Anda di halaman 1dari 15

DISPEPSIA

I. PENDAHULUAN
Dispepsia merupakan salah satu gangguan pada saluran penceranaan, khususnya
lambung. Dispepsia dapat berupa rasa nyeri atau tidak enak di perut bagian tengah keatas.
Rasa nyeri tidak menentu, kadang menetap atau kambuh. Dispepsia umumnya diderita
oleh kaum produktif dan kebanyakan penyebabnya adalah pola atau gaya hidup tidak
sehat. Gejalanya pun bervariasi mulai dari nyeri ulu hati, mual-muntah, rasa penuh di ulu
hati, sebah, sendawa yang berlebihan bahkan bisa menyebabkan diare dengan segala
komplikasinya.
Ada beberapa hal yang menjadi penyebab timbulnya dispepsia, yaitu pengeluaran asam
lambung berlebih, pertahanan dinding lambung yang lemah, infeksi Helicobacter pylori
(sejenis bakteri yang hidup di dalam lambung dalam jumlah kecil, gangguan gerakan
saluran pencernaan, dan stress psikologis (Ariyanto, 2007).
Terkadang dispepsia dapat menjadi tanda dari masalah serius, contohnya penyakit ulkus
lambung yang parah. Tak jarang, dispepsia disebabkan karena kanker lambung, sehingga
harus diatasi dengan serius. Ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan bila
terdapat salah satu dari tanda ini, yaitu:
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Usia 50 tahun keatas


Kehilangan berat badan tanpa disengaja
Kesulitan menelan
Terkadang mual-muntah
Buang air besar tidak lancar
Merasa penuh di daerah perut (Bazaldua, et al, 1999)

Secara umum dispepsia terbagi menjadi dua jenis, yaitu dispepsia organik dan dispepsia
nonorganik atau dispesia fungsional. Dispepsia organik jarang ditemukan pada usia
muda, tetapi banyak ditemukan pada usia lebih dari 40 tahun (Richter cit Hadi, 2002).
Dispepsia dapat disebut dispepsia organik apabila penyebabnya telah diketahui secara
jelas. Dispepsia fungsional atau dispepsia non-organik, merupakan dispepsia yang tidak
ada kelainan organik tetapi merupakan kelainan fungsi dari saluran makanan (Heading,
Nyren, Malagelada cit Hadi, 2002).

II. PEMBAHASAN
1. Definisi
Dispepsia berasal dari bahasa Yunani "-" (Dys-), berarti sulit , dan "" (Pepse),
berarti pencernaan (N.Talley, et al., 2005). Dispepsia merupakan kumpulan keluhan/gejala
klinis yang terdiri dari rasa tidak enak/sakit di perut bagian atas yang menetap atau
mengalami kekambuhan. Keluhan refluks gastroesofagus klasik berupa rasa panas di
dada (heartburn) dan regurgitasi asam lambung, kini tidak lagi termasuk dispepsia.
Pengertian dispepsia terbagi dua, yaitu :
1. Dispepsia organik, bila telah diketahui adanya kelainan organik sebagai
penyebabnya. Sindroma dispepsi organik terdapat kelainan yang nyata
terhadap organ tubuh misalnya tukak (luka) lambung, usus dua belas jari,
radang pankreas, radang empedu, dan lain-lain.
2. Dispepsia nonorganik atau dispepsia fungsional, atau dispesia nonulkus
(DNU), bila tidak jelas penyebabnya. Dispepsi fungsional tanpa disertai
kelainan atau gangguan struktur organ berdasarkan pemeriksaan klinis,
laboratorium, radiologi, dan endoskopi (teropong saluran pencernaan).
Definisi lain, dispepsia adalah nyeri atau rasa tidak nyaman pada perut bagian atas atau
dada, yang sering dirasakan sebagai adanya gas, perasaan penuh atau rasa sakit atau rasa
terbakar di perut. Setiap orang dari berbagai usia dapat terkena dispepsia, baik pria
maupun wanita. Sekitar satu dari empat orang dapat terkena dispepsia dalam beberapa
waktu (Bazaldua, et al, 1999)

Tabel 1.1 Diagnosis banding nyeri/ketidaknyamanan abdomen atas

Dispepsia Organik

Dispepsia Fungsional

-Ulkus peptik kronik (ulkus ventrikul, ulkus -Disfungsi sensorik-motorik


gastroduodenumduodeni) -Gastroparesis idiopatik/hipomotilitas antrum
-Gastro-oesophageal reflux disease (GORD), -Disritmia gaster
dengan atau tanpa esofagitis -Hipersensitivitas gaster/duodenum
-Obat : OAINS, aspirin

-Faktor psikososial

-Kolelitiasis simtomatik

-Gastritis H.pylori

-Gangguan metabolik (uremia, hiperkalsemia, -Idiopatik


gastroparesis DM)
-Keganasan (gaster, pankreas, kolon)
-Insufisiensi vaskula mesentrikus
-Nyeri dinding perut
(Mansjoer, et al, 2007)

2. Etiologi
Seringnya, dispepsia disebabkan oleh ulkus lambung atau penyakit acid reflux. Jika
seseorang memiliki penyakit acid reflux, asam lambung terdorong ke atas menuju
esofagus (saluran muskulo membranosa yang membentang dari faring ke dalam
lambung). Hal ini menyebabkan nyeri di dada. Beberapa obat-obatan, seperti obat antiinflammatory, dapat menyebabkan dispepsia. Terkadang penyebab dispepsia belum dapat
ditemukan.
Penyebab dispepsia secara rinci adalah:
1. Menelan udara (aerofagi)
2. Regurgitasi (alir balik, refluks) asam dari lambung
3. Iritasi lambung (gastritis)
4. Ulkus gastrikum atau ulkus duodenalis
5. Kanker lambung
6. Peradangan kandung empedu (kolesistitis)
7. Intoleransi laktosa (ketidakmampuan mencerna susu dan produknya)
8. Kelainan gerakan usus
9. Stress psikologis, kecemasan, atau depresi
10. Infeksi Helicobacter pylory

3. Manifestasi Klinis
Klasifikasi klinis praktis, didasarkan atas keluhan/gejala yang dominan, membagi
dispepsia menjadi tiga tipe :
1. Dispepsia dengan keluhan seperti ulkus (ulkus-like dyspepsia), dengan gejala:

a. Nyeri epigastrium terlokalisasi


b. Nyeri hilang setelah makan atau pemberian antasid
c. Nyeri saat lapar
d. Nyeri episodik
2. Dispepsia dengan gejala seperti dismotilitas (dysmotility-like dyspesia), dengan
gejala:
a.
b.
c.
d.
e.
f.

Mudah kenyang
Perut cepat terasa penuh saat makan
Mual
Muntah
Upper abdominal bloating (bengkak perut bagian atas)
Rasa tak nyaman bertambah saat makan

3. Dispepsia nonspesifik (tidak ada gejala seperti kedua tipe di atas) (Mansjoer, et al,
2007).

Sindroma dispepsia dapat bersifat ringan, sedang, dan berat, serta dapat akut atau kronis
sesuai dengan perjalanan penyakitnya. Pembagian akut dan kronik berdasarkan atas
jangka waktu tiga bulan.
Nyeri dan rasa tidak nyaman pada perut atas atau dada mungkin disertai dengan
sendawa dan suara usus yang keras (borborigmi). Pada beberapa penderita, makan dapat
memperburuk nyeri; pada penderita yang lain, makan bisa mengurangi nyerinya.
Gejala lain meliputi nafsu makan yang menurun, mual, sembelit, diare dan flatulensi
(perut kembung).
Jika dispepsia menetap selama lebih dari beberapa minggu, atau tidak memberi respon
terhadap pengobatan, atau disertai penurunan berat badan atau gejala lain yang tidak
biasa, maka penderita harus menjalani pemeriksaan.
4. Pemeriksaan
Pemeriksaan untuk penanganan dispepsia terbagi beberapa bagian, yaitu:
1. Pemeriksaan laboratorium biasanya meliputi hitung jenis sel darah yang lengkap
dan pemeriksaan darah dalam tinja, dan urine. Dari hasil pemeriksaan darah bila
ditemukan lekositosis berarti ada tanda-tanda infeksi. Pada pemeriksaan tinja, jika
tampak cair berlendir atau banyak mengandung lemak berarti kemungkinan
menderita malabsorpsi. Seseorang yang diduga menderita dispepsia tukak,
sebaiknya diperiksa asam lambung (Hadi, 2002). Pada karsinoma saluran
pencernaan perlu diperiksa petanda tumor, misalnya dugaan karsinoma kolon
perlu diperiksa CEA, dugaan karsinoma pankreas perlu diperiksa CA 19-9 (Vilano
et al, cit Hadi, 2002).

2. Barium enema untuk memeriksa kerongkongan, lambung atau usus halus dapat
dilakukan pada orang yang mengalami kesulitan menelan atau muntah, penurunan
berat badan atau mengalami nyeri yang membaik atau memburuk bila penderita
makan (Mansjoer, 2007).
3. Endoskopi bisa digunakan untuk memeriksa kerongkongan, lambung atau usus
kecil dan untuk mendapatkan contoh jaringan untuk biopsi dari lapisan lambung.
Contoh tersebut kemudian diperiksa dibawah mikroskop untuk mengetahui
apakah lambung terinfeksi oleh Helicobacter pylori. Endoskopi merupakan
pemeriksaan baku emas, selain sebagai diagnostik sekaligus terapeutik.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan dengan endoskopi adalah:
a. CLO (rapid urea test)
b. Patologi anatomi (PA)
c. Kultur mikroorgsanisme (MO) jaringan
d. PCR (polymerase chain reaction), hanya dalam
rangka penelitian

4. Pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan radiologi, yaitu OMD dengan


kontras ganda, serologi Helicobacter pylori, dan urea breath test (belum tersedia
di Indonesia) (Mansjoer, 2007). Pemeriksaan radiologis dilakukan terhadap saluran
makan bagian atas dan sebaiknya dengan kontras ganda. Pada refluks
gastroesofageal akan tampak peristaltik di esofagusnyang menurun terutama di
bagian distal, tampak anti-peristaltik di antrum yang meninggi serta sering
menutupnya pilorus, sehingga sedikit barium yang masuk ke intestin (Hadi, 2002).
Pada tukak baik di lambung, maupun di duodenum akan terlihat gambar yang
disebut niche, yaitu suatu kawah dari tukak yang terisi kontras media. Bentuk
niche dari tukak yang jinak umumnya reguler, semisirkuler, dengan dasar licin
(Vilano et al, cit Hadi, 2002). Kanker di lambung secara radiologis, akan tampak massa
yang ireguler tidak terlihat peristaltik di daerah kanker, bentuk dari lambung
berubah (Shirakabe cit Hadi, 2002). Pankreatitis akuta perlu dibuat foto polos
abdomen, yang akan terlihat tanda seperti terpotongnya usus besar (colon cut off
sign), atau tampak dilatasi dari intestin terutama di jejunum yang disebut sentinal
loops (Hadi, 2002).
5. Kadang dilakukan pemeriksaan lain, seperti pengukuran kontraksi kerongkongan
atau respon kerongkongan terhadap asam.

Tabel 4.1. Pertimbangan dalam Memilih Strategi Pemeriksaan Dispepsia

Strategi Kelebihan

Kekurangan

Endoskopi Tes baku emas untuk memeriksa

Mahal

Gastroduodenal ulcers, reflux

Invasif

Esophagitis, dan kanker gastrointestinal

Tidak begitu efektif/praktis untuk

pasien muda tanpa gejala alarm

Bermanfaat karena lebih 40 persen

Jarang, komplikasi endoskopi

pasien dispepsia karena organik


Menyediakan cukup jaminan pasien
Pilihan tes untuk target terapi

Pengobatan empiris Strategi yang tidak begitu mahal

Manfaat manghilang dengan adanya

dengan menurunkan Gejala cepat dikenali

pengulangan gejala/respon lemah

kadar asam Rata-rata respon yang tinggi

Rata-rata pengulangan gejala tinggi

Dapat mengurangi sejumlah

Dapat menyampaikan kegunaan

endoskopi

medik yang tidak cocok dan lama

Dapat menunda tes diagnosis


Dapat menutup gejala malignant ulcers
Kemungkinan besar untuk menyediakan
jaminan pasien paling kurang
Jarang, efek samping yang serius
(gynecomastia atau hematologic
disorders)

Tes H.pylori dan Berdasarkan review literatur, keli-

Dapat meningkatkan level kebal anti-

perlakuannya jika hatannya sebuah pendekatan yang


hasil tes positif dapat diterima, dan strategi yang
tidak begitu mahal dalam pasien
sensitif H.pyloti

Tes H.pylori kurang akurat


Dapat menghasilkan overtreatment di-

karenakan hasil pemeriksaan yang

Direkomendasikan oleh American

positif palsu atau undertreatment dika-

Gastroenterological Association
Dapat mengurangi sejumlah
endoskopi

biotik

reanakan hasil pemeriksaan yang


negatif palsu

Manfaat untuk pasien dispepsia


fungsional kemungkinan kecil atau
tidak ada sama sekali
Kanker dan penyakit ulcer bisa terlewati
Pasien menjadi tidak punya waktu
banyaknya pengobatan
Dapat menyebabkan efek samping
yang serius (pseudomembranous colitis)
Hasil pengobatan pasien yang terinfeksi
jangka panjang tidak terdokumentasi
secara pasti

Pemberantasan Mencegah pembiayaan H.pylori dan


empiris H.pylori endoskopi (penyimpanan biaya
aktual mungkin sedikit bila pasien

Beberapa bukti tidak mendukung


pendekatan ini

Dapat meningkatkan level kebal anti-

secara rutin membutuhkan endoskopi) biotik

Dapat mengurangi sejumlah


endoskopi

Manfaat untuk pasien dispepsia

fungsional kemungkinan kecil atau


tidak ada sama sekali

Kanker dan penyakit ulcer bisa terlewati


Pasien menjadi tidak punya waktu
banyaknya pengobatan
Dapat menyebabkan efek samping

yang serius (pseudomembranous colitis)


Hasil pengobatan pasien yang terinfeksi
jangka panjang tidak terdokumentasi
secara pasti

Tes untuk H.pylori Endoskopi akan mendeteksi


dan melakukan gastroduodenal ulcers, reflux

Tidak efektif biaya dibandingkan


dengan tes untuk H.pylori diikuti

endoskopi jika hasil esophagitis, dan kanker gastrotes positif intestinal atas

Dapat terjadi penggunaan endoskopi

Meminimalisir kebal terhadap


antibiotik

oleh pengobatan jika hasilnya positif

secara berlebihan karena terjadi tes

positif palsu
Invasif
(N. Talley et al, cit Bazaldua, 1999)

5. Penatalaksanaan
Berdasarkan Konsensus Nasional Penanggulangan Helicobacter pylori 1996, ditetapkan
skema penatalaksanaan dispepsia, yang dibedakan bagi sentra kesehatan dengan tenaga
ahli (gastroenterolog atau internis) yang disertai fasilitas endoskopi dengan
penatalaksanaan dispepsia di masyarakat.
Pengobatan dispepsia mengenal beberapa golongan obat, yaitu:
1. Antasid 20-150 ml/hari
Golongan obat ini mudah didapat dan murah. Antasid akan menetralisir
sekresi asam lambung. Antasid biasanya mengandung Na bikarbonat,
Al(OH)3, Mg(OH)2, dan Mg triksilat. Pemberian antasid jangan terusmenerus, sifatnya hanya simtomatis, unutk mengurangi rasa nyeri. Mg
triksilat dapat dipakai dalam waktu lebih lama, juga berkhasiat sebagai
adsorben sehingga bersifat nontoksik, namun dalam dosis besar akan
menyebabkan diare karena terbentuk senyawa MgCl2.

2. Antikolinergik
Perlu diperhatikan, karena kerja obat ini tidak spesifik. Obat yang agak
selektif yaitu pirenzepin bekerja sebagai anti reseptor muskarinik yang
dapat menekan seksresi asama lambung sekitar 28-43%. Pirenzepin juga
memiliki efek sitoprotektif.
3. Antagonis reseptor H2
Golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati dispepsia organik
atau esensial seperti tukak peptik. Obat yang termasuk golongan antagonis
respetor H2 antara lain simetidin, roksatidin, ranitidin, dan famotidin.
4. Penghambat pompa asam (proton pump inhibitor = PPI)
Golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung pada stadium akhir dari
proses sekresi asam lambung. Obat-obat yang termasuk golongan PPI
adalah omeperazol, lansoprazol, dan pantoprazol.
5. Sitoprotektif
Prostoglandin sintetik seperti misoprostol (PGE1) dan enprostil (PGE2).
Selain bersifat sitoprotektif, juga menekan sekresi asam lambung oleh sel
parietal. Sukralfat berfungsi meningkatkan sekresi prostoglandin endogen,
yang selanjutnya memperbaiki mikrosirkulasi, meningkatkan produksi
mukus dan meningkatkan sekresi bikarbonat mukosa, serta membentuk
lapisan protektif (site protective), yang bersenyawa dengan protein sekitar
lesi mukosa saluran cerna bagian atas (SCBA).
6. Golongan prokinetik
Obat yang termasuk golongan ini, yaitu sisaprid, domperidon, dan
metoklopramid. Golongan ini cukup efektif untuk mengobati dispepsia
fungsional dan refluks esofagitis dengan mencegah refluks dan
memperbaiki bersihan asam lambung (acid clearance) (Mansjoer et al, 2007).
7. Kadang kala juga dibutuhkan psikoterapi dan psikofarmaka (obat antidepresi dan cemas) pada pasien dengan dispepsia fungsional, karena tidak
jarang keluhan yang muncul berhubungan dengan faktor kejiwaan seperti
cemas dan depresi (Sawaludin, 2005)

Hasil (-)

Rujuk

Hasil (+)
Usia > 45 tahun atau usia < 45 tahun dengan tanda-tanda alarm

Terapi empiris selama 2 minggu :


-Antasida
-H2 antagonis/PPI (omeprazol)
-Obat-obat prokinetik
Kambuh (maksimal 3x)
Rujuk
Dispepsia tetap (+)
Gastroenterelogis / internis atau dokter anak dengan fasilitas endoskopi
Dispepsia

Usia , 45 tahun tanpa tanda-tanda alarm

Tes serologi Hp

Rujuk

Dispepsia (-)
Terapi dihentikan

Skema 5.1. Skema penatalaksanaan pasien dispepsia di masyarakat


(Mansjoer et al, 2007)

Dispepsia

Endoskopi

Tes serologi Hp

Hasil (-)
Pemeriksaan CLO, PA, kultur (untuk Hp)
Hasil (+)

CLO (+)
PA (+)
Kultur (+)

CLO (+)
PA (+)
Kultur (+)

CLO (+)
PA (+)
Kultur (+)

CLO (+)
PA (+)
Kultur (+)

CLO (+)
PA (+)

Kultur (+)

Seleksi kasus

Tidak dilakukan terapi eradikasi hanya diberikan terapi empiris sambil dicari penyebab lain

Terapi eradikasi

Skema 5.2. Skema penatalaksanaan pasien dispepsia oleh gastroenterolog/internis


atau dokter anak dengan fasilitas endoskopi
(Mansjoer et al, 2007)

Tabel 5.1. Golongan obat antagonis reseptor H2

Obat

Indikasi

Dosis Cara, waktu, dan Efek samping

lama pemberian
Simetidin Tukak peptik akut dan

3x200mg, Selama 4 minggu Penekanan eritropoesis,

kronik

ditambah

200mg

sampai pansitopenia

atau neutropenia

sebelum
t idur
Gastritis kronik dengan
hiperskresi HCl

200mg Lanjutan, setiap malam Gangguan SSP seperti

konfusi mental, somnolen,


letargi, halusinasi
Gangguan endokrin yaitu
impotensi, ginekomastia

Roksatidin Gastritis akut dan kronik 75mg/hari, Oral, malam hari,selama


dengan saya selektif disesuaikan 1 minggu
reseptor H2 6 kali lebih dengan
baik daripada simetidin bersihan
setara ranitidin kreatinin

Ranitidin

Dispepsia akut dan 2x150mg Selama 4-6 minggu


kronik, khususnya lanjutan :
tukak duodenum aktif 1x150mg Malam hari
(Mansjoer et al, 2007)

Tabel 5.2. Golongan obat penghambat pompa proton


Obat

Indikasi

Omeperazol Tukak peptik

Dosis

Pemberian

1x20mg/hari

Setiap pagi, selama Sakit kepala, nuase, diare,


1-2 minggu, oral

Tukak duodenum

Lansoprazol Tukak peptik

1x2050mg/hari
1x30mg/hari

Pantoprazol Tukak peptik, inhibitor pompa 1x40mg/hari


proton yang reversibel

Efek samping

mabuk, lemas, nyeri


epigastrik, banyak gas

Selama 2-4 hari


minggu, oral
4 minggu, oral

Idem

Oral

Idem

(Mansjoer et al, 2007)

Pengobatan farmakologis untuk pasien dispepsia fungsional belum begitu memuaskan.


Hasil penelitian controlled trials secara umum masih mengecewakan dan hanya
menemukan manfaat yang relatif kecil mengenai placebo dengan histamin antagonis
reseptor H2, penghambat pompa asam (proton-pump inhibitors), dan pemberantasan
Helicobacter pylori. Walaupun sejumlah penelitian acak (randomized), controlled trials,
dan meta-analisis telah menunjukkan keunggulan sisaprid dibandingkan placebo,

sekarang kegunaan sisaprid terlarang di kebanyakan negara karena mengakibatkan efek


samping pada jantung. (Holtmann et al, 2006)
Di Jepang, itoprid, yang merupakan dopamin antagonis D2 dengan kerja menghambat
acetylcholinesterase, sering diresepkan untuk pasien dispepsia fungsional. Walaupun obat
ini telah menunjukkan merangsang kemampuan gerak spontan (motality) lambung,
penelitian yang dirancang secara tepat, acak, dan controlled trials terhadap pasien
dispepsia fungsional masih lemah. Di Jepang, itoprid diresepkan 50 mg untuk tiga kali
sehari. Bagaimanapun, respon kecil terhadap pemberian dosis harus dipandang dari
populasi lainnya. (Holtmann et al, 2006)
Penelitian yang dilakukan oleh Holtmann dkk membandingkan antara pasien dispepsia
fungsional yang diberi resep placebo dan itoprid. Pasien dispepsia fungsional secara acak
menerima pengobatan itoprid (50,100, atau 200 mg untuk tiga kali sehari) atau placebo.
Setelah delapan minggu pengobatan, tiga poin efikasi utama dianalisa: perubahan dasar
berbagai gejala dispepsia fungsional (seperti yang diujikan melalui Leeds Dyspepsia
Questionnaire), pengujian global dari efikasi pasien (proporsi pasien tanpa gejala atau
tanda peningkatan gejala), dan berbagai keluhan nyeri dan sakit yang dihitung dalam
skala tingkat lima. Setelah delapan minggu, 41 persen dari pasien yang menerima placebo
ternyata bebas gejala, sebagai perbandingan dengan 57 persen, 59 persen, dan 64 persen
yang menerima itoprid dosis 50, 100, 200 mg untuk tiga kali sehari (P<0.05 untuk semua
oerbandingan antara placebo dan itoprid). (Holtmann et al, 2006)
Walaupun penilaian bebas gejala secara siginifikan terjadi di keempat kelompok,
analisis keseluruhan menyingkap bahwa itoprid lebih unggul secara signifikan daripada
placebo, dengan nilai perkembangan bebas gejala untuk kelompok 100 dan 200 mg (-6.24
dan -6.27) versus (-4.50) untuk kelompok placebo; P=0.05. Analisis akhir dan lengkap
menunjukkan bahwa itoprid menghasilkan nilai respon yang lebih baik daripada placebo
(73 persen versus 63 persen, P=0.04) (Holtmann et al, 2006).

Tabel 5.3. Pengobatan untuk Dispepsia Fungsional yang Didukung Bukti dan Tanpa
Didukung Bukti

Pengobatan yang didukung bukti

Pemberantasan H. pylori
Itoprid

Proton-pump inhibitors (PPI)

Terapi psikologi (terapi perilaku kognisi, hipnoterapi, psikoterapi)

Pengobatan tanpa didukung bukti

Antacids
Antispasmodic agents

Bismuth salts

Dietary therapy

Herbal therapy

Histamine H2-receptor antagonists

Misoprostol

Prokinetic agents

Selective serotonin-reuptake inhibitors

Sucralfate

Tricyclic antidepressants (at low doses)


(Longstreth, 2006)

6. Pencegahan
Modifikasi gaya hidup sangat berperan dalam mencegah terjadinya dispepsia bahkan
memperbaiki kondisi lambung secara tidak langsung (Ariyanto, 2007)
Berikut ini adalah modifikasi gaya hidup yang dianjurkan untuk mengelola dan
mencegah timbulnya gangguan akibat dispepsia :
1.
2.

Atur pola makan seteratur mungkin.


Hindari makanan berlemak tinggi yang menghambat pengosongan
isi lambung (coklat, keju, dan lain-lain).

3.

Hindari makanan yang menimbulkan gas di lambung (kol, kubis,


kentang, melon, semangka, dan lain-lain).

4.

Hindari makanan yang terlalu pedas.

5.

Hindari minuman dengan kadar caffeine dan alkohol.

6.

Hindari obat yang mengiritasi dinding lambung, seperti obat antiinflammatory, misalnya yang mengandung ibuprofen, aspirin, naproxen, dan
ketoprofen. Acetaminophen adalah pilihan yang tepat untuk mengobati nyeri karena
tidak mengakibatkan iritasi pada dinding lambung.

7.

Kelola stress psikologi se-efisien mungkin.

8.

Jika anda perokok, berhentilah merokok.

9.

Jika anda memiliki gangguan acid reflux, hindari makan sebelum


waktu tidur.

10.

11.

Hindari faktor-faktor yang membuat pencernaan terganggu, seperti


makan terlalu banyak, terutama makanan berat dan berminyak, makan terlalu cepat,
atau makan sesaat sebelum olahraga.
Pertahankan berat badan sehat

12.

Olahraga teratur (kurang lebih 30 menit dalam beberapa hari


seminggu) untuk mengurangi stress dan mengontrol berat badan, yang akan
mengurangi dispepsia.

13.

Ikuti rekomendasi dokter Anda mengenai pengobatan dispepsia.


Baik itu antasid, PPI, penghambat histamin-2 reseptor, dan obat motilitas.

Daftar Pustaka
1.

Mansjoer, Arif et al. 2007. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1. Edisi


Ketiga. Jakarta.: 488-491
2.
Hadi, Sujono. 2002. Gastroenterologi. Bandung : 156,159
3.
Bazaldua, O.V. et al. 2006. Dyspepsia: What It Is and What to Do About
It. http://familydoctor.org/online/famdocen/home/common/digestive/dyspepsia.html,
Desember 2006
4.
Anonim. 2001. Dyspepsia-Symptoms, Treatment, abd Prevention.
http://www.healthscout.com/ency/68/294/main.html, 2001
5.
Sawaludin, Diding. 2005. Nyeri Ulu Hati yang Berulang.
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/1005/09/hikmah/kesehatan.htm, 9 Oktober
2005
6.
Ariyanto, W.L. 2007. Mencegah Gangguan Lambung. www.kiatsehat.com, 2007
7.
Anonim. 2004. Dispepsia.
http://medicastore.com/med/subkategori_pyk.ph p?
idktg=7&UID=20071107122240202.162.33.202, 2004
8.
Anonim. 2007. Dyspepsia. http://en.wikipedia.org/wiki/Dyspepsia, 7
Oktober 2007
9.
Bazaldua, OV et al.1999. Evaluation and Management of Dyspepsia.
http://www.aafp.org/afp/991015ap/1773.html, 15 Oktober 1999
10.
Torpy, Janet M. 2006. Dyspepsia. http://jama.amaassn.org/cgi/reprint/295/ 13/1612?
maxtoshow=&HITS=10&hits=10&RESULTFORMAT=&fulltext=dyspepsia&searchi
d=1&FIRSTINDEX=0&resourcetype=HWCIT, 5 April 2006
11.
Holtmann, Gerald. 2006. A Placebo-Controlled Trial of Itopride
in Functional Dyspepsia. http://content.nejm.org/cgi/content/short/354/8/ 832, 23
Februari 2006
12.

Longstreth, George F. 2006. Functional Dyspepsia Managing the


Conundrum. http://content.nejm.org/cgi/content/short/354/8/791, 23 Februari 2006

Anda mungkin juga menyukai