Secara geografis, distribusi atau sebaran spasial dan temporal dipengaruhi oleh berbagai
faktor ekologis yang terdiri dari faktor lingkungan biotik dan abiotik. Faktor faktor
berpengaruh tersebut biasanya tidak hanya terdiri dari satu faktor tetapi dapat lebih dari satu
faktor, yang akan saling berinteraksi satu sama lain (Brewer, 1994; Stiling. 1996).
Srukutur Spasial merupakan keberadaan suatu komunitas yang dapat membentuk habitat
bagi organisme lain sedangkan Strukur temporal merupakan keberadaan suatu komunitas
organisme pada waktu-waktu tertentu yang mendukung keberadaan dari komunitas
organisme tersebut.
Salah satu parameter yang sangat berpengaruh terhadap keberadaan ikan di suatu perairan
adalah ada tidaknya sumber makanan yang dibutuhkan. Menurut hasil penelitian yang telah
dilakukan, sumber makanan ikan terkonsentrasi di wilayah perairan yang subur. Daerah
perairan yang subur memiliki kandungan nutrien yang tinggi, seperti orthoposphat, nitrat,
nitrit dan unsur hara lainnya. Daerah ini biasanya diindikasikan dengan kelimpahan
fitoplankton yang tinggi dan konsentrasi klorofil-a yang tinggi pula.
Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi ataupun keadaan biomassa
organisme di suatu perairan dapat dilakukan dengan melakukan penelitian terkait dengan
distribusi spasial dan temporal. Biomassa fitoplankton itu sendiri dapat dijadikan indikator
tinggi rendahnya produktivitas suatu perairan (Alkatiri dan Sardjana, 1998 in Roshisati
2002).
Kondisi lingkungan di daerah estuaria memiliki variasi dan fluktuasi yang besar sehingga
sangat menyulitkan organisme untuk hidup. Hal ini menjadi sebab rendahnya jenis organisme
yang hidup di daerah estuaria dibandingkan dengan habitat lainnya. Beberapa faktor
lingkungan yang membentuk karakteristik daerah estuaria yang berhubungan dengan sruktur
sparsial dan temporal akan diuraikan secara singkat sebagai berikut :
1) Pasang surut
Pasang surut juga merupakan salah satu faktor yang berpengaruh besar terhadap
kondisi dan karakteristik lingkungan estuaria. Pada daerah yang memiliki perbedaan
pasang surut besar, pasang naik akan mendorong air laut masuk jauh ke arah hulu
estuaria sehingga menggeser isohaline ke hulu. Kondisi surut sebaliknya menggeser
isohaline ke arah hilir. Akibatnya ada daerah di estuaria yang memiliki salinitas
berfluktuasi sesuai dengan kondisi pasang surut. Kondisi ini secara langsung juga
berpengaruh terhadap distribusi hewan dan tumbuhan yang ada di daerah estuaria.
Polychaeta melimpah di daerah pasang surut dengan dasar lumpur dan menurun
kelimpahannya pada substrat dasar pasir, begitu pula krustasea dan moluska. Hal tersebut
berbeda dengan kelompok Ekinodermata yang hanya ditemukan sedikit pada substrat
dasar lumpur. (Pianka (1966) dalam Kastoro et al, 1999 )
2) Musim
Pada musim-musim tertentu organisme yang hidup akan memiliki keadaan aatu
kondisi yang berbeda-beda karena musim jelas akan mempengaruhi kondisi suhu dan
angin yang ada di perairan.
Misalnya pada fitoplankton. Nilai rata-rata konsentrasi klorofil-a fitoplankton untuk
seluruh perairan Indonesia adalah sebesar 0,19 mg/m3. Nilai rata-rata selama musim
timur adalah sebesar 0,24 mg/m3, sedikit lebih besar daripada kandungan klorofil-a pada
musim barat yaitu 0,16 mg/m3 (Nontji, 1974 in Arinardi, 1996).
3) Suhu
Suhu air di estuaria bervariasi daripada diperairan dekat pantai di dekatnya. Hal ini
sebagian karena biasanya di estuaria volume air lebih kecil sedangkan luas permukaan
lebih besar, dengan demikian pada atmosfer yang ada, air estuaria ini lebih cepat panas
dan lebih cepat dingin (karena dalamnya dan volumenya besar tidak memperlihatkan
gejala ini). Alasan lain terjadinya variasi ini ialah masukan air tawar. Air tawar di sungai
dan kali lebih dipengaruhi oleh perubahan suhu musiman daripada air laut. Sungai di
daerah beriklim sedang suhunya lebih rendah di musim dingin dan lebih tinggi di musim
panas daripada suhu air laut didekatnya.
Ketika air tawar masuk estuaria dan bercampur dengan air laut, terjadi perubahan
suhu. Akibatnya, suhu perairan estuaria lebih rendah di musim dingin dan estuaria dan
lebih tinggi di musim panas daripada suhu air laut didekatnya. Ketika air tawar masuk
estuaria dan bercampur dengan air laut, terjadi perubahan suhu. Akibatnya, suhu perairan
estuaria lebih rendah pada musim dingin dan lebih tinggi pada musim panas daripada
perairan di sekitarnya. Skala waktunya menarik karena dapat dilihat dengan perubahan
pasang surut, suatu titik tertentu di estuari karena memperlihatkan variasi suhu yang
besar sebagai fungsi dari perbedaan antara suhu air laut dan air sungai.
Peningkatan suhu perairan dapat meningkatkan kecepatan metabolisme tubuh
organisme yang hidup didalamnya, dampaknya konsumsi oksigen akan menjadi lebih
tinggi. Peningkatan suhu perairan sebesar 10 oC dapat menyebabkan terjadinya
peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sebanyak dua sampai tiga kali
lipat (Effendi 2003). Kecepatan metabolisme organisme air meningkat seiring dengan
naiknya suhu yang selanjutnya mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen (Effendi
2003). Suhu air yang baik bagi kepentingan perikanan adalah suhu air normal (27 oC
untuk daerah tropis) dan fluktuasi sekitar 3 oC (Hariyadi et al. 1992).
Nybakken (1992) menyatakan hal senada bahwa perubahan suhu dapat menjadi
isyarat bagi organisme untuk memulai atau mengakhiri aktivitas, misalnya reproduksi.
Kelas Polychaeta akan melakukan adaptasi terhadap kenaikan suhu atau salinitas dengan
aktivitas membuat lubang dalam lumpur dan membenamkan diri di bawah permukaan
substrat (Alcantara & Weiss 1991 in Taqwa 2010).
4) Arus dan ombak
Estuaria dikelilingi daratan pada ketiga sisi. Ini berarti bahwa luas perairan yang
diatasnya angin dapat bertiup untuk menciptakan ombak adalah minimal. Dangkalnya
perairan di estuaria pada umumnya juga jadi penghalang bagi terbentuknya ombak yang
besar. Sempitnya mulut estuaria, diikuti dengan dasar yang dangkal, menghilangkan
pengaruh ombak yang masuk ke estuaria dari laut secara cepat. Sebagai akibat proses ini,
pada estuaria merupakan tempat yang airnya tenang.
5)
6)
7)
8)
Nitrogen dalam perairan berupa nitrogen organik dan anorganik. Nitrogen anorganik
terdiri atas ammonia (NH3), ammonium (NH4+), nitrit (NO2-), nitrat (NO3-) dan
molekul nitrogen (N2) dalam bentuk gas. Nitrogen organik berupa protein, asam amino
dan urea. Bentuk-bentuk nitrogen ini mengalami transformasi di perairan sebagai bagian
dari siklus nitrogen (Effendi, 2000).
Beberapa kelas fitoplankton, seperti Dinophyceae, dapat memenuhi kebutuhannya
akan nitrogen dengan memanfaatkan senyawa-senyawa nitrogen organik yang larut
dalam air laut, seperti asam-asam amino. Terdapat pula fitoplankton yang dapat
memanfaatkan asam-asam amino hasil deaminasi bakteri senyawa-senyawa nitrogen
organik terlarut (Libes, 1992 in Roshisati, 2002).
Nitrifikasi merupakan reaksi oksidasi yaitu proses pembentukan nitrat yang berasal
dari ammonia kemudian menjadi nitrit dan hasil akhirnya berupa nitrat. Asimilasi
nitrogen merupakan fungsi utama bagi fitoplankton, alga bentik dan bakteri sebagai
proses pemanfaatan nitrogen untuk pembentukan asam amino dalam protoplasma.
Denitrifikasi merupakan reaksi reduksi terhadap nitrat, yaitu proses perubahan nitrat
menjadi nitrit dan dari nitrit menjadi molekul nitrogen. Fiksasi nitrogen yaitu proses
fiksai nitrogen bebas, ini hanya dapat terjadi pada daerah pantai, simbiosis alga dan
percampuran nitrogen dari lingkungan/atmosfir.
Nitrat
Menurut Kirchman (2000) nitrat (NO3-) adalah jenis nitrogen yang paling dinamis
dan menjadi bentuk paling dominan pada daerah limpasan, masukan sungai, keluarnya
air tanah dan deposisi atmosfir ke laut. Nitrat adalah nutrien utama bagi pertumbuhan
alga. Nitrogen sangat mudah larut dalam air dan bersifat stabil, dihasilkan dari proses
oksidasi sempurna nitrogen di perairan (Effendi, 2000).
Sumber utama nitrat berasal dari erosi tanah, limpasan dari daratan termasuk pupuk di
tanah dan dari buangan limbah (Chester, 1990). Selain itu, nitrar berasal dari permukaan
air selama produktivitas primer, ketika tumbuhan mati, terdekomposisi kemudian nitrat
teregenerasi ke kolom air (Millero dan Sohn, 1992).
Nitrit
Nitrit (NO2-) biasanya ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit di perairan alami,
kadarnya lebih kecil daripada nitrat karena bersifat tidak stabil (Effendi,2000). Senyawa
nitrit (NO2-) yang terdapat dalam air laut merupakan hasil reduksi senyawa nitrat (NO3-)
atau oksidasi ammonia (NH3) oleh mikroorganisme. Selain itu, senyawa nitrit juga
berasal dari hasil ekskresi fitoplankton, terutama pada saat timbulnya ledakan populasi
fitoplankton (Grasshoff, 1976). Distribusi horizontal kadar nitrit semakin menuju ke arah
perairan pantai dan muara sungai kadarnya semakin tinggi. Meningkatnya kadar nitrit di
laut berkaitan erat dengan masuknya bahan organik yang mudah terurai (baik yang
mengandung unsur nitrogen maupun tidak). Dengan demikian senyawa nitrit merupakan
salah satu indikator pencemaran (Hutagalung dan Rozak, 1997).
Ammonia
Senyawa ammonia yang telah terionisasi/ammonium (NH4+) dan nitrat merupakan
sumber nutrien utama bagi organisme perairan dan bakteri (Conell dan Hawker, 1992).
Bentuk ammonium ini lebih disukai oleh fitoplankton dalam proses fotosintesis
dibandingkan dengan nitrat (Kirchman, 2000). Ammonia yang terukur di perairan
umumnya dalam bentuk NH3 atau NH4+. NH3 merupakan bentuk senyawa ammonia
yang tidak terionisasi sedangkan NH4+ bentuk senyawa ammonia yang terionisasi.
Senyawa ammonia yang terdapat dalam air laut merupakan hasil reduksi senyawa
nitrat (NO3-) dan nitrit (NO2-) oleh mikroorganisme. Selain itu senyawa ammonia juga
berasal dari hasil ekskresi fitoplankton terutama pada saat timbulnya ledakan populasi
fitoplankton dan hasil degradasi zat organik seperti protein (Grasshoff, 1976; Kirchman,
2000).
Kadar ammonia yang tinggi merupakan indikasi adanya pencemaran bahan organik
yang berasal dari limbah domestik, industri, dan limpasan (run-off) pupuk pada perairan
(Effendi, 2000).