Appendisitis
Appendisitis
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Anatomi Appendiks
Appendiks merupakan suatu organ limfoid seperti tonsil, payer patch (analog dengan
Bursa Fabricus) membentuk produk immunoglobulin. (3) Appendiks adalah suatu struktur
kecil, berbentuk seperti tabung yang berkait menempel pada bagian awal dari sekum.
Pangkalnya terletak pada posteromedial saekum. Pada Ileosaekal junction terdapat Valvula
Ileocecalis (Bauhini) dan pada pangkal appendiks terdapat valvula appendicularis
(Gerlachi). Panjang antara 7-10 cm, diameter 0,7 cm. Lumennya sempit di bagian proksimal
dan melebar di bagian distal. (7) Appendiks terletak di kuadran kanan bawah abdomen.
Tepatnya di ileosaekum dan merupakan pertemuan ketiga taenia coli (taenia libera, taenia
colica, dan taenia omentum). Dari topografi anatomi, letak pangkal appendiks berada pada
titik Mc Burney, yaitu titik pada garis antara umbilikus dan SIAS kanan yang berjarak 1/3
dari SIAS kanan.(8)
Appendiks vermiformis disangga oleh mesoappendiks (mesenteriolum) yang
bergabung dengan mesenterium usus halus pada daerah ileum terminale. Mesenteriolum
berisi a. apendikularis (cabang a.ileocolica). Orifisiumnya terletak 2,5 cm dari katup
ileosaekal. Mesoapendiknya merupakan jaringan lemak yang mempunyai pembuluh
appendiseal dan terkadang juga memiliki limfonodi kecil. (1.2)
Histologis :
3
- Tunika mucosa
- Tunika serosa
mengikuti umur. Setelah usia 60 tahun, tidak ada jaringan limfoid lagi di appendiks dan
terjadi obliterasi lumen appendiks komplit. (14)
1.3 Definisi
Appendisitis merupakan peradangan pada appendiks vermiformis. Peradangan akut
appendiks memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah komplikasi yang umumnya
berbahaya.(3)
1.4 Epidemiologi
Appendicitis dapat ditemukan pada semua umur. Namun jarang pada anak kurang dari
satu tahun. Rasio pria : wanita = 1,2-1,3 : 1.
1.5 Etiologi
Obstruksi lumen merupakan penyebab utama appendiks. Fekalit merupakan penyebab
tersering dari obstruksi appendiks. Penyebab lainnya adalah hipertrofi jaringan limfoid, sisa
barium dari pemeriksaan rontgen, diet rendah serat, dan cacing usus termasuk ascaris.
Trauma tumpul atau trauma karena kolonoscopy dapat mencetuskan inflamasi pada
appendiks. Post operasi appendiks juga dapat menjadi penyebab akibat adanya trauma atau
stasis fekal. (14) Frekuensi obstruksi meningkat dengan memberatnya proses inflamasi. Fekalit
ditemukan pada 40% dari kasus appendiks akut, sekitar 65% merupakan appendiks
gangrenous tanpa rupture dan sekitar 90% kasus appendiks gangrenous dengan rupture. (14)
Penyebab lain yang diduga dapat menyebabkan appendiks adalah erosi mukosa
appendiks karena parasit seperti E. Histolytica. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran
kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya
appendiks. Konstipasi akan meningkatkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya
sumbatan fungsional appendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa.
Semuanya akan mempermudah terjadinya apendisits akut.(3)
Flora pada appendix yang meradang berbeda dengan flora appendix normal. Sekitar
60% cairan aspirasi yang didapatkan dari appendicitis didapatkan bakteri jenis anaerob,
dibandingkan yang didapatkan dari 25% cairan aspirasi appendix yang normal. Diduga lumen
merupakan sumber organisme yang menginvasi mukosa ketika pertahanan mukosa terganggu
5
oleh peningkatan tekanan lumen dan iskemik dinding lumen. Flora normal kolon memainkan
peranan penting pada perubahan appendisitis akut ke appendisitis gangrenosa dan
appendicitis perforata. 10,11,15)
Appendicitis merupakan infeksi polimikroba, dengan beberapa kasus didapatkan lebih
dari 14 jenis bakteri yang berbeda dikultur pada pasien yang mengalami perforasi.
10)
Flora
normal pada appendix sama dengan bakteri pada kolon normal. Flora pada appendix akan
tetap konstan seumur hidup kecuali Porphyomonas gingivalis. Bakteri ini hanya terlihat pada
orang dewasa. Bakteri yang umumnya terdapat di appendiks, appendisitis akut dan
appendicitis perforasi adalah Eschericia coli dan Bacteriodes fragilis. Namun berbagai
variasi dari bakteri fakultatif, anaerob dan Mycobacteria dapat ditemukan. 10,11,15)
Tabel 1. Organisme yang ditemukan pada appendisitis akut 10)
Bakteri Aerob dan Fakultatif
Bakteri Anaerob
Eschericia coli
Bacteroides fragilis
Pseudomonas aeruginosa
Bacteroides sp.
Klebsiella sp.
Fusobacterium sp.
Coccus Gr (+)
Streptococcus anginosus
Clostridium sp.
Streptococcus sp.
Enteococcus sp.
Peptostreptococcus sp.
Kultur intraperitonal rutin yang dilakukan pada pasien appendisitis perforata dan non
perforata masih dipertanyakan kegunaannya. Saat hasil kultur selesai, seringkali pasien telah
mengalami perbaikan. Apalagi, organisme yang dikultur dan kemampuan laboratorium untuk
mengkultur organisme anaerob secara spesifik sangat bervariasi. Kultur peritoneal harus
dilakukan pada pasien dengan keadaan imunosupresi, sebagai akibat dari obat-obatan atau
penyakit lain, dan pasien yang mengalami abses setelah terapi appendisitis. Perlindungan
antibiotik terbatas 24-48 jam pada kasus appendisitis non perforata. Pada appendisitis
6
perforata, antibiotik diberikan 7-10 hari secara intravena hingga leukosit normal atau pasien
tidak demam dalam 24 jam. Penggunaan irigasi antibiotik pada drainage rongga peritoneal
dan transperitoneal masih kontroversi. (4,10)
1.6 Patofisiologi
Appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen appendiks oleh
hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan
sebelumnya, atau neoplasma.(12)
Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian proksimalnya
dan berlanjut pada peningkatan sekresi normal dari mukosa appendiks yang distensi.
Obstruksi tersebut mneyebabkan mucus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan.
Makin lama mucus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding appendiks mempunyai
keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan intralumen. Kapasitas lumen appendiks
normal hanya sekitar 0,1 ml. Jika sekresi sekitar 0,5 dapat meningkatkan tekanan intalumen
sekitar 60 cmH2O. Manusia merupakan salah satu dari sedikit makhluk hidup yang dapat
mengkompensasi peningkatan sekresi yang cukup tinggi sehingga menjadi gangrene atau
terjadi perforasi.(14)
Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan appendiks mengalami hipoksia,
menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi mukosa dan invasi bakteri. Infeksi menyebabkan
pembengkakan appendiks bertambah (edema) dan semakin iskemik karena terjadi trombosis
pembuluh darah intramural (dinding appendiks). Pada saat inilah terjadi appendiks akut fokal
yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Gangren dan perforasi khas dapat terjadi dalam 24-36
jam, tapi waktu tersebut dapat berbeda-beda setiap pasien karena ditentukan banyak faktor.
(9,12)
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan
menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding.
Peradangan timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri
didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan appendiks supuratif akut.(12)
Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding appendiks yang diikuti
dengan gangren. Stadium ini disebut dengan appendiks gangrenosa. Bila dinding yang telah
rapuh itu pecah, akan terjadi appendiks perforasi. (12)
Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan
bergerak kearah appendiks hingga timbul suatu massa local yang disebut infiltrate
apendikularis. Peradangan appendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang.(12)
Infiltrat apendikularis merupakan tahap patologi appendiks yang dimulai dimukosa
dan melibatkan seluruh lapisan dinding appendiks dalam waktu 24-48 jam pertama, ini
merupakan usaha pertahanan tubuh dengan membatasi proses radang dengan menutup
appendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa
periapendikular. Didalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat
mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses, appendiks akan sembuh dan massa
periapendikular akan menjadi tenang untuk selanjutnya akan mengurai diri secara lambat. (3)
Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan appendiks lebih panjang, dinding
appendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih
kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi
karena telah ada gangguan pembuluh darah.(12)
Kecepatan rentetan peristiwa tersebut tergantung pada virulensi mikroorganisme, daya
tahan tubuh, fibrosis pada dinding appendiks, omentum, usus yang lain, peritoneum parietale
dan juga organ lain seperti vesika urinaria, uterus tuba, mencoba membatasi dan melokalisir
proses peradangan ini. Bila proses melokalisir ini belum selesai dan sudah terjadi perforasi
maka akan timbul peritonitis. Walaupun proses melokalisir sudah selesai tetapi masih belum
cukup kuat menahan tahanan atau tegangan dalam kavum abdominalis, oleh karena itu
penderita harus benar-benar istirahat (bedrest). (2)
Appendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan
membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitarnya.
Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang diperut kanan bawah. Pada suatu
ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan mengalami eksaserbasi akut. (3)
1.7 Manifestasi Klinis
8
Kelainan patologi
Peradangan awal
Apenditis mukosa
Radang di seluruh
Ketebalan dinding
genitalia
interna,
ureter,
m.psoas,
Pendindingan (Infiltrat)
demam tinggi, dehidrasi,
Tidak berhasil
syok, toksik
Berhasil
massa perut kanan bawah, keadaan
umum berangsur membaik
Abses
demam remiten, keadaan umum toksik,
keluhan dan tanda setempat
Pada orang berusia lanjut gejalanya juga sering samar-samar saja, tidak jarang
terlambat diagnosis. Akibatnya lebih dari separo penderita baru dapat didiagnosis setelah
perforasi. (3)
10
Pada kehamilan, keluhan utama appendiks adalah nyeri perut, mual, dan muntah.
Yang perlu diperhatikan ialah, pada kehamilan trimester pertama sering juga terjadi mual dan
muntah. Pada kehamilan lanjut sekum dengan appendiks terdorong ke kraniolateral sehingga
keluhan tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih ke regio lumbal kanan. (3)
1.8 Pemeriksaan Fisik
Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5-38,5C. Bila suhu lebih tinggi,
mungkin sudah terjadi perforasi. Bisa terdapat perbedaan suhu aksilar dan rektal sampai 1C.
1. Inspeksi
Kadang sudah terlihat waktu penderita berjalan sambil bungkuk dan
memegang perut. Penderita tampak kesakitan. Pada inspeksi perut tidak ditemukan
gambaran spesifik. Kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi
perforasi. Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada massa atau abses
appendikuler.
2. Palpasi
Dengan palpasi di daerah titik Mc. Burney didapatkan tanda-tanda peritonitis lokal
yaitu:
Nyeri tekan di Mc. Burney
Nyeri lepas
Defans muscular lokal. Defans muscular menunjukkan adanya
rangsangan peritoneum parietal.
Pada appendiks letak retroperitoneal, defans muscular mungkin tidak ada, yang ada
nyeri pinggang.
Nyeri rangsangan peritoneum tidak langsung :
Nyeri tekan bawah pada tekanan kiri (Rovsing)
Nyeri kanan bawah bila tekanan di sebelah kiri dilepaskan (Blumberg)
11
12
Dasar Anatomi dari tes obturator : Peradangan appendiks dipelvis yang kontak dengan
otot obturator internus yang meregang saat dilakukan manuver.
1.9 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan darah : akan didapatkan leukositosis pada kebanyakan kasus
appendicitis akut terutama pada kasus dengan komplikasi, C-reaktif
protein meningkat. Pada appendikular infiltrat, LED akan meningkat.
b. Pemeriksaan urin : untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan bakteri di
dalam urin. Pemeriksaan ini sangat membantu dalam menyingkirkan
diagnosis banding seperti infeksi saluran kemih atau batu ginjal yang
mempunyai gejala klinis yang hampir sama dengan appendisitis.
2. Abdominal X-Ray
Digunakan untuk melihat adanya fecalith sebagai penyebab appendisitis. Pemeriksaan
ini dilakukan terutama pada anak-anak.
3. USG
Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan USG, terutama
pada wanita, juga bila dicurigai adanya abses. Dengan USG dapat dipakai untuk
menyingkirkan diagnosis banding seperti kehamilan ektopik, adneksitis dan
sebagainya.
4. Barium enema
Suatu pemeriksaan x-ray dengan memasukkan barium ke colon melalui anus.
Pemeriksaan ini dapat menunjukkan komplikasi-komplikasi dari appendisitis pada
jaringan sekitarnya dan juga untuk menyingkirkan diagnosis banding. Appendikogram
memiliki sensitivitas dan tingkat akurasi yang tinggi sebagai metode diagnostik untuk
menegakkan diagnosis appendisitis kronis. Dimana akan tampak pelebaran/penebalan
dinding mukosa appendiks, disertai penyempitan lumen hingga sumbatan usus oleh
fekalit.
Gambar 6. Apendikogram
5. CT-scan
Dapat menunjukkan tanda-tanda dari appendisitis. Selain itu juga dapat menunjukkan
komplikasi dari appendisitis seperti bila terjadi abses.
14
7. Histopatologi
15
Diagnosis
Sistem skor Alvarado
Diagnosis appendisitis akut pada anak tidak mudah ditegakkan hanya berdasarkan
gambaran klinis, hal ini disebabkan sulitnya komunikasi antara anak, orang tua dan dokter.
Anak belum mampu untuk mendiskripsikan keluhan yang dialami, suatu hal yang relatif lebih
mudah pada umur dewasa. Keadaan ini menghasilkan angka appendektomi negatif sebesar
20% dan angka perforasi sebesar 20-30% (Ramachandran, 1996). Salah satu upaya
meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan medis ialah membuat diagnosis yang tepat.
Telah banyak dikemukakan cara untuk menurunkan insidensi apendiktomi negatif, salah
satunya adalah dengan instrumen skor Alvarado. Skor Alvarado adalah sistem skoring
sederhana yang bisa dilakukan dengan mudah, cepat dan kurang invasif (Seleem; Amri dan
Bermansyah, 1997). Alfredo Alvarado tahun 1986 membuat sistem skor yang didasarkan
16
pada tiga gejala , tiga tanda dan dua temuan laboratorium. Klasifikasi ini berdasarkan pada
temuan pra operasi dan untuk menilai derajat keparahan appendiks. Dalam sistem skor
Alvarado ini menggunakan faktor risiko meliputi migrasi nyeri, anoreksia, nausea dan atau
vomitus, nyeri tekan di abdomen kuadran kanan bawah, nyeri lepas tekan , temperatur lebih
dari 37,20C, lekositosis dan netrofil lebih dari 75%. Nyeri tekan kuadran kanan bawah dan
lekositosis mempunyai nilai 2 dan keenam sisanya masing-masing mempunyai nilai 1,
sehingga kedelapan faktor ini memberikan jumlah skor 10 (Alvarado, 1986; Rice, 1999).
Skor Alvarado untuk diagnosis appendisitis akut :
Gejala dan tanda:
Skor
Nyeri berpindah
Anoreksia
Mual-muntah
Nyeri lepas
__________________________________________________
Total skor:
10
56
79
: observasi
56
: antibiotic
: operasi dini
10
muntah.
Jika
ditemukan
pada
laparotomi,
appendektomi
insidental
Tuba fallopi kanan dan ovarium terletak dekat appendiks. Radang kedua organ ini
sering bersamaan sehingga disebut salpingo-ooforitis atau adnecitis. Untuk
menegakkan diagnosis penyakit ini didapatkan riwayat kontak sexual. Suhu biasanya
lebih tinggi daripada appendisitis dan nyeri perut bagian bawah lebih difus. Biasanya
disertai dengan keputihan. Pada colok vaginal jika uterus diayunkan maka akan terasa
nyeri.
6. Kehamilan ektopik
Ada riwayat terhambat menstruasi dengan keluhan yang tidak menentu. Jika terjadi
ruptur tuba atau abortus di luar rahim dengan perdarahan akan timbul nyeri yang
mendadak difus di daerah pelvis dan mungkin akan terjadi syok hipovolemik. Pada
pemeriksaan colok vagina didapatkan nyeri dan penonjolan di kavum Douglas, dan
pada kuldosentesis akan didapatkan darah.
7. Divertikulitis
Meskipun diverkulitis biasanya terletak di perut bagian kiri, tetapi kadang-kadang
dapat juga terjadi di sebelah kanan. Jika terjadi peradangan dan ruptur pada
diverticulum gejala klinis akan sukar dibedakan dengan gejala-gejala appendisitis.
8. Batu ureter atau batu ginjal
Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal kanan merupakan
gambaran yang khas. Hematuria sering ditemukan. Foto polos abdomen atau urografi
intravena dapat memastikan penyakit tersebut.
1.12 Penatalaksanaan
Appendektomi
Cito
Elektif : kronik
19
Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah apendektomi dan
merupakan satu-satunya pilihan yang terbaik. Penundaan apendektomi sambil memberikan
antibiotik dapat mengakibatkan abses atau perforasi. Insidensi appendiks normal yang
dilakukan pembedahan sekitar 20%. Pada appendisitis akut tanpa komplikasi tidak banyak
masalah.
Perjalanan patologis penyakit dimulai pada saat appendiks menjadi dilindungi oleh
omentum dan gulungan usus halus didekatnya. Mula-mula, massa yang terbentuk tersusun
atas campuran membingungkan bangunan-bangunan ini dan jaringan granulasi dan biasanya
dapat segera dirasakan secara klinis. Jika peradangan pada appendiks tidak dapat mengatasi
rintangan-rintangan sehingga penderita terus mengalami peritonitis umum, massa tadi
menjadi terisi nanah, semula dalam jumlah sedikit, tetapi segera menjadi abses yang jelas
batasnya. (5)
Urut-urutan patologis ini merupakan masalah bagi ahli bedah. Masalah ini adalah
bilamana penderita ditemui lewat sekitar 48 jam, ahli bedah akan mengoperasi untuk
membuang appendiks yang mungkin gangrene dari dalam massa perlekatan ringan yang
longgar dan sangat berbahaya, dan bilamana karena massa ini telah menjadi lebih terfiksasi
dan vaskular, sehingga membuat operasi berbahaya maka harus menunggu pembentukan
abses yang dapat mudah didrainase.(5)
Massa appendiks terjadi bila terjadi appendiks gangrenosa atau mikroperforasi
ditutupi atau dibungkus oleh omentum dan atau lekuk usus halus. Pada massa periapendikular
yang pendindingannya belum sempurna, dapat terjadi penyebaran pus keseluruh rongga
peritoneum jika perforasi diikuti peritonitis purulenta generalisata. Oleh karena itu, massa
periapendikular yang masih bebas disarankan segera dioperasi untuk mencegah penyulit
tersebut. Selain itu, operasi lebih mudah. Pada anak, dipersiapkan untuk operasi dalam waktu
2-3 hari saja. Pasien dewasa dengan massa periapendikular yang terpancang dengan
pendindingan sempurna, dianjurkan untuk dirawat dahulu dan diberi antibiotik sambil
diawasi suhu tubuh, ukuran massa, serta luasnya peritonitis. Bila sudah tidak ada demam,
massa periapendikular hilang, dan leukosit normal, penderita boleh pulang dan apendiktomi
elektif dapat dikerjakan 2-3 bulan kemudian agar perdarahan akibat perlengketan dapat
ditekan sekecil mungkin. Bila terjadi perforasi, akan terbentuk abses appendiks. Hal ini
20
ditandai dengan kenaikan suhu dan frekuensi nadi, bertambahnya nyeri, dan teraba
pembengkakan massa, serta bertambahnya angka leukosit. (3)
Massa appendiks dengan proses radang yang masih aktif sebaiknya dilakukan
tindakan pembedahan segera setelah pasien dipersiapkan, karena dikuatirkan akan terjadi
abses appendiks dan peritonitis umum. Persiapan dan pembedahan harus dilakukan sebaikbaiknya mengingat penyulit infeksi luka lebih tinggi daripada pembedahan pada appendiks
sederhana tanpa perforasi. (13)
Pada periapendikular infiltrat, dilarang keras membuka perut, tindakan bedah apabila
dilakukan akan lebih sulit dan perdarahan lebih banyak, lebih-lebih bila massa appendiks
telah terbentuk lebih dari satu minggu sejak serangan sakit perut. Pembedahan dilakukan
segera bila dalam perawatan terjadi abses dengan atau pun tanpa peritonitis umum. (13)
Terapi sementara untuk 8-12 minggu adalah konservatif saja. Pada anak kecil, wanita
hamil, dan penderita usia lanjut, jika secara konservatif tidak membaik atau berkembang
menjadi abses, dianjurkan operasi secepatnya. (3)
Bila pada waktu membuka perut terdapat periapendikular infiltrat maka luka operasi
ditutup lagi, appendiks dibiarkan saja. Terapi konservatif pada periapendikular infiltrat :
1.
Total bed rest posisi fawler agar pus terkumpul di cavum douglassi.
2.
3.
Antibiotika parenteral dalam dosis tinggi, antibiotik kombinasi yang aktif terhadap
kuman aerob dan anaerob. Baru setelah keadaan tenang, yaitu sekitar 6-8 minggu
kemudian, dilakukan apendiktomi. Kalau sudah terjadi abses, dianjurkan drainase saja
dan apendiktomi dikerjakan setelah 6-8 minggu kemudian. Jika ternyata tidak ada
keluhan atau gejala apapun, dan pemeriksaan jasmani dan laboratorium tidak
menunjukkan tanda radang atau abses, dapat dipertimbangkan membatalakan
tindakan bedah.(2,3)
Analgesik diberikan hanya kalau perlu saja. Observasi suhu dan nadi. Biasanya 48
jam gejala akan mereda. Bila gejala menghebat, tandanya terjadi perforasi maka harus
dipertimbangkan appendiktomy. Batas dari massa hendaknya diberi tanda (demografi)
setiap hari. Biasanya pada hari ke5-7 massa mulai mengecil dan terlokalisir. Bila
21
massa tidak juga mengecil, tandanya telah terbentuk abses dan massa harus segera
dibuka dan didrainase.(2)
Caranya dengan membuat insisi pada dinding perut sebelah lateral dimana nyeri tekan
adalah maksimum (incisi grid iron). Abses dicapai secara ekstraperitoneal, bila
appendiks mudah diambil, lebih baik diambil karena apendik ini akan menjadi sumber
infeksi. Bila appendiks sukar dilepas, maka appendiks dapat dipertahankan karena
jika dipaksakan akan ruptur dan infeksi dapat menyebar. Abses didrainase dengan
selang yang berdiameter besar, dan dikeluarkan lewat samping perut. Pipa drainase
didiamkan selama 72 jam, bila pus sudah kurang dari 100 cc/hari, drain dapat diputar
dan ditarik sedikit demi sedikit sepanjang 1 inci tiap hari. Antibiotik sistemik
dilanjutkan sampai minimal 5 hari post operasi. Untuk mengecek pengecilan abses
tiap hari penderita di RT. (2)
Penderita periapendikular infiltrat diobservasi selama 6 minggu tentang :
LED
Jumlah leukosit
Massa
Keadaan umum penderita baik, tidak terdapat kenaikan suhu tubuh (diukur
rectal dan aksiler)
Massa sudah mengecil atau menghilang, atau massa tetap ada tetapi lebih kecil
dibanding semula.
4. Bila dalam 8-12 minggu masih terdapat tanda-tanda infiltrat atau tidak ada perbaikan,
operasi tetap dilakukan.
5. Bila ada massa periapendikular yang fixed, ini berarti sudah terjadi abses dan terapi
adalah drainase.(2)
Pembedahannya adalah dengan appendiktomi, yang dapat dicapai melalui
insisi Mc Burney (Raffensperger, 1990; Cloud, 1993). Tindakan pembedahan pada
kasus appendiks akut dengan penyulit peritonitis berupa apendektomi yang dicapai
melalui laparotomi (Raffensperger,1990; Mantu, 1994; Ein, 2000).
Lapisan kulit yang dibuka pada Appendektomi :
1.
Cutis
6.
MOI
2.
Sub cutis
7.
M. Transversus
3.
Fascia Scarfa
8.
Fascia transversalis
4.
Fascia Camfer
9.
Pre Peritoneum
5.
Aponeurosis MOE
10.
Peritoneum
1.13 Komplikasi
23
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa perforasi
bebas maupun perforasi pada appendiks yang telah mengalami pendindingan berupa massa
yang terdiri atas kumpulan appendiks, sekum, dan lekuk usus halus.(3)
Perforasi dapat menyebabkan timbulnya abses lokal ataupun suatu peritonitis
generalisata. Tanda-tanda terjadinya suatu perforasi adalah :
Nyeri lokal pada fossa iliaka kanan berganti menjadi nyeri abdomen menyeluruh
Perut distensi
Pelvic Abses
2.
Subphrenic abses
3.
24
BAB 2
ILUSTRASI KASUS
Identitas Pasien
Nama
MR
: 325691
Umur
: 18 tahun
Pekerjaan
: Wiraswasta
: Lubuk Basung
Anamnesis
Seorang pasien laki-laki berusia 18 tahun datang ke IGD RSAM Bukittinggi pada
tanggal 14 November 2012 dengan :
Keluhan Utama :
Nyeri di seluruh perut sejak 1 hari yang lalu
Riwayat Penyakit Sekarang :
-
Awalnya nyeri dirasakan di sekitar pusat lalu berpindah ke kanan bawah dan sejak
1 hari yang lalu nyeri dirasakan diseluruh perut
Demam (+)
25
Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Keadaan Umum
: Sakit sedang
Kesadaran
Nadi
: 88x/menit
Nafas
: 21x/menit
Suhu
: 36,50C
: Normochepal
Mata : Konjungtiva tidak anemis
Sklera tidak ikterik
Thoraks
Abdomen
Ekstrimitas
Status Lokalis
Regio Abdomen
Inspeksi
: Distensi (-)
26
Auskultasi
Palpasi
: Feases (-)
Darah (-)
Lendir (+)
Pemeriksaan Penunjang
-
Laboratorium
Cek darah lengkap : Hemoglobin 16,3 gr/dl
Leukosit
16,5 x 103 /l
Pemeriksaan Radiologi
Foto polos abdomen : Preperitoneal fat menghilang
Diagnosis Kerja
27
Limfadenitis Mesentrika
Ileitis akut
Rawat pre op
Informed Consent
NPO
IVFD RL 24 gtt/menit
Sikap
IVFD RL 24 gtt/menit
Appendiks :
16 November 2012
S
: Demam (-)
BAK (+) , BAB (-)
Flatus (-)
: KU
Kes
sedang CMC
Nd
Nf
BU (+)
A
: Pindah rawat CP
Awasi VS
Awasi NGT
Test minum
IVFD RL 20 tetes/menit
Terapi dilanjutkan
BAB 3
29
DISKUSI
Pasien ini datang dengan keluhan utama nyeri pada seluruh perut dan nyeri bertambah
setelah melakukan pergerakan. Pasien ini mengalami nyeri viseral. Pada awalnya nyeri
dirasakan di daerah pusat lalu berpindah dan menetap di kanan bawah. Berarti awalnya
dirasakan nyeri tumpul di daerah umbilikus setelah beberapa jam nyeri tersebut bersifat
tajam, menetap di daerah perut kanan bawah (titik Mc.Burney). Nyeri yang berpindah seperti
ini merupakan tanda khas dari appendisitis.
Setelah 2 hari, pasien merasakan nyeri di seluruh perut dan bertambah bila ada
pergerakan. Pasien ini telah sampai pada tahap perforasi appendiks yang menyebabkan
komplikasi berupa peritonitis difusa. Awalnya, ketika terjadi appendisitis perforasi tubuh
berusaha membentuk pertahanan dengan melingkupi appendiks yang pecah ini. Omentum,
usus halus, dan adneksa akan menutup appendiks pada 24-48 jam pertama, membentuk massa
periappendikular. Jika imun tubuh pasien kuat, rentetan peristiwa pertahanan ini terjadi secara
cepat dan massa periappendikular ini tidak akan pecah sehingga komplikasi berupa peritonitis
bisa dihindari. Tapi bila pertahanan tubuh tak sanggup lagi membendung infeksi yang terjadi,
massa tersebut akan pecah dan menimbulkan peritonitis.
Jika telah terjadi perforasi appendiks, ini merupakan kasus cito untuk dilakukan
appendektomi. Karena pasien ini juga mengalami peritonitis, maka dilakukan juga
laparotomi. Di meja operasi ditemukan appendiks yang meradang dengan perforasi berukuran
8 x 1,5 x 1 cm dengan letak preilial.
30