Anda di halaman 1dari 13

BBDM 6 SKENARIO 3

Nasib Crosser Jalanan


ANATOMI KEPALA, LEHER, MAXILLOFACIAL

PATOFISIOLOGI SYOK AKIBAT TRAUMA

MENJELASKAN DAN MENILAI GCS


Jenis Pemeriksaan
Respon buka mata (Eye Opening, E)

Nilai

Respon spontan (tanpa stimulus/rangsang)

Respon terhadap suara (suruh buka mata)

Respon terhadap nyeri (dicubit)

Tida ada respon (meski dicubit)


Respon verbal (V)

Berorientasi baik

Berbicara mengacau (bingung)

Kata-kata tidak teratur (kata-kata jelas dengan substansi tidak jelas dan non- 3

kalimat, misalnya, aduh bapak..)

Suara tidak jelas (tanpa arti, mengerang)

Tidak ada suara


Respon motorik terbaik (M)

Ikut perintah

Melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan stimulus saat diberi rangsang 5

nyeri)

Fleksi normal (menarik anggota yang dirangsang)

Fleksi abnormal (dekortikasi: tangan satu atau keduanya posisi kaku diatas

dada & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri)

Ekstensi abnormal (deserebrasi: tangan satu atau keduanya extensi di sisi

tubuh, dengan jari mengepal & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri)

Tidak ada (flasid)

Derajat cedera kepala berdasarkan GCS:


GCS : 14-15 = CKR (cedera kepala ringan)
GCS : 9-13 = CKS (cedera kepala sedang)
GCS : 3-8

= CKB (cedera kepala berat)

MENJELASKAN KOMPLIKASI YANG TIMBUL


Komplikasi Cedera Kepala adalah
-

Keretakan Tengkorak
Hematom Intrakranial
Kerusakan saluran syaraf (cedera axonal)
Koagulopati
Pembengkakan otak terus menerus
o Herniasi otak, kompresi batang otak
o Infark otak
Tanda kerusakan otak: koma, kelumpuhan anggota tubuh,
Kelumpuhan pernafasan, kebutaan, kelupaan
Perubahan kepribadian dll
Komplikasi sistemik

o Infeksi: profilaksis antibiotik diberikan bila ada resiko tinggi infeksi seperti: pada
fraktur tulang terbuka, luka luar dan fraktur basis kranii
o Demam: kenaikan suhu tubuh meningkatkan metabolisme otak dan menambah
kerusakan sekunder, sehingga memperburuk prognosa. Oleh karena itu setiap
kenaikan suhu harus diatasi dengan menghilangkan penyebabnya, disamping
tindakan menurunkan suhu dengan kompres
o Gastrointestinal: pada penderita sering ditemukan gastritis erosi dan lesi
gastroduodenal lain, 10-14% diantaranya akan berdarah. Keadaan ini dapat
dicegah dengan pemberian antasida atau bersamaan dengan H2 reseptor bloker
o Kelainan hematologi: kelainan bisa berupa anemia, trombosiopenia, hipo
hiperagregasi trombosit, hiperkoagilasi, DIC. Kelainan tersebut walaupun ada
yang bersifat sementara perlu cepat ditanggulangi agar tidak memperparah
kondisi pasien.

DIAGNOSIS DAN PENGELOLAAN EPISTAKSIS


Diagnosis
Anamnesis dan menentukan lokasi sumber perdarahan serta menemukan penyebabnya
harus segera dilakukan. Perdarahan dari bagian anterior kavum nasi biasanya akibat mencungkil
hidung, epistaksis idiopatik, rinitis anterior dan penyakit infeksi. Sedangkan dari bagian posterior
atau media biasanya akibat hipertensi, arteriosklerosis, fraktur atau tumor. Lakukan pengukuran
tekanan darah dan periksa faktor pembekuan darah. Disamping pemeriksaan rutin THT,
dilakukan pemeriksaan tambahan foto tengkorak kepala, hidung dan sinus paranasal, kalau perlu
CT-scan.
Penatalaksanaan
Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu menghentikan perdarahan,
mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Pasien yang datang dengan
epistaksis diperiksa dalam posisi duduk, sedangkan kalau sudah terlalu lemah dibaringkan
dengan meletakkan bantal di belakang punggung, kecuali bila sudah dalam keadaan syok.
Sumber perdarahan dicari dengan bantuan alat penghisap untuk menyingkirkan bekuan darah.

Kemudian diberikan tampon kapas yang telah dibasahi dengan adrenalin 1: 10.000 dan lidokain
atau pantokain 2 %. Kapas ini dimasukkan ke dalam rongga hidung untuk menghentikan
perdarahan dan mengurangi rasa sakit pada saat tindakan selanjutnya. Tampon ini dibiarkan
selama 3 - 5 menit. Dengan cara ini dapat ditentukan apakah sumber perdarahan letaknya di
bagian anterior atau posterior. Pada penanganan epistaksis, yang terutama diperhatikan adalah
perkiraan jumlah dan kecepatan perdarahan. Pemeriksaan hematokrit, hemoglobin dan tekanan
darah harus cepat dilakukan. Pada pasien dalam keadaan syok, kondisi ini harus segera diatasi.
Jika ada kecurigaan defisiensi faktor koagulasi harus dilakukan pemeriksaan hitung trombosit,
masa protrombin dan masa tromboplastin (APTT), sedangkan prosedur diagnosis selanjutnya
dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan. Bila terjadi kehilangan darah yang banyak dan cepat,
harus difikirkan pemberian transfusi sel-sel darah merah (packed red cell) disamping
penggantian cairan.

Basic Life Support


Bantuan hidup dasar (basic Life Support ) terdiri dari managemen : A (Airway), B (Breathing), C
(Circulation)
-

Airway
Korban dengan tidak ada/tidak dicurgai cedera tulang belakang maka bebaskan jalan
nafas melalui head tilt chin lift. Caranya dengan meletakkan satu tangan pada dahi
korban, lalu mendorong dahi korban ke belakang agar kepala menengadah dan mulut
sedikit terbuka (Head Tilt) Pertolongan ini dapat ditambah dengan mengangkat dagu
(Chin Lift). Namun jika korban dicurigai cedera tulang belakang maka bebaskan jalan
nafas melalui jaw thrust yaitu dengan mengangkat dagu sehingga deretan gigi Rahang

Bawah berada lebih ke depan daripada deretan gigi Rahang Atas.


Breathing
Terapi Suportif
Jalan napas dan ventilasi
Terapi suportif merupakan tindakan resusitasi yang dilakukan berdasar
prioritas kegawatannya. Yaitu airway-breathing-circulatian dengan tujuan untuk
mengatasi hipoksemia dan hiperkarbia. Pada keadaan terjadi hipoventalasi dengan
PaCO2 > 50 mmHg atau henti napas maka perlu diberikan bantuan ventilasi. Bantuan

dapat diberikan mouth to mouth, mouth to nose atau dengan bantuan alat mouth to
faskmask, bag-valve-mask. Di rumah sakit pada umumnya menggunakan mask dan ambu
bag. Dasar pemberian ventilasi bantuan adlah dengan tekanan positif berkala. Hal ini
dituntut ketranp[ilan penolong karena bila tidak benar dapat terjadi resiko distensi
lambung dan apirasi lambung.. Pmebrian napas kita niali cukup baik dengan melihat
pengembangan dada yang adekuat, monitoring dengan ETCO2 dengan 25-35 mmHg dan
analisa gas darah Pa CO2 35-45 mmHg.
Oksigenasi
Pemberian oksigen merupakan salah satu prioritas utamadengan tujuan
menghioangkan hipoksemiayang terjadi. Fase awal sebaiknya dilakukan dengan oksigen
murni 100 %. Dengan alat bag valve mask dengan aliran 12-15 lietr kadar O2 hawa
inspirasi mendekati 100 %. Untuk menilai pemberian oksigenasi dapat dilakukan dengan

melihat saturasi Sa O2 lebih besar 95 % dan Pa O2 lebih besar 80 mmHg.


Terapi causal
Sambil dilakukan resusitasi diupayakan mencari penyebab gawat napasnya.
Circulation
Problem sirkulasi meliputi keadaann disaritmia kordis, krisis hipertensi, syok dan henti
jantung. Disaritmia kordis merupakan perubahan abnormal dari denyut jantung, baik
berupa gangguan dnyut, keteraturan, sumber asal, cara penjalaran. Krisis hipertensi
merupakan kedaruratan kardiovasculer, akibat peninggian tekanan darah secara tiba-tiba
dan cepat menggangu fungsi tanda vital. Syok adalah kegagalan organ kadiovaculer
menyediakan perfusi untuk metabolisme sel.

Penderita dengan henti jantung


Penting pertama kali harus tahu keadaan dan tanda-tanda dari seorang yang henti jantung,
seorang penolong harus mengenal tanda-tanda henti jantung ini. Tanda-tandanya meliputi :
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Pasien tidak sadar, dengan detak jantung (-)


Tidak teraba denyut nadi besar, seperti arteri karotis, arteri femoralis
Pasien henti napas atau gasping
Pupil melebar
Death like appearance
Gambaran EKG dapat berupa : fibrilasi ventrikel, asistol, disosiasi.

Penanganan yang harus dilakukan adalah resusitai dengan segera, tindakannya meliputi ;

1. Bebaskan dan bersihkan jalan napas.


2. Bantuan napas ( breathing support ).
3. Bantuan sirkulasi ( circulation support)
Lakukan ventilasi cepat dengan bantuan napas buatan 2 kali, kemudian lakukan pijat
jantung luar. RJP 1 orang operator :
o Lakukan ventilasi cepat dengan mempertahankan ekstensi kepal, jika pelu ganjal
leher dengan bantal, atau suatu benda.perhatikan kemungkinan fraktur
leher.kemudian raba denyut karotis, jika tidak ada segera lakukan PJL.
o Kompresikan dada dengan titik di atas proc xhypoideus 2 jari (sternum bagian
bawah) dengan pangkal tangan pd sternum. Lakukan penekanan dengan berta
badan dan posisi tangan lurus .
o Lakukan 15 kali kompresi sternum dengan kecepatan 80 x / menit
o Diselingi dengan 2 kali ventilasi paru
RJP dengan 2 operator.
o Lakukan ventilasi epat 2 kali sebelum pijat jantung luar, kemudian raba denyut
karotis, jika tidak ada denyut segera lakukan PJL.
o Satu orang operator bertindak sebagai kopresi jantung dengan kecepatan 60 x/
menit
o Diselingi 1 kali ventilasi oleh operator yang satu, setiap 5 kali kompresi
sternum.tanpa menunggu kompresi lanjutan.
o Selama resusitasi operator ventilasi harus senantiasa memeriksa denyut karotis
apakah spontan, atau belum.
o Jika denyut teraba dan paien maih henti napas, teruskan ventilasi paru sampai
pendeita bernapas spontan.
Penghentian RJP dilakukan jika :
o Penderita telah bernapas dan denyut spontan
o Gagal
o Penolong telah kelelahan
o Datang peralatan atau orang yang lebih ahli

MENJELASKAN JENIS FRAKTUR MULTIPLE DI AREA KEPALA, LEHER,


MAXILLOFACIAL
Klasifikasi dari fraktur maksilofasial terdiri atas beberapa fraktur yakni fraktur kompleks nasal,
fraktur kompleks zigomatikus - arkus zigomatikus, fraktur dento-alveolar, fraktur mandibula dan
fraktur maksila yang terdiri atas fraktur le fort I, II, dan III.

1.
Fraktur Komplek Nasal
Fraktur daerah hidung biasanya menyangkut septum hidung. Kadang kadang tulang
rawan septum hampir tertarik ke luar dari alurnya pada vomer dan plat tegak lurus serta
plat kribriform etmoid mungkin juga terkena fraktur.
2.
Fraktur Komplek Zigoma
Tulang zigomatik sangat erat hubungannya dengan tulang maksila, tulang dahi serta
tulang temporal, dan karena tulang tulang tersebut biasanya terlibat bila tulang
zigomatik mengalami fraktur, maka lebih tepat bila injuri semacam ini disebut fraktur
kompleks zigomatik.
Tulang zigomatik biasanya mengalami fraktur didaerah zigoma beserta suturanya, yakni
sutura zigomatikofrontal, sutura zigomakotemporal, dan sutura zigomatikomaksilar.
Suatu benturan atau pukulan pada daerah inferolateral orbita atau pada tonjolan tulang
pipi merupakan etiologi umum. Arkus zigomatik dapat mengalami fraktur tanpa
terjadinya perpindahan tempat dari tulang zigomatik.
3.
Fraktur Dentoalveolar
Injuri dento-alveolar terdiri dari fraktur, subluksasi atau terlepasnya gigi-gigi (avulsi),
dengan atau tanpa adanya hubungan dengan fraktur yang terjadi di alveolus, dan mungkin
terjadi sebagai suatu kesatuan klinis atau bergabung dengan setiap bentuk fraktur lainnya.
Salah satu fraktur yang umum terjadi bersamaan dengan terjadinya injuri wajah adalah
kerusakan pada mahkota gigi, yang menimbulkan fraktur dengan atau tanpa terbukanya
saluran pulpa.
Injuri fasial sering menekan jaringan lunak bibir atas pada gigi insisor,sehingga
menyebabkan laserasi kasar pada bagian dalam bibir atas dan kadang-kadang terjadi luka
setebal bibir. Sering kali injuri semacam ini menghantam satu gigi atau lebih, sehingga
pecahan mahkota gigi atau bahkan seluruh gigi yang terkena injuri tersebut tertanam di
dalam bibir atas.
4.
Fraktur Maksila
Fraktur ini terbagi atas tiga jenis fraktur, yakni ; fraktur Le Fort I, Le Fort II, Le Fort III.

Fraktur Le Fort I dapat terjadi sebagai suatu kesatuan tunggal atau bergabung
dengan fraktur fraktur Le Fort II dan III. Pada Fraktur Le Fort I, garis frakturnya dalam
jenis fraktur transverses rahang atas melalui lubang piriform di atas alveolar ridge, di atas
lantai sinus maksilaris, dan meluas ke posterior yang melibatkan pterygoid plate. Fraktur
ini memungkinkan maksila dan palatum durum bergerak secara terpisah dari bagian atas
wajah sebagai sebuah blok yang terpisah tunggal. Fraktur Le Fort I ini sering disebut
sebagai fraktur transmaksilari.
Fraktur Le Fort II lebih jarang terjadi, dan mungkin secara klinis mirip dengan
fraktur hidung. Bila fraktur horizontal biasanya berkaitan dengan tipisnya dinding sinus,
fraktur piramidal melibatkan sutura-sutura. Sutura zigomatimaksilaris dan nasofrontalis
merupakan sutura yang sering terkena. Seperti pada fraktur Le Fort I, bergeraknya
lengkung rahang atas, bias merupakan suatu keluhan atau ditemukan saat pemeriksaan.
Derajat gerakan sering tidak lebih besar dibanding fraktur Le Fort I, seperti juga
gangguan oklusinya tidak separah pada Le Fort I.
Fraktur craniofacial disjunction, merupakan cedera yang parah. Bagian tengah
wajah benar-benar terpisah dari tempat perlekatannya yakni basis kranii. Fraktur ini
biasanya disertai dengan cedera kranioserebral, yang mana bagian yang terkena trauma
dan besarnya tekanan dari trauma yang bisa mengakibatkan pemisahan tersebut, cukup
kuat untuk mengakibatkan trauma intrakranial.
5.
Fraktur Mandibula
Fraktur mandibula merupakan akibat yang ditimbulkan dari trauma kecepatan
tinggi dan trauma kecepatan rendah. Fraktur mandibula dapat terjadi akibat kegiatan
olahraga, jatuh, kecelakaan sepeda bermotor, dan trauma interpersonal. Pasien dengan

fraktur mandibula sering mengalami sakit sewaktu mengunyah, dan gejala lainnya
termasuk mati rasa dari divisi ketiga dari saraf trigeminal. Mobilitas segmen mandibula
merupakan kunci penemuan diagnostik fisik dalam menentukan apakah si pasien
mengalami fraktur mandibula atau tidak. Namun, mobilitas ini bisa bervariasi dengan
lokasi fraktur. Fraktur dapat terjadi pada bagian anterior mandibula ( simpisis dan
parasimpisis ), angulus mandibula, atau di ramus atau daerah kondilar mandibula.
PEMERIKSAAN
Macam dan urutan prioritas tindakan cedera kepala ditentukan atas dalamnya penurunan
kesadaran pada saat diperiksa:
A.
Pasien dalam keadaan sadar (GCS=15)
Pasien yang sadar pada saat diperiksa bisa dibagi dalam 2 jenis:
1.
Simple head injury (SHI)
Pasien mengalami cedera kepala tanpa diikuti gangguan kesadaran, dari anamnesa
maupun gejala serebral lain. Pasien ini hanya dilakukan perawatan luka. Pemeriksaan
2.

radiologik hanya atas indikasi. Keluarga dilibatkan untuk mengobservasi kesadaran.


Kesadaran terganggu sesaat
Pasien mengalami penurunan kesadaran sesaat setelah cedera kepala dan pada saat
diperiksa sudah sadar kembali. Pemeriksaan radiologik dibuat dan penatalaksanaan
selanjutnya seperti SHI.

B.
1.

Pasien dengan kesadaran menurun


Cedera kepala ringan / minor head injury (GCS=13-15)
Kesadaran disoriented atau not obey command, tanpa disertai defisit fokal serebral.
Setelah pemeriksaan fisik dilakukan perawatanluka, dibuat foto kepala. CT Scan
kepala, jika curiga adanya hematom intrakranial, misalnya ada riwayat lucid interval,
pada follow up kesadaran semakinmenurun atau timbul lateralisasi. Observasi

kesadaran, pupil, gejala fokal serebral disamping tanda-tanda vital.


2.
Cedera kepala sedang (GCS=9-12)
Pasien dalamkategori ini bisa mengalami gangguan kardiopulmoner, oleh karena itu
urutan tindakannya sebagai berikut:
o
Periksa dan atasi gangguan jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi
o
Periksa singkat atas kesadaran, pupil, tanda fokal serebral dan cedera organ lain.
Fiksasi leher dan patah tulang ekstrimitas
o
Foto kepala dan bila perlu bagiann tubuh lain
o
CT Scan kepala bila curiga adanya hematom intracranial

o
3.

Observasi fungsi vital, kesadaran, pupil, defisit fokal serebral


Cedera kepala berat (CGS=3-8)
Penderita ini biasanya disertai oleh cedera yang multiple, oleh karena itu disamping
kelainan serebral juga disertai kelainan sistemik.

TATALAKSANA
Urutan tindakan menurut prioritas adalah sebagai berikut:
1. Resusitasi jantung paru (airway, breathing, circulation=ABC)
Pasien dengan cedera kepala berat ini sering terjadi hipoksia, hipotensi dan
hiperkapnia akibat gangguan kardiopulmoner. Oleh karena itu tindakan pertama adalah:
o Jalan nafas (Air way)
Jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan posisi kepala
ekstensi,kalau perlu dipasang pipa orofaring atau pipa endotrakheal, bersihkan
sisa muntahan, darah, lendir atau gigi palsu. Isi lambung dikosongkan melalui
pipa nasograstrik untuk menghindarkan aspirasi muntahan
o Pernafasan (Breathing)
Gangguan pernafasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau perifer.
Kelainan sentral adalah depresi pernafasan pada lesi medula oblongata,
pernafasan cheyne stokes, ataksik dan central neurogenik hyperventilation.
Penyebab perifer adalah aspirasi, trauma dada, edema paru, DIC, emboli paru,
infeksi. Akibat dari gangguan pernafasan dapat terjadi hipoksia dan hiperkapnia.
Tindakan dengan pemberian oksigen kemudian cari danatasi faktor penyebab dan
kalau perlu memakai ventilator.
o Sirkulasi (Circulation)
Hipotensi menimbulkan iskemik yang dapat mengakibatkan kerusakan sekunder.
Jarang hipotensi disebabkan oleh kelainan intrakranial, kebanyakan oleh faktor
ekstrakranial yakni berupa hipovolemi akibat perdarahan luar atau ruptur alat
dalam, trauma dada disertai tamponade jantung atau peumotoraks dan syok septik.
Tindakannya adalah menghentikan sumber perdarahan, perbaikan fungsi jantung
danmengganti darah yang hilang dengan plasma, hydroxyethyl starch atau darah
2. Pemeriksaan fisik
Setelah ABC, dilakukan pemeriksaan fisik singkat meliputi kesadaran, pupil,
defisit fokal serebral dan cedera ekstra kranial. Hasil pemeriksaan fisik pertama ini
dicatat sebagai data dasar dan ditindaklanjuti, setiap perburukan dari salah satu

komponen diatas bisa diartikan sebagai adanya kerusakan sekunder dan harus segera
dicari dan menanggulangi penyebabnya.
3. Pemeriksaan radiologi
Dibuat foto kepala dan leher, sedangkan foto anggota gerak, dada danabdomen
dibuat atas indikasi. CT scan kepala dilakukan bila ada fraktur tulang tengkorak atau bila
secara klinis diduga ada hematom intracranial.

Anda mungkin juga menyukai