Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Teknologi produksi obat tradisional di Indonesia mulai berkembang.
Sebagian besar perusahaan obat tradisional kini tidak lagi memproduksi obat
dalam bentuk sediaan tradisional seperti bentuk rajangan dengan bahan dasar
simplisia, namun dalam bentuk sediaan obat modern seperti tablet atau kapsul
yang menggunakan ekstrak sebagai bahan dasarnya. Perkembangan yang cukup
pesat ini perlu didukung dengan pembuktian secara ilmiah mengenai mutu,
khasiat dan keamanan obat tradisional sebagai fitofarmaka. Kegiatan isolasi
kandungan aktif dan standarisasi ekstrak merupakan suatu upaya dalam
pengembangan obat tradisional (Yuliani, 2001).
Ekstrak merupakan sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi
senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani dengan menggunakan
pelarut yang sesuai (Anonim, 1995). Ekstraksi adalah kegiatan penarikan
kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat
larut dengan pelarut cair (Anonim, 2000).

Ekstrak mulai banyak digunakan

sebagai obat tradisional karena pada umumnya komponen bioaktif yang ada
dalam tumbuhan berada dalam jumlah kecil, sedangkan ekstrak mengandung
sebagian besar zat aktif yang diharapkan dan lebih sedikit zat ballast sehingga
diharapkan aktivitas biologisnya lebih tinggi dan lebih mudah dikontrol mutunya.
Salah satu kriteria ekstrak yang baik adalah mengandung senyawa aktif
yang diharapkan dalam kuantitas dan kualitas. Pemilihan pelarut dalam proses
penyarian merupakan faktor yang berpengaruh dalam menghasilkan ekstrak yang
1

baik. Carian pelarut dalam proses pembuatan ekstrak adalah pelarut yang optimal
untuk mengekstraksi senyawa aktif sehingga senyawa tersebut dapat dipisahkan
dari senyawa lainnya, serta hanya mengandung sebagian besar senyawa
kandungan yang diinginkan (Anonim, 2000).
Komposisi pelarut merupakan salah satu penentu efektivitas pelarut dalam
melakukan ekstraksi. Komposisi pelarut optimal dapat dicari dengan metode
Simplex Lattice Design (SLD), salah satu metode yang umum digunakan dalam
proses optimasi di berbagai bidang, diantaranya dalam pengolahan makanan,
formulasi kimia, tekstil, serta obat-obatan farmasi. Metode SLD berisi rumusan
perhitungan matematis yang dapat menentukan komposisi pelarut optimal untuk
mendapatkan ekstrak dengan parameter mutu paling tinggi sehingga trial and
error yang menyita waktu tidak perlu dilakukan (Bondari, 2005).
Bahan baku yang digunakan pada sediaan farmasi seperti kapsul dan tablet
pada umumnya berbentuk ekstrak kering. Ekstrak yang masih kental cenderung
kurang homogen dan masih lengket sehingga kesulitan dalam penanganan dan
penentuan dosis (Sembiring, 2009).
Salah satu tanaman yang sering digunakan dalam pengobatan tradisional
adalah sambung nyawa (Gynura Procumbens (Lour.) Merr.). Daun sambung
nyawa telah banyak dimanfaatkan secara luas untuk pengobatan berbagai masalah
kesehatan, antara lain sebagai obat kanker (Meiyanto, 1996), demam, ruam,
penyakit ginjal, sakit kepala, konstipasi, tekanan darah tinggi, dan diabetes
melitus (Perry, 1980). Penelitian Sudarto dan Pramono (1985) melaporkan
senyawa yang bertanggung jawab atas aktivitas farmakologi tersebut adalah

senyawa flavonoid. Kemampuan flavonoid sebagai antioksidan telah banyak


diteliti, dimana flavonoid memiliki kemampuan untuk merubah atau mereduksi
radikal bebas dan juga sebagai anti radikal bebas (Giorgio, 2000).
Daerah Mangunan (Yogyakarta) telah melakukan usaha budidaya tanaman
sambung nyawa untuk memenuhi permintaan pasar. Hertiani dkk. (2014) telah
melakukan penelitian tentang mutu simplisia dan ekstrak sambung nyawa di
ketiga tempat di daerah Mangunan yaitu daerah barat, piat dan gligir dan
mendapatkan hasil bahwa daerah gligir memiliki kadar kaemferol dan flavonoid
total paling tinggi. Untuk mendapatkan ekstrak dengan mutu yang baik, penelitian
tentang optimasi komposisi pelarut perlu dilakukan. Optimalnya suatu pelarut
dalam menyari ekstrak daun sambung nyawa dapat ditentukan dengan
menggunakan metode SLD untuk mendapatkan ekstrak kering yang baik, dan
dievaluasi terhadap kadar golongan senyawa flavonoid total, fenolik total serta
aktivitas antioksidannya. Penelitian ini diharapkan dapat membantu memudahkan
industri obat tradisional untuk memproduksi sediaan sambung nyawa yang
memiliki mutu yang baik dan kandungan aktif tinggi.
B. Perumusan Masalah
1. Berapa komposisi pelarut optimal yang dapat menyari daun sambung nyawa
sehingga menghasilkan ekstrak kering yang bermutu baik dengan kadar flavonoid
total, fenolik total dan aktivitas antioksidan paling tinggi?
2. Adakah korelasi antara kadar flavonoid total, fenolik total dan aktivitas
antioksidan dari ekstrak kering daun sambung nyawa?

C. Tujuan Penelitian
1. Menentukan komposisi pelarut yang dapat menyari daun sambung nyawa secara
optimal sehingga menghasilkan ekstrak kering dengan kadar air, kandungan
flavonoid total, fenolik, dan aktivitas antioksidan paling optimal.
2. Menguji korelasi flavonoid total dan fenolik total yang terkandung dalam ekstrak
kering daun sambung nyawa terhadap aktivitas antioksidannya.
D. TINJAUAN PUSTAKA
1. Sambung Nyawa (Gynura procumbens (Lour.) Merr.)
a. Sistematika tanaman

Gambar 1. Tanaman sambung nyawa

Klasifikasi tanaman sambung nyawa sebagai berikut:


Divisio

: Spermatophyta

Sub divisio

: Angiospermae

Classis

: Dicotyledonae

Ordo

: Aserales (Compositae)

Familia

: Asteraceae (Compositae)

Genus

: Gynura

Spesies

: Gynura procumbens (Lour.) Merr.


(Backer dan Van den Brink, 1965; Steenis, 1975)

b. Nama daerah
Ada beberapa nama daerah yang digunakan untuk menamai tanaman ini
yaitu: daun dewa atau beluntas cina (Heyne, 1987), sambung nyawa atau
ngokilo (Anonim, 1989), akar sebiak di Malaysia dan sabungai di Filipina
(Wiart, 2006).
c. Morfologi
Tanaman G. procumbens merupakan perdu tegak (bila masih muda)
dapat memanjat atau merambat. Tumbuh sebagai semak, pagar tepi hutan,
hutan yang tembus cahaya, lapangan rumput (lading), sepanjang sungai, dan
daerah kosong yang ada di dataran Asia Tenggara pada permukaan laut sampai
ketinggian 1500 mdpl (Wiart, 2006). Bila daunnya diremas berbau aromatis.
Batangnya segi empat, beruas-ruas, panjang ruas dari pangkal ke ujung makin
pendek, ruas berwarna hijau dengan bercak ungu. Daun bervariasi bentuknya
bulat telur sampai lonjong, lanset dengan pangkal membulat atau juga
menyempit, ujungnya tumpul atau runcing, bertepi rata atau berlekuk,
menyirip membagi, meririp tidak teratur, bergerigi kasar. Tangkai daun
panjang 0,5-3,5 cm, helaian daun bagian atas berwarna hijau muda dan
mengkilap, kedua permukaan daun berambut pendek. Tulang daun menyirip,
tulang dari helaian daun bawah menonjol dan jelas. Pada tiap pangkal ruas

terdapat tunas kecil berwarna hijau kekuningan. Bunga bongkol, dalam


bongkol terdapat bunga tabung berwarna kuning orange atau orange berubah
menjadi coklat kemerahan panjang 1-1,5 cm, berbau tak enak. Tiap-tiap
tangkai daun dan helaian daunnya terdapat sel-sel kelenjar keringat (Steenis,
1975; Backer dan Van den Brink, 1965).
d. Kandungan kimia
Tanaman G. procumbens daunnya mengandung senyawa flavonoid,
sterol tidak jenuh, triterpen, polifenol dan minyak atsiri (Sudarto dan
Pramono, 1985). Penelitian Suganda dkk. (1985) menyebutkan bahwa daun
sambung nyawa senyawa flavonoid, tannin, saponin, steroid, triterpenoid,
asam klorogenat, asam kafeat, asam vanilat, asam p-kumarat, asam-p-hidroksi
benzoate. Penelitian Tan dkk. (2013) melaporkan komponen aktif G.
procumbens berupa senyawa flavonol dan asam fenolat yang dapat
diidentifikasi diantaranya kaemferol, kuersetin, kaemferol-3-O--Dglukopiranosida,

kaemferol-3-O-rutinosida,

rutin,

asam

klorogenat dan asam 3,5-dikafeoilquinat metil ester. Menurut


Farmakope Herbal Indonesia (FHI) (2008) simplisia dan ekstrak kental daun
sambung nyawa mengandung flavonoid total masing-masing tidak kurang dari
0,20% dan 2,7% dihitung sebagai kaemferol.
e. Khasiat
Daun Sambung Nyawa telah banyak dimanfaatkan secara tradisional
oleh sebagian masyarakat Indonesia antara lain sebagai anti kanker (Meiyanto,
1996), demam, ruam, penyakit ginjal, sakit kepala, konstipasi, tekanan darah

tinggi,

dan

diabetes

mellitus

(Perry,

1980).

Studi

farmakologi

mengindikasikan bahwa ekstrak etanolik daun sambung nyawa memiliki


aktivitas antioksidan (Rosidah dkk., 2008, 2009), antivirus herpes simpleks
(Nawawi dkk., 1999), antihiperglikemik (Algariri dkk., 2013; Hasan dkk.,
2010), antiinflamasi (Iskander dkk., 2002), antihiperlipidemia (Zhang dan Tan,
2000) dan antihipertensi (Hoe dkk., 2011, 2013; Kim dkk., 2006). Penelitian
Sudarto dan Pramono (1985) melaporkan senyawa yang bertanggung jawab
atas aktivitas farmakologi tersebut adalah senyawa flavonoid.
2. Ekstrak
Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi
senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut
yang sesuai, semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk
yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi bahan baku obat secara
perkolasi. Seluruh perkolat biasanya dipekatkan secara distilasi dengan
pengurangan tekanan agar bahan sesedikit mungkin terkena panas (Anonim,
1995).
Ekstrak tumbuhan obat dari simplisia nabati dapat digunakan sebagai bahan
awal, bahan antara atau bahan produk jadi. Ekstrak sebagai bahan awal
dianalogikan dengan komoditi bahan baku obat yang diproses menjadi produk jadi
dengan teknologi fitofarmasi. Ekstrak sebagai bahan antara berarti masih dapat
diproses menjadi fraksi-fraksi, isolat senyawa tunggal ataupun tetap sebagai
campuran dengan ekstrak lain. Ekstrak sebagai produk jadi berarti ekstrak sebagai
sediaan obat jadi siap digunakan oleh penderita (Anonim, 2000). Ekstrak mulai

banyak digunakan sebagai obat tradisional karena pada umumnya komponen


bioaktif yang ada dalam tumbuhan berada dalam jumlah kecil, sedangkan ekstrak
mengandung sebagian besar zat aktif yang diharapkan dan lebih sedikit zat ballast
sehingga diharapkan aktivitas biologisnya lebih tinggi dan lebih mudah dikontrol
mutunya.
Salah satu kriteria ekstrak yang baik adalah mengandung senyawa aktif yang
diharapkan dalam kuantitas dan kualitas. Pemilihan pelarut dalam proses
penyarian merupakan faktor yang berpengaruh dalam menghasilkan ekstrak yang
baik. Optimalnya suatu pelarut dalam menyari ekstrak dapat dilihat dengan
melakukan pengujian terhadap aktivitas biologisnya. Ekstrak yang memiliki
aktivitas tinggi menunjukkan bahwa pelarut telah menyari secara optimal. Daun
sambung nyawa memiliki komponen aktif berupa flavonoid aglikon dan glikosida
yang bersifat semipolar. Oleh karena itu, sambung nyawa dapat diekstraksi
dengan campuran etanol dan air. Penelitian Puangponpritag (2010) menyebutkan
kadar antioksidan daun sambung nyawa lebih tinggi bila diekstraksi dengan etanol
dibandingkan dengan air, namun belum ada penelitian yang menyebutkan
komposisi pelarut yang tepat untuk mengekstraksi daun sambung nyawa agar
menghasilkan ekstrak kering yang baik.
3. Simplex Lattice Design (SLD)
Metode SLD merupakan salah satu teknik optimasi formula untuk
mendapatkan daerah yang mempunyai respon sama dan daerah yang optimal.
Teknik ini sesuai untuk prosedur optimasi formula dimana jumlah total dari bahan
yang berbeda adalah konstan. Metode SLD perlu mempersiapkan formulasi yang

bervariasi terdiri dari kombinasi tambahan bahan (Bolton, 1997). Persamaan SLD
untuk dua komponen atau faktor adalah:
Y = a [A] + b [B] + ab [A] [B]
Keterangan:
Y
a; b; ab
[A] dan [B]

(1)

= hasil percobaan
= koefisien yang dihitung berdasarkan hasil percobaan
= komponen yang jumlahnya harus satu bagian

Untuk penerapan dua komponen atau faktor perlu dilakukan minimal tiga
percobaan yaitu percobaan yang menggunakan 100%A, 100%B, dan campuran
50%A dan 50%B.
4. Spray drying
Spray drying merupakan proses pengeringan dengan cara memaparkan
partikel cairan (droplet) pada semburan gas panas dengan suhu lebih tinggi dari
suhu droplet. Suhu yang tinggi menyebabkan terjadinya penguapan cairan droplet
sehingga terbentuk partikel yang kering (Shabde, 2006). Spray drying telah
digunakan untuk membuatan bahan pengisi tablet dengan metode kempa langsung
(Limwong dkk., 2004; Hauschild dan Freyer, 2004).
Spray drying merupakan proses yang ekonomis karena langsung
menghasilkan serbuk dari larutan dan mengurangi langkah-langkah seperti
kristalisasi, presispitasi, pengeringan, dan pengurangan ukuran partikel. Adanya
pengurangan langkah-langkah tersebut dapat mengurangi biaya peralatan, pekerja,
tempat dan kemungkinan terjadinya kontaminasi (Rudnic dan Scharwtz, 2000).
Perusakan produk karena panas umumnya jarang terjadi karena pemaparan
material dengan panas terjadi dalam waktu singkat (Anonim, 2007). Oleh karena

10

itu spray drying dapat digunakan untuk material yang sensitif terhadap panas
(Rudnic dan Kottke, 1996).
Prinsip dasar proses spray drying terdiri dari tiga tahapan, yaitu:
a. Atomisasi
Atomisasi merupakan tahap pembentukan droplet. Cairan (feed) ditekan oleh
pompa untuk melewati suatu celah hingga cairan terpecah menjadi fine
droplets. Perbedaan tekanan yang diberikan menentukan diameter rata-rata
droplet yang terbentuk. Serbuk hasil spray drying mayoritas berupa partikel
spheris, berpori, dan masing-masing memiliki ukuran yang identik (Bolhuis
dan Chowhan, 1996; Shaw, 1997). Sistem spray drying yang ada secara
komersial, proses atomisasinya menggunakan salah satu dari beberapa bentuk
energi di bawah ini, yaitu:
1) Energi Sentrifugal
Centrifugal atomizer umumnya beroprasi dengan cakram diameter 5-50
cm dengan kecepatan putar 5000-25000 rpm. Jenis atomizer ini
menghasilkan droplet dengan variasi ukuran sekitar 15 m, tergantung
jumlah energi yang ditransmisikan pada larutan (Shaw,1997).
2) Energi Kinetik
Energi kinetik diaplikasikan dalam bentuk two-fluid. Dalam teknik ini,
atomisasi terjadi melalui interaksi antara larutan (feed) dengan udara
bertekanan. Ukuran droplet dipengaruhi oleh rasio aliran udara dan cairan
(Shaw, 1997).
3) Energi Tekanan

11

Dalam teknik ini, liquid feed ditekan oleh suatu pompa dan dikeluarkan
melalui nozzle secara paksa, kemudian dipecah menjadi droplet halus.
Ukuran droplet dipengaruhi besarnya tekanan udara (Shaw, 1997).
4) Energi Sonik dan Vibrasi
Keuntungan sonic nozzle adalah beroprasi pada tekanan yang rendah dan
memiliki saluran alir yang lebar, sehingga memungkinkan untuk
digunakan pada material yang abrasif dan korosif (Celik dan Wendel,
2005).
b. Spray-air contact dan evaporasi
Cairan yang diatomisasi harus mengalami interaksi dengan aliran udara panas
sehingga terjadi evaporasi yang merata pada seluruh permukaan droplet. Fase
interaksi ini terjadi dalam suatu tabung yang disebut drying chamber. Aliran
udara panas dialirkan ke dalam chamber oleh air dispenser, yang memastikan
udara mengalir secara merata ke seluruh bagian chamber (Celik dan Wendel,
2005). Secara terpisah dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Spray-air contact
Tahapan dimana droplet terpapar dengan udara panas merupakan tahapan
kritis dalam operasi spray-drying. Kontak antara tetesan dengan udara
panas ditentukan oleh posisi atomizer yang terhubung dengan udara inlet.
Udara inlet dialirkan ke dalam drying chamber melalui air dispenser.
Udara yang masuk ke dalam dispenser harus tercampur dengan baik dan
tidak memiliki gradient temperatur (Celik dan Wendel, 2005).
2) Evaporasi

12

Pemaparan tetesan dengan aliran udara panas menyebabkan material yang


terlarut di dalam larutan akan membentuk lapisan tipis pada permukaan
sphere, cairan akan berdifusi ke permukaan sphere dan evaporasi terjadi
secara cepat. Proses ini terjadi pada bagian terdingin dari dryer yaitu udara
pengering berada pada atau di sekitar suhu udara outlet. Oleh karena itu,
partikel padatan tidak akan terpapar panas dengan suhu di atas suhu udara
outlet, dan serbuk kering yang dihasilkan akan berada pada suhu 20oC
lebih rendah dari suhu udara outlet (Celik dan Wendel, 2005).
c. Pemisahan serbuk
Spray-drying chamber memiliki cone bottom yang berfungsi untuk
mengumpulkan serbuk kering. Cone bottom juga berfungsi sebagai siklon
pemisah. Aliran udara panas dengan kandungan uap lembap dikeluarkan dari
cone bottom dan dilepaskan ke udara, sedangkan serbuk kering akan
terkumpul di particle collector (Shaw, 1997).
Granul yang dihasilkan melalui spray drying memiliki ukuran partikel,
densitas, dan kompaktibilitas yang konsisten (tidak berubah). Karakteristik ini
membuat spray drying menjadi proses yang sesuai untuk memproduksi bahan
pengisi yang baik untuk kempa langsung, seperti latosa, microcrystalline
cellulose, dan manitol (Celik dan Wendel, 2005).
Keuntungan proses spray drying adalah:
1) Prosesnya berjalan kontinyu, artinya ketika cairan dimasukkan ke sistem
pengering, langsung dapat dihasilkan produk secara kontinyu.
2) Prosesnya sangat cepat, penguapan terjadi dalam waktu singkat.

13

3) Waktu pemaparan panas singkat, sehingga spray drying sesuai untuk


produk yang sensitif terhadap panas.
4) Sifat fisik produk seperti bentuk dan ukuran partikel, kadar air dan sifat
alir dapat dikontrol dengan memilih alat dan kondisi proses (Shaw, 1997).
5. Laktosa
Laktosa adalah gula yang diperoleh dari gula susu dalam bentuk anhidrat
atau mengandung satu molekul air hidrat. Laktosa berupa serbuk atau massa
hablur, keras, putih atau krem, tidak berbau, rasa sedikit manis, stabil di udara
tetapi mudah menyerap bau. Laktosa mudah (dan pelan-pelan) larut dalam air dan
tidak larut dalam kloroform dan eter (Anonim, 1995).
Laktosa atau gula susu merupakan bahan pengisi yang paling banyak
digunakan karena tidak bereaksi dengan hampir semua obat, baik yang digunakan
dalam bentuk hidrat atau anhidrat. Sediaan obat yang menggunakan laktosa
memberikan kecepatan pelepasan obat yang baik, granul yang terbentuk cepat
kering dan waktu hancur tidak terlalu peka terhadap perubahan (Banker dan
Anderson, 1986).
Laktosa mempunyai densitas 1,589 g/cm3 dan rumus empirisnya C12H22O11
(Edge dkk., 2006). Laktosa masuk dalam golongan disakarida yang terbentuk dari
glukosa dan galaktosa dan diperoleh melalui kristalisasi, pemusingan dan
pengeringan atau melalui pengering sembur dari air susu (lebih banyak air susu
perut binatang menyusui dengan 5% laktosa). Dalam ketergantungannya dari
konfigurasi bagian glukosanya dipisahkan antara -laktosa dan -laktosa. Laktosa
yang digunakan dalam teknologi farmasi umumnya adalah -laktosa monohidrat.

14

Metode kompresi langsung cocok menggunakan laktosa yang diperoleh melalui


pengering sembur menghasilkan tablet yang kompak. Sifat yang sama diperoleh
dengan bahan yang dikeringkan pada silinder pejal (Voight, 1994).
6. Flavonoid
Senyawa flavonoid adalah senyawa yang mempunyai struktur dasar C 6-C3C6. C6 berupa cincin benzena yang dihubungkan dengan tiga atom C yang
merupaan rantai alifatik. Cincin diberi tanda A B C, atom karbon dinomori
menurut sistem penomoran yang menggunakan angka biasa untuk cincin A dan C
serta angka beraksen untuk cincin B (Markham, 1988).

Gambar 2. Kerangka flavonoid

Senyawa flavonoid menunjukkan aktivitas biologi yang bermacam-macam


diantaranya antivirus, antihistamin, diuretik, antihipertensi, bakteriostatik,
estrogenik, mengaktivasi enzim dan lain-lain termasuk aktivitas antioksidan
(Geissman, 1962).
Flavonoid yang terdapat di alam sangat beragam macam dan sifatnya.
Flavonoid terdapat dalam bentuk bebas (aglikon) dan dalam bentuk terikat dengan
gula (glikosida) yang sebagian besar terdapat dalam bentuk glikosida, baik mono,
di, atau triglikosida (Harborne, 1987).
Penggolongan

Flavonoid

berdasarkan

penambahan

rantai

oksigen

heterosiklik dan perbedaan distribusi dari gugus hidrofilnya. Klasifikasi flavonoid

15

berdasarkan perbedaan rantai C3 yaitu : flavon, flavonol, flavanon, isoflavon,


auron, khalkon. Bagian terbesar yang sering ditemukan dalam tanaman adalah
flavon dan flavonol (Robinson, 1995).

Gambar 3. Kerangka tipe-tipe flavonoid

Ekstraksi flavonoid dari tumbuhan dapat dilakukan dengan pelarut polar


maupun nonpolar tergantung jenis flavonoidnya. Pelarut yang kurang polar
digunakan untuk mengekstraksi aglikon flavonoid, sedangkan pelarut yang lebih
polar digunakan untuk glikosida flavonoid atau antosianin. Flavonoid merupakan
senyawa polar karena mempunyai sejumlah gugus hidroksil yang tak tersulih atau
suatu gula. Oleh karena itu, umumnya flavonoid cukup larut dalam pelarut polar
seperti etanol (EtOH), methanol (MetOH), butanol (BuOH), aseton, dimetil
sulfoksida (DMSO), dimetilforfamid (DMF), dan air (Markham, 1988).
Umumnya pelarut alkoholik merupakan pilihan untuk mengekstraksi semua
golongan flavonoid. Bahan segar dapat diekstraksi dengan alkolhol absolut.
Bahan kering dan berkayu dapat menggunakan alkohol berair, disesuaikan dengan
glikosida flavonoidnya (Harborne, 1987).

16

Salah satu deteksi kualitatif flavonoid adalah menggunakan sitroborat


dengan cara pembentukan kompleks pada rantai C6 dan C3 dari senyawa
flavonoid. Deteksi kuantitatif dapat menggunakan metode Chang, yaitu dengan
pembentukan kompleks antara flavonoid dengan AlCl3 alam suasana asam
sehingga menghasilkan warna kuning (Mabry dkk., 1970) yang intensitas
warnanya dapat dihitung menggunakan spektrofotometer (Vermesis & Nicholson,
2006).
7. Fenolik
Senyawa fenolik atau polifenol merupakan skeumpulan metabolit sekunder
yang memiliki cincin aromatik yang terikat dengan satu atau lebih substituent
gugus hidroksi yang berasal dari jalur metabolism sikimat dan fenil propanoid.
Termasuk dalam kelompok senyawa fenolik dan polifenol adalah fenol sederhana,
asam fenolat, kumarin, tanin, dan flavonoid. Dalam tanaman, senyawa-senyawa
ini biasanya berada dalam bentuk glikosida atau esternya (Poestos & Kokaitis,
2006).
Penentuan kadar fenolik total dapat ditetapkan secara spektrofotometri
menggunakan pereaksi Folin Ciocalteu (FC). Pereaksi FC merupakan larutan
kompleks ion polimetrik yang dibuat dari asam fosfomolibdat dan asam
heteropolifosfotungstat. Pereaksi ini terbuat dari air, natrium tungstat, natrium
molibdat, asam klorida, litium, sulfat, dan bromin (Sutrisno, 1986). Pereaksi FC
merupakan pereaksi terbaik untuk deteksi fenolik (Harborne, 1987).
Metode penetapan fenol total dengan pereaksi Folin Ciocalteu (FC) ini
pertama kali dikembangkan tahun 1972 untuk menganalisis asam amino tirosin.

17

Metode ini berdasarkan prinsip reaksi redoks dalam suasana basa, yakni adanya
senyawa fenolik akan dioksidasi oleh reagen asam fosfomolibdat-tungstat
menghasilkan produk senyawa berwarna yang dapat diukur absorbansinya pada
panjang gelombang maksimal 745-750 nm. Warna biru yang terbentk akan
semakin pekat setara dengan konsentrasi ion fenolat yang terbentuk, artinya
semakin besar konsentrasi senyawa fenolik maka semakin banyak ion fenolat
yang akan mereduksi asam heteropoli sehingga warna biru yang dihasilkan
semakin pekat (Singleton & Rossi, 1985)
8. Spektrofotometri UV-Vis
Spektrofotometer merupakan suatu alat analisis yang didasarkan pada
pengukuran serapan sinar monokromatis suatu jalur larutan dengan menggunakan
monokromater

sistem prisma

atau

kisi

difraksi

dan detektor

fotosel.

Spektrtrofotometer digunakan untuk mengukur energi secara relatif jika energi


tersebut ditransmisikan, direfleksikan atau diemisikan sebagai fungsi gelombang
(Khopkar, 1990).
Metode penentuan flavonoid total dan fenolik total yang diakui oleh
Departemen Kesehatan RI adalah spektrofotometri UV yang berdasar pada prinsip
kolorimetri. Absorbansi dari warna yang terbentuk diukur dengan spektrometer
UV. Perhitungan ini berdasarkan pada hukum Lambert-Beer yang menunjukkan
hubungan lurus antara absorbans dan kadar analit (Anonim, 2000).
Hukum Lambert-Beer menyatakan secara empiris hubungan antara
intensitas cahaya yang ditransmisikan dengan tebalnya larutan, dan hubungan
antara intensitas tadi dengan konsentrasi zat.

18

A = Log (Io/I) = a.b.c


Keterangan : A
Io
I
a
b
c

=
=
=
=
=
=

(2)

Absorban
Intensitas sinar yang datang
Intensitas sinar yang diteruskan
Absrotivitas
Tebal larutan (cm)
Konsenstrasi
(Gandjar & Rohman, 2010)

9. Aktivitas Antioksidan
Antioksidan adalah senyawa-senyawa yang mampu menghilangkan,
menangkap (scavenging), menahan pembentukan maupun meniadakan efek
spesies oksigen reaktif (Lautan, 1997). Penurunan produksi antioksidan terjadi
seiring bertambahnya usia seseorang dan menyebabkan antioksidan tidak cukup
dalam melawan radikal bebas yang ada dalam tubuh. Oleh karena itu, dibutuhkan
antioksidan yang dikonsumsi dari luar. Antioksidan tersebut akan merangsang
respon ion tubuh sehingga menghancurkan radikal bebas, mempertahankan
kelenturan pembuluh darah, mempertahankan jaringan otak, dan mencegah kanker
(Dalimartha dan Soedibyo, 1999).
Antioksidan dapat berasal dari antioksidan sintetik maupun antioksidan
alami. Penelitian antioksidan alami lebih banyak dikembangkan karena hasil
penelitian menunjukkan bahwa antioksidan sintetik seperti BHT (Butylated
Hydroxy Toluena) beracun dan bersifat karsinogenik (Takashi dan Takayuni,
1997). Kebanyakan sumber antioksidan alami adalah tumbuhan dan umumnya
merupakan senyawa fenolik yang tersebar di seluruh bagian tumbuhan baik di
kayu, biji, daun, buah, akar, bunga maupun serbuk sari (Sarastani, dkk., 2002).
Senyawa fenolik atau polifenolik antara lain dapat berupa golongan flavonoid.

19

Kemampuan flavonoid sebagai antioksidan telah banyak diteliti belakangan tahun


ini, dimana flavonoid memiliki kemampuan untuk merubah atau mereduksi
radikal bebas dan juga sebagai anti radikal bebas (Giorgio, 2000). Penelitian
Perwiratami dkk. (2014) menunjukkan adanya korelasi positif antara kadar
flavonoid total dan fenolik total dengan aktivitas antioksidan pada ekstrak buah
tanjung (Mimusops elengi L.).
Uji kuantitatif dilakukan untuk mengetahui besarnya aktivitas suatu senyawa
sebagai antioksidan. Uji ini dapat dilakukan antara lain dengan metode
spektrofotometri pengangkapan radikal bebas (scavenging test), pengujian
aktivitas antioksidan dengan sistem linoleat-tiosianat, pengujian dengan asam
tiobarbiturat, dan pengujian dengan sistem -karoten-linoleat (Pokorni dkk.,
2001). Pengujian penangkapan radikal (radical scavenging test) ini dilakukan
dengan mengukur penangkapan radikal sintetik dalam pelarut organik polar
seperti metanol atau etanol pada suhu kamar. Radikal sintetik yang sering
digunakan adalah DPPH (2,2-difenil-1-pikrilhidrazil) dan ABTS (2,2-azinobis
(3-etil benzotizaolin-asam sulfonat) (Pokorni dkk., 2001).
Metode DPPH didasarkan pada penangkapan radikal DPPH oleh suatu
senyawa diikuti dengan penurunan absorbansi yang terjadi pada panjang
gelombang 517 nm sebagai akibat direduksinya radikal tersebut oleh antioksidan
(AH) atau sebagai hasil reaksi dengan spesies radikal lain. Reaksi yang terjadi
adalah:
DPPH* + AH DPPH-H + A*
DPPH* + R DPPH-R (Pokorni dkk., 2001)

(3)

20

E. Landasan Teori
Tanaman G. procumbens daunnya mengandung senyawa flavonoid, sterol
tidak jenuh, triterpen, polifenol dan minyak atsiri (Sudarto dan Pramono, 1985).
Penelitian Suganda dkambark. (1985) menyebutkan bahwa tanaman ini
mengandung senyawa flavonoid, tannin, saponin, steroid, triterpenoid, asam
klorogenat, asam kafeat, asam vanilat, asam p-kumarat, asam-p-hidroksi benzoat
(Suganda dkk., 1985). Penelitian Tan dkk. (2013) melaporkan komponen aktif dari
G. procumbens adalah senyawa flavonol dan asam fenolat yang dapat
diidentifikasi

diantaranya

kaempferol,

kuersetin,

kaempferol-3-O--D-

glukopiranosida, kaempferol-3-O-rutinosida, rutin, asam klorogenat dan asam 3,5dikafeoilquinat metil ester. Kemampuan flavonoid dan fenolik sebagai antioksidan
telah banyak diteliti, dimana flavonoid dan fenolik memiliki kemampuan untuk
mereduksi radikal bebas dan juga sebagai anti radikal bebas (Giorgio, 2000).
Senyawa-senyawa aktif dalam daun sambung nyawa dapat disari dengan
baik bila digunakan pelarut yang optimal. Penyari yang paling umum digunakan
dalam industri obat alam adalah etanol. Optimalisasi penyarian menggunakan
perbandingan jumlah etanol dan air tergantung pada bahan yang akan disari
(Anonim, 1986). Ion anorganik atau senyawa organik polar sebagian besar akan
tersari oleh air, sedangkan senyawa organik nonpolar sebagian besar akan tersari
oleh pelarut organik sesuai dengan prinsip like dissolves like yang berarti
senyawa polar akan mudah larut dalam pelarut polar, dan sebaliknya (Sudjadi,
1988).

21

Perbandingan pelarut yang optimal dapat ditentukan dengan menganalisis


kandungan zat aktif yang telah diketahui (Anonim, 1986). Optimasi komposisi
pelarut ini dapat menggunakan metode SLD yang memiliki rumusan perhitungan
yang dapat menghasilkan perbandingan pelarut yang optimal. SLD adalah suatu
metode yang memungkinkan ditentukannya pelarut yang optimal dengan
perhitungan matematis sehingga trial and error yang cukup menyita waktu dapat
dihindari (Bondari, 2005).
Bahan baku yang digunakan untuk sediaan farmasi seperti kapsul dan tablet
umumnya adalah ektrak kering. Jika ekstrak masih kental, penentuan dosis akan
mengalami kesulitan karena bahan kurang homogen dan masih lengket sehingga
sulit dalam perlakuannya. Pengolahan ekstrak kental menjadi ektrak kering dapat
dilakukan dengan penambahan bahan pengering. Penambahan bahan pengering
akan menjaga komponen aktif agar tidak rusak serta mempercepat proses
pengeringan (Sembiring, 2009).
Penelititan ini dilakukan untuk mengetahui perbandingan komposisi pelarut
optimal untuk mendapatkan ekstrak kering bermutu baik dengan melihat respon
kadar air, flavonoid total, fenolik total dan aktivitas antioksidan dengan metode
simplex lattice design.

F. Hipotesis
1. Pelarut dengan perbandingan komposisi etanol: air yang optimal dapat menyari
senyawa aktif dalam daun sambung nyawa sehingga menghasilkan ekstrak yang

22

memiliki kadar air, kandungan fenolik total, flavonoid total, dan aktivitas
antioksidan yang optimal.
2. Kandungan flavonoid total dan fenolik total sebagai respon dalam optimasi

pelarut daun sambung nyawa berbanding lurus dengan aktivitas antioksidan.

Anda mungkin juga menyukai