Anda di halaman 1dari 8

PBL 1-HIV/AIDS

Kasus penolakan pasien oleh rumah sakit beberapa kali terjadi baik di Jakarta sebagai ibukota
negara maupun daerah. Kamar penuh dan fasilitas yang tidak tersedia menjadi alasan yang sering
muncul dari pihak rumah sakit. Kasus penolakan pasien Odha oleh rumah sakit justru sering muncul
dibandingkan dengan pasien umum. Hal ini terkait dengan diskriminasi dan stigmanisasi Odha
menjadi faktor utama ketika rumah sakit menolak pasien Odha. Sampai dengan sekarang masih ada
beberapa informasi penolakan pasien Odha yang muncul di mailing aids-ina@yahoogroups.com.
Kemenkes RI sebagai regulator dalam pelayanan kesehatan di Indonesia perlu menegaskan kembali
melalui surat edaran dari Direktur Jenderal PP dan PL Nomor HK.03.03/III/0992/2014. Surat edaran
ini ditujukan kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, Kabupaten/Kota dan Direktur Rumah Sakit.
Ruang lingkup surat edaran ini adalah:

Rumah sakit wajib memberikan pelayanan kesehatan pada ODHA sesuai dengan
kemampuan yang dimiliki rumah sakit.

Rumah sakit kelas C wajib mampu mendiagnosis, melakukan pengobatan dan perawatan
ODHA sesuai dengan ketentuan dalam sistem rujukan.

Fasilitas pelayanan keseahtan primer dan rumah sakit kelas D dapat melakukan diagnosis,
pengobatan dan perawatan ODHA sesuai dengan kemampuan dan sistem rujukan.

Seluruh rumah sakit tidak diperkenankan untuk menolak memberikan pelayanan kesehatan
bagi ODHA.

Mulai saat ini seharusnya sudah tidak ada pasien Odha yang ditolak oleh rumah sakit untuk
mendapatkan layanan kesehatan. Rumah sakit yang tidak mempunyai kemampuan wajib
bertanggungjawab untuk merujuk ke rumah sakit yang mempunyai kemampuan. Sehingga Odha
tetap mendapatkan layanan kesehatan sesuai dengan kebutuhannya.

Dasar Pertimbangan:
a.

Dalam upaya memberikan akses pelayanan keseahtan bagi seluruh rakyat Indonesia
khususnya pasien Orang dengan HIV-AIDS (ODHA) dan mengacu pada Pemenkes RI No
21 Tahun 2013.
Ruang Lingkup:

Rumah sakit wajib memberikan pelayanan kesehatan pada ODHA sesuai dengan kemampuan
yang dimiliki rumah sakit.

Rumah sakit kelas C wajib mampu mendiagnosis, melakukan pengobatan dan perawatan ODHA
sesuai dengan ketentuan dalam sistem rujukan.

Fasilitas pelayanan keseahtan primer dan rumah sakit kelas D dapat melakukan diagnosis,
pengobatan dan perawatan ODHA sesuai dengan kemampuan dan sistem rujukan.

Seluruh rumah sakit tidak diperkenankan untuk menolak memberikan pelayanan kesehatan bagi
ODHA.

ASPEK ETIKA DAN HUKUM DALAM PENGELOLAAN INFORMASI KESEHATAN PASIEN


HIV AIDS
Penyakit HIV AIDS merupakan isu etik manajemen informasi kesehatan yang sensitif. Human
Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan
kemudian dapat menimbulkan AIDS. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah suatu
kondisi medis berupa kumpulan tanda dan gejala yang diakibatkan oleh menurunnya atau hilangnya
kekebalan tubuh karena terinfeksi HIV, sering berwujud infeksi yang bersifat ikutan (oportunistik) dan
belum ditemukan vaksin serta obat penyembuhannnya. Kewajiban etik yang utama dari professional MIK
maupun tenaga kesehatan adalah melindungi privasi dan kerahasiaan pasien dan melindungi hak-hak
pasien dengan menjaga kerahasiaan rekam medis pasien HIV AIDS. Kaidah turunan moral bagi tenaga
kesehatan adalahprivacy, confidentiality, fidelity dan veracity. Privacy berarti menghormati hak privacy
pasien, confidentialty berarti kewajiban menyimpan informasi kesehatan sebagai rahasia, fidelity berarti
kesetiaan, dan veracity berarti menjunjung tinggi kebenaran dan kejujuran.
Menurut Permenkes RI No. 269 tentang rekam medis pasal 10 , hal yang harus diperhatikan bagi
profesional MIK dalam pengelolaan informasi pasien adalah :
1.

Informasi tentang identitas, diagnosis, riwayat penyakit, riwayat pemeriksaan dan riwayat
pengobatan pasien harus dijaga kerahasiaannya oleh dokter, dokter gigi, tenaga kesehatan tertentu,
petugas pengelola dan pimpina sarana pelayanan kesehatan

2.

Informasi tentang identitas, diagnosis, riwayat penyakit, riwayat pemeriksaan dan riwayat
pengobatan dapat dibuka dalam hal :

3.

Untuk kepentingan kesehatan pasien;

1.

Memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum

perintah pengadilan;
1.

Permintaan dan / atau persetujuan pasien sendiri;

2.

Permintaan institusi atau lembaga berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan;

3.

Untuk kepentingan penelitian, pendidikan, dan audit medis, sepanjang tidak


identitas pasien.

menyebutkan

Pengelolaan informasi pasien HIV AIDS di tempat kerja juga diatur Menurut Kepmenaker No. KEP.
68/MEN/IV/2004 tentang pencegahan dan penanggulangan HIV AIDS :

Pasal 6
Informasi yang diperoleh dari kegiatan konseling, tes HIV, pengobatan, perawatan dan kegiatan
lainnya harus dijaga kerahasiaannya seperti yang berlaku bagi data rekam medis.
Dalam kaitannya aspek hukum kerahasiaan pasien HIV AIDS , kode etik administrator perekam
medis dan informasi kesehtan ( PORMIKI, 2006) adalah :
1.

Selalu menyimpan dan menjaga data rekam medis serta informasi yang terkandung di dalamnya
sesuai dengan ketentuan prosedur manajemen, ketetapan pimpinan institusi dan peraturan perundangundangan yang berlaku.

2.

Selalu menjunjung tinggi doktrin kerahasiaan dan hak atas informasi pasien yang terkait dengan
identittas individu atau social.

3.

Administrator informasi kesehtan wajib mencegah terjadinya tindakan yang menyimpang dari
kode etik profesi.
Perbuatan / tindakan yang bertentangan dengan kode etik adalah menyebarluaskan informasi yang
terkandung dalam laporan rekam medis HIV AIDS yang dapat merusak citra profesi rekam administrator
informasi kesehatan. Disisi lain rumah sakit sebagai institusi tempat dilaksanakannya pelayanan medis,
memiliki Kode Etik Rumah Sakit ( Kodersi ) dalam kaitannya manajemen informasi kesehatan :
Pasal 4 : Rumah sakit harus memelihara semua catatan / arsip, baik medik maupun non medik secara
baik.
Pasal 9 : Rumah sakit harus mengindahkan hak-hak asasi pasien
Pasal 10: Rumah sakit harus memberikan penjelasan apa yang diderita pasien dan tindakan apa yang
hendak dilakukan.
Pasal 11: Rumah sakit harus meminta persetujuan pasien ( informed consent ) sebelum melakukan
tindakan medik.
Selain itu, kerahasiaan rekam medis diatur di dalam UU Praktik Kedokteran No. 29 Tahun 2004 pasal 47
ayat (2) sebagaimana disebutkan di atas. UU tersebut memang hanya menyebut dokter, dokter gigi dan
pimpinan sarana yang wajib menyimpannya sebagai rahasia, namun PP No 10 tahun 1966 tentang wajib
simpan rahasia kedokteran tetap mewajibkan seluruh tenaga kesehatan dan mereka yang sedang dalam
pendidikan di sarana kesehatan untuk menjaga rahasia kedokteran.
PP No 10 tahun 1966
Pasal 3
Yang diwajibkan menyimpan rahasia kedokteran adalah

1.

Tenaga kesehatan menurut pasal 2 UU tentang tenaga kesehatan

2.

Mahasiswa kedokteran , murid yang bertugas dalam lapangan pemeriksaan, pengobatan dan atau
perawatan dan orang lain yang ditetapkan oleh menteri kesehatan pada waktu atau selama melakukan
pekerjaannya dalam lapangan kedokteran.
Dokter wajib menyimpan rahasia medis pasien. Hal ini berdasarkan KODEKI maupun kode etik petugas
kesehatan Pasal 13 :
Dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuninya tentang seorang penderita bahkan juga
setelah meninggal dunia.
Pelanggaran mengenai ketentuan wajib simpan rahasia kedokteran dapat dipidana dengan pasal 322
KUHP :
Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau
pencariaannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama 9
bulan atau denda paling banyak enam ratus rupiah.
Tujuan dari rahasia kedokteran dalam kasus HIV AIDS, selain untuk kepentingan jabatan adalah untuk
menghindarkan pasien dari hal-hal yang merugikan karena terbongkarnya status kesehatan.
Menurut Declaration on the Rights of the Patients yang dikeluarkan oleh WMA memuat hak pasien
terhadap kerahasiaan sbb:

1.

Semua informasi yang teridentifikasi mengenai status kesehatan pasien, kondisi medis, diagnosis,
prognosis, dan tindakan medis serta semua informasi lain yang sifatnya pribadi,
harus dijaga kerahasiaannya, bahkan setelah kematian. Perkecualian untuk kerabat pasien
mungkin mempunyai hak untuk mendapatkan informasi yang dapat memberitahukan mengenai resiko
kesehatan mereka.

1.

Informasi rahasia hanya boleh dibeberkan jika pasien memberikan ijin secara eksplisit atau
memang bisa dapat diberikan secara hukum kepada penyedia layanan kesehatan lain hanya sebatas apa
yang harus diketahui kecuali pasien telah mengijinkan secara eksplisit.

2.

Semua data pasien harus dilindungi. Perlindungan terhadap data harus sesuai selama
penyimpanan. Substansi manusia dimana data dapat diturunkan juga harus dilindungi.
Dalam kasus dimana pasien tidak kompeten dalam membuat keputusan medis, orang lain harus diberi
informasi mengenai pasien tersebut agar dapat mewakili pasien tersebut dalam membuat keputusan.
Dokter secara rutin menginformasikan kepada anggota keluarga pasien yang sudah meninggal tentang
penyebab kematian. Pembeberan terhadap kerahasiaan ini dibenarkan namun harus tetap dijaga
seminimal mungkin, dan bagi siapa yang mendapatkan informasi rahasia tersebut harus dipastikan sadar
untuk tidak mengatakannya lebih jauh lagi dari pada yang diperlukan untuk kebaikan pasien. Jika
mungkin pasien harus diberitahu bahwa telah terjadi pembeberan.

Alasan lain yang dapat diterima terhadap pembeberan kerahasiaan adalah untuk memenuhi tuntutan
hukum. Jika dokter dibujuk untuk memenuhi tuntutan hukum untuk membuka informasi medis
dokter harus melihat secara hati-hati dan kritis terhadap dengan pasien perlunya semua permintaan
hukum untuk pembeberan kerahasiaan dan dari pasien. Contohnya bagi memastikan bahwa hal tersebut
benar sebelum melakukannya. terlebih dahulu meminta ijin pasien sebelum yang berwenang dipanggil.
Hal ini akan lebih baik jika memang akan ada intervensi lebih jauh. Terhadap kerahasiaan yang diminta
oleh hukum, dokter mempunyai tugas etik untuk membagi informasi dengan orang yang mungkin berada
dalam bahaya karena pasien tersebut. Dua keadaan dimana hal ini dapat terjadi adalah saat pasien
mengatakan kepada psikiater bahwa dia berniat menyakiti orang lain dan saat dokter yakin bahwa pasien
yang dihadapinya HIV Positif namun tetap meneruskan hubungan seks yang tidak aman dengan
pasangannya atau dengan orang lain.
Tuntutan terhadap pembeberan kerahasiaan yang tidak diminta oleh hukum namun harus tetap
dilakukan adalah saat dimana akan ada bahaya yang diyakini mengancam, serius dan tidak terbalikkan,
tidak terhindarkan, kecuali dengan membeberkan informasi yang sebenarnya tidak boleh dibeberkan.
Dalam kasus pasien HIV positif pembeberan informai kepada pasangan atau partner seksnya saat itu
bukanlah sesuatu yang tidak etis, dan bahkan dibenarkan jika pasien tidak bersedia menginformasikannya
kepada orang (orang-orang) tersebut bahwa dia (mereka) dalam resiko. Pembenaran dari pembeberan
informasi haruslah berdasar: partner beresiko terinfeksi HIV namun tidak mengetahui kemungkinan
terinfeksi; pasien menolak memberi tahu pasangan seksnya; pasien menolak bantuan dokter untuk
melakukannya; dan dokter telah mengatakan kepada pasien untuk memberitahu pasangannya. Dokter
harus mengungkapkan status penderita HIV pada anak, orangtua, pengasuh atau pasien itu sendiri. Perlu
dilakukan konseling untuk mengatasi efek psikologis dan efek medis dari penyakit, termasuk didalamnya
diskusi antara pasien dan konselor.Pasien harus melaporkan dan mengungkapkan mengenai penyakitnya
baik kepada keluarga, teman, dan lainnya.
Dalam kaitannya dengan pengungkapan informasi HIV AIDS terdapat 3 masalah etik, yaitu ;
1.
2.
3.

Pelanggaran prinsip kebutuhan untuk mengetahui ( need-to-know principle ).


2. Penyalahgunaan surat persetujuan atau otorisasi yang tidak tertentu ( blanket authorization).
Pelanggaran privasi yang terjadi sebagai akibat dari prosedur pengungkapan sekunder
( secondary release ).
Rekam medis bersifat rahasia. Pelepasan informasi pasien menular maupun HIV AIDS dapat diberikan
dengan tetap memperhatikan tujuan maupun kegunaan dari pelepasan informasi tersebut. Hal ini sesuai
dengan UU Praktik Kedokteran No. 29 Tahun 2004 memberikan peluang pengungkapan informasi
kesehatan secara terbatas, yaitu dalam pasal 48 ayat (2):

1.

untuk kepentingan kesehatan pasien

2.

untuk memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum

3.

permintaan pasien sendiri

4.

berdasarkan ketentuan undang-undang


Alasan lain yang diperbolehkan untuk membuka rahasia kedokteran adalah ( Dewi, 2008 Hal 257 ):

1.

Keadaan memaksa
Hal ini diatur di dalam pasal 48 KUHP : Siapapun tak terpidana jika melakukan tindakan karena didorong
oleh keadaan terpaksa.Keadaan ini dapat pula disebut overmatch yang oleh Prof. Moeliono terdapat
dua pengertian ;
Absolute Overmatch
Seseorang dikatakan di dalam keadaan terpaksa apabila ia dihadapkan kepada kekerasan untuk
tekanan jasmani atau rohani sedemikian, hingga ia kehilangan kehendak untuk melakukan suatu hal lain
daripada satu-satunya tindak pidana yang merupakan pelanggaran hukum.
Nisbi Overmatch
Keadaan memaksa timbul karena adanya tekanan rohani sehingga yang bersangkutan berbuat
suatu hal yang pasti tidak akan diperbuatnya, jika keadaan terpaksa atau darurat tersebut tidak ada.

1.

Perintah Jabatan
Pasal 170 KUHP memberikan batasan terkait dengan perintah jabatan sebagai berikut :

1.

Mereka yang karena pekerjaannya, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan
rahasia, dapat dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal
yang dipercayakan kepada mereka.

2.

Hakim menentukan sah atau tidaknya alasan untuk permintaan tersebut, maka pengadilan negeri
yang memutuskan apakah alasan yang dikemukakan saksi atau saksi ahli untuk tidak berbicara iti, layak
dan dapat diterima atau tidak,

3.

Ketentuan Undang-Undang
Pengecualian terhadap wajib simpan rahasia kedokteran juga berlak pada kondisi kondisi darurat seperti
wabah dan bencana alam, kaitannya dalam masalah ini adalah wabah penyakit HIV AIDS. Seorang dokter
maupun petugas kesehatan tidak boleh membiarkan bencana terjadi tanpa penanganan yang semestinya
hal ini diatur dalam UU No 6 Tahun 1962 tentang wabah. Undang-undang ini mewajibkan dokter dan
petugs kesehatan lainnya untuk segera melaporkan kondisi-kondisi luar biasa karena wabah penyakit dan
penyebarannya, sehingga segera bisa ditanggulangi.

Hal lain yang merupakan pengecualian wajib simpan rahasia kedokteran adalah ;

1.

Jika ada persetujuan dari pasien untuk dibuka informasi tersebut

2.

Jika dilakukan komunikasi dokter lain atau perawatlain dari pasien tersebut

3.

Jika informasi tersebut tidak tergolong ke dalam informasi yang sifatnta rahasia

4.

Tujuan dari komunukasi adlah pengobatan.

Sementara itu dokter dan petugas medis diperkenankan mebuka rahasia pasiennya secara terbatas kepada
pihak tertentu asal memenuhi 3 syarat ( Dewi, 2008 Hal 264 ):
1.

Syarat keterbatasan para pihak yang relevan saja. Misalnya kepada suami / Istri, pengadilan,
pihak yang mungkin akan ketularan atau terpapar penyakit tersebut.

2.

Syarat keterbatasan informasi, yakni hanya dibuka sejauh yang diperlukan saja.

3.

Syarat keterbatasan persyaratan, yakni hanya dibuka informasi jika ada persyaratan-persyaratan
tertentu saja seperti misalnya :

1.

Ada resiko penularan penyakit

2.

Secara medis informasi tersebut layak dibuka ( Fuady dalam Dewi, 2008 :264 )

Sedangkan pasal 12 Permenkes 749a menyatakan bahwa:


pemaparan isi rekam medis hanya boleh dilakukan oleh dokter yang merawat pasien dengan ijin
tertulis pasien.
Pimpinan sarana pelayanan kesehatan dapat memaparkan isi rekam medis tanpa seijin pasien
berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Oleh karena pasien adalah pemilik isi rekam medis, maka sarana kesehatan dapat menyerahkan
dengan lebih tidak ragu-ragu, yaitu dapat dalam bentuk fotokopi rekam medis ataupun dalam bentuk surat
keterangan yang memuat resume perjalanan penyakit dan perawatannya selama di sarana kesehatan
tersebut. Rekam medis asli hanya dapat dibawa keluar sarana kesehatan atas perintah pengadilan.
Sedangkan kepada pihak ketiga, setelah memperoleh persetujuan pasien, informasi yang disampaikan
harus memenuhi prinsip need to know, yaitu minimal tapi mencukupi, relevan dan akurat.
Di bidang keamanan rekam medis, Permenkes No 749a/MENKES/ PER/XII/1989 menyatakan dalam
pasal 13, bahwa pimpinan sarana kesehatan bertanggungjawab atas (a) hilangnya, rusaknya, atau
pemalsuan rekam medis, (b) penggunaan oleh orang / Badan yang tidak berhak.
Menurut dr. Tonang Sebenarnyalah secara yuridis tidak berhak membuka/mengetahui medical-record. itu
hak pasien dan/atau keluarga terdekatnya yang memiliki kuasa. Rekam medis bisa dibuka / diketahui
bila :
1.

Pasien/keluarga memberikan kuasa kepada saya secara tertulis

2.

Saya adalah bagian dari Tim dokter yang merawat pasien tersebut, atau mendapatkan kuasa dari
dokter / RS yang merawatnya untuk suatu tujuan tertentu yang rasional dan layak dipertanggung
jawabkan (termasuk untuk urusan pendidikan, penelitian dan kepentingan managerial RS).

3.

Karena perintah pengadilan, saya ditugasi menjadi saksi ahli Dengan semakin banyaknya
pengidap AIDS yang hidup dalam jangka waktu yang lebih lama, semakin banyak pula ditemukan
kasus-kasus di pengadilan yang berkaitan dengan AIDS.
Kepercayaan merupakan standar legal dan etis dari kerahasiaan dimana profesi kesehatan harus
menjaganya. Tanpa pemahaman bahwa pembeberan tersebut akan selalu dijaga kerahasiaannya, pasien
mungkin akan menahan informasi pribadi yang dapat mempersulit dokter dalam usahanya memberikan
intervensi efektif atau dalam mencapai tujuan kesehatan publiktertentu.
Ada banyak kesulitan yang timbul didalam menjaga kerahasiaan informasi pasien yang sensitif
HIV AIDS terutama pada masyarakat Timur yang memiliki kecenderungan untuk berbagi informasi.
Namun dengan sosialiasi dan penanganan yang baik petugas kesehatan dan medis diharapkan dapat
memberikan pengertian terutama pada mereka yang tingkat pendidikannya rendah.
DAFTAR PUSTAKA
Dewi, Alexandra I, 2008. Etika dan Hukum Kesehatan, Yogyakarta : Pustaka Book Publisher
Hatta, Gemala R, 2008. Pedoman Manajemen Informasi Kesehatan Di Sarana Pelayanan Kesehatan,
Jakarta : UI Press.
Republik Indonesia, Peraturan Menteri Kesehatan No. 269 / MENKES/ PER/III Tahun 2008 tentang
Rekam Medis.
Republik Indonesia, Undang Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
Republik Indonesia, Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No: KEP. 68 / MEN/IV/2004
tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/ AIDS di Tempat Kerja
______________, 2006. Panduan Etika Medis, Yogyakarta : TIM Penerjemah PSKI FK UMY
http://www. tonang.staff.uns.ac.id

Anda mungkin juga menyukai