VOL. 1 NO. 1
JANUARI 2011
PENDAHULUAN
Dalam era globalisasi dan ditunjang perkembangan dunia usaha yang semakin pesat
mengakibatkan naiknya persaingan bisnis. Masing-masing perusahaan saling beradu
strategi dalam usaha menarik konsumen. Persaingan tersebut tidak hanya persaingan bisnis
dibidang manufaktur/industri tetapi juga dibidang usaha pelayanan jasa.
Dalam menentukan harga pokok produk masih menggunakan akuntansi biaya
tradisional. Dimana Sistem tersebut tidak sesuai dengan lingkungan pemanufakturan yang
maju, pada diversifiksi (keanekaragaman) produk yang tinggi (Bunyamin Lumenta, 1989).
Biaya produk yang dihasilkan oleh sistem akuntansi biaya tradisional memberikan
informasi biaya yang terdistorsi. Distorsi timbul karena adanya ketidakakuratan dalam
pembebanan biaya, sehingga mengakibatkan kesalahan penentuan biaya, pembuatan
keputusan, perencanaan, dan pengendalian (Supriyono, 1999: 259). Distorsi tersebut juga
mengakibatkan undercost/overcost terhadap produk (Hansen & Mowen, 2005).
Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, kemudian pada tahun 1800-an dan awal
1900-an lahirlah suatu sistem penentuan harga pokok produk berbasis aktivitas yang
dirancang untuk mengatasi distorsi pada akuntansi biaya tradisional. Sistem akuntansi ini
disebut Activit-Based Costing. Definisi metode Activity-Based Costing (ABC) merupakan
suatu sistem kalkulasi biaya yang pertama kali menelusuri biaya keaktivitas dan kemudian
keproduk (Hansen & Mowen, 1992).
22
VOL. 1 NO. 1
JANUARI 2011
23
VOL. 1 NO. 1
JANUARI 2011
Metode costing yang dirancang untuk menyediakan informasi biaya bagi manajer
untuk keputusan strategik dan keputusan lainnya yang mungkin akan
mempengaruhi kapasitas dan juga biaya tetap.
Konsep-Konsep Dasar Activity Based Costing
Activity Based Costing Sistem adalah suatu sistem akuntansi yang terfokus pada
aktifitas-aktifitas yang dilakukan untuk menghasilkan produk/jasa. Activity Based Costing
menyediakan informasi perihal aktivitas-aktivitas dan sumber daya yang dibutuhkan untuk
melaksanakan aktivitas-aktivitas tersebut. Aktivitas adalah setiap kejadian atau transaksi
yang merupakan pemicu biaya (cost driver) yakni, bertindak sebagai faktor penyebab
dalam pengeluaran biaya dalam organisasi. Aktivitas-aktivitas ini menjadi titik
perhimpunan biaya. Dalam sistem ABC, biaya ditelusur ke aktivitas dan kemudian ke
produk. System ABC mengasumsikan bahwa aktivitas-aktivitaslah, yang mengkonsumsi
sumber daya dan bukannya produk.
Gambar 1. Konsep Dasar Activity Based Costing
Resources
Process View
Cost Driver
Activities
Performance
Cost Object
24
VOL. 1 NO. 1
JANUARI 2011
25
VOL. 1 NO. 1
JANUARI 2011
Faktor ini menunjukkan suatu penyebab utama tingkat aktivitas yang akan
menyebabkan biaya dalam aktivitas-aktivitas selanjutnya.
2. Rasio konsumsi adalah proporsi masing-masing aktivitas yang dikonsumsi oleh
setiap produk, dihitung dengan cara membagi jumlah aktivitas yang dikonsumsi
oleh suatu produk dengan jumlah keseluruhan aktivitas tersebut dari semua jenis
produk.
3. Rasio Konsumsi adalah proporsi masing-masing aktivitas yang dikonsumsi oleh
setiap produk, dihitung dengan cara membagi jumlah aktivitas yang dikonsumsi
oleh suatu produk dengan jumlah keseluruhan aktivitas tersebut dari semua jenis
produk.
4. Homogeneous Cost Pool merupakan kumpulan biaya dari overhead yang variasi
biayanya dapat diartikan dengan satu pemicu biaya saja, atau untuk dapat disebut
suatu kelompok biaya yang homogen, aktivitas-aktivitas overhead produk.
Prosedure Pembebanan Biaya Overhead dengan Sistem ABC
Menurut Mulyadi (1993: 94), prosedure pembebanan biaya overhead dengan sisitem
ABC melalui dua tahap kegiatan:
a. Tahap Pertama
Pengumpulan biaya dalam cost pool yang memiliki aktifitas yang sejenis atau homogen,
terdiri dari 4 langkah :
1. Mengidentifikasi dan menggolongkan biaya kedalam berbagai aktifitas.
2. Mengklasifikasikan aktifitas biaya kedalam berbagai aktifitas, pada langkah ini biaya
digolongkan kedalam aktivitas yang terdiri dari 4 kategori yaitu: Unit level activity
costing, Batch related activity costing, product sustaining activity costing, facility
sustaining activity costing.
Level tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Aktivitas Berlevel Unit (Unit Level Activities)
Aktivitas ini dilakukan untuk setiap unit produksi. Biaya aktivitas berlevel unit
bersifat proporsional dengan jumlah unit produksi. Sebagai contoh, menyediakan
tenaga untuk
menjalankan peralatan, karena tenaga tersebut cenderung
dikonsumsi secara proporsiona dengan jumlah unit yang diproduksi.
b. Aktivitas Berlevel Batch (Batch Level Activities)
Aktivitas dilakukan setiap batch diproses, tanpa memperhatikan berapa unit yang
ada pada batch tersebut. Misalnya, pekerjaan seperti membuat order produksi dan
pengaturan pengiriman konsumen adalah aktivitas berlevel batch.
c. Aktivitas Berlevel Produk (Produk Level Activities)
Aktivitas berlevel produk berkaitan dengan produk spesifik dan biasanya
dikerjakan tanpa memperhatikan berapa batch atau unit yang diproduksi atau
dijual. Sebagai contoh merancang produk atau mengiklankan produk.
d. Aktivitas Berlevel Fasilitas (Fasility level activities)
Aktivitas berlevel fasilitas adalah aktivitas yang menopang proses operasi
perusahaan namun banyak sedikitnya aktivitas ini tidak berhubungan dengan
volume. Aktivitas ini dimanfaatkan secara bersama oleh berbagai jenis produk
yang berbeda. Kategori ini termasuk aktivitas seperti kebersihan kantor,
penyediaan jaringan komputer dan sebagainya.
e. Mengidentifikasikan Cost Driver maksudnya untuk memudahkan dalam
penentuan tarif/unit cost driver
26
VOL. 1 NO. 1
JANUARI 2011
27
VOL. 1 NO. 1
JANUARI 2011
28
VOL. 1 NO. 1
JANUARI 2011
4. Dengan analisis biaya yang diperbaiki, manajemen dapat melakukan analisis yang
lebih akurat mengenai volume, yang dilakukan untuk mencari break even atas
produk yang bervolume rendah.
5. Melalui analisis data biaya dan pola konsumsi sumber daya, manajemen dapat
mulai merekayasa kembali proses manufakturing untuk mencapai pola keluaran
mutu yang lebih efisien dan lebih tinggi.
Kelemahan Sistem Akuntansi Biaya Tradisional
Hal-hal yang tidak diberitahukan oleh sistem akuntansi biaya tradisional kepada
manajemen banyak sekali. Akuntansi biaya tradisional memberi sedikit ide kepada
manajemen pada saat harus mengurangi pengeluaran pada waktu yang mendesak. Sistem
tersebut hanya memberikan laporan manajemen dengan menunjukkan dimana biaya
dikeluarkan dan tidak ada indikasi apa-apa yang menimbulkan biaya.
Sistem biaya tradisional memang memeperhatikan biaya total perusahaan, akan
tetapi mereka mengabaikan below the line expenses, seperti penjualan, distribusi, riset,
dan pengembangan serta biaya administrasi. Biaya-biaya ini tidak dibebankan kepasar,
pelanggan, saluran distribusi, atau bahkan produk yang berbeda. Banyak manajer yang
percaya bahwa biaya-biaya ini adalah tetap. Oleh sebab itu, biaya-biaya below the line
ini diperlakukan secara sama dengan mendistribusikannya kepada pelanggan. Padahal,
sekarang ini beberapa pelanggan jauh lebih mahal untuk dilayani dibandingkan dengan
yang lain dan sebenarnya beberapa biaya tersebut adalah biaya variabel. (Amin, 1992: 22).
Lebih jauh lagi dijelaskan oleh Supriyono (2002: 74-77) bahwa dengan
berkembangnya dunia teknologi, sistem biaya tradisional mulai dirasakan tidak mampu
menghasilkan produk yang akurat lagi. Hal ini disebabkan karena lingkungan global
menimbulkan banyak pertanyaan yang tidak dapat dijawab sistem akuntansi biaya
tradisional, antara lain:
1. Sistem akuntansi biaya tradisional terlalu menekankan pada tujuan penentuan
harga pokok produk yang dijual. Akibatnya sistem ini hanya menyediakan
informasi yang relatif sangat sedikit untuk mencapai keunggulan dalam
persaingan global.
2. Sistem akuntansi biaya tradisional untuk biaya overhead terlalu memusatkan pada
distribusi dan alokasi biaya overhead daripada berusaha keras untuk mengurangi
pemborosan dengan menghilangkan aktivitas yang tidak bernilai tambah.
3. Sistem akuntansi biaya tradisional tidak mencerminkan sebab akibat biaya karena
seringkali beranggapan bahwa biaya ditimbulkan oleh faktor tunggal misalnya
volume produk atau jam kerja langsung.
4. Sistem akuntansi biaya tradisional menghasilkan informasi biaya yang terdistorsi
sehingga mengakibatkan pembuatan keputusan yang menimbulkan konflik
dengan keunggulan perusahaan.
5. Sistem akuntansi biaya tradisional menggolongkan biaya langsung dan tidak
langsung serta biaya tetap dan variabel hanya mendasarkan faktor penyebab
tunggal misalnya volume produk, padahal dalam lingkungan teknologi maju cara
penggolongan tersebut menjadi kabur karena biaya dipengaruhi oleh berbagai
macam aktivitas.
6. Sistem akuntansi biayaa tradisional menggolongkan suatu perusahaan kedalam
pusat-pusat pertanggung jawaban yang kaku dan terlalu menekankan kinerja
jangka pendek.
29
VOL. 1 NO. 1
JANUARI 2011
30
VOL. 1 NO. 1
JANUARI 2011
31
VOL. 1 NO. 1
JANUARI 2011
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penerapan Activy Based Costing pada perusahaan
jasa adalah:
1) Identifying and Costing Activities
Mengidentifikasi dan menghargai aktivitas dapat membuka beberapa kesempatan
untk pengoperasian yang efisien.
2) Spesial Challenger
Perbedaan antara perusahaan jasa dan perusahaan manufaktur akan memiliki
permasalahan-permasalahan yang serupa. Permasalahan itu seperti sulitnya
mengalokasikan biaya ke aktivitas. Selain itu jasa tidak dapat menjadi suatu
persediaan, karena kapasitas yang ada namun tidak dapat digunakan menimbulkan
biaya yang tidak dapat dihindari.
3) Output Diversity
Perusahaan jasa juga memiliki kesulitan-kesulitan dalam mengidentifikasi output
yang ada. Pada perusahaan jasa, diversity yang menggambarkan aktivitas-aktivitas
pendukung pada hal-hal yang berbeda mungkin sulit untuk dijelaskan atau
ditentukan.
PEMBAHASAN
Penentuan Harga Pokok Rawat Inap Menggunakan Activity-Based Costing System
Mengidentifikasi dan Mendefinisikan Aktivitas dan Pusat Aktivitas
Berdasarkan hasil wawancara dengan bagian keuangan, bagian perawatan, bagian
dapur, dan bagian gudang.
Aktivitas-aktivitas biaya yang ada diunit rawat inap meliputi:
1. Biaya perawatan
2. Biaya konsumsi pasien
3. Biaya listrik dan air
4. Biaya kebersihan
5. Biaya administrasi
6. Biaya service
7. Biaya Asuransi
8. Biaya penyusutan gedung
9. Biaya penyusutan fasilitas
10. Biaya laundry
Aktivitas-aktivitas tersebut dikelompokkan menjadi beberapa pusat aktivitas, yaitu:
1. Aktivitas perawatan pasien
- biaya perawat
2. Aktivitas Pemeliharaan inventaris
- biaya depresiasi gedung
- biaya depresiasi fasilitas
- biaya kebersihan
3. Aktivitas pemeliharaan pasien
- biaya konsumsi
4. Aktivitas pelayanan pasien
- biaya listrik dan air
- biaya administrasi
32
VOL. 1 NO. 1
JANUARI 2011
33
VOL. 1 NO. 1
JANUARI 2011
fasilitas terdiri dari penyusutan TV, AC, Kulkas, Bed, kipas angin, Alat
pemanas.
10. Biaya Laundry
Aktivitas yang dilakukan untuk menyediakan linen bersih kepada pasien rawat
inap seperti sprei, selimut, korden, sarung bantal.
Mengklasifikasi Aktivitas Biaya Kedalam Berbagai Aktivitas
1. Berdasarkan Unit-Level Activity Cost
Aktivitas ini dilakukan setiap hari dalam menjalani rawat inap pada RSUD kab.
Batang. Aktivitas yang termasuk dalam kategori ini adalah aktivitas perawatan,
penyediaan tenaga listrik dan air dan biaya konsumsi.
2. Berdasarkan Batch-Related Activity Cost
Besar kecilnya biaya ini tergantung dari frekwensi order produksi yang diolah
oleh fungsi produksi. Aktivitas ini tergantung pada jumlah batch produk yang di
produksi. Yaitu biaya administrasi, biaya bahan habis pakai, biaya kebersihan.
3. Product-Sustaining Activity Cost
Aktivitas ini berhubungan dengan penelitian dan pengembangan produk tertentu
dan biaya-biaya untuk mempertahankan produk agar tetap dapat dipasarkan.
Aktivitas ini tidak ditemui dalam penentuan tarif jasa rawat inap pada RSUD
Kab. Batang.
4. Fasilitas-Sustaining Activity Cost
Aktivitas ini berhubungan dengan kegiatan untuk mempertahankan fasilitas
yang dimiliki oleh perusahaan. Aktivitas yang termasuk dalam kategori ini
adalah biaya laundry, biaya asuransi, biaya penyusutan gedung, biaya
penyusutan fasilitas.
Mengidentifikasi Cost Driver
Setelah aktivitas-aktivitas ini diidentifikasi sesuai dengan kategorinya, langkah
selanjutnya adalah mengidentifikasi cost driver dari setiap biaya aktivitas.
Pengidentifikasian ini dimaksudkan dalam penentuan kelompok aktivitas dan tarif/unit
cost driver.
Menentukan Tarif Per Unit Cost Driver
Setelah mengidentifikasi cost driver, kemudian menentukan tarif per unit cost driver.
Karena setiap aktivitasnya memiliki cost driver dengan cara membagi jumlah biaya
dengan cost driver. Menurut Hansen and Mowen (1999; 134), tarif per unit cost driver
dapat dihitung dengan rumus sbb:
Tarif per unit Cost Driver = CostDriverfitas JumlahAkt
34
VOL. 1 NO. 1
JANUARI 2011
Untuk cost rawat inap per kamar diperolehdari total biaya yang telah dibebankan
pada masing-masing produk dibagi dengan jumlah hari pakai. Sedangkan laba yang
diharapkan ditetapkan pihak manajemen.
Perbandingan Metode Akuntansi Biaya Tradisional dengan ABC dalam Penetapan
Tarif Jasa Rawat Inap
Perbedaan yang terjadi antara tarif jasa rawat inap dengan menggunakan metode
tradisional dan metode ABC, disebabkan karena pembebanan biaya overhead pada masingmasing produk. Pada metode akuntansi biaya tradisional biaya overhead pada masingmasing produk hanya dibebankan pada satu cost driver saja. Akibatnya cenderung terjadi
distorsi pada pembebanan biaya overhead. Sedangkan pada metode ABC, biaya overhead
pada masing-masing produk dibebankan pada banyak cost driver. Sehingga dalam metode
ABC, telah mampu mengalokasikan biaya aktivitas kesetiap kamar secara tepat
berdasarkan konsumsi masing-masing aktivitas.
PENUTUP
Pembahasan yang dilakukan oleh penulis maka dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut:
1. Perhitungan tarif jasa rawat inap dengan menggunakan metode ABC, dilakukan
melalui 2 tahap. Tahap pertama biaya ditelusur ke aktivitas yang menimbulkan
biaya dan tahap ke dua membebankan biaya aktivitas ke produk. Sedangkan tarif
diperoleh dengan menambahkan cost rawat inap dengan laba yang di harapkan.
2. Dari hasil perhitungan tarif rawat inap dengan menggunakan metode ABC,
apabila dibandingkan dengan metode tradisional maka metode ABC memberikan
hasil yang lebih besar. Perbedaan yang terjadi antara tarif jasa rawat inap dengan
menggunakan metode tradisional dan metode ABC, disebabkan karena
pembebanan biaya overhead pada masing-masing produk. Pada metode akuntansi
biaya tradisional biaya overhead pada masing-masing produk hanya dibebankan
pada satu cost driver saja. Akibatnya cenderung terjadi distorsi pada pembebanan
biaya overhead. Sedangkan pada metode ABC, biaya overhead pada masingmasing produk dibebankan pada banyak cost driver. Sehingga dalam metode
ABC, telah mampu mengalokasikan biaya aktivitas kesetiap kamar secara tepat
berdasarkan konsumsi masing-masing aktivitas.
Perhitungan tarif rawat inap dengan menggunakan metode Activity Based-Costing,
dengan tetap mempertimbangkan factor-faktor external yang lain seperti tarif pesaing dan
kemampuan masyarakat yang dapat mempengaruhi dalam penetapan harga pelayanan
rawat inap.
35
VOL. 1 NO. 1
JANUARI 2011
DAFTAR PUSTAKA
Tunggal, Amin Widjaja, Activity Based Costing Suatu Pengantar, Rineka Cipta, Jakarta,
1992
Mulyadi, Akuntansi Manajemen, Konsep, Manfaat dan Rekayasa, Edisi 2, BP STIE
YKPN, YK, 1993
Hansen, Don R and Maryanne M Mowen, Akuntansi Manajemen, Edisi 7, Salemba Empat,
Jakarta, 2004
________, Manajemen Biaya, Edisi I, Salemba Empat, Jakarta, 2000
Supriyono, akuntansi Manajemen, Proses Pengendalian Manajemen, STIE YKPN,
Yogyakarta, 1991
Sugiri, Slamet, Akuntansi Manajemen, Edisi Pertama, Cetakan Pertama, AMP YKPN, YK,
1994
Cooper Robin and Kaplan Robert S, The design of Cost Manajement System : Text, Cases
and Reading, Prentise-Hall, 1993
Supriyono, R.A, Akuntansi Biaya dan Akuntansi Manajemen Untuk Teknologi maju dan
globalisasi, Edisi 2, BPFE, Yogyakarta, 1999
Thomas, Johnson H, Activity-Based Information: A Blue Print For World Class
Manajement Accounting, The design Of Cost Manajement System: Text, Cases and
Reading, New Jersey, 1991
Sujatmika, Activity Based Costing Alternatif Perbaikan Harga Pokok, Buletin Ekonomi,
No. 2, UPN Veteran Yogyakarta, April 1997, Hal 81-87.
Lumenta, Bunyamin, Pelayanan Medis, Kanisius, Yogyakarta, 1989.
36
VOL. 1 NO. 1
JANUARI 2011
Yusnaini
Universitas IBA Palembang
Abstract
This paper explains the conection among agency theory, culture and management
control system in asia. Based on few study, Agency theory, in fact cannot generalize
implementation in asia cultures. Its because limitation research when explore culture
dimension or metodology development. This paper show point of view that eventhogh
agency theory can be use to build MCS design but so many cultures factor can effect
the agent and pricipal relation in an organization.
Keywords : Agency Theory, Culture, Management Control Systems
PENDAHULUAN
Dalam mencapai tujuan umum organisasi, seringkali terdapat berbagai hambatan.
Hambatan tersebut kadangkala diakibatkan oleh tidak sesuainya antara tujuan agent dan
principal, baik antara shareholder dengan manajemen maupun antara superior dengan
subordinate dalam suatu organisasi (Jensen dan Meckling 1976). Hal ini dapat dijelaskan
melalui agency theory. Agency theory memberikan dasar-dasar teoretis dalam banyak
penelitian di bidang ekonomi, manajemen, marketing, finance, accounting dan sistem
informasi. Teori ini memiliki pengaruh paling besar yang mendasari penelitian di bidang
corporate governance dan management control systems di dunia barat (Ekanayake 2004).
Dalam budaya barat, agency theory telah memberikan sumbangan yang sangat
berarti dalam memandang masalah goal congruence (Jensen dan Meckling 1976;
Eisenhardt 1989). Sayangnya, beberapa penelitian pada budaya Asia masih belum dapat
dibuktikan secara konsisten mengeni perspektif agency theory (OConnor 1997; Salter and
Sharp 1997; Taylor 1995). Hal ini dikarenakan sifat dasar agent di antara berbagai budaya
berbeda, baik dalam nilai dan norma (Hofstede 1980). Sampai saat ini masih belum
terdapat kesimpulan umum di antara para peneliti mengenai perspektif agency theory jika
melibatkan unsur budaya dalam memahami hubungan antara agent dan principal.
Untuk mengatasi permasalahan akibat hubungan antara agent dan principal tersebut,
diperlukan management control systems (MCS) yang merupakan sarana untuk
menyelaraskan tujuan antara agent dengan principal. Dengan desain management control
system yang tepat, diharapkan akan mampu memahami hubungan (agent dan principal) ini
dengan baik sehingga tujuan umum organisasi dapat di capai (Ekanayake 2004).
Paper ini berusaha untuk mengangkat fenomena yang telah diuraikan diatas dengan
memandang pentingnya desain management control systems dalam mengatasi agency
problem. Namun, dengan juga memperhatikan unsur budaya yang sangat mempengaruhi
37
VOL. 1 NO. 1
JANUARI 2011
agency theory, yang pada akhirnya akan menentukan desain MCS yang tepat dalam
mencapai tujuan organisasi.
AGENCY THEORY DAN MANAGEMENT CONTROL SYSTEMS (MCS)
Agency theory memfokuskan perhatian pada agency problem yang terjadi ketika
terdapat hubungan keagenan antara principal dengan agent. Dalam hal ini principal
mendelegasikan wewenangnya kepada agent untuk mengambil keputusan (Anthony dan
Govindarajan 2003). Agency problem ini terjadi karena agent memiliki tujuan yang
berbeda dengan principal (Jensen dan Meckling, 1976). Premis dari agency theory adalah
bahwa agent berprilaku self-interested, risk averse, rational actors yang selalu berusaha
less effort (moral hazard) dan adverse selection. Agency theory ini berusaha untuk
menyelesaikan dua problem yang berkaitan dengan agency problem, yaitu (1) masalah
pengawasan (monitoring) yang timbul karena principal tidak dapat membuktikan apakah
agent telah berprilaku secara tepat; (2) masalah pembagian risiko (risk sharing) khususnya
dalam kasus pengendalian outcome yang timbul ketika principal dan agent bersikap
berbeda mengenai risiko (Eisenhardt 1989).
Terdapat dua tipe hubungan antara agent dan principal, yaitu (1) pertama, hubungan
antara pemilik perusahaan atau shareholder (the principal) dengan top management (the
agent) (Jensen dan Meckling 1976), (2) kedua, hubungan antara top management yang
bertindak sebagai principal dengan manager unit sebagai agents (Govindarajan dan Fisher
1990). Beberapa studi yang memperluas konsep hubungan principal-agent pada tipe
kedua adalah hubungan antara superior-subordinate, employer-employee, manager-worker
(Eisenhardt 1988; Gomez-Mejia dan Balkin 1992).
Management control systems (MCS) memiliki tugas penting me-manage hubungan
tersebut secara optimal dalam upaya untuk mencapai tujuan organisasi. Perspektif agency
dapat memberikan penjelasan langsung mengenai aspek-aspek MCS suatu organisasi
(Ekanayake 2004). Aspek tersebut antara lain sistem informasi dan proses informasi,
internal control dan audits, pengukuran kinerja dan evaluasi, kompensasi dan insentif.
Terdapat implikasi agency theory pada management control, yaitu, pertama, prilaku selfinterest agen dapat di monitor melalu sistem informasi. Kedua, kompensasi dan insentif
dapat menjadi alat untuk menyelaraskan motivasi agen dengan tujuan organisasi. Ketiga,
kondisi ketidakpastian dan pertimbangan risiko yang dijelaskan agency theory
memerlukan perhatian mengenai sistem pengendalian.
Samson Ekanayake (2004), mengemukakan bahwa esensi dari perspektif agency
adalah sebagai alat untuk memonitor agen dan mengevaluasi kinerja dan penghargaan.
Terdapat empat pertanyaan mendasar yang dihadapi oleh desainer MCS dan untuk
mengidentifikasi bagaimana agency theory memberikan kontribusi yang tinggi dalam
memahami dan memberikan jalan keluar dari beberapa pertanyaan tersebut. Pertanyaan
tersebut adalah sebagai berikut:
Behaviour Control or Output Control?
Terdapat kelebihan dan kekurangan dalam mengendalikan agen. Ketika principal
lebih menekankan pada control output, baik principal maupun agent dapat mengamati
outcomes yang dihasilkan namun effort yang digunakan oleh agen hanya dapat diketahui
oleh agen saja sedangkan principal tidak dapat mengetahuinya. Sedangkan ketika
mengendalikan prilaku dalam memonitor effort agen, hal ini tidak memuaskan bagi agen
dan dapat menimbulkan masalah moral hazard dan adverse selection. Masalah moral
38
VOL. 1 NO. 1
JANUARI 2011
39
VOL. 1 NO. 1
JANUARI 2011
40
VOL. 1 NO. 1
JANUARI 2011
41
VOL. 1 NO. 1
JANUARI 2011
42
VOL. 1 NO. 1
JANUARI 2011
digunakan delapan karakteristik MCS pada perusahaan Jepang dan USA yang beroperasi
di Taiwan. Organisasi yang beroperasi di sana secara substansial memodifikasi MCS
mereka untuk menyesuaikan dengan budaya Taiwan yang berbeda. Sedangkan OConnor
(1995) menemukan bukti dari perusahaan yang memodifikasi budaya mikrokosmik budaya
organisasi melalui selection, sosialisasi dan pelatihan. Hal ini tidak konsisten dengan
penemuan Chow et al. (1996), terlebih lagi hal itu menduga bahwa organisasi memiliki
pilihan untuk memodifikasi, pilihan tersebut tergantung pada cost modifikasi budaya
organisasi atau memodifikasi MCS pada budaya yang berbeda.
Dari beberapa penelitian diatas, dapat dirasakan adanya beberapa kelemahan yang
ada pada penelitian-penelitian yang menguji pengaruh budaya terhadap desain MCS. Hal
ini dapat di lihat dari perbedaan-perbedaan hasil-hasil temuan dari beberapa peneliti
meskipun karakteristik dan faktor budaya yang digunakan adalah sama. Harrison dan
McKinnon (1999) menyebutkan empat kelemahan penelitian lintas budaya di bidang
sistem pengendalian manajamen yaitu (1) gagal mempertimbangkan totalitas domain
budaya; (2) tendensi tidak mempertimbangkan intensitas diferensial dari norma dan nilai
lintas nasional; (3) tendensi memperlakukan budaya secara simplistis dengan hanya
menggunakan kumpulan terbatas dari dimensi agregat; (4) terlalu mengandalkan konsepsi
budaya yang terbatas.
AGENCY THEORY, BUDAYA DAN MANAGEMENT CONTROL SYSTEMS (MCS)
Dari uraian literatur yang telah dijabarkan diatas, dapat dilihat adanya hubungan
yang kuat antara agency theory dan faktor budaya dengan desain management control
systems (MCS). Agency theory dapat menjelaskan adanya masalah agency dalam
hubungan agen dan principal. Untuk mengatasi permasalahan akibat hubungan antara
agent dan principal tersebut, diperlukan management control systems (MCS) yang
merupakan sarana untuk menyelaraskan tujuan antara agent dengan principal. Dengan
desain management control system yang tepat, diharapkan akan mampu memahami
hubungan (agent dan principal) ini dengan baik sehingga tujuan umum organisasi dapat di
capai (Ekanayake 2004). Ekanayake (2004), mengemukakan bahwa esensi dari perspektif
agency adalah sebagai alat untuk memonitor agen dan mengevaluasi kinerja dan
penghargaan.
Agency theory dapat menangkap sifat agen-agen pada budaya Barat, namun dalam
budaya yang berbeda, hal itu belum tentu sesuai dengan budaya di luar budaya Barat
(Ekanayake 2004). Dengan demikian, timbul pertanyaan apakah sifat-sifat agen memiliki
kesamaan dalam lintas budaya. Secara fundamental, hal ini penting diperhatikan dalam
upaya penerapan agency theory secara universal. Hofstede (1980) meneliti keterkaitan
norma dan nilai pada agen (karyawan, subordinate dan manager) yang berbeda di antara
berbagai budaya, hal ini memberikan pemahaman bahwa sifat dasar agen-agen berbeda
sesuai dengan budayanya masing-masing.
Dari beberapa tinjauan literatur mengenai agency theory dalam perspekstif budaya,
dapat dikatakan bahwa agency theory belum dapat sepenuhnya berlaku secara universal.
Faktor budaya yang sangat berbeda antara dunia Barat dan Timur telah mempengaruhi
prilaku agen-agen dalam bertindak. Dengan demikian, hasil-hasil penelitian yang
mengambil setting di luar Asia tidak dapat berlaku secara umum, sehingga agency problem
yang terjadi dalam suatu organisasi juga memiliki level dan pola yang bervariasi sesuai
dengan budaya dimana mereka berinteraksi dalam organisasi (Taylor 1995; Sharp dan
Salter 1997; OConnor dan Ekanayake 1997, 1998).
43
VOL. 1 NO. 1
JANUARI 2011
Beberapa penelitian yang ada telah menunjukkan adanya hubungan antara desain
MCS dengan budaya, baik yang mendukung atau menentang bahwa budaya dapat
memberikan pengaruh terhadap desain MCS (Chow et al. 1991; Harrison 1992). Berbagai
perbedaaan hasil penelitian ini di duga tergantung pada originalitas dari peneliti.
Dari beberapa penelitian diatas, dapat dirasakan adanya beberapa kelemahan yang
ada pada penelitian-penelitian yang menguji pengaruh budaya terhadap desain MCS. Hal
ini dapat di lihat dari perbedaan-perbedaan hasil-hasil temuan dari beberapa peneliti
meskipun karakteristik dan faktor budaya yang digunakan adalah sama. Harrison dan
McKinnon (1999) menyebutkan empat kelemahan penelitian lintas budaya di bidang
sistem pengendalian manajamen yaitu (1) gagal mempertimbangkan totalitas domain
budaya; (2) tendensi tidak mempertimbangkan intensitas diferensial dari norma dan nilai
lintas nasional; (3) tendensi memperlakukan budaya secara simplistis dengan hanya
menggunakan kumpulan terbatas dari dimensi agregat; (4) terlalu mengandalkan konsepsi
budaya yang terbatas.
PENUTUP
Agency theory yang merupakan teori yang paling berpengaruh dalam memahami
hubungan antara agent dan principal ternyata memang sangat tepat dan telah teruji di
dunia barat. Namun ketika teori ini diterapkan pada budaya yang berbeda maka hasilnya
juga tidak konsisten sebagaimana hasil yang di peroleh pada asal teori ini ditemukan.
Dalam hal ini dapat kita lihat bahwa faktor budaya sangat berperan dalam menentukan
suatu hubungan antara agent dan principal.
Ketidakkonsistenan hasil pengujian agency theory pada budaya yang berbeda akan
memberikan suatu tantangan tertentu bagi organisasi dalam mendesain sistem
pengendalian manajemen yang dipercaya mampu mengatasi agency problem atas
hubungan principal dan agent. Beberapa penelitian juga memberikan petunjuk bahwa
faktor budaya juga sangat berpengaruh dalam penentuan desain MCS. Namun review
penelitian yang dilakukan oleh Harrison dan McKinnon (1999) menjawab bahwa
penelitian-penelitian yang memasukkan unsur pengaruh budaya terhadap desain MCS,
memiliki 4 keterbatasan baik pada dimensi maupun metodologi seperti yang telah
dikemukakan diatas.
Dengan demikian dapat di tarik suatu kesimpulan bahwa terdapat hubungan yang
kuat antara budaya, agency theroy dan management control systems (MCS). Namun peran
budaya dalam konteks Asia masih memerlukan penelitian-penelitian lebih jauh untuk
menggeneralisir hasil-hasil penemuan di budaya Barat.
DAFTAR PUSTAKA
Anthony, Robert and Vijay Govindarajan. 2003. Management Control System. 11th
Edition: Irwin McGraw Hill.
Baiman, S. 1990. Agency Research in Managerial Accounting: A second look. Accounting
Organizations and Society. Vol. 15. No. 4 Pp: 314-371.
Boyacigiler, N.A., and Adler, N. 1991. The Parochial Dinosaur: Organization Science in A
Global Context. Academy of Management Review. Pp: 262-290.
44
VOL. 1 NO. 1
JANUARI 2011
Jensen dan Meckling. 1976. Theory of the Firm: Managerial Behavior, Agency Costs, and
Ownership Structure. Journal of Financial Economics. Vol: 3. Pp: 305-360.
OConnor N.G. 1997. Patterns of Cultural and Budgetary Controls in International Joint
Ventures in South Korea, Asian Review of Accounting. Pp. 1-20.
Salter, Stephen B. dan David J. Sharp. 1997. Agency Effects and Escalation of
Commitment: do Small National Culture Differences Matter?. The
International Journal of Accounting. Vol. 36. Issue 1. Pp: 33-45.
45