Jika pada masing-masing kelas IP (A/B/C) subnetmask sebuah IP address
host tidak default, dan jumlah bit network pada subnetmask tersebut kurang dari jumlah bit netwok pada subnetmask defaultnya disebut supernetting. Contoh, IP 192.168.100.8/22. Jelas bahwa IP tersebut termasuk kelas C. Akan tetapi, bit subnetmasknya kurang dari defaultnya. Dengan demikian, kasus ini menggunakan supernetting. Ketentuan perhitungan jumlah supernet dan hostnya sama dengan perhitungan subnetting. Kegunaan supernetting adalah untuk menggabungkan jumlah IP yang tidak mencukupi dari sebuah kelas IP dan menghindari router. Misalnya, untuk kelas C, jumlah host dari networknya tidak bisa lebih dari 254 IP. Padalah diinginkan 1 networknya 1000 komputer tanpa menggunakan Router. Nah, di sinilah peranan supernetting diperlukan. Biasanya, supernetting ini disebut dengan CIDR (classless inter-domain routing). Setiap host (komponen jaringan yang memiliki identitas) sudah pasti akan memiliki IP address (selanjutnya disebut IPH), baik di-setting secara tetap (fixed) maupun dinamik, akan selalu disertai subnet mask atau netmask (selanjutnya disebut SNM). Buat apakah subnet mask atau netmask tersebut? Dengan berbekal IP Address dan subnet masknya, maka kita akan dapatkan informasi tentang IP address network (selanjutnya disebut IPN), IP broadcast (selanjutnya disebut IPB), serta jangkauan atau kapasitas jaringan tempat host itu berada. Mari kita kita simak ilustrasi berikut ini. Diketahui sebuah host dari sebuah jaringan dengan IPH=192.168.1.78 dan SNM=255.255.255.224. Dengan berbekal kedua info tersebut kita dapatkan IPN, IPB dan jangkauan IPH tempat host itu berada. Rumus Mendapatkan IPN: IPN = IPH .AND. SNM Rumus Mendapatkan IPB: IPB = IPN .NOT.(SNM) Nah, dari kedua rumus itu, mari kita hitung: IPN = 192.168.1.78 .AND. 255.255.255.224 = 192.168.1.64
IPB = 192.168.1.64 .NOT.(0.0.0.63) = 192.168.1.95
(.NOT. dari 255.255.255.224 adalah 0.0.0.31, ) Nah dari aturan RFC, diketahui bahwa sebuah IP Address jaringan dimulai dari IPN dan diakhiri dengan IPB. Jadi, tentu saja kita dapatkan range atau jumlah IPH tempat host 192.168.1.78 itu berada, yakni dari 192.168.1.65 s.d. 192.168.1.94 sehingga jumlah IPH adalah 30. Cara lain untuk menghitung range IPH adalah cukup dengan menghitung jumlah bit yang bernilai 0 (biner) pada SNM dengan bantuan tabel di bawah ini. Dari SNM=255.255.255.224, pada angka 224 terdapat jumlah bit 0 adalah 5; dan 2 pangkat 5 adalah 30 host (32 2). Jumlah IP selalu akan dikurangi 2 karena kedua IP tersebut (IPN dan IPB) tidak boleh dijadikan identitas host. Desimal Biner 0 00000000 128 10000000 192 11000000 224 11100000 240 11110000 248 11111000 252 11111100 254 11111110 255 11111111 Kedua rumus di atas juga berlaku untuk kelas A dan B. Selain itu dapat digunakan untuk kasus supernetting. Supernetting adalah kebalikan dari Subnetting yang tadi dibahas di atas. Supernetting menggunakan sebagian bit-bit network untuk dijadikan subnet. Supernetting digunakan jika dengan memiliki beberapa blok IP kelas C diinginkan satu jaringan yang besarnya > 256 IP tanpa dilengkapi dengan Router. Hal ini tidak mungkin tanpa bantuan mekanisme supernetting karena IP kelas C hanya 256 buah. Sebagai ilustrasi, marilah kita perhatikan IP kelas C dengan SNM=255.255.252.0. Karena default SNM kelas C adalah 255.255.255.0, berarti SNM tadi melanggar default. Akan tetapi dengan konsep mekanisme supernetting, hal itu jadi mungkin dan tidak melanggar. Konsep ini dikenal dengan CIDR atau classless Internet domain routing. Dari SNM tadi, jumlah digit 0 nya sebanyak 10 bit artinya jumlah IP yang
mungkin adalah 2 pangkat 10 atau 1024 buah IP. Berarti kalau SNM 255.255.248.0 kapasitas jaringannya adalah 2048 IP (coba hitung sendiri)