Prospek Industri Pengolahan Kakao Di Makassar Analisis Potensi Kelayakan Usaha
Prospek Industri Pengolahan Kakao Di Makassar Analisis Potensi Kelayakan Usaha
ISSN 2089-0036
ABSTRAK
Prospek pengembangan industri pengolahan kakao di Makassar dianalisis berdasarkan
faktor pendorong, faktor penghambat, kelayakan finansial usaha industri pengolahan
kakao. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat sejumlah faktor yang dapat
menunjang maupun menghambat pegembangan industri pengolahan kakao di Makassar.
Faktor-faktor penunjang antara lain ketersediaan lahan dan tenaga kerja, kondisi iklim,
letak geografis Indonesia yang sangat strategis di Asia, serta kecenderungan pabrik-pabrik
coklat di Amerika dan Eropa untuk membeli lemak dan bubuk ketimbang memproduksinya sendiri. Faktor-faktor yang menghambat antara lain mutu biji yang masih
rendah, jaringan pemasaran di luar negeri lemah, penetrasi perusahaan multinasional dalam
membeli biji di sentra-sentra produksi, serta diskriminasi negara-negara eropa terhadap
produk kakao olahan dari Indonesia. Hasil analisis finansial menunjukan bahwa tingkat
kelayakan investasi sangat tergantung pada butter ratio dan powder ratio. Secara umum,
apabila rasio kumulatif (butter ratio + powder ratio) 3,5 keatas, industry pengolahan akan
sangat menguntung. Pada garis ambang (rasio kumulatif 3,4), industry pengolahan masih
dapat menguntungkan tetapi laju pengembalian modal cukup lambat dan pabrik harus
beroperasi mendekati kapasitas maksimumnya. Pada rasio kumulatif < 3,4 industri
pengolahan sangat sulit memperoleh keuntungan.
Kata kunci: Analisis kelayakan, potensi, pengolahan, produk kakao
ABSTRACT
Prospect of cocoa industry development in Makassar that analyze based on supporting
factors, hinder factors, and financial feasibility of cocoa processing industry. Results of
this study indicate that there exist a number of factors which can support the development
of cocoa processing industry in Makassar. These include the availability of lands for
expansion of cocoa plantations, the availability of skilled labor, favorable climatic
conditions, strategic geographical location of Indonesia in Asia, and the trends of
American and European chocolate manufacturing companies to outsource the cocoa butter
and powder that they need in chocolate production. On the other hand, there are a few
factors which can hinder the development such as low bean quality, weak market networks
overseas, strong penetration of multinational companies in procuring cocoa beans from
production centers in Sulawesi, and discrimination (higher tariffs) applied by European
countries against processed cocoa products (liquor, butter, and powder) from Indonesia.
46
ISSN 2089-0036
Results of financial analysis reveal that economic feasibility of cocoa processing industry
is highly dependent on butter and powder ratios. In general, when butter ratio + powder
ratio (also known as combined ratio) is at 3.5 or above, cocoa processing industries are
highly profitable whereas when the combined ratio is less than 3.4 the processing
industries are most likely at loss. At the border line of 3.4, cocoa processing industries can
still be profitable but with significantly reduced rate capital return and processing facilities
must operate near their maximum capacities.
Keywords: Feasibility analysis, potential, processing, cocoa products
PENDAHULUAN
Kakao merupakan tanaman perkebunan
penghasil devisa yang penting bagi negara-negara penghasil kakao termasuk
Indonesia karena kakao merupakan salah
satu komoditas pertanian yang paling
banyak diperdagangkan di dunia internasional. Nilai ekonomi dan volume perdagangan komoditas kakao terus meningkat seiring dengan meningkatnya permintaan dunia. Dalam beberapa tahun terakhir, produksi kakao dunia meningkat
cukup tajam, yaitu dari sekitar 3,2 juta ton
pada Tahun 2001 menjadi sekitar 3,7 juta
ton pada Tahun 2005 (FAO, 2007).
Suplai kakao dunia telah meningkat sekitar 2,2% per tahun selama periode
1980/1981 2007/2008. Dalam kurun
waktu 2003/2004 2007/2008, 70% dari
total produksi kakao dunia berasal dari
Afrika, sementara Amerika dan Asia berkontribusi masing-masing sekitar 10% dan
20%. Tiga negara penghasil kakao terbesar dunia (Pantai Gading, Ghana, dan
Indonesia) menyuplai sekitar 70% dari
total produksi dunia. Pada 10 tahun terakhir, produksi kakao Pantai Gading
hanya meningkat sekitar 0.88% per tahun
sementara dalam kurun waktu yang sama
produksi kakao di Ghana dan Indonesia
masing-masing meningkat sebesar 6% dan
3.46% per tahun.
ICCO (2008a) memperkirakan bahwa
produksi biji kakao dunia akan meningkat
dari sekitar 3,713 juta ton pada tahun
2007/2008 menjadi sekitar 4,459 juta ton
ISSN 2089-0036
lain: (1) produksi biji kakao masih didominasi untuk peruntukkan ekspor, sehingga pabrik-pabrik pengolahan sulit
bersaing dalam hal memperoleh bahan
baku; (2) pasar produk dari proses pengolahan biji kakao masih terbatas, hal ini
dapat terkait dengan kondisi pasar domestik, dimana produk olahan dalam negeri
berkompetisi dengan produk impor, atau
kondisi pasar dunia dimana produk olahan
kakao dari Indonesia masih kalah bersaing
dengan produk ekspor dari negara lain.
Kedua faktor tersebut dapat mempengaruhi skala usaha pengolahan kakao
yang menyebabkan industri pengolahan di
Sulawesi Selatan beroperasi pada skala
usaha yang belum ekonomis atau tidak
efisien.
Berdasarkan permasalahan yang dihadapi
industri pengolahan kakao di atas dapat
dirumuskan bahwa industri pengolahan
kakao di Sulawesi Selatan belum mencapai skala ekonomis. Oleh karena itu,
perlu dilalukan analisis tentang tingkat
kelayakan usaha pengolahan kakao bila
dilakukan investasi, faktor-faktor yang
mendorong dan menghambat perkembangan industri pengolahan kakao di
Sulawesi Selatan, serta prospek pengembangan indutsri pengolahan kakao di
Sulawesi Selatan. Sehubungan dengan itu,
tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari prospek pengembangan industri
pengolahan kakao di Sulawesi Selatan
berdasarkan analisis tingkat kelayakan
investasi dan faktor-faktor pendorong dan
penghambat pengembangan industri pengolahan kakao di Sulawesi Selatan.
ISSN 2089-0036
dimana:
= nilai bersih suatu investasi.
= nilai bersih arus kas tahun ke-1
sampai ke-n.
= tingkat suku bunga atau discount
rate yang digunakan.
Metode IRR merupakan metode yang
paling sering digunakan dalam analisis
profitability suatu industri (Newnan dan
Johnson, 1995). IRR dapat didefinisikan
sebagai tingkat suku bunga atau tingkat
pengembalian yang akan diperoleh dari
nilai investasi yang belum kembali sehingga semua investasi terbayarkan kembali pada akhir umur ekonomis investasi
tersebut (Newnan dan Johnson, 1995;
Blank dan Tarquin, 1989).
Dalam perhitungan laju pengembalian (i)
dari suatu investasi, semua pembiayaan
dan semua penerimaan harus dikonversi
kedalam sebuah arus kas kemudian berdasarkan arus kas tersebut akan dicari laju
pengembalian (i). Persamaan-persamaan
arus kas yang dapat digunakan untuk menentukan nilai (i) adalah sebagai berikut
(Newnan dan Johnson, 1995; Blank dan
Tarquin, 1989):
49
dimana:
I0
= total investasi awal
NCF = nilai bersih arus kas tahun ke-1
sampai tahun ke-n.
i
= laju pengembalian modal (internal rate of return) yang dicari.
Perhitungan payback period dapat dilakukan dengan dua cara yaitu: (1) dengan
mengsumsikan bahwa keuntungan bersih
dari proyek tetap konstan setiap tahun dan
(2) berdasarkan jumlah kumulatif dari
keuntungan bersih setiap tahun (Sutojo,
2006). Cara perhitungan yang pertama
secara matematis dapat ditulis sebagai
berikut (Blank dan Tarquin, 1989) :
ISSN 2089-0036
BTT
x KT
N P BT
Dimana:
BTT = Biaya tidak tetap
BT = Biaya tetap
Np = Nilai penjualan produk
KT = Kapasitas terpasang pabrik
Dimana:
N = jangka waktu pengembalian modal
(payback period), tahun
I = total investasi, Rupiah
= rata-rata keuntungan setelah pajak
per tahun.
= Keuntungan bersih pada tahun ke-i.
Untuk menganalisa sensitifitas tingkat
kelayakan suatu investasi dalam pabrik
pengolahan kakao terhadap ralisasi produksi, dalam penelitian ini juga dilakukan
analisis titik impas (break even point)
yang memberi informasi tentang tingkat
50
ISSN 2089-0036
ISSN 2089-0036
ISSN 2089-0036
Tabel 1. Nilai penjualan lemak dan bubuk kakao per ton biji yang diolah
Butter
Ratio
1.5
1.6
1.7
1.8
1.9
2.0
2.1
2.2
2.3
2.4
2.5
2.6
2.7
2.8
2.9
3.0
0.5
15.450.000
16.200.000
16.950.000
17.700.000
18.450.000
19.200.000
19.950.000
20.700.000
21.450.000
22.200.000
22.950.000
23.700.000
24.450.000
25.200.000
25.950.000
26.700.000
Butter
Ratio
1.5
1.6
1.7
1.8
1.9
2.0
2.1
2.2
2.3
2.4
2.5
2.6
2.7
2.8
2.9
3.0
1.1
20.490.000
21.240.000
21.990.000
22.740.000
23.490.000
24.240.000
24.990.000
25.740.000
26.490.000
27.240.000
27.990.000
28.740.000
29.490.000
30.240.000
30.990.000
31.740.000
0.6
16.290.000
17.040.000
17.790.000
18.540.000
19.290.000
20.040.000
20.790.000
21.540.000
22.290.000
23.040.000
23.790.000
24.540.000
25.290.000
26.040.000
26.790.000
27.540.000
Powder Ratio
0.7
0.8
17.130.000 17.970.000
17.880.000 18.720.000
18.630.000 19.470.000
19.380.000 20.220.000
20.130.000 20.970.000
20.880.000 21.720.000
21.630.000 22.470.000
22.380.000 23.220.000
22.130.000 23.970.000
23.880.000 24.720.000
24.630.000 25.470.000
25.380.000 26.220.000
26.130.000 26.970.000
26.880.000 27.720.000
27.630.000 28.470.000
28.380.000 29.220.000
0.9
18.810.000
19.560.000
20.310.000
21.060.000
21.810.000
22.560.000
23.310.000
24.060.000
24.810.000
25.560.000
26.310.000
27.060.000
27.810.000
28.560.000
29.310.000
30.060.000
1.0
19.650.000
20.400.000
21.150.000
21.900.000
22.650.000
23.400.000
24.150.000
24.900.000
25.650.000
26.400.000
27.150.000
27.900.000
28.650.000
29.400.000
30.150.000
30.900.000
1.2
21.330.000
22.080.000
22.830.000
23.550.000
24.330.000
25.080.000
25.830.000
26.580.000
27.330.000
28.080.000
28.830.000
29.580.000
30.330.000
31.080.000
31.830.000
32.580.000
Powder Ratio
1.3
1.4
22.170.000 23.010.000
22.920.000 23.760.000
23.670.000 24.510.000
24.420.000 25.260.000
25.170.000 26.010.000
25.920.000 26.760.000
26.670.000 27.510.000
27.420.000 28.260.000
28.170.000 29.010.000
28.920.000 29.760.000
29.670.000 30.510.000
30.420.000 31.260.000
31.170.000 32.010.000
31.920.000 32.760.000
32.670.000 33.510.000
33.420.000 34.260.000
1.5
23.850.000
24.600.000
25.350.000
26.100.000
26.850.000
27.000.000
28.350.000
29.100.000
29.850.000
30.600.000
31.350.000
32.100.000
32.850.000
33.600.000
34.350.000
35.100.000
1.6
24.690.000
25.440.000
26.190.000
26.940.000
27.690.000
28.440.000
29.190.000
29.940.000
30.690.000
31.440.000
32.190.000
32.940.000
33.690.000
34.440.000
35.190.000
35.940.000
Keterangan: [(rendemen lemak * butter ratio) + (rendemen powder * powder ratio)] * harga biji
Dasar perhitungan : Harga biji kakao Rp 20.000 / kg
53
ISSN 2089-0036
Tabel 2. Nilai laba bersih (ribu rupiah) per tahun apabila pabrik beroperasi pada kapasitas
penuh (10 ribu ton)
Butter
Ratio
1.5
1.6
1.7
1.8
1.9
2.0
2.1
2.2
2.3
2.4
2.5
2.6
2.7
2.8
2.9
3.0
0.5
-72.325.133
-66.325.133
-60.325.133
-54.325.133
-48.325.133
-42.325.133
-36.325.133
-30.325.133
-24.325.133
-18.325.133
-12.325.133
-6.325.133
-325.133
5.674.867
11.674.867
17.674.867
0.6
-65.605.133
-59.605.133
-53.605.133
-47.605.133
-41.605.133
-35.605.133
-29.605.133
-23.605.133
-17.605.133
-11.605.133
-5.605.133
394.867
6.394.867
13.394.867
18.394.867
24.394.867
Powder Ratio
0.7
0.8
-58.885.133 -52.165.133
-52.885.133 -46.165.133
-46.885.133 -40.165.133
-40.885.133 -34.165.133
-34.885.133 -28.165.133
-28.885.133 -22.165.133
-22.885.133 -16.165.133
-16.885.133 -10.165.133
-10.885.133
-4.165.133
-4.885.133
1.834.867
1.114.867
7.834.867
7.114.867 13.834.867
13.114.867 19.834.867
19.114.867 25.834.867
25.114.867 31.834.867
31.114.867 37.834.867
0.9
-45.445.133
-39.445.133
-33.445.133
-27.445.133
-21.445.133
-15.445.133
-9.445.133
-3.445.133
2.554.867
8.554.867
14.554.867
20.554.867
26.554.867
32.554.867
38.554.867
44.554.867
1.0
-38.725.133
-38.725.133
-38.725.133
-38.725.133
-38.725.133
-38.725.133
-38.725.133
3.274.867
9.274.867
15.274.867
21.274.867
27.274.867
33.274.867
39.274.867
45.274.867
51.274.867
Butter
Ratio
1.5
1.6
1.7
1.8
1.9
2.0
2.1
2.2
2.3
2.4
2.5
2.6
2.7
2.8
2.9
3.0
1.1
-32.005.133
-26.005.133
-20.005.133
-14.005.133
-8.005.133
-2.005.133
3.994.867
9.994.867
15.994.867
21.994.867
27.994.867
33.994.867
39.994.867
45.994.867
51.994.867
57.994.867
1.2
-25.285.133
-19.285.133
-13.285.133
-7.285.133
-1.285.133
4.714.867
10.714.867
16.714.867
22.714.867
28.714.867
34.714.867
40.714.867
46.714.867
52.714.867
58.714.867
64.714.867
Powder Ratio
1.3
1.4
-18.565.133 -11.845.133
-12.565.133
-5.845.133
-6.565.133
154.867
-565.133
6.154.867
5.434.867 12.154.867
11.434.867 18.154.867
17.434.867 24.154.867
23.434.867 30.154.867
29.434.867 36.154.867
35.434.867 42.154.867
41.434.867 48.154.867
47.434.867 54.154.867
53.434.867 60.154.867
59.434.867 66.154.867
65.434.867 72.154.867
71.434.867 78.154.867
1.5
-5.125.133
874.867
6.874.867
12.874.867
18.874.867
24.874.867
30.874.867
36.874.867
42.874.867
48.874.867
54.874.867
60.874.867
66.874.867
72.874.867
78.874.867
84.874.867
1.6
1.594.867
7.594.867
13.594.867
19.594.867
25.594.867
31.594.867
37.594.867
43.594.867
49.594.867
55.594.867
61.594.867
67.594.867
73.594.867
79.594.867
85.594.867
91.594.867
ISSN 2089-0036
Tabel 3. Nilai laba bersih (ribu rupiah) per tahun apabila pabrik beroperasi pada kapasitas
penuh (10 ribu ton)
Butter
Ratio
1.5
1.6
1.7
1.8
1.9
2.0
2.1
2.2
2.3
2.4
2.5
2.6
2.7
2.8
2.9
3.0
0.5
-467.393.942
-428.619.542
-389.845.142
-351.070.742
-312.296.342
-273.521.942
-234.747.542
-195.973.142
-157.198.742
-118.424.342
-79.649.942
-40.875.542
-2.101.142
36.673.258
75.447.658
114.222.058
0.6
-423.966.614
-385.192.214
-346.417.814
-307.643.414
-268.869.014
-230.094.614
-191.320.214
-152.545.814
-113.771.414
-74.997.014
-36.222.614
2.551.786
41.326.186
80.100.586
118.874.986
157.649.386
Powder Ratio
0.7
0.8
-380.539.286
-337.111.958
-341.764.886
-298.337.558
-302.990.486
-259.563.158
-264.216.086
-220.788.758
-225.441.686
-182.014.358
-186.667.286
-143.239.958
-147.892.886
-104.465.558
-109.118.486
-65.691.158
-70.344.086
-26.916.758
-31.569.686
11.857.642
7.204.714
50.632.042
45.979.114
89.406.442
84.753.514
128.180.842
123.527.914
166.955.242
162.302.314
205.729.642
201.076.714
244.504.042
0.9
-293.684.630
-254.910.230
-216.135.830
-177.361.430
-138.587.030
-99.812.630
-61.038.230
-22.263.830
16.510.570
55.284.970
94.059.370
132.833.770
171.608.170
210.382.570
249.156.970
287.931.370
1.0
-250.257.302
-211.482.902
-172.708.502
-133.934.102
-95.159.702
-56.385.302
-17.610.902
21.163.498
58.937.898
98.712.298
137.486.698
176.261.098
215.035.498
253.809.898
292.584.298
331.358.698
Butter
Ratio
1.5
1.6
1.7
1.8
1.9
2.0
2.1
2.2
2.3
2.4
2.5
2.6
2.7
2.8
2.9
3.0
1.1
-206.829.974
-168.055.574
-129.281.174
-90.506.774
-51.732.374
-12.957.974
25.816.426
64.590.826
103.365.226
142.139.625
180.914.026
219.688.426
258.462.826
297.237.226
336.011.626
374.786.026
1.2
-163.402.646
-124.628.246
-85.853.846
-47.079.446
-8.305.046
30.469.354
69.243.754
108.018.154
146.792.554
185.566.954
224.341.354
263.115.754
301.890.154
340.664.554
379.438.954
418.213.354
Powder Ratio
1.3
1.4
-119.975.318
-76.547.990
-81.200.918
-37.773.590
-42.426.518
1.000.810
-3.652.118
39.775.210
35.122.282
78.549.610
73.896.682
117.324.010
112.671.082
156.098.410
151.445.482
194.872.810
190.219.882
233.647.210
228.994.282
272.421.610
267.768.682
311.196.010
306.543.082
349.970.410
345.317.482
388.744.810
384.091.882
427.519.210
422.866.282
466.293.610
461.640.682
505.068.010
1.5
-33.120.662
5.653.738
44.428.138
83.202.538
121.976.938
160.751.338
199.525.738
238.300.138
277.074.538
315.848.938
354.623.338
393.397.738
432.172.138
470.946.538
509.720.938
548.495.338
1.6
10.306.666
49.081.066
87.855.466
126.629.866
165.404.266
204.178.666
242.953.066
281.727.466
320.501.866
359.276.266
398.050.666
436.825.066
475.599.466
514.373.866
553.148.266
591.922.666
Keterangan: NPV = Present value of benefit present value of cost; periode analisis = 15
tahun; present value benefit = annual benefit * (P/A, 13%, 15);
present value cost = initial invesment + annual cost * (P/A, 13%, 15)
55
ISSN 2089-0036
Keterangan:
0.5
12.5
18.4
1.1
16.8
22.6
27.9
33.0
38.0
43.0
48.0
53.1
0.6
Powder Ratio
0.7
0.8
1.2
1.3
17.5
23.2
28.5
33.5
38.6
43.6
48.5
53.7
58.4
18.2
23.8
29.0
34.1
39.1
44.0
49.0
54.4
59.0
> 60
18.9
24.4
29.6
34.7
39.7
44.6
49.6
54.9
59.5
> 60
> 60
16.1
21.9
27.2
32.3
37.4
42.4
47.3
1.5
1.6
19.6
25.0
30.2
35.4
40.4
45.4
50.0
55.5
60.0
> 60
> 60
> 60
14.5
20.2
25.7
30.9
36.0
41.0
45.8
50.7
56.3
> 60
> 60
> 60
> 60
> 60
1.4
1.0
15.4
21.2
26.6
31.7
36.8
41.8
14.7
20.5
25.9
31.0
36.2
14.0
19.7
25.2
30.4
13.3
19.1
24.6
0.9
ISSN 2089-0036
tahun dapat dicapai apabila rasio kumulatif berada pada nilai 3,3. Pada rasio
kumulatif di bawah 3,3, periode pengem-
0.5
10.66
7.53
5.82
1.1
22.82
12.07
8.21
6.22
5.00
4.19
3.60
3.15
2.81
2.53
2.30
0.6
16.83
10.16
7.27
5.67
4.64
1.2
20.62
11.43
7.90
6.04
4.89
4.10
3.54
3.11
2.77
2.50
2.28
2.09
Powder Ratio
0.7
0.8
15.60
9.70
7.03
5.52
4.54
3.86
1.3
18.80
10.85
7.62
5.87
4.78
4.03
3.48
3.06
2.74
2.47
2.26
2.07
1.92
33.60
14.54
9.28
6.81
5.38
4.45
3.79
3.30
1.4
17.28
10.32
7.36
5.72
4.67
3.95
3.42
3.02
2.70
2.44
2.23
2.05
1.90
1.77
0.9
29.03
13.61
8.89
6.60
5.25
4.36
3.72
3.25
2.88
1.5
15.99
9.85
7.11
5.57
4.57
3.88
3.37
2.98
2.67
2.42
2.21
2.03
1.88
1.75
1.64
1.0
25.55
12.79
8.53
6.40
5.12
4.27
3.66
3.20
2.85
2.56
1.6
14.87
9.41
6.88
5.43
4.48
3.81
3.32
2.94
2.64
2.39
2.19
2.01
1.87
1.74
1.63
1.53
57
ISSN 2089-0036
ISSN 2089-0036
Tabel 6. Batas minimal realisasi pengolahan (ton tahun-1) untuk mencapai titik impas
(break even point)
Butter
Ratio
1.5
1.6
1.7
1.8
1.9
2.0
2.1
2.2
2.3
2.4
2.5
2.6
2.7
2.8
2.9
3.0
Butter
Ratio
1.5
1.6
1.7
1.8
1.9
2.0
2.1
2.2
2.3
2.4
2.5
2.6
2.7
2.8
2.9
3.0
0.5
8,319
7,064
6,137
1.1
8,755
7,375
6,371
5,608
5,008
4,524
4,125
3,791
3,507
3,263
0.6
9,861
8,145
6,938
6,042
5,352
1.2
8,563
7,238
6,269
5,528
4,944
4,472
4,082
3,755
3,476
3,236
3,026
Powder Ratio
0.7
0.8
9,618
7,979
6,817
5,950
5,279
4,744
1.3
8,379
7,107
6,170
5,451
4,883
4,421
4,040
3,719
3,445
3,209
3,003
2,822
9,387
7,819
6,700
5,861
5,209
4,687
4,260
1.4
9,945
8,202
6,979
6,074
5,376
4,822
4,372
3,998
3,684
3,415
3,183
2,980
2,802
2,644
0.9
9,166
7,665
6,587
5,774
5,140
4,631
4,214
3,866
1.5
9,698
8,033
6,857
5,981
5,303
4,763
4,323
3,958
3,649
3,385
3,157
2,958
2,782
2,626
2,486
1.0
8,956
7,517
6,477
5,690
5,073
4,577
4,169
3,828
3,539
1.6
9,463
7,871
6,738
5,890
5,232
4,706
4,276
3,918
3,615
3,356
3,132
2,935
2,762
2,608
2,470
2,347
59
ISSN 2089-0036
Item
Investasi
Penyusutan
Total
Mesin dan
Fasilitas
1.
Mesin
produksi
95.000.000.00
6.016.666.667 12.350.000.000 2.850.000.000
0
475.000.000
21.691.666.667
2.
Gedung
43.750.000.00
1.458.333.333
0
218.750.000
8.677.083.333
3.
Perlengkapan kantor
4.000.000.000
266.666.667
520.000.000
120.000.000
20.000.000
926.666.667
4.
Kendaraan
operasional
5.000.000.000
800.000.000
650.000.000
150.000.000
25.000.000
1.625.000.000
5.
Lahan
KIMA
(HGU)
6.000.000.000
200.000.000
780.000.000
980.000.000
B.
C.
Operasional
5.687.500.000 1.312.500.000
1.050.000.000
105.000.000
1.
50.000.000
2.
35.105.416.667
Item Pembiayaan
1.
2.
3.
Pengapalan produk
4.
420.000.000
9.301.500.000
60
200.079.500.000
209.801.000.000
KESIMPULAN
1. Ditinjau dari ketersediaan bahan baku,
pengembangan pabrik pengolahan biji
kakao di Makassar sangat potensil
dilakukan. Hal ini ditunjang oleh kebijakan pemerintah menghapus PPN
untuk biji kakao yang diolah dalam
negeri serta menerapkan pajak progressive bagi biji kakao yang akan
diekspor. Hal ini akan meningkatkan
daya saing pabrik pengolahan dalam
negeri dalam memperoleh bahan baku.
2. Kualitas bahan baku yang rendah
akibat tidak dilakukannya proses fermentasi oleh petani menjadikan bungkil (cake) atau bubuk (powder) yang
dihasilkan sulit dijual di luar negeri.
Dengan demikian, tumpuan pendapatan sepenuhnya dari penjualan lemak.
Hal ini menimbulkan tekanan finansil
yang berat bagi industri pengolahan
karena apabila butter ratio jatuh di
bawah 3,4 maka operasi pengolahan
menjadi tidak menguntungkan.
3. Kendala penjualan yang dihadapi oleh
industri pengolahan dalam negeri lebih
diakibatkan oleh lemahnya jaringan
yang dimiliki di luar negeri. Perusahaan pengolahan yang dapat bertahan dalam kondisi sulit adalah
perusahaan yang berafiliasi dengan
pabrik pengolahan multinasional dan/
atau perusahaan yang memiliki kontrak jangka panjang dengan manufacturing dan/atau trading house di
Amerika dan Eropa. Perusahaan-perusahaan independen umumnya sudah
berhenti berproduksi sejak nilai rasio
kumulatif (butter ratio + powder ratio)
turun dibawah level 3 di pasar internasional. Selain itu, perusahaan pengolahan kakao dalam negeri yang kelihatannya bisa bertahan dalam kondisi sulit adalah perusahaan yang
mengintegrasikan industri pengolahan
biji kakao dengan industri manu-
ISSN 2089-0036
DAFTAR PUSTAKA
Blank, L.T. dan Tarquin, A.J. 1989.
Engineering
Economy,
Third
Edition. McGraw-Hill, Inc. New
York.
Dakar, M.J. 2010. Analysis: African
cocoa grinders counting on global
upturn. Reuters World News, March
10. 2010.
Davomas. 2005. Davomas Annual Report,
2005. Davomas Abadi Tbk, Jakarta.
FAO (2007). Fao Statistics. FAO, Rome,
Italy.
ICCO. 2008a. Annual forecasts of production and consumption and
estimates of production levels to
achieve equilibrium in the world
cocoa market. ICCO Executive
Committee meeting, Berlin, 27-28
May 2008.
ICCO. 2008b. Assessment of the movements of global supply and demand.
61
ICCO
Executive
Committee
Meeting, Berlin, 27-28 May 2008.
Merret, A.J. dan Alien, S. 1989. Capital
Budgetting and Company Finance. Longman, London-UK.
Newnan, D.G. dan Johnson, B. 1995.
Engineering Economic Analysis,
fifth Edition. Engineering Press,
Inc., San Jose, California.
62
ISSN 2089-0036