Anda di halaman 1dari 86

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Angka kejadian kecelakaan lalu lintas selalu meningkat setiap tahunnnya.
Kecelakaan lalu lintas merupakan salah satu penyebab utama terbanyak
terjadinya trauma organ pada manusia tergantung letak mana yang mengalami
benturan. Trauma yang terjadi dapat meliputi kepala, leher, thorak (dada), perut
(abdomen), dan ekstremitas (bagian tangan dan kaki). Cedera kepala atau
cedera kepala merupakan salah satu jenis cedera yang banyak terjadi pada
trauma kecelakaan lalu lintas, baik cedera kepala ringan, sedang, maupun berat.
Cedera kepala adalah cedera yang meliputi trauma kulit kepala, tengkorak,
dan otak. Cedera kepala bisa di golongkan kepada cedera kepala ringan,
sedang, dan berat. Resiko utama dari pasien yang mengalami cedera kepala
adalah adanya kerusakan pada otak akibat pembengkakan otak akibat respon
dari cedera, yang dapat menyebabkan tekanan pada

intra-kranial. Syok

hipovolemik juga dapat terjadi akibat penderita banyak kehilangan darah akibat
jaringan yang rusak. Hal ini juga merupakan salah satu yang membahayakan
nyawa pasien.
Syok hipovolemik adalah suatu keadaan dimana tubuh kekurangan volume
cairan, sehingga menyebabkan jantung untuk memompa tidak maksimal dan
menyebabkan penurunan perfusi jaringan sistemik, dan kerusakan sel, yang
dapat megancam nyawa pasien.
Adanya cedera bagan kepala, perdarahan bagian kepala, atau saluran
pernafasan menyebabkan sumbatan jalan nafas pasien, baik berupa darah
maupun cairan lain, hal ini menyebabkan jalan nafas pasien terganggu,
sehingga pasien menjadi sulit bernafas dan menyebabkan gagal nafas.
Penanganan yang cepat dan tepat dapat meyelamatkan nyawa pasien.
Penanganan utama dari pasien kegawat daruratan ini meliputi Airway,
Breathing, Circulation, dan Disability klien.

B. Ruang Lingkup
Makalah ini merupakan hasil pengkajian dari Tn.A.P di Instalasi Gawat
Darurat (IGD) RSUP Fatmawati yang mengalami kecelakaan lalu lintas dengan
diagnosa medik Syok Hipovolemik, Cedera Kepala Berat, Fraktur Mandibula.
Makalah ini menyajikan tentang data hasil pengkajian pada Tn.A.P, analisa
data, masalah keperawatan, diagnosa keperawatan dan tindakan keperawatan
yang dilakukan pada Tn. A.P selama di rawat di IRD RSUP Fatmawati.
C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Penulisan makalah ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran
penatalaksanaan asuhan keperawatan darurat pada pasien Tn.A.P yang
mengalami Syok Hipovolemik, Cedera Kepala Berat, Fraktur Mandibula
di IGD RSUP Fatmawati Jakarta Selatan.
2. Tujuan Khusus

a. Dapat mendapatkan gambaran tentang pengkajian, analisa data,


masalah keperawatan, menetapkan diagnosa keperawatan pada Tn.A.P
yang mengalami Syok Hipovolemik, Cedera Kepala Berat, Fraktur
Mandibula di IGD RSUP Fatmawat.
b. Dapat mendapatkan gambaran implementasi

rencana

tindakan

keperawatan yang nyata sesuai dengan diagnosa keperawatan yang


telah ditegakkan.
c. Dapat mendapatkan gambaran hasil (evaluasitindakan) keperawatan
yang telah dilakukan.

BAB 2
KAJIAN TEORI
A. TRAUMA
1. Definisi
Trauma dapat didefinisikan sebagai cedera pada tubuh akibat
pemajanan akut tubuh ke suatu bentuk energi atau akibat ketiadaan suatu
bahan esensial misalnya oksigen dan panas (Shechy, 1989). Walaupun
jaringan memiliki elastisitas untuk menyerap energi, namun apabila
kemampuan terlampaui maka akan terjadi cedera. Cedera dapat terbatas
pada satu organ atau sistem, misalnya fraktur paha, atau mengenai banyak
sistem, misalnya pada kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan
kecelakaan pada kepala, dada, perut, dan tulang.
Tidak seperti penyakit progressif, trauma adalah suatu kejadian
akut. Dalam beberapa detik, kondisi pasien trauma dapat bergeser dari
keseimbangan relatif menjadi stress fisiologis yang berat. Derajat stress
bergantung pada faktor-faktor misalnya keparahan cedera yang dialami,
efektivitas usaha resusitasi, usia, dan patofisiologis yang sudah ada
sebelumnya (Richardson & Rodriguaz, 1987).
2. Mekanisme trauma
a. Direct (langsung)

b. Akselerasi

c. Deselerasi

d. Kompresi

KECELAKAAN SEPEDA MOTOR


Frontal

Lateral

Laying the bike

3. Penyebab trauma
a. Trauma Tumpul
Benda tumpul yang sering mengakibatkan luka antara lain adalah
batu, besi, sepatu, tinju, lantai, jalan dan lain-lain. Adapun definisi dari
benda tumpul itu sendiri adalah :

Tidak bermata tajam

Konsistensi keras / kenyal

Permukaan halus / kasar


Kekerasan tumpul dapat terjadi karena 2 sebab yaitu alat atau

senjata yang mengenai atau melukai orang yang relatif tidak bergerak
dan yang lain orang bergerak ke arah objek atau alat yang tidak
bergerak. Dalam bidang medikolegal kadang-kadang hal ini perlu
dijelaskan, walaupun terkadang sulit dipastikan. Luka karena kererasan
tumpul dapat berbentuk salah satu atau kombinasi dari luka memar,
luka lecet, luka robek, patah tulang atau luka tekan.
Luka Akibat Trauma Tumpul

Abrasi :
adalah pengelupasan kulit. Dapat terjadi superfisial jika
hanya epidermis saja yang terkena, lebih dalam ke lapisan bawah
kulit (dermis) atau lebih dalam lagi sampai ke jaringan lunak
bawah kulit. Jika abrasi terjadi lebih dalam dari lapisan epidermis
pembuluh darah dapat terkena sehingga terjadi perdarahan. Arah
dari pengelupasan dapat ditentukan dengan pemeriksaan luka. Dua
tanda yang dapat digunakan. Tanda yang pertama adalah arah
dimana epidermis bergulung, tanda yang kedua adalah hubungan
5

kedalaman pada luka yang menandakan ketidakteraturan benda


yang mengenainya.

Laserasi
Laserasi disebabkan oleh benda yang permukaannya
runcing tetapi tidak begitu tajam sehingga merobek kulit dan
jaringan bawah kulit dan menyebabkan kerusakan jaringan kulit
dan bawah kulit. Tepi dari laserasi ireguler dan kasar, disekitarnya
terdapat luka lecet yang diakibatkan oleh bagian yang lebih rata
dari benda tersebut yang mengalami indentasi.

Kontusi/rupture
Kontisio/memar, terjadi karena tekanan yang besar dalam
waktu yang singkat. Penekanan ini menyebabkan kerusakan pada
pembuluh darah kecil dan dapat menimbulkan perdarahan pada
jaringan bawah kulit atau organ dibawahnya. Pada orang dengan
kulit berwarna memar sulit dilihat sehingga lebih mudah terlihat
dari nyeri tekan yang ditimbulkannya.

Fraktur
Fraktur adalah suatu diskontinuitas tulang. Istilah fraktur
pada bedah hanya memiliki sedikit makna pada ilmu forensik.
Pada bedah, fraktur dibagi menjadi fraktur sederhana dan komplit
atau terbuka.

Kompresi
Kompresi yang terjadi dalam jangka waktu lama dapat
menyebabkan efek lokal maupun sistemik yaitu asfiksia traumatik
sehingga dapat terjadi kematiaan akibat tidak terjadi pertukaran
udara.

b. Trauma tajam/trauma tembus


Trauma tembus terjadi apabila terjadi kerusakan (robekan) kulit
dan lapisan jaringan lunak sebelah luar. Benda tajam misalnya peluru
dan pisau sering menjadi penyebabnya. Cedera terjadi pada jaringan
yang terletak tepat di jalur perjalanan benda tersebut.
Sebagai contoh, pada luka tusuk kerusakan terbatas pada jaringan
dibawahnya. Trauma tembus yang disebabkan oleh misil kecepatan
6

tinggi, misalnya luka tembakan, dapat menyebabkan kerusakan yang


lebih luas. Lubang luka yang tampak kecil dapat menyesatkan, karena
dapat terjadi kerusakan organ massif disepanjang jalan perjalanan misil
tersebut.
B. PENGKAJIAN
1. Pengkajian Awal dan Penatalaksanaan Awal pasien trauma
Orang yang mengalami cedera barat harus dikaji dengan cepat dan
efisien. Kriteria dan protokol

untuk memudahkan pengkajian awal,

intervensi, dan triage untuk korban trauma telah dikembangkan oleh


American college of surgeons, committee on trauma.
a. Prarumah Sakit
Penatalaksanaan awal sering kali menentukan hasil akhir. Fase ini
dimulai pada tempat kecelakaan dengan pengkajian cepat terhadap
cedera-cedera yang mengancam keselamatan jiwa. Setelah jalan nafas
dipastikan, kemudian pernafasan dan sirkulasi dievaluasi dan
didukung. Resusitasi sirkulasi awal termasuk kontrol terhadap
hemoragi eksternal, melakukan terapi cairan intravena, dan adakalanya
pemasangan pneumatic antishock garment (PASG). Potensi terhadap
fraktur juga harus diimobilisasi sebelum dipindahkan.
b. Rumah Sakit
Pengkajian dan perawatan yang dilakukan setibanya di rumah sakit
dibagi ke dalam empat fase : evaluasi primer, resusitasi, pengkajian
sekunder, dan perawatan definitive.
1) Evaluasi Primer
Seperti halnya pada pengkajian prarumah sakit, evaluasi
primer mendeteksi masalah-masalah jalan nafas, pernafasan, dan
sirkulasi, dan menentukan kemungkinan ancaman terhadap jiwa
dan anggota badan. Informasi tentang mekanisme terjadinya cedera
dan gambaran tentang keadaan kecelakaan (seperti, stang roda
mobil yang bengkok) akan memberikan petunjuk tentang
kemungkinan terjadinya cedera serius. Pemeriksaan neurologic
yang seksama juga dilakukan.
Hal dilakukan adalah Primary Survey. Di sini perawat
diminta menilai secermat mungkin hal apa yang mengancam

nyawa pasien. Beberapa nemonic yang sering membantu antara


o
o
o
o
o

lain:
A : Airway with c-spine control
B : Breathing and ventilation
C : Circulation with haemorrage control
D : Disability (neurologic evaluation)
E : Exposure and Environment

A: Airway with c-spine contol.


Hal pertama yang harus diperiksa dalam penyelamatan seorang
pasien. Pelayan kesehatan diharapkan bisa memberikan distribusi
oksigen dalam kurang waktu 8-10 menit.
Assessmentnya :
Jika pasien sadar, dia mampu berbicara dengan jelas tanpa suara
tambahan. Ini berarti laringnya mampu dilewati udara yang artinya
airway is clear. Terdapat pengecualian untuk pasien luka bakar.
Kalau kita temukan jejas kehitaman pada lubang hidung pasien atau
lendir kehitaman yang keluar dari hidung pasien itu mungkin
disebabkan sudah terjadinya inflamasi pada saluran pernapasan
akibat inhalasi udara bersuhu tinggi. Pasien tidak langsung
menunjukan gejala obstruksi saluran nafas segera.
Jika pasien tidak sadar maka segera lakukan penilaian LookListen-Feel. Lihat gelisah atau tidak, gerakan dinding dada,
dengarkan ada atau tidak suara nafas, rasakan hembusan nafas pasien
dari pipi dalam satu waktu.
Jika terjadi obstruksi total maka akan timbul apnea biasanya
disebabkan obstruksi akibat benda asing. Tindakan yang dapat
dilakukan antara lain memberikan penekanan pada dinding abdomen
melalui manuver Heilmicth atau Manuver Abdominal Trust. Kalau
untuk anak kecil bisa dibantu dengan membalik posisi anak secara
vertikal agar mempermudah keluarnya benda asing. Tindakan yang
disebutkan diatas dilakukan pada pasien sadar. Sementara pada
pasien tidak sadar yang bisa dilakukan antara lain : finger sweep,
abdominal trust, dan instrumental.

Kalau terjadi obstruksi parsial maka pasien akan menunjukan tanda


bunyi nafas tambahan. Beberapa bunyi nafas itu antara lain:
a) Gurgling (kumur-kumur) = obstruksi akibat adanya air dalam
saluran nafas. Penanganannya melalui suction. Terdapat dua
jenis suction yakni, yang elastic dan yang rigid. Pilih saction
yang rigid karena lebih mudah diarahkan. Jangan melakukan
tindakan yang berlebihan di daerah laring sehingga tidak timbul
vagal refleks.

b) Stridor (crowing) = obstruksi karena benda padat dan terjadi


pada URT. Penanganan pertama nya dengan penggunaan
endotracheal tube (ETT)

c) Snorg (mengorok) = biasa nya obstruksi karenan lidah terlipat


dan pasien dalam keadaan tidak sadar. Penangannya yang
pertama dengan membuka mulut pasien dengan jalan; chin lift
atau jaw trust. Kemudian diikuti dengan membersihkan jalan
nafas melalui finger sweep (cara ini tidak amam karena
memungkinkan trauma mekanik pada jari dokter) atau melalui
bantuan instrumen.
Tindakan berikutnya dengan pemasangan oropharingeal tube
(untuk pasien tidak sadar) atau nasopharyngeal tube untuk pasien
sadar. Sebagai tambahan info, bahwa pada oropharingeal tube
terdapat tiga jenis ukuran sehingga sebelum memasangnya
dokter harus menentukan ukuran yang sesuai. Cara mudahnya
dengan menyamakan ukuran dengan panjang dari lubang telinga
ke sudut mulit atau panjang dari sudut telinga ke lubang hidung,
Begitu pula dengan pemasangan nasopharingeal tube.

C-spine kontrol mutlak harus dilakukan terutama pada pasien


yang mengalami trauma basis crania (Suatu fraktur linear yang
terjadi pada dasar tulang tengkorak yang tebal. Fraktur ini
seringkali disertai dengan robekan pada Duramater). Cirinya
adalah keluar darah atau cairan bercampur darah dari hidung atau
telinga. C-spine kontrol dilakukan dengan indikasi:
Multiple trauma
Terdapat jejas di daerah serviks ke atas
Penurunan kesadaran.
Jika semuanya gagal, maka terapi bedah menjadi pilihan
terakhir.
B: Breathing and Ventilation

10

Lihat keadaan torak pasien, ada atau tidak sianosis, dan kalau
pasien sadar maka pasien mampu berbicara dalam satu kalimat
panjang. Keadaan dada pasien yang mengembung apalagi tidak
simetris

mungkin

disebabkan

pneuomotorak

atau

pleura

hemorage. Untuk membedakannya dilakukan perkusi di daerah


paru. Suara paru yang hipersonor disebabkan oleh pneumotorak
sementara pada pleurahemorage suara paru menjadi redup.
Penanganan pneumotorak ini antara lain dengan menusukan
needle 14 G di daerah yang hipersonor atau pengguanan chest
tube.

Jika terdapat henti napas :


Hal yang dapat dilakukan antara lain Resusitasi Paru, bisa
dilakukan melalui :

Mouth to mouth
Mouth to mask
Bag to mask (Ambu bag).

Jika menggunakan ventilator oksigen dapat diberikan melalui :

Kanul. Pemberian Oksigen melaui kanul hanya mampu


memberikan oksigen 24-44 %. Sementara saturasi oksigen
bebas sebesar 21 %.

Face mask/ rebreathing mask. Saturasi oksigen melalui face


mask hanya sebesar 35-60%.

Non-rebreathing mask. Pemberian oksigen melalui nonrebreathing mask inilah pilihan utama pada pasien cyanosis.
11

Konsentrasi oksigen yang diantarkannya sebesar 80-90%.


Perbedaan antara rebreathing mask dan non-rebreathing mask
terletak pada adanya valve yang mencegah udara ekspirasa
terinhalasi kembali.

Note : pada pasien pneumotorok perhatikan adanya keadaan


pergesaran mediastinum yang tampak pada pergeseran trakea,
peningkatan tekanan vena jugularis, dan kemungkinan timbul
tamponade jantung

C: Circulation and haemorage control


Assessment :
Pertama kali yang harus diperhatikan adalah kemungkinan
pasien mengalami syok. Nilai sirkulasi pasien dengan melihat
tanda-tanda perfusi darah yang turun seperti keadaan pucat, akral
dingin, nadi lemah atau tidak teraba. Syok yang tersering dialami
pasien

trauma

adalah

shock

hemoragik.

Jadi

dalam

penatalaksanaannya yang pertama adalah tangani status cairan


pasien dan cari sumber perdarahan, kemudian atasi perdarahan.
Berikan cairan intravena kemudian tutup luka dengan kain kassa,
immobilisasi. Pemberian cairan intravena harus pada suhu yang
hangat agar tidak memperberat kondisi pasien (pemasukan cairan
yang memiliki suhu lebih rendah daripada suhu tubuh
menyebabkan vasokontriksi sehingga nantinya menurunkan
perfusi). Status hidrasi pasien juga harus diukur melalui output
cairannnya sehingga sering diikuti dengan pemasangan kateter.
Namun pemasangan kateter dikontraindikasikan pada pasien yang
mengalami ruptur uteri. Cirinya terdapat lebam pada perineal atau
skrotum.
Luka pasien trauma yang sering menimbulkan keadaan
syok antara lain luka pada abdomen, pelvis, tulang panjang, serta
perdarahan torak yang massive. Kalau terjadi henti jantung maka
lakukan RJP (Resusitasi Jantung Paru).

12

\\\\

D: Disability
Pada tahap ini dokter diharapkan menilai keadaan neurologic
pasien. Status neurologic yang dinilai melalui GCS (Glasgow
Coma Scale) dan keadaan pupil serta kecepatannya.
2) Resusitasi
Resusitasi seringkali mulai dilaksanakan selama evaluasi primer
dan mencakup tindakan terhadap kondisi-kondisi yang mengancam
keselamatan jiwa. Pasien dapat memerlukan intubasi endotrakeal,
pemberian oksigen, terapi cairan intravena, dan kontrol terhadap
hemoragi. Kondisi-kondisi yang mengancam keselamatan jiwa,
misalnya tension, pneumotoraks terbuka, hemotoraks masif, dan
tamponade

jantung,

diatasi

dengan

cepat

kecuali

adanya

kontraindikasi, kateter urin dan selang nasogastrik dipasang.


3) Pengkajian sekunder
Apabila kondisi pasien sudah berhasil distabilkan, riwayat
kesehatan yang lengkap, termasuk informasi tentang mekanisme
terjadinya cedera, harus diperoleh dan pemeriksaan fisik secara
menyeluruh harus dilakukan. Pemeriksaan dapat mencakup
elektrokardiogram

(ECG),

berbagai

uji

laboratorium,

dan

pemeriksaan radiologik (Table 44-1). Jika diduga adanya cedera


abdomen, maka lavage peritoneal diagnostic (DPL) juga diperlukan
dilakukan.
4) Pola-pola cedera
Informasi tentang pola atau mekanisme terjadinya cedera sering
kali akan sangat membantu dalam mendiagnosa kemungkinan
gangguan yang diakibatkan. Trauma tumpul terjadi pada kecelakaan

13

kenderaan bermotor (KKB) dan jatuh, sedangkan trauma tusuk


(penetrasi) seringkali di akibatkan oleh luka tembak, atau luka
tikam. Umumnya, makin besar kecepatan yang tetrlibat di dalam
suatu kecelakaan, akan makin besar cedera yang terjadi (mis,KKB
kecepatan tinggi, peluru dengan kecepatan tinggi, jatuh dari tempat
yang sangat tinggi).
Trauma tumpul pada kecelakaan kenderaan mobil, badan
kenderaan memberikan sebagian perlindungan dan menyerap energi
dari hasil benturan tabrakan. Pengendara atau penumpang yang
tidak

menggunakan

sabuk

pengaman.

Bagaimanapun

akan

terlempar dari mobil dan dampaknya mendapatkan cedera


tambahan. Pengendara sepeda motor mempunyai perlindungan yang
minimal dan seringkali akan menderita cedera yang parah apabila
terlempar dari motor.
Perlambatan yang cepat

selama

KKB

atau

jatuh

dapat

menyebabkan kekuatan yang terputus yang dapat merobek struktur


tertentu. Organ-organ yang berdenyut seperti jantung dapat terlepas
dari pembuluh besar yang menahannya. Demikian juga, organ-organ
abdomen (limpa, ginjal, usus) akan terlepas dari mensenteri.
Tabel 2.1
Prosedur-prosedur Radiologi pada Trauma
Prosedur
Radiografi
Dada

Pelvis
Ekstremitas
Angiogram

Tomografi Komputer

Dugaan Cedera
Pneumotoraks
Hemothoraks
Fraktur iga
Kontusio pulmonal
Cedera trakeobronkial
Cedera pembuluh besar
Fraktur
Fraktur
Cedera pembuluh besar
Cedera ginjal
Cedera vascular pelvis
Cedera vascular ekstremitas
Dera abdomen
Cedera retroperitoneal
Cedera ginja
Fraktur pelvic

14

Serangkaian gastrografin
GI bagian atas
Skan hepar/limpa radioNuklida
Pielogram intravena
Uretrogram Retrograd
Sistogram retrograde

Hematoma atau laserasi


Duodenal
Cedera seplenik
Cedera Hepatik
Cedera ginjal
Cedera uretra
Cedera kandung kemih

Tipe kedua trauma tumpul termasuk kompresi yang


disebabkan oleh kekuatan tabrakan berat. Pada kasus demikian,
jantung dapat tetrhimpit diantara sternum dan tulang belakang.
Hepar, limpa, dan pancreas juga sering tertekan terhadap tulang
belakang. Cedera karena benturan seringkali menyebabkan
kerusakan internal dengan sedikit tanda-tanda trauma eksternal.
Tipe kerusakan pada kendraan seringkali memberikan petunjukpetunjuk cedera spesifik yang diderita pada KKB. Stir atau kemudi
kenderaan yang bengkok atau rusak memperbesar dugaan akan
kemungkinan cedera pada dada, iga, jantung, trakea, tulang
belakang atau abdomen. Trauma kepala dan wajah, cedera tulang
belakang servikal, dan cedera trakeal sering berkaitan dengan
kerusakan pada kaca depan mobil atau dashboard. Benturan lateral
dapat menyebabkan patah iga, luka dada penetrasi akibat pegangan
pintu atau jendela, cedera limpa atau hepar dan fraktur pelvis.
Lavage periotoneal Diagnostik (LPD)
Tujuan : untuk mendeteksi perdarahan intraperitoneal
Indikasi:

Cedera tumpul dengan abdominal


Perubahan respons nyeri
Penurunan : cedera kepala atau medula spinalis ; adanya

alcohol dan obat-obatan.


Peningkatan : fraktur pelvik, tulang belakang lumbar atau iga

bawah.
Hipovolemia yang tidak dapat dijelaskan pada korban trauma

multiple
Trauma abdomen penetrasi (jika eksplorasi tidak dikasikan)

15

Kontraindikasi :

Riwayat operasi abdomen multiple


Kebutuhan laparotomi segera

Prosedur :

Pasang kateter lavege kedalam rongga peritoneal melalui insisi

1-2 cm.
Coba mengespirasi cairan peritoneal.
Infus normal salin atau Ringer laktat dengan bantuan gaya

gravitasi.
Ubah posisi pasien dari satu sisi kesisi yang (kecuali jika ada

kontraindikasi)
Beriakan cairan mengalir kembali kekantung dengan bantuan

gaya gravitasi.
Kirim spesimen ke laboratorium.

Hasil-hasil positif :

10-20 ml darah nyata pada aspirasi awal


Lebih besar dari 100.000 SDP/mm
Lebih besar dari 500 SDP/mm
adanya bilirubin, bakteri, atau bahan feses.
Trauma penetrasi, Luka tembak berkaitan dengan derajat

kerusakan yang lebih tinggi dari luka-luka tikaman. Peluru dapat


menyebabkan luka di sekitar jaringan dan dapat terpecah atau
merubah arah di dalam tubuh, mengakibatkan peningkatan cedera.
Perdarahan internal, perforasi organ, dan fraktur kesemuanya dapat
disebabkan oleh cedera penetrasi.
Dengan menggunakan keterampilan pengkajian yang baik dan
kewaspadaan pada mekanisme terjadinya cedera, perawat unit
keperawatan kritis dapat membantu dalam mengidentifikasi cedera
yang tidak didiagnosa di unit kegawatdaruratan.
5) Perawatan definitif
Meskipun perawatan definitif dapat dimulai pada unit
gawat darurat atau ruang operasi. Perawatan ini sebagian besar
terdiri atas perawatan yang diberiakan pada unit rawat intensif, dan
yang konstan adalah penting dalam memudahkan penatalaksanaan
masalh-masalah yang ada. Elemen penting lainnya dari perawatan
16

definitif termasuk evaluasi tanda-tanda serta gejala-gejala baru,


penatalaksaan terhadap kondisi-kondisi medis yang sudah ada
terlebih dahulu, identifikasi cedera yang terlewatkan selama
tindakan terhadap masalah-masalah yang mengancam jiwa.
2. Pengkajian dan Penatalaksanaan Trauma yang Terjadi
a. Trauma kepala
Cedera kepala adalah kerusakan neurologi yang terjadi akibat
adanya trauma pada jaringan otak yang terjadi secara langsung
maupun efek sekunder dari trauma yang terjadi (Sylvia anderson Price,
2005)
Disebut cedera kepala berat bila GCS <8, kehilangan kesadaran atau
terjadi amnesia lebih dari 24 jam bahkan sampai berhari-hari. Resiko
utama pasien yang mengalami cedera kepala adalah kerusakan otak
akibat perdarahan atau pembengkakan otak sebagai respon terhadap
cedera dan menyebabkan peningkatan TIK.
Klasifikasi
Klasifikasi trauma kepala berdasarkan Nilai Skala Glasgow (SKG/
GCS):
a) Minor / Ringan
GCS 13 15
Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari
30 menit. Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral,
hematoma.
b) Sedang
GCS 9 12
Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi
kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak.
c) Berat
GCS 3 8
Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam,
juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma
intracranial.
Klasifikasi lesi intrakranial
Epidural hematom
Subdural hematom
Kontusio serebral atau perdarahan intraserebral

17

Epidural hematoma
Epidural hematom
adalah salah satu jenis
perdarahan intracranial
yang paling sering
terjadi karena fraktur
tulang tengkorak. Otak
di tutupi olek tulang
tengkorak yang kaku
dan keras. Otak juga di kelilingi oleh sesuatu yang berguna sebagai
pembungkus yang di sebut dura. Fungsinya untuk melindungi otak,
menutupi sinus-sinus vena, dan membentuk periosteum tabula
interna.. Ketika seorang mendapat benturan yang hebat di kepala
kemungkinan akan terbentuk suatu lubang, pergerakan dari otak
mungkin akan menyebabkan pengikisan atau robekan dari
pembuluh darah yang mengelilingi otak dan dura, ketika pembuluh
darah mengalami robekan maka darah akan terakumulasi dalam
ruang antara dura dan tulang tengkorak, keadaan inlah yang di kenal

dengan sebutan epidural hematom.


Subdural hematom

18

subdural hematoma adalah terkumpulnya darah antara duramater


dan jaringan otak, yang dapat terjadi secara akut dan kronik.
Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena/jembatan vena yang
biasanya terdapat diantara duramater, perdarahan lambat dan
sedikit. Periode akut terjadi dalam 48 jam atau dapat terjadi dalam
beberapa minggu atau beberapa bulan.

Hematoma intraserebral/kontusio serebral


Perdarahan
intracerebral
merupakan
penyabab
Cerebrovaskular
Accident yang
ketiga. Perdarahan
yang terjadi pada
memar otak dapat membesar menjadi hematom intraserebral.
Kelainan ini sering ditemukan pada penderita trauma kepala. Lebih
dari 50 % penderita dengan hematom intracerebral disertai hematom
epidural atau hematom subdural. Paling banyak terjadi di lobus
frontalis atau temporalis, dan tidak jarang ditemukan multipel.
Tanda Dan Gejala
Trauma otak mempengaruhi setiap sistem tubuh. Manifestasi klinis
cedera otak meliputi :
Gangguan kesadaran
Konfusi
Sakit kepala, vertigo, gangguan pergerakan
Tiba-tiba defisit neurologic
Perubahan TTV
Gangguan penglihatan
Disfungsi sensorik
Lemah otak
Pola pernafasan: Pusat pernafasan diciderai oleh peningkatan
TIK dan hipoksia, trauma langsung atau interupsi aliran darah.
Pola pernafasan dapat berupa hipoventilasi alveolar, dangkal.
19

Kerusakan mobilitas fisik: Hemisfer atau hemiplegi akibat

kerusakan pada area motorik otak.


Ketidakseimbangan hidrasi: Terjadi karena adanya kerusakan

kelenjar hipofisis atau hipotalamus dan peningkatan TIK.


Aktifitas menelan: Reflek melan dari batang otak mungkin

hiperaktif atau menurun sampai hilang sama sekali


Kerusakan komunikasi:Pasien mengalami trauma yang mengenai
hemisfer serebral menunjukkan disfasia, kehilangan kemampuan

untuk menggunakan bahasa.


b. Trauma Torak
Kurang lebih 25% dari kematian karena trauma adalah karena cedera
torak. Banyak cedera torak yang secara potensial mengancam jiwa,
misalnya tension atau pneumotoraks terbuka, hemotoraks massif, iga
melayang (flail chest), dan mudah, seringkali tanpa operasi besar. Jika
tidak ditangani, maka akan mengancam jiwa.
c. Cedera pada Paru dan Iga
1) Pneumotoraks dan Hemotoraks
Trauma tumpul dan penetrasi

dapat

menyebabkan

pneumotoraks atau hemotoraks Seringkali, satu-satunya tindakan


yang diperlukan adalah pemasangan selang dada. Hemotoraks
massif (>1.500 ml pada awalnya atau >100-200 ml/jam) akan
memerlukan

torakotomi,

sedangkan

selang

dada

untuk

mengembangkan kembali paru-paru sering kali sudah memadai


tamponade dengan sumber pendarahan yang lebih kecil. Intervensi
pembedahan juga mungkin diperlukan dalam kasus pneumotoraks
terbuka (luka menyedot dada) atau kebocoran udara yang tidak
terkontrol.
Selain memberikan perawatan rutin posoporasi (spirometri,
batuk, latihan nafas dalam), perawat unit perawatan kritis harus
mengkaji fungsi pernafasan dan hemodinamik dengan cermat.
Pasien dengan cedera paru mempunyai resiko lebih besar untuk
mengalami komplikasi pulmonal seperti etelekstatis, peneumonia,
dan empiema. Selang dada harus dikaji patensi dan fungsinya serta
dokter harus diberitahu jika drainase menjadi berlebihan. Untuk

20

kehilang darah dalam jumlah besar dari selang dada, mungkin


harus dilakukan ototranfusi.
2) Iga melayang (flail chest)
Iga melayang terjadi bila trauma tumpul menyebabkan
fraktur multiple iga, menyebabkan ketidak stabilan dinding dada.
Iga melayang berkaitan dengan pneumotoraks, hemotoraks,
kontusio pumonal, kontusio miokardial. Tujuan utama daari
perawatan terhadap iga mengambang adalah untuk meningkatkan
fentilasi yang ade kuat. Jika status pernafasan terganggu atau
diperlukan operasi untuk cidera terjadi, maka ada indikasi
pemasang intibasi dan fentilasi mekanis. Mungking juga digunakan
tekanan akhir ekspirasi positif (PEEP). Pada kejadian yang langka,
mungkin dilakukan stabilisasi operatif dengan kawat dan staples.
Fraktur iga tidak pernah dibalut karena hal ini nantinya hanya akan
mengutangi pul monal.
Fraktur iga sering berkaitan dengan nyeri yang hebat.
Control nyeri yang ade kuat dapat meningkatkan ekspansi paru
tanpa memerlukan ventilasi mekanis jangka panjang. Sering
diberikan analgesi parenteral, intramuscular, atau analgesia yang
dikontrol pasien. Analgetik sistemik, bagaimanapun tidak cukup
kuat untuk menghilangkan nyeri

iga melayang, sehingga

membutuhkan metode lain untuk menghilangkan nyeri seperti blok


interkosta atau analgesia epidural.
Asuhan keperawatan pada pasiaen denga iga melayang
ditujukan pada pengkajian dan pengontrolan nyeri, disertai dengan
peningkatan oksigenasi dan pertukaran gas yang ade kuat.
Hipoventilasi.

Akibat

nyeri

meningkatkan

resiko

terhadap

komplikasi pernafasan, termasuk atelektasis dan peneumonia.


Berbagai intervensi untuk memperbaiki fungsi pernafasan dapat
dilaksanakan termasuk batuk dan panas dalam, spirometrik,
drainase dan chapping, mukolitik, bronkodilator, pernafasan
tekanan

positif intermiten

(PTPI). Suksionendotrakeal

dan

nasotrakeal, bronkoskopi terapeutik.

21

Serangkain pengkajian pulmonal, termasuk sinar-x dada, gas-gas


aterial darah, pemeriksaan fisik, dan kadang-kadang pemantauan
dengan oksimetrik adalh penting.
Tabel 2.2
Prosedur-prosedur antara Kontusio Pulmonal dan ARDS
Kontusio Pulmonal

ARDS

Awitan gagal pernapasan bertahap

Infiltrate setempat

Awitan gagal pernapasan


mendadak
Perubahan-perubahan
gambaran radiografi sering kali
tertunda 2-3 hari setelah timbul
gejala-gejala
Infiltrate menyebar

Dapat mengarah pada


terbentuknya rongga dan abses

Dapat mengaah pada fibrosis


pulomanal kronis

Perubahan-perubahan gambaran
radiografi dapat segera terlihat

3) Kontusio Pulmonal
Kontusio Pulmonal adalah memar pada parenkim paru,
seringkali akibat trauma tumpul. Gangguan ini dapat tidak
terdiagnosa pada foto dada awal: bagaimanapun adanya fraktur iga
atau iga melayang harus mengarah pada dugaan kemungkinan
adanya kontusio pulmonal.
Kontusio pulmonal

terjadi

bila

perlambatan

cepat

memecahkan dinding sel kapiler, menyebabkan hemoragi dan


ekstravasasi plasma dan protein ke dalam alveolar dan spasium
interstisial. Tanda-tanda dan gejala-gejalanya termasuk dispnea,
rales, hemoptitis, dan takipnea.
Pasien dengan kontusio ringan memerlukan pengamanan
ketat. Perlu sering dilakukan pengukuran gas darah arterial (GDA)
atau oksimetri nadi. Intervensi keperawatan tambahan termasuk
pengkajian pernapasan yang kerap, perawatan pulmonal, dan
kontrol nyeri.

22

4) Cedera Trakeobronkial
Cedera pada trakea atau bronki dapat disebabkan oleh
trauma tumpul atau penetrasi dan seringkali disertai dengan
kerusakan pada esophagus dan vascular. Cedera trakeobronkial
yang parah mempunyai angka kematian yang tinggi, bagaimanapun
dengan bertambah baiknya perawatan dan transportasi pra-rumah
sakit akhir-akhir ini, maka makin banyak pasien ini yang bertahan
hidup.
Cedera jalan udara seringkali tidak tersamar. Tandatandanya termasuk dispnea (ada kalanya satu-satunya tanda),
hemoptisis, batuk, dan emfisema subkutan. Perbaikan operasi
dengan ventilasi mekanis pascaoperasi melalui selang endotrakeal
atau trakeostomi akan diperlukan.
Asuhan keperawatan melibatkan pengkajian terhadap
oksigenisasi dan pertukaran gas, disertai dengan perawatan
pulmonal yang tepat. Pneumonia adalah komplikasi jangka pendek,
sedangkan stenosis trakeal dapat terjadi kemudian.
d. Cedera Pada Jantung
1) Kontusio Miokardial
Memar pada miokardium kebanyakan disebabkan oleh
benturan dada pada batang stir atau dashboard selama KKB.
Gejala-gejala kontusio jantung bervariasi dari tidak ada gejala
(umum) sampai pada gagal jantung kongestif yang berat dan syok
kardiogenik. Setelah trauma, keluhan-keluhan tentang nyeri dada
harus dievaluasi dengan cermat.
Secara histology, kontusio jantung mirip dengan infark
miokardial. Diagnosa bias sulit ditegakkan. Untuk menegakkannya
dilakukan

serangkaian

pemeriksaan

EKG

dan

serangkaian

pengukuran keratin kinaseinsoenzim miokardial. Yang lebih umum


dari kontusio miokardial yang sudah dipastikan adalah cedera tipe
konkusio (gegar) yang dapat pulih. Tanda-tanda dan gejala-gejala
yang bersifat temporer (mis; takikardia, kontraks premature) akan
terlihat tanpa adanya perubahan dalam insoenzim. Manakala
kontusi sudah dipastikan, maka tindakan yang dilakukan serupa
dengan untuk infark miokardial akut.
23

2) Cedera penetrasi
Cedera penetrasi pada jantung mengakibatkan kematian
korban prarumah sakit sekitar 60% sampai 90% dari kasus. Pada
10% sisanya, hemoragi dan syok adalah yang umum terlihat. Luka
tikam kecil yang mengenai ventrikel ada kalanya menutup sendiri
karena tebalnya muskulatur ventrikuler.
Setelah operasi perbaikan, kateter arteri pulmonal (SwanGanz)

dan

selang

arterial

dipasang

unutk

memudahkan

pemantauan hemodinamik dengan cermat. Pada peristiwa transfusi


multipel, risiko terhadap ARDS dan koagulasi intravascular
diseminata makin tinggi (Tabel 44-4). Hipotensi berkepanjangan
meningkatkan kemungkinan terjadinya gagal renal.
Tabel 2.4
Komplikasi yang Berhubungan dengan Transfusi Darah
Multipel
ARDS
Koagulopati
KID
Hipokalemia atau Hiperkalemia
Hipokalsemia
Metabolik asidosis
Hipotermia
Kelebihan volume
Reaksi Transfusi
Penularan infeksi
Cedera pada Pembuluh Darah Besar
3) Tamponade
Tamponade jantung dapat terjadi akibat trauma penetrasi
maupun trauma tumpul. Tanda-tanda awal dapat mencakup
penurunan tekanan darah, peningkatan tekanan vena sentral
sebagaimana yang ditunjukan oleh distensi vena leher, dan bunyi
muffle pada jantung. Asuhan keperawatan pasca pembedahan mirip
dengan tindakan cedera penetrasi jantung
Sebagian besar pasien dengan transeksi atau robekan pada
aorta mengalami pengeluaran darah sebelum sampai dirumah sakit.
Tempat yang paling umum terjadinya cedera adalah dekat
ligamentum arteriosum. Kematian mendadak dapat dihindari jika
hemoragi benda didalam adventisia aortic. Aneurisma palsu ini
24

dapat pecah setiap saat, sehingga memerlukan diagnosa dan


tindakan yang cepat.
Kecurigaan akan cedera pada aorta atau pembuluh darah
lainnya meningkat dengan adanya fraktur iga pertama dan kedua
atau hemotoraks masif sebelah kiri. Tanda-tanda diagnostik
tambahan, meskipun tidak selalu ada, termasuk hipertensif
ekstremitas atas dengan penurunan nadi ekstremitas bawah. Cedera
pada subklavia atau arteri innominata dapat menyebabkan
penurunan nadi pada ekstremitas atas.
Komplikasi-komplikasi serius termasuk gagal ginjal karena
iskemia, disertai dengan ARDS dan KID karena transfuse multipel.
Pada kasus yang langka, perbaikan atau pengkleman silang aorta
totatik asending dapat menyebabkan iskemia medula spinalis,
mengakibatkan paralysis pemanen dari ekstremitas bawah.
e. Trauma Abdomen
Rongga abdomen memuat baik organ-organ yang padat maupun
yang berongga. Trauma tumpul kemungkinan besar menyebabkan
kerusakan yang serius organ-organ padat, dan trauma penetrasi
sebagian besar melukai organ-organ berongga. Secara umum, organorgan padat berespon terhadap trauma dengan perdarahan. Organorgan berongga pecah dan mengeluarkan isinya dan ke dalam rongga
peritoneal, menyebabkan peradangan dan infeksi.
Diagnosis dini adalah penting pada trauma abdomen. Pasien yang
memperlihatkan adanya cedera abdomen penetrasi fasia dalam
peritoneal, ketidakstabilan hemodinamik, atau tanda-tanda dan gejalagejala abdomen akut dilakukan eksplorasi dngan pembedahan.
Pasien dikaji untuk mendapatkan tanda-tanda abdomen akut;
distensi, rigiditas, guarding dan nyeri lepas. Eksplorasi pembedahan
menjadi perlu dengan adanya awitan setiap tanda-tanda dan gejalagejala yang mengindikasikan cedera. Penggunaan CT abdomen telah
memperoleh popularitas dan sering digunakan, atau sebagai tambahan
LPD. Namun skan CT tidak dapat terlalu diandalkan dalam mendeteksi
cedera pada rongga-rongga berongga.
1) Cedera pada Lambung dan Usus Halus

25

Cedera lambung yang signifikan jarang ditemui, namun


usus halus lebih umum mengalami cedera. Meskipun sering
mengalami kerusakan oleh trauma penetrasi. Mobilitas usus di
sekitar titik tetap (seperti ligamentum Treitz) mencetuskan
terjadinya cedera dengan adanya perlambatan. Cedera tumpul usus
halus atau lambung dapat terlihat dengan adanya darah pada
aspirasi nasogastrik atau hematemesis. Cedera penetrasi biasanya
menyebabkan LPD positif. Meskipun kontusio usus ringan dapat
diatasi secara konservatif (dekompresi lambung dan menunda
masukan per oral), pembedahan biasanya diperlukan untuk
memperbaiki luka-luka penetrasi.
Dekompresi pascaoperasi, baik dengan selang nasogastrik
atau selang lambung, dipertahankan sampai fungsi usus pulih.
Selang pemberi makan dapat dipasangkan segera pascaoperasi.
Karena lambung dan usus halus mengandung jumlah bakteri yang
signifikan, maka resiko terhadap sepsis adalah kecil, namun
pemberian anti biotik profilaktik dapat dilakukan kapan saja terjadi
perforasi usus.
Pada sisi lain, getah asam lambung mengiritasi peritoneum
dan dapat menyebabkan peritonitis. Potensial komplikasi lainnya
termasuk perdarahan pascaoperasi. Hipovolemia karena spasium
ketiga serta timbulnya fistula atau obstruksi. Beberapa dari
keadaan

ini

mengharuskan

adanya

tindakan

pembedahan

tambahan. Sindrom malabsorpsi jarang terjadi kecuali jika lebih


dari 200 cm usus telah diangkat.
2) Cedera pada Duodenum dan Pankreas
Pankreas dan duodenum akan dibahas bersama-sama
karena keduanya adalah organ-organ retroperitoneal dan secara
anatomi

dan

fisiologi

mempunyai

hubungan

yang

dekat.

Diperlukan kekuatan yang besar untuk mencederai organ-organ ini,


karena organ-organ ini terlindung dengan baik, jauh di dalam
abdomen. Tanda-tanda dan gejala-gejala dapat mencakup abdomen
akut, peningkatan kadar amylase serum, nyeri epigastrik yang
menjalar ke punggung, mual, dan muntah-muntah.
26

Laserasi minor atau kontusio hanya akan memerlukan


pemasangan drain, sedangkan luka-luka besar memerlukan
perbaikan pembedahan.
pada

kasus-kasus

ini

Prosedur pembedahan yang dilakukan


termasuk

pankreotikoduodenektomi,

anastomosis Roux-en-Y, dan pada keadaan yang langka, dilakukan


pankreatektomi total.
Pengkajian dan asuhan keperawatan pascaoperasi adalah
sama untuk berbagai prosedur. Patensi drain harus dipertahankan
dan pasien dipantau terhadap timbulnya fistula. Perlindungan
terhadap kulit adalah penting jika fistula telah terbentuk, karena
tingginya kandungan enzim dari getah pankreatin. Awitan Diabetes
Militus jarang terjadi kecuali jika dilakukan pankreatektomi total.
Cedera pada duodenum sendiri dapat disembuhkan dengan
anastomosis primer atau Billroth II. Trauma tumpul pada duodenum
juga dapat mengarah pada obstruksi duodenal. Diagnosis
ditegakkan dengan pemeriksaan diatrizoate (Gastrografin)
gastrointestinal atas. Obstruksi menyeluruh umumnya memerlukan
drainase pembedahan dari hematoma.
3) Cedera pada Kolon
Cedera pada kolon biasanya berkaitan dengan trauma
penetrasi. Sifat dari cedera paling sering menuntut segera
dilakukannya operasi eksplorasi. Perbaikan primer adalah tindakan
pilihan untuk laserasi kolon. Kolon mempunyai jumlah bakteri
yang tinggi, tumpahnya isi kolon dapat mencetuskan terjadinya
sepsis intra-abdominal, dan pembentukan abses.
Asuhan keperawatan pascaoperasi difokuskan

pada

pencegahan infeksi. Pada kasus perbaikan kolon eksterior, dan


dilakukan anastomosis ujung-ke-ujung dan tempat perbaikan
eksterior untuk memudahkan identifikasi kebocoran. Karena sepsis
adalah komplikasi utama pada cedera kolon, mungkin diperlukan
serangkaian

prosedur

radiografi

dan

pembedahan

untuk

menemukan dan mengalirkan abses.


4) Cedera pada Hepar
Setelah limpa, hepar adalah organ abdomen yang paling
umum mengalami cedera. Baik trauma tumpul maupun trauma
27

penetrasi dapat menyebabkan cedera. Pada banyak kasus, baik sifat


dari cedera atau LPD positif atau skan CT digabung dengan
kondisi klinis pasien akan menuntut dilakukannya pembedahan.
Cedera pada hepar juga memrlukan drainase empedu dan darah
pascaoperasi melalui drain.
Setelah pembedahan, mungkin timbul syok hipovolemik
dan koagulopati. Dengan koagulopati, perdarahn timbul dari
berbagai

tempat,

sedangkan

dengan

hemostasis

inkomplit

perdarahan terutama berasal dari tempat pembedahan. Asuhan


keperawatan termasuk penggantian produk darah sambil memantau
hematokrit dan pemeriksaan koagulasi. Pengkajian tipe dan jumlah
selang drainase, disertai keseimbangan cairan, juga adalah penting.
Potensial komplikasi dari cedera hepar termasuk abses hepatic atau
perihepatik, obstruksi atau kebocoran saluran empedu, sepsis,
ARDS dan KID.
5) Cedera pada Limpa
Limpa adalah organ abdomen yang paling umum
mengalami cedera. Lebih sering sebagai akibat trauma tumpul.
Tanda-tanda dan gejala-gejala yang ditunjukkan termasuk nyeri
kuadran kiri atas menjalar sampai ke bahu kiri, syok hipovolemik,
dan temuan-temuan nonspesifik dengan peningkatan jumlah sel
darah putih. LPD, skan CT abdominal, atau pemeriksaan
radionuklida biasanya penting untuk diagnosa.
Orang dewasa dengan cedera minor atau kebanyakan anakanak

ditangani

tanpa

tindakan

operasi,

dengan

observasi

(serangkaian pemeriksaan abdomen, hematokrit) dan dekompresi


nasogastrik. Tindakan pembedahan terdiri atas splenorafi atau
splenektomi. Ototransplantasi splenik, suatu prosedur yang masih
sangat baru dan controversial, terdiri atas implantasi fragmentfragment splenik ke dalam kantung omentum.
Komplikasi dini termasuk perdarahan berulang, abses
subfrenik, dan pankreatitis karena trauma pembedahan. Komplikasi
akhir terdiri atas trombositosis dan sepsis berat postplenektomi
(SBPS). Penyuluhan harus difokuskan pada deteksi terhadap tanda-

28

tanda dan gejala-gejala dari infeksi. Autotransplantasi splenik


terbukti dapat bermanfaat dalam menurunkan insiden SBPS.
f. Cedera pada Ginjal
1) Cedera Vaskular
Cedera penetrasi dapat mengarah baik pada hemoragi
bebas, hematoma terkandung, atau berkembangnya trombus
intraluminal. Tanda-tanda dan gejala-gejala, jika ada, terdiri atas
hematuria, nyeri, dan massa panggul. Skan CT, pielogram
intravena, atau engiogram biasanya dapat membantu dalam
menegakkan diagnosa. Laserasi yang lebih kecil diperbaiki,
sedangkan cedera yang lebih besar mengharuskan dilakukan
nefrektomi.
Pengkajian pascaopersi dan dukungan fungsi ginjal adalah
penting. Mungkin diberikan dopamine

dosis rendah, dan

keseimbangan cairan optimal harus dipertahankan untuk menjamin


perfusi ginjal. Komplikasi utama terdiri atas trombosis arterial atau
vena dan gagal ginjal akut.
2) Cedera Parenkin
Trauma tumpul atau penetrasi dapat menyebabkan laserasi
atau kontusio parenkin ginjal atau pecahnya system koligentes.
Diagnosanya serupa dengan cedera vskular ginjal. Pembedahan
diperlukan untuk cedera yang lebih besar. Komplikasi lainnya
termasuk perdarahan, sepsis (terutama dengan ekstravasasi dari
urine yang terinfeksi), berkembangnya fistula uriner, dan awitan
lambat hipertensi.
g. Trauma Pelvik
1) Cedera pada Kandung Kemih
Kandung kemih dapat mengalami laserasi atau pecah,
paling sering sebagai konsekuensi trauma tumpul. Cedera pada
kandung kemih seringkali berhubungan dengan fraktur pelvic.
Adanya hematuria, nyeri abdomen bawah, atau ketidakmampuan
berkemih memerlukan pemeriksaan terhadap cedera uretra dengan
uretrogram retrogad sebelum pemasangan kateter urine.
Cedera pada kandung kemih dapat menyebabkan ekstravasasi urine
intraperitoneal atau ekstraperitoneal. Ekstravasasi ekstraperitoneal
sering dapat ditangani dengan drainase kateter. Komplikasi jarang
29

terjadi namun dapat saja terjadi infeksi karena kateter urine atau
sepsis akibat ekstravasasi urine.
2) Fraktur Pelvik
Fraktur pelvik yang kompleks berkaitan dengan mortalitas
yang tinggi. Hemoragi sekunder adalah penyebab yang paling
sering dari kematian dini, sedangkan sepsis menyebabkan
penundaan mortalitas. Angiogram seringkali diperlukan untuk
menemukan letak dan menyumbat sumber perdarahan.
Perhatian utama dari perawat unit perawatan kritis adalah
untuk

mencegah

syok

hemoragi.

Transfusi

multipel

dan

pemantauan hemodinamik diperlukan dalam kasus hemoragi yang


signifikan. Komplikasi utama lain dari fraktur pelvik termasuk
keterlibatan saraf pelvik dan emboli pulmonal. Penting untuk
dilakukan terapi fisik yang berkepanjangan dan rehabilitsi yang
sering.
h. Trauma pada Ekstremitas
1) Fraktur
Fraktur sering terjadi pada trauma tumpul, kurang jarang
pada trauma penetrasi. Manakala radiografi sudah memastikan
adanya fraktur, maka harus dilakukan stabilitasi atau perbaikan
fraktur. Fiksasi internal fraktur sering memungkinkan ambulasi
dini pada pasien dengan cedera multipel yang mungkin akan
mengalami komplikasi akibat tirah baring berkepanjangan (ulkus
dekubitus, emboli pulmonal, penyusutan otot).
Tanggung jawab keperawatan termasuk pengkajian status
neurovaskuler, sejalan dengan perawatan luka dan pin. Asuhan
keperawatan harus diarahkan terhadap pencegahan dan deteksi dini
tentang masalah-masalah ini. Perawat juga harus bekerja sama
dengan terapis fisik untuk meningkatkan kekuatan dan mobilisasi
dini.
2) Cedera Vaskular
Cedera vaskular sering kali mengakibatkan perdarahan atau
trombosis pembuluh. Cedera vaskular biasanya disebabkan oleh
trauma penetrasi, dan kurang sering karena fraktur. Angiogram
juga dapat digunakan untuk menentukan tempat cedera dan

30

mengidentifikasi fistula arteriovenosa, pseudoaneurisme, dan


penutupan intima. Dilakukan perbaikan pembedahan primer atau
tandur vaskuler.
Segera setelah periode pasceoperasi, terdapat resiko
perdarahan berlanjut atau oklusi trombotik dari pembuluh. Perawat
harus mengkaji nadi distal, warna kulit, sensasi, gerakan, dan suhu
ekstremitas yang cedera. Indeks ankle-brakial (ABI) seringkali
berguna dalam mendeteksi perkembangan oklusi setelah trauma
ekstremitas bawah. Penurunan ABI menunjukan peningkatan
gradient

tekanan

yang

menembus

pembuluh.

Metode

ini

memberikan data yang lebih objektif ketimbang hanya meraba


nadi. Perawat juga harus memperhatikan perkembangan sindrom
kompartemen.
2. Pengkajian dan Penatalaksanaan Trauma Lanjutan
a. Trauma kepala
Penilaian Trauma kapitis
1) Penurunan kesadaran
Penurunan kesadaran merupakan tanda utama trauma kapitis. Saat
ini penurunan kesadaran dinilai memakai Glosgow Coma Scale
(GCS), dan merupakan keharusan untuk dikuasai oleh setiap para
medic. GCS memakai 3 komponen, yakni Eye (mata), Verbal
(kemampuan berbicara), dan Motorik (gerakan).
Eye
4. Membuka spontan
3. Membuka terhadap suara
2. Membuka terhadap nyeri
1. Tidak ada respon
Verbal
5. Berorientasi baik
4. Berbicara tapi tidak berbentuk kalimat
3. Berbicara kacau atau tidak sinkron
2. Suara merintih atau menerang
1. tidak ada respon

31

Motorik
6. Mengikuti perintah
5. Melokalisir nyeri
4. Fleksi normal (menarik anggota yang dirangsang)
3. Fleksi abnormal (dekortikasi)
2. Ekstensi abnormal (deserebrasi)
1. tidak ada respon (flasid)
Keadaan koma apabila diterjemahkan ke GCS adalah :
Tidak membuka mata : Eye =1
Tidak dapat berkata-kata : Verbal =2 atau 1
Tidak dapat mengikut perintah : Motorik = 5
Maka koma adalah GCS 8 atau kurang.
Tingkatan GCS
1. GCS Ringan (GCS=14-15)
Penderita tersebut sadar namun dapat mengalami amnesia
berkaitan dengan cedera yang dialaminya. Dapat disertai riwayat
hilangnya kesadaran yang singkat namun sulit untuk dibuktikan
terutama bila dibawah pengaruh alcohol atau obat-obatan
2. GCS Sedang (GCS=9-13)
Penderita masih mampu menuruti perintah sederhana namun
biasanya tampak bingung atau mengantuk dan dapat desertai
deficit neurologis fokal seperti hemiparesis. Sebanyak 10-20% dari
penderita cedera otak sedang mengalami pemburukan dan jatuh
dalam koma.
3. GCS Berat (GCS 3-8)
Penderita dengan cedera kepala berat tidak mampu melakukan
perintah sederhana walaupun status kardiopulmonalnya telah
stabil.
2) Tanda lateralisasi
Tanda lateralisasi disebabkan karena adanya suatu proses pada satu
sisi otak, seperti misalnya perdarahan intra-kranial.
Pupil

32

Kedua pupil mata harus diperiksa. Biasanya sama lebar (3mm) dan
reaksi sama cepat apabila salah satu lebih lebar (lebih dan 1mm),
maka keadaan ini disebut sebagai anisokoria.
Motorik
Dilakukan perangsangan pada kedua lengan dan tungkai, apabila
salah satu lengan atau dan tungkai kurang atau sama sekali tidak
bereaksi maka disebut sebagai adanya tanda lateralisasi
3) Tanda-tanda peningkatan tekanan intra-kranial (TIK)
a. Pusing dan muntah proyektil
b. Nyeri kepala hebat
c. Tekanan darah sistolik meninggi
d. Nadi melambat (bradikardia)
e. Tanda-tanda peninggian tekanan intra-kranial tidak mudah
untuk dikenali, namun apabila ditemukan maka harus sangat
waspada.
4) Pengelolaan cedera kepala
Pada setiap cedera kepala harus selalu diwaspadai adanya fraktur
sevikal.
Airway dan Breathing
Gangguan airway dan breathing sangat berbahaya pada trauma
kapitis karena akan dapat menimbulkan hipoksia atau hiperkarbia
yang kemudian akan menyebabkan kerusakan otak skunder. Bila
koma harus dipasang jalan nafas definitive, karena reflex menelan
dan reflex batuk kemungkinan sudah tidak ada sehingga ada
bahaya obstruksi jalan nafas. Oksigen selalu diberikan dan bila
pernafasan meragukan lebih baik memulai ventilasi tambahan.
Circulation
Gangguan Circulation (syok) akan menyebabkan gangguan perfusi
darah keotak yang akan menyebabkan kerusakan otak sekunder.
Dengan demikian syok trauma kapitis harus dilakukan penanganan
dengan agresif.
Disability
Selalu dilakukan penilaian GCS, pupil dan tanda lateralisasi yang
lain. Penurunan kesadaran dalam bentuk penurunan GCS lebih dan
1 (2 atau lebih) menandakan perlunya konsultasi bedah syaraf

33

dengan cepat. Selalu ingat upayakan mencegah kerusakan otak


sekunder.
b. Trauma Torak
Trauma torak sering ditemukan, sekitar 25% dan penderita multitrauma ada komponen trauma toraks. 90% pada penderita dengan
trauma toraks ini dapat diatasi dengan tindakan yang sederhana oleh
dokter rumah sakit (atau paramedic dilapangan), sehingga hanya 10%
yang memerlukan operasi.
Pemeriksaan Fisik Paru
1) Inspeksi
Pemeriksaan paru dilakukan dengan melihat adanya jejas pada
kedua sisi dada,serta ekspansi kedua paru simektris atau tidak
2) Palpasi
Palpasi dilakukan dengan kedua tangan memegang kedua sisi dada.
Nilai peranjakan kedua sisi dada penderita apakah teraba simektris
atau tidak oleh kedua tangan pemeriksa.
3) Perkusi
Dengan mengetukan jari tengah terhadap jari tengah yang lain yang
diletakan mendatar di atas dada. Pada daerah paru berbunyi sonor,
pada daerah jantung berbunyi redup (dull),sedangkan diatas
lambung (dan usus) berbunyi timpani.Pada keadaan pnuemothorax
akan berbunyi hipersonor,berbeda dengan bagian paru yang
lain.Pada keadaan hemotorak akan berbunyi redup (dull)
4) Auskultasi
Auskultasi dilakukan pada 4 tempat yakni dibawah kedua klavikula,
(pada garis mid-klavikularis) ,dan pada kedua mid-aksila (kosta 4-5)
bunyi nafas harus sama kiri sama dengan kanan.
Jenis Trauma Torak
Manifestasi : gangguan airway (obstruksi)
Penekanan pada trakea didaerah toraks dapat terjadi karna mislnya
fraktur seternum.Pada pemeriksaan klinis penderita aka nada gejala
penekanan airway seperti stridor inspirasi dan suara serak.
Manifestasi : gangguan breathing (sesak)
Ada 4 gangguan breathing :
1) Pneumotoraks terbuka /open pneumo-thorax (sucking chest wound)
Depek atau luka yang besar pada dinding dada akan menyebabkan
pneumo-thorax terbuka.Tekanan didalam rongga pleora akan segera
menjadi sama dengan tekanan atmosfer.

34

2) Tension pneumothorax
Penyebab tersering dari tension pneumothorax adalah komplikasi
penggunaan fentilasi mekanik (Ventilator) dengan fentilasi tekanan
positif

pada

penderita

yang

ada

kerusakan

pada

pleura

visceral.Tension pneumothorax juga ditandai dengan gejala nyeri


dada,sesak yang berat,distress pernafasan takikardea,hipotensia
deviasi trakea,hilang suara nafas pada satu sisi,dan ditensi venaleher
3) Hematothorax massif
Pada keadaan ini terjadi perdrahan hebat dalam rongga dada.Pada
keadaan ini akan terjadi sesak karna darah dalam rongga pleura dan
sok karna kehilangan darah.Pada perkusi dada akan dull karan
adarah dalm rongga pleura (pada pneumothorax adalah hipersonor)
4) Flail chest
Terjadinya flail chest dikarnakan fraktur iga multiple pada dua atau
lebih tulang dengan dua atau lebih garis fraktur.Adanya sigmen flail
chest (segmen mengambang) menyebabkan gangguan pada
pergerakan dinding dada.Pada ekspirasi segman akan menonjol
keluar,pada inspirasi justru akan masuk kedalam ini dikenal sebagai
pernafasan paradogsal. Flail chest mungkin tidak terlihat pada
awalnya, karna spilnthing pada awalnya (terbelat) dengan dinding
dada.Gerkan pernafasan menjadi buruk dan torak bergerak secara
asimetris dan tidak terkoordinasi.Palpasi gerakan pernafasan yang
abnormal dan krepitasi iga atau fraktur tulang rawan membentuk
diagnosis.

35

Manifestasi : circulation (shok)


Cidera torak yang akan mempengaruhi sirkulasi yang harus
ditemukan pada primary survey adalah hemotorak mosip karna
terkumpulnya darah dengan cepat dirongga pleura.Juga dapat terjadi
pada tampo nade jantung,walaupun penderita tidak dalam keadaan
sesak namun dalam keadaan shok ( syok nonhemoragik ) terjadi
paling sering karna luka tajam jantung,walaupun trauma tumpul
juga dapat menyebabkannya.
c. Trauma Abdomen
Trauma abdomen akan ditemukan pada 25% penderita multi-trauma.
Sering kali terjadi bahwa diagnostic akan adanya cedera intra-abdomen
terlambat karena:
1) Gejala dan tanda yang ditimbulkannya kadang-kadang lambat.
2) Adanya penurunan kesadaran karna ada cedera kepala yang
bersamaan, sehingga gejala nyeri abdomen tidak ada.
3) Adanya cedara spinal, sehingga tidak adanya rasa nyeri.
4) Pemakaian obat-obatan atau minuman keras.
Insiden
Trauma abdomen bisa disebabkan karna trauma tajam dan trauma
tumpul. Trauma tajam di Indonesia cukup sering terjadi umumnya
disebabkan oleh luka tikam, luka bacok atau luka tembak. Penderita
umumnya pria dari kelompok usia produktif. Pada luka bacok
biasanya penderitanya mengalami luka-luka ditempat lain, misalnya
dikepala, dileher, dada, extremitas dan kadang-kadang menimbulkan
syok hypovolemik.
Mekanisme trauma
Luka tikam bisa dibedakan oleh pisau, golok, obeng, pisau lipat, kaca
atau benda-benda yang menancap.
Luka tembak bisa disebabkan menjadi 2 (dua) jenis:
1) Kecepatan rendah : < 1000 feet/detik, umumya pada senjata
sipil/polisi
2) Kecepatan tinggi : > 3000 feet/detik, umumnya pada senjata
standar militer
Gejala Dan Tanda Trauma Abdomen

36

Pada trauma tajam abdomen seharusnya kita mampu mendeteksi


cedera yang potensial pada organ-organ intra abdomen. Pemeriksaan
color dubur sangat penting pada trauma tajam abdomen dan bila
ditemukan adanya darah pada sarung tangan berarti ada cedera pada
usus. Bila pada pemeriksaan tidak ditemukan tanda dan gejala klinis
yang positif kita harus hati-hati dan tetap waspada.atau team harus
melakukan resusitasi dan stabilisasi secepat mungkin.
Inspeksi
Semua pakaian harus dilepas.abdomen bagian depan dan belakang
diteliti apakah mengalami ekskoriasi atau memar,m adakah laserasi,
tusukan dan sebagainya dengan cara log roll
Auskultasi
Lakukan auskultasi untuk mendengarkan bising usus terdengar atau
tidak.
Perkusi
Dengan perkusi bisa kita ketahui adanya nada tympani karna dilatasi
lambung akut dikwadran kiri atas ataupun adanya perkursi redup bila
ada hemoperitoneum. Perkusi mengakibatkan pergerakan peritoneum
dan mencetuskan tanda peritonitis. Shifting dullness (adanya darah
dalam abdomen) terjadi kalau pasien dimiringkan.
Palpasi
Tujuan palpasi adalah untuk mendapatkan adanya nyeri lepas yang
kadang-kadang dalam. Dengan palpasi juga kita dapat menentukan
besarnya uterus dan usia kehamilan.
Penanganan Trauma Abdomen
Pada dasarnya semua trauma abdomen tumpul dan dan tajam,
penanganan awal tindakan penyelamatan selalu didahulukan dan
mengacu prosedur ABCDE. Disini penolong atau tim harus
melakukan resusitasi dan stabilisasi secepat mungkin.
a. Airway dan breathing
Ini diatasi terlebih dahulu. Selalu ingat bahwa cedera bisa lebih
dari satu area tubuh, dan apapun yang ditemukan, ingat untuk
memprioritaskan airway dan breathing terlebih dahulu.
37

b. Circulation
Kebanyakan trauma abdomen tidak dapat dilakukan tindakan apaapa pada fase pra-RS namun terhadap syok yang menyertainya
perlu penanganan yang agresif
c. Disability
Tidak jarang trauma abdomen disertai dengan trauma kapitis.
Selalu periksa tingkat kesadaran (dengan GCS)

dan adanya

lateralisasi (pupil anisokor dan motorik yang lebih lemah satu


sisi).
d. Apabila ditemukan usus yang menonjol keluar (eviserasi) cukup
denga menutupnya dengan kasa steril yang lembab supaya usus
tidak kering. Apabila ada benda menancap, jangan dicabut tetapi
dilakukan fikasi benda tersebut terhadap dinding perut.
C. DIAGNOSA
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada kegawatdaruratan trauma
adalah:
1. Risiko bersihan jalan nafas tidak efektif b.d masuknya benda asing (darah),,
risiko lidah menutupi jalan nafas sekunder penurunan penjahat.
2. Pola nafas tidak efektif b.d penurunan tingkat kesadaran, trauma, kerusakan
neurologis sekunder peningkatan tekanan intracranial.
3. Risiko tinggi penurunan curah jantung
4. Risiko tinggi gangguan perfusi jaringan serebral b.d perdarahan daerah
serebral sekunder trauma langsung.
5. Risiko tinggi penurunan perfusi jaringan perifer b.d berkurangnya volume
darah sekunder perdarahan.
6. Kerusakan intergritas kulit b.d trauma mekanik
7. Risiko tinggi penambahan cedera b.d menurunnya kesadaran, terapi, proses
ambulasi
8. Risiko tinggi infeksi b.d kerusakan integritas kulit, tindakan invasif,
trauma.

D. INTERVENSI
No

Diagnosa

1.

Risiko bersihan
jalan nafas tidak
efektif b.d
perdarahan

Tujuan
dan Kriteria Hasil
Tujuan:
Selama 1 x 24 jam
Bersihan jalan nafas
efektif

Intervensi
Mandiri:
1) Auskultasi bunyi nafas,
perhatikan apakah ada
bunyi nafas abnormal
38

sekunder fraktur
mandibula

2.

Pola nafas tidak


efektif b.d
penurunan
tingkat
kesadaran,
trauma,
kerusakan
neurologis
sekunder
peningkatan
tekanan
intracranial.

Kriteria hasil:
- Pernafasan regular,
dalam dan kecepatan
nafas teratur
- Pengembangan dada
kanan dan kiri simetris
- Batuk efektif, refleks
menelan baik
- Tanda dan gejala
obstruksi pernafasan
tidak ada: stridor (-),
wheezing (-), ronkhi
(-).
- Suara nafas vesikuler
kanan dan kiri
Tujuan :
Selama 1 x 24 jam Pola
nafas efektif
Kriteria hasil:
- Pernafasan regular,
dalam dan kecepata
teratur
- Pengembangan dada
kanan dan kiri teratur
- Tanda dan gejala
obstruksi pernafasan
tidak ada: stridor (-),
sesak nafas (-),
wheezing (-).
- Suara nafas vesikuler
kanan dan kiri
- Trakea midline
- Hasil AGD dalam
batas normal

2) Monitor pernafasan,
perhatikan rasio inspirasi
maupun ekspirasi
3) Berikan posisi datar
4) Lakukan suction
Kolaborasi:
1) Intubasi dengan ETT
(Endo-Trakeal Tube) no.
7.5
2) Berikan premedikasi
ventilator fentanyl 1
amp
3) Pemeriksaan laboratorium
AGD (Analisa Gas Darah).

Mandiri
1) Observasi frekuensi,
kecepatan, kedalaman, dan
irama pernafasan tiap 2
jam
2) Observasi penggunaan otot
bantu pernafasan tiap 2
jam
3) Perhatikan pengembangan
dada simetris atau tidak
tiap 2 jam
4) Auskultasi bunyi nafas,
perhatikan bila ada ronkhi,
wheezing dan creckles
5) Lakukan sution bila perlu
Kolaborasi
1) Intubasi dengan ETT
2) Gunakan Ventilator
PSIMV 12 bpm, FiO2
80%, PSV 5, PEEP 5.
3) Pemeriksaan laboratorium
AGD (Analisa Gas Darah).
4) Pertahankan OPA (OroPharingeal Airway)
Risiko tinggi
Tujuan:
Mandiri
gangguan
Selama 1 x 24 jam Perfusi 1) Kaji dan pantau TTV, catat
perfusi jaringan jaringan serebral adekuat
kekuatan nadi tiap jam
serebral b.d
Kriteria hasil:
2) Evaluasi status neurologis
perdarahan
- Tidak tampak tandatiap 2 jam
daerah serebral
tanda peningkatan
3) Kaji tingkat kesadaran dan
sekunder trauma
tekanan intracranial,
GCS tiap jam
langsung.
seperti: muntah
4) Observasi tanda
proyektil, papil edema,
perdarahan
39

nyeri kepala hebat dan


penurunan kesadaran
TTV dalam batas
normal
Penghentian aliran
darah
Kesadaran meningkat
Tekanan perfusi otak
60-90 mmHg
Tekanan intracranial
0-15 mmHg

5) Monitor tanda-tanda
peningkatan tekanan
intracranial tiap jam
Kolaborasi
1) Monitor hasil AGD

E. Penatalaksanaan pada pasien dengan henti jantung


Di bawah ini

40

Nadi tidak teraba


Berikan RJP
Berikan Oksigen
Pasang Monitor

3. Ventrikel
Fibrilasi/ Ventrikel
Takikardia
4
Berikan DC Shock
Manual Bifsik (120200 J).
Monofasik (360 J).
Ulangi CPR 5 siklus

5. Cek nadi

6.
1. Lanjutkan CPR, selama
defribilator di charge. Berikan
DC Shock.:
Manual Biphasik: Sama
dengan dosis pertama/
lebih tinggi
Monophasik: 360 J
2. Ulangi CPR segera setelah
DC Shock.
Jika jalur iv tersedia, berikan:
Epinephrin 1 mg iv, ulaangi
setiap 3-5 menit
Atau berikan vasopressin 40
U iv untuk menggantikan
epinephrin

2. Cek nadi

9. Asistole/PEA

10. Ulangi CPR selama 5


siklus. Jika jalur IV
tersedia, berikan:
Epinephrine 1 mg iv,
ulangi setiap 3-5 menit.
Atau vasopressin
sebagai pengganti
epinephrine dgn dosis
40 U, atau.
Atropine 1 mg iv
untuk asistole/ slo PEA.
Ulangi setiap 3-5 menit
smapi 3 dosis

11. Cek nadi

12
Jika Asistole, lihat box 10
Jika ada aktivitas listik,
chek nadi. Jika tidak ada
nadi, lihat box 10.
Jika ada nadi, lakukan
postresusitation care.

13.
Lihat
box 4

7. Cek nadi

8.
1. Lanjutkan CPR, selama defribilator di
charge. Berikan DC Shock.:
Manual Biphasik: Sama dengan dosis
pertama/ lebih tinggi
Monophasik: 360 J
2. Ulangi CPR segera setelah DC
Shock.
Berikan antiaritmia, berikan selama
dilakukan RJP (sebelum dan sesudah
dc shock), amiodarone (300 mg iv,
kemudian jika perlu tambahkan 150
mg iv 1 kali) atau lidocaine (1-1,5
mg/kgbb dosis pertama, dosis
selanjutnya: 0,5-0,75 mg/kgbb iv)
maks 3 dosis

14. Selama CPR:


Tekan keras dan cepat (100/menit)
Pastikan kembalinya dada dengan
sepenuhnya
Minimalisasi iterupsi selama CPR
1 siklus CPR= 30 kompresi kemudian
2 nafas. 5 siklus= 2 menit
Hindari hiperventilasi.
Lindungi jalan nafas
Rotasi kompresor setiap 2 menit,
dengan mengecek nadi terlebih
41
dahulu.
\Cari dan atasi factor yang
berkontribusi: hipovolemia,
hipoksia

Penjelasan Alogaritma Ventrikel Fibilasi dan Ventrikel Takikardia tanpa


nadi.
1. Kotak 1 dan 2
Segera lakukan RJP secara terus menerus pada menit pertama. Dan tindakan
defribliasi harus dilakukan secepat mungkin.
Jika VF/VT tanpa nadi tidak tersaksikan, lakukan RJP selama 5 siklus sebelum
defribilasi dilakukan, pada orang dewasa yang mengalami henti jantung yang
sudah lama, pemberian defribilasi memberikan keberhasikan setelah dilakukan
kompresi dada yang adekuat. Tetapi jika VF/VT tanpa nadi yang tersaksikan
dan defribilator tersedia, setelah diberikan bantuan nafas 2 kali dan
pemeriksaan nadi ternyata tidak teraba, segera lakukan tindakan fibrilasi.
2. Kotak 3,4,5
Defribilasi dilakukan 1 kali dengan energy 350 J dengan menggunakan
defribilator monofasik, untuk defibilator bifasik menggubakan energy 250-200
J. Jika tidak diketahui jenis defribilasi, maka diberikan 200 J. Setelah
defribilasi dilakukan, segera lakukan RJP selama 5 siklus (kira-kira 2 menit),
kemudian lakukan pengecekan irama, jika tidak terjadi perubahan irama,
lakukan RJP selama 5 siklus disertai dengan alat bantu nafas. Jika alat bantu
nafas sudah terpasang (endotracheal tube, laryngeal mask, conbitube), maka
kompresi tidak perlu dihentikan saat pemberian ventilasi.
Kompresi dilakukan dengan kecepatan 100x/menit dan ventilasi diberikan
sekitar 8-10 kali/menit. Kompresor harus digantikan setiap 2 menit untuk
menghindari kelelahan yang dapat mengakibatkan kompresi dada tidak
adekuat. Pengecekan nadi dan irama jantung tidak perlu dilakukan setelah RJP
selama 5 suklus (kira-kira 2 menit). Pada saat kompresi, tidak diizinkan untuk
terlalu serng dihentikan karena akan menurunkan perfusi ke otak. Idealnya
hanya berhenti pada saat ventilasi diberikan, jika belum menggunakan alat
bantu nafas devinitife, saat mengecek irama jantung, atau saat defribilasi siap
diberikan.
Segera lakukan pemasanagan intravena, tetapi tidak boleh mengganggu
tindakan RJP atau tindakan defribilasi.

42

3. Kotak 6 dan 7
Obat-obatan pada alogaritma VF/VT tanpa nadi diberikan setelah 1 atau 2 kali
defribilasi dan RJP dilakukan. Tetapi pilihan pertama yaitu vasopressor yaitu
adrenalin 1 mg diberikan setiap 3-5 menit sekali atau vasopressor dapat
diberikan sebagai pengganti adrenalin atau sebagai pbat kedua. Vasopressor
diberikan dengan dosis tunggal 40 unit. Setelah obat diberikan, RJP dilakukan
selama 5 siklus atau 2 menit, kemudian pastikan irama lalu defribilasi
dilakukan dengan energy yang sama seperti energy sebelumnya.
4. Kotak 8
Jika setelah dilakukan 2 atau 3 defribilasi dan RJP, serta vasopressor teah
diberikan dan irama belum berubah. Maka antiartimia seperti amiodaron dapat
diperimbangkan untuk diberikan, dengan dosis awal amiodaron 300 mg
diencerkan dalam 20-30 ml cairan dextrose 5% atau Nacl 0,9% diikuti cairan
pembilas dextrose 5% atau Nacl 0,9% sebanyak 20 ml, amiodaron dapat
diulang dengan dosis 150 mg per iv/io. Pemberiannya dapat diulang 5-10 menit
dengan sosis 0,5-0,75 mg/kg jika VF/VT tanpa nadi menetap, dosis maksimal 3
mg/kg.
Pemberian obat-obatan pada saat RJP diberikan tanpa harus menghentikan
RJP, yaitu diberikan segera setelah pengecekan irama dilakukan dan dapat
diberikan sebelum dan sesudah defribilasi.
Pengecekan irama harus dilakukan dalam waktu sangat singkat, dan
pengecekan nadi hanya dilakukan jika terjadi perubahan irama, dan irama
tersebut teratur (QRS jelas, teratur dan sempit). Jika terdapat keraguan
mengenai keadaan nadi (teraba/tidak) lakukan RJP. Jika penederita kembali
pada sirkulasi spontan (nadi teraba) segera mulai penatalaksanaan pada pasca
resusitasi. Apabila irama menjadi asistole atau PEA lihat alogaritma selanjutnya
(kotak 9 dan 10).
Penjelasan Alogaritma Asistole dan Pulseless Electrical Activity (PEA)
1. Kotak 9
Di monitor menunjukan irama asistole atau PEA.

43

2. Kotak 10
RJP dilakukan selama 5 siklus diikuti dengan pemasangan alat bantu nafas
devinitif dan pemasangan intravena, tanpa menghentikan tindakan RJP. Setelah
alat bantu jalan nafa terpasang, RJP dilakukan tanpa harus menghentikan
kompresi dada untuk pemberian ventilasi. RJP dilakukan dengan cara
melakukan kompresi dada dengan kecepatan 100 kali/menit dan ventilasi 8-10
kali/menit.
Vasopressor seperti adrenalin atau vasopressin diberikan segera setelah
intravena dipasang. Adrenalin diberikan dengan dosis 1 mg setiap 3-5 menit.
Vasopressin dapat diberikan sebagai pengganti adrenalin atau sebagai obat
kedua setelah adrenalin, dengan dosis tunggal 40 unit. Waktu yang tepat untuk
pemberian obat adalah segera setelah dilakukan pengecekan nadi, setelah
pemberian obat kemudian RJP dilakukan selama 2 menit, kemudian
pengecekan nadi dilakukan kembali.
Pengecekan nadi dilakukan kembali untuk memastikan terjadi adanua
perubahan irama. Jika irama tidak berubah maka RJP dilakukan dilanjutkan
kembali seperti pada kotak 10, jika irama berubah yang membutuhkan tindakan
defribilasi lihat alogaritma pada kotak 4 dan jika irama berubah menjadi irama
yang teratur, nadi teraba, identifikasi irama EKG tersebut dan lakukan
penatalaksanaan sesuai irama yang tampak atau lakukan penatalaksanaan pasca
resusitasi.

44

BAB III
TINJAUAN KASUS
A. PENGKAJIAN
I. DATA UMUM
Inisial klien
Umur
Alamat
Pekerjaan
Agama
Suku bangsa
Status perkawinan
Pendidikan terakhir
Tanggal masuk
Tanggal pengkajian

: Tn. T.P
: 18 th
: Jl.Harsono Rt.08/07 Ragunan, Pasar minggu
Jakarta Selatan
: Pelajar
: Islam
: Betawi, Indonesia
: Belum Menikah
: SMP
: 17 Mei 2012
: 17 Mei 2012

II. PENGKAJIAN KEPERAWATAN PRIMER


1. Pengkajian
Keluhan utama:
Klien dibawa ke RS setelah kecelakaan sepeda motor, klien
mengendarai sepeda motor tanpa helm, klien ditemukan tidak sadar di
dalam got dan mekanisme kejadian? tidak ada saksi. Klien langsung
dibawa ke Rumah sakit tanpa ditangani di tempat kejadian.
A: Airway dan kontrol servikal:
Sumbatan mulut (+) yaitu darah dan air liur, sumbatan hidung/secret (+)
yaitu darah.
B: Breathing :
RR: 28x/menit, cepat dan dangkal, pola regular, gurgling (+), stridor (+),
wheezing (-/-), ronchi (-/-), alat bantu (-), otot bantu pernafasan (+),
pengembangan dinding dada asimetris (+), dada kiri tertinggal, nafas
cuping hidung (+), batuk (-), sputum (-), penggunaan alat bantu pernafasan
(-), Rahang asimetris.
C: Circulation :
TD: 80/45 mmHg, Nadi radialis dan brakhialis tidak teraba, nadi carotis
teraba S: 36.80C, pengisian kapiler >2 detik, akral dingin, kulit wajah
berwarna pucat, pupil isokor, sianosis (-). Terdapat perdarahan pada kepala
bagian frontalis, mengalir,banyak, arteri berdenyut.
D: Disability :
Kesadaran Stupor, GCS:6 E: 2, M: 2, V: 1.
2. Diagnosa ABCD:

45

a) Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d masuknya benda asing (darah),
perdarahan sekunder fraktur mandibula, risiko lidah menutupi jalan
nafas.
b) Pola nafas tidak efektif b.d penurunan tingkat kesadaran, trauma,
kerusakan neurologis sekunder peningkatan tekanan intracranial.
c) Penurunan perfusi jaringan perifer b.d berkurangnya volume darah
sekunder perdarahan.
3. Intervensi keperawatan
No

Diagnosa

1.

Bersihan jalan
nafas tidak
efektif b.d
perdarahan
sekunder fraktur
mandibula

2.

Pola nafas tidak


efektif b.d
penurunan
tingkat
kesadaran,
trauma,
kerusakan

Tujuan
dan Kriteria Hasil
Tujuan:
Bersihan jalan nafas
efektif
Kriteria hasil:
- Pernafasan regular,
dalam dan kecepatan
nafas teratur
- Pengembangan dada
kanan dan kiri simetris
- Batuk efektif, refleks
menelan baik
- Tanda dan gejala
obstruksi pernafasan
tidak ada: stridor (-),
wheezing (-), ronkhi
(-).
- Suara nafas vesikuler
kanan dan kiri
- Lakukan

Tujuan :
Selama 1 x 24 jam Pola
nafas efektif
Kriteria hasil:
- Pernafasan regular,
dalam dan kecepata
teratur

Intervensi
Mandiri:
1) Auskultasi bunyi nafas,
perhatikan apakah ada
bunyi nafas abnormal
2) Monitor pernafasan,
perhatikan rasio inspirasi
maupun ekspirasi
3) Berikan posisi datar
4) Lakukan suction
5) Lakukan jaw trust
6) Jaga agar pagar tempat
tidur terpasang dengan
aman
7) Gunakan teknik Log Role,
ketika memiringkan
8) mobilisasi area leher dan
tulang belakang
Kolaborasi:
1) Pasang collar neck
2) Berikan 02 nasal 4L/menit
3) Pemeriksaan labortaorium
AGD (Analisa Gas Darah).
4) Pemasangan OroPharingeal Airway (OPA
Mandiri
1) Observasi frekuensi,
kecepatan, kedalaman, dan
irama pernafasan tiap 2
jam
2) Observasi penggunaan otot
bantu pernafasan tiap 2

46

neurologis
sekunder
peningkatan
tekanan
intracranial.

3.

Gangguan
perfusi jaringan
perifer b.d
berkurangnya
volume darah
sekunder
perdarahan.

Pengembangan dada
kanan dan kiri teratur
Tanda dan gejala
obstruksi pernafasan
tidak ada: stridor (-),
sesak nafas (-),
wheezing (-).
Suara nafas vesikuler
kanan dan kiri
Trakea midline
Hasil AGD dalam
batas normal

Tujuan:
Perfusi jaringan adekuat
Kriteria Hasil:
- Akral hangat
- Tanda-tanda vital
dalam batas normal
- Pengisian kapiler <2
detik
- Urine output 1
cc/KgBB/jam
- Analisa gas darah
dalam batas normal

jam
3) Perhatikan pengembangan
dada simetris atau tidak
tiap 2 jam
4) Auskultasi bunyi nafas,
perhatikan bila ada ronkhi,
wheezing dan creckles
5) Lakukan sution bila perlu
Kolaborasi
1) Intubasi dengan ETT
2) Gunakan Ventilator
PSIMV 12 bpm, FiO2
80%, PSV 5, PEEP 5.
3) Pemeriksaan laboratorium
AGD (Analisa Gas Darah).
4) Pertahankan OPA (OroPharingeal Airway)
Mandiri
1) Observasi penurunan
kesadaran yang tiba-tiba
2) Kaji adanya pucat (akral
dingin)
3) Observasi tanda-tanda
vital
4) Kaji kekuatan nadi perifer
5) Kaji tanda-tanda dehidrasi
6) Observasi intake dan
output cairan
7) Lakukan balut tekan pada
area perdarahan
8) Observasi tanda-tanda
iskemia ekstremitas tibatiba, misalnya penurunan
suhu, peningktan nyeri
Kolaborasi
1) Pemeriksaan laboratorium
(darah lengkap, kimia
darah, hemostase darah)
2) Pemberian RL (Ringer
Laktat) resusitasi 500 cc
3) Lakukan pemeriksaan
Rontgen kepala, dada, dan
CT-Scan kepala.
4) Perekaman
Elektrokardiografi
5) Pemberian obat-obatan

47

4. Implementasi dan Evaluasi Keperawatan


Diagnosa
Tindakan
Dx 1
Mandiri:
1) Mengauskultasi bunyi nafas
2) Memonitor pernafasan,
perhatikan rasio inspirasi
maupun ekspirasi
3) Memberikan posisi datar
4) Melakukan suction
5) Melakukan jaw trust
6) Menjaga agar pagar tempat
tidur terpasang dengan aman
7) Menggunakan teknik Log
Role, ketika memiringkan
8) mengimobilisasi area leher
dan tulang belakang
Kolaborasi
1) Memasang hard collar neck
2) Memberikan O2 nasal
4L/menit
1) Memasang Oro-Pharingeal
Airway (OPA)

Dx.2

SOAP

S: (-)
O:
- Gurgling (-)
- Stridor (-)
- Ronchi (-/-)
- Wheezing (-/-)
- RR: 12x/menit dalam, irama
reguler
- Penggunaan otot bantu nafas (+)
- Nafas cuping hidung (+)
- Pengembangan dada, teringgal
dada sebelah kanan
- Terpasang collar neck
- Bed side rell terpasang
A: Bersihan Jalan nafas efektif
P: Lanjutkan intervensi
Mandiri:
- Auskultasi bunyi nafas,
perhatikan apakah ada bunyi
nafas abnormal
- Monitor pernafasan, perhatikan
rasio inspirasi maupun ekspirasi
- Berikan posisi datar
- Lakukan suction
- Lakukan jaw trust
Kolaborasi:
- Berikan 02 nasal 4L/menit
- Intubasi ETT
Mandiri
S: (-)
1) Mengobservasi frekuensi,
O:
kecepatan, kedalaman, dan
- RR: 12 x/menit
irama pernafasan tiap 2 jam
- Gurgling (-)
2) Mengobservasi penggunaan
- Stridor (-)
otot bantu pernafasan tiap 2
- Ronchi (-/-)
jam
- Wheezing (-/-)
3) Memperhatikan
- Penggunaan otot bantu nafas (+)
pengembangan dada simetris
- Nafas cuping hidung (+)
atau tidak tiap 2 jam
- Pengembangan dada, teringgal
4) Mengauskultasi bunyi nafas,
dada sebelah kanan
perhatikan bila ada ronkhi,
- Hasil lab AGD
wheezing dan creckles
- pH : 7.392 (normal)
Kolaborasi
- PCO2 : 30.7 (rendah)
1) Mempersiapkan Intubasi
- PO2 : 205.1 (tinggi)
dengan ETT dan pengggunaan
- HCO3 : 18.3 (rendah)
ventilator
- O2 saturasi : 99.4 (normal)
48

2) Memantau hasil pemeriksaan


laboratorium AGD (Analisa
Gas Darah).
3) Mempertahankan OPA (OroPharingeal Airway)

Dx.3

- BE (Base Excess) : -5.4


- Total CO2: 19.2 (normal)
A: Pola nafas efektif
P: Lanjutkan intervensi
Mandiri:
- Auskultasi bunyi nafas,
perhatikan apakah ada bunyi
nafas abnormal
- Monitor pernafasan, perhatikan
rasio inspirasi maupun ekspirasi
- Berikan posisi datar
Kolaborasi:
- Intubasi ETT
- Pasang ventilator PSIMV
- Pemeriksaan laboratorium AGD
(Analisa Gas Darah).
Mandiri
S: (-)
1) Mengobservasi penurunan
O:
kesadaran yang tiba-tiba
- Kesadaran stupor
2) Mengkaji adanya pucat (akral - GCS: 5 E:2, M:2, V:1
dingin)
- Wajah kemerahan
3) Mengobservasi tanda-tanda
- Akral hangat
vital
- TD: 102/63 mmHg
4) Mengkaji kekuatan nadi
- N: 97x/menit
perifer
- S: 36.70C
5) Mengkaji tanda-tanda
- Nadi perifer (radialis dan
dehidrasi
brakhialis teraba lemah)
6) Mengobservasi intake dan
- Turgor kulit baik
output cairan
- Mukosa mulut lembab
7) Melakukan balut tekan pada
- Intake: 1200cc
area perdarahan (frontalis)
- Output: 1100cc
8) Mengobservasi tanda-tanda
- Pengisian kapiler < 2 detik
iskemia ekstremitas tiba-tiba, - Infus terpasang, flebitis (-),
misalnya penurunan suhu,
bengkak (-).
peningkatan nyeri
A:
Kolaborasi
Perfusi jaringan perifer adekuat
1) Melakukan pemeriksaan
P: lanjutkan intervensi
laboratorium (darah lengkap,
Mandiri
kimia darah, hemostase darah) - Observasi penurunan kesadaran
2) Melakukan pemasangan infus
yang tiba-tiba
pada brakhialis kiri dan kanan - Kaji adanya pucat (akral dingin)
(2 line)
- Observasi tanda-tanda vital
3) Memberikan RL (Ringer
- Kaji kekuatan nadi perifer
Laktat) resusitasi 8 kolf + 1
- Kaji tanda-tanda dehidrasi
kolf Nacl 0,9% 1 kolf + HES
- Observasi intake dan output
1 kolf.
cairan
4) Melakukan pemeriksaan
- Observasi tanda-tanda iskemia
Rontgen kepala, dada, dan
ekstremitas tiba-tiba, misalnya
49

CT-Scan kepala.
5) Melakukan perekaman
Elektrokardiografi
6) Pemberian obat-obatan

II.

penurunan suhu, peningktan


nyeri
Kolaborasi
- Tunggu hasil Pemeriksaan
laboratorium (darah lengkap,
kimia darah, hemostase darah
- Lanjutkan RL (Ringer Laktat)
500 cc/8 jam
- Menunggu hasil pemeriksaan
Rontgen kepala, dada, dan CTScan kepala.

PENGKAJIAN KEPERAWATAN SEKUNDER


a) Alasan masuk Rumah Sakit
Klien dibawa ke RS setelah kecelakaan sepeda motor + 1 jam yang lalu,
klien mengendarai sepeda motor tanpa helm, klien ditemukan tidak sadar
di dalam got dan mekanisme kejadian tidak diketahui karena tidak ada
saksi. Klien langsung dibawa ke Rumah sakit tanpa ditangani di tempat
kejadian.
b) Diagnosa medis masuk:
CKB (Cedera Kepala Berat), Fraktur kompresi frontalis, Fraktur
mandibula, susp.Trauma tumpul thorax, syok hipovolemik.
c) Pemeriksaan fisik
1) Keadaan Umum: sedang
2) Kesadaran : Compos Mentis, BB/TB : 53 kg/151 cm
3) Tanda vital
- TD : 105/67 mmHg
- Nadi : 91 x/menit
- Pernafasan : 10 x/menit
- Suhu : 36,8C
4) Kepala Leher
Kepala: kebersihan rambut kurang, deformitas (-), benjolan (-),
nyeri (+), distribusi rambut tebal dan pendek, luka dalam dan

fraktur di area frontal


Wajah: kemerahan, fraktur mandibula (+)

50

Mata: Konjungtiva anemis +/+, sklera anikterik +/+, pupil isokor

+, refleks pupil +/+.


Hidung: Normal, polip (-), sinusitis (-), sekret (-), kebersihan

baik, epistaksis (+)


Mulut: bibir kering, mukosa lembab, caries gigi (+), stomatitis

(+).
Telinga: Normal, serumen kering, kebersihan baik
Leher: Pembesaran kelenjar getah bening (-), pembesaran

kelenjar tiroid (-), distensi vena jugular (-)


5) Dada
Jantung: bunyi jantung S1/S2 (+), suara tambahan (-), murmur(-),

gallop (-).
Paru: pengembangan dada tidak simetris otot bantu nafas (+),

pernafasan vesikuler (+/+), ronchi (-/-), wheezing (-/-)


6) Abdomen
Kandung kemih : penuh
Fungsi Pencernaan : Bising usus (+) 4x/menit
7) Perinium Genital
Testis: tidak ada kelainan
Penis: tidak ada kelainan
Hemoroid: (-)
8) Ekstremitas

51

Ekstremitas atas : edema +/+, pengisian kapiler < 2 detik, nadi

teraba lemah dan cepat.


Ekstremitas bawah: edema : -/-, Varises : -/-, akral hangat,

pengisian kapiler < 2 detik, nadi teraba lemah dan cepat.


9) Eliminasi
Urine
Kebiasaan BAK : tidak terkaji
BAB
Kebiasaan BAB: tidak terkaji
10) Istirahat dan kenyamanan :
Pola tidur : tidak terkaji
Keluhan ketidaknyamanan : tidak terkaji
11) Mobilisasi dan latihan
Mobilisasi: diatas tempat tidur dan imobilisasi
Latihan: Tidak mampu melakukan rentang gerak
12) Nutrisi dan Cairan
Asupan nutrisi: puasa dan diberikan nutrisi parenteral
Asupan cairan.

52

d. Hasil pemeriksaan laboratorium


PEMERIKSAAN
Darah lengkap
Hemoglobin
Hematokrit
Leukosit
Trombosit
Eritrosit
VER/HER/KHER/RDW
VER
HER
KHER
RDW
Hemostase
APTT
Kontrol APTT
PT
Kontrol PT
INR
Fibrinogen
Kontrol fibrinogen
D-Dimer
Glukosa darah
Gula darah sewaktu
Fungsi ginjal
Kreatinin
Ureum
Protein total
Albumin
Fungsi hati
SGOT
SGPT
Elektrolit serum
Natrium
Kalium
Klorida
SERO-IMUNOLOGI
Golongan darah
ANALISA GAS DARAH
pH
PCO2
PO2
HCO3
O2 saturasi

NILAI NORMAL

HASIL
17/5/2012
17/5/2012

13.2-17.3 g/dL
33-45 %
5.0-10.0 ribu/uL
150-440 ribu/uL
4.40-5.90 uta/uL

07:46
13.5
43
21.4
346
4.67

12:43
7.7
25
7.9
183
2.73

80-100 fl
26.0-34.0 pg
32.0-36.0 g/dL
11.5-14.5 %

92.4
28.9
31.3
13.2

90.8
28.3
31.2
13.3

27.4-39.3 detik
11.3-14.7 detik
212-433 mg/ml
< 300 ng/mL

29.2
32.5
17.6
14.6
1.27

34.2
32.5
17.6
14.6
1.27
123
252.0
600

70-140

108

0.6-1.5 mg/dl
20-40 mg/dl
6,6 8,7
3,5 5,2

1.0
19

0,7
11

0-34 U/I
0-40 U/I

75
47

34
17

135-147 mmol/l
3.10-5.10 mmol/l
95-108 mmol/l

139
4.80
108
O/ Rh (+)

7.370-7.440
35.0-45.0 mmHg
83.0-108.0 mmHg
21.0-28.0 mmol/L
95-99.0%%

7.392
30.7
205.1
18.3
99.4

7.373
39.2
98.1
26.7
98.7
53

BE (Base Excess)
Total CO2

-2.5-2.5 mmol/L
19.0-24.0 mmol/L

-5.4
19.2

-2.3
20.0

e. Hasil pemeriksaan penunjang


1) CT-Scan kepala
Dilakukan pemeriksaan CT scan kepala tanpa kontras, potongan aksial,
tebal irisan 3-10 mm.
Mulai setinggi garis orbita. Hasil sbb:
Sulci serebri sedikit menyempit. Gray dan white matter masi bisa

dibedakan
Fissure serebri

tak

menyempit.

Tak

tampak

perdarahan

subarachnoid di fissure intrahemisfer posterior dan cyterna

supragerminal
Tak tampak hematom epidural/ subdural atau perdarahan

intraparenkimal
Sistem ventrikel baik. Tak tampak pergeseran struktur midline
Poros dan cervikum tak tampak menyempit
Tulang tampak fraktur kompresi, fraktur dengan fragmen multiple
dinding anterior-posterior sinus frontalis dan dinding posterior
sinus frontal dekstra. Fraktur dinding lateral sinus ethmoid
trilateral, fraktur multiple ethmoid dekstra. Dinding posterolateral
sinus spinoid sinistra, fraktur dinding anterior sinus maksilaris

bilateral
Perselubungan di sinus maksilaris, ethmoidalis, spinodalis, dan
frontalis bilateral.

KESAN

Perdarahan supra-ethmoiddi fissure intrahemisfer posterior dan

sisterna quadrigerminal
Edema serebri
Fraktur kompressi frontalis, fraktur dengan fragmen multiple
dinding anterior-posterior sinus frontal dextra, dinding anterior
sinus frontal dekstra, frktur dinding lateral sinus ethmoid bilateral,
fraktur multiple sphenoid dextra. Dinding posteriolateral sinus
ethmoid sinistra. Fraktur dinding anterior sinus maksilaris bilateral

dan os-nasal.
Subilateral hematom di frontalis parietal

54

Hematosinus di sinus maksilaris, ethmoidalism dan frontalis

bilateral
2) Rontgen thorax
Kesan:
Corakan paru normal
Tidak ada fraktur iga
Ukuran jantung dalam batas normal
f. Terapi Medis
Tindakan
Intubasi ETT dan gunakan ventilator PSIMV 12 bpm, FiO2 80%,
PSV 5, PEEP 5.
Oral
Paracetamol 3 x 1 tab
Ferrous 2 x 1 tab
Parenteral

Ceftriaxone 2 x 2 gr (IV)
Levoflxacin 1 x 500 mg (IV)
Ozid/Omeprazole 2 x 1
Neulin/ citicholine 2 x 500 mg
Ranitidine 3 x 1 amp (IV)
Dexamethasone 4 x 50 mg
Sucralfat 4 x 15 cc
Vitamin C 3 x 1 amp (IV)
Ketorolak 3 x 30 mg (IV)
Tetagam (IM)
Fentanyl 1 amp (IV)

Intravena Fluid Therapy

No
1

Ringer laktat 500 cc/ 8 am 20 tts/menit


HES 500 cc/24 jam
Packed Red Cells (PRC) 950 cc
Obat-obatan
Ringer laktat 500 cc/ 8 am 20 tts/menit (IV)
KOMPOSISI
Komposisi: Per 1000 mL
Natrium laktat 3,1 gram, NaCl 6 gram, KCl 0,3 gram, CaCl2 0,2
gram, air untuk injeksi ad 1,000 mL.
Indikasi:
- Resusitasi
- Suplai ion bikarbonat
- Asidosis metabolic
Kontra Indikasi
55

Hipernatremia, kelainan ginjal, kerusakan sel hati, laktat asidosis.


HES (Hydroxyetyl Starches) 500 cc/ 24 jam
Komposisi :
Starches tersusun atas 2 tipe polimer glukosa, yaitu amilosa dan
amilopektin.
Indikasi :
Penggunaan HES pada resusitasi post trauma dapat menurunkan
permeabilitas pembuluh darah, sehingga dapat menurunkan resiko
kebocoran kapiler.
Kontraindikasi :
Cardiopulmonary bypass, dapat meningkatkan resiko perdarahan
setelah operasi, hal ini terjadi karena HES berefek antikoagulan pada
dosis moderat (>20 ml/kg). Sepsis, karena dapat meningkatkan resiko
acute renal failure (ARF). Penggunaan HES pada sepsis masih
terdapat perdebatan.
Muncul spekulasi tentang penggunaan HES pada kasus sepsis,
dimana suatu penelitian menyatakan bahwa HES dapat digunakan
pada pasien sepsis karena :
Tingkat efikasi koloid lebih tinggi dibandingkan kristaloid,
disamping itu HES tetap bisa digunakan untuk menambah
volume plasma meskipun terjadi kenaikan permeabilitas.
Pada syok hipovolemia diperoleh innvestigasi bahwa HES dan
albumin menunjukkan manifestasi edema paru yang lebih kecil
dibandingkan kristaloid.
Dengan menjaga COP, dapat mencegah komplikasi lebih lanjut
seperti asidosis refraktori.
HES juga mempunyai kemampuan farmakologi yang sangat
menguntungkan pada kondisi sepsis yaitu menekan laju sirkulasi
dengan menghambat adesi molekuler.
Adverse reaction :
HES dapat terakumulasi pada jaringan retikulo endotelial jika
digunakan dalam jangka waktu yang lama, sehingga dapat
menimbulkan pruritus.
Levoflxacin 1 x 500 mg (IV)
Indikasi
Sinusitis maksilaris akut, kumatnya penyakit atau gejala penyakit
bronkhitis kronis secara mendadak akibat bakteri, pneumonia yang
didapat dari komunitas, infeksi kulit & struktur kulit tanpa
komplikasi, infeksi saluran kemih yang berkomplikasi & pielonefritis
(radang ginjal serentak dengan radang pasu ginjal) akut.
Kontra Indikasi
Hipersensitivitas.
Perhatian
Insufisiensi ginjal.
Terpapar sinar matahari secara berlebihan harus dihindari.
Pasien yang diketahui atau diduga menderita kelainan sistem
saraf pusat yang bisa mempunyai kecenderungan kejang atau

56

ambang kejang rendah.


Dianjurkan untuk memonitor secara ketat glukosa darah.
Penilaian secara teratur fungsi ginjal, hati, dan hematopetik
Interaksi obat :
absorpsi/penyerapan Levofloksasin dikurangi oleh antasida yang
mengandung Al atau Mg dan obat-obat yang mengandung Fe.
penggunaan bersama obat-obat anti radang non steroid dengan
Quinolon dapat meningkatkan resiko stimulasi sistem saraf pusat
dan kejang.
antidiabetes.
Efek Samping
Diare, mual, vaginitis, kembung, gatal-gatal, ruam kulit, nyeri pada
perut, moniliasis pada alat kelamin, pusing, dispepsia, sulit tidur,
muntah, gangguan pengecapan, muntah, kehilangan nafsu makan,
susah buang air besar, edema, kelemahan, sakit kepala, keringat
berlebihan, keputihan, perasaan tidak enak badan yang tidak jelas,
kegugupan, gangguan tidur, gemetar, biduran/kaligata.
Indeks Keamanan Pada Wanita Hamil
C: Penelitian pada hewan menunjukkan efek samping pada janin
( teratogenik atau embriosidal atau lainnya) dan belum ada penelitian
yang terkendali pada wanita atau penelitian pada wanita dan hewan
belum tersedia. Obat seharusnya diberikan bila hanya keuntungan
potensial memberikan alasan terhadap bahaya potensial pada janin.
Fentanyl 1 amp (IV)
Fentanyl termasuk obat golongan analgesik narkotika.
Analgesik narkotika digunakan sebagai penghilang nyeri. Dalam
bentuk sediaan injeksi IM (intramuskular) Fentanyl digunakan untuk
menghilangkan sakit yang disebabkan kanker.Menghilangkan periode
sakit pada kanker adalah dengan menghilangkan rasa sakit secara
menyeluruh dengan obat untuk mengontrol rasa sakit yang
persisten/menetap. Obat Fentanyl digunakan hanya untuk pasien
yang siap menggunakan analgesik narkotika.
Fentanyl bekerja di dalam sistem syaraf pusat untuk
menghilangkan rasa sakit. Beberapa efek samping juga disebabkan
oleh aksinya di dalam sistem syaraf pusat. Pada pemakaian yang
lama dapat menyebabkan ketergantungan tetapi tidak sering terjadi
bila pemakaiannya sesuai dengan aturan.
Ketergantungan biasa terjadi jika pengobatan dihentikan
secara mendadak. Sehingga untuk mencegah efek samping tersebut
perlu dilakukan penurunan dosis secara bertahap dengan periode
tertentu sebelum pengobatan dihentikan.
Ranitidine 3 x 1 amp (IV)
Farmakologi
Ranitidine adalah suatu histamin antagonis reseptor H2 yang
menghambat kerja histamin secara kompetitif pada reseptor H2 dan
mengurangi sekresi asam lambung.
Pada pemberian i.m./i.v. kadar dalam serum yang diperlukan untuk
menghambat 50% perangsangan sekresi asam lambung adalah 3694
57

mg/mL. Kadar tersebut bertahan selama 68 jam.


Ranitidine diabsorpsi 50% setelah pemberian oral. Konsentrasi
puncak plasma dicapai 23 jam setelah pemberian dosis 150 mg.
Absorpsi tidak dipengaruhi secara nyata oleh makanan dan antasida.
Waktu paruh 2 3 jam pada pemberian oral, Ranitidine diekskresi
melalui urin.
Indikasi
Pengobatan jangka pendek tukak usus 12 jari aktif, tukak
lambung aktif, mengurangi gejala refluks esofagitis.
Terapi pemeliharaan setelah penyembuhan tukak usus 12 jari,
tukak lambung.
Pengobatan keadaan hipersekresi patologis (misal : sindroma
Zollinger Ellison dan mastositosis sistemik).
Ranitidine injeksi diindikasikan untuk pasien rawat inap di rumah
sakit dengan keadaan hipersekresi patologis atau ulkus 12 jari
yang sulit diatasi atau sebagai pengobatan alternatif jangka
pendek pemberian oral pada pasien yang tidak bisa diberi
Ranitidine oral.
Kontraindikasi
Penderita yang hipersensitif terhadap Ranitidine.
Efek samping
Sakit kepala
Susunan saraf pusat, jarang terjadi : malaise, pusing, mengantuk,
insomnia, vertigo, agitasi, depresi, halusinasi.
Kardiovaskular, jarang dilaporkan : aritmia seperti takikardia,
bradikardia, atrioventricular block, premature ventricular beats.
Gastrointestinal : konstipasi, diare, mual, muntah, nyeri perut.
Jarang dilaporkan : pankreatitis.
Muskuloskeletal, jarang dilaporkan : artralgia dan mialgia.
Hematologik : leukopenia, granulositopenia, pansitopenia,
trombositopenia (pada beberapa penderita). Kasus jarang terjadi
seperti agranulositopenia, trombositopenia, anemia aplastik
pernah dilaporkan.
Lain-lain, kasus hipersensitivitas yang jarang (contoh :
bronkospasme, demam, eosinofilia), anafilaksis, edema
angioneurotik, sedikit peningkatan kadar dalam kreatinin serum
Paracetamol 500 mg jika demam (oral)
Indikasi
Menghilangkan rasa sakit & penurun panas.
Kontra Indikasi
Gagal ginjal & hati.
Perhatian
Pasien alkoholik.
Efek Samping
Reaksi kulit, hematologis, reaksi alergi yang lain
OZID/ OMEPRAZOLE 2 x 1
Komposisi
58

mengandung zat kering dan 1 ampul mengandung pelarut. Subtance


injeksi yang berisi: omeprazol natrium setara dengan omeprazol 40
mg , Bentuk sediaan farmasi , Bubuk dan solusi untuk pelarut untuk
injeksi
Indikasi
Ulkus duodenum, ulkus lambung dan refluks esofagitis, sindroma
Zollinger-Ellison
Posology dan metode administrasi
Ulkus duodenum, ulkus lambung dan refluks esofagitis: Pasien yang
tidak dapat diberikan obat oral dapat diobati parerteraily dengan 40
mg sekali sehari. Masa pengobatan yang biasa sebelum transfer ke
pengobatan oral 2-3 hari. dalam sindrom Zollinger-Ellison Dosis
harus disesuaikan secara individual. Dosis yang lebih tinggi dan /
atau beberapa dosis harian mungkin diperlukan.
Intravena: dapat pemberi injeksi, dimana solusi untuk injeksi harus
oe gfven siowly selama sekurang-kurangnya 2 1 / 2 menit dan
dengan tingkat maksimum 4 ml per menit.
Fungsi ginjal : Sebuah penyesuaian dosis tidak diperlukan untuk
pasien dengan gangguan fungsi ginjal.
Gangguan fungsi hati : Pada pasien dengan gangguan fungsi hati
clearance sangat berkurang.
Pasien Lansia : Sebuah penyesuaian dosis tidak diperlukan pada
pasien usia lanjut.
Anak-anak : Hanya ada pengobatan experiance terbatas pada anakanak.
Kontraindikasi
Dikenal hipersensitivitas untuk omeorazole.
Khusus peringatan dan tindakan pencegahan khusus untuk
digunakan
Dugaan penyakit maag harus diverifikasi secara objektif pada
tahap awal dengan menggunakan sinar X atau endoskopi untuk
menghindari pengobatan yang tidak memadai. Ketika bisul perut
hadir atau yang dicurigai atau di hadapan setiap gejala alarm
berikut: unitentionaJ signifikan menurunkan berat badan,
berulang muntah, disfagia, hematemesis atau melena, keganasan
harus disingkirkan sebagai pengobatan dapat mengurangi gejala
dan keterlambatan diagnosis.
Kehamilan dan laktasi
Pragnancy: Seperti kebanyakan obat, ozid tidak boleh diberikan
selama kehamilan dan menyusui kecuali penggunaannya
dianggap penting.
Laktasi: Menghentikan laktasi jika digunakan omeprazol
dianggap penting
Interaksi
ia pharmakokinetics: 'Dther obat kombinasi berikut dengan bubuk
dan pelarut ozid jauh solusi untuk injeksi harus dihindari:
ketoconazole dan itraconazole.

59

Karena intragastric penurunan keasaman, penyerapan


ketoconazole atau itraconazole dapat dikurangi selama terapi
omeprazol.
Omeprazol menghambat enzym CYP2C19 dan karenanya
memperlambat penghapusan obat lain (diazepam, warfarin,
fenitoin) metabolised melalui enzim ini dapat diharapkan. Sebuah
dosis pengurangan 0 'obat ini mungkin diperlukan.
Over dosis
Intravenouse dosis sampai 200 mg dalam sehari dan sampai 520
mg selama periode tiga hari telah diberikan tanpa ada efek yang
tidak diinginkan
Gejala: Pusing, apatis, sakit kepala, takikardia. Mual, muntah,
perut kembung, diare, lihat juga efek samping.
Ceftriaxone 2 x 2 gr (IV)
Deskripsi:
Ceftriaxone merupakan golongan sefalosporin yang mempunyai
spektrum luas dengan waktu paruh eliminasi 8 jam. Efektif terhadap
mikroorganisme gram positif dan gram negatif. Ceftriaxone sangat
stabil terhadap enzim ?-laktamase.
Komposisi:
Tiap vial mengandung ceftriaxone sodium setara dengan ceftriaxone
1,0 g.
Indikasi:
Untuk infeksi-infeksi berat dan yang disebabkan oleh kuman-kuman
gram positif maupun gram negatif yang resisten terhadap antibiotika
lain :
- Infeksi saluran pernafasan
- Infeksi saluran kemih
- Infeksi gonoreal
- Septisemia bakteri
- Infeksi tulang dan jaringan
- Infeksi kulit
Dosis:
Dewasa dan anak-anak diatas 12 tahun :
1-2 g sekali sehari secara intravena
Dosis lebih dari 4 g sehari harus diberikan dengan interval 12 jam.
Bayi dan anak-anak di bawah 12 tahun :
- Bayi 14 hari : 20 50 mg/kg berat badan sekali sehari
- Bayi 15 hari s/d 12 tahun : 20 80 mg/kg berat badan sekali sehari
- Anak-anak dengan berat badan 50 kg atau lebih : dapat digunakan
dosis dewasa melalui infus paling sedikit > 30 menit.
Pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal, kliren creatinin tidak
lebih dari 10 ml/menit, dosis tidak lebih dari 2 g sehari.
Neulin/ citicholine 2 x 500 mg
INDIKASI
Kronik : Gangguan psikiatrik atau saraf.
Akut : Kondisi tidak sadar sesudah trauma serebral kecelakaan
lalu lintas dan operasi otak.
60

10

Memperbaiki aliran darah serebral termasuk stroke iskemik.


PERHATIAN
Pasien dengan kesadaran akut, serius dan progresif yang
berhubungan dengan cedera otak dan operasi otak.
Hentikan pemberian jika terjadi gejala syok dan ruam.
EFEK SAMPING
Rasa baal pada ekstremitas.
Mual dan muntah anoreksia.
Insomnia, sakit kepala, pusing, eksitasi dan konvulsi.
Sensasi hangat pada kulit dan perubahan tekanan darah sementara
atau tidak enak badan.
Dexamethasone/Deksametason 4 x 50 mg (IV)
INDIKASI
Peradangan, alergi & penyakit lain yang responsif terhadap
glukokortikoida.
KONTRA INDIKASI
Herpes simpleks pada mata, infeksi piogenik (infeksi yang bernanah)
atau infeksi yang disebabkan oleh jamur.
PERHATIAN
Hipotiroidisme, sirosis hati, terapi yang berkepanjangan.
EFEK SAMPING
Kelemahan otot, osteoporosis, ulkus peptikum, gangguan
penyembuhan luka, peningkatan keringat, sakit kepala,
menstruasi tidak teratur, menghambat pertumbuhan pada anak-anak,
penurunan toleransi karbohidrat.
INDEKS KEAMANAN PADA WANITA HAMIL
Positif ada kejadian yang berbahaya pada janin manusia, tetapi
keuntungan dari penggunaan oleh wanita hamil
mungkin dapat diterima walaupun berisiko. (Misalnya jika obat
digunakan untuk situasi menyelamatkan nyawa
atau penyakit yang serius dimana obat yang lebih aman tidak dapat
digunakan atau tidak efektif).
ATS/ Tetagam (IM)
Suntikan tetanus ada 2 macam, yaitu anti tetanus serum (ATS) dan
vaksin tetanustoxoid. ATS sebanyak 1500 IU merupakan serum yang
dapat langsung mencegah timbulnya tetanus. Sementara itu, vaksin
tetanus toxoid 0,5 ml tidak untuk mencegahtetanus saat itu, namun
untuk membentuk kekebalan tubuh terhadap tetanus, sehingga
mencegah terjadinya tetanus di kemudian hari bila ternyata luka
tersebut masih mengandung kuman, juga mencegah tetanus pada
kejadian lain dalam jangka waktukira-kira 6 bulan bila tanpa booster .
Indikasi suntikan ATS (Anti Tetanus Serum)
Luka cukup besar (dalam lebih dari 1 cm)
Luka berbentuk bintang
Luka berasal dari benda yang kotor dan berkarat
Luka gigitan hewan dan manusia
Luka tembak dan luka bakar

61

11

Luka terkontaminasi, yaitu: luka yang lebih dari 6 jam tidak ditan
gan
Luka kurang dari 6 jam namun terpapar banyak kontaminasi
luka kurang dari 6 jam namun timbul karena kekuatan yang cukup besar
(misalnya lukatembak atau terjepit mesin)
Penderita tidak memiliki riwayat imunisasi tetanus yang jelas ata
u tidak mendapat booster selama 5 tahun atau lebih
Epinephrine 1 mg (iv)
Epinefrin (juga dikenal sebagai adrenalin) merupakan hormon dan
neurotransmitter.
Cara kerja:
Meningkatkan laju jantung, kontraksi pembuluh darah,
melebarkan saluran udara dan berpartisipasi dalam respon fightor-flight dari sistem saraf simpatik .
Adrenalin (Epinefrin) mempunyai efek meningkatkan tekanan
darah melalui aktivasi adrenoseptor - 1 jantung yang terjadi
setelah pelepasan atau pemberian adrenalin (Epinefrin)
berhubungan dengan kerja kronotropik positif dan inotropik
positif atas jantung. Dengan demikian adrenalin (Epinefrin) juga
mempunyai efek kronotropik positif (meningkatkan kecepatan
denyut jantung) dan inotropik positif (memperkuat kontraksi
myokardium) sehingga cardiac out put (curah jantung)
meningkat. Adrenalin (Epinefrin) juga berefek pada timbulnya
vasokontriksi karena stimulasi adrenoseptor- pada otot polos
dinding pembuluh darah perifer. Kedua hal tersebut berakibat
tekanan darah meningkat. Efek adrenalin (Epinefrin) terutama
pada arteriola kecil dan sfingter prekapiler sehingga tahanan
perifer meningkat.
Pada saluran nafas adrenalin (Epinefrin) mempunyai efek
bronkodilatasi melalui stimulasi adrenoseptor - 2 pada otot
polos bronkhus.
Indikasi:
Acute Bronchospasme
Anaphylaxis
Angiodema
Atsma
Brokhospasme profilaksia
Cardiac Arest
Cardiopulmonarry Resusitation
Glaucoma

62

12

Cordarone 150 mg
Kandungan
Amiodarone HCI.
Cara Kerja Obat:
Amiodarone adalah obat anti-arrhythmic kelas III yang
mempengaruhi irama detak jantung. Amiodarone digunakan untuk
membantu menjaga jantung berdetak dengan normal pada orang
yang memiliki gangguan irama jantung tertentu pada bilik
jantungnya (bilik jantung yang lebih kecil yang membiarkan darah
mengalir keluar jantung).
Indikasi
Ggn ritme atrium (perubahan fibrilasi atau fluter). Ggn ritme
nodal. Ggn ritme ventrikel (takikardi ventrikel, kontraksi
permatur, fibrilasi ventrikel) Ggn ritma yang berhubungan dengan
sindroma Wolf-Parkinson-White.
Kontra Indikasi
Sinus badikardi, blok SA, blok AV, sick sinus sindroma, hamil,
laktasi, hipotensi atrial berat, kolaps KV, insufisiensi jantung
akut, intoleransi terhadap yodium. Distiroidisme.
Efek Samping
Mikrodeposit
kornea,
fotosensitisasi,
dan
pigmentasi,
hipotiroidisme, hipertiroidisme, pneumopati interstisial difus
reversibel.

63

III.

ANALISA DATA
No
Data subjektif
1 Penolong
mengatakan: Klien
dibawa ke RS
setelah kecelakaan
sepeda motor + 1
jam yang lalu, klien
mengendarai sepeda
motor tanpa helm,
klien ditemukan
tidak sadar di dalam
got dan mekanisme
kejadian tidak
diketahui karena
tidak ada saksi.

Penolong
mengatakan: Klien
dibawa ke RS
setelah kecelakaan
sepeda motor + 1
jam yang lalu, klien
mengendarai sepeda
motor tanpa helm,
klien ditemukan
tidak sadar di dalam
got dan mekanisme

Data objektif
- Kesadaran stupor
- GCS: 5 E:2, M:2, V:1
- Wajah kemerahan
- Akral hangat
- TD: 102/63 mmHg
- N: 97x/menit
- S: 36.70C
HASIL CT-SCAN KEPALA:
- Perdarahan supraethmoiddi fissure
intrahemisfer posterior
dan sisterna
quadrigerminal
- Edema serebri
- Fraktur kompressi
frontalis, fraktur dengan
fragmen multiple dinding
anterior-posterior sinus
frontal dextra, dinding
anterior sinus frontal
dekstra, frktur dinding
lateral sinus ethmoid
bilateral, fraktur multiple
sphenoid dextra. Dinding
posteriolateral sinus
ethmoid sinistra. Fraktur
dinding anterior sinus
maksilaris bilateral dan
os-nasal.
- Subilateral hematom di
frontalis parietal
- Hematosinus di sinus
maksilaris, ethmoidalism
dan frontalis bilateral
- Luka laserasi dalam diatas
bibir
- Luka laserasi dalam di are
frontalis
- Pus (-)
- Edema (+)
- Lasersi dangkal di area
kaki, tangan dan dada

Masalah
Risiko tinggi
gangguan perfusi
jaringan serebral b.d
perdarahan daerah
serebral sekunder
trauma langsung.

Kerusakan intergritas
kulit b.d trauma
mekanik

64

kejadian tidak
diketahui karena
tidak ada saksi.
Klien langsung
dibawa ke Rumah
sakit tanpa ditangani
di tempat kejadian.
3

(-)

(-)

IV.

Muntah proyektil (-)


Kesadaran stupor
GCS: 5, E: 2, M:2, V:1
Turgor kulit baik
Mukosa lembab
Bed side rell terpasang
Takiradia (-)
Diaphoresis (-)
Hematuria (-)
Collar neck terpasang
TD: TD: 102/63 mmHg
N: 97x/menit
S: 36.70C
TD: TD: 102/63 mmHg
N: 97x/menit
S: 36.70C
Luka laserasi dalam diatas
bibir
Luka laserasi dalam di are
frontalis
Pus (-)
Edema (+)
Lasersi dangkal di area
kaki, tangan dan dada

Risiko tinggi
penambahan cedera
b.d menurunnya
kesadaran, terapi,
proses ambulasi

Risiko tinggi infeksi


b.d kerusakan
integritas kulit,
tindakan invasif,
trauma.

PRIORITAS DIAGNOSA KEPERAWATAN


a) Risiko tinggi gangguan perfusi jaringan serebral b.d perdarahan daerah
serebral sekunder trauma langsung.
b) Kerusakan intergritas kulit b.d trauma mekanik
c) Risiko tinggi penambahan cedera b.d menurunnya kesadaran, terapi,
proses ambulasi
d) Risiko tinggi infeksi b.d kerusakan integritas kulit, tindakan invasif,
trauma.

V.

INTERVENSI
No

Diagnosa

Tujuan

Intervensi
65

Risiko tinggi
gangguan
perfusi jaringan
serebral b.d
perdarahan
daerah serebral
sekunder trauma
langsung.

Kerusakan
integritas kulit
b.d trauma
mekanik

Risiko tinggi
penambahan
cedera b.d
menurunnya
kesadaran,
terapi, proses
ambulasi

dan Kriteria Hasil


Tujuan:
Selama 1 x 24 jam Perfusi
jaringan serebral adekuat
Kriteria hasil:
- Tidak tampak tandatanda peningkatan
tekanan intracranial,
seperti: muntah
proyektil, papil edema,
nyeri kepala hebat dan
penurunan kesadaran
- TTV dalam batas
normal
- Penghentian aliran
darah
- Kesadaran meningkat
- Tekanan perfusi otak
60-90 mmHg
- Tekanan intracranial
0-15 mmHg
Tujuan :
Setelah 1 x 24 jam
Integritas kulit dapat
dipertahankan
Kriteria hasil:
- Lokasi luka tampak
bersih
- Memperlihatkan
kemajuan
penyembuhan luka
pada daerah dahi dan
mandibular

Mandiri
1) Kaji dan pantau TTV, catat
kekuatan nadi tiap jam.
2) Evaluasi status neurologis
tiap 2 jam.
3) Kaji tingkat kesadaran dan
GCS tiap jam.
4) Observasi tanda
perdarahan
5) Monitor tanda-tanda
peningkatan tekanan
intracranial tiap jam
Kolaborasi
1) Monitor hasil AGD

Mandiri
1) Kaji tanda-tanda
kerusakan kulit
2) Gunakan teknik septic dan
aseptic untuk perawatan
luka
3) Cegah infeksi yang dapat
memperlambat
penyembuhan luka
4) Jaga kebersihan diri klien
5) Lakukan perawatan luka 1
x sehari
Kolaborasi
1) Pemeriksaan laboratorium
(terutama Hb,Ht,Leukosit)
2) Penjahitan/ hecting luka
Tujuan :
Mandiri
Klien tidak mengalami
1) Kaji status neurologis
cedera
2) Kaji tanda-tanda
Kriteria hasil:
peningkatan tekanan
- Suhu normal
intracranial
- Klien bebas / tidak ada 3) Kaji status pernafasan
penambahan cidera
4) Kaji kulit dan membrane
- Tanda vital dalam
mukosa
batas normal
5) Lakukan tindakan
pengamanan lingkungan
untuk mencegah cidera
66

VI.

6) Laporkan segera adanya


penurunan tekanan darah,
takikardia, pucat,
diaphoresis, hematuria.
7) Jaga agar pagar tempat
tidur terpasang dengan
aman
8) Jika ingin dimiringkan,
lakukan menggunakan
teknik Log Role
9) Imobilisasi area leher dan
tulang belakang
Kolaborasi
1) Pemasangan hard collar
neck
2) Pemberian O2 4L/menit
Risiko tinggi
Tujuan:
Mandiri
infeksi b.d
Setelah 1 x 24 jam infeksi 1) Monitor tanda dan gejala
kerusakan
tidak terjadi
infeksi ( rubor, kolor,
integritas kulit,
Kriteria hasil:
dolor, edema)
tindakan invasif, - TTV dalam batas
2) Observasi TTV tiap jam
trauma
normal, terutama suhu 3) Beri kompres biasa bila
( 36.0-37.5)
suhu tubuh meningkat
- Leukosit dalam batas
4) Lakukan penggantian linen
normal
dan bantu pasien untuk
- Luka bebas dari
kebutuhan hygiene
eksudat
5) Lakukan perawatan luka 1
- Tercapai masa
x sehari
penyembuhan luka
Kolaborasi
1) Monitor hasil lab, terutama
leukosit
2) Berikan antipiretik jika
demam paracetamol 500
mg
3) Berikan terpi antibiotic
untuk profilaksis
Ceftriaxone 2 x 2 gr (IV),
Levoflxacin 1 x 500 mg
(IV)
4) Berikan anti-tetanus
ATS (Anti Tetanus Serum)
atau tetagam.

IMPLEMENTASI DAN EVALUASI


Nama pasien: Tn.T.P
Usia : 18 tahun
Diagnosa medis: CKB dengan fraktur kompressi frontalis
Hari/tanggal: 1705/2012
67

Tanggal Dx
Intervensi
17/5/2012 3 Mandiri
1) Mengkaji dan pantau
TTV, catat kekuatan
nadi tiap jam
2) Mengevaluasi status
neurologis tiap 2 jam
3) Mengkaji tingkat
kesadaran dan GCS tiap
jam
4) Mengobservasi tanda
perdarahan
5) Monitor tanda-tanda
peningkatan tekanan
intracranial
Kolaborasi
1) Memonitor hasil AGD

SOAP
S : (-)
O:
- TD: 101/59 mmHg
- N: 99 x /menit
- S: 36.30C
- P: dengan ventilator
- Refleks +/+
- Kesadaran Stupor
- GCS: 5, E: 1, M:3, V:1
- Masih terdapat perdarahan
pada luka diatas bibir dan
dahi sebelah kanan
- Muntah proyektil (-)
- Papil edema (-)
- Nyeri kepala tidak dapat
dinilai
A: perfusi jaringan serebral
tidak adekuat
P: lanjutkan intervensi:
Mandiri
- Observasi penurunan
kesadaran yang tiba-tiba
- Kaji adanya pucat (akral
dingin)
- Observasi tanda-tanda vital
- Kaji kekuatan nadi perifer
- Kaji tanda-tanda dehidrasi
- Observasi intake dan output
cairan
- Observasi tanda-tanda
iskemia ekstremitas tibatiba, misalnya penurunan
suhu, peningkatan nyeri
Kolaborasi
- Pemeriksaan laboratorium
(darah lengkap, kimia
darah, hemostase darah)
- Pemberian RL 500 cc/24
jam 20 tpm
- Perekaman
Elektrokardiografi
- Pemberian obat-obatan

17/5/2012

S: (-)
O:
- Luka sobek di atas bibir
dan dahi

Mandiri
1) Mengkaji tanda-tanda
kerusakan kulit
2) Menggunakan teknik

68

17/5/2012

septic dan aseptic untuk


perawatan luka
3) Mencegah infeksi yang
dapat memperlambat
penyembuhan luka
4) Menjaga kebersihan diri
klien
Kolaborasi
1) Memantau hasil
pemeriksaan
laboratorium (terutama
Hb,Ht,Leukosit)
2) Penjahitan/ hecting luka

Luka dibesihkan dengan


NaCl 0,9% dan betadine
70%
- Badan masih tampak kotor
oleh darah kering
- Hb:
- Ht:
- Leukosit
- Tromosit:
- Pus (-)
A: integritas kulit dapat
dipertahankan
P: lanjutkan intervensi :
Mandiri
- Kaji tanda-tanda kerusakan
kulit
- Gunakan teknik septic dan
aseptic untuk perawatan
luka
- Cegah infeksi yang dapat
memperlambat
penyembuhan luka
- Jaga kebersihan diri klien
- Lakukan perawatan luka 1
x sehari
Kolaborasi
- Pemeriksaan laboratorium
(terutama Hb,Ht,Leukosit)
- Penjahitan/ hecting luka

Mandiri
1) Mengkaji status
neurologis
2) Mengkaji tanda-tanda
peningkatan tekanan
intracranial
3) Mengkaji status
pernafasan
4) Mengkaji kulit dan
membrane mukosa
5) Melakukan tindakan
pengamanan lingkungan
untuk mencegah cidera
6) Melaporkan segera
adanya penurunan
tekanan darah,
takikardia, pucat,
diaphoresis, hematuria.

S: (-)
O:
- Refleks (+/+)
- Pupil : isokor
- RR: dengan ventilator
- Muntah proyektil (-)
- Kesadaran: stupor
- GCS: 5, E:1, M:3, V: 1
- RR: dengan ventilator
PSIMV 12 bpm, FiO2 80%,
PSV 5, PEEP 5.
- TD: 101/59 mmHg
- N: 99 x /menit, kuat dan
teratur
- S: 36.30C
- Pucat (+)
- Diaphoresis (-)
- Hematuria (-)

69

17/7/2012

7) Menjaga agar pagar


tempat tidur terpasang
dengan aman
8) Memiringkan
menggunakan teknik
Log Role
Kolaborasi
1) Pemasangan hard collar
neck
2) Pemberian O2 4L/menit

- Bed side rell terpasang


A: cedera tambahan tidak
terjadi
P: lanjutkan intervensi:
Mandiri
- Kaji status neurologis
- Kaji
tanda-tanda
peningkatan
tekanan
intracranial
- Kaji status pernafasan
- Kaji kulit dan membrane
mukosa
- Lakukan
tindakan
pengamanan
lingkungan
untuk mencegah cidera
- Laporkan segera adanya
penurunan tekanan darah,
takikardia, pucat,
diaphoresis, hematuria.
- Jaga agar pagar tempat
tidur terpasang dengan
aman
- Jika ingin dimiringkan,
lakukan menggunakan
teknik Log Role
- Imobilisasi area leher dan
tulang belakang
Kolaborasi
- Pertahankan hard collar
neck

Mandiri
1) Memonitor tanda dan
gejala infeksi ( rubor,
kolor, dolor, edema)
2) Mengobservasi TTV
tiap jam
3) memberi kompres biasa
bila suhu tubuh
meningkat
Kolaborasi
1) Memonitor hasil lab,
terutama leukosit
2) Memberikan antipiretik
jika demam
paracetamol 500 mg
3) Memberikan terpi
antibiotic untuk

S: (-)
O:
- Edema (-)
- Kemerahan (-)
- Kulit teraba normal
- Pus (-)
- TD: 101/59 mmHg
- N: 99 x /menit, kuat dan
teratur
- S: 36.30C
- Leukosit:
A: infeksi tidak terjadi
P: lanjutkan intervensi
Mandiri
- Monitor tanda dan gejala
infeksi ( rubor, kolor, dolor,
edema)

70

profilaksis Ceftriaxone
2 x 2 gr (IV),
Levoflxacin 1 x 500 mg
(IV)
4) Memberikan antitetanus ATS (Anti
Tetanus Serum) atau
tetagam.

Observasi TTV tiap jam


Beri kompres biasa bila
suhu tubuh meningkat
- Lakukan penggantian linen
dan bantu pasien untuk
kebutuhan hygiene
- Lakukan perawatan luka 1
x sehari
Kolaborasi
- Monitor hasil lab, terutama
leukosit
- Berikan antipiretik jika
demam paracetamol 500
mg
- Berikan terpi antibiotic
untuk profilaksis
Ceftriaxone 2 x 2 gr (IV),
Levoflxacin 1 x 500 mg
(IV)

Nama pasien: Tn.T.P


Usia : 18 tahun
Diagnosa medis: CKB dengan fraktur kompressi frontalis
Hari/tanggal: 18/05/2012
Tanggal Dx
Intervensi
18/5/2012 1 Mandiri
1) Mengkaji dan pantau
TTV, catat kekuatan nadi
tiap jam
2) Mengevaluasi status
neurologis tiap 2 jam
3) Mengkaji tingkat
kesadaran dan GCS tiap
jam
4) Mengobservasi tanda
perdarahan
5) Monitor tanda-tanda
peningkatan tekanan
intracranial
Kolaborasi
1) Memonitor hasil AGD

SOAP
S : (-)
O:
- TD: 95/67 mmHg
- N: 105 x /menit
- S: 36.30C
- P: dengan ventilator
- Refleks +/+
- Kesadaran Stupor
- GCS: 5, E: 1, M:3, V:1
- Luka sudah tertutup dan
perdarahan (-)
- Muntah proyektil (-)
- Papil edema (-)
- Nyeri kepala tidak dapat
dinilai
- Hasil lab AGD:
- pH : 7.373
- PCO2 : 39.2
- PO2 : 98.1
- HCO3 : 26.7
- O2 saturasi : 98.7
71

18/5/2012

Mandiri
1) Mengkaji tanda-tanda
kerusakan kulit
2) Menggunakan teknik
septic dan aseptic untuk
perawatan luka
3) Mencegah infeksi yang
dapat memperlambat
penyembuhan luka
4) Menjaga kebersihan diri
klien
Kolaborasi
1) Memantau hasil
pemeriksaan
laboratorium (terutama
Hb,Ht,Leukosit)

- BE (Base Excess) : -2.3


- Total CO2: 20.0 (normal)
A: perfusi jaringan serebral tidak
adekuat
P: lanjutkan intervensi:
Mandiri
- Observasi penurunan
kesadaran yang tiba-tiba
- Kaji adanya pucat (akral
dingin)
- Observasi tanda-tanda vital
- Kaji kekuatan nadi perifer
- Kaji tanda-tanda dehidrasi
- Observasi intake dan output
cairan
- Observasi tanda-tanda
iskemia ekstremitas tiba-tiba,
misalnya penurunan suhu,
peningkatan nyeri
Kolaborasi
- Pemeriksaan laboratorium
(darah lengkap, kimia darah,
hemostase darah)
- Pemberian RL 500 cc/24 jam
20 tpm
- Perekaman
Elektrokardiografi
- Pemberian obat-obatan
S: (-)
O:
- Luka sobek di atas bibir dan
dahi
- Luka dibesihkan dengan
NaCl 0,9% dan betadine
70%
- Badan masih tampak kotor
oleh darah kering
- Hb:
- Ht:
- Leukosit
- Tromosit:
- Pus (-)
A: integritas kulit dapat
dipertahankan
P: lanjutkan intervensi :
Mandiri
- Kaji tanda-tanda kerusakan
kulit
72

Gunakan teknik septic dan


aseptic untuk perawatan luka
- Cegah infeksi yang dapat
memperlambat
penyembuhan luka
- Jaga kebersihan diri klien
- Lakukan perawatan luka 1 x
sehari
Kolaborasi
- Pemeriksaan laboratorium
(terutama Hb,Ht,Leukosit)
- Penjahitan/ hecting luka
18/5/2012

Mandiri
1) Mengkaji status
neurologis
2) Mengkaji tanda-tanda
peningkatan tekanan
intracranial
3) Mengkaji status
pernafasan
4) Mengkaji kulit dan
membrane mukosa
5) Melakukan tindakan
pengamanan lingkungan
untuk mencegah cidera
6) Melaporkan segera
adanya penurunan
tekanan darah, takikardia,
pucat, diaphoresis,
hematuria.
7) Menjaga agar pagar
tempat tidur terpasang
dengan aman
8) Memiringkan
menggunakan teknik Log
Role

S: (-)
O:
- Refleks (+/+)
- Pupil : isokor
- RR: dengan ventilator
- Muntah proyektil (-)
- Kesadaran: stupor
- GCS: 5, E:1, M:3, V: 1
- RR:
dengan
ventilator
PSIMV 12 bpm, FiO2 80%,
PSV 5, PEEP 5.
- TD: 101/59 mmHg
- N: 99 x /menit, kuat dan
teratur
- S: 36.30C
- Pucat (+)
- Diaphoresis (-)
- Hematuria (-)
- Bed side rell terpasang
A: cedera tambahan tidak terjadi
P: lanjutkan intervensi:
Mandiri
- Kaji status neurologis
- Kaji tanda-tanda peningkatan
tekanan intracranial
- Kaji status pernafasan
- Kaji kulit dan membrane
mukosa
- Lakukan
tindakan
pengamanan
lingkungan
untuk mencegah cidera
- Laporkan segera adanya
penurunan tekanan darah,
takikardia, pucat,
diaphoresis, hematuria.

73

Jaga agar pagar tempat tidur


terpasang dengan aman
- Jika ingin dimiringkan,
lakukan menggunakan teknik
Log Role
- Imobilisasi area leher dan
tulang belakang
Kolaborasi
- Pertahankan hard collar neck
18/5/2012

Mandiri
1) Memonitor tanda dan
gejala infeksi ( rubor,
kolor, dolor, edema)
2) Mengobservasi TTV tiap
jam
3) memberi kompres biasa
bila suhu tubuh
meningkat
Kolaborasi
1) Memonitor hasil lab,
terutama leukosit
2) Memberikan antipiretik
jika demam
paracetamol 500 mg
3) Memberikan terpi
antibiotic untuk
profilaksis Ceftriaxone 2
x 2 gr (IV), Levoflxacin 1
x 500 mg (IV)

S: (-)
O:
- Edema (-)
- Kemerahan (-)
- Kulit teraba normal
- Pus (-)
- TD: 95/67 mmHg
- N: 105 x /menit, lemah dan
cepat
- S: 36.30C
- Leukosit:
A: infeksi tidak terjadi
P: lanjutkan intervensi
Mandiri
- Monitor tanda dan gejala
infeksi ( rubor, kolor, dolor,
edema)
- Observasi TTV tiap jam
- Beri kompres biasa bila suhu
tubuh meningkat
- Lakukan penggantian linen
dan bantu pasien untuk
kebutuhan hygiene
- Lakukan perawatan luka 1 x
sehari
Kolaborasi
- Monitor hasil lab, terutama
leukosit
- Berikan antipiretik jika
demam paracetamol 500
mg
- Berikan terpi antibiotic untuk
profilaksis Ceftriaxone 2 x 2
gr (IV), Levoflxacin 1 x 500
mg (IV)

74

Tanggal 18 Mei 2012, Pukul 17.00 WIB, Saturasi Oksigen klien turun dari
100% semakin turun sampai 77%, TD turun (95/60 mmHg), lalu nadi
klien turun (bradikardia) 30x/menit, diberikan Epinephrine 1 ampul, tidak
naik, nadi klien lalu asistole. Lalu, melakukan tindakan kolaborasi sebagai
berikut:
1. Melakukan RJP dengan kecepatan 100x/menit selama 2 menit, dengan
bantuan nafas (bagging) via ETT 10-12 x/menit. Di cek nadi karotis,
tidak teraba.
2. Melakukan RJP kembali selama 2 menit dengan kecepatan 100x/menit
dan bantuan nafas via ETT 10-12 x/menit. Dicek nadi karotis, tidak
teraba nadi.
3. Memberikan Epineprin 1 ampul iv, mengecek nadi karotis tidak
teraba.
4. Melakukan RJP kembali 100x/menit selama 2 menit, dengan bantuan
nafas via ETT 10-12x/menit. Mengecek nadi karotis tidak teraba.
5. Memberikan epinephrine kembali 1 ampul, mengecek nadi karotis
tidak teraba.
6. Melakukan RJP kembali 100x/menit selama 2 menit, dengan bantuan
nafas via ETT 10-12x/menit. Mengecek irama Ventrikel Takikardia.
7. Melakukan DC Shock (Defribilasi) 200 J.
8. Melakukan RJP kembali 100x/menit selama 2 menit, dengan bantuan
nafas via ETT 10-12x/menit. Mengecek irama di monitor tidak
berubah
9. Melakukan DC Shock (Defribilasi) 200 J.
10. Melakukan RJP kembali 100x/menit selama 2 menit, dengan bantuan
nafas via ETT 10-12x/menit. Memberikan epinephrine 1 mg (1 ampul)
iv. Cek irama tidak berubah

75

11. Melakukan DC Shock (Defribilasi) 200 J. Melakukan RJP kembali


100x/menit selama 2 menit, dengan bantuan nafas via ETT 1012x/menit. Memberikan Cordaron 300 mg (2 ampul) iv selama proses
RJP. Mengecek nadi Asistole
12. Melakukan RJP kembali 100x/menit selama 2 menit, dengan bantuan
nafas via ETT 10-12x/menit. Cek nadi karotis tidak teraba.
13. Memberikan Sulfas Atrophine 1 ampul, cek nadi tidak teraba.
14. Pasien tidak tertolong (dinyatakan meninggal dunia) setelah dilakukan
pertolongan kurang lebih selama 50 siklus RJP, 2 kali DC Shock dengan
waktu kurang lebih 40 menit. Pupil midriasis, nadi karotis tetap tidak
teraba,di monitor menunjukan asistole, akral dingin, tampak pucat.

76

BAB IV
PEMBAHASAN
A. PENGKAJIAN
Ketoasidosis diaebetik adalah keadaan dekompensasi metabolik
yang ditandai oleh hiperglikemia, asidosis dan ketosis, terutama
disebabkan oleh difisiensi insulin absolut atau relatif. Ketoasidosis
diaebetikum adalah merupakan trias dari hipergikemia, asidosis, dan
ketosis yang terlihat terutama pada pasien dengan diabetes tipe 1
(Samijean Nordmark, 2008). Pada kasus ini, klien dibawa ke RS
karena ............................................................................................................
Pada pengkajian yang telah dilakukan, didapatkan: keadaan umum:
buruk , kesadaran : somnolen, BB/TB : 70 kg/160 cm, Tanda vital (TD :
138/66 mmHg, nadi : 138 x/menit, pernafasan : 14 x/menit, suhu : 38,5C.
Kepala dan leher (Kepala: kebersihan rambut kurang, deformitas (-),
benjolan (-), nyeri (-), rambut lepek berminyak rontok , wajah: pucat,
mata: konjungtiva anemis, sklera anikterik, pupil isokor, hidung: normal,
tampak kotor, terpasang NGT, mulut: mukosa bibir kering, stomatitis (+),
telinga (t.a.k), leher (t.a.k), Dada: jantung (t.a.k), paru: pengembangan
dada simetris, otot bantu nafas (-), pernafasan vesikuler (+/+), ronchi (+/
+), wheezing (-/-), abdomen bising usus (+) 8x/menit, perinium genital
(t.a.k), ekstremitas (ekstremitas atas : edema +/+, pengisian kapiler > 3
detik, nadi teraba kuat dan cepat, ekstremitas bawah: edema: +/+, Varises :
-/-, akral hangat, pengisian kapiler > 3 detik, nadi teraba kuat dan cepat).
Klien (Tn. T) mengalami KAD yang disebabkan oleh
....................................................................... Hal ini sesuai dengan teori
etiologi dari KAD. Berdasarkan pembagian cedera kepala, klien masuk ke
dalam cedera kepala sekunder yang dibuktikan dengan adanya edema
serebri pada hasil CT- Scan, mengakibatkan gangguan pernafasan yang
ditandai dengan Airway: sumbatan (+) yaitu darah, otot bantu pernafasan
(+), pengembangan dinding dada (+), dada kiri tertinggal, nafas cuping
hidung (+), batuk (-), sputum (-), penggunaan alat bantu pernafasan (+).
Breathing: RR: 28x/menit, cepat dan dangkal, pola regular, gurgling (+),

77

stridor (+), wheezing (-/-), ronchi (-/-), alat bantu (-). Klien mengalami
masalah pada hal circulation dengan TD: 80/40 mmHg, Nadi radialis dan
brakhialis tidak teraba, S: 36.80C, pengisian kapiler <2 detik, akral dingin,
kulit wajah berwarna kemerahan, pupil isokor, sianosis (-). Hal ini sesuia
dengan teori bahwa cedera kepala sekunder akan menyebabkan hipotensi
sistemik, hipoksia, hiperkapnea, edema otak, komplikasi pernapasan,
infeksi/komplikasi pada organ tubuh yang lain.
Klien (Tn. T) juga mengalami cedera otak yang dimanifestasikan
secara klinis dengan penurunan kesadaran: kesadaran stupor, GCS:5 E:
2, M: 2, V:1 ditambahkan dengan data yang termasuk dalam cedera kepala
sekunder diatas, juga terdapat gangguan pergerakan (klien bed rest),
aktifitas menelan (-), komunikasi (-), klien terpasang ETT, OPA, dan
ventilator dengan mode PSIMV 12 bpm, FiO2 80%, PSV 5, PEEP 5. Hal
ini sesuai dengan teori manifestasi klinis dari cedera otak adalah gangguan
kesadaran, konfusi, sakit kepala, vertigo, gangguan pergerakan, tiba-tiba
defisit neurologi, perubahan TTV, gangguan penglihatan, disfungsi
sensorik, lemah otak, gangguan pola pernafasan, kerusakan mobilitas fisik,
ketidakseimbangan hidrasi, kerusakan aktivitas menelan, kerusakan
komunikasi.
Klien (Tn. T) sudah dilakukan pemeriksaan rontgen thorak dengan hasil
normal (t.a.k): corakan paru normal, tidak ada fraktur iga, ukuran jantung
dalam batas normal. Pemeriksaan analisa gas darah dengan hasil pH=
7,392, PCO2= 30,7, PO2= 205,1, HCO3= 18,3, O2 saturasi= 99,4, BE=
-5,4, total CO2= 19,2, CT Scan, pemeriksaan darah lengkap (elektrolit
hasil normal) dengan hasil natrium= 139 mmol/l, kalium= 4,80 mmol/l,
klorida= 108 mmol/l. Hal ini sesuai dengan teori terhadap pelaksanaan
klien dengan cedera kepala. Namun, pada klien (Tn. T) belum dilakukan
pemeriksaan angiografi serebral.
Klien (Tn. T) diagnosa mengalami cedera kepala berat (CKB). Hal ini
sesuai dengan teori yang menyatakan cedera kepala berat bila GCS <8,
kehilangan kesadaran atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam bahkan
sampai berhari-hari. Pada klien terlihat dari pengkajian disability klien
yang didapatkan kesadaran stupor, GCS:6 E: 2, M: 2, V:1.

78

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Menurut

North

American

Nursing

Diagnosis

Association

(NANDA) (1990, dalam Carpenito, 1997) diagnosa keperawatan adalah


keputusan klinis mengenai seseorang, keluarga atau masyarakat sebagai
akibat dari masalah-masalah kesehatan/ proses kehidupan yang aktual atau
risiko.
Diagnosa keperawatan memberikan dasar-dasar pemilihan intervensi
untuk mencapai hasil yang menjadi tanggung gugat perawat. Adapun
persyaratan dari diagnosa keperawatan adalah perumusan harus jelas dan
singkat dari respons klien terhadap situasi atau keadaan yang dihadapi,
spesifik dan akurat, memberikan arahan pada asuhan keperawatan, dapat
dilaksanakan oleh perawat dan mencerminkan keadaan kesehatan klien.
Diagnosa keperawatan yang muncul pada Tn. T. P berdasarkan
penilaian awal airway, breathing, circulation adalah Bersihan jalan nafas
tidak efektif b.d masuknya benda asing (darah), perdarahan sekunder
fraktur mandibula, risiko lidah menutupi jalan nafas, Pola nafas tidak
efektif b.d penurunan tingkat kesadaran, trauma, kerusakan neurologis
sekunder peningkatan tekanan intracranial dan penurunan perfusi jaringan
perifer b.d berkurangnya volume darah sekunder. Diagnosa keperawatan
yang muncul pada klien (Tn. T) dari pengkajian sekunder adalah risiko
tinggi gangguan perfusi jaringan serebral b.d perdarahan daerah serebral
sekunder trauma langsung, kerusakan intergritas kulit b.d trauma mekanik,
risiko tinggi penambahan cedera b.d menurunnya kesadaran, terapi, proses
ambulasi dan risiko tinggi infeksi b.d kerusakan integritas kulit, tindakan
invasif, trauma.
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
Intervensi keperawatan merupakan pedoman tertulis untuk
perawatan klien. Rencana perawatan terorganisasi sehingga setiap perawat
dapat dengan cepat mengidentifikasi tindakan perawatan yang diberikan.
Rencana

asuhan

keperawatan

yang

di

rumuskan

dengan

tepat

79

memfasilitasi kontinuitas asuhan keperawatan dari satu perawat ke


perawat lainnya. Sebagai hasil, semua perawat mempunyai kesempatan
untuk memberikan asuhan yang berkualitas tinggi dan konsisten. Rencana
asuhan keperawatan tertulis mengatur pertukaran informasi oleh perawat
dalam laporan pertukaran dinas. Rencana perawatan tertulis juga
mencakup kebutuhan klien jangka panjang (Potter,1997). Intervensi
keperawatan adalah preskripsi untuk perilaku spesifik yang diharapkan
dari pasien dan/atau tindakan yang harus dilakukan oleh perawat.
Pedoman intervensi yang dilakukan adalah dengan panduan Buku
Rencana Asuhan Keperawatan : Marylinn Doegoes,Buku Saku Diagnosa
Keperawatan : Lynda Jual Carpenito dan disesuaikan dengan kondisi
klien sehingga asuhan keperawatan yang diberikan tepat dan sesuai
kebutuhan klien.
D. IMPLEMENTASI
Implementasi merupakan inisiatif dari rencana tindakan untuk
mencapai tujuan yang spesifik. Tahap pelaksanaan dimulai

setelah

rencana tindakan disusun dan ditujukan pada nursing orders untuk


membantu klien mencapai tujuan yang diharapkan. Oleh karena itu
rencana tindakan yang spesifik dilaksanakan untuk memodifikasi faktorfaktor yang mempengaruhi masalah kesehatan klien (Perry & Potter,
1997). Implementasi yang dilakukan pada klien (Tn. T) tanggal 17 mei
2012 untuk diagnosa bersihan jalan nafas tidak efektif adalah intervensi
mandiri yaitu mengauskultasi bunyi nafas, memonitor pernafasan,
perhatikan rasio inspirasi maupun ekspirasi, memberikan posisi datar,
melakukan suction, melakukan pemberian posisi jaw trust. Tindakan
kolaborasi

untuk

diagnosa

bersihan

jalan

tidak

efektif

adalah

melaksanakan pemeriksaan laboratorium AGD (Analisa Gas Darah),


memasang Oro-Pharingeal Airway (OPA). Implementasi secara mandiri
yang telah dilakukan untuk diagnosa risiko tinggi penurunan perfusi
jaringan perifer adalah mengobservasi penurunan kesadaran yang tiba-tiba,
mengkaji adanya pucat (akral dingin), mengobservasi tanda-tanda vital,
mengkaji kekuatan nadi perifer, mengkaji tanda-tanda dehidrasi,
mengobservasi intake dan output cairan, mengobservasi tanda-tanda
80

iskemia ekstremitas tiba-tiba, misalnya penurunan suhu, peningkatan


nyeri. Tindakan kolaborasi yang dilakukan adalah melakukan pemeriksaan
laboratorium (darah lengkap, kimia darah, hemostase darah), memberikan
RL (Ringer Laktat) resusitasi sebanyak 8 kolf + 1 kolf Nacl 0,9% dan HES
sebanyak 1 kolf cc, melakukan pemeriksaan Rontgen kepala, dada, dan
CT-Scan kepala, melakukan perekaman Elektrokardiografi, memberikan
obat-obatan. Implementasi mandiri yang dilakukan pada diagnosa risiko
tinggi penambahan cedera adalah mengkaji tanda-tanda peningkatan
tekanan intracranial, mengkaji status pernafasan, mengkaji kulit dan
membrane mukosa, melakukan tindakan pengamanan lingkungan untuk
mencegah cidera, melaporkan segera adanya penurunan tekanan darah,
takikardia, pucat, diaphoresis, hematuria, menjaga agar pagar tempat tidur
terpasang dengan aman, menggunakan teknik Log Role, ketika
memiringkan, mengimobilisasi area leher dan tulang belakang. Tindakan
kolaborasi adalah dengan memasang hard collar neck, memberikan O2
4L/menit.
Implementasi yang telah dilakukan berdasarkan diagnosa yang
muncul pada klien (Tn. T) berdasarkan hasil pengkajian keperawatan
sekunder pada tanggal 17-18 Mei 2012 dengan diagnosa. risiko tinggi
gangguan perfusi jaringan serebral b.d perdarahan daerah serebral
sekunder trauma langsung, intervensi mandiri yang dilakukan adalah
mengkaji dan pantau TTV, catat kekuatan nadi tiap jam, mengevaluasi
status neurologis tiap 2 jam, mengkaji tingkat kesadaran dan GCS tiap
jam, mengobservasi tanda perdarahan, memonitor tanda-tanda peningkatan
tekanan intracranial . tindakan keperawatan kolaborasi yaitu dengan
memonitor hasil AGD. Diagnosa kerusakan intergritas kulit b.d trauma
mekanik, risiko tinggi penambahan cedera b.d menurunnya kesadaran,
terapi,

proses

ambulasi,

mengkaji

tanda-tanda

kerusakan

kulit,

menggunakan teknik septic dan aseptic untuk perawatan luka, encegah


infeksi yang dapat memperlambat penyembuhan luka, menjaga kebersihan
diri klien. Tindakan kolaborasi yang dilakukan adalah memantau hasil
pemeriksaan

laboratorium

(terutama

Hb,Ht,Leukosit),

melakukan

penjahitan/ hecting luka, sedangkan diagnosa keperawatan risiko tinggi


81

penambahan cedera b.d menurunnya kesadaran, terapi, proses ambulasi


dilakukan intervensi mandiri yaitu dengan mengkaji status neurologis,
mengkaji tanda-tanda peningkatan tekanan intracranial, mengkaji status
pernafasan, mengkaji kulit dan membrane mukosa, melakukan tindakan
pengamanan lingkungan untuk
adanya

mencegah cidera, melaporkan segera

penurunan tekanan darah, takikardia,

pucat,

diaphoresis,

hematuria, menjaga agar pagar tempat tidur terpasang dengan aman,


memiringkan menggunakan teknik Log Role. Tindakan kolaborasi yang
dilakukan adalah dengan pemasangan hard collar neck, memberikan O2
4L/menit. risiko tinggi infeksi b.d kerusakan integritas kulit, tindakan
invasif, trauma dilakukan intervensi mandiri dengan memonitor tanda dan
gejala infeksi ( rubor, kolor, dolor, edema), mengobservasi TTV tiap jam,
memberi kompres biasa bila suhu tubuh meningkat. Tindakan kolaborasi
yang dilakukan adalah memonitor hasil lab, terutama leukosit,
memberikan antipiretik jika demam paracetamol 500 mg, memberikan
terpi antibiotic untuk profilaksis Ceftriaxone 2 x 2 gr (IV), Levoflxacin 1 x
500 mg (IV), memberikan anti-tetanus ATS (Anti Tetanus Serum) atau
tetagam.
Pada hari kedua pasien dirawat, tanggal 18 Mei 2012 pukul 17.00
WIB, saturasi oksigen klien turun, dan nadi menjadi bradikardia, lalu
asistole, telah dilakukan tindakan mandiri dan kolaborasi yaitu melakukan
RJP dengan kecepatan 100 kali/menit, dan bagging via ETT dengan
kesepatan 10-12 x/menit. RJP dilakukan sebanyak 50 siklus, dan diberikan
obat-obatan diantaranya Ephinephrine sebanyak 4 ampul, Sulfas Atropine
1 ampul, dan Cordarone sebanyak 300 mg (2 ampul), DC Shock juga
dilakukan sebanyak 2 kali dengan 200 Joule, namun nyawa klien tidak
tertolong dan dinyatakan meninggal.
Penatalaksanaan pada pasien dengan asistole sesuai dengan teori
yang ada, tidak ada yang berbeda.
E. EVALUASI
Perencanaan evaluasi memuat kriteria keberhasilan proses dan
keberhasilan tindakan keperawatan. Keberhasilan proses dapat dilihat

82

dengan jalan membandingkan antara proses dengan pedoman/rencana


proses tersebut. Sedangkan keberhasilan tindakan dapat dilihat dengan
membandingkan antara tingkat kemandirian pasien dalam kehidupan
sehari-hari dan tingkat kemajuan kesehatan pasien dengan tujuan yang
telah di rumuskan sebelumnya. (Perry dan Potter, 1997).
Evaluasi dari implementasi yang telah dilakukan kepada klien (Tn T.
P) untuk diagnosa keperawatanbersihan jalan nafas tidak efektif,
analisisnya adalah bersihan jalan nafas efektif yang ditandai dengan data
objektif gurgling (-), stridor (-), ronchi (-/-), wheezing (-/-), RR: 12x/menit
dalam, irama regular, penggunaan otot bantu nafas (+), nafas cuping
hidung (+), pengembangan dada, tertinggal dada sebelah kanan.Evaluasi
dari diagnosa keperawatan risiko tinggi penurunan perfusi jaringan perifer
dengan analisis perfusi jaringan perifer adekuat yang ditandai dari data
objektif: kesadaran stupor, GCS: 5 E:2, M:2, V:1, wajah kemerahan,
akral hangat, TD: 102/63 mmHg, N: 97x/menit, S: 36.7 0C, nadi perifer
teraba lemah, turgor kulit baik, mukosa mulut lembab, intake: 1200cc,
output: 1100cc, pengisian kapiler < 2 detik. Evaluasi dari diagnosa risiko
tinggi penambahan cedera dengan analisis penambahan cedera tidak
terjadi yang ditandai dari data objektif : muntah proyektil (-), kesadaran
stupor, GCS: 5, E: 2, M:2, V:1, turgor kulit baik, mukosa lembab, bed side
rell terpasang, takiradia (-), diaphoresis (-), hematuria (-), collar neck
terpasang, TD: 102/63 mmHg, N: 97x/menit, - S: 36.70C.
Evaluasi terhadap implementasi keperawatan yang sudah dilakukan
dari semua diagnosa pengkajian sekunder adalah sebagai berikut(tanggal
17 mei 2012): diagnosa risiko tinggi gangguan perfusi jaringan serebral
didapatkan bahwa perfusi aringan serebral tiak adekuat yang ditandai
dengan data obektif TD: 101/59 mmHg, N: 99 x /menit, S: 36.3 0C, P:
dengan ventilator, refleks +/+, kesadaran stupor, GCS: 5, E: 1, M:3, V:1,
masih terdapat perdarahan pada luka diatas bibir dan dahi sebelah kanan,
muntah proyektil (-), papil edema (-), nyeri kepala tidak dapat dinilai.
Evaluasi

diagnosa kerusakan integritas kulit idapatkan analisis

integritas kulit dapat dipertahankan berdasarkan data obektif: luka

83

dibesihkan dengan NaCl 0,9% dan betadine 70%, badan masih tampak
kotor oleh darah kering, Hb:, Ht:, leukosit, trombosit:, pus (-). Evaluasi
diagnosa risiko penambahan cedera adalah cedera tambahan tidak
bertambah yang dilihat dari refleks (+/+), pupil : isokor, RR: dengan
ventilator, muntah proyektil (-), kesadaran: stupor, GCS: 5, E:1, M:3, V: 1,
RR: dengan ventilator PSIMV 12 bpm, FiO2 80%, PSV 5, PEEP 5, TD:
101/59 mmHg, N: 99 x /menit, kuat dan teratur, S: 36.3 0C, pucat (+),
diaphoresis (-), hematuria (-), bed side rell terpasang. Begitu pula dengan
diagnosa keperawatan resiko infeksi dengan analisis infeksi tidak terjadi
yang dilihat dari data obektif edema (-), kemerahan (-), kulit teraba
normal, pus (-), TD: 101/59 mmHg, N: 99 x /menit, kuat dan teratur, S:
36.30C.
Evaluasi dari diagnosa bersihan jalan nafas tidak efektif dengan
analisa bersihan jalan nafas efektif yang didapatkan dari hasil data objektif
yaitu: gurgling (-), stridor (-), ronchi (-/-), wheezing (-/-), penggunaan otot
bantu nafas (-), nafas cuping hidung (-), pengembangan dada simetris,
nafas dengan alat bantu Ventilator PSIMV 12 bpm, FiO2 80%, PSV 5,
PEEP 5. Evaluasi dari diagnosa pola nafas tidak efektif dengan analisa
pola nafas efektif yang didapatkan dari hasil data objektif yaitu: gurgling
(-), stridor (-), ronchi (-/-), wheezing (-/-), penggunaan otot bantu nafas (-),
nafas cuping hidung (-), pengembangan dada simetris, nafas dengan alat
bantu Ventilator PSIMV 12 bpm, FiO2 80%, PSV 5, PEEP 5, hasil lab
AGD: pH : 7.373, PCO2 : 39.2, PO2 : 98.1, HCO3 : 26.7, O2 saturasi :
98.7, BE (Base Excess) : -2.3, Total CO2: 20.0 (normal). Evaluasi dari
diagnosa risiko tinggi gangguan perfusi jaringan serebral dengan analisa
perfusi jaringan serebral tidak adekuat yang didapatkan dari hasil data
objektif yaitu: TD: 101/59 mmHg, N: 99 x /menit, S: 36.3 0C, P: dengan
ventilator , refleks +/+, kesadaran stupor, GCS: 5, E: 1, M:3, V:1, masih
terdapat perdarahan pada luka diatas bibir dan dahi sebelah kanan, muntah
proyektil (-), papil edema (-), nyeri kepala tidak dapat dinilai. Evaluasi
dari diagnosa risiko tinggi gangguan perfusi jaringan perifer dengan
analisa perfusi jaringan perifer tidak adekuat yang didapatkan dari hasil

84

data objektif yaitu: kesadaran : stupor, GCS: 5, E: 1, M:3, V:1, TD: 95/67
mmHg, N: 105 x /menit lemah dan cepat, S: 36.3 0C, P: dengan ventilator ,
refleks +/+, nadi perifer kuat dan teratur, pengisian kapiler < 2 detik, akral
hangat, turgor kulit baik, mukosa lembab, sianosis (-), pucat (+), EKG :
sinus takikardi. Evaluasi dari diagnosa kerusakan integritas kulit dengan
analisa integritas kulit dapat dipertahankan yang didapatkan dari hasil data
objektif yaitu: luka sobek di atas bibir dan dahi, luka dibesihkan dengan
NaCl 0,9% dan betadine 70%, badan masih tampak kotor oleh darah
kering, hemoglobin: 7.7 (rendah), hematokrit: 25 (rendah), leukosit: 7.9 ,
trombosit: 183, eritrosit: 2.73 (rendah). Evaluasi dari diagnosa risiko
penambahan cedera dengan analisa cedera tambahan tidak terjadi yang
didapatkan dari hasil data objektif yaitu: refleks (+/+), pupil : isokor, RR:
dengan ventilator, muntah proyektil (-), kesadaran: stupor, GCS: 5, E:1,
M:3, V: 1, RR: dengan ventilator PSIMV 12 bpm, FiO2 80%, PSV 5,
PEEP 5, TD: 101/59 mmHg, N: 99 x /menit, kuat dan teratur, S: 36.3 0C,
pucat (+), diaphoresis (-), hematuria (-), bed side rell terpasang. Evaluasi
dari diagnosa risiko tinggi infeksi dengan analisa infeksi tidak terjadi yang
didapatkan dari hasil data objektif yaitu: edema (-), kemerahan (-), kulit
teraba normal, pus (-), TD: 95/67 mmHg, N: 105 x /menit, lemah dan
cepat, S: 36.30C

BAB V
PENUTUP
KESIMPULAN
Klien (Tn. T) mengalami cedera kepala yang disebabkan oleh adanya
trauma karena kecelakaan. Berdasarkan etiologi dari cedera kepala, klien masuk
ke dalam cedera karena benda tumpul karena menyebabkan cedera setempat &
85

menimbulkan cedera lokal. Kerusakan lokal meliputi Contusio serebral, hematom


serebral, kerusakan otak sekunder yang disebabkan perluasan masa lesi,
pergeseran otak atau hernia. Hal ini terjadi pada klien yang dilihat dari hasil CTScan kepala dengan kesan Perdarahan supra-ethmoiddi fissure intrahemisfer
posterior dan sisterna quadrigerminal, edema serebri , fraktur kompressi frontalis,
fraktur dengan fragmen multiple dinding anterior-posterior sinus frontal dextra,
dinding anterior sinus frontal dekstra, frktur dinding lateral sinus ethmoid
bilateral, fraktur multiple sphenoid dextra. Dinding posteriolateral sinus ethmoid
sinistra.
Fokus utama penanganan nya adalah pada ABC Diagnosa keperawatan
yang muncul pada Tn. T. P berdasarkan penilaian awal airway, breathing,
circulation adalah bersihan jalan nafas tidak efektif b.d masuknya benda asing
(darah), perdarahan sekunder fraktur mandibula, risiko lidah menutupi jalan nafas,
risiko tinggi penurunan perfusi jaringan perifer b.d berkurangnya volume darah
sekunder perdarahan, risiko tinggi penambahan cedera b.d menurunnya kesadaran,
terapi, proses ambulasi. Diagnosa keperawatan yang muncul pada klien (Tn. T)
dari pengkajian sekunder adalah risiko tinggi gangguan perfusi jaringan serebral
b.d perdarahan daerah serebral sekunder trauma langsung, risiko tinggi penurunan
perfusi jaringan perifer b.d berkurangnya volume darah sekunder perdarahan,
kerusakan intergritas kulit b.d trauma mekanik, risiko tinggi penambahan cedera
b.d menurunnya kesadaran, terapi, proses ambulasi, risiko tinggi infeksi b.d
kerusakan integritas kulit, tindakan invasif, trauma.

86

Anda mungkin juga menyukai