Anda di halaman 1dari 2

Kami Tidak Berlindung Dalam Naungan Manapun

Kami hanyalah pedagang kaki lima


Yang setiap hari mengais rezeki di persimpangan jalan
Tak ada yang istimewa hari-hari di sana
Sampai mahasiswa membuka luka lama
Demonstrasi itu, Anakku
Membuka ingatan, menggugah kesadaran
Kami telah lama terdzalimi
Lalu kalian menambah sedih di hati kami
Akhir-akhir ini intensitas demonstrasi di Indonesia meningkat. Banyak isu yang diangkat, diantaranya
mengenai penolakan diterbitkannya majalah playboy, kasus pelecehan Nabi Muhammad saw oleh Denmark, para
buruh menuntut pesangon yang layak. Sebelumnya, mahasiswapun banyak terlibat dalam serangkaian aksi
menentang kenaikan harga BBM. Mungkin fenomena ini dapat saya katakana sebagai euphoria jalanan yang kembali
menemukan ruhnya setelah mengalami pasang-surut sejak era 1998.
Keadaan demikan sungguh menggembirakan walaupun sebenarnya tidak membuktikan apa-apa bagi
eksistensi mahasiswa. Mahasiswa toh tetap mendapat sebuah kehormatan di mata masyarakat, tetapi saya kira mereka
kini tidak lagi dipercaya sebagai pengawal setia reformasi. Sebagian dari golongan mahasiswa telah terjebak dalam
lingkaran-lingkaran kekuasaan dan itu menyebabkan masyarakat kehilangan rasa percaya.
Mahasisswa-mahasiswa sekarang menjadi lebih opurtunis dibandingkan angkatan legenda 45 dan 66.
mereka lebih plintat-plintut, bahkan sebagian tokoh-tokoh angkatan 1998 yang telah sukses menggulingkan Soeharto
tidak lebih pelacur intelektual belaka. Lihatlah mereka yang kemudian malah berinduk pohon setan pada masa pemilu
kemarin. Padahal kita semua tahu, merekalah yang berteriak paling lantang di jalan menuntut ditebangnya pohon
yang selama ini telah menaungi banyak penjahat dari sengatan mata hukum.
Sungguh sangat mengecewakan, mahasiswa terus berafiliasi pada kekuatan politik riil negeri ini. Dan yang
lebih disayangkan lagi, elemen mahasiswa islam pun turut serta dalam trend ini. Saya tahu mereka tidak bodoh, tetapi
keputusan untuk berada di bawah bayang-bayang pada sebuah partai politik adalah keputusan manusia yang tidak
bijaksana. Mahasiswa seharusnya memiliki sebuah kesadaran penuh bahwa dengan menjadi mahasiswa adalah
sebuah kebanggaan jati diri. Jadi, tidak perlu ada kekuatan apapun yang mem-back up gerakan mahasiswa. Kaum
intelektual bagi kita bisa mandiri tanpa harus disuapi nasi kaderisasi.
Dulu ada sebuah gerakan mahasiswa nasional Indonesia yang menjadi sayap dalam PNI pimpinan AliSurachman. Mereka ormas mahasiswa yang berhaluan kiri dan merasa memiliki kesamaan visi dengan kaum
komunis. Berbaju nasionalis itu. Tapi apa jadinya ketika PKI dikonfrontir dengan mahasiswa justru elemen
mahasiswa ini menjadi martir komunis yang siap sedia memukuli kawan-kawannya sendiri. Hal ini terulang ketika
pancasila sebagai dasar Negara dijadikan asas tunggal. Hal ini mengakibatkan banyak elemen gerakan mahasiswa
menjadi linglung, bingung akan eksistensi pergerakannya, cemas bila harus dipenalti Pancisila yang dipolitisir, dan
terbujuk pada kemudahan support kaderisasi dari partai status quo. Mereka tidak cukup kuat untuk mempertahankan
idealismenya sendiri dan mesti rela terpecah belah. Saya dapat membayangkan Soeharto tertawa bahagia penuh
kemenangan ketika itu. Ternyata mahasiswa begitu lugu dan naf. Sunggah tidak pantas kurcaci seperti mereka
mengusik dunia politik yang penuh raksasa-raksasa rakus. Sekali gencet habislah riwayat mereka.
Saya tidak begitu mengerti, haruskah kami melakukan kesalahan yang sama sekarang. Tentu, kami sama
sekali tidak merasa bahwa kami memproklamirkan diri sebagai sayap mahasiswa sebuah partai politik tertentu. Tapi
kedekatan ini membawa citra yang buruk bagi netralitas kami sebagai sebuah elemen gerakan mahasiswa.
Masyarakat tidak memahami keadaannya, tapi terlanjur menjudge kami sebagai kepanjangan tangan partai politik di
kampus. Memang ada tokoh-tokoh kami membantah opini tersebut. Mereka kerap menulis di Koran, majalah,
menyebarkan pers release mungkin. Tapi saya kira hal itu cuma nonsense saja. Kenyataannya, masyarakat lebih
memilih melihat fakta langsung di lapangan. Fatalnya kami sama sekali tidak berusaha menjahui hal itu. Kami seperti
bayi aja yang terus minta disuapi dan merasa nyaman dibawah lindungan kakbahnya. Hubungan istimewa itu sama
sekali tidak membawa pengaruh buruk untuk saat ini, tetapi efeknya kian terasa ketika kami harus berjuang di
jalanan. Kami membawa apirasi rakyat, dan kami memperjuangkanya, tapi bisakah kami menepis anggapan bahwa
perjuangan kami tidak lebih sebagai komedi politik. Kami berikrar sebagai oposan pemerintah tapi di sisi lain kami
menikmati kasih sayang partai politik yang menjadi pendukung pemerintah. Saya tidak mungkin meneriakan yel-yel:
kami adalah penghianat kemurnian mahasiswa.
Ini adalah otokritik bagi semua elemen gerakan mahasiswa manapun. Jangan mau ditunggangi kepentingan
politik apapun. Mahasiswa punya idealisme sendiri dan walaupun mungkin mempunyai kesamaan visi dengan salah

satu pertai, tidak lantas kita mercuni gerakan suci ini. Jika ada yang ingin bergabung dalam kemelut politik praktis,
silahkan tinggalkan gelar mahasiswa secepatnya. Bisa mereka lulus dengan cepat agar bisa menemukan wahana baru
yang dapat menampung visi politiknya. Tetapi selama menyandang predikat mahasiswa, elemen gerakan mahasiswa
manapun tidak menerima penjahat intelektual.
Ketika demonstrasi di jalanan, saya ingin para pedagang itu merasa bahwa kita bersama mereka, kita berada
di pihak mereka. Gerakan ini murni, netral, dan lahir dari kebersihan hati nurani. Biarkan mereka melihat bahwa kami
tidak memelihara atau dipelihara joki politik manapun. Saya ingin, mereka ingat dan sadar eksistensi mereka sebagai
rakyat. Saya tahu ini akan membuka memori-memori derita tentang kehidupan. Saya tahu, mereka akan sedih bila
perjuangan kami tidak dapat merubah keadaan apapun. Tetapi saya lebih tahu kami menambah sedih mereka setelah
kami membukakan mata mereka kami menghianati kepercayaan. The betrayal of the intlektuals is nothing. (Heru P)

Anda mungkin juga menyukai