Anda di halaman 1dari 28

JUMP 1

1. Saturasi oksigen : presentasi Hb yang berikatan dengan Oksigen dalam arteri . N =


95-100 %
2. Gurgling : suara kumur-kumur, ada obstruksi yang isinya cairan
3. Patient safety : proses dalam rumah sakit yang memberikan pelayanan pasien agar
lebih aman
4. Sinus takikardi normoaktif :
a. Sinus : gelombang P diikuti QRS
b. Takikardi : > 100 x/ menit
c. Normoaktif : lead I,II , AVF positif (-300 sampai +1200)
5. Apnea : periode henti nafas
6. Rhonik kasar : suara pada pernafasan karena banyak infiltrat. Suara seperti gelembung
yang pecah
JUMP 2
1.
2.
3.
4.
5.

Apakah ada hubungan antara usia dan jenis kelamin dengan keadaan pasien?
Apakah ada hubungan lamanya tenggelam dengan prognosis selanjutnya?
Interpretasi pemeriksaan fisik dan EKG?
Mengapa pasien tidak sadarkan diri?
Mengapa dapat terjadi kelainan-kelainan pada pemeriksaan fisiknya? Bagaimana
patofisiologinya?
6. Mengapa setelah pemeriksaan EKG pasien tiba-tiba apnea?
7. Indikasi resusitasi?
8. Prinsip-prinsip patient safety?
9. Prognosis dan kemungkinan komplikasi?
10. Penanganan awal sebelum pasien tenggelam?
11. Bagaimana penangan awal pasien tenggelam pada dewasa dan anak?
JUMP 3
1. Tenggelam
a. Faktor risiko
Kasus hampir tenggelam di luar ruah lebih banyak terjadi pada laki-laki daripada
perempuan, yaitu 3 : 1. Model ini melaporkan bahwa kelompok usia terbesar
yang mengalami peistiwa tenggelam adalah usia 10-19 tahun, dan 85 % di
antaranya adalah laki-laki
Onyekwelu (2008) menguraikan beberapa faktor yang meningkatkan resiko
terjadinya tenggelam yakni :
A. Pria lebih beresiko untuk mengalami kejadian tenggelam terutama dengan usia
18-24 tahun
B. Kurang pengawasan terhadap anak terutama yang berusia 5 tahun ke bawah
C. Tidak memakai pelampung ketika menjadi penumpang angkutan air
D. Kondisi air melebihi kemampuan perenang, arus kuat dan air yang sangat
dalam.

E. Ditenggelamkan

dengan

paksa

oleh

orang

lain

dengan

tujuan

membunuh,kekerasan atau permainan di luar batas.


b. Etiologi
Banyak hal yang dapat menyebabkan seseorang tenggelam, antara lain, kelelahan
sewaktu berenang, kram otot / perut saat berenang, kecelakaan sewaktu menyelam
( trauma kepala / leher), tidak bisa berenang, kejang / serangan jantung sewaktu
korban berada di dalam air, penggunaan alkohol / penyalahgunaan obat saat
menaiki perahu / berenang, bunuh diri (emedicinehealth.com, 2010).

c. Patofisiologi
Tenggelam pada Air Tawar
Pada korban tenggelam terjadi laringospasme yang dipicu oleh adanya cairan
yang masuk ke orofaring atau laring. Hal ini menyebabkan pasien tidak dapat
bernafas di air sehingga terjadi penurunan kadar oksigen dan peningkatan kadar CO 2
tubuh. Keadaan ini menyebabkan hilangnya mekanisme laringospasme yang diikuti
dengan hiperventilasi sehingga terjadi kemungkinan aspirasi sejumlah cairan saat
tenggelam.
Air tawar lebih hipotonis bila dibandingkan dengan plasma darah. Air yang
teraspirasi dan berada dalam alveoli segera pindah ke sirkulasi darah karena
perbedaan tekanan tersebut. Hal ini menyebabkan peningkatan volume darah,
hemodilusi, dan hemolisis. Hemolisis dapat menyebabkan Kalium intrasel darah
merah keluar sehingga menyebabkan hiperkalemia. Overload dari sirkulasi,
hiperkalemia bersama dengan hipoksia otot jantung menyebabkan penurunan
tekanan sistolik jantung yang dengan cepat diikuti fibrilasi ventrikel. Air tawar juga
dapat merusak surfaktan yang ada pada alveolus sehingga mengganggu fungsi paru
secara normal. Cairan yang teraspirasi serta rusaknya surfaktan akan mengurangi
kemampuan ventilasi paru (Medscape, 2013).
B. Tenggelam pada Air Laut
Pada korban yang tenggelam dalam air laut, air akan ditarik dari sirkulasi
pulmonal ke dalam jaringan interstitial paru karena konsentrasi elektrolit dalam air
laut lebih tinggi daripada dalam darah, sehingga menimbulkan edema pulmoner,
hemokonsentrasi, dan hipovolemi (Budiyanto, 1997).

Hemokonsentrasi akan mengakibatkan sirkulasi menjadi lambat dan


menyebabkan terjadinya payah jantung. Kematian terjadi kira-kira dalam waktu 8-9
menit setelah tenggelam.(Budiyanto et al., 2007). Tenggelam dalam air laut juga
dapat menyebabkan hipotermia akibat suhu air laut yang rendah sehingga terjadi
isolasi atau pertukaran panas tubuh dengan lingkungan. Kondisi hipotermia ini lebih
berbahaya karena dapat menurunkan fungsi fisiologis seseorang yang sebagian besar
respon fisiologis membutuhkan suhu tubuh yang optimal.
Pada waktu air laut teraspirasi ke dalam alveoli, perbedaan osmolaritas
mengakibatkan penarikan air dari pembuluh darah paru menuju ruang alveolar. Hal
tersebut akan menyebabkan gangguan pada pertukaran gas di alveolar, sehingga
menimbulkan hipoksia dan abnormalitas thorax yang disebabkan oleh edema paru
dan atelektasis. Air dalam sirkulasi darah yang diserap oleh alveoli bisa mencapai
42%. Untuk mencegah sel semakin membengkak dan lisis, elektrolit (natrium,
klorida, magnesium dipompa ke dalam darah sehingga menimbulkan sedikit
perubahan pada keseimbangan rasio natrium dan kalium. Konsentrasi elektrolit yang
tinggi dalam air laut mengakibatkan osmosis air secara terusmenerus ke dalam
jaringan paru (Guyton dan Hall, 1997), sehingga terjadi edema pulmoner,
hemokonsentrasi, dan hipovolemi (Budiyanto, et al., 1997). Edema pulmoner akut
dapat terjadi jika terdapat peningkatan permeabilitas kapiler paru (non kardiogenik),
atau saat tekanan hidrostatik kapiler paru melebihi tekanan onkotik plasma
(kardiogenik), atau keduanya. Mekanisme pada korban tenggelam belum diketahui
dengan pasti, tetapi diduga karena peningkatan tekanan kapiler paru dari sistem saraf
simpatis, peningkatan tekanan negatif intra-torakal, atau respon adrenergik terhadap
kondisi di dalam air yang belum dapat dijelaskan secara biokimia (Slade, et al.,
2001). Kematian dapat terjadi dalam 8 sampai 10 menit (Budiyanto, et al., 1997).

d. Proses patologi korban tenggelam

1.

Fase
Tenggelam

Lama (menit)
0-2

Tanda
Menelan air

2.

Aspirasi

0-3

Reflex spasme laring


Spasme hilang

3.

Hipoksia

0-60

Aspirasi
Hipoksia
Peredaran

darah

berhenti
Jaringan otak rusak
irreversibel
Hipotermia
(Sjamsuhidajat dan de Jong, 2005)
e. Klasifikasi
1) Wet drowning
Air terhirup ke dalam paru-paru, sehingga alveolus terisi oleh air.
2) Dry drowning
Air tidak masuk ke dalam paru-paru. Terdapat laringospasme (kompensasi dari
adanya air ke nasofaring/laring)
3) Secondary drowning (Post-immersion syndrome or near drowning)
Kematian terjadi setengah sampai beberapa hari setelah resusitasi akibat
anoxia cerebral dengan gangguan otak yang irreversible. Terdapat gangguan
elektrolit dan asidosis metabolic.
4) Immersion syndrome
Kematian akibat cardiac arrest karena hambatan vagal akibat dari
a. Air dingin menstimulasi nervus ending pada permukaan tubuh
b. Air menyerang epigastrium
c. Air dengan masuk ke ear burns, saluran nafas, faring, laring.

Berdasarkan suhu
1) Tenggelam di air hangat (warm water drowning), bila temperatur air 200C
atau lebih
2) Tenggelam di air dingin (cold water drowning), bila temperatur air di
bawah 200C
3) Tenggelam di air sangat dingin (very cold drowning), bila temperatur air di
bawah 50C

f. Manifestasi klinis
Gambaran klinik korban tenggelam sangat bervariasi berhubungan dengan lamanya
tenggelam. Conn dan Barker mengembangkan suatu klasifikasi yang dianggap bermanfaat

untuk pedoman penilaian dan pengobatan pasien tenggelam. Klasifikasi ini berdasarkan
status neurologis dan sangat berguna bila digunakan dalam 10 menit pertama.
Tabel 1. Gambaran Klinik Mennurut Conn dan Barker
Kategori A (Awake)

Kategori B
(Blunted)

Kategori C (Comatase)

- Sadar (GCS 15)

- Stupor (fungsi

- Koma (desfungsi batang

sianosis, apnoe

kortek memburuk) otak)

beberapa menit

- Respons terhadap - Respons abnormal

dilakukan pertolongan rangsangan.

terhadap rangsangan

kembali bernapas

- Distress

nyeri.

spontan

pernapasan,

- Pernapasan sentral

- Hipotermi ringan

sianosis,

abnormal (disfungsi

- Perubahan radiologis tachypone,

batang otak)

ringan pada dada

perubahan

- Hipotermi

- Laboratorium

auskultasi dada.

- Laboratorium AGDA

AGDA: asidosis

- Perubahan

abnormal

metabolik,

radiologis dada

Pembagian:

hipoksemia, pH < 7,1 - Laboratorium

- C1 (dekortikasi): fleksi

AGDA: asidosis

bila dirangsang nyeri,

metabolik,

pernapasancheyne-stokes.

hipercarbia,

- C2 (deserebrasi):

hipoksemia.

ekstensi terhadap
rangsangan nyeri,
hiperventilasi central
(GCS 4)
- C3 (flaccid): tidak ada
respons terhadap nyeri,
apnoe, atau gagal napas
(GCS 3)
- C4 (deceased): flaccid,
apnoe, sirkulasi tidak
teraba.

Tabel 1. Gambaran Klinik Menurut Conn dan Barker

Pada hipoksia berat (G3, C4) mengalami kegagalan organ multisistem dan
gambaran laboratorium yang abnormal seperti gangguan kardiovaskuler (shock,
dysritmia), gangguan metabolik (Bic-Nat, Kalium, Glukosa,
Calcium), Diseminated Intravaskuler Coagulation, gagal ginjal, dan gangguan
gastrointestinal (perdarahan, pengelupasan mukosa).

g. Tatalaksana
Penanganan pada korban tenggelam dibagi dalam tiga tahap, yaitu:
A. Bantuan Hidup Dasar
Penanganan ABC merupakan hal utama yang harus dilakukan, dengan
fokus utama pada perbaikan jalan napas dan oksigenasi buatan, terutama pada
korban yang mengalami penurunan kesadaran (Wang, 2004). Bantuan hidup
dasar pada korban tenggelam dapat dilakukan pada saat korban masih berada di
dalam air. Prinsip utama dari setiap penyelamatan adalah mengamankan diri
penyelamat lalu korban, karena itu, sebisa mungkin penyelamat tidak perlu
terjun ke dalam air untuk menyelamatkan korban. Namun, jika tidak bisa,
penyelamat harus terjun dengan alat bantu apung, seperti ban penyelamat, untuk
membawa korban ke daratan sambil melakukan penyelamatan. Cedera servikal
biasanya jarang pada korban tenggelam, namun imobilisasi servikal perlu
dipertimbangkan pada korban dengan luka yang berat (Soar, 2010).
Penilaian pernapasan dilakukan pada tahap ini, yang terdiri dari tiga
langkah, yaitu:

Look, yaitu melihat adanya pergerakan dada

Listen, yaitu mendengarkan suara napas

Feel, yaitu merasakan ada tidaknya hembusan napas

Penanganan pertama pada korban yang tidak sadar dan tidak bernapas
dengan normal setelah pembersihan jalan napas yaitu kompresi dada lalu
pemberian napas buatan dengan rasio 30:2. Terdapat tiga cara pemberian napas
buatan, yaitu mouth to mouth, mouth to nose, mouth to mask, dan mouth to neck
stoma (ARC, 2011).

Penanganan utama untuk korban tenggelam adalah pemberian napas


bantuan untuk mengurangi hipoksemia. Pemberian napas buatan inisial yaitu
sebanyak 5 kali. Melakukan pernapasan buatan dari mulut ke hidung lebih
disarankan karena sulit untuk menutup hidung korban pada pemberian napas
mulut ke mulut. Pemberian napas buatan dilanjutkan hingga 10 15 kali selama
sekitar 1 menit. Jika korban tidak sadar dan tenggelam selama <5 menit,
pernapasan buatan dilanjutkan sambil menarik korban ke daratan. Namun, bila
korban tenggelam lebih dari 5 menit, pemberian napas buatan dilanjutkan
selama 1 menit, kemudian bawa korban langsung ke daratan tanpa diberikan
napas buatan (Soar, 2010).
Kompresi dada diindikasikan pada korban yang tidak sadar dan tidak
bernapas dengan normal, karena kebanyakan korban tenggelam mengalami
henti jantung akibat dari hipoksia. Pemberian kompresi ini dilakukan di atas
tempat yang datar dan rata dengan rasio 30:2 (Soar, 2010). Namun, pemberian
kompresi intrinsik untuk mengeluarkan cairan tidak disarankan, karena tidak
terbukti dapat mengeluarkan cairan dan dapat berisiko muntah dan aspirasi
(Shepherd, 2011).
Selama proses pemberian napas, regurgitasi dapat terjadi, baik regurgitasi
air dari paru maupun isi lambung. Hal ini normal terjadi, namun jangan sampai
menghalangi tindakan ventilasi buatan. Korban dapat dimiringkan dan cairan
regurgitasinya dikeluarkan (Soar, 2010).
B. Bantuan Hidup Lanjut
Bantuan hidup lanjut pada korban tenggelam yaitu pemberian oksigen
dengan tekanan lebih tinggi, yang dapat dilakukan dengan BVM (Bag Valve
Mask) atau tabung oksigen (Soar, 2010). Oksigen yang diberikan memiliki
saturasi 100%. Jika setelah pemberian oksigen ini, keadaan korban belum
membaik, dapat dilakukan intubasi trakeal.
Indikasi intubasi yaitu (Sheperd, 2011):

Pasien yang tidak memiliki pO2 lebih dari 60 70 mmHg pada dewasa

atau >80 mmHg pada anak-anak setelah pemberian oksigen 100%

Penurunan kesadaran dan kemampuan untuk mempertahankan jalan

Kegagalan pernapasan, dengan PaCO2 >45 mmHg

Hasil analisis gas darah arterial yang buruk

napas

Beberapa teknik dalam intubasi trakeal yaitu:

CPAP atau BiPAP (bilevel positive airway pressure) dapat digunakan

pada pasien yang kesadarannya baik

PEEP

(positive

end-respiratory

pressure)

digunakan

untuk

mempertahankan oksigenasi yang adekuat dengan cara (Shepherd, 2011):


o

Memindahkan air pada interstitium paru ke kapiler

Meningkatkan volume paru dengan menghindari kolaps jalan napas

Memperbaiki ventilasi alveolar dan menurunkan aliran darah kapiler

Meningkatkan diameter saluran napas untuk meningkatkan efisiensi

ventilasi

ECMO

Bronkoskopi, digunakan untuk mengeluarkan benda asing dari jalan

Terapi surfaktan

napas
Pengukuran titrasi oksigen yang masuk melalui inspirasi dapat dilakukan
dengan oksimetri pulsasi dan analisis gas darah arteri. Setelah pemasangan tuba
trakeal, titrasi oksigen darah dilakukan hingga SaO2 mencapai 94 98% (Soar,
2010).
Korban yang memiliki suhu <320C setelah tenggelam dapat mengalami
penurunan metabolisme dan pemusatan vaskularisasi ke organ vital, yaitu
jantung, paru, dan otak. Selain itu, penurunan suhu ini dapat menyebabkan
fibrilasi ventrikel dan gangguan otak, sehingga dibutuhkan penghangatan yang
segera. Penghangatan ini dapat dilakukan dengan pemberian O 2 yang hangat,
infus cairan isotonik pada 400C, pemasangan pipa nasogastrik, dan pemasangan
kateter urin (Wang, 2004).

C. Perawatan Post-Resusitasi

Sindrom respirasi akut (acute respiratory distress syndrome) biasanya


terdapat pada korban tenggelam. Hal ini dapat ditangani dengan penggunaan
ventilator protektif. Selain itu, perlu ditangani hipoksia yang dapat terjadi (Soar,
2010).
Prognosis dari korban tenggelam tergantung pada beberapa faktor, seperti
lama waktu tenggeam, temperatur air, tonisitas air, gejala, cedera yang
menyertai korban seperti cedera spinal, teknik penyelamatan, dan respon korban
terhadap resusitasi inisial (Wang, 2004).

h. Komplikasi
i. Prognosis
Prognosis pada pasien tenggelam sulit diperkirakan. Resusitasi dalam 30 menit
pertama prognosisnya akan baik. Beberapa faktor berpengaruh terhadap prognosis
tenggelam, yaitu lamanya berada didalam air, lama dan derajat hipoterimia, umur
penderita, tipe kontaminan pada air, lamanya henti napas, lamanya henti jantung,
cepatnya dan efektivitasnya pertolongan .
Sedangkan faktor risiko yang telah diidentifikasi sebagai indikator cedera
neurologis

ireversibel

dan

mortalitas,

yaitu:

1) Usia kurang dari 3 tahun.


2) Tenggelam lebih dari 5 menit.
3) Resusitasi tidak dilakukan selama 10 menit setelah diselamatkan.
4) Kejang, pupil dilatasi, postur deserebrasi, ekstremitas flaccid dan/atau koma.
5) Asistol saat tiba di instalasi gawat darurat.
6) pH darah arteri <7,1 .
7) Kadar gula darah meningkat.
8) Glasgow Coma Scale <5.
9) Apnea setelah resusitasi kardiopulmoner (Garcia, 2003).
Cedera sistem saraf pusat tetap menjadi penentu utama kelangsungan hidup
selanjutnya dan morbiditas jangka panjang pada kasus tenggelam. Dua menit setelah
tenggelam, anak-anak akan mengalami penurunan kesadaran. Kerusakan otak yang
ireversibel biasanya terjadi setelah 4-6 menit. Sebagian besar anak-anak yang
selamat ditemukan selama 2 menit saat tenggelam. Sebagian besar anak-anak yang
meninggal ditemukan setelah 10 menit (Cantwell, 2013).
Pasien yang sadar atau tampak sedikit letargi memiliki peluang yang baik
untuk sembyh total. Pasien koma, yang dilakukan RJP di instalasi gawat darurat,

atau yang pupilnya dilatasi dan tidak ada respirasi spontan memiliki prognosis yang
buruk. Berdasarkan beberapa penelitian, 35-60% pasien memerlukan RJP lanjutan
sesampainya di instalasi gawat darurat meninggal dan 60-100% survaiver pada
kelompok ini mengalami gangguan neurologis dalm jangka waktu yang lama.
Penelitian pediatrik mengindikasi kematian mortalitas paling tidak terjadi 30% pada
anak-anak yang memerlukan perawatan khusus untuk tenggelam di pediatric
intensive care unit (PICU). Kerusakan otak yang parah terjadi dengan sebesar 1030% (Cantwell, 2013).
Efek neuroprotektif tenggelam di air dingin kurang dipahami. Kelangsungan
hidup yang seutuhnya pada pasien koma setelah tenggelam di air yang dingin jarang
terjadi. Hipotermia menurunkan tingkat metabolik serebral secara mendalm, tetapi
efek neuroprotektif terjadi jika hanya hipotermia terjadi sewaktu tenggelam dan
hanya jika suhu dingin sangat cepat terjadi di dalam air dengan temperatur kurang
dari 5C (misalnya, pada orang yang menerobos es hingga masuk ke dalam air)
(Cantwell, 2013).
Morbiditas dan kematian akibat tenggelam disebabkan terutama oleh
laringospasme dan cedera paru, sehingga hipoksemia dan asidosis, dan efeknya pada
otak dan sistem organ lainnya. Risiko tinggi kematian terjadi secara sekunder pada
perkembangan selanjutnya dari sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS). Tingkat
kematian pada orang dewasa sulit diukur karena pelaporan yang buruk dan catatan
yang dijaga tidak konsisten. Tiga puluh lima persen dari episode tenggelam pada
anak-anak

fatal; 33% dari episode mengakibatkan beberapa tingkat gangguan

neurologis, dengan 11% mengakibatkan gejala sisa neurologis yang berat. Laporan
anekdotal pada pasien hidup yang tercatat pada anak-anak dengan tenggelam dengan
hipotermia sedang (suhu inti <32 C), tetapi kebanyakan orang mengalami
tenggelam di air dingin tidak mengalami hipotermia yang cukup cepat untuk
mengurangi metabolisme otak sebelum terjadi keparahan, terjadi hipoksia ireversibel
dan iskemia (Cantwell, 2013).

2. Pemeriksaan fisik
Tenggelam akan

menyebabkan saluran pernafasan bawah terdapat dalam

permukaan cairan, secara sadar akan menahan nafas dan terdapat periode involunteer
dari laringospasme sekunder. Karena tidak ada udara untuk bernafas, kadar oksigen
tidak tercukupi dan karbondioksida tidak dapat dikeluarkan sehiongga terjadi
hiperkarbia, hipoksemia, dan asidosis. Pergerakan sistem saluran pernafasan menjadi
sangat aktif tetapi tidak ada pertukaran gas karena sumbatan pada laring yang
mengakibatkan suara gurgling dan keberadaan cairan yang masuk dank e paru
menyebabkan suara ronkhi basah terdengar saat auskultasi, cairan yang masuk saluran
pencernaan mengakibatkan distensi abdominal.
a. Kesadaran (GCS)
b. Tekanan darah
c. Nadi
d. Saturasi oksigen
e. Suhu tubuh
f. Auskultasi paru
g. Abdomen distensi
h. Mukosa sianosis
i. EKG
j. RR
3. Pemeriksaan penunjang
Stone, CK., Humphries, R., 2004 menyebutkan bahwa dalam pemeriksaan
urinalisis dapat ditemukan proteinuria, hemoglobinuria, dan ketonuria. Selain itu,
asidosis metabolis selalu terjadi pada korban tenggelam.
Pemeriksaan penunjang lainnya yang dilakukan pada korban tenggelam adalah
:
A. Pemeriksaan darah rutin untuk mengevaluasi elektrolit, kadar gula darah, dan
fungsi ginjal
B. Pemeriksaan Analisis

Gas

Darah

untuk

menentukan

oksigenasi

dan

keseimbangan asam basa tubuh


C. Tes toksikologi untuk mengetahui adanya penggunaan alkohol / penyalahgunaan
obat
D. Rontgen dada dan leher untuk mengetahui adanya trauma / adanya cairan di
paru-paru
E. CT-Scan untuk mengetahui adanya kerusakan otak

F. EKG untuk mengetahui fungsi jantung (emedicinehealth.com, 2010).


4. Apnea
a. Tanda-tanda
b. tatalaksana
5. Resusitasi
6. Hipotermi
Tatalaksana
Untuk mencegah kehilangan panas lebih lagi, lepaslah pakaian dingin dari korban,
isolasi korban dari angin, panas, atau dingin, dan jika mungkin, ventilasi korban
dengan oksigen yang hangat dan lembab.
Cegah perpindahan yang kasar, dan transpostasi korban ke rumah sakit sesegera
mungkin
7. Patient safety
WHO Collaborating Centre for Patient Safety pada tanggal 2 Mei 2007 resmi
menerbitkan Nine Life Saving Patient Safety Solutions (Sembilan Solusi LifeSaving Keselamatan Pasien Rumah Sakit). Panduan ini mulai disusun sejak tahun
2005 oleh pakar keselamatan pasien dan lebih 100 negara, dengan mengidentifikasi
dan mempelajari berbagai masalah keselamatan pasien.
Sebenarnya

petugas

kesehatan

tidak

bermaksud

menyebabkan

cedera

pasien,tetapi fakta tampak bahwa di bumi ini setiap hari ada pasien yang mengalami
KTD (Kejadian Tidak Diharapkan). KTD, baik yang tidak dapat dicegah (non error)
mau pun yang dapat dicegah (error), berasal dari berbagai proses asuhan pasien.
Solusi keselamatan pasien adalah sistem atau intervensi yang dibuat, mampu
mencegah atau mengurangi cedera pasien yang berasal dari proses pelayanan
kesehatan. Sembilan Solusi ini merupakan panduan yang sangat bermanfaat
membantu RS, memperbaiki proses asuhan pasien, guna menghindari cedera maupun
kematian yang dapat dicegah.
Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) mendorong RS-RS di
Indonesia untuk menerapkan Sembilan Solusi Life-Saving Keselamatan Pasien
Rumah Sakit, atau 9 Solusi, langsung atau bertahap, sesuai dengan kemampuan dan
kondisi RS masing-masing.
A. Perhatikan Nama Obat, Rupa dan Ucapan Mirip (Look-Alike, Sound-Alike
Medication Names).
Nama Obat Rupa dan Ucapan Mirip (NORUM),yang membingungkan staf
pelaksana adalah salah satu penyebab yang paling sering dalam kesalahan obat
(medication error) dan ini merupakan suatu keprihatinan di seluruh dunia.

Dengan puluhan ribu obat yang ada saat ini di pasar, maka sangat signifikan
potensi terjadinya kesalahan akibat bingung terhadap nama merek atau generik
serta kemasan. Solusi NORUM ditekankan pada penggunaan protokol untuk
pengurangan risiko dan memastikan terbacanya resep, label, atau penggunaan
perintah yang dicetak lebih dulu, maupun pembuatan resep secara elektronik.
B. Pastikan Identifikasi Pasien.
Kegagalan yang meluas dan terus menerus untuk mengidentifikasi pasien
secara benar sering mengarah kepada kesalahan pengobatan, transfusi maupun
pemeriksaan; pelaksanaan prosedur yang keliru orang; penyerahan bayi kepada
bukan keluarganya, dsb. Rekomendasi ditekankan pada metode untuk verifikasi
terhadap identitas pasien, termasuk keterlibatan pasien dalam proses ini;
standardisasi dalam metode identifikasi di semua rumah sakit dalam suatu sistem
layanan kesehatan; dan partisipasi pasien dalam konfirmasi ini; serta penggunaan
protokol untuk membedakan identifikasi pasien dengan nama yang sama.
C. Komunikasi Secara Benar saat Serah Terima / Pengoperan Pasien.
Kesenjangan dalam komunikasi saat serah terima/ pengoperan pasien antara
unit-unit pelayanan, dan didalam serta antar tim pelayanan, bisa mengakibatkan
terputusnya kesinambungan layanan, pengobatan yang tidak tepat, dan potensial
dapat mengakibatkan cedera terhadap pasien. Rekomendasi ditujukan untuk
memperbaiki pola serah terima pasien termasuk penggunaan protokol untuk
mengkomunikasikan informasi yang bersifat kritis; memberikan kesempatan bagi
para praktisi untuk bertanya dan menyampaikan pertanyaan-pertanyaan pada saat
serah terima,dan melibatkan para pasien serta keluarga dalam proses serah terima.
D. Pastikan Tindakan yang benar pada Sisi Tubuh yang benar.
Penyimpangan pada hal ini seharusnya sepenuhnya dapat dicegah. Kasuskasus dengan pelaksanaan prosedur yang keliru atau pembedahan sisi tubuh yang
salah sebagian besar adalah akibat dan miskomunikasi dan tidak adanya informasi
atau informasinya tidak benar. Faktor yang paling banyak kontribusinya terhadap
kesalahan-kesalahan macam ini adalah tidak ada atau kurangnya proses pra-bedah
yang distandardisasi. Rekomendasinya adalah untuk mencegah jenis-jenis
kekeliruan yang tergantung pada pelaksanaan proses verifikasi prapembedahan;
pemberian tanda pada sisi yang akan dibedah oleh petugas yang akan
melaksanakan prosedur; dan adanya tim yang terlibat dalam prosedur Time out

sesaat sebelum memulai prosedur untuk mengkonfirmasikan identitas pasien,


prosedur dan sisi yang akan dibedah.
E. Kendalikan Cairan Elektrolit Pekat (concentrated).
Sementara semua obat-obatan, biologics, vaksin dan media kontras memiliki
profil risiko, cairan elektrolit pekat yang digunakan untuk injeksi khususnya
adalah berbahaya. Rekomendasinya adalah membuat standardisasi dari dosis, unit
ukuran dan istilah; dan pencegahan atas campur aduk / bingung tentang cairan
elektrolit pekat yang spesifik.
F. Pastikan Akurasi Pemberian Obat pada Pengalihan
Pelayanan.Kesalahan medikasi terjadi paling sering pada saat transisi /
pengalihan. Rekonsiliasi (penuntasan perbedaan) medikasi adalah suatu proses
yang didesain untuk mencegah salah obat (medication errors) pada titik-titik
transisi pasien. Rekomendasinya adalah menciptakan suatu daftar yang paling
lengkap dan akurat dan seluruh medikasi yang sedang diterima pasien juga
disebut sebagai home medication list, sebagai perbandingan dengan daftar saat
admisi, penyerahan dan / atau perintah pemulangan bilamana menuliskan perintah
medikasi; dan komunikasikan daftar tsb kepada petugas layanan yang berikut
dimana pasien akan ditransfer atau dilepaskan.
G. Hindari Salah Kateter dan Salah Sambung Slang (Tube).
Slang, kateter, dan spuit (syringe) yang digunakan harus didesain sedemikian
rupa agar mencegah kemungkinan terjadinya KTD (Kejadian Tidak Diharapkan)
yang bisa menyebabkan cedera atas pasien melalui penyambungan spuit dan
slang yang salah, serta memberikan medikasi atau cairan melalui jalur yang
keliru. Rekomendasinya adalah menganjurkan perlunya perhatian atas medikasi
secara detail / rinci bila sedang mengenjakan pemberian medikasi serta pemberian
makan (misalnya slang yang benar), dan bilamana menyambung alat-alat kepada
pasien (misalnya menggunakan sambungan & slang yang benar).
H. Gunakan Alat Injeksi Sekali Pakai.
Salah satu keprihatinan global terbesar adalah penyebaran dan HIV, HBV, dan
HCV yang diakibatkan oleh pakai ulang (reuse) dari jarum suntik.
Rekomendasinya adalah penlunya melarang pakai ulang jarum di fasilitas layanan
kesehatan; pelatihan periodik para petugas di lembaga-lembaga layanan
kesehatan khususnya tentang prinsip-pninsip pengendalian infeksi,edukasi

terhadap pasien dan keluarga mereka mengenai penularan infeksi melalui


darah;dan praktek jarum sekali pakai yang aman.
I. Tingkatkan Kebersihan Tangan (Hand hygiene) untuk Pencegahan lnfeksi
Nosokomial.
Diperkirakan bahwa pada setiap saat lebih dari 1,4 juta orang di seluruh dunia
menderita infeksi yang diperoleh di rumah-rumah sakit. Kebersihan Tangan yang
efektif adalah ukuran preventif yang pimer untuk menghindarkan masalah ini.
Rekomendasinya adalah mendorong implementasi penggunaan cairan alcoholbased hand-rubs tersedia pada titik-titik pelayan tersedianya sumber air pada
semua kran, pendidikan staf mengenai teknik kebarsihan taangan yang benar
mengingatkan penggunaan tangan bersih ditempat kerja; dan pengukuran
kepatuhan penerapan kebersihan tangan melalui pemantauan / observasi dan
tehnik-tehnik yang lain
8. Presume consent
Bila pasien dalam keadaan gawat darurat, sedangkan dokter memerlukan tindakan
segera, sementara pasien tidak bisa memberi persetujuan dan keluarganya pun tidak di
tempat maka dokter dapat melakukan tindakan medic terbaik menurut dokter guna
menyelamatkan nyawa pasien (Permenkes No. 585 tahun 1989 pasal 11) disebut
presumed consent. Artinya bila pasien dalam keadaan sadar, dianggap akan
menyetujui tindakan yang akan dilakukan dokter (Hanafiah dan Amir, 2007).
9. Mekanisme syok karsinogenik
Syok kardiogenik disebabkan oleh kegagalan faal pompa jantung yang mengakibatkan curah
jantung menjadi kecil atau berhenti sama sekali. Secara mekanisme mungkin disebabkan oleh
robeknya dinding ventrikel, regurgitasi oleh karena infark juga mengenai katub jantung,
aritmia, atau disfungsi dari ventrikel kiri, kanan ataupun keduanya.
Pada robeknya dinding ventrikel terjadi 3-6 hari sesudah infark diikuti dengan tamponade dan
syok dan peninggian CVP serta tekanan baji pada arteri pulmonalis. Sedangkan regurgitasi
dapat terjadi karena infark mengenai muskulus papilaris. Disfungsi dari ventrikel kanan dapat
dilihat dari meningginya CVP sedangkan pada ventrikel kiri ditandai dengan edema paru.
Kegagalan pompa jantung menyebabkan terjadinya penurunan curah jantung (cardiac output)
dan menyebabkan kegagalan perfusi ke jaringan, akibatnya berbagai organ mengalami
kekurangan oksigen sementara terjadi kompensasi tubuh untuk mempertahankan pengaliran
darah ke otak.
Syok kardiogenik dapat dipandang sebagai bentuk yang berat dari kegagalan ventrikel kiri.
Penurunan kontraktilitas jantung mengurangi curah jantung dan meningkatkan volume dan
tekanan akhir diastolik ventrikel kiri sehingga menyebabkan kongesti paru dan edema.
Dengan menurunnya tekanan arteri sistemik, maka terjadi perangsangan baroreseptor pada

aorta dan sinus karotikus. Perangsangan simpatoadrenal menimbulkan reflek vasokonstriksi,


takikardi, dan peningkatan kontraktilitas untuk menambah curah jantung dan menstabilkan
tekanan darah. Kontraktilitas akan terus meningkat melalui hukum starling melalui retensi
natrium dan air. Jadi menurunnya kontraktilitas pada syok kardiogenik akan memulai respon
kompensatorik yang meningkatkan beban akhir dan beban awal. Meskipun mekanisme ini
pada mulanya akan meningkatkan tekanan arteri darah dan perfusi jaringan, namun efeknya
terhadap miokard justru buruk karena meningkatkan beban kerja jantung dan kebutuhan
oksigen miokard. Aliran darah koroner yang tidak memadai (terbukti dengan adanya infark)
menyebabkan meningkatnya ketidakseimbangan antara kebutuhan dan suplai oksigen
terhadap miokardium.
Syok kardiogenik dicirikan oleh lingkaran setan (vicious circle) dimana terjadi penurunan
kontraktilitas miokardium (depression of myocardial contractility), biasanya karena iskemia,
menyebabkan pengurangan cardiac output dan tekanan arteri (arterial pressure), dimana
menghasilkan hipoperfusi miokardium dan iskemia lanjutan dan penurunan cardiac output.
Disfungsi miokardial sistolik mengurangi stroke volume; dan bersama dengan disfungsi
diastolik, memicu peninggian tekanan end-diastolic ventrikel kiri dan pulmonary capillary
wedge pressure/PCWP (> 18 mmHg) seperti pada kongesti paru.
Penurunan/pengurangan perfusi koroner memacu pemburukan iskemia, disfungsi
miokardium progresif, dan spiral menurun yang cepat (rapid downward spiral), bilamana jika
tidak diputus, seringkali menyebabkan kematian (Anurogo, 2009).
Sindrom respon peradangan sistemik [systemic inflammatory response syndrome (SIRS)]
dapat menyertai infark yang luas dan syok. Sitokin peradangan (inflammatory cytokines),
inducible nitric oxide synthase (INOS), dan kelebihan nitric oxide dan peroxynitrite dapat
berkontribusi terhadap asal-usul (genesis) syok kardiogenik sebagaimana yang mereka
lakukan terhadap bentuk lain syok. Asidosis laktat dari perfusi jaringan yang buruk dan
hipoksemia dari edem paru (pulmonary edema) dapat sebagai hasil dari kegagalan pompa dan
kemudian berkontribusi terhadap lingkaran setan ini dengan memburuknya iskemia
miokardium dan hipotensi. Asidosis berat (pH < 7,25) mengurangi daya
kemanjuran/efektivitas (efficacy) yang secara endogen dan eksogen telah diberi katekolamin
(catecholamines) (Anurogo, 2009).
Manifestasi klinis
Syok kardiogenik ditandai oleh hal-hal berikut :

Tekanan arteri sistolik < 90 mmHg atau 30-60 mmHg dibawah batas
bawah sebelumnya
Adanya bukti penurunan aliran darah ke sistem organ-organ utama :

Keluaran urin < 20 ml/jam, biasanya disertai penurunan kadar natrium dalam urin

Vasokonstriksi perifer yang disertai gejala kulit dingi dan lembab

Gangguan fungsi mental

Indeks jantung < 2,1 L/menit/m2

Bukti gagal jantung kiri dengan LVEDP/tekanan baji kapiler paru (PCWP) 18-21 mmHg
Menurut Mubin (2008), diagnosis syok kardiogenik adalah berdasarkan:

Keluhan Utama Syok Kardiogenik


Oliguri (urin < 20 mL/jam).
Mungkin ada hubungan dengan IMA (infark miokard akut).
Nyeri substernal seperti IMA.
Tanda Penting Syok Kardiogenik
1. Tensi turun < 80-90 mmHg.
2. Takipneu dan dalam.
3. Takikardi.
4. Nadi cepat, kecuali ada blok A-V.
5. Tanda-tanda bendungan paru: ronki basah di kedua basal paru.
6. Bunyi jantung sangat lemah, bunyi jantung III sering terdengar.
7. Sianosis.
8. Diaforesis (mandi keringat).
9. Ekstremitas dingin.
10. Perubahan mental.

10. Terapi oksigen


Terapi oksigen adalah suatu tindakan untuk meningkatkan tekanan parsial oksigen pada
inspirasi, yang dapat dilakukan dengan cara meningkatkan kadar oksigen inspirasi / FiO2
(Orthobarik ), dan meningkatkan tekanan oksigen (Hiperbarik), tujuan dari terapi oksigen
ini adalah untuk meningkatkan konsentrasi O2 pada darah arteri sehingga masuk ke
jaringan untuk memfasilitasi metabolisme aerob, dan mempertahankan PaO 2 > 60 mmHg
atau SaO2 > 90 %. Indikasi pemberian terapi oksigen ini adalah pasien hipoksia,
oksigenasi kurang sedangkan paru normal, oksigenasi cukup sedangkan paru tidak
normal, oksigenasi cukup, paru normal, sedangkan sirkulasi tidak normal, pasien yang
membutuhkan pemberian oksigen konsentrasi tinggi, dan pada pasien dengan tekanan
partial karbondioksida ( PaCO2 ) rendah. Tekhnik pemberian terapi oksigen ini bisa
dengan sistem aliran rendah seperti, kateter nasal, kanul nasal / kanul binasal / nasal
prong, sungkup muka sederhana, sungkup muka dengan kantong rebreathing,

dan

sungkup muka dengan kantong non rebreathing. Bisa juga dengan tekhnik aliran tinggi
seperti, sungkup muka dengan venturi / Masker Venturi (High flow low concentration),
Bag and Mask / resuscitator manual, dan Collar trakeostomi. Pemberian terapi oksigen
dapat mengakibatkan kebakaran, iritasi saluran pernapasan, keracunan oksigen, kejang
bahkan sampai koma.
Tujuan

a.

Meningkatkan konsentrasi O2 pada darah arteri sehingga masuk ke jaringan


untuk memfasilitasi metabolisme aerob

b.

Mempertahankan PaO2 > 60 mmHg atau SaO2 > 90 % untuk :


-

Mencegah dan mengatasi hipoksemia / hipoksia serta mmempertahankan


oksigenasi jaringan yang adekuat.

Menurunkan kerja nafas dan miokard.

Menilai fungsi pertukaran gas


Alat

Aliran (L/menit)

Fi

O2 (fraksi

inspirasi)
0,24

0,28

Kanula

0,32

nasal

0,36

0,40

6
5-6

0,44
0,40

6-7

0,50

7-8
6

0,60
0,60

0,70

0,80

0,80

10

0,80

Masker
oksigen
Masker
dengan
kantong
reservoir

oksigen

II.3. Indikasi
a. Pasien hipoksia
Hipoksia hipoksik merupakan masalah pada individu normal pada daerah ketinggian serta
merupakan penyulit pada pneumonia dan berbagai penyakit sistim pernafasan lainnya.
Gejala dan tanda hipoksia hipoksik:
1. Pengaruh penurunan tekanan barometer
Penurunan PCO2 darah arteri yang terjadi akan menimbulkan alkalosis respiratorik.
2. Gejala hipoksia saat bernafas oksigen
Di ketinggian 19.200 m, tekanan barometer adalah 47 mmHg, dan pada atau lebih rendah
dari tekanan ini cairan tubuh akan mendidih pada suhu tubuh. Setiap orang yang terpajan

pada tekanan yang rendah akan lebih dahulu meninggal saat hipoksia, sebelum gelembung
uap air panas dari dalam tubuh menimbulkankematian.
3. Gejala hipoksia saat bernafas udara biasa
Gejala mental seperti irritabilitas, muncul pada ketinggian sekitar 3700 m. Pada ketinggian
5500 m, gejala hipoksia berat, dan diatas 6100 m, umumnya seseorang hilang kesadaran.
4. Efek lambat akibat ketinggian
Keadaan ini ditandai dengan sakit kepala, iritabilias, insomnia, sesak nafas, serta mual dan
muntah.
5. Aklimatisasi
Respon awal pernafasan terhadap ketinggian relatif ringan, karena alkalosis cenderung
melawanefek perangsangan oleh hipoksia. Timbulnya asidosis laktat dalam otak akan
menyebabkan penurunan pH LCSdan meningkatkan respon terhadap hipoksia.
Penyakit yang menyebabkan Hipoksia Hipoksik
Penyakit penyebabnya secara kasar dibagi atas penyakit dengan kegagalan organ
pertukaran gas, penyakit seperti kelainan jantung kongenital dengan sebagian besar darah
dipindah dari sirkulasi vena kesisi arterial, serta penyakit dengan kegagalan pompa
pernafasan. Kegagalan paru terjadi bilakeadan seperti fibrosis pulmonal menyebabkan
blok alveoli kapiler atau terjadi ketidak seimbangan ventilasi perfusi. Kegagalan
pompa dapat disebabkan oleh kelelahan otot-otot pernafasan pada keadaan dengan
peningkatan beban kerja pernafasan atau oleh berbagai gangguan mekanik seperti
pneumothoraks atau obstruksi bronkhialyang membatasi ventilasi. Kegagalan dapat pula
disebabkan oleh abnormalitas pada mekanisme persarafan yang mengendalikan ventilasi,
seperti depresi neuron respirasi di medula oblongata oleh morfin dan obat-obat lain.
Hipoksia Anemik
Sewaktu istirahat,hipoksia akibat anemia tidaklah berat, karena terdapat peningkatan kadar
2,3-DPG didalam sel darah merah,kecuali apabila defisiensi hemoglobin sangat besar.
Meskipun demikian, penderita anemia mungkin mengalami kesulitan cukup besar sewaktu
melakukan latihan fisik karena adanya keterbatasan kemampuan meningkatkan
pengangkutan O2 kejaringan aktif.
Hipoksia Stagnan
Hipoksia akibat sirkulasi lambat merupakan masalah bagi organ seperti ginjal dan jantung
saat terjadi syok. Hati dan mungkin jaringan otak mengalami kerusakan akibat hipoksia

stagnan pada gagal jantung kongestif. Pada keadaan normal, aliran darah ke paru-paru
sangat besar, dan dibutuhkan hipotensi jangka waktu lama untuk menimbulkan kerusakan
yang

berarti.

Namun,

syok

paru

dapat

terjadi

pada

kolaps

sirkulasi

berkepanjangan,terutama didaerah paru yang letaknya lebih tinggi dari jantung.


Hipoksia Histotoksik
Hipoksia yang disebabkan oleh hambatan proses oksidasi jaringan paling sering
diakibatkan oleh keracunan sianida. Sianida menghambat sitokrom oksidasi serta mungkin
beberapa enzim lainnya. Biru metilen atau nitrit digunakan untuk mengobati keracunan
sianida. Zat-zat tersebut bekerja dengan sianida, menghasilkan sianmethemoglobin, suatu
senyawa non toksik. Kemampuan pengobatan menggunakansenyawa ini tentu saja terbatas
pada jumlah methemoglobin yang dapat dibentuk dengan aman. Pemberian terapi oksigen
hiperbarik mungkin juga bermanfaat.
b. Oksigenasi kurang sedangkan paru normal
c. Oksigenasi cukup sedangkan paru tidak normal
d. Oksigenasi cukup, paru normal, sedangkan sirkulasi tidak normal.
e. Pasien yang membutuhkan pemberian oksigen konsentrasi tinggi.
f. Pasien dengan tekanan partial karbondioksida ( PaCO2 ) rendah.
Contoh :
-

Pasien dengan kadar O2 arteri rendah dari hasil AGD

Pasien dengan peningkatan kerja napas dimana tubuh terjadi hipoksemia ditandai

dengan PaO2 dan SpO2 menurun. Pasien yang teridentifikasi hipoksemia contohnya syok dan
keracunan CO.
-

Pasien dengan peningkatan kerja miokard, dimana jantung berusaha untuk mengatasi

gangguan O2 melalui peningkatan laju pompa jantung yang adekuat.


-

Beberapa trauma

Terapi ini diberikan dengan orang yang mempunyai gejala :


- Sianosis

- Keracunan

- Hipovolemi

- Asidosis

- Perdarahan

- Selama dan sesudah pembedahan

- Anemia berat

- Klien dengan keadaan tidak sadar

Kriteria pemberian terapi oksigen tersebut dapat dilakukan dengan beberapa cara
dibawah ini.

1. Pemberian oksigen secara berkesinambungan (terus menerus), Diberikan apabila


hasil analisis gas darah pada saat istirahat, didapat nilai:

PaO2 kurang dari 55 mmHg atau saturasi kurang dari 88%.

PaO2 antara 56-59 mmHg atau saturasi 89% disertai kor pulmonale,

polisitemia (hematokrit >56%).


2. Pemberian secara berselang
Diberikan apabila hasil analisis gas darah saat latihan didapat nilai:

Pada saat latihan PaO2 55 mmHg atau saturasi 88%

Pada saat tidur PaO255 mmHg atau saturasi 88% disertai komplikasi seperti

hipertensi pulmoner.somnolen dan aritmia.


Pasien dengan keadaan klinik tidak stabil yang mendapat terapi oksigen perlu
dievaluasi gas darah (AGD) serta terapi untuk menentukan perlu tidaknya terapi
oksigen jangka panjang.
Kontra Indikasi
Tidak ada kontra indikasi absolut :
a. Kanul nasal / Kateter binasal / nasal prong : jika ada obstruksi nasal.
b. Kateter nasofaringeal / kateter nasal : jika ada fraktur dasar tengkorak kepala, trauma
maksilofasial, dan obstruksi nasal.
c. Sungkup muka dengan kantong rebreathing : pada pasien dengan PaCO2 tinggi, akan lebih
meningkatkan kadar PaCO2 nya lagi.
Protokol Prosedur
Dapat dibagi menjadi 2 tehnik, yaitu :
Sistem Aliran Rendah
Sistem aliran rendah diberikan untuk menambah konsentrasi udara ruangan, bekerja dengan
memberikan oksigen pada frekuensi aliran kurang dari volume inspirasi pasien, sisa volume
ditarik dari udara ruangan. Karena oksigen ini bercampur dengan udara ruangan, maka FiO2
aktual yang diberikan pada pasien tidak diketahui, menghasilkan FiO2 yang bervariasi
tergantung pada tipe pernafasan dengan patokan volume tidal klien. Alat oksigen aliran
rendah cocok untuk pasien stabil dengan pola nafas, frekuensi dan volume ventilasi normal,
misalnya klien dengan Volume Tidal 500 ml dengan kecepatan pernafasan 16 20 kali
permenit.
Contoh sistem aliran rendah adalah :

Low flow low concentration :


a. Kateter nasal
b. Kanul nasal / kanul binasal / nasal prong.
Low flow high concentration
a.

Sungkup muka sederhana.

b.

Sungkup muka dengan kantong rebreathing

c.

Sungkup muka dengan kantong non rebreathing.

a. Kateter Nasal
Merupakan suatu alat sederhana yang dapat memberikan oksigen secara kontinyu dengan
aliran 1 6 liter/mnt dengan konsentrasi 24% - 44%. Prosedur pemasangan kateter ini
meliputi insersi kateter oksigen ke dalam hidung sampai naso faring. Persentase oksigen yang
mencapai paru-paru beragam sesuai kedalaman dan frekuensi pernafasan, terutama jika
mukosa nasal membengkak.
a. Keuntungan Pemberian oksigen stabil, klien bebas bergerak, makan dan berbicara, dan
membersihkan mulut, murah dan nyaman serta dapat juga dipakai sebagai kateter
penghisap. Dapat digunakan dalam jangka waktu yang lama.
b. Kerugian Tidak dapat memberikan konsentrasi oksigen yang lebih dari 44%, tehnik
memasukan kateter nasal lebih sulit dari pada kanula nasal, nyeri saat kateter melewati
nasofaring, dan mukosa nasal akan mengalami trauma, fiksasi kateter akan memberi
tekanan pada nostril, maka kateter harus diganti tiap 8 jam dan diinsersi kedalam nostril
lain, dapat terjadi distensi lambung, terjadi iritasi selaput lendir nasofaring, aliran dengan
lebih dari 6 liter/mnt dapat menyebabkan nyeri sinus dan mengeringkan mukosa hidung,
serta kateter mudah tersumbat dan tertekuk.
b. Kanul Nasal/ Binasa/ Nasal Prong
Merupakan suatu alat sederhana yang dapat memberikan oksigen kontinyu dengan aliran 1
6 liter/mnt dengan konsentrasi oksigen sama dengan kateter nasal yaitu 24 % - 44 %.
Persentase O2 pasti tergantung ventilasi per menit pasien. Pada pemberian oksigen dengan
nasal kanula jalan nafas harus paten, dapat digunakan pada pasien dengan pernafasan mulut.
FiO2 estimation :
Flows FiO2
1 Liter /min : 24 %
2 Liter /min : 28 %
3 Liter /min : 32 %

4 Liter /min : 36 %
5 Liter /min : 40 %
6 Liter /min : 44 %
Formula : ( Flows x 4 ) + 20 % / 21 %
a. Keuntungan
Pemberian oksigen stabil dengan volume tidal dan laju pernafasan teratur, pemasangannya
mudah dibandingkan kateter nasal, murah, disposibel, klien bebas makan, minum, bergerak,
berbicara, lebih mudah ditolerir klien dan terasa nyaman. Dapat digunakan pada pasien
dengan pernafasan mulut, bila pasien bernapas melalui mulut, menyebabkan udara masuk
pada waktu inhalasi dan akan mempunyai efek venturi pada bagian belakang faring sehingga
menyebabkan oksigen yang diberikan melalui kanula hidung terhirup melalui hidung.
b. Kerugian
Tidak dapat memberikan konsentrasi oksigen lebih dari 44%, suplai oksigen
berkurang bila klien bernafas melalui mulut, mudah lepas karena kedalaman kanul
hanya 1/1.5 cm, tidak dapat diberikan pada pasien dengan obstruksi nasal. Kecepatan
aliran lebih dari 4 liter/menit jarang digunakan, sebab pemberian flow rate yang lebih
dari 4 liter tidak akan menambah FiO2, bahkan hanya pemborosan oksigen dan
menyebabkan mukosa kering dan mengiritasi selaput lendir. Dapat menyebabkan
kerusakan kulit diatas telinga dan di hidung akibat pemasangan yang terlalu ketat.
c. Sungkup Muka Sederhana
Digunakan untuk konsentrasi oksigen rendah sampai sedang. Merupakan alat pemberian
oksigen jangka pendek, kontinyu atau selang seling. Aliran 5 8 liter/mnt dengan konsentrasi
oksigen 40 60%. Masker ini kontra indikasi pada pasien dengan retensi karbondioksida
karena akan memperburuk retensi. Aliran O2 tidak boleh kurang dari 5 liter/menit untuk
mendorong

CO2

keluar

dari

masker.

FiO2 estimation :
Flows FiO2
5-6 Liter/min : 40 %
6-7 Liter/min : 50 %
7-8 Liter/min : 60 %
a. Keuntungan
Konsentrasi oksigen yang diberikan lebih tinggi dari kateter atau kanula nasal, sistem
humidifikasi dapat ditingkatkan melalui pemilihan sungkup berlubang besar, dapat digunakan
dalam pemberian terapi aerosol.
b. Kerugian
Tidak dapat memberikan konsentrasi oksigen kurang dari 40%, dapat menyebabkan
penumpukan CO2 jika aliran rendah. Menyekap, tidak memungkinkan untuk makan dan
batuk.Bisa terjadi aspirasi bila pasien mntah. Perlu pengikat wajah, dan apabila terlalu ketat

menekan kulit dapat menyebabkan rasa pobia ruang tertutup, pita elastik yang dapat
disesuaikan tersedia untuk menjamin keamanan dan kenyamanan.
d. Sungkup Muka dengan Kantong Rebreathing
Rebreathing mask
Suatu teknik pemberian oksigen dengan konsentrasi tinggi yaitu 35 60% dengan aliran 6
15 liter/mnt , serta dapat meningkatkan nilai PaCO2. Udara ekspirasi sebagian tercampur
dengan udara inspirasi, sesuai dengan aliran O2, kantong akan terisi saat ekspirasi dan hampir
menguncup waktu inspirasi. Sebelum dipasang ke pasien isi O2 ke dalam kantong dengan
cara menutup lubang antara kantong dengan sungkup minimal 2/3 bagian kantong reservoir.
Memasang kapas kering pada daerah yang tertekan sungkup dan tali pengikat untuk
mencegah

iritasi

kulit.

FiO2 estimation :
Flows ( lt/mt ) FiO2 ( % )
6 : 35 %
8 : 40 50 %
10 15 : 60 %
a. Keuntungan
Konsentrasi oksigen lebih tinggi dari sungkup muka sederhana, tidak mengeringkan selaput
lendir.
b. Kerugian
Tidak dapat memberikan oksigen konsentrasi rendah, kantong oksigen bisa terlipat atau
terputar atau mengempes, apabila ini terjadi dan aliran yang rendah dapat menyebabkan
pasien akan menghirup sejumlah besar karbondioksida. Pasien tidak memungkinkan makan
minum atau batuk dan menyekap, bisa terjadi aspirasi bila pasien muntah, serta perlu segel
pengikat.
e. Sungkup Muka dengan Kantong Non Rebreathing
Non rebreathing mask
Teknik pemberian oksigen dengan konsentrasi oksigen yang tinggi mencapai 90 % dengan
aliran 6 15 liter/mnt. Pada prinsipnya udara inspirasi tidak bercampur dengan udara
ekspirasi, udara ekspirasi dikeluarkan langsung ke atmosfer melalui satu atau lebih katup,
sehingga dalam kantong konsentrasi oksigen menjadi tinggi. Sebelum dipasang ke pasien isi
O2 ke dalam kantong dengan cara menutup lubang antara kantong dengan sungkup minimal
2/3 bagian kantong reservoir. Memasang kapas kering pada daerah yang tertekan sungkup
dan tali pengikat untuk mencegah iritasi kulit. Kantong tidak akan pernah kempes dengan
total. Perawat harus menjaga agar semua diafragma karet harus pada tempatnya dan tanpa
tongkat.
FiO2 estimation :
Flows ( lt/mt ) FiO2 ( % )
6 : 55 60
8 : 60 80

10 : 80 90
12 15 : 90
a. Keuntungan :
Konsentrasi oksigen yang diperoleh dapat mencapi 90%, tidak mengeringkan selaput lendir.
b. Kerugian :
Tidak dapat memberikan oksigen konsentrasi rendah. Kantong oksigen bisa terlipat
atau terputar, menyekap, perlu segel pengikat, dan tidak memungkinkan makan,
minum atau batuk, bisa terjadi aspirasi bila pasien muntah terutama pada pasien tidak
sadar dan anak-anak.
Sistem Aliran Tinggi
Memberikan aliran dengan frekuensi cukup tinggi untuk memberikan 2 atau 3 kali
volume inspirasi pasien. Alat ini cocok untuk pasien dengan pola nafas pendek dan pasien
dengan PPOK yang mengalami hipoksia karena ventilator. Suatu teknik pemberian oksigen
dimana FiO2 lebih stabil dan tidak dipengaruhi oleh tipe pernafasan, sehingga dengan tehnik
ini dapat menambahkan konsentrasi oksigen yang lebih tepat dan teratur.
Contoh sistem aliran tinggi :
a. Sungkup muka dengan venturi / Masker Venturi (High flow low concentration).
Merupakan metode yang paling akurat dan dapat diandalkan untuk konsentrasi yang tepat
melalui cara non invasif. Masker dibuat sedemikian rupa sehingga memungkinkan aliran
udara ruangan bercampur dengan aliran oksigen yang telah ditetapkan. Masker venturi
menerapkan prinsip entrainmen udara (menjebak udara seperti vakum), yang memberikan
aliran udara yang tinggi dengan pengayaan oksigen terkontrol. Kelebihan gas keluar masker
melalui cuff perforasi, membawa gas tersebut bersama karbondioksida yang dihembuskan.
Metode ini memungkinkan konsentrasi oksigen yang konstan untuk dihirup yang tidak
tergantung pada kedalaman dan kecepatan pernafasan.Diberikan pada pasien hyperkarbia
kronik ( CO2 yang tinggi ) seperti PPOK yang terutama tergantung pada kendali hipoksia
untuk

bernafas,

dan

pada

pasien

hypoksemia

sedang

sampai

berat.

FiO2 estimation
Menurut Standar Keperawatan ICU Dep.Kes RI. tahun 2005, estimasi FiO2 venturi mask
merk Hudson
Warna dan flows ( liter/menit ) FiO2 ( % )
Biru : 2 : 24
Putih : 4 : 28
Orange : 6 : 31
Kuning : 8 : 35
Merah : 10 : 40
Hijau : 15 : 60

a. Keuntungan
Konsentrasi oksigen yang diberikan konstan / tepat sesuai dengan petunjuk pada alat.
FiO2 tidak dipengaruhi oleh pola ventilasi, serta dapat diukur dengan O2 analiser.
Temperatur dan kelembaban gas dapat dikontrol.
Tidak terjadi penumpukan CO2.
b. Kerugian
Harus diikat dengan kencang untuk mencegah oksigen mengalir kedalam mata.
Tidak memungkinkan makan atau batuk, masker harus dilepaskan bila pasien makan,
minum, atau minum obat.
Bila humidifikasi ditambahkan gunakan udara tekan sehingga tidak mengganggu
konsentrasi O2.
b. Bag and Mask / resuscitator manual
Digunakan pada pasien :
Cardiac arrest
Respiratory failure
Sebelum, selama dan sesudah suction Gas flows 12 15 liter, selama resusitasi buatan,
hiperinflasi / bagging, kantong resusitasi dengan reservoir harus digunakan untuk
memberikan konsentrasi oksigen 74 % - 100 %. Dianjurkan selang yang bengkok tidak
digunakan sebagai reservoir untuk kantong ventilasi. Kantong 2.5 liter dengan
kecepatan 15 liter/menit telah ditunjukkan untuk pemberian oksigen yang konsisten
dengan konsentrasi 95 % - 100 %. Penggunaan kantong reservoar 2.5 liter juga
memberikan jaminan visual bahwa aliran oksigen utuh dan kantong menerima oksigen
tambahan. Pengetahuan tentang kantong dan keterampilan penggunaan adalah vital :
Kekuatan pemijatan menentukan volume tidal ( VT ).
Jumlah pijatan permenit menentukan frekuensi
Kekuatan dan frekuensi menentukan aliran puncak.
Hal hal yang harus diperhatikan :
Observasi dada pasien untuk menentukan kantong bekerja dengan baik dan apakah
terjadi distensi abdomen.
Kemudahan / tahanan saat pemompaan mengindikasikan komplain paru.
Risiko terjadinya peningkatan sekresi, pneumothorak, hemothorak, atau spasme bronkus
yang memburuk.
Syarat syarat Resusitator manual :
Kemampuan kantong untuk memberikan oksigen 100 % pada kondisi akut.
Masker bila dibutuhkan harus transparan untuk memudahkan observasi terhadap
muntah / darah yang dapat mengakibatkan aspirasi.
Sistem katup yang berfungsi tanpa gangguan pada kondisi akut.
Pembersihan
dan
pendauran
ketahanan
Large Volume Aerosol Sistem.

kantong.

Sumber :
Travers, A.H. et al. 2010. Part 5: Adult basic life support: 2010 American Heart
Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency
Cardiovascular Care. Circulation. 2010;122(suppl 3):S685S705
Rahajoe, N.N., Supriyatno, B.,Setyanto,D.B.,2008. Buku ajar respirologi
anak edisi pertama. Jakarta : Badan penerbit IDAI
Sjamsuhidajat R, de Jong W (2005). Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC
Hanafiah MJ, Amir A (2007). Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC
www.forensicpathologyonline.com/ebook/asphyxia/drowning
Cantwell, G Patricia (2013). Drowning. http://emedicine.medscape.com/article/772753overview#a0104 Diakses Mei 2015
Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S, Munim TWA, Sidhi, Hertian S, dkk (2007).
Kematian akibat asfiksia mekanik. Dalam: Ilmu kedokteran forensik. Jakarta: Bagian
KedokteranForensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : 64-70
Budiyanto, A., Widiatmaka, W., Sudiono, S., Winardi, T., Idries, A. M., Sidhi,
Hertian, S., Sampurna, B., Purwadianto, A., Rizkiwijaya, Herkutanto,
Atmadja, D. S., Budiningsih, Y., Purnomo, S. 1997. Ilmu Kedokteran
Forensik. Jakarta : Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.

Medscape

(2013).

Drowning.

http://emedicine.medscape.com/article/772753-

overview#a0104. Diakses Mei 2015


Anonim.,

2010.

Drowning

Causes.

http://www.emedicinehealth.com/drowning/page2_em.htm#Drowning%20Causes

Diakses Juni 2015.


Guyton, A. C. dan Hall, J. E., 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed 9. Jakarta: EGC.

Slade, J. B., Hattori, T., Ray, C. S., Bove, A. A., Cianci, P. 2001. Pulmonary
Edema Associated With Scuba Diving : Case Reports and Review.
Chest. 120 : 1686-94.

Astowo. Pudjo. 2005. Terapi oksigen: Ilmu Penyakit Paru. Bagian Pulmonologi dan
Kedokteran Respirasi. FKUI. Jakarta.
Rogayah, R. 2009. The Principle Of Oxigen Therapy. Departemen Pulmonologi Dan
Respiratori FK UI. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai