Anda di halaman 1dari 13

skripsiiain.blogspot.

com
A. Latar Belakang Penulisan
Indonesia menurut lembaga survey internasional Political and Economic Risk
Consultancyyang bermarkas di Hongkong merupakan salah satu negeri terkorup di Asia. Indonesia
terkorup diantara 12 negara di Asia, diikuti India dan Vietnam. Thailand, Malaysia, dan Cina berada
pada posisi keempat. Sementara negara yang menduduki peringkat terendah tingkat korupsinya
adalah Singapura, Jepang, Hongkong, Taiwan dan Korea Selatan.
Korupsi juga dituding sebagai penyebab utama keterpurukan bangsa ini. Akibat perbuatan
korup yang dilakukan segelintir orang maka kemudian seluruh bangsa ini harus menanggung
akibatnya. Ironisnya kalau dulu korupsi hanya dilakukan oleh para pejabat dan hanya di tingkat pusat,
sekarang hampir semua orang baik itu pejabat pusat maupun daerah, birokrat, pengusaha.
Yang lebih menyedihkan, korupsi ini tidak hanya dilakukan oleh perindividu melainkan juga
dilakukan secara bersama-sama tanpa rasa malu. Jadi korupsi dilakukan secara berjamaah. Yang
lebih berbahaya lagi sebenarnya adalah korupsi sistemik yang telah merambah ke seluruh lapisan
masyarakat dan sistem kemasyarakatan. Dalam segala proses kemasyarakatan, korupsi menjadi
rutin dan telah diterima sebagai alat untuk melakukan transaksi sehari-hari. Selain itu, korupsi pada
tahap ini sudah mempengaruhi perilaku lembaga dan individu pada semua tingkat sistem politik serta
sosio-ekonomi. Bahkan, pada tingkat korupsi sistemik seperti ini, kejujuran menjadi irrasional untuk
dilakukan.[1]
Jika kenyataannya sudah sedemikian parah, maka tidak ada upaya lain yang harus dilakukan
kecuali mengerahkan segala kemampuan dan segenap energi bangsa ini untuk saling bahu
membahu memberantas penyakit yang sudah sangat kronis ini. Sudah saatnya bangsa ini
mengibarkan bendera perang terhadap tindak korupsi ini.
Namun demikian sebenarnya usaha-usaha pemberantasan korupsi di Indonesia sudah
banyak dilakukan, seperti adanya peraturan perundangan yang mengatur tentang tindak pidana
korupsi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal-pasal dalam KUHP yang memuat
tindak pidana korupsi diantaranya pasal 209, 210, 215, 216, 218, 219, 220, 423 dan 435.
Penyalahgunaan jabatan dijelaskan di dalam Bab XXVIII KUHP.[2] Namun demikian pasal-pasal
tersebut dirasa masih kurang jelas berbicara mengenai tindak pidana korupsi.
Kemudian muncullah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Di dalam Undang-Undang
tersebut, dijelaskan tentang korupsi dan sanksi pidananya disebutkan mulai dari pasal 2 sampai pasal
20. Kemudian pada Bab IV mulai pasal 25 sampai pasal 40 memuat tentang ketentuan formil
bagaimana menjalankan ketentuan meteriilnya. Pemerintah kemudian melakukan perubahan
terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Namun dari sudut sanksi, UndangUndang Nomor Nomor 20 Tahun 2001 menetapkan sanksi jauh lebih ringan dari yang ditetapkan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.
Dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia, pemerintah telah
membentuk berbagai kelembagaan antikorupsi, mulai dari dibentuknya Komisi Pemeriksa Kekayaan
Penyelenggaraan Negara (KPKPN) tahun 1999 berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Pemerintahan yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Dan terakhir, lahirnya lembaga independen khusus yang menangani pemberantasan tindak pidana
korupsi untuk melakukan penyidikan terhadap praktik korupsi yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) pada 29 Desember 2003. Lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi berdasarkan UndangUndang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pada dasarnya, upaya pemberantasan korupsi adalah bagian dari akuntabilitas sosial, dalam
artian bukan hanya tanggung jawab milik pemerintah dan lembaga lainnya. Akan tetapi peran serta
masyarakat adalah yang paling urgen dalam mencegah dan memberantas korupsi. Oleh karenanya,

perlu ada paradigma baru (new pardigm) yang merupakan perubahan paradigma (shifting paradigm)
ke arah yang lebih baik dan komprehensif dalam memahami upaya pemberantasan korupsi.
Usaha-usaha pemberantasan korupsi di Indonesia sudah banyak dilakukan, tetapi hasilnya
kurang begitu nampak. Walaupun begitu tidak boleh ada kata menyerah untuk memberantas penyakit
ini. Penulis melihat karena mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim, maka penting dan logis
kiranya untuk meneliti postulat hukum Islam kaitannya dengan korupsi dan bagaimana perspektif dan
kontribusinya terutama terhadap kasus korupsi yang ada di Indonesia.
Penulis sendiri berkeyakinan bahwa Islam datang untuk membebaskan dan memerangi
sistem ketidakadilan bukan malah untuk melegalkan praktik-praktik yang melahirkan eksploitasi dan
ketidakadilan. Tindak korupsi tentu termasuk hal yang harus diperangi Islam karena dapat
menimbulkan masalah besar. Dengan kata lain, Islam harus ikut pula bertanggungjawab memikirkan
dan memberikan solusi terhadap prilaku korupsi yang sudah menjadi epidemis ini.
Sejauh penelusuran penulis, kata korupsi secara literer memang tidak ditemukan dalam
khasanah hukum Islam, tetapi substansi dan persamaannya bisa dicari dan ditelusuri dalam hukum
Islam. Analogi tindakan korupsi bisa ke arah Ghulul, sariqoh, pengkhianatan dan lain-lain, tetapi
terma-terma tersebut masih perlu dikaji lebih lanjut. Oleh karena itu penulis ingin mengkajinya dalam
bentuk makalah ini tentang tindak pidana korupsi dan pemberantasannya di Indonesia dengan
menyisipkan pandangan hukum Islam.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang akan dikaji dalam penulisan makalah
ini adalah:
1. Bagaimana upaya pemerintah Indonesia terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi?
2. Apa kontribusi hukum Islam untuk memberantas korupsi di Indonesia?

[1] Khoiruddin Bashori, Sambutan, dalam Membangun Gerakan Antikorupsi Dalam


Perspektif Pendidikan, (LP3 UMY, Yogyakarta, 2004), hlm. II-VII.
[2] Moeljatno, KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), Cet. ke-20, (Bumi Aksara,
Jakarta, 1999).
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Korupsi
Kata korupsi berasal dari bahasa latin; Corrupti atau Corruptus yang secara harfiah berarti
kebusukan, kebejatan, tidak jujur, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, katakata yang menghina atau memfitnah. Dari bahasa Latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti
Inggris: Corruptio, Corrupt; Perancis: Corruption; dan Belanda: Corruptie (Korruptie). Dapat dikatakan
bahwa dari bahasa Belanda inilah turun ke bahasa Indonesia: Korupsi.[1]
Ditinjau dari sudut bahasa kata korupsi bisa berarti kemerosotan dari yang semua, baik,
sehat dan benar menjadi penyelewengan, busuk. Kemudian arti kata korupsi yang telah diterima
dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia itu, disimpulkan oleh Poerwodarminto bahwa kata
korupsi untuk perbuatan yang busuk, seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan
sebagainya.[2]
Alatas mendefinisikan korupsi dari sudut pandang sosiologis dengan Apabila seorang
pegawai negeri menerima pemberian yang disodorkan oleh seorang swasta dengan maksud
mempengaruhinya agar memberikan perhatian istimewa pada kepentingan-kepentingan si pemberi.
[3]

Sementara H. A. Brasz mendefinisikan korupsi dalam pengertian sosiologis sebagai:


Penggunaan yang korup dari kekuasaan yang dialihkan, atau sebagai penggunaan secara diam-diam
kekuasaan yang dialihkan berdasarkan wewenang yang melekat pada kekuasaan itu atau
berdasarkan kemampuan formal, dengan merugikan tujuan-tujuan kekuasaan asli dan dengan
menguntungkan orang luar atas dalih menggunakan kekuasaan itu dengan sah.[4] Dari berbagai
definisi korupsi yang dikemukakan, menurut Brasz terdapat dua unsur di dalamnya, yaitu
penyalahgunaan kekuasaan yang melampaui batas kewajaran hukum oleh para pejabat atau
aparatur negara; dan pengutamaan kepentingan pribadi atau klien di atas kepentingan publik oleh
para pejabat atau aparatur negara yang bersangkutan.[5]
Adapun definisi yang sering dikutip adalah: Tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas
resmi sebuah jabatan negara karena keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi
(perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri); atau melanggar aturan-aturan pelaksanaan
beberapa tingkah laku pribadi.[6]
B. Sebab dan Akibat Korupsi di Indonesia
1. Sebab-Sebab Terjadinya Tindak Pidana Korupsi
Soejono memandang bahwa faktor terjadinya tindak pidana korupsi, khususnya di Indonesia,
adalah adanya perkembangan dan perbuatan pembangunan khususnya di bidang ekonomi dan
keuangan yang telah berjalan dengan cepat, serta banyak menimbulkan berbagai perubahan dan
peningkatan kesejahteraan. Di samping itu, kebijakan-kebijakan pemerintah, dalam upaya mendorong
ekspor, peningkatan investasi melalui fasilitas-fasilitas penanaman modal maupun kebijaksanaan
dalam pemberian kelonggaran, kemudahan dalam bidang perbankan, sering menjadi sasaran dan
faktor penyebab terjadinya korupsi.[7]
Menurut Syed Hussein Alatas, korupsi bisa terjadi disebabkan karena beberapa faktor, faktorfaktor tersebut yaitu sebagai berikut :
a. Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi-posisi kunci yang mampu memberikan ilham
dan mempengaruhi tingkah laku yang menjinakkan korupsi.
b. Kelemahan pengajaran-pengajaran agama dan etika.
c. Lemah dan kurangnya control kepemimpinan dalam suatu lembaga.
d. Kolonialisme.
e. Kurangnya pendidikan.
f. Kemiskinan.
g. Tiadanya hukuman yang keras.
h. Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku anti korupsi.
i.
Struktur pemerintahan.
j. Perubahan radikal.
k. Keadaan masyarakat.[8]
Sedangkan faktor yang menyebabkan merajalelanya korupsi di negeri ini menurut Moch.
Mahfud MD adalah adanya kenyataan bahwa birokrasi dan pejabat-pejabat politik masih banyak di
dominasi oleh orang-orang lama. Lebih lanjut menurutnya orang-orang yang pada masa Orde Baru
ikut melakukan korupsi masih banyak yang aktif di dalam proses politik dan pemerintahan. Upaya
hukum untuk membersihkan orang-orang korup itu juga gagal karena para penegak hukumnya juga
seharusnya adalah orang-orang yang harus dibersihkan.[9]
Kemudian Abdullah Hehamahua mengatakan bahwa ada tiga faktor penyebab korupsi di
Indonesia, yaitu: pertama, konsumsi tinggi dan rendahnya gaji. Sudah jadi rahasia umum
bahwamasyarakat Indonesia adalah masyarakat yang sangat konsumtif, tidak sedikit yang
sampaishopping ke luar negeri sementara gaji pegawai rata-rata di Indonesia hanya cukup dua
minggu. Nasib dua minggu berikutnya tergantung dari kreatifitasnya masing-masing yang salah satu

kreatifitas tersebut dengan melakukan KKN. Kedua, Pengawasan pembangunan yang tidak efektif.
Karena pengawasan pembangunan yang lemah maka membuka peluang yang seluas-luasnya untuk
melakukan penyalahgunaan, dan ketiga, sikap serakah pejabat.[10]
Lebih lanjut menurut Hehamahua, meskipun KKN terjadi disebabkan tiga faktor di atas, tetapi
jika ditelusuri lebih jauh sebenarnya ada tiga persoalan lebih mendasar yang menyebabkan terjadinya
korupsi, yaitu: Pertama, sistem pembangunan yang keliru. Kesalahan terbesar pemerintah Orde
Lama yang kemudian diteruskan Orde Baru adalah menerapkan sistem pembangunan yang keliru,
yaitu mengikuti secara membabi buta intervensi Barat. Kedua, kerancuan institusi kenegaraan.
Tumpang tindihnya fungsi dan peran institusi Negara menyuburkan praktek KKN di Indonesia.
Danketiga, tidak tegaknya supremasi hukum. Hukum hanya tegak ketika berhadapan dengan orang
kecil seperti pencuri ayam tetapi hukum bisu ketika harus berhadapan orang besar seperti para
koruptor yang telah mencuri uang rakyat. Hukum bisa dibeli, maka tak heran kalau banyak para
terdakwa yang telah diputus bersalah tetap bebas leluasa berkeliaran bahkan ada yang bisa menjadi
calon presiden.[11]
Faktor lainnya adalah hukum yang dibuat tidak benar-benar untuk kesejahteraan masyarakat
(Rule of Law), tetapi justru hukum dijadikan alat untuk mengabdi kepada kekuasaan atau kepada
orang-orang yang memiliki akses pada kekuasaan dan para pemilik modal (Rule by Law). Sebaliknya
masyarakat kecil tidak bisa merasakan keadilan hukum. Hukum menampakkan ketegasannya hanya
terhadap orang-orang kecil, lemah, dan tidak punya akses, sementara jika berhadapan dengan
orang-orang kuat, memiliki akses kekuasaan, memiliki modal, hukum menjadi lunak dan bersahabat.
Sehingga sering terdengar ucapan, seorang pencuri ayam ditangkap, disiksa dan akhirnya dihukum
penjara sementara para pejabat korup yang berdasi tidak tersentuh oleh hukum (untouchable).[12]
2.

a.

b.
c.
d.
e.
f.
g.

Akibat-Akibat Tindak Pidana Korupsi


Menurut Robert Klitgaard, korupsi mengakibatkan empat hal yang sebenarnya kadang bisa
positif tetapi lebih banyak sisi negatifnya. Keempat hal tersebut adalah: 1). Inefisiensi, 2). Distribusi
yang tidak merata, 3). Menjadi perangsang (insentif) ke arah yang tidak produktif, dan 4). Secara
politik, menimbulkan alienasi, sinisme masyarakat danketidakstabilan politik. [13]
David H. Bayley sebagaimana dikutib oleh Mochtar Lubis dan James C. Scott menyatakan
bahwa akibat-akibat korupsi tanpa memperhatikan apakah akibat-akibat itu baik atau buruk bisa
dikategorikan menjadi dua. Pertama, akibat-akibat langsung tanpa perantara. Ini adalah akibat-akibat
yang merupakan bagian dari perbuatan itu sendiri. Kedua, akibat-akibat tak langsung melalui mereka
yang merasakan bahwa perbuatan tertentu (dalam hal ini perbuatan korupsi) telah dilakukan.[14]
Menurut David H. Bayley, korupsi bisa memiliki akibat yang positif di samping kebanyakan
berakibat negatif. Akibat korupsi yang positif misalnya, yaitu:
Akibat perbuatan korupsi lebih baik daripada akibat-akibat suatu keputusan yang jujur apabila kriteria
yang ditetapkan oleh pemerintah atau berdasarkan sistem yang sedang berlaku, lebih jelek daripada
keputusan yang didasarkan atas korupsi;
Memperbanyak jatah sumber-sumber masuk ke bidang penanaman modal dan tidak ke bidang
konsumsi;
Meningkatkan mutu para pegawai negeri;
Sifat kolutif dalam penerimaan pegawai negeri dapat menjadi pengganti sistem pekerjaan umum;
Membuka jalan untuk memberi mereka atau kelompok-kelompok, yang akan mengalami akibat jelek
jika tidak ikut dalam kekuasaan, suatu tempat dalam sistem yang tengah berlaku;
Memperlunak sistem masyarakat tradisional yang berusaha keras mengubahnya menjadi masyarakat
bersendi Barat;
Memberi jalan memperlunak kekerasan suatu rencana pembangunan ekonomi dan sosial susunan
golongan elit;

h.
i.

1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)
9)
10)

Di kalangan ahli-ahli politik, korupsi mungkin berlaku sebagai pelarut soal-soal ideologi atau
kepentingan-kepentingan yang tak dapat disepakati, dan
Dalam negara-negara yang sedang berkembang, korupsi dapat mengurangi ketegangan potensial
yang melumpuhkan antara pemerintah dengan politisi.[15]
Sementara akibat-akibat negatif yang ditimbulkan oleh korupsi antara lain:
Merupakan kegagalan pemerintah untuk mencapai tujuan-tujuan yang ditetapkannya waktu
menentukan kriteria bagi berbagai jenis keputusan;
Menyebabkan kenaikan biaya administrasi;
Jika dalam bentuk komisi akan mengakibatkan berkurangnya jumlah dana yang seharusnya dipakai
untuk keperluan masyarakat umum;
Mempunyai pengaruh buruk pada pejabat-pejabat lain dari aparat pemerintahan;
Menurunkan martabat penguasa resmi;
Memberi contoh yang tidak baik bagi masyarakat;
Membuat para pengambil kebijakan enggan untuk mengambil tindakan-tindakan yang perlu bagi
pembangunan tetapi tidak populis;
Menimbulkan keinginan untuk menciptakan hubungan-hubungan khusus;
Menimbulkan fitnah dan rasa sakit hati yang mendalam; dan
Menghambat waktu pengambilan keputusan.[16]

C. Upaya-Upaya Pemberantasan Korupsi di Indonesia


1. Pembentukan Peraturan dan Lembaga Pemberantas Korupsi
Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam lingkar sejarah telah tercatat bahwa pemerintah telah
memberlakukan beberapa Undang-Undang guna pemberantasan korupsi. Peraturan perundangan
yang mengatur tentang tindak pidana korupsi pada mulanya berdasarkan KUHP seperti pasal 209,
210, 215, 216, 217, 218, 219, 220, 423, 425, dan 435. Penyalahgunaan jabatan dijelaskan di dalam
Bab XXVIII KUHP.
Di lingkungan militer pada tanggal 9 April 1957 keluar peraturan KSAD Nomor PRT/PM06/1957 Tentang Korupsi yang ada di lingkungan militer, tetapi peraturan tersebut dirasa juga belum
efektif, kemudian dilengkapi dengan Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM-06/1957, tanggal 27
Mei 1957 Tentang Pemilikan Harta Benda, kemudian keluar lagi Peraturan Penguasa Militer Nomor
PRT/PM-001/1957, tanggal 1 Juni 1957 Tentang Penyitaan dan Perampasan Barang-Barang Hasil
Korupsi. Ketiga peraturan tersebut sebagai dasar kewenangan kepada penguasa militer untuk dapat
menyita dan merampas barang-barang hasil korupsi. Tiga peraturan di lingkungan militer tersebut
kemudian dilengkapi lagi dengan keluarnya Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat
Nomor PRT/PEPERPU/013/1958, tanggal 16 April 1958 Tentang Pengusutan, Penuntutan, dan
Pemeriksaan Korupsi Pidana dan Pemilikan Harta Benda.
Kemudian pada tanggal 1 Januari 1960 pemerintah memberlakukan Undang-Undang Nomor
14/PRP/1960 Tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Kemudian
keluar Kepres Nomor 228 Tahun 1967 tanggal 2 Desember 1967 Tentang Pembentukan TPK (Tim
Pemberantasan Korupsi).
Undang-Undang yang lebih jelas tentang tindak pidana korupsi adalah setelah keluarnya
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1971 berlaku sampai periode reformasi. Pada periode reformasi, pemerintah dan DPR
mengeluarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi yang
menggantikan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dan sejak saat itu Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1971 dinyatakan tidak berlaku lagi.
Di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 penjelasan tentang korupsi dan sanksi
pidananya disebutkan mulai dari pasal 2 sampai pasal 20. kemudian pada Bab IV mulai pasal 25

sampai pasal 40 memuat tentang ketentuan formil bagaimana menjalankan ketentuan meteriilnya.
Pemerintah kemudian melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.[17]
Untuk efektifnya pemberantasan tindak pidana korupsi pemerintah membentuk Komisi
Pemberantasan Korupsi dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Terakhir pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor
15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Sebetulnya suatu Badan yang bertugas untuk mengusut dan memberantas tindak pidana
korupsi telah ada sejak lama misalnya MPR dan DPR dalam ranah politiknya dan MA, Kejaksaan,
dan Kepolisian dalam ranah hukumnya, di samping itu masih ada lembaga-lembaga seperti BPK,
BPPN, dan BPKP, hanya saja lembaga-lembaga tersebut tidak secara khusus menangani korupsi.
Lembaga-lembaga tersebut juga menangani kasus-kasus lainnya sehingga kerja-kerja dan
pengawasan lembaga tersebut tidak bisa maksimal dan optimal untuk secara khusus menangani dan
memberantas korupsi. Di samping itu, peraturan perundangan tentang tindak pidana korupsi juga
belum dilaksanakan secara konsisten.
Lemahnya sistem penanganan dan pemberantasan korupsi menyebabkan para koruptor
bebas menjalankan aksinya tanpa merasa takut untuk ditangkap dan diadili. Apalagi sumber daya
manusia dan kekuatan iman dan moral di lingkungan instansi yang berkaitan dengan hukum juga
kredibilitasnya dipertanyakan. Banyak bukti bahwa para penegak hukumnya juga terlibat di dalamnya
baik sebagai bodyguard, backing, pemulus jalan, pem-back up hukumnya dan lain sebagainya. Kalau
tidak lolos di institusi yang satu bisa lolos di institusi lainnya, sehingga tidak heran kalau orang
mengatakan bahwa para koruptor di Indonesia kalau tidak dilepas oleh polisi, pasti dilepas oleh jaksa,
kalau ditangkap jaksa, pasti dilepas oleh hakim, kalau divonis oleh hakim sampai di rumah tahanan
nanti dilepas oleh petugas Lapas.
Mengingat lemahnya sistem dan institusi yang menangani dan memberantas korupsi maka
sangat penting dan mendesak dibentuk suatu badan atau komisi khusus yang menangani dan
memberantas korupsi. Untuk memaksimalkan dan menyempurnakan lembaga-lembaga yang telah
ada sebelumnya maka pemerintah membentuk yang disebut KPKPN (Komisi Pemeriksa Kekayaan
Penyelenggara Negara). Komisi ini bertugas untuk memeriksa atau mengaudit kekayaan para
penyelenggara negara kemudian menginformasikan kepada publik. Namun demikian keberadaan
lembaga ini sebenarnya kurang begitu strategis dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia
karena kewenangan yang dimilikinya sangat terbatas yakni hanya pada penyelidikan dan penyidikan.
Sebagai amanat dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, maka kemudian dibentuk suatu komisi khusus yang akan menangani dan
memberantas korupsi yaitu KPTPK (Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) yang kemudian
terakhir disebut KPK (Komisi Pemberantasa Korupsi). Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan
lembaga negara yang bersifat independen yang dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya
bebas dari kekuasaan manapun.
Komisi ini memiliki kekuasaan yang super power, very-very high (meminjam istilah Abdullah
Hehamahua), karena tidak sekedar menyidik, menangkap tetapi juga supervisi lembaga yudikatif. Dia
melakukan supervisi kehakiman, kejaksaan dan kepolisian. Tidak ada lembaga di dunia yang memiliki
kewenangan supervise lembaga yudikatif seperti KPTPK ini.[18]
2.

Kesulitan-Kesulitan Pemberantas Korupsi


Korupsi di tengah kemiskinan yang makin meluas justru berkembang menjadi cara berpikir
dan cara hidup masyarakat untuk memperoleh kekayaan. Tidak salah kalau misalnya Hatta pernah
mengatakan bahwa korupsi telah menjadi budaya. Hal itu dikatakannya beberapa puluh tahun yang
lalu, apalagi sekarang. Korupsi tidak hanya terjadi di tingkat elit birokrasi pemerintah tetapi juga

merambah ke seluruh aspek kehidupan bangsa. Perkembangan tekhnologi yang canggih malah
menjadi sarana yang efektif untuk melakukan korupsi dan membuat korupsi jadi tambah sulit untuk
diditeksi dan diberantas. Pelaku korupsi sudah semakin pintar untuk tidak melakukan transaksi
illegal di atas kertas sehingga dengan mudah menjadi barang bukti, mereka cukup melakukan
transfer antar rekening bank.
Hal yang demikian diperparah lagi dengan kenyataan bahwa birokrasi dan pejabat-pejabat
politik masih banyak didominasi oleh orang-orang lama. Upaya-upaya untuk mengadili dan
melakukan pembersihan sangat sulit dan selalu gagal karena setiap ada upaya ke arah itu yang
harus dilakukan oleh aparat penegak hukum akan diblokade oleh birokrasi bahkan oleh aparat
penegak hukum sendiri.[19] Prinsip mereka adalah saling melindungi karena ketika ada salah satu
dari mereka bernyanyi maka yang lain akan kena. Jadi, meskipun ada pergantian rezim tetap saja
sistemnya tidak berubah. Istilah Aditjondro dari Oligarki kembali ke Oligarki. Kalau dahulu yang
menguasai perekonomian dan sumber daya alam Indonesia hanya 25 orang sekarang tidak berubah
hanya bertambah menjadi 30. Bahkan menurut hemat penulis, korupsi juga dilakukan dengan tanpa
rasa malu jadi kalau pada zaman Soeharto korupsi dilakukan di bawah meja atau dengan sembunyisembunyi, pada zaman Habibie korupsi dilakukan di atas meja atau dengan tak melihat ada siapa
dan dengan siapa, dan di masa Megawati lebih parah lagi karena sekalian meja dan kursinya jugapun
dikorupsi.
Oleh sebab itu Mahfudz MD mengatakan bahwa ada dua pilihan yang bisa diambil, pertama
adalah amputasi, yaitu dengan melakukan pemberhentian terhadap pejabat-pejabat pemerintah
dalam level tertentu. Misalnya semua pejabat di birokrasi yang pada akhir Orde Baru telah mencapai
usia tertentu atau menduduki jabatan dalam level tertentu, harus diberhentikan tanpa pandang bulu
dengan sebuah produk hukum. Produk hukum yang dimaksud adalah UU pemberhentian otomatis
atau UU Lustrasi. Kedua, melakukan pengampunan nasional dengan syarat tertentu terhadap semua
pejabat masa lalu yang diduga melakukan korupsi.[20]
Kesulitan lainnya adalah sistem hukum nasional kita yang formal-prosedural. Dengan sistem
yang semacam ini sangat sulit untuk memberantas korupsi yang sudah mengakar kuat dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara ini. Oleh karena itu perlu dilakukan perubahan paradigma yaitu
dari sistem hukum yang formal-prosedural ke arah yang menitikberatkan pada penegakan keadilan.
[21]
Ini artinya, bisa jadi Negara ini akan berubah menggeser dari sistem Eropa Kontinental,[22]ke
arah sistem Anglo Saxon.[23] Sehingga diharapkan dalam kasus korupsi ini bisa diberlakukan sistem
pembuktian terbalik. Yang dimaksud pembuktian terbalik adalah kalau selama ini dalam sistem kita
apabila ada orang melaporkan suatu tindakan korupsi maka si pelapor harus bisa
membuktikan tuduhannya tersebut sementara si tertuduh duduk manis saja
menunggu buktibukti yang dikumpulkan oleh si pelapor dan kalau tidak bisa membuktikannya si pelapor akan
balik dituntut dengan alasan pencemaran nama baik. Dalam sistem pembuktian terbalik tidak
demikian halnya, malah sebaliknya yang dilaporkan atau pihak tertuduh-lah yang harus membuktikan
bahwa dirinya tidak korupsi. Tentunya hal ini tidak gampang karena harus mempertimbangkan sekian
aspek dan kondisi serta karakteristik bangsa ini. Namun sepahit apapun kalau memang ini jalan
pintas yang terbaik harus dicoba, kita tunggu saja keberanian para steak holder bangsa ini untuk
melakukan perubahan yang revolusioner. Kita tidak mesti phobi dengan istilah revolusi karena
revolusi dari kejelekan menuju kebaikan hukumnya wajib dan berdosa apabila tidak dilakukan.
D. Pemberantasan Korupsi di Indonesia Dalam Perspektif Hukum Islam
Salah satu kontribusi agama yang bisa digali menurut penulis adalah dengan
cara menggali konsep korupsi dan berikut sanksi-sanksinya dalam
hukum
Islam
untuk kemudian dikontekstualisasikan dengan kondisi Indonesia saat ini. Lalu
bagaimana
pandangan hukum Islam tentang korupsi di Indonesia?

Korupsi dalam tindak pidana (jarimah) digolongkan ke dalam bentuk tazir karena jenis pidana
yang ada dalam korupsi tidak termasuk ke dalam bentuk-bentuk pidana yang ditentukan oleh syari
dalam hudud dan diyat-qisas. Dengan demikian, maka tazir bisa didefinisikan sebagai: Hukuman
yang diwajibkan karena adanya kesalahan, di mana pemberi syariat tidak menentukan hukumannya
secara tertentu.[24]
Maksud tazir adalah untuk memperbaiki pribadi orang yang bersalah. Ini dapat kita pahami
dari perkataan-perkataan para ahli fiqh, yaitu: at taziru tadibun was tislahun wa zajrun-tazir itu ialah
mendidik, memperbaiki dan menghalangi orang yang berbuat jahat dari berbuat sesudah
dilakukannya. Di samping itu, tazir adalah suatu prosedur yang harus dilakukan untuk menenangkan
gelora keamarahan masyarakat dan menenangkan perasaan orang yang teraniaya.[25]
Jenis
hukuman tazir diserahkan
kepada
hakim,
oleh
karena
itu
Hakim
memiliki kebebasan dalam menetapkan tazir kepada pelaku tindak pidana atau pelanggaran
yang ancaman hukumannya tidak ditentukan oleh nash (Al-Quran atau hadits) termasuk di antaranya
tindak pidana korupsi. Karena itu, tazir dapat berubah sesuai dengan kepentingan dan
kemaslahatan. Pemberian hak penentuan tazir kepada penguasa (hakim) dimaksudkan supaya
mereka
dapat
mengatur
kehidupan
masyarakat secara
tertib
dan
mampu
mengantisipasi berbagai kemungkinan yang terjadi secara tiba-tiba.
Selain itu, menurut penulis, untuk memberantas praktik korupsi di Indonesia dari sudut
pandang hukum Islam paling tidak ada tiga usaha yang harus segera dilakukan, yaitu:
1.
Memaksimalkan Hukuman
Hukum Islam mendasarkan rumusan hukuman dalam pelanggaran pidana pada dua aspek
dasar, yaitu ganti rugi/balasan (retribution) dan penjeraan (deterrence). Dalam hal retribusi sebagai
alasan rasional dibalik pemberian hukuman, dua hal secara inhern menjadi unsur yang harus ada di
dalamnya yaitu: (1). kekerasan suatu hukuman, dan (2) keharusan hukuman itu diberikan kepada
pelaku perbuatan kriminal. Sedangkan tujuan penjeraan yang pokok adalah mencegah terulangnya
perbuatan pidana tersebut di kemudian hari. Penjeraan memiliki dua efek, yaitu internal dan jeneral.
Internal supaya pelakunya kapok, tidak mengulangi perbuatannya lagi. Jeneral maksudnya penjeraan
itu diproyesikan kepada masyarakat secara umum agar takut untuk melakukan tindak kriminal.
Dalam hal pemberian hukuman terhadap pelaku tindak pidana korupsi karena termasuk
jarimah tazir maka hakim yang menentukan. Hakim bisa berijtihad dalam menentukan berat
ringannya hukuman. Meski demikian, dalam menentukan hukuman terhadap koruptor, seorang hakim
harus mengacu kepada tujuan syara dalam menetapkan hukuman, kemaslahatan masyarakat,
situasi dan kondisi lingkungan, dan situasi serta kondisi sang koruptor, sehingga sang koruptor akan
jera melakukan korupsi dan hukuman itu juga bisa sebagai tindakan preventif bagi orang lain.[26]
Karena
hakim
memiliki
kewenangan
untuk
berijtihad
dalam
menentukan
hukuman terhadap koruptor, maka menurut penulis, hakim bisa merujuk atau menjadikan bahan
pertimbangan bentuk-bentuk sanksi mengenai korupsi yang ada dalam hukum Islam. Bahkan
hukuman untuk korupsi, beberapa tahun lalu kalangan Nahdlatul Ulama (NU) sudah pernah
mengumumkan fatwa yang cukup menghebohkan, fatwa itu menegaskan bahwa korupsi adalah
kemungkaran yang sangat besar. Sehingga para koruptor layak dihukum mati, dan kalau koruptor
mati tidak perlu dishalati. Begitu pula kaum ulama Muhammadiyah yang juga telah menyatakan
bahwa korupsi adalah syirik akbar yang dosanya tidak diampuni oleh Allah.[27]
2.

Penegakan Supremasi hukum

Dalam sejarah peradilan Islam, tegaknya supremasi hukum (supreme of court) didukung oleh
beberapa
faktor,
yaitu: pertama lembaga
peradilan
yang
bebas.
Maksudnya kekuasaan kehakiman harus memiliki kebebasan dari segala macam
intervensi kekuasaan eksekutif. Kedua, amanah. Maksudnya kekuasaan kehakiman merupakan

amanah dari Allah SWT. Oleh karena itu, sebelum memutuskan, hakim selalu berlindung dan
mengharap ridha Allah agar hukum yang ditetapkan memiliki rasa keadilan.
Hukum dan keadilan memiliki hubungan yang erat karena salah satu falsafah
diberlakukannya hukum adalah untuk menegakkan keadilan. Di depan hukum semua
orang sama sebagaimana adagium hukum yang selalu dikutip para ahli hukum Equality Before
Law. Untuk menegakkan keadilan tersebut Allah SWT menegaskan dalam tiga ayat dalam
Firmannya, yakni pertama surat An-Nisa ayat (57) bahwa menegakkan hukum adalah kewajiban
bagi semua orang.Kedua surat Al-Maidah ayat (8) bahwa setiap orang apabila menjadi saksi
hendaknya berlaku jujur dan adil. Ketiga surat An-Nisa ayat (135) bahwa manusia dilarang mengikuti
hawa nafsu.
Untuk memberantas korupsi di Indonesia mau tidak mau hukum harus tegak, hukum harus
jadi
panglima
di
negeri
ini,
lembaga
peradilan
harus
amanah
dan
bebas
dari segala intervensi siapapun, sebagai benteng terakhir para pencari keadilan,
lembaga peradilan harus memberikan jaminan rasa adil bagi setiap warga tanpa pandang bulu.
Jangan lagi ada ungkapan bahwa hukum menampakkan ketegasannya hanya terhadap orang-orang
kecil, lemah, dan tidak punya akses, sementara jika berhadapan dengan orang-orang kuat,
memiliki akses kekuasaan, memiliki modal, hukum menjadi lunak dan bersahabat. Penegakan
supremasi hukum harus adil tanpa pandang bulu, baik orang lemah, orang kuat, orang miskin, orang
kaya, anak petani, anak pejabat. Kalau melakukan korupsi harus ditindak sesuai hukum yang berlaku.
Rasulullah telah memberi contoh bahwa beliau sendiri yang akan memotong tangan putri yang paling
dicintai, Fatimah, andaikan Fatimah mencuri. Pengadilan harus memiliki kewibawaan di depan para
pencari keadilan, sehingga siapapun tidak akan coba-coba untuk merongrong kewibawaan lembaga
peradilan.
3.

Revolusi Kebudayaan (Mental)

Korupsi layaknya sudah menjadi budaya khas Indonesia. Hampir setiap


aktifitas sedikit banyak berkelindan dengan korupsi, mau menjadi PNS harus nyogok, mau jadi
polisi/TNI juga harus nyogok, mau ngurus SIM dan STNK harus ada punglinya, biaya proyek harus
di mark
up,
mau
sekolah
di
sekolah
negeri
pun
harus dengan uang ekstra bahkan beasiswa untuk mahasiswa tidakmampu pun
harus juga disunnat atau kalau tidak harus memberikan uang sukarela kepada
pengurus beasiswa padahal mereka sudah memperoleh honor tersendiri dari
pengurusan
beasiswa tersebut.
Paradigma birokrasi di negeri ini masih berkiblat pada paradigma lama yaitu paradigma
kekuasaan bukan paradigma pelayanan sehingga segala sesuatunya pemegang kekuasaan yang
mengatur. Jika ingin mendapatklan perlindungan pekerjaan, proyek dan lain sebagainya harus
memberikan sesuatu, suap dan sogokan kepada penguasa yang melayani.
Ketika korupsi sudah menjadi budaya, menurut Musa Asyarie tidak ada jalan lain yang dapat
diharapkan
untuk
memberantas
tindakan
korupsi
melainkan
dengan
melakukan revolusi kebudayaan. Yang dimaksud revolusi kebudayaan adalah mengubah secara
fundamental tata pikir, tata kesadaran dan tata perilaku sebagai akar budaya politiknya.[28] Jadi untuk
memberantas korupsi di Indonesia harus ada perubahan secara fundamental tata pikir, tata
kesadaran dan tata perilaku seluruh bangsa Indonesia mulai dari pejabat yang tertinggi sampai rakyat
jelata.
Lebih lanjut Musa Asyarie mencontohkan revolusi kebudayaan yang pernah terjadi dalam
sejarah perjalanan hidup Rasulullah SAW. Beliau telah mengubah akar budaya masyarakatnya,
melalui perombakan sistem ketuhanan, dari mempertuhankan berhala sebagai manifestasi simbolik
kekayaan dan kekuasaan yang disakralkan dan diciptakan manusia sendiri, kemudian diubah hanya

mempertuhankan Tuhan Yang Maha Tunggal dan yang menciptakan manusia. Tuhan yang
menciptakan, bukan yang diciptakan.[29]

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa:
1. Upaya pemerintah Indonesia terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi dilakukan dengan
pembentukan peraturan perundang-undangan dan lembaga khusus dalam pemberantasan korupsi.
Dalam lintas sejarah, pembentukan peraturan dalam pemberantasan korupsi yaitu KUHP (Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana), Undang-Undang Nomor 14/PRP/1960 Tentang Pengusutan,
Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, Kepres Nomor 228 Tahun 1967 tanggal 2
Desember 1967 Tentang Pembentukan TPK (Tim Pemberantasan Korupsi), kemudian UndangUndang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Tindak Pidana Korupsi yang berlaku sampai periode reformasi,
kemudian pada periode reformasi, pemerintah dan DPR mengeluarkan Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi. Pemerintah kemudian melakukan perubahan terhadap
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan kemudian membentuk Komisi
Pemberantasan Korupsi dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Terakhir pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor
15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
2. Untuk memberantas korupsi yang sudah merajalela di Indonesia, dalam pandangan hukum Islam,
minimal ada tiga usaha yang harus dilakukan, yaitu: Pertama, memaksimalkan hukuman. Hukumanhukuman dalam bentuk fisik segera diterapkan kalau perlu hukuman mati. Kedua, penegakan
Supremasi Hukum. Dan ketiga, Revolusi Kebudayaan (mental).
B. Penutup
Dengan mengucapkan Alhamdulillah penulis telah mengakhiri penulisan makalah ini. Sebagai
manusia biasa tentunya dalam penulisan ini masih banyak hal-hal yang belum terpenuhi, baik dari
segi bahasa, penyusunan kalimat, dan hal yang lainnya. Namun demikian penulis telah berupaya
semaksimal mungkin demi terselesaikannya makalah ini dan agar mendapat hasil sebaik mungkin,
tetapi kemampuan yang penulis miliki sangatlah terbatas. Oleh karena itu untuk kesempurnaan karya
yang sederhana ini penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dari semua
pihak demi keberhasilan karya penulis di masa mendatang.
Akhirnya semoga Allah SWT. selalu memberkahi pembelajaran kita, khususnya ibu Dr. Erina
Pane, S.H., M.Hum sebagai perbendaharaan ilmu dan penambah wawasan kita, dan semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat khususnya bagi penulis dan pada umumnya semua pihak
yang berkenan membaca makalah ini.

[1] Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya, (PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 1984), hlm. 7.
[2] W. J. S. Poerwodarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Balai Pustaka, Jakarta,
1996), hlm. 22.
[3] Syed Hussein Alatas, Sosiologi Korupsi Sebuah Penjelajahan Dengan Data Kontemporer,
(LP3ES, Jakarta, 1986), hlm. 11
[4] Mochtar Lubis dan James C. Scott, Bunga Rampai Korupsi, Cet. ke-3, (LP3ES, Jakarta,
1995), hlm. 4.
[5] Ibid., hlm. 4-7.

[6] Robert Klitgaard, Membasmi Korupsi, Alih Bahasa Hermoyo, Cet. ke-2, (Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta, 2001), hlm. 31.
[7] Soejono, Kejahatan dan Penegakan Hukum Di Indonesia, (PT. Rineka Cipta, Jakarta,
1996), hlm. 17.
[8] Syed Hussein Alatas, Op.Cit., hlm. 46-47.
[9] Moh. Mahfud MD., Setahun Bersama Gus Dur Kenangan Menjadi Menteri di Saat Sulit,
(LP3ES, Jakarta, 2003), hlm. 167.
[10] Abdullah Hehamahua dalam Membangun Sinergi Pendidikan dan Agama dalam
Gerakan Anti Korupsi, dalam buku Membangun Gerakan Antikorupsi Dalam Perspektif Pendidikan,
(LP3 UMY, Partnership: Governance Reform in Indonesia, Koalisi Antarumat Beragama untuk
Antikorupsi, Yogyakarta, 2004), hlm. 15-19.
[11] Ibid., hlm. 20-22.
[12] Buletin al Islam Edisi 215, Ancaman Allah Terhadap Pejabat Yang Tidak Amanah,
dalam http://www.hizbut.tahrir.or.id. Di akses pada tanggal 1 Januari 2011.
[13] Robert Klitgaard, Op. Cit., hlm. 51-62.
[14] Mochtar Lubis dan James C. Scott, Op. Cit., hlm. 96.
[15] Ibid., hlm. 102-107.
[16] Ibid., hlm. 97-110.
[17] Undang-undang RI Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana
Korupsi dan Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2001
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Citra Umbara, Bandung, 2003)
[18] Abdullah Hehamahua, Op. Cit., hlm. 86.
[19] Moh. Mahfud MD, Op. Cit., hlm. 167-168.
[20] Ibid., hlm. 169.
[21] Ibid., hlm. 170.
[22] Sistem Eropa Kontinental atau dikenal pula dengan sistem Roman Law atau sistem Civil
Law adalah sistem hukum yang menitiberatkan pada kodifikasi hukum, positivisme dan sistematis
rasional. Sistem ini kemudian melahirkan sistem hukum di beberapa negara Eropa, seperti hukum
napoleon (Napoleonis Code) di Perancis, hukum sipil Jerman (German Civil Code) tahun 1900,
hukum Belanda, dan hukum sipil Itali (Italian Civil Code). Sistem hukum tersebut juga mempengaruhi
negeri-negeri jajahannya. Karena Indonesia adalah jajahan Belanda maka sistem hukum yang dianut
di indonesia adalah sistem Eropa Kontinental ini. Lihat A. Qodri Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional:
Kompetisi Antara Hukum Islam Dan Hukum Umum, (Gama Media, Yogyakarta, 2002), hlm. 88-90
[23] Definisi sistem Anglo Saxon atau dikenal pula dengan sistem Common Law menurut A.
Qodri Azizy yang mengutip definisi yang dikemukakan oleh Steven Gifis, adalah: Common Law pada
umumnya lebih berupa asas-asas (kaidah), bukan peraturan (tertulis). Common Law tidak berupa
aturan-aturan yang absolut, tetap dan tanpa dapat berubah; namun berupa asas-asas yang umum
dan komprehensif berdasarkan (rasa) keadilan, (pertimbangan) akal, dan pendapat umum yang dapat
diterima. Common Law merupakan asal-usul dan penyebaran (praktek) pengadilan. Asas-asasnya
ditentukan oleh kebutuhan-kebutuhan masyarakat dan dapat berubah sesuai dengan perubahan
kebutuhan tersebut. Asas-asas ini mudah beradaptasi terhadap keadaan, kepentingan, hubungan,
dan pemakaian (ungkapan) yang baru, sebagaimana kemajuan masyarakat mungkin (sekali)
mengharuskan demikian. Sistem yang banyak dianut di Amerika Serikat dan Inggris serta negaranegara jajahannya seperti Malaysia, Australia dan lain sebagainya ini lebih menekankan pada
kaidah-kaidah hukum, empirik dan tidak menekankan pada rasionalitas. Lihat A. Qodri Azizy, Op.
Cit., hlm. 90-91.
[24] Muhammad Rawwas Qalahji, Ensiklopedi Fiqh Umar Bin Khatab, Edisi I, Cet-1 Penerj.
Abdul Mujieb AS (et al), (PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999), hlm. 579
[25] T. M. Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pidana Mati Dalam Syariat Islam, Cet-1, (PT.
Pustaka Rizki Putra, Semarang, 1998), hlm. 49-50.

[26] Abd. Azis Dahlan (et all.), Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 3, Cet. 1, (PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve, Jakarta, 1996), hlm. 976
[27] Tempo Interaktif, tanggal 8 Desember 2004.
[28] Musa Asyarie, Agama dan Kebudayaan Memberantas Korupsi Gagasan Menuju
Revolusi Kebudayaan dalam buku Membangun Gerakan Antikorupsi Dalam Perspektif Pendidikan,
(LP3 UMY, Partnership: Governance Reform in Indonesia, Koalisi Antarumat Beragama untuk
Antikorupsi, Yogyakarta, 2004), hlm.50.

Anda mungkin juga menyukai