Anda di halaman 1dari 17

Jurnal Agrisistem, Juni 2011, Vol. 7 No.

ISSN 2089-0036

PROSPEK INDUSTRI PENGOLAHAN KAKAO DI MAKASSAR:


ANALISIS POTENSI KELAYAKAN USAHA
Industry prospect of cocoa processing in Makassar:
Financial feasibility potential analysis

A. Hasizah Mochtar1 dan Rahim Darma2


Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin, email hasizahmohtar@yahoo.com
2
Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin,
email: rdarma@unhas.ac.id

ABSTRAK
Prospek pengembangan industri pengolahan kakao di Makassar dianalisis berdasarkan
faktor pendorong, faktor penghambat, kelayakan finansial usaha industri pengolahan
kakao. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat sejumlah faktor yang dapat
menunjang maupun menghambat pegembangan industri pengolahan kakao di Makassar.
Faktor-faktor penunjang antara lain ketersediaan lahan dan tenaga kerja, kondisi iklim,
letak geografis Indonesia yang sangat strategis di Asia, serta kecenderungan pabrik-pabrik
coklat di Amerika dan Eropa untuk membeli lemak dan bubuk ketimbang memproduksinya sendiri. Faktor-faktor yang menghambat antara lain mutu biji yang masih
rendah, jaringan pemasaran di luar negeri lemah, penetrasi perusahaan multinasional dalam
membeli biji di sentra-sentra produksi, serta diskriminasi negara-negara eropa terhadap
produk kakao olahan dari Indonesia. Hasil analisis finansial menunjukan bahwa tingkat
kelayakan investasi sangat tergantung pada butter ratio dan powder ratio. Secara umum,
apabila rasio kumulatif (butter ratio + powder ratio) 3,5 keatas, industry pengolahan akan
sangat menguntung. Pada garis ambang (rasio kumulatif 3,4), industry pengolahan masih
dapat menguntungkan tetapi laju pengembalian modal cukup lambat dan pabrik harus
beroperasi mendekati kapasitas maksimumnya. Pada rasio kumulatif < 3,4 industri
pengolahan sangat sulit memperoleh keuntungan.
Kata kunci: Analisis kelayakan, potensi, pengolahan, produk kakao

ABSTRACT
Prospect of cocoa industry development in Makassar that analyze based on supporting
factors, hinder factors, and financial feasibility of cocoa processing industry. Results of
this study indicate that there exist a number of factors which can support the development
of cocoa processing industry in Makassar. These include the availability of lands for
expansion of cocoa plantations, the availability of skilled labor, favorable climatic
conditions, strategic geographical location of Indonesia in Asia, and the trends of
American and European chocolate manufacturing companies to outsource the cocoa butter
and powder that they need in chocolate production. On the other hand, there are a few
factors which can hinder the development such as low bean quality, weak market networks
overseas, strong penetration of multinational companies in procuring cocoa beans from
production centers in Sulawesi, and discrimination (higher tariffs) applied by European
countries against processed cocoa products (liquor, butter, and powder) from Indonesia.

46

Jurnal Agrisistem, Juni 2011, Vol. 7 No. 1

ISSN 2089-0036

Results of financial analysis reveal that economic feasibility of cocoa processing industry
is highly dependent on butter and powder ratios. In general, when butter ratio + powder
ratio (also known as combined ratio) is at 3.5 or above, cocoa processing industries are
highly profitable whereas when the combined ratio is less than 3.4 the processing
industries are most likely at loss. At the border line of 3.4, cocoa processing industries can
still be profitable but with significantly reduced rate capital return and processing facilities
must operate near their maximum capacities.
Keywords: Feasibility analysis, potential, processing, cocoa products

PENDAHULUAN
Kakao merupakan tanaman perkebunan
penghasil devisa yang penting bagi negara-negara penghasil kakao termasuk
Indonesia karena kakao merupakan salah
satu komoditas pertanian yang paling
banyak diperdagangkan di dunia internasional. Nilai ekonomi dan volume perdagangan komoditas kakao terus meningkat seiring dengan meningkatnya permintaan dunia. Dalam beberapa tahun terakhir, produksi kakao dunia meningkat
cukup tajam, yaitu dari sekitar 3,2 juta ton
pada Tahun 2001 menjadi sekitar 3,7 juta
ton pada Tahun 2005 (FAO, 2007).
Suplai kakao dunia telah meningkat sekitar 2,2% per tahun selama periode
1980/1981 2007/2008. Dalam kurun
waktu 2003/2004 2007/2008, 70% dari
total produksi kakao dunia berasal dari
Afrika, sementara Amerika dan Asia berkontribusi masing-masing sekitar 10% dan
20%. Tiga negara penghasil kakao terbesar dunia (Pantai Gading, Ghana, dan
Indonesia) menyuplai sekitar 70% dari
total produksi dunia. Pada 10 tahun terakhir, produksi kakao Pantai Gading
hanya meningkat sekitar 0.88% per tahun
sementara dalam kurun waktu yang sama
produksi kakao di Ghana dan Indonesia
masing-masing meningkat sebesar 6% dan
3.46% per tahun.
ICCO (2008a) memperkirakan bahwa
produksi biji kakao dunia akan meningkat
dari sekitar 3,713 juta ton pada tahun
2007/2008 menjadi sekitar 4,459 juta ton

pada tahun 2012/13, dengan peningkatan


rata-rata sekitar 3,7% per tahun. Seiring
dengan peningkatan produksi tersebut,
volume penggilingan juga diperkirakan
akan meningkat dari sekitar 3,727 juta ton
pada tahun 2007/2008 menjadi 4,285 juta
ton pada tahun 2012/2013, dengan peningkatan sekitar 2,8% per tahun. Sehubungan
dengan proyeksi peningkatan produksi
dan volume penggilingan, stok akhir tahun
diperkirakan akan meningkat dari sekitar
1,54 juta ton pada tahun 2007/2008 menjadi 2,13 juta ton pada tahun 2012/2013.
Pasar kakao dunia secara umum dapat
dibagi atas dua segmen berdasarkan mutu
biji yaitu segmen pasar untuk biji kakao
bermutu tinggi yang dicirikan oleh biji
terfermentasi dengan sempurna (dikategorikan sebagai Well Fermented Cocoa
Beans atau WFCB) dan segmen pasar
untuk biji kakao dengan mutu fisik yang
cukup baik tetapi tidak difermentasi (dikategorikan sebagai Fair Average Quality
atau FAQ). Standar mutu untuk kategori
WFCB sangat ketat tetapi permintaan
pasar dunia sangat besar yaitu sekitar 2,4
juta ton per tahun atau sekitar 80% dari
total produksi kakao dunia. Sebaliknya,
biji kakao kategori FAQ tidak terlalu ketat
memperhatikan mutu biji dan permintaan
dunia untuk kakao kategori ini relatif kecil
yaitu sekitar 600.000 ton per tahun atau
sekitar 20% dari total produksi dunia.
Kakao Indonesia yang mampu bersaing
pada pasar WFCB hanya sekitar 2% dari
total ekspor. Penyebab utamanya adalah
karena petani kakao yang memproduksi
47

Jurnal Agrisistem, Juni 2011, Vol. 7 No. 1

sekitar 80% dari total produksi Indonesia


masih belum melakukan penanganan pascapanen dengan baik, terutama belum dilaksanakannya proses fermentasi biji.
Hingga sekarang, ekspor kakao dari negara-negara penghasil kakao sebagian
besar masih dalam bentuk biji. Hal ini
menunjukkan bahwa nilai tambah dari
proses pengolahan biji kakao masih
dinikmati oleh negara-negara pengimpor
seperti Eropa, Amerika Serikat, Malaysia,
dan Australia. Negara-negara produsen
biji kakao seperti Indonesia telah sadar
akan pentingnya melakukan pengolahan
untuk menciptakan nilai tambah. Akan
tetapi, negara-negara penghasil kakao
belum sepenuhnya dapat melakukan pengolahan menjadi produk-produk setengah
jadi atau produk jadi. Kendala terbesar
yang dihadapi adalah tingginya integrasi
vertikal perusahaan-perusahaan multinasional yang bergerak dalam industry
pengolahan kakao.
Produksi kakao di Indonesia berpotensi
meningkat dengan pesat dalam beberapa
tahun yang akan datang karena adanya
perluasan areal pertanaman kakao oleh
petani dan kegiatan rehabilitasi pertanaman kakao yang sudah rusak atau tua
melalui program Gernas. Daerah sentra
produksi kakao Indonesia terutama berada
di Sulawesi Selatan (20,7%), Sulawesi
Tengah (17,7 %), Sulawesi Tenggara
(11,6%), Sulawesi Barat (11,2 %) dan,
Sumatera Utara (6,4%) dan daerah lain
(10,5%) (Suryani dan Zulfebriansyah,
2007).
Uraian di atas memperlihatkan potensi
produksi dan peluang pengembangan
kakao sesungguhnya sangat besar di Sulawesi Selatan. Namun dalam hal pengolahan biji menjadi produk olahan kakao
seperti lemak (butter) dan bubuk (powder)
kelihatannya masih menghadapi kendala,
di mana kapasitas terpasang industri
pengolahan belum terpenuhi. Hal mungkin disebabkan oleh beberapa hal antara
48

ISSN 2089-0036

lain: (1) produksi biji kakao masih didominasi untuk peruntukkan ekspor, sehingga pabrik-pabrik pengolahan sulit
bersaing dalam hal memperoleh bahan
baku; (2) pasar produk dari proses pengolahan biji kakao masih terbatas, hal ini
dapat terkait dengan kondisi pasar domestik, dimana produk olahan dalam negeri
berkompetisi dengan produk impor, atau
kondisi pasar dunia dimana produk olahan
kakao dari Indonesia masih kalah bersaing
dengan produk ekspor dari negara lain.
Kedua faktor tersebut dapat mempengaruhi skala usaha pengolahan kakao
yang menyebabkan industri pengolahan di
Sulawesi Selatan beroperasi pada skala
usaha yang belum ekonomis atau tidak
efisien.
Berdasarkan permasalahan yang dihadapi
industri pengolahan kakao di atas dapat
dirumuskan bahwa industri pengolahan
kakao di Sulawesi Selatan belum mencapai skala ekonomis. Oleh karena itu,
perlu dilalukan analisis tentang tingkat
kelayakan usaha pengolahan kakao bila
dilakukan investasi, faktor-faktor yang
mendorong dan menghambat perkembangan industri pengolahan kakao di
Sulawesi Selatan, serta prospek pengembangan indutsri pengolahan kakao di
Sulawesi Selatan. Sehubungan dengan itu,
tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari prospek pengembangan industri
pengolahan kakao di Sulawesi Selatan
berdasarkan analisis tingkat kelayakan
investasi dan faktor-faktor pendorong dan
penghambat pengembangan industri pengolahan kakao di Sulawesi Selatan.

BAHAN DAN METODE


Penelitian ini lebih bersifat studi kasus
dalam menganalisis peluang pengembangan suatu industri pengolahan kakao.
Pengembangan pengolahan kakao meliputi kelayakan usaha, potensi bahan baku,
potensi pasar, termasuk faktor-faktor eks-

Jurnal Agrisistem, Juni 2011, Vol. 7 No. 1

ternal yang mendukung dan menghambat


pengembangan pengolahan kakao. Desain
penelitian adalah lebih bersifat deskriptif
dengan memanfaatkan informasi data
sekunder yang dominan, dan ditunjang
dengan data primer yang belum terpublikasi dan merupakan informasi sangat
penting dalam pembahasaan.
Data yang digunakan dalam analisis meliputi data primer hasil wawancara dengan beberapa pihak, termasuk dengan
staf perusahaan pengolahan kakao di
Makassar dan staf dari ASKINDO Sulawesi Selatan dan data sekunder berupa
data statistik tentang produksi nasional
dan global, kondisi pasar global, serta
perkembangan global harga biji, butter,
dan powder.
Dalam penelitian ini, analisis kelayakan
usaha dilakukan dengan menghitung Net
Present Value (NPV), Internal Rate of
Return (IRR), Payback Period, dan Break
Even Point. Metode-metode analisis tersebut secara singkat dijabarkan sebagai
berikut:
Metode NPV menghitung nilai equivalen
saat ini (equivalent present value) dari
setiap arus kas yang akan terjadi dimasa
yang akan datang. Kelebihan utama dari
metode NPV adalah dapat memberikan
gambaran yang lebih mendekati kenyataan
tentang profitabilitas suatu proyek atau
industri yang direncanakan. Selain itu,
penggunaan faktor discount rate (i)
sebagai biaya atas penggunaan modal
(cost of capital) memungkinkan investor
menghitung secara lebih cermat keuntungan ril yang dapat diperoleh dari suatu
proyek atau investasi. NPV dari suatu
investasi dapat dihitung berdasarkan nilai
sekarang (present value) dari semua arus
kas tahunan yang terjadi selama umur
proyek dikurangi jumlah investasi awal
proyek tersebut (Merret dan Alien, 1989).
Secara matematis, NPV dapat dihitung
sebagai berikut:

ISSN 2089-0036

dimana:
= nilai bersih suatu investasi.
= nilai bersih arus kas tahun ke-1
sampai ke-n.
= tingkat suku bunga atau discount
rate yang digunakan.
Metode IRR merupakan metode yang
paling sering digunakan dalam analisis
profitability suatu industri (Newnan dan
Johnson, 1995). IRR dapat didefinisikan
sebagai tingkat suku bunga atau tingkat
pengembalian yang akan diperoleh dari
nilai investasi yang belum kembali sehingga semua investasi terbayarkan kembali pada akhir umur ekonomis investasi
tersebut (Newnan dan Johnson, 1995;
Blank dan Tarquin, 1989).
Dalam perhitungan laju pengembalian (i)
dari suatu investasi, semua pembiayaan
dan semua penerimaan harus dikonversi
kedalam sebuah arus kas kemudian berdasarkan arus kas tersebut akan dicari laju
pengembalian (i). Persamaan-persamaan
arus kas yang dapat digunakan untuk menentukan nilai (i) adalah sebagai berikut
(Newnan dan Johnson, 1995; Blank dan
Tarquin, 1989):

Pada persamaan-persamaan di atas, laju


pengembalian modal (i) dapat ditentukan
secara coba-coba (trial-and-error) dengan
menyelesaikan persamaan berikut (Sutojo,
2006):

49

Jurnal Agrisistem, Juni 2011, Vol. 7 No. 1

dimana:
I0
= total investasi awal
NCF = nilai bersih arus kas tahun ke-1
sampai tahun ke-n.
i
= laju pengembalian modal (internal rate of return) yang dicari.
Perhitungan payback period dapat dilakukan dengan dua cara yaitu: (1) dengan
mengsumsikan bahwa keuntungan bersih
dari proyek tetap konstan setiap tahun dan
(2) berdasarkan jumlah kumulatif dari
keuntungan bersih setiap tahun (Sutojo,
2006). Cara perhitungan yang pertama
secara matematis dapat ditulis sebagai
berikut (Blank dan Tarquin, 1989) :

ISSN 2089-0036

produksi minimal per tahun yang harus


dicapai agar investasi dan proses produksi
tidak rugi. Dalam penelitian ini, titik
impas (BEP) realisasi produksi dihitung
sebagai berikut:
BEP

BTT
x KT
N P BT

Dimana:
BTT = Biaya tidak tetap
BT = Biaya tetap
Np = Nilai penjualan produk
KT = Kapasitas terpasang pabrik

HASIL DAN PEMBAHASAN


Analisis Prospek Pengembangan Industri Pengolahan Kakao
Untuk perhitungan berdasarkan jumlah
kumulatif dari keuntungan bersih, jangka
waktu pengembalian (tahun) ditetapkan
dengan menjumlahkan keuntungan bersih
setiap tahun sehingga pada tahun ke-N
dipenuhi persyaratan berikut ini (Blank
dan Tarquin, 1989):

Dimana:
N = jangka waktu pengembalian modal
(payback period), tahun
I = total investasi, Rupiah
= rata-rata keuntungan setelah pajak
per tahun.
= Keuntungan bersih pada tahun ke-i.
Untuk menganalisa sensitifitas tingkat
kelayakan suatu investasi dalam pabrik
pengolahan kakao terhadap ralisasi produksi, dalam penelitian ini juga dilakukan
analisis titik impas (break even point)
yang memberi informasi tentang tingkat
50

Seperti telah diuraikan sebelumnya, jelas


bahwa Indonesia merupakan salah satu
negara penghasil kakao yang penting di
dunia, selain karena merupakan negara
penghasil kakao terbesar ketiga di dunia
setelah negara Pantai Gading dan Ghana
tetapi juga karena potensi perluasan lahan
pertanaman kakao yang masih besar.
Industri pengolahan kakao di Indonesia
memiliki peranan penting khususnya dalam perolehan devisa negara dan penyerapan tenaga kerja. Industri ini memiliki
keterkaitan yang luas, baik ke hulu
(upstream) berupa peningkatan pendapatan petani melalui harga biji kakao yang
lebih kompetitif maupun ke hilir (downstream) berupa penyerapan tenaga dan
perluasan sektor industri dan sector jasa
yang terkait.
Data dari ICCO (2008a) menunjukkan
bahwa komposisi ekspor produk kakao
Indonesia pada tahun 2008 masih didominasi oleh biji (247.497 ton dengan
nilai US$ 550.684.389) kemudian diikuti
oleh lemak (39.714 ton dengan nilai US$
221.183.784), bubuk (23.996 ton dengan

Jurnal Agrisistem, Juni 2011, Vol. 7 No. 1

nilai US$ 24.899.937), bungkil (19.493


ton dengan nilai US$ 12.934.709) dan
pasta (1.017 ton dengan nilai US$
2.810.823).
Untuk kebutuhan pengolahan dan konsumsi dalam negeri, pada saat yang sama
Indonesia juga mengimpor biji kakao
sebanyak 21.763 ton dengan nilai US$
32.209.000 dan dan produk olahan kakao
berupa lemak (10 ton dengan nilai US$
30.000), bubuk (4.372 ton dengan nilai
US$ 5.730.000), bungkil kakao (42 ton
dengan nilai US$ 16.000), dan pasta (225
ton dengan nilai US$ 348.000). Selain
untuk memenuhi kebutuhan pencampuran
(blending) untuk mendapatkan rasa coklat
yang lebih kaya, impor tersebut juga
dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan
kakao fermentasi yang belum bisa diperoleh dalam jumlah yang cukup di
dalam negeri.
Berdasarkan data-data yang telah dipaparkan sebelumnya, maka beberapa faktor
yang dapat mendukung maupun menghambat pengembangan industri pengolahan kakao di Sulawesi Selatan dapat
dijabarkan secara singkat sebagai berikut:
Faktor Pendukung
a. Ketersediaan lahan yang sangat luas,
kondisi iklim yang sangat cocok untuk
produksi kakao, serta keterampilan
petani kakao yang sudah sangat memadai. Tanaman kakao dapat tumbuh
dan berproduksi dengan baik di hampir
seluruh wilayah Indonesia, sehingga
potensi pengembangannya masih cukup tinggi.
b. Tersedianya banyak tenaga kerja terampil, baik untuk sektor perkebunan
maupun sektor industri pengolahannya.
c. Lokasi Indonesia yang sangat strategis
di Asia memungkinkannya menjadi
lebih kompetitif dalam memenuhi kebutuhan konsumen di Asia yang jumlahnya sangat besar. Pasar-pasar baru
di Asia, terutama negara ekonomi baru

ISSN 2089-0036

(emerging market) seperti Cina, Korea,


Taiwan, dan India, merupakan pasar
potensil untuk produk olahan kakao
Indonesia.
d. Kecenderungan perusahaan pembuat
coklat (chocolate manufacturers) di
Eropa dan Amerika untuk lebih berkonsentrasi pada pengembangan produk dan pemasaran dan membeli (outsourcing) bahan baku (lemak, bubuk,
dan pasta) dari perusahaan penggiling
(grinders) merupakan potensi yang
dapat dimanfaatkan oleh perusahaan
pengolahan dalam negeri.
Faktor Penghambat
a. Proses penanganan pasca panen (khususnya fermentasi dan sortasi biji)
belum dilakukan dengan baik sehingga
mutu biji yang dihasilkan masih dikategorikan rendah dan dihargai rendah
di pasar internasional. Hal ini memperkecil peluang pasar di Eropa yang
menghendaki produk kakao terfermentasi dan berkualitas tinggi.
b. Industri pengolahan kakao dalam negeri belum terintegrasi dengan industry
manufacturing coklat sehingga produk
setengah jadi yang di-hasilkan masih
ditujukan untuk tujuan ekspor. Hal ini
mengakibatkan industri pengolahan sangat rentan terhadap pengaruh fluktuasi harga dan permintaan komoditas
hasil olahan seperti lemak dan bubuk
di luar negeri.
c. Jaringan pemasaran di luar negeri serta
kemitraan dengan perusahaan chocolate manufacturing masih sangat lemah sehingga perusahaan pengolah
dalam negeri sering kali mengalami
kesulitan menjual produk hasil olahannya.
d. Penetrasi yang sangat kuat oleh perusahaan-perusahaan multinasional dalam memperolah biji untuk ekspor.
Misalnya, perusahaan-perusahaan pengolahan di Malaysia sangat tergantung pada pasokan biji dari Indonesia
51

Jurnal Agrisistem, Juni 2011, Vol. 7 No. 1

karena lebih dari 40% kebutuhan biji


untuk pengolahan di negara tersebut
diperoleh dari Indonesia.
e. Diskriminasi Negara-negara Eropa berupa pajak impor yang lebih tinggi
terhadap produk olahan kakao dari
Indonesia harus dihilangkan melalui
negosiasi perdagangan antar pemerintah. Produk kakao olahan dari
Indonesia dikenai pajak impor sebesar
7,7 9,6% sedang produk olahan kakao dari Afrika dibebaskan pajak impor di Uni Eropa.
Analisis Finansil Pabrik Pengolahan
Kakao
Dalam penelitian ini, analisis finansil
pabrik pengolahan biji kakao didasarkan
atas pabrik dengan kapasitas pengolahan
10,000 ton tahun-1. Harga mesin untuk
fasilitas pengolahan dengan kapasitas
tersebut sekitar US$ 10 juta. Satu unit
produksi terdiri atas mesin pembersih biji,
mesin alkalisasi biji, mesin penyangrai,
mesin pemisah kulit, mesin penggiling,
mesin pengepres lemak, dan mesin pengemas. Untuk melayani pabrik ini dibutuhkan lantai pengolahan serta gudang penyimpanan bahan baku seluas 10,000
sampai 15,000 m2 serta gudang penyimpanan produk yang terkontrol (suhu dan
kelembaban) seluas 2500 m2. Dengan demikian, dalam analisis ini ditetapkan luas
fasilitas gedung untuk pabrik sebesar
17,500 m2.
Potensi pendapatan yang akan diperoleh
dari pabrik pengolahan kakao sangat
tergantung pada harga komoditas produk
olahan kakao seperti lemak, pasta, dan
bubuk. Dalam analisis ini, diasumsikan
bahwa semua pasta (liquor) yang diperoleh dari proses penggilingan keping biji
kakao akan dipres dalam pabrik sehingga
diperoleh produk berupa lemak dan bubuk
kakao. Rendemen lemak dan bubuk yang
diperoleh dari proses pengolahan biji
kakao masing-masing 37,5% dan 42%
52

ISSN 2089-0036

(ICCO, 2008a,b). Oleh karena itu, perhitungan potensi pendapatan didasarkan


pada harga dan rendemen pengolahan
kedua komoditas tersebut.
Data dari ICCO (ICCO, 2008b) menunjukan bahwa perbandingan antara harga
lemak kakao dengan harga biji (butter
ratio) dan harga bubuk kakao dengan
harga biji (powder ratio) mengalami perubahan secara sangat dinamis dimana
rasio antara harga lemak kakao dengan
harga biji (butter ratio) bergerak antara
1,6 3, sedang rasio antara harga bubuk
dengan harga biji (powder ratio) bergerak
antara 0,5 1,6. Oleh karena itu, analisis
kelayakan finansil pabrik pengolahan kakao akan dilakukan pada kisaran nilai tersebut. Perlu pula diketahui bahwa dalam
analisis ini, harga biji kakao diasumsikan
sebesar Rp 20,000 kg-1 yang merupakan
harga lokal rata-rata dalam 2 tahun terakhir.
Berdasarkan nilai-nilai tersebut di atas,
potensi nilai penjualan lemak dan bubuk
kakao per ton biji yang diolah dapat dihitung dan hasilnya disajikan pada Tabel 1
sedang labah bersih per tahun apabila
pabrik beroperasi pada kapasitas penuh
(10 ribu ton tahun-1) disajikan pada Tabel
2. Seperti terlihat pada Tabel 2, laba
bersih pabrik pengolahan biji kakao
sangat tergantung pada butter ratio dan
powder ratio. Apabila powder ratio = 0,5,
pabrik hanya dapat untung (laba bersih
bernilai positif) apabila butter ratio diatas
2,7. Pada powder ratio =1 dan 1,5, pabrik
hanya dapat untung apabila butter ratio
masing-masing berada diatas 2,1 dan 1,5.
Secara keseluruhan, dapat dilihat bahwa
pabrik hanya bisa untung apabila rasio
kumulatif (butter ratio + powder ratio)
minimal sebesar 3,3.
Hasil analisis Net Presen Value (NPV)
seperti terlihat pada Tabel 3 menunjukkan
bahwa pada tingkat discount rate 13%,
nilai NPV secara konsisten benilai positif
(menguntungkan)
pada
saat
rasio

Jurnal Agrisistem, Juni 2011, Vol. 7 No. 1

kumulatif bernilai 3,3 keatas. Pada rasio


kumulatif 3,3, keuntungan yang dihasilkan
oleh parbik selama umurnya (15 tahun)
bervariasi antara 36,67 milliar (pada
butter ratio 2,8 dan powder ratio 0,5)

ISSN 2089-0036

hingga 87,86 milliar (pada butter ratio 1,7


dan powder ratio 1,6). Pada rasio
kumulatif yang lebih tinggi, keuntungan
yang dihasilkan oleh pabrik menjadi lebih
besar.

Tabel 1. Nilai penjualan lemak dan bubuk kakao per ton biji yang diolah
Butter
Ratio
1.5
1.6
1.7
1.8
1.9
2.0
2.1
2.2
2.3
2.4
2.5
2.6
2.7
2.8
2.9
3.0

0.5
15.450.000
16.200.000
16.950.000
17.700.000
18.450.000
19.200.000
19.950.000
20.700.000
21.450.000
22.200.000
22.950.000
23.700.000
24.450.000
25.200.000
25.950.000
26.700.000

Butter
Ratio
1.5
1.6
1.7
1.8
1.9
2.0
2.1
2.2
2.3
2.4
2.5
2.6
2.7
2.8
2.9
3.0

1.1
20.490.000
21.240.000
21.990.000
22.740.000
23.490.000
24.240.000
24.990.000
25.740.000
26.490.000
27.240.000
27.990.000
28.740.000
29.490.000
30.240.000
30.990.000
31.740.000

0.6
16.290.000
17.040.000
17.790.000
18.540.000
19.290.000
20.040.000
20.790.000
21.540.000
22.290.000
23.040.000
23.790.000
24.540.000
25.290.000
26.040.000
26.790.000
27.540.000

Powder Ratio
0.7
0.8
17.130.000 17.970.000
17.880.000 18.720.000
18.630.000 19.470.000
19.380.000 20.220.000
20.130.000 20.970.000
20.880.000 21.720.000
21.630.000 22.470.000
22.380.000 23.220.000
22.130.000 23.970.000
23.880.000 24.720.000
24.630.000 25.470.000
25.380.000 26.220.000
26.130.000 26.970.000
26.880.000 27.720.000
27.630.000 28.470.000
28.380.000 29.220.000

0.9
18.810.000
19.560.000
20.310.000
21.060.000
21.810.000
22.560.000
23.310.000
24.060.000
24.810.000
25.560.000
26.310.000
27.060.000
27.810.000
28.560.000
29.310.000
30.060.000

1.0
19.650.000
20.400.000
21.150.000
21.900.000
22.650.000
23.400.000
24.150.000
24.900.000
25.650.000
26.400.000
27.150.000
27.900.000
28.650.000
29.400.000
30.150.000
30.900.000

1.2
21.330.000
22.080.000
22.830.000
23.550.000
24.330.000
25.080.000
25.830.000
26.580.000
27.330.000
28.080.000
28.830.000
29.580.000
30.330.000
31.080.000
31.830.000
32.580.000

Powder Ratio
1.3
1.4
22.170.000 23.010.000
22.920.000 23.760.000
23.670.000 24.510.000
24.420.000 25.260.000
25.170.000 26.010.000
25.920.000 26.760.000
26.670.000 27.510.000
27.420.000 28.260.000
28.170.000 29.010.000
28.920.000 29.760.000
29.670.000 30.510.000
30.420.000 31.260.000
31.170.000 32.010.000
31.920.000 32.760.000
32.670.000 33.510.000
33.420.000 34.260.000

1.5
23.850.000
24.600.000
25.350.000
26.100.000
26.850.000
27.000.000
28.350.000
29.100.000
29.850.000
30.600.000
31.350.000
32.100.000
32.850.000
33.600.000
34.350.000
35.100.000

1.6
24.690.000
25.440.000
26.190.000
26.940.000
27.690.000
28.440.000
29.190.000
29.940.000
30.690.000
31.440.000
32.190.000
32.940.000
33.690.000
34.440.000
35.190.000
35.940.000

Keterangan: [(rendemen lemak * butter ratio) + (rendemen powder * powder ratio)] * harga biji
Dasar perhitungan : Harga biji kakao Rp 20.000 / kg

53

Jurnal Agrisistem, Juni 2011, Vol. 7 No. 1

ISSN 2089-0036

Tabel 2. Nilai laba bersih (ribu rupiah) per tahun apabila pabrik beroperasi pada kapasitas
penuh (10 ribu ton)
Butter
Ratio
1.5
1.6
1.7
1.8
1.9
2.0
2.1
2.2
2.3
2.4
2.5
2.6
2.7
2.8
2.9
3.0

0.5
-72.325.133
-66.325.133
-60.325.133
-54.325.133
-48.325.133
-42.325.133
-36.325.133
-30.325.133
-24.325.133
-18.325.133
-12.325.133
-6.325.133
-325.133
5.674.867
11.674.867
17.674.867

0.6
-65.605.133
-59.605.133
-53.605.133
-47.605.133
-41.605.133
-35.605.133
-29.605.133
-23.605.133
-17.605.133
-11.605.133
-5.605.133
394.867
6.394.867
13.394.867
18.394.867
24.394.867

Powder Ratio
0.7
0.8
-58.885.133 -52.165.133
-52.885.133 -46.165.133
-46.885.133 -40.165.133
-40.885.133 -34.165.133
-34.885.133 -28.165.133
-28.885.133 -22.165.133
-22.885.133 -16.165.133
-16.885.133 -10.165.133
-10.885.133
-4.165.133
-4.885.133
1.834.867
1.114.867
7.834.867
7.114.867 13.834.867
13.114.867 19.834.867
19.114.867 25.834.867
25.114.867 31.834.867
31.114.867 37.834.867

0.9
-45.445.133
-39.445.133
-33.445.133
-27.445.133
-21.445.133
-15.445.133
-9.445.133
-3.445.133
2.554.867
8.554.867
14.554.867
20.554.867
26.554.867
32.554.867
38.554.867
44.554.867

1.0
-38.725.133
-38.725.133
-38.725.133
-38.725.133
-38.725.133
-38.725.133
-38.725.133
3.274.867
9.274.867
15.274.867
21.274.867
27.274.867
33.274.867
39.274.867
45.274.867
51.274.867

Butter
Ratio
1.5
1.6
1.7
1.8
1.9
2.0
2.1
2.2
2.3
2.4
2.5
2.6
2.7
2.8
2.9
3.0

1.1
-32.005.133
-26.005.133
-20.005.133
-14.005.133
-8.005.133
-2.005.133
3.994.867
9.994.867
15.994.867
21.994.867
27.994.867
33.994.867
39.994.867
45.994.867
51.994.867
57.994.867

1.2
-25.285.133
-19.285.133
-13.285.133
-7.285.133
-1.285.133
4.714.867
10.714.867
16.714.867
22.714.867
28.714.867
34.714.867
40.714.867
46.714.867
52.714.867
58.714.867
64.714.867

Powder Ratio
1.3
1.4
-18.565.133 -11.845.133
-12.565.133
-5.845.133
-6.565.133
154.867
-565.133
6.154.867
5.434.867 12.154.867
11.434.867 18.154.867
17.434.867 24.154.867
23.434.867 30.154.867
29.434.867 36.154.867
35.434.867 42.154.867
41.434.867 48.154.867
47.434.867 54.154.867
53.434.867 60.154.867
59.434.867 66.154.867
65.434.867 72.154.867
71.434.867 78.154.867

1.5
-5.125.133
874.867
6.874.867
12.874.867
18.874.867
24.874.867
30.874.867
36.874.867
42.874.867
48.874.867
54.874.867
60.874.867
66.874.867
72.874.867
78.874.867
84.874.867

1.6
1.594.867
7.594.867
13.594.867
19.594.867
25.594.867
31.594.867
37.594.867
43.594.867
49.594.867
55.594.867
61.594.867
67.594.867
73.594.867
79.594.867
85.594.867
91.594.867

Keterangan: Laba bersih = (total penjualan total biaya) jumlah pajak


Pajak = 0.2 x (total nilai penjualan total biaya)

Hasil analisis IRR menunjukkan bahwa


laju pengembalian modal lebih besar dari
tingkat suku bunga (discount rate) apabila
rasio kumulatif lebih besar dari 3,3. Tabel
54

4 memperlihatkan kombinasi antara butter


ratio dengan powder ratio yang memberikan nilai IRR yang lebih besar dari
nilai discount rate (> 13%). Walaupun

Jurnal Agrisistem, Juni 2011, Vol. 7 No. 1

investasi dalam pabrik pengolahan kakao


sudah memberikan laju pengembalian
diatas tingkat suku bunga pada rasio
kumulatif 3,4, laju pengembalian yang
mungkin sudah cukup menarik bagi investor terlihat pada rasio kumulatif 3,5 atau
lebih. Pada rasio kumulatif 3,5, nilai IRR

ISSN 2089-0036

bervariasi antara 18,4% (butter ratio 3 dan


powder ratio 0,5) hingga 25,7% (butter
ratio 1,9 dan powder ratio 1,6). Pada rasio
kumulatif 3,6, nilai IRR bervariasi antara
24,6% sampai 30,9% dan pada rasio
kumulatif 3,6 nilai IRR lebih besar dari
30%.

Tabel 3. Nilai laba bersih (ribu rupiah) per tahun apabila pabrik beroperasi pada kapasitas
penuh (10 ribu ton)
Butter
Ratio
1.5
1.6
1.7
1.8
1.9
2.0
2.1
2.2
2.3
2.4
2.5
2.6
2.7
2.8
2.9
3.0

0.5
-467.393.942
-428.619.542
-389.845.142
-351.070.742
-312.296.342
-273.521.942
-234.747.542
-195.973.142
-157.198.742
-118.424.342
-79.649.942
-40.875.542
-2.101.142
36.673.258
75.447.658
114.222.058

0.6
-423.966.614
-385.192.214
-346.417.814
-307.643.414
-268.869.014
-230.094.614
-191.320.214
-152.545.814
-113.771.414
-74.997.014
-36.222.614
2.551.786
41.326.186
80.100.586
118.874.986
157.649.386

Powder Ratio
0.7
0.8
-380.539.286
-337.111.958
-341.764.886
-298.337.558
-302.990.486
-259.563.158
-264.216.086
-220.788.758
-225.441.686
-182.014.358
-186.667.286
-143.239.958
-147.892.886
-104.465.558
-109.118.486
-65.691.158
-70.344.086
-26.916.758
-31.569.686
11.857.642
7.204.714
50.632.042
45.979.114
89.406.442
84.753.514
128.180.842
123.527.914
166.955.242
162.302.314
205.729.642
201.076.714
244.504.042

0.9
-293.684.630
-254.910.230
-216.135.830
-177.361.430
-138.587.030
-99.812.630
-61.038.230
-22.263.830
16.510.570
55.284.970
94.059.370
132.833.770
171.608.170
210.382.570
249.156.970
287.931.370

1.0
-250.257.302
-211.482.902
-172.708.502
-133.934.102
-95.159.702
-56.385.302
-17.610.902
21.163.498
58.937.898
98.712.298
137.486.698
176.261.098
215.035.498
253.809.898
292.584.298
331.358.698

Butter
Ratio
1.5
1.6
1.7
1.8
1.9
2.0
2.1
2.2
2.3
2.4
2.5
2.6
2.7
2.8
2.9
3.0

1.1
-206.829.974
-168.055.574
-129.281.174
-90.506.774
-51.732.374
-12.957.974
25.816.426
64.590.826
103.365.226
142.139.625
180.914.026
219.688.426
258.462.826
297.237.226
336.011.626
374.786.026

1.2
-163.402.646
-124.628.246
-85.853.846
-47.079.446
-8.305.046
30.469.354
69.243.754
108.018.154
146.792.554
185.566.954
224.341.354
263.115.754
301.890.154
340.664.554
379.438.954
418.213.354

Powder Ratio
1.3
1.4
-119.975.318
-76.547.990
-81.200.918
-37.773.590
-42.426.518
1.000.810
-3.652.118
39.775.210
35.122.282
78.549.610
73.896.682
117.324.010
112.671.082
156.098.410
151.445.482
194.872.810
190.219.882
233.647.210
228.994.282
272.421.610
267.768.682
311.196.010
306.543.082
349.970.410
345.317.482
388.744.810
384.091.882
427.519.210
422.866.282
466.293.610
461.640.682
505.068.010

1.5
-33.120.662
5.653.738
44.428.138
83.202.538
121.976.938
160.751.338
199.525.738
238.300.138
277.074.538
315.848.938
354.623.338
393.397.738
432.172.138
470.946.538
509.720.938
548.495.338

1.6
10.306.666
49.081.066
87.855.466
126.629.866
165.404.266
204.178.666
242.953.066
281.727.466
320.501.866
359.276.266
398.050.666
436.825.066
475.599.466
514.373.866
553.148.266
591.922.666

Keterangan: NPV = Present value of benefit present value of cost; periode analisis = 15
tahun; present value benefit = annual benefit * (P/A, 13%, 15);
present value cost = initial invesment + annual cost * (P/A, 13%, 15)

55

Jurnal Agrisistem, Juni 2011, Vol. 7 No. 1

ISSN 2089-0036

Tabel 4. Hasil analisis IRR (nilai dalam %)


Butter
Ratio
1.5
1.6
1.7
1.8
1.9
2.0
2.1
2.2
2.3
2.4
2.5
2.6
2.7
2.8
2.9
3.0
Butter
Ratio
1.5
1.6
1.7
1.8
1.9
2.0
2.1
2.2
2.3
2.4
2.5
2.6
2.7
2.8
2.9
3.0

Keterangan:

0.5

12.5
18.4

1.1

16.8
22.6
27.9
33.0
38.0
43.0
48.0
53.1

0.6

Powder Ratio
0.7
0.8

1.2

1.3

17.5
23.2
28.5
33.5
38.6
43.6
48.5
53.7
58.4

18.2
23.8
29.0
34.1
39.1
44.0
49.0
54.4
59.0
> 60

18.9
24.4
29.6
34.7
39.7
44.6
49.6
54.9
59.5
> 60
> 60

16.1
21.9
27.2
32.3
37.4
42.4
47.3

1.5

1.6

19.6
25.0
30.2
35.4
40.4
45.4
50.0
55.5
60.0
> 60
> 60
> 60

14.5
20.2
25.7
30.9
36.0
41.0
45.8
50.7
56.3
> 60
> 60
> 60
> 60
> 60

(P/A, IRR, 15) = Nilai investasi/Laba bersih)


Nilai IRR ditentukan melalui proses interpolasi tabel compound interest

Salah satu kriteria penilaian kelayakan


suatu investasi adalah kecepatan pengembalian modal yang diinvestasikan. Semakin cepat periode pengembalian modal,
semakin menarik investasi tersebut. Dalam analisis ini, periode pengembalian
modal yang dikehendaki harus lebih kecil
dari 15 tahun karena asumsi umur eko56

1.4

1.0

15.4
21.2
26.6
31.7
36.8
41.8

14.7
20.5
25.9
31.0
36.2

14.0
19.7
25.2
30.4

13.3
19.1
24.6

0.9

nomis mesin-mesin pengolahan kakao


yang umum digunakan oleh industri pengolahan kakao (Petra Foods dan Davomas)
adalah 15 tahun.
Hasil analisis periode pengembalian modal pada Tabel 5 menunjukkan bahwa
target periode pengembalian di bawah 15

Jurnal Agrisistem, Juni 2011, Vol. 7 No. 1

ISSN 2089-0036

tahun dapat dicapai apabila rasio kumulatif berada pada nilai 3,3. Pada rasio
kumulatif di bawah 3,3, periode pengem-

balian modal umumnya di atas 15 tahun


atau melebihi umur ekonomis mesin.

Tabel 5. Periode pengembalian modal (pay back periode) (tahun)


Butter
Ratio
1.5
1.6
1.7
1.8
1.9
2.0
2.1
2.2
2.3
2.4
2.5
2.6
2.7
2.8
2.9
3.0
Butter
Ratio
1.5
1.6
1.7
1.8
1.9
2.0
2.1
2.2
2.3
2.4
2.5
2.6
2.7
2.8
2.9
3.0

0.5

10.66
7.53
5.82

1.1

22.82
12.07
8.21
6.22
5.00
4.19
3.60
3.15
2.81
2.53
2.30

0.6

16.83
10.16
7.27
5.67
4.64

1.2

20.62
11.43
7.90
6.04
4.89
4.10
3.54
3.11
2.77
2.50
2.28
2.09

Powder Ratio
0.7
0.8

15.60
9.70
7.03
5.52
4.54
3.86

1.3

18.80
10.85
7.62
5.87
4.78
4.03
3.48
3.06
2.74
2.47
2.26
2.07
1.92

33.60
14.54
9.28
6.81
5.38
4.45
3.79
3.30

1.4

17.28
10.32
7.36
5.72
4.67
3.95
3.42
3.02
2.70
2.44
2.23
2.05
1.90
1.77

0.9

29.03
13.61
8.89
6.60
5.25
4.36
3.72
3.25
2.88

1.5
15.99
9.85
7.11
5.57
4.57
3.88
3.37
2.98
2.67
2.42
2.21
2.03
1.88
1.75
1.64

1.0

25.55
12.79
8.53
6.40
5.12
4.27
3.66
3.20
2.85
2.56

1.6
14.87
9.41
6.88
5.43
4.48
3.81
3.32
2.94
2.64
2.39
2.19
2.01
1.87
1.74
1.63
1.53

57

Jurnal Agrisistem, Juni 2011, Vol. 7 No. 1

Semua hasil analisis diatas mengasumsikan bahwa pabrik pengolahan beroperasi


pada kapasitas penuh (10 ribu ton per
tahun). Akan tetapi, pengalaman menunjukkan bahwa pabrik-pabrik pengolahan sering kali tidak berproduksi pada
kapasitas maksimumnya akibat kendala
pemasaran produk yang dihasilkan. Oleh
karena itu, perlu pula dianalisa tingkat
produksi minimal yang masih memungkinkan pabrik beroperasi diatas titik impas
(break even point). Hasil analisis titik
impas (break even) pada tabel 6 memperlihatkan bahwa pada rasio kumulatif
3,3 dan 3,4, pabrik harus beroperasi masing-masing diatas 80 dan 70% untuk
mencapai titik impas. Hal ini menunjukkan bahwa pada rasio kumulatif 3,3,
pabrik harus berproduksi mendekati
kapasitas maksimalnya untuk bisa untung.
Sebaliknya, pada rasio kumulatif 3,5,
pabrik masih dapat menguntungkan walaupun hanya berproduksi sekitar 60%
dari kapasitas maksimumnya.
Dari dasil analisis diatas, dapat dilihat
bahwa kelayakan financial pabrik pengolah biji kakao sangat ditentukan oleh
rasio antara harga lemak dan harga bubuk
dengan harga biji. Hasil analisis juga
menunjukan bahwa investasi dalam pabrik
pengolahan kakao hanya layak apabila
rasio kumulatif diatas 3,3. Berdasarkan
data dari ICCO (2008b), diketahui bahwa
dari tahun 1981 sampai 2008 terjadi fluktuasi rasio kumulatif yang cukup besar
yang menunjukkan bahwa tingkat keuntungan (profitabilitas) pabrik pengolahan kakao sangat fluktuatif dari tahun
ke tahun. Selama periode 1981-2008
(interval 28 tahun), jumlah tahun dimana
rasio kumulatif rata-rata berada diatas 3,3
hanya 13. Dengan demikian, ada 15 tahun
selama periode tersebut dimana pabrik
pengolahan mengalami kerugian atau
hanya beroperasi pada tingkat break even.
Menarik juga dicermati bahwa selama
periode 1981-2008, terdapat periode 6
58

ISSN 2089-0036

atau 7 tahunan dimana rasio kumulatif


berada diatas atau dibawah level 3,3
secara terus menerus. Dari tahun 19811987 dan 1994-2001 (kecuali 1995), rasio
kumulatif berada dibawah level 3,3
sehingga pada periode ini pabrik-pabrik
pengolahan mengalami tekanan financial
yang cukup berat. Pada periode 19881993 dan 2002-2007, rasio kumulatif
berada diatas 3,3 sehingga pabrik-pabrik
pengolahan memperoleh keuntungan.
Selama periode 2002-2007, pabrik-pabrik
pengolahan di Indonesia seperti General
Food Industries (anak perusahaan Petra
Foods), Bumi Tangerang Mesindotama,
dan Davomas Abadi melakukan ekspansi
kapasitas pengolahan yang cukup besar.
Sejak tahun 2008, rasio kumulatif jatuh
jauh dibawah level 3,3. Hal ini terutama
disebabkan oleh jatuhnya harga lemak
kakao di pasar internasional. Hal ini
kembali mengakibatkan tekanan finansil
yang sangat besar terhadap industri
pengolahan kakao nasional. Pada tahun
2008, dari 285 ribu ton total kapasitas
terpasang pabrik pengolahan kakao di
Indonesia, realisasi pengolahan hanya
sekitar 154 ribu ton atau hanya sekitar
54%. Hingga pertengahan 2010, pabrikpabrik pengolahan sebagian besar masih
belum beroperasi atau beroperasi jauh
dibawah kapasitasnya akibat rendahnya
harga produk kakao olahan di pasar
internasional.
Dari uraian dan analisis diatas, jelas
terlihat bahwa kelayakan industri pengolahan kakao di Indonesia sangat tergantung pada rasio kumulatif (butter ratio
+ powder ratio). Pada rasio kumulatif 3,5
keatas, industri pengolahan akan sangat
menguntung. Pada garis ambang (rasio
kumulatif 3,4), industry pengolahan masih
dapat menguntungkan tetapi laju pengembalian modal cukup lambat dan pabrik
harus beroperasi mendekati kapasitas
maksimumnya untuk bisa untung.

Jurnal Agrisistem, Juni 2011, Vol. 7 No. 1

ISSN 2089-0036

Tabel 6. Batas minimal realisasi pengolahan (ton tahun-1) untuk mencapai titik impas
(break even point)
Butter
Ratio
1.5
1.6
1.7
1.8
1.9
2.0
2.1
2.2
2.3
2.4
2.5
2.6
2.7
2.8
2.9
3.0
Butter
Ratio
1.5
1.6
1.7
1.8
1.9
2.0
2.1
2.2
2.3
2.4
2.5
2.6
2.7
2.8
2.9
3.0

0.5

8,319
7,064
6,137

1.1

8,755
7,375
6,371
5,608
5,008
4,524
4,125
3,791
3,507
3,263

0.6

9,861
8,145
6,938
6,042
5,352

1.2

8,563
7,238
6,269
5,528
4,944
4,472
4,082
3,755
3,476
3,236
3,026

Powder Ratio
0.7
0.8

9,618
7,979
6,817
5,950
5,279
4,744

1.3

8,379
7,107
6,170
5,451
4,883
4,421
4,040
3,719
3,445
3,209
3,003
2,822

9,387
7,819
6,700
5,861
5,209
4,687
4,260

1.4

9,945
8,202
6,979
6,074
5,376
4,822
4,372
3,998
3,684
3,415
3,183
2,980
2,802
2,644

0.9

9,166
7,665
6,587
5,774
5,140
4,631
4,214
3,866

1.5
9,698
8,033
6,857
5,981
5,303
4,763
4,323
3,958
3,649
3,385
3,157
2,958
2,782
2,626
2,486

1.0

8,956
7,517
6,477
5,690
5,073
4,577
4,169
3,828
3,539

1.6
9,463
7,871
6,738
5,890
5,232
4,706
4,276
3,918
3,615
3,356
3,132
2,935
2,762
2,608
2,470
2,347

59

Jurnal Agrisistem, Juni 2011, Vol. 7 No. 1

ISSN 2089-0036

Tabel 7. Perhitungan biaya


I. BIAYA TETAP (FIXED COSTS)
No.
A.

Item

Investasi

Penyusutan

Biaya Tetap Pertahun


Bunga Modal Pemeliharaan
Asuransi
(13%)
(3%)
(0,5%)

Total

Mesin dan
Fasilitas

1.

Mesin
produksi

95.000.000.00
6.016.666.667 12.350.000.000 2.850.000.000
0

475.000.000

21.691.666.667

2.

Gedung

43.750.000.00
1.458.333.333
0

218.750.000

8.677.083.333

3.

Perlengkapan kantor

4.000.000.000

266.666.667

520.000.000

120.000.000

20.000.000

926.666.667

4.

Kendaraan
operasional

5.000.000.000

800.000.000

650.000.000

150.000.000

25.000.000

1.625.000.000

5.

Lahan
KIMA
(HGU)

6.000.000.000

200.000.000

780.000.000

980.000.000

B.

Gaji dan upah

C.

Operasional

5.687.500.000 1.312.500.000

1.050.000.000
105.000.000

1.

Biaya umum perkantoran

50.000.000

2.

Pengujian dan pengawasan mutu


Total Biaya Tetap Per Tahun (I)

35.105.416.667

I. BIAYA TIDAK TETAP (VARIABLE COSTS)


No.

Item Pembiayaan

1.

Pembelian biji kakao dan bahan kemasan

2.

Listrik, gas, dan air bersih

3.

Pengapalan produk

4.

Pajak perusahaan (20% x laba sebelum pajak)

420.000.000
9.301.500.000

Total Biaya Tidak Tetap Per Tahun (II)

60

200.079.500.000

209.801.000.000

Jurnal Agrisistem, Juni 2011, Vol. 7 No. 1

KESIMPULAN
1. Ditinjau dari ketersediaan bahan baku,
pengembangan pabrik pengolahan biji
kakao di Makassar sangat potensil
dilakukan. Hal ini ditunjang oleh kebijakan pemerintah menghapus PPN
untuk biji kakao yang diolah dalam
negeri serta menerapkan pajak progressive bagi biji kakao yang akan
diekspor. Hal ini akan meningkatkan
daya saing pabrik pengolahan dalam
negeri dalam memperoleh bahan baku.
2. Kualitas bahan baku yang rendah
akibat tidak dilakukannya proses fermentasi oleh petani menjadikan bungkil (cake) atau bubuk (powder) yang
dihasilkan sulit dijual di luar negeri.
Dengan demikian, tumpuan pendapatan sepenuhnya dari penjualan lemak.
Hal ini menimbulkan tekanan finansil
yang berat bagi industri pengolahan
karena apabila butter ratio jatuh di
bawah 3,4 maka operasi pengolahan
menjadi tidak menguntungkan.
3. Kendala penjualan yang dihadapi oleh
industri pengolahan dalam negeri lebih
diakibatkan oleh lemahnya jaringan
yang dimiliki di luar negeri. Perusahaan pengolahan yang dapat bertahan dalam kondisi sulit adalah
perusahaan yang berafiliasi dengan
pabrik pengolahan multinasional dan/
atau perusahaan yang memiliki kontrak jangka panjang dengan manufacturing dan/atau trading house di
Amerika dan Eropa. Perusahaan-perusahaan independen umumnya sudah
berhenti berproduksi sejak nilai rasio
kumulatif (butter ratio + powder ratio)
turun dibawah level 3 di pasar internasional. Selain itu, perusahaan pengolahan kakao dalam negeri yang kelihatannya bisa bertahan dalam kondisi sulit adalah perusahaan yang
mengintegrasikan industri pengolahan
biji kakao dengan industri manu-

ISSN 2089-0036

facturing yang menggunakan bahan


setengah jadi yang dihasilkan dalam
memproduksi produk konsumsi seperti
coklat dan produk konfeksioner lainnya. Hal ini kelihatannya disebabkan
karena kerugian pada unit pengolahan
biji kakao dapat ditutupi oleh unit
manufacturing yang memiliki margin
yang lebih tinggi.
4. Kelayakan usaha industri pengolahan
kakao di Makassar sangat tergantung
pada butter ratio dan powder ratio.
Apabila rasio kumulatif (butter ratio +
powder ratio) berada dibawah 3,3
maka aktifitas pengolahan tidak menguntungkan. Pada nilai rasio kumulatif
3,4, pabrik pengolahan harus beroperasi mendekati kapasitas penuhnya
untuk bisa menguntungkan.

DAFTAR PUSTAKA
Blank, L.T. dan Tarquin, A.J. 1989.
Engineering
Economy,
Third
Edition. McGraw-Hill, Inc. New
York.
Dakar, M.J. 2010. Analysis: African
cocoa grinders counting on global
upturn. Reuters World News, March
10. 2010.
Davomas. 2005. Davomas Annual Report,
2005. Davomas Abadi Tbk, Jakarta.
FAO (2007). Fao Statistics. FAO, Rome,
Italy.
ICCO. 2008a. Annual forecasts of production and consumption and
estimates of production levels to
achieve equilibrium in the world
cocoa market. ICCO Executive
Committee meeting, Berlin, 27-28
May 2008.
ICCO. 2008b. Assessment of the movements of global supply and demand.

61

Jurnal Agrisistem, Juni 2011, Vol. 7 No. 1

ICCO
Executive
Committee
Meeting, Berlin, 27-28 May 2008.
Merret, A.J. dan Alien, S. 1989. Capital
Budgetting and Company Finance. Longman, London-UK.
Newnan, D.G. dan Johnson, B. 1995.
Engineering Economic Analysis,
fifth Edition. Engineering Press,
Inc., San Jose, California.

62

ISSN 2089-0036

Petra Foods, 2009. Petra Foods Annual


Report 2009. Petra Foods, Tbk.,
Singapore.
Suryani, D. dan Zulfebriansyah. 2007.
Komoditas Kakao: Potret dan
Peluang Pengembangan. Economic
Review No. 210, Desember 2007.
Sutojo, S. 2006. Project Feasibility Study.
PT Damar Mulia Pustaka, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai