Referat GA ET

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 42

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


General anestesi merupakan tehnik yang paling banyak dilakukan
pada berbagai macam prosedur pembedahan. Selain itu general anastesi juga
dipakai untuk mempermudah tindakan diagnostik misalnya, pembuatan foto
CT scan otak, arteriografi, atau MRI pada penderita yang gelisah, bayi atau
anak-anak. General anastesi juga dipakai untuk detoksifikasi cepat penderita
kecanduan narkotik. Tehnik ini menghilangkan rasa sakit seluruh tubuh secara
sentral disertai hilangnya kesadaran yang bersifat pulih kembali (reversible).
Trias anestesia terdiri dari analgesia, hipnotik dan relaksasi. Tahap awal dari
anestesi umum adalah induksi. Induksi anestesi merupakan peralihan dari
keadaan sadar dengan reflek perlindungan masih utuh sampai dengan
hilangnya kesadaran (ditandai dengan hilangnya reflek bulu mata) akibat
pemberian obatobat anestesi1
Tindakan pembedahan terutama yang memerlukan anastesi umum
diperlukan teknik intubasi endotrakeal. Intubasi endotrakeal adalah suatu
teknik memasukkan suatu alat berupa pipa kedalam saluran pernapasan
bagian

atas.

Tujuan

dilakukannya

intubasi

endotrakeal

untuk

mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas, mengendalikan oksigenasi dan


ventilasi, mencegah terjadinya aspirasi lambung pada keadaan tidak sadar,
tidak ada refleks batuk ataupun kondisi lambung penuh, sarana gas anestesi
menuju

langsung

ke

trakea,

membersihkan

saluran

trakeobronkial.

Komplikasi akibat intubasi endotrakeal antara lain nyeri tenggorok, suara


serak, paralisa pita suara, edem laring, laring granuloma dan ulser, glottis dan
subglotis

granulasi

jaringan,

trachealstenosis,

tracheamalacia,

tracheoesophagial fistula.1
Pipa endotrakeal digunakan untuk menghantarkan gas anestesi
langsung ke trakea dan memfasilitasi ventilasi dan oksigenasi. Pipa

endotrakeal terbuat dari plastik Polyvinyl Chlorida yang merupakan cetakan


dari bentukan jalan nafas. Bahan dari ETT harus bersifat radioopaq untuk
mengetahui posisi ujung distal ke karina dan transparan agar dapat dilihat
sekresi atau aliran udara yang dibuktikan oleh adanya pengembungan uap air
pada lumen pipa selama ekshalasi. Pipa Murphy memiliki lubang (Murphy
eye) untuk menurunkan resiko oklusi bagian bawah pipa yang berbatas
langsung dengan carina atau trakea.3
Faktor dari pipa endotrakeal seperti ukuran pipa endotrakeal, desain
pipa endotrakeal, desain kaf pipa endotrakeal, tekanan intrakaf, lubrikasi pipa
endotrakeal, zat aditif bahan pembuat pipa endotrakeal, pasien batuk saat
masih memakai pipa endotrakeal, suctioning faring yang berlebihan selama
ekstubasi, insersi pipa lambung (NGT), bahan pembersih pipa endotrakeal
yang digunakan dapat menyebabkan nyeri tenggorok

dan suara serak.

Keterampilan pelaku intubasi seperti intubasi yang dilakukan oleh orang yang
belum berpengalaman sering menyebabkan trauma pada bibir sering terjadi di
sisi kanan bibir atas terjepit diantara bilah laringoskop dan gigi atas.
Keberhasilan

intubasi

pada

laringoskopi

pertama

juga

dikatakan

mempengaruhi insiden komplikasi intubasi endotrakeal. Kesulitan intubasi /


intubasi berulang mempengaruhi timbulnya komplikasi intubasi endotrakeal.
Pada pasien dengan kesulitan intubasi, penatalaksanaan jalan napas menjadi
lebih sulit sehingga lebih mudah terjadi cedera pada jalan napas yang
menyebabkan nyeri tenggorok. Prosedur intubasi dengan menekankan krikoid
selama laringoskopi memfasilitasi visualisasi pita suara sehingga manuver ini
bisa membantu menghindari kerusakan sekitar pita suara yang disebabkan
oleh intubasi yang dipaksakan.3

1.2 Batasan Masalah


Referat ini membahas general anastesi dengan menggunakan intubasi
endotrakeal.
1.3. Tujuan Penulisan

Untuk mengetahui general anastesi dengan menggunakan intubasi


endotrakeal.
.
1.4. Manfaat Penulisan
Referat ini diharapkan bermanfaat dalam memberikan informasi dan
pengetahuan

tentang

general

anastesi

dengan menggunakan

intubasi

endotrakeal.
.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 General Anastesi


1. Definisi
Anastesi (pembiusan) berasa dari bahasa yunani. An- tidak,tanpa dan
aesthesos, persepsi, kemampuan untuk merasa. Secara umum
bermakna suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan
pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit
pada tubuh. Anastesi umum (general anastesi) disebut juga dengan nama
narkose umum (NU). Anastesi umum adalah meniadakan nyeri secara
sentral disertai hilangnya kesdaran yang bersifat reversible.3,4
2. Tujuan General anastesi
Adalah hipnotik, analgesik, relaksasi dan stabilisasi otonom.1
3. Cara kerja obat anastesi6
Apabila obat anastesi inhalasi, dihirup bersama-sama udara
inspirasi masuk kedalam saluran pernapasan, didalam alveoli paru akan
berdifusi masuk ke dalam sirkulasi darah. Demikian pula yang
disuntikkan secara intramuskuler, obat tersebut akan diabsorbsi masuk ke
dalam sirkulasi darah.2,5
Setelah masuk kedalam sirkulasi darah obat tersebut akan meyebar
ke dalam jaringan. Dengan sendirinya jaringan yang kaya pembuluh
darah seperti otak atau organ vital akan menerima obat lebih banyak
dibandingkan jaringan yang pembuluh darahnya sedikit seperti tulang
atau jaringan lemak. 2,5
Tergantung obatnya, didalam jaringan ssebagian akan mengalami
metabolisme, ada yang terjadi di hepar, ginjal atau jaringan lain. Ekskresi
bisa melalui ginjal, hepar, kulit, atau paru-paru. Ekskresi bisa dalam

bentuk asli atau hasil metabolismnya. N2O diekskresikan dalam bentuk


asli lewat paru. 2,5
Faktor yang mempengaruhi anastesi antara lain :6
Faktor respirasi (untuk obat inhalasi)
Sesudah obat anastesi inhalasi sampai di alveoli, maka akan
mencapai tekanan parsial tertentu, makin tinggi konsentrasi zat
yang dihirup tekanan parsialnya makin tinggi. Perbedaan tekanan
parsial zat anastesi dalam alveoli dan dalam darah menyebabkan
terjadinya difusi. Bila tekanan dalam alveoli lebih tinggi maka
difusi terjadi dari alveoli kedalam sirkulasi dan sebaliknya difusi
terjadi dari sirkulasi kedalam alveoli bila tekanan aveoli lebih
rendah (keadaan ini terjadi bila pemberian obat anastesi
dihentikan). Makin tinggi perbedaan tekanan parsial makin cepat
terjadinya difusi.
Proses difusi akan terganggu bila terdapat penghalang
antara alveoli dan sirkulasi darah misalnya pada edem paru dan
fibrosis paru. Pada keadaan ventilasi alveolar meningkat misalnya
pada nafas dalam maka obat inhalasi berdifusi lebih banyak dan
sebaliknya, pada keadaan ventilasi yang menurun misalnya pada
depresi respirasi atau obstruksi respirasi
Faktor sirkulasi
Aliran darah paru menentukkan pengangkutan gas anastesi
dari paru kejaringan dan sebaliknya. Pada gangguan pembuluh
darah paru makin sedikit obat yang dapat diangkut demikian juga
pada keadaan cardiac output yang menurun.
Blood gas partition coefisien adalah risiko konsentrasi zat
anastesi dalam darah dan dalam gas bila keduanya dalam keadaan
keseimbangan. Bila kelarutan zat anastesi dalam darah tinggi maka
obat yang berdifusi cepat larut dalam darah, sebaliknya obat yang
kelarutannya lebih rendah, maka cepat terjadi kesimbangan antara
alveoli dan sirkulasi darah, akibatnya penderita mudah tertidur
waktu induksi dan mudah bangun waktu anastesi diakhiri.

Faktor jaringan
Yang menentukan antara lain :
o Perbedaan tekanan parsial obat anastesi didalam sirkulasi
darah dan di dalam jaringan
o Kecepatan metabolisme obat
o Aliran darah dalam jaringan
o Tissue/Blood patition coefisien
Faktor obat anastesi
Tiap-tiap zat anastesi mempunyai potensi yang berbeda.
Untuk mengukur potensi obat anastesi inhalasi dikenal adanya
MAC (minimal alveolar concentration). MAC adalah konsentrasi
obat anastesi inhalasi minimal apada 1 atm yang dapat mencegah
gerakan otot skelet sebagai respon rangsang sakit supra maksimal
pada 50% pasien atau dapat diartikan sebagai konsentrasi obat
inhalasi dalam alveoli yang dapat mencegah respon terhadap insisi
pembedahan pada 50% individu. Makin rendah MAC makin tinggi
potensi obat anastesi tersebut.

4. Stadium Anastesi4,6
Kedalaman anastesi harus dimonitor terus menerus oleh pemberi
anastesi, agar tidak terlalu dalam sehingga membahayakan jiwa penderita,
tetapi cukup adekuat untuk melakukan operasi. Kedalaman anastesi dinilai
berdasar tanda klinik yang didapat. Guedel membagai kedalaman anastesi
menjadi 4 stadium dengan melihat pernafasan, gerkan bola mata, tanda
pada pupil, tonus otot.
a. Stadium 1

Disebut juga stadium analgesia atau stadium disorientasi. Dimulai


sejak diberikan anastesi sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini
operasi kecil bisa dilakukan.
b. Stadium 2
Disebut juga stadium derilium atau stadium eksitasi. Dimulai dari
hilangnya kesadaran sampai nafas teratur. Dalam stadium ini penderita
bisa meronta-ronta, pernafasan ireguler, pupil melebar, reflex cahaya
positif, gerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot
meninggi, reflex fisiologi masih ada, dapat terjadi batuk atau muntah,
kadang-kadang kencing atau defekasi.
Stadium ini diakhiri dengan hilangnya reflex menelan dan kelopak
mata

dan

selanjutnya

nafas

menjadi

teratur.

Stadium

ini

membahayakan penderita, karena itu harus segera diakhiri. Keadaan


ini bisa dikurangi dengan memberikan premedikasi yang adekuat,
persiapan psikologi penderita dan induksi yang halus dan tepat.
c. Stadium 3
Disebut juga stadium operasi. Dimulai dari nafas teratur sampai
paralisis otot nafas. Dibagi menjadi 4 plane :
Plana I :
Dari nafas teratur sampai berhentinya gerakan bola mata.
Ditandainya dengan nafas teratur, nafas torakal sama dengan
abdominal, gerakan bola mata berhenti, pupil mengecil, reflex cahaya
(+), lakrimasi meningkat, reflex faring, muntah menghilang, tonus otot
menurun.
Plana II :
Dari berhentinya gerkana bola mata sampai permulaan paralisa otot
intrakostal. Ditandai dengan pernafasan teratur, volume tidal menurun
dan frekuensi nafas meningkat, mulai terjadi depresi nafas torakal,
bola mata berhenti, pupil mulai melebar, dan reflex cahaya menurun,
reflex korneamenghilang dan tonus otot makin menurun.
Plana III :
Dari permulaan paralisis otot intercostal. Ditandai dengan
pernafasan abdominal lebih dominan dari torakal karena terjadi
paralisis otot intercostal, pupil makin melebar dan reflex cahaya
7

menjadi hilang, lakrimasi negative, reflex laring dan peritoneal


menghilang, tonus otot makin menurun
Plana IV :
Dari paralisa semua otot intercostal sampai paralisis diafragma.
Ditandai dengan paralisis otot intrakostal, pernafasan lambat, iregelur
dan tidak adekuat, terjadi jerky karena terjadi paralisis diafragma.
Tonus otot makin menurun sehingga terjadi flaccid, pupil melebar,
reflex cahaya negative, reflex spincter ani negative.
d. Stadium IV
Dari paralisis diafragma sampai apneu dan kematian. Juga disebut
stadium over dosis atau stadium paralysis. Ditandai dengan hilangnya
semua reflex, pupil dilatasi, terjadi respiratory failure dan diikuti
dengan circulatory failure.
5. Syarat, Kontraindikasi dan Komplikasi Anastesi
Adapun syarat ideal dilakukan anestesi umum adalah :
a. Memberi induksi yang halus dan cepat.
b. Timbul situasi pasien tak sadar atau tak berespons
c. Timbulkan keadaan amnesia
d. Timbulkan relaksasi otot skeletal, tapi bukan otot pernapasan.
e. Hambatan persepsi rangsang sensorik sehingga timbul analgesia yang cukup untuk
tindakan operasi.
f. Memberikan keadaan pemulihan yang halus cepat dan tidak menimbulkan ESO
yang berlangsung lama.
Kontraindikasi mutlak dilakukan anestesi umum yaitu dekompresi
kordis derajat III IV, AV blok derajat II total (tidak ada gelombang P).
Kontraindikasi Relatif berupa hipertensi berat/tak terkontrol (diastolik
>110), DM tak terkontrol, infeksi akut, sepsis, GNA.

Tergantung pada efek farmakologi pada organ yang mengalami


kelainan. Pada pasien dengan gangguan hepar, harus dihindarkan
pemakaian obat yang bersifat hepatotoksik. Pada pasien dengan
gangguan jantung, obat obatan yang mendepresi miokard atau
menurunkan aliran koroner harus dihindari atau dosisnya diturunkan.
Pasien dengan gangguan ginjal, obat obatan yang diekskresikan melalui
ginjal harus diperhatikan. Pada paru, hindarkan obat yang memicu
sekresi paru, sedangkan pada bagian endokrin hindari obat yang
meningkatkan kadar gula darah, obat yang merangsang susunan saraf
simpatis pada penyakit diabetes basedow karena dapat menyebabkan
peningkatan kadar gula darah.
Sedangkan komplikasi kadang kadang tidak terduga walaupun
tindakan anestesi telah dilakukan dengan sebaik baiknya. Komplikasi
dapat dicetuskan oleh tindakan anestesi ataupun kondisi pasien sendiri.
Komplikasi dapat timbul pada waktu pembedahan ataupun setelah
pembedahan. Komplikasi kardiovaskular berupa hipotensi dimana
tekanan sistolik kurang dari 70 mmHg atau turun 25 % dari sebelumnya,
hipertensi dimana terjadi peningkatan tekanan darah pada periode induksi
dan pemulihan anestesi. Komplikasi ini dapat membahayakan khususnya
pada penyakit jantung karena jantung bekerja keras dengan kebutuhan
kebutuhan miokard yang meningkat yang dapat menyebabkan iskemik
atau infark apabila tidak tercukupi kebutuhannya. Komplikasi lain berupa
gelisah setelah anestesi, tidak sadar , hipersensitifitas ataupun adanya
peningkatan suhu tubuh.
6. Obat obat dalam anestesi umum
Jenis obat anestesi umum diberikan dalam bentuk suntikan
intravena atau inhalasi.
1. Anestetik intravena
Penggunaan

Untuk induksi

Obat tunggal pada operasi singkat

Tambahan pada obat inhalasi lemah

Tambahan pada regional anestesi

Sedasi

Cara pemberian

Obat tunggal untuk induksi atau operasi singkat

Suntikan berulang (intermiten)

Diteteskan perinfus

Obat anestetik intravena meliputi

a. Benzodiazepine
Sifat : hipnotik sedative, amnesia anterograd, atropine like
effect, pelemas otot ringan, cepat melewati barier plasenta.
Kontraindikasi : porfiria dan hamil.
Dosis : Diazepam : induksi 0,2 0,6 mg/kg IV, Midazolam :
induksi : 0,15 0,45 mg/kg IV.
b. Propofol
Merupakan salah satu anestetik intravena yang sangat penting.
Propofol dapat menghasilkan anestesi kecepatan yang sama
dengan pemberian barbiturat secara inutravena, dan waktu
pemulihan yang lebih cepat. Dosis : 2 2,5 mg/kg IV.
c. Ketamin
Ketamin adalah suatu rapid acting nonbarbiturat general
anaesthetic. Indikasi pemakaian ketamin adalah prosedur dengan
pengendalian jalan napas yang sulit, prosedur diagnosis,
tindakan ortopedi, pasien resiko tinggi dan asma. Dosis
pemakaian ketamin untuk bolus 1- 2 mg/kgBB dan pada
pemberian IM 3 10 mg/kgBB.

10

d. Thiopentone Sodium
Merupakan bubuk kuning yang bila akan digunakan dilarutkan
dalam air menjadi larutan 2,5%atau 5%. Indikasi pemberian
thiopental adalah induksi anestesi umum, operasi singkat, sedasi
anestesi regional, dan untuk mengatasi kejang. Keuntungannya
:induksi mudah, cepat, tidak ada iritasi mukosa jalan napas.
Dosis 5 mg/kg IV, hamil 3 mg/kg IV.

2. Anestetik inhalasi
a. N2O
Nitrogen monoksida merupakan gas yang tidak berwarna,
tidak berbau, tidak berasa dan lebih berat daripada udara. N2O
biasanya tersimpan dalam bentuk cairan bertekanan tinggi dalam
baja, tekanan penguapan pada suhu kamar 50 atmosfir. N2O
mempunyai efek analgesic yang baik, dengan inhalasi 20% N2O
dalam oksigen efeknya seperti efek 15 mg morfin. Kadar optimum
untuk mendapatkan efek analgesic maksimum 35% .gas ini
sering digunakan pada partus yaitu diberikan 100% N2O pada
waktu kontraksi uterus sehingga rasa sakit hilang tanpa
mengurangi kekuatan kontraksi dan 100% O2 pada waktu relaksasi
untuk mencegah terjadinya hipoksia. Anestetik tunggal N2O
digunakan secara intermiten untuk mendapatkan analgesic pada
saat proses persalinan dan Pencabutan gigi. H2O digunakan secara
umum untuk anestetik umum, dalam kombinasi dengan zat lain

11

b. Halotan
Merupakan cairan tidak berwarna, berbau enak, tidak
mudah terbakar dan tidak mudah meledak meskipun dicampur
dengan oksigen. Halotan bereaksi dengan perak, tembaga, baja,
magnesium, aluminium, brom, karet dan plastic. Karet larut dalam
halotan, sedangkan nikel, titanium dan polietilen tidak sehingga
pemberian obat ini harus dengan alat khusus yang disebut fluotec.
Efek analgesic halotan lemah tetapi relaksasi otot yang
ditimbulkannya baik. Dengan kadar yang aman waktu 10 menit
untuk induksi sehingga mempercepat digunakan kadar tinggi (3-4
volume %). Kadar minimal untuk anestesi adalah 0,76% volume.
c. Isofluran
Merupakan eter berhalogen yang tidak mudah terbakar.
Secara kimiawi mirip dengan efluran, tetapi secara farmakologi
berbeda. Isofluran berbau tajam sehingga membatasi kadar obat
dalam udara yang dihisap oleh penderita karena penderita menahan
nafas dan batuk. Setelah pemberian medikasi preanestetik stadium
induksi dapat dilalui dengan lancer dan sedikit eksitasi bila
diberikan bersama N2O dan O2. isofluran merelaksasi otot
sehingga baik untuk intubasi. Tendensi timbul aritmia amat kecil
sebab isofluran tidak menyebabkan sensiitisasi jantung terhadap
ketokolamin. Peningkatan frekuensi nadi dan takikardiadihilangkan
dengan pemberian propanolol 0,2-2 mg atau dosis kecil narkotik
(8-10 mg morfin atau 0,1 mg fentanil), sesudah hipoksia atau
hipertemia diatasi terlebih dulu. Penurunan volume semenit dapat
diatasi dengan mengatur dosis. Pada anestesi yang dalam dengan
isofluran tidak terjadi perangsangan SSP seperti pada pemberian
enfluran. Isofluran meningkatkan aliran darah otak pada kadar
labih dari 1,1 MAC (minimal Alveolar Concentration) dan
meningkatkan tekanan intracranial.
d. Sevofluran

12

Obat anestesi ini merupakan turunan eter berhalogen yang


paling disukai untuk induksi inhalasi.
3. Muscle Relaxant
adalah obat yang mengurangi ketegangan otot dengan bekerja pada
saraf yang menuju otot (misalnya kurare, suksinilkolin). Berdasarkan
perbedaan mekanisme kerja dan durasi kerjanya' obat-obat pelumpuh
otot dapat dibagi menjadi obat pelumpuh otot depolarisasi (meniru
aksi

asetilkolin)

dan

obat

pelumpuh

otot

nondepolarisasi

(mengganggu kerja asetilkolin). Obat pelumpuh otot nondepolarisasi


dibagi menjadi 3 grup lagi yaitu obat kerja lama' sedang' dan singkat.
Obat-obat pelumpuh otot dapat berupa senyawa benzilisokuinolin
atau aminosteroid. Obat- obat pelumpuh otot membentuk blokade
saraf-otot fase I depolarisasi' blokade saraf-otot fase II depolarisasi
atau nondepolarisasi.

a. Muscle Relaxant Golongan Depolarizing


Pelumpuh otot depolarisasi bekerja seperti asetilkolin,
tetapi di celah sinaps tidak dirusak dengan asetilkolinesterase
sehingga

bertahan

cukup

lama

menyebabkan

terjadinya

depolarisasi yang ditandai dengan fasikulasi yang diikuti


relaksasi otot lurik. Termasuk golongan ini adalah suksinilkolin
(diasetil-kolin) dan dekametonium. Didalam vena, suksinil kolin
dimetabolisme oleh kolinesterase plasma,pseudokolinesterase
menjadi suksinil-monokolin. Obat anti kolinesterase (prostigmin)
dikontraindikasikan

karena

menghambat

kerja

pseudokolinesterase

Suksinilkolin (diasetilkolin, suxamethonium)

13

Suksinilkolin terdiri dari 2 molekul asetilkolin yang


bergabung. obat ini memiliki onset yang cepat (30-60 detik)
dan duration of action yang pendek (kurang dari 10 menit).
Ketika suksinilkolin memasuki sirkulasi, sebagian besar
dimetabolisme

oleh

pseudokolinesterase

menjadi

suksinilmonokolin. Proses ini sangat efisien, sehingga hanya


fraksi

kecil

dari

dosis

yang

dinjeksikan

yang

mencapaineuromuscular junction. Duration of action akan


memanjang pada dosis besar atau dengan metabolisme
abnormal,

seperti

hipotermia

atau

rendanya

level

pseudokolinesterase. Rendahnya level pseudokolinesterase


ini ditemukan pada kehamilan, penyakit hati, gagal ginjal dan
beberapa terapi obat. Pada beberapa nesterase. Kelumpuhan
berkurang

dengan

nondepolarisasi

pemberian

dan

asidosis.

obat
Tidak

pelumpuh

otot

menunjukkan

kelumpuhan yang bertahap pada perangsangan tunggal


maupun tetanik. Belum diatasi dengan obat spesifik

b. Muscle Relaxant Golongan Non Depolarizing.


Bekerja berikatan dengan reseptor kolinergik nikotinik
tanpa menyebabkan depolarisasi, hanya menghalangi asetilkolin
menempatinya, sehingga asetilkolin tidak dapat bekerja.
Farmakokinetik

obat

pelumpuh

otot

nondepolarisasi

dihitung setelah pemberian cepat intravena. Rerata obat


pelumpuh otot yang hilang dari plasma dicirikan dengan
penurunan inisial cepat (distribusi ke jaringan) diikuti penurunan
yang lebih lambat (klirens). Meskipun terdapat perubahan
distribusi dalam aliran darah' anestesi inhalasi memiliki sedikit
efek atau tidak sama sekali pada
14

farmakokinetik obat pelumpuh otot. Peningkatan blok saraf-otot


oleh anestesi volatil mencerminkan aksi farmakodinamik' seperti
dimanifestasikan oleh penurunan konsentrasi plasma obat
pelumpuh otot yang dibutuhkan untuk menghasilkan tingkat
blokade saraf tertentu dengan adanya anestesi volatile. Bila
volume distribusi menurun akibat peningkatan ikatan protein'
dehidrasi' atau

perdarahan akut' dosis obat yang sama

menghasilkan konsentrasi plasma yang lebih tinggi dan potensi


nyata akumulasi obat. Waktu paruh eliminasi obat pelumpuh otot
tidak dapat dihubungkan dengan durasi kerja obat-obat ini saat
diberikan sebagai injeksi cepat intravena.

Pankuronium
Sifat

Pemerian : Hablur atau serbuk hablur; putih atau hampir putih;

Fisikokimia

higroskopis Kelarutan : larut dalam 1 bagian air; dalam 5 bagian


etanol dan dalam 5 bagian kloroform; dalam 4 bagian dikloro

metana; dalam 1 bagian metana; praktis tidak larut dalam eter


Golongan Terapi: Relaksan Otot Perifer dan Penghambat
Kolinesterase

Indikasi
Pankuronium digunakan sebagai intubasi endotrakeal
dan relaksan otot pada anestesi umum untuk prosedur
pembedahan dan untuk memudahkan ventilasi terkontrol.
Dosis, Cara Pemberian dan Lama Pemberian
Dewasa : Dengan cara injeksi intravena, dosis awal
untuk intubasi 50-100 mcg/kg bb, dilanjutkan 10-20 mcg/kg bb
sesuai dengan kebutuhan/saat diperlukan.

15

Anak-anak : dosis awal 50-100 mcg/kg bb, lalu


dilanjutkan dengan 10-20 mcg/kg bb.
Kontraindikasi
Hipersensitivitas : pasien peka bromida ; pasien yang
menderita epilepsi (antiepileptika).
Efek Samping
Efek samping yang sering terjadi pada pemakaian obat
ini seperti : Bradikardia, Bronkospasme, Hipotensi, dan gagal
jantung, Takhikardia dan tekanan darah menjadi tinggi.
Pemberian pancuronium pada pasien perlu diperhatikan karena
dapat

menaikkan

konsentrasi

katekolamine

atau

efek

simpatomimetika.
Bentuk Sediaan : Injeksi 2 mg/ml

alkuronium klorida (alloferin)


Merupakan sintetik toksiferin. Kemasan dalam ampul beroisi
larutan bertisi 2ml yang mengandung 10 mg alkuronium klorida.
Larutan tidak dapat dicampur bersama thiopental. Dosis relaksasi
pembedahan : 0,15mg/kg/BB/IV (dewasa) 0,125-0,2 mg/kgBB/IV
(anak-anak). Dosis intubasi trakea : 0,3 mg/kg/BB/IV

4. Penawar Pelumpuh Otot


Antikolinesterase

bekerja

dengan

menghambat

kolinesterase sehingga asetilkolin dapat bekerja. Antikolinesterase


yang paling sering digunakan adalah neostigmin (dosis 0,04-0,08

16

mg/kg), piridostigmin (dosis 0,1-0,4 mg/kg) dan edrophonium


(dosis 0,5-1,0 mg/kg), dan fisostigmin yang hanya untuk
penggunaan oral (dosis 0,01-0,03 mg/kg). Penawar pelumpuh otot
bersifat

muskarinik

sehingga

menyebabkan

hipersalivasi,

keringatan, bradikardi, kejang bronkus, hipermotilitas usus dan


pandangan kabur sehingga pemberiannya harus disertai vagolitik
seperti atropine (dosis 0,01-0,02mg/kg) atau glikopirolat (dosis
0,005-0,01 mg/kg sampai 0,2-0,3 mg pada dewasa).
7. Cara memberikan anastesi4,6
-

Induksi
Pemberian anastesi dimulai dengan Merupakan tindakan untuk
membuat

pasien

dari

sadar

menjadi

tidak

sadar,

sehingga

memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan, tergantung lama


operasinya, untuk operasi yang waktunya pendek mungkin cukup
dengan induksi saja. Tetapi untuk operasi yang lama, kedalaman
anastesi perlu dipertahankan dengan memberikan obat terus-menerus
dengan dosis tertentu, hal ini disebut maintenance atau pemeliharaan,
setelah tindakan selesai pemberian obat anastesi dihentikan dan fungsi
tubuh penderita dipulihkan, periode ini disebut pemulihan/recovery.

a. Persiapan induksi
STATICS
:

S = Scope. Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung.


Laringo-Scope
T= Tubes. Pipa trakea. Usia >5 tahun dengan balon(cuffed)

17

A = Airway. Pipa mulut faring (orofaring) dan pipa hidung faring


(nasofaring) yang digunakanuntuk menahan lidah saat pasien
tidak sadar agar lidah tidak menymbat jalan napas
T =Tape. Plester untuk fiksasi pipa agar tidak terdorong atau
tercabut
I = Introductor. Stilet atau mandrin untuk pemandu agar pipa trakea
mudah dimasukkan
C =Connector. Penyambung pipa dan perlatan anestesia
S = Suction. Penyedot lendir dan ludah
b. Induksi Intravena
:
1. Paling banyak digunakan, dilakukan dengan hati-hati, perlahanlahan, lembut dan terkendali. Obat induksi bolus disuntikan dalam
kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi anestesi, pernapasan
pasien, nadi dan tekanan darah harsu diawasi dan selalu diberikan
oksigen. Dikerjakan pada pasien yang kooperatif.
2. Jenis Induksi intravena
a. Tiopental (pentotal, tiopenton) (amp 500 mg atau 1000 mg)
sebelum digunakan dilarutkan dalam akuades steril sampai
kepekatan 2,5% ( 1ml = 25mg). hanya boleh digunakan untuk
intravena dengan dosis 3-7 mg/kg disuntikan perlahan-lahan
dihabiskan dalam 30-60 detik.
Bergantung dosis dan kecepatan suntikan tiopental akan
menyebabkan pasien berada dalam keadaan sedasi, hypnosis,
anestesia atau depresi napas. Tiopental menurunkan aliran
darah otak, tekanan likuor, tekanan intracranial dan diguda
dapat melindungi otak akibat kekurangan O2 . Dosis rendah
bersifat anti-analgesi.
b. Propofol (diprivan, recofol)
Dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu
bersifat isotonic dengan kepekatan 1% (1ml = 1o mg). suntikan
intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik
sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg intravena.

18

Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan


untuk anestesia intravena total 4-12 mg/kg/jam dan dosis
sedasi untuk perawatan intensif 0.2 mg/kg. pengenceran hanya
boleh dengan dekstrosa 5%. Tidak dianjurkan untuk anak < 3
tahun dan pada wanita hamil.
c. Ketamin (ketalar)
Kurang digemari karena sering menimbulkan takikardia,
hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anestesia dapat
menimbulkan mual-muntah, pandangan kabur dan mimpi
buruk. Sebelum pemberian sebaiknya diberikan sedasi
midazolam (dormikum) atau diazepam (valium) dengan
dosis0,1 mg/kg intravena dan untuk mengurangi salvias
diberikan sulfas atropin 0,01 mg/kg.
Dosis bolus 1-2 mg/kg dan untuk intramuscular 3-10
mg. ketamin dikemas dalam cairan bening kepekatan 1% (1ml
= 10mg), 5% (1 ml = 50 mg), 10% ( 1ml = 100 mg).

d. Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil)


Diberikan dosis tinggi. Tidak menggaggu kardiovaskular,
sehingga banyak digunakan untuk induksi pasien dengan
kelianan jantung. Untuk anestesia opioid digunakan fentanil

19

dosis

20-50

mg/kg

dilanjutkan

dosis

rumatan

0,3-1

mg/kg/menit.
c. Induksi intramuskular
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan
secara intramuskulardengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5
menit pasien tidur.
d. Induksi inhalasi
1. N2O (gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen
monoksida).
Berbentuk gas, tak berwarna, bau manis, tak iritasi, tak
terbakar dan beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian harus
disertai O2 minimal 25%. Bersifat anastetik lemah, analgesinya
kuat, sehingga sering digunakan untuk mengurangi nyeri
menjelang persalinan. Pada anestesi inhalasi jarang digunakan
sendirian, tapi dikombinasi dengan salah satu cairan anastetik
lain seperti halotan.
2. Halotan (fluotan)
Sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi, asalkan
anestesinya cukup dalam, stabil dan sebelum tindakan diberikan
analgesi semprot lidokain 4% atau 10% sekitar faring laring.
Kelebihan dosis menyebabkan depresi napas, menurunnya
tonus simpatis, terjadi hipotensi, bradikardi, vasodilatasi perifer,
depresi vasomotor, depresi miokard, dan inhibisi refleks
baroreseptor. Merupakan analgesi lemah, anestesi kuat. Halotan
menghambat pelepasan insulin sehingga mininggikan kadar gula
darah.
20

3. Enfluran (etran, aliran)


Efek depresi napas lebih kuat dibanding halotan dan enfluran
lebih iritatif disbanding halotan. Depresi terhadap sirkulasi lebih
kuat dibanding halotan, tetapi lebih jarang menimbulkan aritmia.
Efek relaksasi terhadap otot lurik lebih baik disbanding halotan.
4. Isofluran (foran, aeran)
Meninggikan aliran darah otak dan tekanan intracranial.
Peninggian aliran darah otak dan tekanan intracranial dapat
dikurangi dengan teknik anestesi hiperventilasi, sehingga
isofluran banyak digunakan untuk bedah otak.
Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal,
sehingga digemari untuk anestesi teknik hipotensi dan banyak
digunakan pada pasien dengan gangguan koroner.
5. Desfluran (suprane)
Sangat mudah menguap. Potensinya rendah (MAC 6.0%),
bersifat simpatomimetik menyebabkan takikardi dan hipertensi.
Efek depresi napasnya seperti isofluran dan etran. Merangsang
jalan napas atas sehingga tidak digunakan untuk induksi
anestesi.
6. Sevofluran (ultane)
Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan
isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan
napas, sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi
disamping halotan.
21

e. Induksi perektal
Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan thiopental atau
-

midazolam.
Rumatan Anestesi (Maintainance)
Seperti pada induksi, pada fase pemeliharaan juga dapat dipakai
obat inhalasi atau intravena. Obat intravena bisa diberikan secara
intermitten atau continuous drip. Kadang-kadang dipakai gabungan obat
inhalasi dan intravena agar dosis masing-masing obat dapat diperkecil.
Untuk operasi-operasi tertentu diperlukan anastesi umum sampai
tingkat kedalamannya mencapai trias anastesi, pada penderita yang tingkat
analgesinya tidak cukup dan tidak mendapat pelemas otot, maka bila
mendapat rangsang nyeri dapat timbul :4,6
a. Gerakan lengan atau kaki
b. Penderita akan bersuara, suara tidak timbul pada pasien yang memakai
pipa endotrakeal
c. Adanya lakrimasi
d. Pernafasan

tidak

teratur,

menahan

nafas,

stridor

laryngeal,

broncospasme
e.

Tanda-tanda adanya adrenalin release, seperti denyut nadi bertambah


cepat,

f. tekanan darah meningkat, berkeringat


Keadaan ini dapat diatasi dengan mendalamkan anastesi. Pada
operasi-operasi yang memerlukan relaksasi otot, bila relaksasinya
kurang maka ahli bedah akan mengeluh karena tidak bisa bekerja
dengan baik, untuk operasi yang membuka abdomen maka usus akan
bergerak dan menyembul keluar, operasi yang memerlukan penarikan
otot juga sukar dilakukan.4,6
Keadaan relaksasi bila terjadi pada anastesi yang dalam, sehingga
bila kurang relaksasi salah satu usaha untuk membuat lebih relaksasi
adalah dengan mendalamkan anastesi, yaitu dengan cara menambah

22

dosis obat, bila hanya menggunakan satu macam obat, keadaan


relaksasi dapat tercapai setelah dosis obat anastesi yang sedemikian
tinggi, sehingga menimbulkan gangguan pada organ vital. Dengan
demikian keadaan ini akan mengancam jiwa penderita.4,6
Untuk mengatasi hal ini maka ada teknik tertentu agar tercapai trias
anastesi pada kedalaman yang ringan, yaitu penderita dibuat tidur
dengan obat hipnotik, analgesinya menggunakan analgetik kuat,
relaksasinya menggunakan pelemas otot (muscle relaxant) teknik ini
disebut balance anastesi.4,6
Pada balance anastesi karena menggunakan muscle relaxant, maka
otot mengalami relaksasi, jadi tidak bisa berkontraksi atau mengalami
kelumpuhan, termasuk otot respirasi, jadi penderita tidak dapat
bernafas. Karena itu harus dilakukan nafas buatan (dipompa), karena
itu balance anastesi juga disebut dengan teknik respirasi kendali atau
control respiration.4,6
Rumatan intravena biasanya menggunakan opioid dosis tinggi,
fentanil 10-50 g/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur
dengan analgesia cukup, sehingga tinggal memberikan relaksasi
pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga menggunakan opioid
dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infuse propofol 4-12
mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan anestesi total intravena, pelumpuh
otot dan ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi
dengan udara + O2 atau N2O + O2.
-

Pemulihan anastesi4,6
Pada akhir operasi, maka anastesi diakhiri dengan menghentikan
pemberian obat anastesi, pada anastesi inhalasi bersamaan dengan
penghentian obat anastesi aliran oksigenasi dinaikkan, hal ini disebut
oksigenasi. Dengan oksigenasi maka oksigen akan mengisi tempat yang
seblumnya ditempati oleh obat anastesi inhalasi di alveoli yang
berangsur-angsur keluar mengikuti udara ekspirasi. Dengan demikian

23

tekanan parsial obat anastesi di alveoli juga berangsur-angsur turun,


sehingga lebih rendah dibandingkan dengan tekanan parsial obat
anastesi inhalasi dalam darah, maka terjadilah difusi obat anastesi
inhalasi dari dalam darah menuju ke alveoli, semakin tinggi perbedaan
tekanan parsial tersebut kecepata difusi makin meningkat. Kesadaran
penderita juga berangsur-angsur pulih sesuai dengan turunnya kadar
obat anastesi dalam darah.
Bagi

penderita

yang

mendapat

anastesi

intravena,

maka

kesadarannya berangsur pulih dengan turunnya kadar obat anastesi


akibat metabolisme atau ekskresi setelah pemberiannya dihentikan.
Selanjutnya pada penderita yang dianastesi dengan respirasi spontan
tanpa menggunakan pipa endotrakeal maka tinggal menunggu sadarnya
penderita,

sedangkan

bagi

penderita

yang

menggunakan

pipa

endotrakeal maka perlu dilakukan ekstubasi (melepas pipa ET)


ekstubasi bisa dilakukan pada waktu penderita masih teranastesi dalam
dan dapat juga dilakukan setelah penderita sadar. Ekstubasi pada
keadaan setengah sadar membahayakan penderita, karena dapat terjadi
spasme jalan napas, batuk, muntah, gangguan kardiovaskuler, naiknya
tekanan intra okuli dan naiknya tekanan intracranial. Ekstubasi pada
waktu penderita masih teranastesi dalam mempunyai resiko tidak
terjaganya jalan nafas dalam kurun waktu antara tidak sadar sampai
sadar.
Pada penderita yang mendapat balnce anastesi maka ekstubasi
dilakukan setelah napas penderita adekuat. Untuk mempercepat
pulihnya penderita dari pengaruh muscle relaxan maka dilakukan
reserve, yaitu memberikan obat anti kolin esterase.

- Skor Pemulihan Pasca Anestesi


Sebelum pasien dipindahkan ke ruangan setelah dilakukan operasi
terutama yang menggunakan general anestesi, maka perlu melakukan
penilaian terlebih dahulu untuk menentukan apakah pasien sudah dapat

24

dipindahkan ke ruangan atau masih perlu di observasi di ruang


Recovery room (RR).
Aldrete Score
Nilai Warna
Merah muda, 2
Pucat, 1
Sianosis, 0
Pernapasan
Dapat bernapas dalam dan batuk, 2
Dangkal namun pertukaran udara adekuat, 1
Apnoea atau obstruksi, 0
Sirkulasi
Tekanan darah menyimpang <20% dari normal, 2
Tekanan darah menyimpang 20-50 % dari normal, 1
Tekanan darah menyimpang >50% dari normal, 0
Kesadaran
Sadar, siaga dan orientasi, 2
Bangun namun cepat kembali tertidur, 1
Tidak berespons, 0
Aktivitas
Seluruh ekstremitas dapat digerakkan, 2
Dua ekstremitas dapat digerakkan,1
Tidak bergerak, 0
Jika jumlahnya > 8, penderita dapat dipindahkan ke ruangan
2.2 Intubasi Endotrakeal
1. Anatomi fisiologi saluran napas bagian atas2,3
Respirasi merupakan kombinasi dari proses fisiologi dimana
oksigen dihisap dan karbondioksida dikeluarkan oleh sel-sel dalam tubuh.
Hal ini merupakan proses pertukaran gas yang penting. Respirasi dibagi
dalam dua fase. Fase pertama ekspirasi eksternal dalam pengertian yang
sama dengan bernafas. Ini merupakan kombinasi dari pergerakan otot dan
skelet, dimana udara untuk pertama kali didorong ke dalam paru dan
selanjutnya dikeluarkan. Peristiwa ini termasuk inspirasi dan ekspirasi.
Fase yang lain adalah respirasi internal yang meliputi perpindahan /
pergerakan molekul-molekul dari gas-gas pernafasan (oksigen dan
karbondioksida) melalui membrana, perpindahan cairan, dan sel-sel dari
dalam tubuh sesuai keperluan.
25

Sistem respirasi manusia mempunyai gambaran desain umum yang


dapat dihubungkan dengan sejumlah aktivitas penting. Respirasi
merupakan kombinasi dari proses fisiologi dimana oksigen dihisap dan
karbondioksida dikeluarkan oleh sel-sel dalam tubuh. Respirasi adalah
pertukaran gas-gas antara organism hidup dan lingkungan sekitarnya.Pada
manusia dikenal dua macam respirasi yaitu eksternal dan internal.
Respirasi eksternal adalah pertukaran gas-gas antara darah dan
udara sekitarnya. Pertukaran ini meliputi beberapa proses yaitu :
1. Ventilasi :Proses masuk udara sekitar dan pembagian udara
tersebut ke alveoli
2. Distribusi :Distribusi dan percampuran molekul-molekul gas
intrapulmoner
3. Difusi : Masuknya gas-gas menembus selaput alveolo-kapiler
4. Perfusi :Pengambilkan gas-gas oleh aliran darah kapiler paru yang
adekuat.
Respirasi internal adalah pertukaran gas-gas antara darah dan
jaringan. Pertukaran ini meliputi beberapa proses yaitu :
1. Efisiensi kardiosirkulasi dalam menjalankan darah kaya oksigen
2. Distribusi kapiler
3. Difusi,perjalanan gas ke ruang interstitial dan menembus dinding
sel
4. Metabolisme sel yang melibatkan enzim.

26

2. Definisi1,5
Menurut Hendrickson (2002), intubasi adalah memasukkan suatu
lubang atau pipa melalui mulut atau melalui hidung, dengan sasaran jalan
nafas bagian atas atau trakhea. Pada intinya, Intubasi Endotrakhea adalah
tindakan memasukkan pipa endotrakha ke dalam trakhea sehingga jalan
nafas bebas hambatan dan nafas mudah dibantu dan dikendalikan
Perlengkapan jalan nafas
sudah diperkenalkan

sejak

yang

abad

ditempatkan

ke-19 ketika

ke dalam

trakea

dipergunakan

untuk

resusitasi pada kasus orang tenggelam. Laryngoskop Jackson telah


didesain tetapi secara cepat dimodifikasi oleh ahli anestesiologi untuk
keperluan intubasi endotrakeal.
Pengelolaan jalan nafas menjadi salah satu bagian yang terpenting
dalam suatu tindakan anestesi. Karena beberapa efek dari obat-obatan
yang dipergunakan dalam anestesi dapat mempengaruhi keadaan jalan
nafas berjalan dengan baik. Salah satu usaha untuk menjaga jalan nafas
pasien adalah dengan melakukan tindakan intubasi endotrakeal, yakni
dengan memasukkan suatu pipa kedalam saluran pernapasan bagian atas.
Karena syarat utama yang harus diperhatikan dalam anestesi umum adalah
menjaga agar jalan nafas selalu bebas dan nafas dapat berjalan
dengan lancer serta teratur.

3. Tujuan Intubasi Endotrakeal7


Tujuan intubasi endotrakeal adalah :
1. Mempermudah pemberian anesthesia.
2. Mempertahankan
jalan
nafas
agar

tetap

mempertahankan kelancaran pernapasan.


3. Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi

bebas serta

lambung

(pada

keadaan tidak sadar, lambung penuh dan tidak ada reflex batuk).
4. Mempermudah pengisapan sekret trakeobronkial.
5. Pemakaian ventilasi mekanis yang lama.
6. Mengatasi obstruksi laring akut.

27

4. Indikasi dan kontraindikasi1,7


Indikasi bagi pelaksanaan intubasi endotrakeal antara lain :
a. Keadaan oksigenasi yang tidak adekuat yang tidak dapat dikoreksi
dengan pemberian suplai oksgen melalui masker nasal
b. Keadaan ventilasi yang tidak adekuat karena meningkatnya tekanan
karbondioksida di arteri
c. Kebutuhan untuk mengontrol dan mengeluarkan secret pulmonal
atau sebagai bronchial toilet
d. Menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan
agawat atau pasien dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi
e. Pada pasien yang mudah timbul laringospasme
f. Trakeostomi
g. Pada pasien dengan fiksasi vocal cord

Kontraindikasi bagi pelaksanaan intubasi endotrakeal antara lain :


a. Beberapa keadaan trauma jalan nafas atau obstruksi yang tidak
memungkinkan untuk dilakukannya intubasi. Tindakan yang harus
dilakukan adalah cricothyrotomy pada beberapa kasus.
b. Trauma servical yang memerlukan keadaan mobilisasi tulang
vertebra servical sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi.
5. Posisi pasien untuk tindakan intubasi1
Gambaran klasik yang benar adalah leher dalam keadaan fleksi
ringan, sedangkan kepala dalam keadaan ekstensi. Ini disebut sebagai
Sniffing

in

the

air position.

Kesalahan

yang umum

adalah mengekstensikan kepala dan leher.

28

Gambar 1 Sniffing position


6. Persiapan intubasi endotrakeal1,7
Persiapan untuk intubasi termasuk mempersiapkan alat-alat

dan

memposisikan pasien. ETT sebaiknya dipilih yang sesuai. Pengisian


cuff ETT sebaiknya di tes terlebih dahulu dengan spuit 10 milliliter.Jika
menggunakan stylet sebaiknya dimasukkan ke ETT.
Berhasilnya intubasi sangat tergantung dari posisi pasien, kepala
pasien harus setentang dengan pinggang anestesiologis atau lebih tinggi
untuk mencegah ketegangan pinggang selama laringoskopi. Persiapan
untuk induksi dan intubasi juga melibatkan preoksigenasi rutin.
Preoksigenasi dengan nafas yang dalam dengan oksigen 100 %.

Persiapan untuk intubasi antara lain :


a. Jalur intravena yang adekuat
b. Obatobatan yang tepat untuk induksi dan relaksasi otot
c. Pastikan alat suction tersedia dan berfungsi
d. Peralatan yang tepat untuk laringoskopi termasuk laryngosk
op dengan bladyang tepat, ETT dengan ukuran yang diingin
kan, jelly, dan stylet
e. Pastikan lampu laringoskop hidup dan berfungsi serta
cuff ETT berfungsi
f. Sumber oksigen, sungkup dengan ukuran yang tepat,
ambu bag dan sirkuit anestesi yang berfungsi
g. Monitor pasien termasuk elektrokardiografi, pulse
oksimeter dan tekanan darah noninvasive
29

h. Tempatkan pasien pada posisi Sniffing Position


selama tidak ada kontraindikasi
i. Alatalat untuk ventilasi
j. Alat monitoring karbon dioksida untuk memastikan ETT
dalam posisi yang tepat

Gambar 2. Alat-alat intubasi Endotrakeal

7. Cara Intubasi Endotrakeal1,7


Pastikan alat sudah siap dan lengkap, kemudian pasien di
induksi hingga tertidur dan di berikan Antracurium. Bila fasikulasi
tidak ada dapat diberikan ventilasi )2 100% selama 1 menit.
Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang laringoskop
dipegang dengan tangan kiri. Daun laringoskop dimasukkan dari
sudut kanan dan lapangan pandang akan terbuka. Daun laringoskop
didorong ke dalam rongga mulut. Gagang diangkat ke atas dengan
lengan kiri dan akan terlihat uvula, faring serta epiglottis. Ekstensi

30

kepala dipertahankan dengan tangan kanan. Epiglotis diangkat


sehingga tampak arytenoid dan pita suara yang tampak keputihan
berbentuk huruf V. Jeratan bibir antara gigi dan blade laringoskop
sebaiknya dicegah. Tracheal tube diambil dengan tangan kanan dan
ujungnya dimasukkan melewati pita suara sampai balon
Pipa tepat melewati pita suara. Bila perlu, sebelum
memasukkan pipa asisten diminta untuk menekan laring ke
posterior sehingga pita suara akan dapat tampak dengan jelas. Bila
mengganggu,

stylet

dapat dicabut.

Ventilasi

atau oksigenasi

diberikan dengan tangan kanan memompa balon dan tangan kiri


memfiksasi.

Balon pipa

dikembangkan

dan daun laringoskop

dikeluarkan selanjutnya pipa difiksasi dengan plester. Hubungkan


pangkal ET dengan mesin anestesi dan atau alat bantu napas ( alat
resusitasi).
Dada dipastikan mengembang saat diberikan ventilasi.
Sewaktu ventilasi, dilakukan auskultasi dada dengan steteskop,
diharapkan suara nafas kanan dan kiri sama. Bila dada ditekan
terasa ada aliran udara di pipa endotrakeal. Bila terjadi intubasi
endotrakeal yang terlalu dalam akan terdapat tanda-tanda berupa
suara nafas kanan berbeda dengan suara nafas kiri, kadang-kadang
timbul suara wheezing, sekret lebih banyak dan tahanan jalan nafas
terasa lebih berat. Jika ada ventilasi ke satu sisi seperti ini, pipa
ditarik sedikit sampai ventilasi kedua paru sama. Sedangkan bila
terjadi intubasi ke daerah esofagus maka daerah epigastrium atau
gaster akan mengembang, terdengar suara saat ventilasi (dengan
stetoskop), kadang-kadang keluar cairan lambung, dan makin lama
pasien akan nampak semakin membiru. Untuk hal tersebut pipa
dicabut dan intubasi dilakukan kembali setelah diberikan
8.

oksigenasi yang cukup.


Tanda-tanda ETT1,7

1. Dada mengembang
2. Terdapat embun di ET

31

3. Kemballinya bellow baik


4. Auskultasi di lapang paru +
5. Auskultasi di epigastrium
9. Pipa Endotrakeal

Pipa

Gambar 3. Pipa endotrakeal


endotrakeal digunakan untuk menghantarkan

gas anestesi langsung ke trakea dan memfasilitasi ventilasi dan


oksigenasi. Pipa endotrakeal biasanya terbuat dari plastic Polyvinyl
Chlorida yang merupakan cetakan dari bentuk jalan napas setelah
dilembutkan karena terpapar dengan temperature tubuh. Bahan dari
ETT juga harus bersifat radiopaq untuk mengetahui posisi ujung
distal ke karina dan transparan agar dapat dilihat sekresi atau aliran
udara yang dibuktikan oleh adanya pengembunan uap air pada
lumen pipa selama ekshalasi. Bentuk dan rigiditas ETT dapat
diubah dengan penggunaan stylet. Ujung dari pipa dapat
dimiringkan untuk membantu penglihatan dan masuknya melewati
pita suara. Pipa Murphy memiliki lubang (Murphy Eye) untuk
menurunkan resiko oklusi bagian bawah pip

yang berbatas

langsung dengan carina atau trakea. Resistensi aliran udara


terutama tergantung dari diameter pipa, tetapi juga dipengaruhi
oleh panjang dan lekukan pipa. Ukuran ETT biasanya didesain
dalam millimeter dari diameter internal, atau kadang kadang dalam
skala French (diameter eksternal dalam millimeter dikalikan 3).
Pemilihan diameter pipa selalu berdasarkan antara aliran maksimal
dengan ukuran besar dan trauma jalan napas yang minimal.

32

Tabel 1. Pipa Trakea dan peruntukannya


Usia

Diameter (mm)

Prematur
Neonatus
1-6 bulan
-1 tahun
1-4 tahun
4-6 tahun
6-8 tahun
8-10 tahun
10-12 tahun
12-14 tahun
Dewasa

2,0-2,5
2,5-3,5
3,0-4,0
3,0-3,5
4,0-4,5
4,5-,50
5,0-5,5*
5,5-6,0*
6,0-6,5*
6,5-7,0
6,5-8,5

wanita
Dewasa pria

7,5-10

10.

Skala French
10
12
14
16
18
20
22
24
26
28-30
28-30

Jarak Sampai
Bibir
10 cm
11cm
11 cm
12 cm
13 cm
14 cm
15-16 cm
16-17 cm
17-18 cm
18-22 cm
20-24 cm

*Tersedia
dengan atau
tanpa cuff

32-34
20-24 cm
Tabel 2. Panduan Ukuran Pipa Endotrakea

Keterangan : mm=millimeter, cm=centimeter


Penyulit IntubasiTrakea9
Kesulitan memasukkan pipa trakea berhubungan dengan variasi
anatomi yang dijumpai. Klasifikasi tampakan faring pada saat mulut
terbuka masimal dan lidah dijulurkan maksimal menurut Mallampati
dibagi menjadi empat kelas

33

Penting untuk dicatat luas lapangan pandang dari laring yang


telah kita dapatkan. Informasi ini penting, apabila di kemudian hari
dilakukan kembali tindakan manajemen jalan napas.
11. Kesulitan intubasi umumnya ditemui pada kondisi :
1. Leher pendek dan berotot
2. Mandibula menonjol
3. Maksila/gigi depan menonjol
4. Uvula tidak terlihat (Mallampati 3 atau 4)
5. Gerak sendi temporo-mandibular terbatas
6. Gerak verteba servikal terbatas.
12. Managemen Sulit Intubasi1
Secara sederhana penatalaksanaan pasien dengan kesulitan jalsan
nafas adalah dengan 3 P yaitu :
-

Prediksi
Mengetahui kondisi pasien dengan resiko anatomi jalan nafas
sulit, antara lain : pasien dengan malampati 3-4, sindrom
kongenital , kelainan jaringan lunak termasuk obesitas, bentuk gigi,
pergerakan sendi temporomadibular, jarak tyromental.
-

Preparasi
Algoritma untuk penatalaksanaan jalan nafas sulit :

34

1. Menentukan gejala dan manifestasi klinik dari penatalaksanaan


masalah dasarnya : a. ventilasi sulit, b. intubasi sulit, c.
kesulitan dengan pasien yang tidak kooperatif, d. sulit untuk
ditrakeotomi.
2. Secara aktif mencari kesempatan untuk menangani kasus
penatalaksanaan sulit.
3. Mempertimbangkan kegunaan dan hal-hal dasar yang mungkin
dilakukan sebagai pilihan penatalaksanaan.
4. Membuat strategi utama dan akternatifnya.
12. Jenis Endotrakheal
a. Endotrakeal dengan napas spontan
Intubasi endotrakea adalah memasukkan pipa (tube)
endotrakea (ET= endotrakeal tube) kedalam trakea via oral atau
nasal. Indikasi; operasi lama, sulit mempertahankan airway
(operasi di bagian leher dan kepala)
b. Intubasi Endotrakeal dengan napas kendali (kontrol)
Pasien sengaja dilumpuhkan/benar2 tidak bisa bernafas dan
pasien dikontrol pernafasanya dengan kita memberikan ventilasi
12-20 x permenit. Setelah operasi selesai pasien dipancing dan
akhirnya bisa nafas spontan kemudian kita akhiri efek
anestesinya.

13. Komplikasi intubasi endotrakeal9


a. Komplikasi tindakan laringoskop dan intubasi :
1. Malposisi berupa intubasi esophagus, intubasi endobronkial
serta malposisi laryngeal cuff
2. Trauma jalan nafas berupa kerusakan gigi, laserasi bibir,
lidah atau mukosa mulut, cedera tenggorok, dislokasi
mandibular, dan diseksi retrofaringeal.

35

3. Gangguan reflek berupa hipertensi, takikardi, tekanan


intraocular meningkat dan spasme laring
4. Malfungsi tuba berupa perforasi cuff
b. Komplikasi pemasukan pipa endotrakeal :
1. Malposisi berupa ekstubasi yang terjadi sendiri, intubasi ke
endobronkial dan malposisi laryngeal cuff
2. Trauma jalan nafas berupa inflamasi dan ulserasi mukosa,
serta ekskoriasi kulit hidung
3. Malfungsi tuba berupa obstruksi
c. Komplikasi setelah ekstubasi :
1. Trauma jalan nafas berupa edema dan stenosis (glotis,
subglotis atau paralisis trakea) suara sesak atau parau
(granuloma atau paralisis pita suara), malfungsi dan aspirasi
laring
2. Gangguan reflek berupa spasme laring

2.3

Ekstubasi9
Ekstubasi adalah mengeluarkan pipa endotrakheal setelah dilakukkan
intubasi
1. Tujuan Ekstubasi

2.

a. Untuk menjaga agar pipa endotrakheal tidak menimbulkan trauma.


b. Untuk mengurangi reaksi jaringan laringeal dan menurunkan resiko
setelah ekstubasi
Syarat Ekstubasi9
1. Insufisiensi nafas (-)

36

2. Hipoksia (-)
3. Hiperkarbia (-)
4. Kelainan asam basa (-)
5. Gangguan sirkulasi (TD turun, perdarahan) (-)
6. Pasien sadar penuh
7. Mampu bernafas bila diperintah
8. Kekuatan otot sudah pulih
9. Tidak ada distensi lambung
3. Kriteria Ekstubasi
Ekstubasi yang berhasil bila
1. Vital capacity 10 15 ml/kg BB
2. Tekanan inspirasi diatas 20 cm H2O
3. PaO2 diatas 80 mm Hg
4. Kardiovaskuler dan metabolic stabil
5. Tidak ada efek sisa dari obat pelemas otot
6. reflek jalan napas sudah kembali dan penderita sudah sadar penuh
4.

Pelaksanaan Ekstubasi7,9
Sebelum ekstubasi dilakukan terlebih dahulu membersihkan rongga
mulut efek obat pelemas otot sudah tidak ada, dan ventilasi sudah
adequate. Melakukan pembersihan mulut sebaiknya dengan kateter
yang steril. Walaupun diperlukan untuk membersihkan trachea atau
faring dari sekret sebelum ekstubasi, hendaknya tidak dilakukan secara
terus menerus bila terjadi batuk dan sianosis. Sebelum dan sesudah
melakukan pengisapan, sebaiknya diberikan oksigen. Apabila plester
dilepas, balon sudah dikempiskan, lalu dilakukan ekstubasi dan
selanjutnya diberikan oksigen dengan sungkup muka. Pipa endotrakheal
jangan dicabut apabila sedang melakukan pengisapan karena kateter
pengisap bisa menimbulkan lecet pita suara, perdarahan, atau spasme
laring.
Sesudah dilakukan ektubasi, pasien hendaknya diberikan oksigen
dengan sungkup muka bila perlu rongga mulut dilakukan pembersihan
kembali. Sebelum dan sesudah ektubasi untuk menghindari spasme
laring., ekstubasi dilakukan pada stadium anestesi yang dalam atau
dimana reflek jalan sudah positif.

37

Napas sudah baik. Untuk mencegah spasme bronchus atau batuk,


ekstubasi dapat dilakukan pada stadium anestesi yang dalam dan
pernapasan sudah spontan. Spasme laring dan batuk dapat dikurangi
dengan memberikan lidokain 50 100 mg IV (intra vena) satu menit
atau dua menit sebelum ektubasi.
Kadang-kadang dalam melakukan ekstubasi terjadi kesukaran,
kemungkinan

kebanyakan

disebabkan

oleh

balon

pada

pipa

endotrakheal besar, atau sulit dikempiskan, pasien mngigit pipa


endotrakheal. Ekstubasi jangan dilakukan apabila ada sianosis, hal ini
disebabkan adanya gangguan pernapasan yang tidak adequate atau
pernapasan susah dikontrol dengan menggunakan sungkup muka pada
pembedahan penuh ekstubasi napas. Pasien dengan lambung penuh
ekstubasi dilakukan apabila pasien sudah bangun atau dilakukan
ekstubasi pada posisi lateral. Pada pembedahan maxillofacial daerah
jalan napas bila perlu dipertimbangkan untuk melakukan trakheostomy
sebelum ekstubasi.
Apabila pasien mengalami gangguan pernapasan atau pernapasan
tidak adequate pipa hendaknya jangan dicabut sampai penderita sudah
yakin baik, baru ke ruang pulih dengan bantuan napas terus menrus
secarra mekanik sehingga adequate.
5. Pengisapan Trakhea
Pengisapan orotrakheal atau nasotrakheal hanya dilakukan apabila
pada auskultasi terdengar adanya bunyi yang ditimbulkan oleh retensi
sekret dan tidak dapat dibersihkan dengan batuk. Pengisapan trachea
sebaiknya tidak dilakukan sebagai pencegahan atau secara rutin. Hal ini
menyebabkan iritasi mekanisme oleh kateter selama pengisapan
trachea, serta dapat pula menyebabkan trauma pernapasan, dan hal ini
merupakan predisposisi untuk terjadinya infeksi. Selain itu pengisapan
trachea oleh kateter dapat menimbulkan reflek vagal, dapat berupa
bradikardi dan hipotensi.
Pengisapan trachea juga dapat menimbulkan hipoksemia karena
aspirasi gas pada paru-paruyang menyebabkan penutupan small air

38

way kolapnya dan alveoli. Hipoksemia selama pengisapan trachea


dapat dikurangi dengan cara :
1. Pemberian oksigen 100% sebelum pengisapan.
2. 2.Diameter kateter pengisap tidak lebih dari setengah diameter
trachea.
3. Lama pengisapan tidak lebih dari 15 detik.
4. Setelah melakukan pengisapan, dilakukan pemompaan secara
5.

manual untuk mengembangkan alveoli kembali.


Penyulit Ekstubasi9
Hal-hal yang dapat terjadi setelah ekstubasi :
1. Spasme laring
2. Aspirasi
3. Edema laring akut karena trauma selama ekstubasi
Penyulit lanjut setelah dilakukan ekstubasi :
1. Sakit tenggorokan
2. Stenosis trachea dan trakheomolasia
3. Radang membran laring dan ulserasi
4. Paralisis dan granuloma pita suara
5. Luka pada sarap lidah.
Komplikasi setelah ekstubasi. :
1.

Trauma jalan nafas berupa edema dan stenosis


(glotis, subglotis atau trachea), suara sesak atau parau
(granuloma atau paralisis pita suara), malfungsi dan aspirasi
laring.

2.

Gangguan refleks berupa spasme laring.

39

BAB III
KESIMPULAN
Tindakan pembedahan terutama yang memerlukan anestesi umum
diperlukan teknik intubasi endotrakeal. Intubasi endotrakeal adalah suatu tehnik
memasukkan suatu alat berupa pipa ke dalam saluran pernafasan bagian atas.
Tujuan dilakukannya intubasi endotrakeal untuk mempertahankan jalan nafas agar
tetap bebas, mengendalikan oksigenasi dan ventilasi,

mencegah terjadinya

aspirasi lambung pada keadaan tidak sadar, tidak ada reflex batuk ataupun kondisi
lambung penuh, sarana gas anestesi menuju langsung ke trakea, membersihkan
saluran trakeobronkial.
Komplikasi akibat intubasi endotrakeal antara lain nyeri tenggorok, suara
serak, paralisa pita suara, edem laring, laring granuloma dan ulser, glottis dan
subglotis granulasi jaringan, trachealstenosis, tracheamalacia, tracheoesophagial
fistula.
Pipa endotrakeal digunakan untuk menghantarkan gas anestesi langsung
ke trakea dan memfasilitasi ventilasi dan oksigenasi. Pipa endotrakeal terbuat dari
plastik Polyvinyl Chlorida yang merupakan cetakan dari bentukan jalan nafas.

40

Bahan dari ETT harus bersifat radioopaq untuk mengetahui posisi ujung distal ke
karina dan transparan agar dapat dilihat sekresi atau aliran udara yang dibuktikan
oleh adanya pengembungan uap air pada lumen pipa selama ekshalasi.Pipa
Murphy memiliki lubang (Murphy eye) untuk menurunkan resiko oklusi bagian
bawah pipa yang berbatas langsung dengan carina atau trakea.

41

DAFTAR PUSTAKA
1.

Putz R,Pabst R.Anatomy. Atlas Anatomi Manusia Sobotta.


Jakarta:EGC;2007

2. Lauralee Sherwood,Sistem Pernapasan.Fisiologi manusia.Jakarta : EGC ;


2001 ; 13 : 410-448.
3. Kriteria intubasi. Available from :
http://www.scribd.com/doc/55253315/kriteria-intubasi-ekstubasi/ Diunduh
pada tanggal 3 November 2011.
4. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Ilmu Dasar Anestesia. Petunjuk Praktis
Anestesiologi. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2007; 2:3-45
5. Intubasi Endotrakeal. Availeble from :
http://medlinux.blogspot.com/2007/09/intubasi-endotrakeal.html/ Diunduh
tanggal 3 November 2011.
6. Desai,Arjun M.2010. Anestesi. Stanford University School of Medicine.
Diakses dari: http://emedicine.medcape.com
7. Gamawati, Dian Natalia dan Sri Herawati. 2002. Trauma Laring Akibat
Intubasi Endotrakeal. Diakses dari: http://ojs.lib.unair.ac.id

42

Anda mungkin juga menyukai