Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Transfusi darah adalah salah satu rangkaian proses pemindahan darah

donor ke dalam sirkulasi darah resipien sebagai upaya pengobatan1. Namun


transfusi bukanlah tanpa resiko, meskipun telah dilakukan berbagai upaya untuk
memperlancar tindakan transfusi, namun efek samping reaksi transfusi atau
infeksi akibat transfusi tetap mungkin terjadi. Maka bila diingat dan dipahami
mengenai keamanannya, indikasinya perlu diperketat. Apabila memungkinkan,
masih perlu dicari alternatif lain untuk mengurangi penggunaan transfusi darah.
Pemberian komponen-komponen darah yang diperlukan saja lebih dibenarkan
dibandingkan dengan pemberian darah lengkap (whole blood)1,2.
WHO Global Database on Blood Safety melaporkan bahwa 20% populasi
dunia berada di negara maju dan sebanyak 80% telah memakai darah donor yang
aman, sedangkan 80% populasi dunia yang berada di negara berkembang hanya
20% memakai darah donor yang aman. WHO telah mengembangkan strategi
untuk transfusi darah yang aman dan meminimalkan risiko tranfusi. Strategi
tersebut terdiri dari pelayanan transfusi darah yang terkoordinasi secara nasional;
pengumpulan darah hanya dari donor sukarela dari populasi risiko rendah,
pelaksanaan skrining terhadap semua darah donor dari penyebab infeksi, antara
lain HIV, virus hepatitis, sifilis dan lainnya, serta pelayanan laboratorium yang
baik di semua aspek, termasuk golongan darah, uji kompatibilitas, persiapan
komponen, penyimpanan dan transportasi darah/komponen darah, mengurangi
transfusi darah yang tidak perlu dengan penentuan indikasi transfusi darah dan
komponen darah yang tepat, dan indikasi cara alternatif transfusi.3

1.2.

Tujuan
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui tentang definisi,

komponen, serta reaksi transfusi atau komplikasi dari transfuse darah sehingga
dapat memberikan tindakan transfusi pada pasien secara benar dan akurat.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Definisi

Transfusi Darah adalah proses pemindahan darah dari seseorang yang sehat
(donor) ke orang sakit (resipien) yang diberikan secara intravena melalui
pembuluh darah4. Darah yang dipindahkan dapat berupa darah lengkap dan
komponen darah. Transfusi darah dapat dikelompokkan menjadi 2 golongan
utama berdasarkan sumbernya,yaitu transfusi allogenic dan transfusi autologus.
Transfusi allogenic adalah darah yang disimpan untuk transfusi berasal dari tubuh
orang lain. Sedangkan transfusi autologus adalah darah yang disimpan berasal
dari tubuh donor sendiri yang diambil 3 unit beberapa hari sebelumnya, dan
setelah 3 hari ditransferkan kembali ke pasien1.
2.2.

Tujuan Transfusi Darah


1.
2.
3.
4.

5.

6.
7.
8.

2.3.

Memperbaiki kemampuan mengangkut oksigen


Mengembalikan volume cairan yang keluar
Memperbaiki faal pembekuan darah
Memperbaiki kemampuan fagositosis dan menambah sejumlah
protein dalam darah5
Mengembalikan dan mempertahankan volume yang normal
peredaran darah
Menggantikan kekurangan komponen seluler atau kimia darah
Meningkatkan oksigenasi jaringan
Memperbaiki fungsi homeostasis

Indikasi Transfusi Darah


1.
2.
3.
4.

Perdarahan akut sampai Hb < 8 gr% atau Ht <30%


Pada orang tua, kelainan paru, kelainan jantung Hb <10 g/dl
Pada pembedahan mayor kehilangan darah >20% volume darah
Pada bayi anak yang kehilangan darah >15%, dengan kadar Hb
yang normal
Pada bayi anak, jika kehilangan darah hanya 10-15% dengan kadar
Hb normal tidak perlu transfusi darah, cukup dengan diberi cairan
kristaloid atau koloid, sedang >15% perlu transfusi karena terdapat
gangguan pengangkutan Oksigen.

5.

Pada orang dewasa yang kehilangan darah sebanyak 20%, dengan


kadar Hb normal
Kehilangan darah sampai 20% dapat menyebabkan gangguan faktor
pembekuan1

2.4.

Darah dan Komponen Darah


1. Darah Lengkap/ Whole Blood (WB)
Darah lengkap ini berisi sel darah merah, leukosit, trombosit dan
plasma. Satu unit kantong darah lengkap berisi 450 ml darah dan 63 ml
antikoagulan. Di Indonesia satu kantong darah lengkap berisi 250 ml
darah dengan 37 ml antikoagulan. Suhu simpan antara 1-6 0C. lama
simpan dari darah lengkap ini tergantung dari antikoagulan yang dipakai
pada kantong darah, pada pemakaian sitrat fosfat dektrose (CPD) lama
simpan adalah 21 hari, sedangkan dengan CPD adenine (CPDA) adalah
35 hari6. Darah utuh ada 3 macam, yaitu:
a) Darah utuh sangat segar, umurnya < 6 jam, masih berisi trombosit dan
semua factor pembekuan (juga factor labil (V,VII))
b) Darah Utuh Segar, umurnya < 24 jam yang masih berisi trombosit dan
factor-faktor pembekuan kecuali factor labil
c) Darah Utuh Simpan, umurnya > 24 jam sampai 3-4 minggu, selain
eritrosit hanya berisi factor-faktor pembekuan yang umurnya panjang
dan albumin5.
Darah lengkap diberikan dengan golongan ABO dan Rh yang
diketahui. Diberikan pada penderita yang mengalami perdarahan akut,
syok hipovolemik, bedah mayor dengan perdarahan >1500 ml.
Indikasi:
1. Penggantian volume pada pasien dengan syok hemoragi, trauma
atau luka bakar
2. Pasien dengan perdarahan masif dan telah kehilangan lebih dari
25% dari volume darah total.

2. Packed Red Cell

PRC berasal dari darah lengkap yang disedimentasikan selama


penyimpanan, atau dengan sentrifugasi putaran tinggi. Sebagian besar
(2/3) dari plasma dibuang.(1) Satu unit PRC dari 500 ml darah lengkap
volumenya 200-250 ml dengan kadar hematokrit 70-80%, volume plasma
15-25 ml, dan volume antikoagulan 10-15 ml. Mempunyai daya pembawa
oksigen dua kali lebih besar dari satu unit darah lengkap. Waktu
penyimpanan sama dengan darah lengkap7,8.
Secara umum pemakaian PRC ini dipakai pada pasien anemia yang
tidak disertai penurunan volume darah, misalnya pasien dengan anemia
hemolitik, anemia hipoplastik kronik, leukemia akut, leukemia kronik,
penyakit keganasan, talasemia, gagal ginjal kronis, dan perdarahanperdarahan kronis yang ada tanda oxsygen need (rasa sesak, mata
berkunang, palpitasi, pusing, dan gelisah). PRC diberikan sampai tanda
oxsygen need hilang. Biasanya pada Hb 8-10 gr/dl7,8.
Untuk menaikkan kadar Hb sebanyak 1 gr/dl diperlukan PRC 4
ml/kgBB atau 1 unit dapat menaikkan kadar hematokrit 3-5 %7,8.
Keuntungan transfusi PRC dibanding darah lengkap : 8
a. Kemungkinan overload sirkulasi menjadi minimal
b. Reaksi transfusi akibat komponen plasma menjadi minimal.
c. Reaksi transfusi akibat antibodi donor menjadi minimal.
d. Akibat samping akibat volume antikoagulan yang berlebihan menjadi
minimal.
e. Meningkatnya daya guna pemakaian darah karena sisa plasma dapat
dibuat menjadi komponen-komponen yang lain.
Kerugian PRC adalah masih cukup banyak plasma, lekosit, dan
trombosit yang tertinggal sehingga masih bisa terjadi sensitisasi yang
dapat memicu timbulnya pembentukan antibodi terhadap darah donor.
Untuk mengurangi efek samping komponen non eritrosit maka dibuat PRC
yang dicuci (washed PRC).
3. Sel darah merah Pekat Dengan Sedikit Leukosit (Packed Red Blood Cell
Leukocytes Reduced)

Setiap unit sel darah merah pekat mengandung 1-3 x 10 9 leukosit.


American Association of Blood bank Standard for Transfusion Services
menetapkan bahwa sel darah merah yang disebut dengan sedikit leukosit
jika kandungan leukositnya kurang dari 5x10 6 leukosit/unit. Sel darah ini
dapat diperoleh dengan cara pemutaran, pencucian sel darah merah dengan
garam fisiologis, dengan filtrasi atau degliserolisasi sel darah merah yang
disimpan beku. Karena pada pembuatannya ada sel darah merah yang
hilang, maka kandungan sel darah merah kurang dibandingkan dengan sel
darah merah pekat biasa.6
Suhu simpan 1-6 0C, sedang masa simpan tergantung pada cara
pembuatannya. Bila pemisahan leukosit dilakukan dengan memakai
kantong ganda (system tertutup) masa simpannya sama dengan darah
lengkap asalnya, tapi bila dengan pencucian/filtrasi (system terbuka)
produk ini harus dipakai secepatnya (dalam 24 jam).6
4. Sel Darah Merah Pekat Cuci (Packed Red Blood Cell Washed)
Dibuat dari darah utuh yang dicuci dengan normal saline sebanyak
tiga kali untuk menghilangkan antibodi. Washed PRC hanya dapat
disimpan selama 4 jam pada suhu 4oC, karena itu harus segera diberikan.
Sel darah merah yang dicuci dengan normal salin memiliki hematokrit 7080 % dengan volume 180 ml. Pencucian dengan salin membuang hamper
seluruh plasma (98%), menurunkan konsentrasi leukosit, dan trombosit
serta debris. Karena pembuatannya biasanya dilakukan dengan system
terbuka maka komponen ini hanya dapat disimpan dalam 4 jam dalam
suhu 1-6 0C.6
5. Sel Darah Merah Pekat Beku Yang Dicuci (Packed Red Blood Cell
Frozen, Packed Red Blood Cell Deglycerolized)
Sel darah merah beku ini dibuat dengan penambahan gliserol suatu
sediaan krioprotektif terhadap darah yang usianya kurang dari 6 hari.
Darah ini kemudian dibekukan pada suhu -650C atau -2000C (tergantung
sediaan gliserol) dan dapat disimpan selama 10 tahun. Karena pada proses
penyimpanan beku, pencairan dan pencuciannya ada sel darah merah yang

hilang maka kandungan sel darah merah minimal 80% dari jumlah sel
darah merah pekat asal, demikian pula hematokrit kurang lebih 70-80%.
Proses pencucian dapat menggunakan larutan glukosa dan salin. Suhu
simpan 1-6 0C dan tidak boleh digunakan lebih dari 24 jam karena proses
pencucian biasanya memakai system terbuka.6
6. Leukosit/Granulosit konsentrat
Diberikan pada penderita yang jumlah leukositnya turun berat,
infeksi yang tidak membaik/ berat yang tidak sembuh dengan pemberian
antibiotik, kualitas leukosit menurun. Komponen ini dibuat dari seorang
donor dengan metode pemutaran melalui hemonetic 30. Dengan alat ini
darah dari donor dilakukan pemutaran terus-menerus, memisahkan dan
mengumpulkan buffy coat yang banyak mengandung granulosit limfosit
dan platelet kemudian dicampur dengan larutan sitrat sebagai antikoagulan
yang akhirnya dilarutkan dalam plasma.8
Indikasi :
a. Penderita neutropenia dengan febris yang tinggi yang gagal dengan
antibiotik
b. Anemia aplastik dengan lekosit kurang dari 2000/ml
c. Penyakit-penyakit keganasan lainnya.
Kapan saat yang tepat untuk pemberian transfusi granulosit, masih
belum pasti. Umumnya para klinisi menganjurkan pemberian transfusi
granulosit pada penderita neutropenia dengan panas yang tinggi dan gagal
diobati dengan antibiotik yang adekuat lebih dari 48 jam. Efek pemberian
transfusi granulosit tampak dari penurunan suhu badan penderita terjadi
pada 1-2 jam setelah transfusi.

7. Trombosit
Pemberian trombosit seringkali diperlukan pada kasus perdarahan yang
disebabkan oleh kekurangan trombosit. Pemberian trombosit yang
berulang-ulang dapat menyebabkan pembentukan thrombocyte antibody
pada penderita. Transfusi trombosit terbukti bermanfaat menghentikan
7

perdarahan karena trombositopenia. Komponen trombosit mempunyai


masa simpan sampai dengan 3 hari.6
Indikasi pemberian komponen trombosit ialah :
a. Setiap perdarahan spontan atau suatu operasi besar dengan jumlah
trombositnya kurang dari 50.000/mm3. Misalnya perdarahan pada
trombocytopenic

purpura,

leukemia,

anemia

aplastik,

demam

berdarah, DIC dan aplasia sumsum tulang karena pemberian


sitostatika terhadap tumor ganas.
b. Splenektomi pada hipersplenisme penderita talasemia maupun
hipertensi portal juga memerlukan pemberian suspensi trombosit
prabedah.
8. Plasma biasa dan Plasma Segar Beku
Dari 250 ml darah utuh diperoleh 125 ml plasma. Plasma banyak
digunakan untuk mengatasi gangguan koagulasi yang tidak disebabkan
oleh

trombositopenia,

mengganti

plasma

yang

hilang,

defisiensi

imunoglobulin dan overdosis obat antikoagulans (warfarin,dsb). Plasma


tersedia dalam berbagai bentuk sediaan sebagai berikut :
Plasma segar (Fresh Plasma)
Dari darah utuh segar (<6 jam). Berisi semua faktor pembekuan (juga
faktor labil) dan trombosit. Harus diberikan dalam 6 jam1,8.
Plasma Segar Beku (Fresh Frozen Plasma)
Didapat dari pemisahan darah segar (darah donor kurang dari 6 jam)
dengan metode pemutaran, kemudian dibekukan dan disimpan pada
temperatur 30 0C. Karena dibuat dari darah segar, maka hampir semua
faktor-faktor pembekuan masih utuh selama penyimpanan 30 0C
kecuali trombosit. Tapi bila disimpan pada temperatur 4oC, maka semua
faktor pembekuan yang labil itu akan rusak menjadi plasma biasa.8
Kriteria pemberian Fresh Frozen Plasma :8
a. Perdarahan menyeluruh yang tidak dapat dikendalikan dengan
jahitan bedah atau kauter.
b. Peningkatan PT atau PTT minimal 1,5 kali dari normal.
c. Hitung trombosit lebih besar dari 70.000/mm3 (untuk menjamin
bahwa trombositopenia bukan merupakan penyebab perdarahan).

ASA merekomendasikan pemberian FFP dengan mengikuti petunjuk


berikut :8
a. Segera setelah terapi warfarin
b. Untuk koreksi defisiensi faktor koagulasi yang mana untuk faktor
yang spesifik tidak tersedia.
c. Untuk koreksi perdarahan

mikrovaskuler

sewaktu

terjadi

peningkatan >1,5 kali nilai normal PT atau PTT


d. Untuk koreksi perdarahan sekunder mikrovaskuler yang meningkat
akibat defisiensi faktor koagulasi pada pasien yang ditransfusi lebih
dari satu unit volume darah dan jika PT dan PTT tidak dapat
diperoleh saat dibutuhkan.
e. FFP sebaiknya diberikan dalam dosis yang diperhitungkan
mencapai suatu konsentrasi plasma minimum 30% (biasanya
tercapai dengan pemberian 10-15 ml/kg), kecuali setelah pemberian
warfarin yang mana biasanya cukup antara 5-8 ml/kg.
f. FFP dikontraindikasikan untuk peningkatan volume plasma atau

konsentrasi albumin.
Plasma biasa (Plasma Simpan)
Mengandung faktor stabil fibrinogen, albumin, dan globulin.
Didapat dari dari darah lengkap yang telah mengalami penyimpanan.
Dari 250 cc darah lengkap diperoleh 125 cc plasma. Dapat bertahan
selama 2 bulan pada suhu 4oC. Indikasi : 8,9
a. Untuk mengatasi keadaan shok (sebelum darah datang).
b. Memperbaiki volume sirkulasi darah.
c. Mengganti protein plasma yang hilang pada luka bakar yang luas.
d. Mengganti dan menambah jumlah faktor-faktor tertentu yang hilang
misalnya fibrinogen, albumin, dan globulin.
Plasma diberikan pada kehilangan plasma misalnya dengue
hemoragik fever, atau luka bakar yang luas. Dosis pemberian
tergantung keadaan klinis. Umumnya diberikan 10-15 ml/kgBB/hari.
Hati-hati pada orang tua, karena kemungkinan terjadinya payah jantung
atau overload sirkulasi. Indikasi ini sekarang tidak dianjurkan lagi
karena lebih aman menggunakan terapi larutan koloid atau albumin
yang bebas resiko transmisi penyakit. 8,9
Cryopresipitate

9.

Komponen utama yang terdapat di dalamnya adalah faktor VIII,


faktor

pembekuan

XIII,

faktor

Von

Willbrand,

fibrinogen.
9

Penggunaannya

ialah

untuk

menghentikan

perdarahan

karena

kurangnya faktor VIII di dalam darah penderita hemofili A.


Cara pemberian ialah dengan menyuntikkan intravena langsung,
tidak melalui tetesan infus, pemberian segera setelah komponen
mencair, sebab komponen ini tidak tahan pada suhu kamar. 6
Suhu simpan -18C atau lebih rendah dengan lama simpan 1
tahun, ditransfusikan dalam waktu 6 jam setelah dicairkan. Efek
samping berupa demam, alergi. Satu kantong (30 ml) mengadung 75-80
unit faktor VIII, 150-200 mg fibrinogen, faktor von wilebrand, faktor
XIII. Indikasi :
-

Hemophilia A
Perdarahan akibat gangguan faktor koagulasi
Penyakit von wilebrand

10. Konsentrat Faktor VIII (Faktor VIII consentrate)


Konsentrate factor VIII dibuat dari plasma manusia atau
diproduksi melalui teknologi rekombinan. Konsentrate factor VIII ini
dibuat dengan proses fraksinasi dari plasma yang dikumpulkan dan
dibekukan segera setelah pengambilan darah. Semua produk dibuat
steril, stabil, murni dan beku kering.6
11. Konsentrat Faktor IX
Dua konsentrat F IX sekarang tersedia sebagai hasil rekombinan.
Sediaan ini steril, stabil dan kering beku sebagai hasil dari fraksinasi
plasma yang dikumpulkan. Kompleks F IX merupakan sediaan yang
mengandung selain F IX juga sejumlah F II, VII, X dan beberapa
protein.6
12. Albumin Dan Fraksi Protein Plasma
Albumin merupakan derivate plasma yang diperoleh dari darah
lengkap atau plasmafaresis, terdiri dari 96 % albumin dan 4 % globulin
dan beberapa protein lain yang dibuat dengan proses fraksinasi alcohol

10

dingin. Derivate ini kemudian dipanaskan 600C selama 10 jam sehingga


bebas virus.6
Fraksi protein plasma adalah produk yang sama dengan albumin
hanya dalam pemurniannya lebih kurang dibandingkan dengan albumin
dalam proses fraksinasi. Fraksi protein plasma ini mengandung 83 %
albumin dan 17 % globulin.6
13. Immunoglobulin
Immunoglobulin biasanya dibuat melalui proses fraksinasi dengan
etanol dingin dari plasma yang dikumpulkan. Berisi immunoglobulin G
(IgG) dengan sedikit IgA dan IgM. Terdapat dua sediaan yakni
intramuscular (IM) dan intravena (IV). Pada sediaan IM, produk ini
mempunyai beberapa kelemahan yaitu pada pemberiannya diperlukan
waktu 4-7 hari untuk mencapai kadar puncak dalam plasma, dosis
maksimum yang dapat diberikan dibatasi oleh massa otot dan pada
pemberiannya menyebabkan nyeri. Sediaan IM saat ini diberikan hanya
untuk profilaksis. Sediaan ini merupakan larutan steril dengan
konsentrasi protein kurang lebih 16,5 g/dl.6

14. Rh Immune Globulin


RhIG dibuat dari plasma yang dikumpulkan dan mengandung IgG
anti D. terdapat dua sediaan yaitu IM dan IV. Sediaan IV dosis 120 ug
dan 300 ug telah disetujui oleh FDA untuk supresi imun terhadap
antigen D dan untuk pengobatan ITP.6
2.5.

Komplikasi Transfusi Darah


Risiko transfusi darah sebagai akibat langsung transfusi merupakan
bagian situasi klinis yang kompleks. Jika suatu operasi dinyatakan potensial
menyelamatkan nyawa hanya bila didukung dengan transfusi darah, maka
keuntungan dilakukannya transfusi jauh lebih tinggi daripada risikonya.
Sebaliknya, transfusi yang dilakukan pasca bedah pada pasien yang stabil
hanya memberikan sedikit keuntungan klinis atau sama sekali tidak

11

menguntungkan. Dalam hal ini, risiko akibat transfusi yang didapat mungkin
tidak sesuai dengan keuntungannya. Risiko transfusi darah ini dapat
dibedakan atas reaksi cepat, reaksi lambat, penularan penyakit infeksi dan
risiko transfusi masif.10
2.5.1. Reaksi Akut
Reaksi akut adalah reaksi yang terjadi selama transfusi atau dalam 24
jam setelah transfusi. Reaksi akut dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu
ringan, sedang-berat dan reaksi yang membahayakan nyawa. Reaksi ringan
ditandai dengan timbulnya pruritus, urtikaria dan rash. Reaksi ringan ini
disebabkan oleh hipersensitivitas ringan. Reaksi sedang-berat ditandai
dengan adanya gejala gelisah, lemah, pruritus, palpitasi, dispnea ringan
dan nyeri kepala. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan adanya warna
kemerahan di kulit, urtikaria, demam, takikardia, kaku otot. Reaksi
sedang-berat biasanya disebabkan oleh hipersensitivitas sedang-berat,
demam akibat reaksi transfusi non-hemolitik (antibodi terhadap leukosit,
protein, trombosit), kontaminasi pirogen dan/atau bakteri. 3 Pada reaksi
yang membahayakan nyawa ditemukan gejala gelisah, nyeri dada, nyeri di
sekitar tempat masuknya infus, napas pendek, nyeri punggung, nyeri
kepala, dan dispnea. Terdapat pula tanda-tanda kaku otot, demam, lemah,
hipotensi (turun 20% tekanan darah sistolik), takikardia (naik 20%),
hemoglobinuria dan perdarahan yang tidak jelas. Reaksi ini disebabkan
oleh hemolisis intravaskular akut, kontaminasi bakteri, syok septik,
kelebihan cairan, anafilaksis dan gagal paru akut akibat transfusi.3
a. Hemolisis intravaskular akut
Reaksi hemolisis intravaskular akut adalah reaksi yang disebabkan
inkompatibilitas sel darah merah. Antibodi dalam plasma pasien akan
melisiskan sel darah merah yang inkompatibel. Meskipun volume
darah inkompatibel hanya sedikit (10-50 ml) namun sudah dapat
menyebabkan reaksi berat. Semakin banyak volume darah yang
inkompatibel maka akan semakin meningkatkan risiko.3,11
Penyebab terbanyak adalah inkompatibilitas ABO. Hal ini biasanya
terjadi akibat kesalahan dalam permintaan darah, pengambilan contoh

12

darah dari pasien ke tabung yang belum diberikan label, kesalahan


pemberian label pada tabung dan ketidaktelitian memeriksa identitas
pasien sebelum transfusi. Selain itu penyebab lainnya adalah adanya
antibodi dalam plasma pasien melawan antigen golongan darah lain
(selain golongan darah ABO) dari darah yang ditransfusikan, seperti
sistem Idd, Kell atau Duffy.3,11,12,13 Jika pasien sadar, gejala dan tanda
biasanya timbul dalam beberapa menit awal transfusi, kadang-kadang
timbul jika telah diberikan kurang dari 10 ml. Jika pasien tidak sadar
atau dalam anestesia, hipotensi atau perdarahan yang tidak terkontrol
mungkin merupakan satu-satunya tanda inkompatibilitas transfusi.
Pengawasan pasien dilakukan sejak awal transfusi dari setiap unit
darah.3
b. Kelebihan cairan
Kelebihan cairan menyebabkan gagal jantung dan edema paru. Hal
ini dapat terjadi bila terlalu banyak cairan yang ditransfusikan,
transfusi terlalu cepat, atau penurunan fungsi ginjal. Kelebihan cairan
terutama terjadi pada pasien dengan anemia kronik dan memiliki
penyakit dasar kardiovaskular.3,11

c. Reaksi anafilaksis
Risiko meningkat sesuai dengan kecepatan transfusi. Sitokin dalam
plasma merupakan salah satu penyebab bronkokonstriksi dan
vasokonstriksi pada resipien tertentu. Selain itu, defisiensi IgA dapat
menyebabkan reaksi anafilaksis sangat berat. Hal itu dapat disebabkan
produk darah yang banyak mengandung IgA. Reaksi ini terjadi dalam
beberapa menit awal transfusi dan ditandai dengan syok (kolaps
kardiovaskular), distress pernapasan dan tanpa demam. Anafilaksis
dapat berakibat fatal bila tidak ditangani dengan cepat dan
agresif.3,11,12,13

13

d. Cedera paru akut akibat transfusi (Transfusion-associated acute lung


injury = TRALI)
Cedera paru akut disebabkan oleh plasma donor yang mengandung
antibodi yang melawan leukosit pasien. Kegagalan fungsi paru
biasanya timbul dalam 1-4 jam sejak awal transfusi, dengan gambaran
foto toraks kesuraman yang difus. Tidak ada terapi spesifik, namun
diperlukan bantuan pernapasan di ruang rawat intensif.3,11
2.5.2. Reaksi Lambat
a. Reaksi hemolitik lambat
Reaksi hemolitik lambat timbul 5-10 hari setelah transfusi dengan
gejala dan tanda demam, anemia, ikterik dan hemoglobinuria. Reaksi
hemolitik lambat yang berat dan mengancam nyawa disertai syok,
gagal ginjal dan DIC jarang terjadi. Pencegahan dilakukan dengan
pemeriksaan laboratorium antibodi sel darah merah dalam plasma
pasien dan pemilihan sel darah kompatibel dengan antibodi
tersebut.3,11,12,13
b. Purpura pasca transfusi
Purpura pasca transfusi merupakan komplikasi yang jarang tetapi
potensial membahayakan pada transfusi sel darah merah atau
trombosit. Hal ini disebabkan adanya antibodi langsung yang
melawan antigen spesifik trombosit pada resipien. Lebih banyak
terjadi pada wanita. Gejala dan tanda yang timbul adalah perdarahan
dan adanya trombositopenia berat akut 5-10 hari setelah transfusi yang
biasanya terjadi bila hitung trombosit <100.000/uL. Penatalaksanaan
penting terutama bila hitung trombosit 50.000/uL dan perdarahan
yang tidak terlihat dengan hitung trombosit 20.000/uL. Pencegahan
dilakukan dengan memberikan trombosit yang kompatibel dengan
antibodi pasien.3,11
c. Penyakit graft-versus-host
Komplikasi ini jarang terjadi namun potensial membahayakan.
Biasanya terjadi pada pasien imunodefisiensi, terutama pasien dengan
transplantasi sumsum tulang; dan pasien imunokompeten yang diberi

14

transfusi dari individu yang memiliki tipe jaringan kompatibel (HLA:


human leucocyte antigen), biasanya yang memiliki hubungan darah.
Gejala dan tanda, seperti demam, rash kulit dan deskuamasi, diare,
hepatitis, pansitopenia, biasanya timbul 10-12 hari setelah transfusi.
Tidak ada terapi spesifik, terapi hanya bersifat suportif.3,11
d. Kelebihan besi
Pasien yang bergantung pada transfusi berulang dalam jangka
waktu panjang akan mengalami akumulasi besi dalam tubuhnya
(hemosiderosis). Biasanya ditandai dengan gagal organ (jantung dan
hati). Tidak ada mekanisme fisiologis untuk menghilangkan kelebihan
besi. Obat pengikat besi seperti desferioksamin, diberikan untuk
meminimalkan akumulasi besi dan mempertahankan kadar serum
feritin <2.000 mg/l.3,11
e. Supresi imun
Transfusi darah dapat mengubah sistem imun resipien dalam
beberapa cara, dan hal ini menjadi perhatian karena adanya pendapat
yang menyatakan bahwa angka rekurensi tumor dapat meningkat.
Selain itu juga terdapat pendapat yang menyatakan bahwa transfusi
darah meningkatkan risiko infeksi pasca bedah karena menurunnya
respons imun: sampai saat ini, penelitian klinis gagal membuktikan
hal ini.3
Busch dkk14 (1993) melakukan randomized trial terhadap 475
pasien kanker kolorektal. Penelitian membandingkan prognosis antara
pasien kanker kolorektal yang dilakukan transfusi autolog dengan
transfusi allogenik. Didapatkan hasil bahwa risiko rekurensi
meningkat secara bermakna pada pasien yang dilakukan transfusi
darah, baik allogenik maupun autolog, bila dibandingkan dengan yang
tidak dilakukan transfusi; risiko relatif rekurensi adalah 2,1 dan 1,8;
angka tersebut tidak berbeda bermakna satu dengan yang lain.
Jensen dkk15 melakukan penelitian randomized prospektif terhadap
197 pasien yang akan menjalani operasi elektif kolorektal. Fungsi sel
natural killer diteliti sebelum operasi, tiga, tujuh dan 30 hari pasca

15

operasi pada 60 pasien. Didapatkan hasil bahwa fungsi sel natural


killer mengalami ketidakseimbangan secara bermakna (p<0,001)
sampai 30 hari pasca operasi pada pasien yang dilakukan transfusi
darah lengkap. Data di atas merupakan satu kasus kuat yang
menentang penggunaan transfusi darah lengkap pada pasien yang akan
menjalani operasi kolorektal elektif.
Penelitian tentang hubungan antara transfusi darah perioperatif dan
rekurensi tumor padat telah menimbulkan kontroversi. Analisis pada
pasien yang dilakukan transfusi menyatakan bahwa rekurensi
berhubungan dengan transfusi darah lengkap namun tidak demikian
halnya dengan transfusi konsentrat sel darah merah. Analisis
selanjutnya dilakukan pada pasien dengan kanker kolon, rektum,
serviks dan prostat untuk menentukan apakah terdapat perbedaan
antara pasien yang menerima darah lengkap, sel darah merah, atau
tidak dilakukan transfusi. Pasien yang menerima 1 unit darah
lengkap didapatkan keluaran yang jauh lebih buruk dibandingkan
dengan pasien yang tidak dilakukan transfusi (p<0,001). Sebaliknya,
pasien yang hanya menerima sel darah merah mengalami rekurensi
progresif dan angka kematiannya meningkat sesuai dengan jumlah
transfusi; hal ini menggambarkan adanya hubungan dengan jumlah
transfusi. Berdasarkan analisis multivarian, transfusi darah 3 unit
darah lengkap berhubungan bermakna dengan rekurensi tumor yang
lebih cepat (p=0,003) dan kematian akibat kanker (p=0,02). Transfusi
3 unit konsentrat sel darah merah tidak meningkatkan risiko
rekurensi dibandingkan dengan pasien yang tidak menerima transfusi
(p=0,05). Perbedaan nyata terlihat antara pasien yang menerima
beberapa unit sel darah merah dan dibandingkan dengan pasien yang
menerima satu unit darah lengkap, hal tersebut sesuai dengan hipotesis
bahwa transfusi plasma darah simpan menyebabkan rekurensi tumor
lebih awal pada beberapa kasus.10
Agarwal dkk16 (1993) menganalisis data 5.366 pasien yang dirawat
di rumah sakit selama >2 hari pada 8 rumah sakit selama 2 tahun

16

untuk menentukan apakah transfusi darah mempengaruhi terjadinya


infeksi

setelah

trauma.

Dinyatakan

bahwa

insidens

infeksi

berhubungan bermakna dengan mekanisme cedera. Hasil analisis


regresi logistik bertahap menunjukkan bahwa jumlah darah yang
diterima dan skor tingkat keparahan cedera merupakan dua variabel
prediktor

infeksi

yang

bermakna.

Meskipun

pasien

sudah

dikelompokkan berdasarkan derajat keparahan, ternyata angka infeksi


meningkat secara bermakna sesuai dengan jumlah darah yang
ditransfusikan. Transfusi darah pada pasien cedera merupakan variabel
prediktor bebas penting akan terjadinya infeksi. Hal ini tidak
dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin atau mekanisme dasar yang
mempengaruhi tingkat keparahan cedera.
Moore dkk17 dalam penelitian kohort prospektif terhadap 513
pasien trauma yang dirawat di ICU dengan kriteria usia >16 tahun,
skor keparahan trauma >15 dan bertahan hidup >48 jam
menyimpulkan bahwa transfusi darah merupakan faktor risiko untuk
terjadinya gagal organ multipel (multiple organ failure = MOF) yang
tidak bergantung pada indeks syok lainnya.
Zallen dkk18 melakukan studi kohort prospektif terhadap 63 pasien
yang berisiko menderita MOF pasca trauma untuk mengetahui apakah
umur PRC yang ditransfusikan merupakan faktor risiko timbulnya
MOF pasca trauma. Dalam penelitian ini terdapat 23 pasien yang
diidentifikasi menderita MOF dan menerima 6-20 unit PRC dalam 12
jam pertama setelah trauma. Umur PRC yang ditransfusikan pada 6
jam pertama dicatat dan dilakukan regresi logistik multipel terhadap
pasien yang menderita MOF maupun tidak. Disimpulkan bahwa umur
PRC yang ditransfusikan pada 6 jam pertama merupakan faktor risiko
tidak bergantung (independent) atas terjadinya MOF.
2.5.3. Penularan Infeksi
Risiko penularan penyakit infeksi melalui transfusi darah bergantung
pada berbagai hal, antara lain prevalensi penyakit di masyarakat,
keefektifan skrining yang digunakan, status imun resipien dan jumlah

17

donor tiap unit darah.11 Saat ini dipergunakan model matematis untuk
menghitung risiko transfusi darah, antara lain untuk penularan HIV, virus
hepatitis C, hepatitis B dan virus human T-cell lymphotropic (HTLV).
Model ini berdasarkan fakta bahwa penularan penyakit terutama timbul
pada saat window period (periode segera setelah infeksi dimana darah
donor sudah infeksius tetapi hasil skrining masih negatif).19
a. Transmisi HIV
Penularan HIV melalui transfusi darah pertama kali diketahui pada
akhir tahun 1982 dan awal 1983. Pada tahun 1983 Public Health
Service (Amerika Serikat) merekomendasikan orang yang berisiko
tinggi terinfeksi HIV untuk tidak menyumbangkan darah. Bank darah
juga mulai menanyakan kepada donor mengenai berbagai perilaku
berisiko tinggi, bahkan sebelum skrining antibodi HIV dilaksanakan,
hal tersebut ternyata telah mampu mengurangi jumlah infeksi HIV
yang ditularkan melalui transfusi. Berdasarkan laporan dari Centers
for Disease Control and Prevention (CDC) selama 5 tahun
pengamatan, hanya mendapatkan 5 kasus HIV/tahun yang menular
melalui transfusi setelah dilakukannya skrining antibodi HIV pada
pertengahan maret 1985 dibandingkan dengan 714 kasus pada 1984.19
Pengenalan pemeriksaan antibodi HIV tipe 2 ternyata hanya sedikit
berpengaruh di Amerika Serikat, yaitu didapatkan 3 positif dari 74 juta
donor yang diperiksa. Perhatian terhadap kemungkinan serotipe HIV
tipe 1 kelompok O terlewatkan dengan skrining yang ada sekarang ini,
timbul setelah terdapat 1 kasus di Amerika Serikat, sedangkan
sebagian besar kasus seperti ini terjadi di Afrika Barat dan Perancis.
Di Amerika Serikat, dari 1.072 sampel serum yang disimpan tidak ada
yang positif menderita HIV tipe 1 kelompok O.24 Untuk mengurangi
risiko

penularan

HIV

melalui

transfusi,

bank

darah

mulai

menggunakan tes antigen p24 pada tahun 1995. Setelah kurang lebih 1
tahun skrining, dari 6 juta donor hanya 2 yang positif (keduanya
positif terhadap antigen p24 tetapi negatif terhadap antibodi HIV).19
b. Penularan virus hepatitis B dan virus hepatitis C

18

Penggunaan skrining antigen permukaan hepatitis B pada tahun


1975 menyebabkan penurunan infeksi hepatitis B yang ditularkan
melalui transfusi, sehingga saat ini hanya terdapat 10% yang
menderita hepatitis pasca transfusi. Makin meluasnya vaksinasi
hepatitis B diharapkan mampu lebih menurunkan angka penularan
virus hepatitis B. Meskipun penyakit akut timbul pada 35% orang
yang terinfeksi, tetapi hanya 1-10% yang menjadi kronik.19
Transmisi infeksi virus hepatitis non-A non-B sangat berkurang
setelah penemuan virus hepatitis C dan dilakukannya skrining antiHCV. Risiko penularan hepatitis C melalui transfusi darah adalah
1:103.000 transfusi. Infeksi virus hepatitis C penting karena adanya
fakta bahwa 85% yang terinfeksi akan menjadi kronik, 20% menjadi
sirosis dan 1-5% menjadi karsinoma hepatoselular. Mortalitas akibat
sirosis dan karsinoma hepatoselular adalah 14,5% dalam kurun waktu
21-28 tahun.22 Prevalensi hepatitis B di Indonesia adalah 3-17% dan
hepatitis C 3,4% sehingga perlu dilakukan skrining hepatitis B dan C
yang cukup adekuat.21
c. Transmisi virus lain
Di Amerika Serikat prevalensi hepatitis G di antara darah donor
adalah 1-2%.17 Banyak orang yang secara serologik positif virus
hepatitis G juga terinfeksi hepatitis C. Meskipun infeksi hepatitis G
dapat menimbulkan karier kronik akan tetapi tidak ada bukti yang
menyatakan bahwa infeksi hepatitis G dapat menyebabkan hepatitis
kronis maupun

akut.20 Infeksi yang

disebabkan kontaminasi

komponen darah oleh organisme lain seperti hepatitis A dan


parvovirus B19, untuk darah donor yang tidak dilakukan skrining
serologis, telah dicatat tetapi perkiraan angka infeksi melalui transfusi
tidak ada.18
Infeksi karena parvovirus B19 tidak menimbulkan gejala klinis
yang bermakna kecuali pada wanita hamil, pasien anemia hemolitik
dan imunokompromais. Di Amerika Serikat, penularan virus hepatitis
A melalui transfusi darah hanya terjadi pada 1: 1 juta kasus.19

19

Di

Kanada

35-50%

darah

donor

seropositif

terhadap

sitomegalovirus (CMV).23 Di Irlandia didapatkan angka 30%, tetapi


hanya sebagian kecil dari yang seropositif menularkan virus melalui
transfusi. Risiko penularan CMV melalui transfusi terutama terjadi
pada bayi dengan berat badan sangat rendah (<1200 g), pasien
imunokompromais terutama yang menjalani transplantasi sumsum
tulang dan wanita hamil pada trimester awal yang dapat menularkan
infeksi terhadap janin. Penularan CMV terjadi melalui leukosit yang
terinfeksi; oleh sebab itu teknik untuk mengurangi jumlah leukosit
dalam produk darah yang akan ditransfusikan akan mengurangi risiko
infeksi CMV. Komponen darah segar mempunyai risiko infeksi CMV
yang lebih tinggi daripada produk darah yang disimpan beberapa
hari.20
HTLV-I dapat menyebabkan penyakit neurologis dan leukemia sel
T pada dewasa. Biasanya penyakit timbul beberapa tahun setelah
infeksi dan hanya sedikit yang pada akhirnya menderita penyakit
tersebut. HTLV-I dapat ditularkan melalui transfusi komponen sel
darah. Prevalensi tertinggi ada di Jepang dan Kepulauan Karibia. 10
Sedangkan hubungan antara HTLV-II dengan timbulnya penyakit
masih belum jelas, tetapi infeksi dapat ditemukan pada pengguna
narkotika intravena. Dikatakan bahwa infeksi akan timbul pada 2060% resipien darah yang terinfeksi HTLV-I dan II. Transmisi
dipengaruhi oleh lamanya penyimpanan darah dan jumlah sel darah
merah dalam unit tersebut. Darah yang telah disimpan selama 14 hari
dan komponen darah nonselular seperti kriopresipitat dan plasma beku
segar ternyata tidak infeksius.19
d. Kontaminasi bakteri
Kontaminasi bakteri mempengaruhi 0,4% konsentrat sel darah
merah dan 1-2% konsentrat trombosit.3 Kontaminasi bakteri pada
darah donor dapat timbul sebagai hasil paparan terhadap bakteri kulit
pada saat pengambilan darah, kontaminasi alat dan manipulasi darah

20

oleh staf bank darah atau staf rumah sakit pada saat pelaksanaan
transfusi atau bakteremia pada donor saat pengambilan darah yang
tidak diketahui.20
Jumlah kontaminasi bakteri meningkat seiring dengan lamanya
penyimpanan sel darah merah atau plasma sebelum transfusi.
Penyimpanan pada suhu kamar meningkatkan pertumbuhan hampir
semua bakteri. Beberapa organisme, seperti Pseudomonas tumbuh
pada suhu 2-6C dan dapat bertahan hidup atau berproliferasi dalam
sel

darah merah

yang

disimpan,

sedangkan Yersinia dapat

berproliferasi bila disimpan pada suhu 4C. Stafilokok tumbuh dalam


kondisi yang lebih hangat dan berproliferasi dalam konsentrat
trombosit pada suhu 20-40C. Oleh karena itu risiko meningkat sesuai
dengan lamanya penyimpanan.3 Gejala klinis akibat kontaminasi
bakteri pada sel darah merah timbul pada 1: 1 juta unit transfusi.
Risiko kematian akibat sepsis bakteri timbul pada 1:9 juta unit
transfusi sel darah merah. Di Amerika Serikat selama tahun 19861991, kontaminasi bakteri pada komponen darah sebanyak 16%; 28%
di antaranya berhubungan dengan transfusi sel darah merah. Risiko
kontaminasi bakteri tidak berkurang dengan penggunaan transfusi
darah autolog.20
Penularan sifilis di Kanada telah berhasil dihilangkan dengan
penyeleksian donor yang cukup hati-hati dan penggunaan tes serologis
terhadap penanda sifilis.20
e. Kontaminasi parasit
Kontaminasi parasit dapat timbul hanya jika donor menderita
parasitemia pada saat pengumpulan darah. Kriteria seleksi donor
berdasarkan riwayat bepergian terakhir, tempat tinggal terdahulu, dan
daerah endemik, sangat mengurangi kemungkinan pengumpulan darah
dari orang yang mungkin menularkan malaria, penyakit Chagas atau
leismaniasis.20
f. Penyakit Creutzfeldt-Jacob

21

Pasien yang berisiko terinfeksi penyakit Creutzfeldt-Jacob seperti


pasien dengan riwayat graft durameter atau kornea, injeksi hormon
pertumbuhan atau gonadotropin yang berasal dari otak manusia atau
ada riwayat keluarga kandung garis keturunan pertama yang
menderita penyakit Creutzfeldt-Jacob secara permanen tidak boleh
menyumbangkan darah. Hal ini dilakukan meskipun penularan
penyakit

Creutzfeld-Jacobs

melalui

transfusi

belum

pernah

dilaporkan. Riwayat transfusi darah telah dilaporkan pada 16 dari 202


pasien dengan penyakit Creutzfeldt-Jacob, angka ini sama dengan
yang terdapat pada kelompok kontrol.20
2.5.4. Transfusi Darah Masif
Transfusi masif adalah penggantian sejumlah darah yang hilang atau
lebih banyak dari total volume darah pasien dalam waktu <24 jam
(dewasa: 70 ml/kg, anak/bayi: 80-90 ml/kg). Morbiditas dan mortalitas
cenderung meningkat pada beberapa pasien, bukan disebabkan oleh
banyaknya volume darah yang ditransfusikan, tetapi karena trauma awal,
kerusakan jaringan dan organ akibat perdarahan dan hipovolemia.
Seringkali penyebab dasar dan risiko akibat perdarahan mayor yang
menyebabkan komplikasi, dibandingkan dengan transfusi itu sendiri.
Namun, transfusi masif juga dapat meningkatkan risiko komplikasi.3
a. Asidosis
Asidosis lebih disebabkan terapi hipovolemia yang tidak adekuat.
Pada keadaan normal, tubuh dengan mudah mampu menetralisir
kelebihan asam dari transfusi. Pemakaian rutin bikarbonat atau obat
alkalinisasi lain tidak diperlukan.3
b. Hiperkalemia
Penyimpanan darah menyebabkan konsentrasi kalium ekstraselular
meningkat, dan akan semakin meningkat bila semakin lama disimpan.3
c. Keracunan sitrat dan hipokalsemia

22

Keracunan sitrat jarang terjadi, tetapi lebih sering terjadi pada


transfusi darah lengkap masif. Hipokalsemia terutama bila disertai
dengan hipotermia dan asidosis dapat menyebabkan penurunan curah
jantung (cardiac output), bradikardia dan disritmia lainnya. Proses
metabolisme sitrat menjadi bikarbonat biasanya berlangsung cepat,
oleh karena itu tidak perlu menetralisir kelebihan asam.3
d. Kekurangan fibrinogen dan faktor koagulasi
Plasma dapat kehilangan faktor koagulasi secara progresif selama
penyimpanan, terutama faktor V dan VIII, kecuali bila disimpan pada
suhu -25C atau lebih rendah. Pengenceran (dilusi) faktor koagulasi
dan trombosit terjadi pada transfusi masif.3
e. Kekurangan trombosit
Fungsi trombosit cepat menurun selama penyimpanan darah lengkap
dan trombosit tidak berfungsi lagi setelah disimpan 24 jam.3
f. DIC
DIC dapat terjadi selama transfusi masif, walaupun hal ini lebih
disebabkan alasan dasar dilakukannya transfusi (syok hipovolemik,
trauma, komplikasi obstetrik). Terapi ditujukan untuk penyebab
dasarnya.3

g. Hipotermia
Pemberian cepat transfusi masif yang langsung berasal dari pendingin
menyebabkan penurunan suhu tubuh yang bermakna. Bila terjadi
hipotermia, berikan perawatan selama berlangsungnya transfusi.3
h. Mikroagregat
Sel darah putih dan trombosit dapat beragregasi dalam darah lengkap
yang disimpan membentuk mikroagregat. Selama transfusi, terutama
transfusi masif, mikroagregat ini menyebabkan embolus paru dan
sindrom distress pernapasan. Penggunaan buffy coat-depleted packed
red cell akan menurunkan kejadian sindrom tersebut.3

23

2.6.

Tatalaksana Reaksi Transfusi


1. Reaksi transfusi hemolitik
a. Hentikan transfusi segera dan diganti infus NaCl 0,9%
b. Atasi shock dengan dopamine drip intravena 5-10 mg/kgBB per
menit sampai tekanan darah sistolik > 100 mmHg dan perfusi jarijari terasa hangat
c. Bila urine < 1 cc/kgBB/jam, maka segera berikan furosemide 1-2
mg/kgBB untuk mempertahankan urine > 100 cc/jam
d. Atasi demam dengan antipiretik
e. Periksa faal hemostasis untuk mengatasi kemungkinan DIC
2. Reaksi transfusi alergi
a. Transfusi dihentikan dan diganti dengan infus NaCl 0,9%
b. Antihistamin (IM atau IV)
Setelah gejala hilang transfusi dapat dilanjutkan, sebaiknya dengan
unit darah yang lain.
3. Reaksi anafilaksis
a. Tinggikan kedua tungkai untuk memperbaiki venous return
b. Hentikan transfusi dan diganti dengan infus NaCl 0,9%
c. Adrenalin 0,1-0,2 mg IV diulang tiap 5-15 menit sampai sirkulasi
membaik. Mungkin perlu dilanjutkan dopamine drip.
d. Berikan antihistamin (IM atau IV)
e. Steroid (hidrokortison 100 mg IV, deksametason 4-5 mg IV)
f. Aminofilin 5 mg/kgBB setelah tekanan darah membaik
g. Oksigen
4. Kelebihan cairan
a.

Hentikan transfusi

b.

Posisi penderita setengah duduk dan berikan oksigen

c.

Furosemid 1-2 mg/kgBB IV dan digitalisasi cepat

d.

Pertimbangkan phlebotomy, darah dikeluarkan 500 cc

e.

Pada edema paru berat perlu diberikan morfin IV dengan titrasi pelan
1 mg pelan-pelan, diulang tiap 10 menit sampai sesak mereda.
Sedikit overdosis morfin akan menyebabkan depresi nafas/apnea.5

24

BAB III
KESIMPULAN

Dari uraian tersebut di atas dapat diambil kesimpulan yaitu:


1. Transfusi Darah adalah proses pemindahan darah dari seseorang yang sehat
(donor) ke orang sakit (resipien) yang diberikan secara intravena melalui
pembuluh darah.
2. Tujuan transfusi darah antara lain memperbaiki kemampuan mengangkut
oksigen, mengembalikan volume cairan yang keluar, memperbaiki faal

25

pembekuan darah, memperbaiki kemampuan fagositosis dan menambah


sejumlah protein dalam darah.
3. Komplikasi transfusi darah secara klasifikasi berdasarkan reaksi akut, reaksi
lambat, penularan infeksi, transmisi massif.

DAFTAR PUSTAKA

1. Latief SA, Suryadi KA, Cachlan MR. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi
Edisi Kedua. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI.
2. Gary, R Strange, William R, Steven L, 2002, Pediatric Emergency Medicine,
2nd edition. Boston: Mc Graw Hill, halaman: 527-529.
3. WHO. The clinical use of blood: handbook. Geneva, 2002. Didapat dari
URL:http://www.who.int/bct/Main_areas_of_work/Resource_Centre/CUB/En
glish/Handbook.pdf.

26

4. Nhlbi.nih.gov. What is a blood transfusion. July 1st,2009. Available:


http://www.nhlbi.nih.gov/health/health-topics/topics/bt/.

Accessed

on:September 20th,2011.
5. Boediwarsono, Soebiandiri, Sugianto et al. 2007. Transfusi Darah dalam
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya. Surabaya: Airlangga University Press.
pp:187-92
6. Djoerban, Zubairi. 2009. Dasar-dasar transfuse darah, dalam Buku ajar Ilmu
Penyakit dalam FK UI. Ed IV. Jakarta; Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK
UI.
7. Hewitt PE, Wagstaff W. 1995. Donor darah dan Uji Donor darah. Dalam :
Contreras M,Ed. Petunjuk Penting Transfusi (ABC of Transfusion), edisi ke2; alih bahasa Oswari J. Jakarta : EGC;1-4
8. Contreras M, Mollison PI. Uji Sebelum Transfusi dan Kebijakan Pemesanan
darah. Dalam : Contreras M,Ed. Petunjuk Penting transfusi (ABC of
Transfusion) Edisi ke-2, alih bahasa Oswari J, Jakarta : EGC, 5-8.
9. Davies SC, brozovic M. Transfusi Sel darah Merah. Dalam Contreras M, Ed.
Petunjuk Penting transfusi (ABS of Transfusion) Edisi ke-2. Alih Bahasa
Oswari. Jakarta: EGC, 9-14
10. Blumberg N, Heal J, Chuang C, Murphy P, Agarwal M. Further evidence
supporting a cause and effect relationship between blood transfusion and
earlier cancer recurrence. Ann Surg 1988;207:410-5.
11. National Blood Users Group. A guideline for transfusion of red blood cells in
surgical patients. Irlandia, Januari 2001. Didapat dari
URL: http://www.doh.ie/pdfdocs/blood.pdf.
12. Panitia Medik Transfusi RSUP Dr. Soetomo. Pedoman pelaksanaan transfusi
darah dan komponen darah. Edisi 3. Surabaya: RSUP Dr. Soetomo-Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga; 2001. h. 18-31.
13. Scottish Intercollegiate Guidelines Network. Perioperative blood transfusion
for elective surgery: a national clinical guideline. Skotlandia, Oktober 2001.
Didapat dari URL: http://www.sign.ac.uk
14. Busch O, Hop W, van Papendrecht MH, Marquet RL, Jeekel J. Blood
transfusions and prognosis in colorectal cancer. N Engl J Med 1993;19:13726.

27

15. Jensen LS, Andersen AJ, Christiansen PM, Hokland P, Juhl CO, Madsen G
dkk. Postoperative infection and natural killer cell function following blood
transfusion in patients undergoing elective colorectal surgery. Br J Surg.
1992;79:513-6.
16. Agarwal N, Murphy JG, Cayten CG, Stahl WM. Blood transfusion increases
the risk of infection after trauma. Arch Surg. 1993 ;128:171-6; discussion
176-7.
17. Moore FA, Moore EE, Sauaia A. Blood transfusion. An independent risk
factor for postinjury multiple organ failure. Arch Surg 1997;132:620-4;
discussion 624-5.
18. Zallen G, Offner PJ, Moore EE, Blackwell J, Ciesla DJ, Gabriel J, dkk. Age
of transfused blood is an independent risk factor for postinjury multiple organ
failure. Am J Surg 1999;178:570-2.
19. Goodnough LT, Brecher ME, Kanter MH, AuBuchon JP. Transfusion
Medicine (first of two parts): blood transfusion. N Engl J Med 1999;340:43847.
20. Canadian Medical Association. Guidelines for red blood cell and plasma
transfusion for adults and children. Can Med Assoc J 1997;156:S1-24.
21. Panitia Medik Transfusi RSUP Dr. Soetomo. Pedoman pelaksanaan transfusi
darah dan komponen darah. Edisi 3. Surabaya: RSUP Dr. Soetomo-Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga; 2001. h. 18-31.

28

29

Anda mungkin juga menyukai