Anda di halaman 1dari 5

Pajak Penghasilan pasal 21

OBJEK PAJAK PPh PASAL 21


Menurut Keputusan Dirjen Pajak No Kep-545/PJ/2000 tanggal 29 Desember 2000, yang
dimaksud Objek Pajak Penghasilan pasal 21 adalah penghasilan yang dipotong oleh
pemotong pajak untuk dikenakan Pajak Penghasilan Pasal 21. Yang termasuk objek
pajak PPh Pasal 21 adalah :
1. Pegawai tetap, penerima pensiun bulanan, pegawai tidak tetap, pemagang dan calon
pegawai serta

distributor MLM/direct selling dan kegiatan sejenis, dikenakan tarif Pasal

17 Undang-undang PPh dikalikan dengan Penghasilan Kena Pajak (PKP). PKP dihitung
berdasarkan sebagai berikut:
- Pegawai Tetap; Penghasilan bruto dikurangi biaya jabatan (5% dari penghasilan bruto,
maksimum Rp 6.000.000,- setahun atau Rp 500.000,- (sebulan); dikurangi iuran
pensiun. Iuran jaminan hari tua, dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
- Penerima Pensiun Bulanan; Penghasilan bruto dikurangi biaya pensiun (5% dari
penghasilan bruto, maksimum Rp 2.400.000,- setahun atau Rp 200.000,- sebulan);
dikurangi PTKP.

SUBJEK PAJAK PPh PASAL 21


Penerimaan penghasilan atau subjek pajak yang dipotong Pajak Penghasilan
pasal 21 menurut Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-545/PJ/2000 adalah:

Pejabat Negara yang meliputi: (1) Presiden dan Wakil Presiden, (2)
Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota DPR/MPR, DPRD Propinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota, (3) Ketua dan Wakil Ketua Badan Pemeriksaan Keuangan,
(4) Ketua dan Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Mahkamah Agung, (5)
Menteri, Menteri Negara, dan Menteri Muda, (6) Jaksa Agung, (7) Gubernur
dan Wakil Gubernur Kepala Daerah Propinsi, (8) Bupati dan Wakil Bupati
Daerah Kabupaten, dan (9) Walikota dan Wakil Walikota;

Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah PNS-Pusat, PNS-Daerah, dan PNS


lainnya yang ditetapkan dengan dengan Peraturan Pemerintah sebagaimana
diatur dalam undang-undang Nomor 8 Tahun 1974;

Pegawai adalah setiap orang pribadi, yang melakukan pekerjaan


berdasarkan suatu perjanjian atau kesepakatan kerja baik tertulis maupun
tidak tertulis, termasuk yang

Pajak Penghasilan pasal

22

PPh pasal 22 membahas tentang penghasilan yang berasal dari penjualan pada
instansi pemerintah, impor, dan industri tertentu (industri rokok, industri kertas,
industri otomotif, industri semen, industri baja, Pertamina Bulog untuk tepung terigu

dan gula pasir).


Tarif PPh pasal 22 atas penjualan instansi pemerintah :
PPh pasal 22 bendaharawan = 1,5% x nilai penjualan
Tarif PPh pasal 22 atas impor :
1. Bila importir memiliki API (Angka Pengenal Impor)
PPh pasal 22 impor = 2,5% x nilai impor
2. Bila importir tidak memiliki API
PPh pasal 22 impor = 7,5% x nilai impor

Pengecualian Pemungutan PPh Pasal 22


1. Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan

peraturan

perundang-undangan tidak terutang PPh, dinyatakan dengan Surat Keterangan Bebas (SKB).
2. Impor barang yang dibebaskan dari Bea Masuk dan atau Pajak Pertambahan Nilai;
dilaksanakan oleh DJBC.
3. Impor sementara jika waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk diekspor kembali,
dan dilaksanakan oleh Dirjen BC.
4. Pembayaran atas pembelian barang oleh pemerintah yang jumlahnya paling banyak Rp.
1.000.000,- (satu juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah.
5. Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air

Pajak Penghasilan pasal 23


Pengertian
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 adalah pajak yang dipotong atas penghasilan yang
berasal dari modal, penyerahan jasa, atau hadiah dan penghargaan, selain yang telah
dipotong PPh Pasal 21.

Pemotong dan Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 23


1. Pemotong PPh Pasal 23:
a. badan pemerintah;
b.Wajib Pajak badan dalam negeri;
c. penyelenggaraan kegiatan;
d. bentuk usaha tetap (BUT);
e. perwakilan perusahaan luar negeri lainnya;
f. Wajib Pajak Orang pribadi dalam negeri tertentu, yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal
Pajak.

2. Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23:


a. WP dalam negeri;
b. BUT
Tarif dan Objek PPh Pasal 23 dipotong Pajak Penghasilan sebesar 2% (dua persen)
dari jumlah bruto dan tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai

Saat Terutang, Penyetoran, dan SPT Masa PPh Pasal 23


a. PPh Pasal 23 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau akhir bulan
terutangnya penghasilan yang bersangkutan, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih
dahulu.
b. PPh Pasal 23 disetor oleh Pemotong Pajak paling lambat tanggal sepuluh bulan
takwim berikutnya setelah bulan saat terutang pajak.

Penghasilan Yang Dipotong PPh Pasal 23


Perubahan pada penghasilan sebagai objek pemotongan PPh Pasal 23 adalah
dihapuskannya Pasal 23 ayat (1) huruf b yaitu pengenaan PPh Pasal 23 yang bersifat
final sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas bunga simpanan yang
dibayarkan oleh koperasi. Jenis penghasilan lainnya tetap yaitu, dividen, bunga royalti,
hadiah dan penghargaan selain yang sudah dipotong PPh Pasal 21, sewa, imbalan jasa
teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi dan jasa konsultan dan jasa lain selain yang
telah dipotong PPh Pasal 21. Penentuan jasa lain dalam UU PPh yang baru diatur
dalam Peraturan Menteri Keuangan, sementara dalam ketentuan lama, penentuannya
dilakukan oleh Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
Jenis-jenis penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pemotongan PPh Pasal 23,
sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (4) adalah sebagai berikut :
1.penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank (tidak berubah)
2.sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha
denganhak opsi (tidak berubah)

3.dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f dan dividen
yangditerima oleh orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2c)
(ketentuan baru dalam frasa berwarna biru).

Bea meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen yang bersifat perdata dan dokumen untuk digunakan di
pengadilan.[1] Nilai bea meterai yang berlaku saat ini Rp. 3.000,00 dan Rp. 6.000,00 yang disesuaikan dengan nilai dokumen
dan penggunaan dokumen. Karakteristik[sunting | sunting sumber]

Bea meterai tidak diperlukan nomor identitas baik untuk wajib pajak maupun obyek pajak

Pembayaran bea meterai terjadi terlebih dahulu daripada saat terutang

Waktu pembayaran dapat dilakukan secara isidentil dan tidak terikat waktu

Jenis bea meterai[sunting | sunting sumber]


1.

Benda meterai adalah meterai tempel dan kertas meterai yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia

2.

Pemeteraian kemudian adalah pelunasan bea meterai yang dilakukan pejabat pos atas dokumen yang bea meterai belum
dilunasi.[2]

Obyek bea meterai[sunting | sunting sumber]


Bea meterai dikenakan terhadap dokumen yang berbentuk:
1.

Surat perjanjian dan surat-surat lain yang dibuat dengan tujuan sebagai pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau
keadaan yang bersifat perdata

2.

Akta-akta notaris beserta salinan-salinannya

3.

Akta-akta pejabat pembuat akta tanah beserta rangkap-rangkapnya

4.

Surat berharga

5.

Efek

6.

Dokumen yang digunakan untuk pembuktian di pengadilan.[3]

Tidak dikenakan bea meterai[sunting | sunting sumber]


Secara umum dokumen yang tidak dikenakan bea meterai adalah dokumen yang berhubungan dengan transaksi internal
perusahaan, berkaitan dengan pembayaran pajak dan dokumen Negara. Dokumen yang tidak termasuk objek Bea Meterai adalah:

Dokumen yang berupa:


1.

surat penyimpanan barang;

2.

konosemen;

3.

surat angkutan penumpang dan barang;

4.

keterangan pemindahan yang dituliskan diatas dokumen surat penyimpanan barang, konosemen, dan surat angkutan
penumpang dan barang;

5.

bukti untuk pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim;

6.

surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim;

7.

surat-surat lainnya yang dapat disamakan dengan surat-surat di atas.

Segala bentuk ijazah


Tanda terima gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan dan pembayaran lainnya yang ada kaitannya dengan hubungan
kerja serta surat-surat yang diserahkan untuk mendapatkan pembayaran itu.

Tanda bukti penerimaan uang negara dan kas negara, kas pemerintah daerah dan bank.
Kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang dapat disamakan dengan itu ke kas negara, kas
pemerintah daerah dan bank.

Tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi.

PPN dan PPN BM


Pengertian Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam
peredarannya dari produsen ke konsumen. Dalam bahasa Inggris, PPN disebut Value Added Tax (VAT) atau Goods and
Services Tax (GST). PPN termasuk jenis pajak tidak langsung, maksudnya pajak tersebut disetor oleh pihak lain
(pedagang) yang bukan penanggung pajak atau dengan kata lain, penanggung pajak (konsumen akhir) tidak menyetorkan
langsung pajak yang ia tanggung.
Mekanisme pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN ada pada pihak pedagang atau produsen sehingga muncul
istilah Pengusaha Kena Pajak yang disingkat PKP. Dalam perhitungan PPN yang harus disetor oleh PKP, dikenal istilah
pajak keluaran dan pajak masukan. Pajak keluaran adalah PPN yang dipungut ketika PKP menjual produknya, sedangkan

Anda mungkin juga menyukai