
11. Washer womens hand (1)
12. Eksremitas dingin (1)
13. Sianosis (2)
14. Umur 50-60 tahun (1)
15. Umur >60 tahun (2)
Skor Dalyono di atas merupakan penilaian dari klinis pasien yang menentukan
jumlah kebutuhan cairan yang diberikan pada pasien dehidrasi.7
Pada pasien dengan perdarahan gastrointestinal, mengumpulkan keterangan
hematemesis, melena, riwayat minum alkohol, penggunaan obat anti inflamasi nonsteroid yang lama, dan koagulopati (iatrogenik atau selainnya) adalah sangat
penting. Kronologi muntah dan hematemesis harus ditentukan. Pada pasien dengan
hematemesis setelah episode berulang muntah yang hebat kemungkinan
mengalami Sindrom Boerhaave atau Mallory-Weiss tear, sedangkan pasien dengan
riwayat hematemesis sejak sejak awal kemungkinan mengalami ulkus peptik atau
varises esofagus. Jika suatu penyebab ginekologik dipertimbangkan, perlu
dikumpukan informasi mengenai hal berikut: periode terakhir menstruasi, faktor
risiko kehamilan ektopik, perdarahan pervaginam (termasuk jumlah dan durasinya),
produk konsepsi pada saluran vagina, dan nyeri. Semua wanita usia subur
sebaiknya menjalani tes kehamilan, untuk meyakinkan apakah mereka hamil. Tes
kehamilan negatif bermakna untuk menyingkirkan diagnosis kehamilan ektopik.5
Pada pasien demam berdarah dengue dapat jatuh pada keadaan syok. Syok
biasanya terjadi saat atau segera setelah suhu turun, antara hari ke-3 samapai hari
sakit ke-7. Pasien mula-mula terlihat letargi atau gelisah kemudian jatuh ke dalam
syok yang ditandai dengan kulit dinginlembab, sianosis sekitar mulut, nadi cepatlemah, tekanan nadi <20 mmHg dan hipotensi. Kebanyakan pasien masih tetap
sadar sekalipun sudah mendekati stadium akhir. Perubahan ini memperlihatkan

gejala gangguan sirkulasi, sebagai akibat dari perembesan plasma. Kondisi ini dapat
diperberat dengan komplikasi yaitu asidosis metabolic, perdarahan saluran cerna
hebat atau pendarahan lain, hal ini pertanda prognosis buruk.4
Hipovolemia ringan (<20 % volume darah) menimbulkan takikardi ringan dengan
sedikit gejala yang tampak, terutama pada penderita muda yang sedang berbaring.
Pada hipovolemia sedang (20-40 % dari volume darah) pasien menjadi lebih cemas
dan takikardia lebih jelas, meski tekanan darah bisa ditemukan normal pada posisi
berbaring, namun dapat ditemukan dengan jelas hipotensi ortostatik dan takikardia.
Pada hipovolemia berat maka gejala klasik syok akan muncul, tekanan darah
menurun drastis dan tidak stabil walau posisi berbaring, pasien menderita
takikardia hebat, oliguria, agitasi atau bingung. Perfusi ke susunan saraf pusat
dipertahankan dengan baik sampai syok bertambah berat. Penurunan kesadaran
adalah gejala penting. Transisi dari syok hipovolemik ringan ke berat dapat terjadi
bertahap atau malah sangat cepat, terutama pada pasien usia lanjut dan yang
memiliki penyakit berat dimana kematian mengancam. Dalam waktu yang sangat
pendek dari terjadinya kerusakan akibat syok maka dengan resusitasi agresif dan
cepat.7
2.5. Stadium Syok
Syok secara klinis dapat dibagi menjadi tiga stadium, yaitu :
1. Stadium kompensasi
Pada stadium ini fungsi organ vital dipertahankan melalui mekanisme kompensasi
fisiologis tubuh dengan cara meningkatkan refleks simpatis, sehingga terjadi :
a. Resistensi sistemik meningkat :
- distribusi selektif aliran darah dari organ sekunder ke organ primer (jantung, paru,
otak)
- resistensi arteriol meningkat diastolic pressure meningkat.
b. Heart rate meningkat cardiac output meningkat.
c. Sekresi vasopressin, renin-angiotensin-aldosteron meningkat ginjal menahan air
dan sodium di dalam sirkulasi.
Manifestasi klinis : takikardia, gelisah, kulit pucat dan dingin, pengisian kapiler
lambat (lebih dari 2 detik).
2. Stadium dekompensasi
Pada stadium ini telah terjadi :
a. Perfusi jaringan buruk O2 sangat turun metabolism anaerob laktat
meningkat laktat asidosis, diperberat oleh penumpukan CO2 , dimana CO2
menjadi asam karbonat.
b. Gangguan metabolisme energy dependent Na+/K+ pump tingkat seluler
integritas membran sel terganggu, fungsi lisosom dan mitokondria memburuk
kerusakan sel.
c. Aliran darah lambat dan kerusakan rantai kinin serta sistem koagulasi, akan
diperburuk dengan terbentuknya agregasi trombosit dan pembentukan trombus
disertai tendensi perdarahan.

d. Pelepasan mediator vaskular : histamine, serotonin, sitokin (TNF alfa dan


interleukin I), xantin oxydase membentuk oksigen radikal serta platelets
aggregating factor.
Pelepsan mediator oleh makrofag menyebabkan vasodilatasi arteriol dan
permeabilitas kapiler meningkat venous return menurun preload turun cardiac
output turun.
Manifestasi klinis : takikardia, tekanan darah sangat turun, perfusi perifer buruk,
asidosis, oliguria dan kesadaran menurun.
3. Stadium irreversible
Syok yang berlanjut akan menyebabkan kerusakan dan kematian sel multi organ
failure. Cadangan phosphate berenergi tinggi (ATP) akan habis terutama di jantung
dan hepar tubuh kehabisan energi.
Manifestasi klinis : nadi tidak teraba, tekanan darah tidak terukur. Anuria dan tandatanda kegagalan organ.6

2.6. Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik seharusnya selalu dimulai dengan penanganan jalan napas,
pernapasan, dan sirkulasi. Ketiganya dievaluasi dan distabilkan secara bersamaan,
sistem sirkulasi harus dievaluasi untuk tanda-tanda dan gejala-gejala syok. Jangan
hanya berpatokan pada tekanan darah sistolik sebagai indikator utama syok; hal ini
menyebabkan diagnosis lambat.5
Mekanisme kompensasi mencegah penurunan tekanan darah sistolik secara
signifikan hingga pasien kehilangan 30% dari volume darah. Sebaiknya nadi,
frekuensi pernapasan, dan perfusi kulit lebih diperhatikan. Juga, pasien yang
mengkonsumsi beta bloker mungkin tidak mengalami takikardi, tanpa
memperhatikan derajat syoknya.
Klasifikasi perdarahan telah ditetapkan, berdasarkan persentase volume darah yang
hilang. Namun, perbedaan antara klasifikasi tersebut pada pasien hipovolemik
sering tidak nyata. Penanganan sebaiknya agresif dan langsung lebih berkaitan
pada respon terapi dibandingkan klasifikasi awal.5
Telah ditetapkan klasifikasi perdarahan berdasarkan persentasi volume darah yang
hilang. Namun sifatnya tidak absolut dan hanya bersifat sebagai bantuan.
Tatalaksana harus agresif dan lebih dituntun oleh respon terhadap terapi ketimbang
menurut klasifikasi awal.2
Pendarahan derajat I (kehilangan darah 0-15%) tidak ada komplikasi, hanya terjadi
takikardi minimal. Biasanya tidak terjadi perubahan tekanan darah, tekanan nadi,
dan frekuensi pernapasan. Perlambatan pengisian kapiler lebih dari 3 detik sesuai
untuk kehilangan darah sekitar 10%.5
Pendarahan derajat II (kehilangan darah 15-30%). Gejala klinisnya, takikardi
(frekuensi nadi>100 kali permenit), takipnea, penurunan tekanan nadi, kulit teraba
dingin, perlambatan pengisian kapiler, dan ansietas ringan . Penurunan tekanan
nadi adalah akibat peningkatan kadar katekolamin, yang menyebabkan

peningkatan resistensi pembuluh darah perifer dan selanjutnya meningkatkan


tekanan darah diastolik.5
Pendarahan derajat III (kehilangan darah 30-40%). Pasien biasanya mengalami
takipnea dan takikardi, penurunan tekanan darah sistolik, oligouria, dan perubahan
status mental yang signifikan, seperti kebingungan atau agitasi. Pada pasien tanpa
cedera yang lain atau kehilangan cairan, 30-40% adalah jumlah kehilangan darah
yang paling kecil yang menyebabkan penurunan tekanan darah sistolik. Sebagian
besar pasien ini membutuhkan transfusi darah, tetapi keputusan untuk pemberian
darah seharusnya berdasarkan pada respon awal terhadap cairan.5
Perdarahan derajat IV (kehilangan darah >40%). Gejala-gejalanya berupa takikardi,
penurunan tekanan darah sistolik, tekanan nadi menyempit (atau tekanan diastolik
tidak terukur), berkurangnya (tidak ada) urine yang keluar, penurunan status
mental (kehilangan kesadaran), dan kulit dingin dan pucat. Jumlah perdarahan ini
akan mengancam kehidupan secara cepat.5
Pada pasien dengan trauma, pendarahan biasanya dicurigai sebagai penyebab dari
syok. Namun, hal ini harus dibedakan dengan penyebab syok yang lain.
Diantaranya tamponade jantung (bunyi jantung melemah, distensi vena leher),
tension pneumothorax (deviasi trakea, suara napas melemah unilateral), dan
trauma medulla spinalis (kulit hangat, jarang takikardi, dan defisit neurologis).5
Ada empat daerah pendarahan yang mengancam jiwa meliputi: dada, perut, paha,
dan bagian luar tubuh. Dada sebaiknya diauskultasi untuk mendengar bunyi
pernapasan yang melemah, karena pendarahan yang mengancam hidup dapat
berasal dari miokard, pembuluh darah, atau laserasi paru. Abdomen seharusnya
diperiksa untuk menemukan jika ada nyeri atau distensi, yang menunjukkan cedera
intraabdominal. Kedua paha harus diperiksa jika terjadi deformitas atau
pembesaran (tanda-tanda fraktur femur dan pendarahan dalam paha). Seluruh
tubuh pasien seharusnya diperiksa untuk melihat jika ada pendarahan luar.5
Pada pasien tanpa trauma, sebagian besar pendarahan berasal dari abdomen.
Abdomen harus diperiksa untuk mengetahui adanya nyeri, distensi, atau bruit.
Mencari bukti adanya aneurisma aorta, ulkus peptikum, atau kongesti hepar. Juga
periksa tanda-tanda memar atau perdarahan.5
Pada pasien hamil, dilakukan pemeriksaan dengan spekulum steril. Meskipun, pada
pendarahan trimester ketiga, pemeriksaan harus dilakukan sebagai double set-up
di ruang operasi. Periksa abdomen, uterus,atau adneksa.5
2.7. Diagnosis
Syok hipovolemik didiagnosis ketika ditemukan tanda berupa ketidak-stabilan
hemodinamik dan ditemukan adanya sumber pendarahan. Diagnosis akan sulit bila
pendarahan tidak ditemukan dengan jelas atau berada dalam traktus
gastrointestinal atau hanya terjadi penurunan jumlah plasma darah. Setelah
pendarahan maka biasanya hemoglobin dan hematokrit tidak langsung turun
sampai terjadi gangguan kompensasi atau terjadi penggantian cairan dari luar. Jadi
kadar hematokrit di awal tidak menjadi pegangan sebagai adanya pendarahan.
Kehilangan plasma ditandai dengan hemokonsentrasi, kehilangan cairan bebas

ditandai dengan hipernatremia. Temuan terhadap hal ini semakin meningkatkan


kecurigaan adanya hipovolemia.7
Pada pasien dengan diare akut infektif datang dengan keluhan khas, yaitu nausea,
muntah, nyeri abdomen, demam, dan tinja yang sering, bisa air, malabsorbtif, atau
berdarah yang tergantung bakteri pathogen yang spesifik.
Derajat dehidrasi dapat ditentukan berdasarkan :
1. Keadaan klinis : ringan, sedang dan berat (telah dibicarakan di atas)
2. Berat Jenis Plasma : pada dehidrasi BJ plasma meningkat
a. Dehidrasi berat : BJ plasma 1,032 1,040
b. Dehidrasi sedang : BJ plasma 1,028 1,032
c. Dehidrasi ringan : BJ plasma 1,025 1,028
3. Pengukuran Central Venous Pressure (CVP) : Bila CVP +4 s/d +11 cmH2O :
normal. Pada syok dan dehidrasi maka CVP kurang dari +4 cmH2O.7
Jangan mengandalkan TD sistolik sebagai indikator utama dari syok; kebiasaan ini
mengakibatkan tertundanya diagnosis. Mekanisme kompensasi mencegah
penurunan TD sistolik yang bermakna, sampai pasien telah kehilangan 30% dari
volume darahnya. Perhatian harus lebih ditujukan terhadap nadi, frekuensi nafas,
dan perfusi kulit. Disamping itu, pasien-pasien yang sedang mendapat obat
penyekat beta mungkin tidak memperlihatkan takikardia, tanpa memandang
derajat syoknya.2
Harus dibedakan syok akibat hipovolemik dan akibat kardiogenik karena
penatalaksanaan yang berbeda. Keduanya memang memiliki penurunan curah
jantung dan mekanisme kompensasi simpatis. Tetapi dengan menemukan adanya
tanda syok kardiogenik seperti distensi vena jugularis, ronki dan gallop S3 maka
semua dapat dibedakan.7
Pemeriksaan Laboratorium
Setelah anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan, langkah diagnosis selanjutnya
tergantung pada penyebab yang mungkin pada hipovolemik, dan stabilitas dari
kondisi pasien itu sendiri.7
Pemeriksaan laboratorium awal yang sebaiknya dilakukan antara lain: analisis
Complete Blood Count (CBC), kadar elektrolit (Na, K, Cl, HCO3, BUN, kreatinin, kadar
glukosa), PT, APTT, AGD, urinalisis (pada pasien yang mengalami trauma), dan tes
kehamilan. Darah sebaiknya ditentukan tipenya dan dilakukan pencocokan.5
Pemeriksaan Radiologi
Pasien dengan hipotensi dan/atau kondisi tidak stabil harus pertama kali diresusitasi
secara adekuat. Penanganan ini lebih utama daripada pemeriksaan radiologi dan
menjadi intervensi segera dan membawa pasien cepat ke ruang operasi.5
Langkah diagnosis pasien dengan trauma, dan tanda serta gejala hipovolemia
langsung dapat ditemukan kehilangan darah pada sumber perdarahan. Pasien
trauma dengan syok hipovolemik membutuhkan pemeriksaan ultrasonografi di unit
gawat darurat jika dicurigai terjadi aneurisma aorta abdominalis. Jika dicurigai
terjadi perdarahan gastrointestinal, sebaiknya dipasang selang nasogastrik, dan

gastric lavage harus dilakukan. Foto polos dada posisi tegak dilakukan jika dicurigai
ulkus perforasi atau Sindrom Boerhaave. Endoskopi dapat dilakukan (biasanya
setelah pasien tertangani) untuk selanjutnya mencari sumber perdarahan.5
Tes kehamilan sebaiknya dilakukan pada semua pasien perempuan usia subur. Jika
pasien hamil dan sementara mengalami syok, konsultasi bedah dan ultrasonografi
pelvis harus segera dilakukan pada pelayanan kesehatan yang memiliki fasilitas
tersebut. Syok hipovolemik akibat kehamilan ektopik sering terjadi. Syok
hipovolemik akibat kehamilan ektopik pada pasien dengan hasil tes kehamilan
negatif jarang, namun pernah dilaporkan.5
Jika dicurigai terjadi diseksi dada karena mekanisme dan penemuan dari foto polos
dada awal, dapat dilakukan transesofageal echocardiography, aortografi, atau CTscan dada.5
Jika dicurigai terjadi cedera abdomen, dapat dilakukan pemeriksaan FAST (Focused
Abdominal Sonography for Trauma) yang bisa dilakukan pada pasien yang stabil
atau tidak stabil. CT-Scan umumnya dilakukan pada pasien yang stabil. Jika dicurigai
fraktur tulang panjang, harus dilakukan pemeriksaan radiologi.5
2.8. Differensial Diagnosis
Solusio plasenta Kehamilan ektopik
Aneurisma abdominal Pendarahan post partum
Aneurisma thoracis trauma pada kehamilan
Fraktur femur Syok hemoragik
Fraktur pelvis Syok hipovolemik
Gastritis dan ulkus peptikum Toksik
Plasenta previa 5
2.9. Penatalaksanaan
Tiga tujuan penanganan kegawatdaruratan pasien dengan syok hipovolemik antara
lain:
(1) memaksimalkan pengantaran oksigen-dilengkapi dengan ventilasi yang adekuat,
peningkatan saturasi oksigen darah, dan memperbaiki aliran darah
(2) mengontrol kehilangan darah lebih lanjut
(3) resusitasi cairan.5
Ketika hipovolemik diketahui maka tindakan yang harus dilakukan adalah
menempatkan pasien dalam posisi kaki lebih tinggi, menjaga jalur pernafasan dan
diberikan resusitasi cairan dengan cepat lewat akses intra vena atau cara lain yang
memungkinkan seperti pemasangan kateter CVP (central venous pressure) atau
jalur intraarterial. Cairan yang diberikan adalah garam isotonus yang diteteskan
dengan cepat (hati-hati terhadap asidosis hiperkloremia) atau dengan cairan garam
seimbang seperti Ringers laktat (RL) dengan jarum infus yang terbesar. Tidak ada
bukti medis tentang kelebihan pemberian cairan koloid pada syok hipovolemik.
Pemberian 2-4 L dalam 20-30 menit diharapkan dapat mengembalikan keadaan
hemodinamik.7
Resusitasi Cairan Manajemen cairan adalah penting dan kekeliruan manajemen

dapat berakibat fatal. Untuk mempertahankan keseimbangan cairan maka input


cairan harus sama untuk mengganti cairan yang hilang. Cairan itu termasuk air dan
elektrolit. Tujuan terapi cairan bukan untuk kesempurnaan keseimbangan cairan,
tetapi penyelamatan jiwa dengan menurunkan angka mortalitas.3,8
Memaksimalkan penghantaran oksigen. Jalan napas pasien sebaiknya dibebaskan
segera dan stabilisasi jika perlu. Kedalaman dan frekuensi pernapasan, dan juga
suara napas, harus diperhatikan. Jika terjadi keadaan patologi (seperti
pneumothoraks, hemothoraks, dan flail chest) yang mengganggu pernapasan,
harus segera ditangani. Tambahan oksigen dalam jumlah besar dan bantuan
ventilator harus diberikan pada semua pasien. Ventilasi tekanan positif yang
berlebihan dapat berbahaya pada pasien yang mengalami syok hipovolemik dan
sebaiknya dihindari.5
Posisi pasien dapat digunakan untuk memperbaiki sirkulasi; salah satu contohnya
menaikkan kedua kaki pasien sementara cairan diberikan. Contoh lain dari posisi
yang bermanfaat adalah memiringkan pasien yang sementara hamil dengan trauma
kearah kirinya, dengan tujuan memposisikan janin menjauhi vena cava inferior dan
meningkatkan sirkulasi. Posisi Trendelenburg tidak dianjurkan untuk pasien dengan
hipotensi karena dikhawatirkan terjadi aspirasi. Posisi Trendelenburg juga tidak
memperbaiki keadaan kardiopulmonal dan dapat mengganggu pertukaran udara.5
Perdarahan yang banyak (syok hemoragik) akan menyebabkan gangguan pada
fungsi kardiovaskuler. Syok hipovolemik karena perdarahan merupakan akibat
lanjut. Pada keadaan demikian, memperbaiki keadaan umum dengan mengatasi
syok yang terjadi dapat dilakukan dengan pemberian cairan elektrolit, plasma, atau
darah.Untuk perbaikan sirkulasi, langkah utamanya adalah mengupayakan aliran
vena yang memadai. Mulailah dengan memberikan infus Saline atau Ringer Laktat
isotonis.3,8
Resusitasi cairan yang cepat merupakan landasan untuk terapi syok hipovolemik.
Sumber kehilangan darah atau cairan harus segera diketahui agar dapat segera
dilakukan tindakan. Cairan infus harus diberikan dengan kecepatan yang cukup
untuk segera mengatasi defisit atau kehilangan cairan akibat syok. Penyebab yang
umum dari hipovolemia adalah pendarahan, kehilangan plasma atau cairan tubuh
lainnya seperti luka bakar, peritonitis, gastroenteritis yang lama atau emesis, dan
pankreatitis akuta. Pemilihan Cairan Intravena. Pemilihan cairan sebaiknya
didasarkan atas status hidrasi pasien, konsentrasi elektrolit, dan kelainan metabolik
yang ada. Berbagai larutan parenteral telah dikembangkan menurut kebutuhan
fisiologis berbagai kondisi medis.3,8
Prisip menentukan jumlah cairan yang akan diberikan yaitu sesuai dengan jumlah
cairan yang keluar dari tubuh. Macam-macam pemberian cairan :
1. BJ plasma dengan rumus :
Kebutuhan cairan = BJ plasma 1,025 x Berat badan x 4 ml
0,001
2. Metode Pierce berdasarkan klinis :
Dehidrasi ringan, kebutuhan cairan = 5% x Berat badan (kg)
Dehidrasi sedang, kebutuhan cairan = 8% x Berat badan (kg)

Dehidrasi berat, kebutuhan cairan = 10% x berat badan (kg)


3. Metode Daldiyono berdasarkan skor klinis :
Kebutuhan cairan = skor x 10% x kgBB x 1 liter
15
Bila skor kurang dari 3 dan tidak ada syok, maka hanya diberikan cairan peroral
(sebanyak mungkin, sedikit demi sedikit). Bila skor lebih atau sama dengan 3
disertai syok diberikan cairan per intravena. (7)
Cairan rehidrasi pada dehidrasi dapat diberikan melalui oral, enteral melalui
selangnasogastrik atau intravena. (7)
Bila dehidrasi sedang/beratsebaiknya pasien diberikan cairan melalui infuse
pembuluh darah. Sedangkan dehidrasi ringan sebaiknya pasien diberikan cairan
peroral atau selang nasogastrik, kecuali bila ada kontraindikasi atau oral/saluran
cerna atas tidak dapat dipakai. Pemberian per oral diberikan larutan oralit yang
hipotonik dengan komposisi 29 gr glukosa, 3,5 gr NaCl, 2,5 Natrium Bicarbonat dan
1,5 gr KCl setiap liter. Contoh oralit generik, renalyte, pharolit, dll.
Pemberian cairan dehidrasi terbagi atas :
a. Dua jam pertama (tahap rehidrasi inisial) : jumlah total kebutuhan cairan
menurut rumus BJ plasma atau Daldiyono diberikan langsung dalam 2 jam, ini agar
dapat tercapai rehidrasi optimal secepat mungkin.
b. Satu jam berikutnya/jam ke-3 (tahap kedua) pemberian diberikan berdasarkan
kehilangan cairan selama 2 jam pemberian cairan rehidrasi inisial sebelumnya. Bila
tidak ada syok atau skor Daldiyono kurang dari 3 dapat diganti cairan per oral.
c. Jam berikutnya pemberian cairan diberikan berdasarkan kehilangan cairan
melalui tinja dan insensible water loss (IWL).7
Sebaiknya dibuat dua jalur intravena berdiameter besar. Hukum Poeseuille
mengatakan bahwa aliran berbanding terbalik dengan panjang kateter infus dan
berhubungan langsung dengan diameter. Sehingga kateter infus intravena yang
ideal adalah pendek dan diameternya lebar; diameter lebih penting daripada
panjangnya. Jalur intravena dapat ditempatkan pada vena antecubiti, vena sphena,
atau vena tangan, atau pada vena sentralis dengan menggunakan teknik Seldinger.
Jika digunakan jalur utama vena sentralis maka digunakan kateter infus berdiameter
lebar. Pada anak kurang dari 6 tahun dapat digunakan jalur intraosseus. Faktor yang
paling penting dalam melakukannya adalah skill dan pengalaman. Pengadaan infus
arteri perlu dipertimbangkan pada pasien dengan perdarahan hebat. Untuk pasien
ini, infus arteri akan memonitoring tekanan darah secara berkala dan juga analisa
gas darah.5
Pada jalur intravena, cairan yang pertama digunakan untuk resusitasi adalah
kristaloid isotonik, seperti Ringer Laktat atau Saline Normal. Bolus awal 1-2 liter
pada orang dewasa (20 ml/kgBB pada pasien anak), dan respon pasien dinilai. Jika
tanda vital sudah kembali normal, pasien diawasi agar tetap stabil dan darah pasien
perlu dikirim untuk dicocokkan. Jika tanda vital membaik sementara, infus kristaloid
dilanjutkan dan dipersiapkan darah yang cocok. Jika perbaikan yang terjadi tidak
bermakna atau tidak ada, infus kristaloid harus dilanjutkan, dan darah O diberikan
(darah tipe O rhesus (-) harus diberikan kepada pasien wanita usia subur untuk

mencegah sensitasi dan komplikasi lanjut). Jika pasien sekarat dan hipotensi berat
(syok derajat IV), diberikan cairan kristaloid dan darah tipe O. Pedoman pemberian
kristaloid dan darah tidak diatur, terapi yang diberikan harus berdasarkan kondisi
pasien.5
Terapi cairan intravena atau infus merupakan salah satu aspek terpenting yang
menentukan dalam penanganan dan perawatan pasien. Terapi awal pasien
hipotensif adalah cairan resusitasi dengan memakai 2 liter larutan isotonis Ringer
Laktat. Namun, Ringer Laktat tidak selalu merupakan cairan terbaik untuk
resusitasi. Resusitasi cairan yang adekuat dapat menormalisasikan tekanan darah
pada pasien kombustio 1824 jam sesudah cedera luka bakar. Larutan parenteral
pada syok hipovolemik diklasifikasi berupa cairan kristaloid, koloid, dan darah.3,8
Cairan kristaloid cukup baik untuk terapi syok hipovolemik. Keuntungan cairan
kristaloid antara lain mudah tersedia, murah, mudah dipakai, tidak menyebabkan
reaksi alergi, dan sedikit efek samping. Kelebihan cairan kristaloid pada pemberian
dapat berlanjut dengan edema seluruh tubuh sehingga pemakaian berlebih perlu
dicegah. Larutan NaCl isotonis dianjurkan untuk penanganan awal syok hipovolemik
dengan hiponatremik, hipokhloremia atau alkalosis metabolik. Larutan RL adalah
larutan isotonis yang paling mirip dengan cairan ekstraseluler. RL dapat diberikan
dengan aman dalam jumlah besar kepada pasien dengan kondisi seperti
hipovolemia dengan asidosis metabolik, kombustio, dan sindroma syok. NaCl 0,45%
dalam larutan Dextrose 5% digunakan sebagai cairan sementara untuk mengganti
kehilangan cairan insensibel.Ringer asetat memiliki profil serupa dengan Ringer
Laktat. Tempat metabolisme laktat terutama adalah hati dan sebagian kecil pada
ginjal, sedangkan asetat dimetabolisme pada hampir seluruh jaringan tubuh dengan
otot sebagai tempat terpenting. Penggunaan Ringer Asetat sebagai cairan resusitasi
patut diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi hati berat seperti sirosis hati
dan asidosis laktat. Adanya laktat dalam larutan Ringer Laktat membahayakan
pasien sakit berat karena dikonversi dalam hati menjadi bikarbonat.3,8
Pertanyaan apakah kristaloid atau koloid yang terbaik untuk resusitasi merupakan
bahan diskusi dan penelitian. Banyak cairan telah dikaji untuk resusitasi, antara lain
: NaCl 0,9%, larutan Ringer Laktat, NaCl hipertonik, albumin, fraksi protein murni,
plasma beku segar, hetastarch, pentastarch dan dekstran 70. Penganut resusitasi
koloid berkilah bahwa tekanan onkotik yang meningkat karena penggunaan zat-zat
ini adalah mengurangi edema paru. Namun, vaskular paru memungkinkan aliran zat
dalam jumlah besar, termasuk protein, di antara ruang intravaskular dan interstisial.
Dipertahankannya tekanan hidrostatik paru penting dalam mencegah edema paru.
Alasan lain adalah dengan koloid lebih sedikit jumlah yang dibutuhkan untuk
meningkatkan volume intravaskular. Infus Ringer Laktat sebanyak 1 L hanya
menambah volume intravaskular sebesar 194 ml. Banyak kajian membenarkan hal
ini. Resusitasi dengan kristaloid saja akan mengencerkan protein plasma dan
dengan mengurangi tekanan onkotik memudahkan filtrasi cairan dari inravaskular
ke interstisial. Edema perifer bisa mengurangi konsumsi oksigen secara mencolok
karena jarak anara sel dan kapiler menjadi bertambah. Walaupun demikian,
perbedaan prognosis belum ditunjukkan antara koloid dan kristaloid.2

Larutan koloid sintetik, seperti hetastarch, pentastarch dan deksran 70, memiliki
beberapa keunggulan dibandingkan koloid alamiah seperti fraksi protein murni,
plasma beku segar, dan albumin. Mereka memiliki sifat ekspansi volume sama,
tetapi karena struktur dan berat molekul yang tinggi, zat-zat koloid ini hampir
seluruhnya tetap di ruangan intravaskular, sehingga mengurangi edema
interstisial.2
Pendapat lain adalah koloid dalam jumlah sedikit dibutuhkan untuk meningkatkan
volume intravaskuler. Penelitian telah menunjukkan akan kebenaran hal ini. Namun,
mereka belum menunjukkan perbedaan hasil antara koloid dibandingkan dengan
kristaloid. Larutan koloid sintetik, seperti hetastarch, pentastarch, dan dextran 70
mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan dengan koloid alami seperti fraksi
protein murni, fresh frozen plasma, dan albumin. Larutan ini mempunyai zat dengan
volume yang sama, tetapi karena strukturnya dan berat molekul yang tinggi, maka
kebanyakan tetap berada pada intravaskuler, mengurangi edema intertisiel.
Meskipum secara teoritis menguntungkan, penelitian gagal menunjukkan
perbedaan pada parameter ventilasi, hasil tes fungsi paru, lama penggunaan
ventilator, lama perawatan, atau kelangsungan hidup.5
Kombinasi salin hipertonis dan dextran juga telah dipelajari sebelumnya karena
fakta-fakta menunjukkan bahwa hal ini dapat meningkatkan kontraktilitas dan
sirkulasi jantung. Penelitian di Amerika Serikat dan Jepang gagal menunjukkan
perbedaan kombinasi ini jika dibandingkan dengan larutan natrium klorida isotonik
atau ringer laktat. Selanjutnya, meski ada banyak cairan resusitasi yang dapat
digunakan, tetap dianjurkan untuk menggunakan Saline Normal atau Ringer Laktat.
Di Amerika Serikat, satu alasan untuk menggunakan kristaloid untuk resusitasi
adalah harga cairan tersebut.2,5
Rekomendasi terbaru adalah resusitasi cairan yang agresif dilakukan dengan Ringer
Laktat atau Saline Normal pada semua pasien dengan tanda-tanda dan gejalagejala syok tanpa memperhatikan penyebab yang mendasari.5
Autortransfusi mungkin dilakukan pada beberapa pasien trauma. Beberapa alat
diizinkan untuk koleksi steril, antikoagulasi, filtrasi, dan retransfusi darah
disediakan. Pada penanganan trauma. Darah yang berasal dari hemothoraks
dialirkan melalui selang thorakostomi.5
Kontol perdarahan lanjut. Kontrol perdarahan tergantung sumber perdarahan dan
sering memerlukan intervensi bedah. Pada pasien dengan trauma, pendarahan luar
harus diatasi dengan menekan sumber perdarahan secara langsung, pendarahan
dalam membutuhkan intervensi bedah. Fraktur tulang panjang ditangani dengan
traksi untuk mengurangi kehilangan darah. Pada pasien dengan nadi yang tidak
teraba di unit gawat darurat atau awal tibanya, dapat diindikasikan torakotomi
emergensi dengan klem menyilang pada aorta diindikasikan untuk menjaga suplai
darah ke otak. Tindakan ini hanya bersifat paliatif dan butuh segera dibawa di ruang
operasi.5
Pada pasien dengan perdarahan varises, penggunaan Sengstaken-Blakemore tube
dapat dipertimbangkan. Alat ini memiliki balon gaster dan balon esofagus. Balon
gaster pertama dikembangkan dan dilanjutkan balon esofagus bila perdarahan

berlanjut. Penggunaan selang ini dikaitkan dengan akibat yang buruk, seperti ruptur
esofagus, asfiksi, aspirasi, dan ulserasi mukosa. Oleh karena alasan tersebut,
penggunaan ini dipertimbangkan hanya sebagai alat sementara pada keadaan yang
ekstrim. Pada dasarnya penyebab perdarahan akut pada sistem reproduksi
(contohnya kehamilan ektopik, plasenta previa, solusio plasenta, ruptur kista,
keguguran) memerlukan intervensi bedah.2,5
Hampir semua pendarahan ginekologi yang menyebabkan hipovolemia (misalnya
kehamilan ektopik, plasenta previa, abruptio plasenta, kista ruptur, keguguran)
membutuhkan intervensi bedah.2
Pada pasien dengan perdarahan gastrointestinal, vasopressin intravena dan H2
bloker telah digunakan. Vasopressin umumnya dihubungkan dengan reaksi negatif,
seperti hipertensi, aritmia, gangren, dan iskemia miokard atau splanikus. Oleh
karena itu, harus dipertimbangkan untuk penggunaannya secara tetap. H2 Bloker
relatif aman, tetapi tidak terlalu menguntungkan. Infus somatostatin dan ocreotide
telah menunjukkan adanya pengurangan perdarahan gastrointestinal yang
bersumber dari varises dan ulkus peptikum. Obat ini membantu kerja vasopressin
tanpa efek samping yang signifikan.2,5
Tujuan farmakoterapi adalah untuk mengurangi morbiditas dan mencegah
komplikasi. Obat anti sekretorik, obat ini memiliki efek vasokonstriksi dan dapat
mengurangi aliran darah ke sistem porta. Somatostatin (Zecnil), secara alami
menyebabkan tetrapeptida diisolasi dari hipotalamus dan pankreas dan sel epitel
usus. Berkurangnya aliran darah ke sistem portal akibat vasokonstriksi. Memiliki
efek yang sama dengan vasopressin, tetapi tidak menyebabkan vasokonstriksi
arteri koroner. Cepat hilang dalam sirkulasi, dengan waktu paruh 1-3 menit. Dosis
Dewasa : bolus intravena 250 mcg, dilanjutkan dengan 250-500 mcg/jam, infus
selanjutnya; maintenance 2-5 hari jika berhasil. Tindak dianjurkan interaksi
epinefrin, demeclocycline, dan tambahan hormon tiroid dapat mengurangi efek obat
ini. Kontraindikasi Hipersensitifitas dan kehamilan. Risiko yang fatal ditunjukkan
pada binatang percobaan, tetapi tidak diteliti pada manusia, dapat digunakan jika
keuntungannya lebih besar daripada risiko terhadap janin. Dapat menyebabkan
eksaserbasi atau penyakit kandung kemih; mengubah keseimbangan pusat
pengaturan hormon dan dapat menyebabkan hipotiroidisme dan defek konduksi
jantung. Ocreotide (Sandostatin) Oktapeptida sintetik, dibandingkan dengan
somatostatin memiliki efek farmakologi yang sama dengan potensi kuat dan masa
kerja yang lama. Digunakan sebagai tambahan penanganan non operatif pada
sekresi fistula kutaneus dari abdomen, duodenum, usus halus (jejunum dan ileum),
atau pankreas. Dosis Dewasa: 25-50 mcg/jam intravena, kontinyu; dapat dilanjutkan
dengan bolus intravena 50 mcg; penanganan hingga 5 hari. Anak-anak 1-10
mcg/kgBB intravena q 12 jam; dilarutkan dalam 50-100 ml Saline Normal atau D5W.
Kontraindikasi hipersensitivitas kehamilan risiko terhadap janin tidak diteliti pada
manusia, tetapi telah ditunjukkan pada beberapa penelitian pada binatang.
Perhatian Efek samping yang utama berhubungan dengan perubahan motilitas
gastrointestinal, termasuk mual, nyeri abdomen, diare, dan peningkatan batu
empedu dan batu kandung kemih; hal ini karena perubahan pada pusat pengaturan

hormon (insulin, glukagon, dan hormon pertumbuhan), dapat timbul hipoglikemia,


bradikardi, kelainan konduksi jantung, dan pernah dilaporkan terjadi aritmia, karena
penghambatan sekresi TSH dapat terjadi hipotiroidisme, hati-hati pada pasien
dengan gangguan ginjal, kolelithiasis dapat terjadi.5
Konsultasi segera dan penanganan yang tepat adalah kuncinya. Tujuan penanganan
kegawatdaruratan adalah untuk menstabilkan keadaan pasien hipovolemik,
menentukan penyebab perdarahan, dan menyediakan penanganan yang tepat
sesegera mungkin. Jika perlu untuk membawa pasien ke rumah sakit lain, hal ini
harus dilakukan segera.5

KESIMPULAN
Syok hipovolemik merupakan kondisi medis atau bedah dimana terjadi kehilangan
cairan dengan cepat yang berakhir pada kegagalan beberapa organ, disebabkan
oleh volume sirkulasi yang tidak adekuat dan berakibat pada perfusi yang tidak
adekuat. Paling sering, syok hipovolemik merupakan akibat kehilangan darah yang
cepat (syok hemoragik).
Gejala dan tanda yang disebabkan oleh syok hipovolemik akibat non-perdarahan
serta perdarahan adalah sama meski ada sedikit perbedaan dalam kecepatan
timbulnya syok. Gejala klasik syok yaitu, tekanan darah menurun drastis dan tidak
stabil walau posisi berbaring, pasien menderita takikardia hebat, oliguria, agitasi
atau bingung, peningkatan kerja simpatis, hiperventilasi, pembuluh vena yang
kolaps, pelepasan hormone stress serta ekspansi besar guna pengisian volume
pembuluh darah dengan menggunakan cairan interstisial, interselular dan
menurunkan produksi urin.
Tiga tujuan penanganan kegawatdaruratan pasien dengan syok hipovolemik antara
lain: (1) memaksimalkan pengantaran oksigen-dilengkapi dengan ventilasi yang
adekuat, peningkatan saturasi oksigen darah, dan memperbaiki aliran darah, (2)
mengontrol kehilangan darah lebih lanjut, dan (3) resusitasi cairan.
Tenaga medis diharapkan dapat mengambil keputusan dan bertindak cepat saat
menghadapi pasien dalam kondisi syok terutama syok hipovolemik dimana terjadi
kehilangan cairan dalam jumlah besar. Diharapkan penanganan yang komprehensif
dan cepat pada pasien syok dapat membantu menyelamatkan jiwa pasien.

DAFTAR PUSTAKA
1. Corwin, Elizabeth J. 2001. Patofisiologi. EGC. Jakarta. Hal. 390.
2. Graber, Mark A. 2002. Terapi Cairan, Elektrolit, dan Metabolik. Farmamedia.
Jakarta. Hal. 1-9.
3. FH Feng, KM Fock. 1996. Pengantar Penuntun Pengobatan Darurat. Yayasan

Essentia Medica - Andi Yogyakarta. Yogyakarta. Hal. 5163.


4. Hadinegoro, Sri Rezeki H, dkk. 2004. Tata Laksana Demam Berdarah Dengue di
Indonesia. Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal
Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan. Jakarta. Hal. 9-10.
5. Kolecki, Paul. 2008. Syok Hipovolemik. www. Asrama Medica Fakultas kedokteran
UNHAS. Diakses tanggal 24 Oktober 2009.
6. Leksana, Ery. 2004. Terapi Cairan dan Elektrolit. SMF/Bagian Anestesi dan Terapi
Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Semarang. Hal. 12- 14.
7. Sudoyo, Aru. W, Bambang Setyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simabrata K. 2007.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I, Edisi IV. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Hal. 180-181.
8. Sunatrio, S. 14 Agustus 1999. Larutan Ringer Asetat dalam Praktik Klinis,
Simposium Alternatif Baru Dalam Terapi Resusitasi Cairan. Bagian Anestesiologi
FKUI/RSCM. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai