Anda di halaman 1dari 41

STATUS KEDOKTERAN INDUSTRI

RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH KALITIDU


UNIT GAWAT DARURAT

Disusun oleh:
Kriswatin Marifah
201310401011007
Danys Aulia Fahcrulita 201310401011026

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2015
STATUS KEDOKTERAN INDUSTRI
I. STATUS UMUM TEMPAT KERJA
A. IDENTITAS:
1.
2.
3.
4.

Nama Perusahaan
Alamat
Jenis usaha
Jumlah tenaga kerja

: Rumah Sakit Muhammadiyah Kalitidu


: Jl. Raya Kalitidu
: Unit Gawat Darurat RSM Kalitidu
: 22 orang (7 Dokter dan 15 Perawat)

B. ANALISIS KOMPONEN KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA:


1. Proses Kerja:
No

Unit Kerja

Jenis

Bahan
Bahan Baku

1.

UGD

Alat Kerja

Pemeriksaan
Pemasangan
1. Infus Set
1. Standart Infus
2. Cairan Infus 2. Tourniquet
Infus
3. Jarum/ wing 3. Gunting
4. Bengkok
needle/

Cara Kerja
1. Membaca Basmalah
2. Menusuk jarum infuse

Berbahaya
- Jarum/ wings
/

IV

needle/ abocath
Catheter pada vena yang telah di - Gunting
tentukan. Bila IV Cateter sudah

abocath
4. Plester
5. Sarung tangan

masuk ke vena jarum di tarik


kemudian masukkan IV Cateter

bersih
6. Kapas
Alkohol
7. Bidai Infus/
alas infus
8. Kassa steril

perlahan-lahan.
3. Sambungkan IV Cateter dengan
selang infus
4. Melakukan
menutup

fiksasi

bagian

yang

dengan
ditusuk

dengan plester steril dan kassa


5. Menghitung jumlah tetesan sesuai
dengan kebutuhan
6. Memperhatikan reaksi pasien
7. Catat waktu pemasangan, jenis

Hecting

1. Sarung tangan 1.
2.
steril
2. Benang jahit
3. Kassa steril
3.
4. Cairan
4.

Duk lubang
Set alat bedah
minor
Jarum jahit
Korentang steril

Normal saline
dan tempatnya
5. Cairan
5. Perlak
dan
antiseptik
pengalasnya
6. Obat anastesi 6. Gunting plester
7. Plester
7. Kom steril
8. Larutan
8. Tempat sampah
H2O2/perhidr
ol
9. Masker

medis
9. Disposible
syringe
10. Celemek
11. Trolly

cairan dan jumlah tetesan


8. Pasien dirapikan
9. Alat-alat dibereskan
10. Cuci tangan
1. Membaca Basmalah
1. Jarum jahit
2. Cuci tangan dan keringkan, 2. Set
alat
kemudian pakai sarung tangan
steril
3. Menyiapkan alat
4. Bersihkan luka

bedah minor
3. Gunting
plester

menggunakan

cairan antiseptik
5. Ganti sarung tangan

dengan

sarung tangan steril lainnya


6. Jaringan disekitar luka di anastesi
7. Bila perlu bersihkan luka dengan
cairan normal saline (NaCl 0,9%)
8. Bila luka kotor dan dalam gunakan
larutan H2O2/perhidrol 10%
9. Pasang duk lubang
10. Gunakan jarum untuk menjahit
kulit, masukkan benang ke lubang
jarum, pada penggunaan jarum
melengkung (curved needle) dari

arah dalam keluar.


11. Pegang
jarum
menggunakan

klem,

dengan
kemudian

mulai menjahit luka


12. Jika luka dalam sampai jaringan
otot, maka jahit lapis demi lapis
(jenis benang disesuaikan dengan
jaringan yang robek, ex catgut,
chromic, side, dll)
13. Ikat benang dengan membentuk
simpul
14. Potong benang, sisakan sepanjang
1mm

(untuk

jahitan

dalam),

0,65cm (jahitan luar)


15. Lanjutkan menjahit luka sampai
luka tertutup
16. Oleskan normal salin/ desinfectan

Triage

Label

1. Label warna

pada jahitan
17. Tutup dengan kassa steril
18. Pasang plester/hipafix
Pelaksana tugas

hijau
2. Label warna
kuning
3. Label warna
merah
4. Label warna
biru

Yang bertugas Triage:


1. Dokter jaga UGD
2. Perawat
Tugas dan tanggung jawab
1. Membaca Basmalah
2. Doketr yang bertugas memilih
penderita yang datang di UGD
dengan melakukan anamnesa dan
pemeriksaan lain sehingga dapat
memutuskan tingkat kegawatan
penderita
3. Memberi

label

sesuai

tingkat

kegawatan
- Label warna Hijau: penderita
yang tidak gawat dan tidak
-

darurat
Label warna kuning: penderita

Pemakaian obat

Obat Gawat

Gawat Darurat

Darurat

darurat tidak gawat


Label warna merah: penderita

gawat darurat
Label warna biru: penderita

gawat mengancam jiwa


1. Obat gawat darurat harus selalu
lengkap
2. Setiap pemakaian obat harus selalu di
catat dalam buku pemakaian:
- Jenis obat
- Nama obat
- Dosis
- Nama dokter
- Perawat yang mengambil
- Dosis
3. Obat yang sudah diambil harus segera
diganti agar stok obat selalu dalam
keadaan siap
4. Serah terima obat setiap pertukaran
dinas pagi, siang, dan malam
5. Setiap penggunaan obat harus pedoman
pada 4T1W:
- Tepat indikasi
- Tepat penderita

Tepat obat
Tepat dosis
Waspada terhadap efek
samping

Perhatian:
-

Setiap kali akan menggunakan teliti


kembali tanggal kadaluarsa dari obatobatan tersebut diatas, perubahan

bentuk dan perhatikan warna obat


Setiap pemakaian yang berkaitan
dengan oat narkotika diharuskan untuk
mencatat nama penderita, nomor
register, dan alamat penderita serta
nama dokter yang memberi perintah

dan perawat yang memberikan injeksi


Obat-obat sisa harus disimpan dalam
spuit dan diberi etiket nama obat dan
jumlah sisa obat serta disimpan di

Resusitasi

Oksigen

1. Urobag
2. Nasopharyngeal

tempat yang baik dan benar


Pada dasarnya tindakan yang dilakukan
adalah stabilisasi fungsi vital secepat

tube
3. Oropharyngeal

mungkin

tube
4. Laringsocope

agar

dapat

dilakukan

tindakan diagnostik dan terapi definitif

sesuai keperluan.
set anak
Meliputi tindakan:
5. Laringoskop set
- Stabilisasi nafas
dewasa
Pemukaan jalan nafas bila ada
6. Nasotrakeal
sumbatan baik sebagian maupun total
tube
- Perbaikan
ventilasi
stabilisasi
7. Orotracheal
sirkulasi
tube
- Pemasangan IV line
8. Suction-manual
- Terapi cairan sesuai kebutuhan
- Pemberian
obat-obatan
sesuai
otomatik
9. Trakeostomi set
keperluan
10. Bag.valve mask - Mengatasi atau memperkecil resiko
(dewasa/anak)
11. Kanal oksigen
12. Oksigen mask
dewasa
13. Chest tube

akibat gangguan kesadaran


Mencegah obstruksi nafas

atau

hypoventilasi

akan

yang

mempertinggi tekanan intrakranial

14. Cricothyroidekt
omi

Mengatasi shock yang akan makin

memperjelek perfusi otak


Tindakan lainnya yang dianggap

tracheostomi set
15. Ventilator
trsnport
16. Vital

perlu untuk mempertahankan perfusi


otak

sign

monitor
17. Infusion pump+
syringe pump
18. ECG+defibrilat

Syok

or
19. Vena section
20. Gluko stick
21. Stetoskop
22. Termometer
23. Nebulizer
24. Warmee
1. Adrenalin
1. Tourniquet
9. Jarum/ wing
2. Standart

1. Membaca basmalah
Spuit
2. Adrenaline 1:1000 dengan dosis Jarum/

wing

Anafilaktik
needle/
abocath
2. Spuit
3. Kapas

infuse
3. Gunting
4. Bengkok

0,01/kgBB, subkutan (max.0,3ml) needle/ abocath


3. Pasang torniquet pada bagian
pangkal dari tempat masuknya
allergen

(gigitan

serangga,

alkohol
4. Dypenhydra
mine
5. Infus set
6. Cairan infus

suntikan obat)
4. Beri adrenaline

0,1-0,3

ml

subkutan pada tempat masuknya


allergen

bila

allergen

telah

NaCl 0,9%
7. Hidrokortik

diberikan/masuk secara subkutan


5. Bila perlu pemberian adrenalin

osteroid/

dapat diulang setiap 15-20 menit


6. Beri zat asam dengan nose prong

metilprednis
olone/
hidrokortiso
ne

atau sungkup 2-3 l/mnt


7. Beri dypenhidramine 2 mg/kgBB
IV atau IM, dilanjutkan dengan 3
mg/kgBB /24 jam dibagi 3 dosis
8. Pasang infuse NaCl 0,9% bila
terjadi

hipotensi

atau

tekanan

darah tidak teratur, beri Nacl 0,9%


20-40 ml/kgBB dalam 1-2 jam
9. Bila perlu tambahkan plasma atau
cairan

ekspander

lain

ml/kgbb dalam 1-2 jam


10. Pemberian kortikosteroid:

10-20

Hidrokortikosteroid

4-7

mg/KgBB

secara

IV,

dilanjutkan

dengan

4-7

mg/kgBB/24 jam dibagi dalam


3-4 dosis selama 24-48 jam
atau

metilprednisolone

1/5

dosis

hidrokortisone

atau

deksametasone

1/25

dosis

hidrokortisone
11. Beri aminofilin bila ada tandatanda obstruksi jalan nafas bagian
bawah (asma) dengan dosis 7
mg/kgbb dilarutkan dalam 10-20
menit,

dilanjutkan

dengan

mg/kgBB dibagi 3-4 dosis


12. Bila nadi dan tekanan darah sudah
stabil , infuse diganti dengan

dekstrose 5% dalam 0,45% NaCl


Pengambilan
darah vena

Spuit steril
Kapas
alkohol

Torniquet
Wadah/botol
bersih

1-1,5 kali kebutuhan


Pengambilan darah vena
1. Letakkan lengan pasien lurus diatas
meja dengan telapak tangan
menghadap ke atas
2. Pasang torniquet
3. Bersihkan dengan alkohol swab
4. Jarum dimasukkan sepanjang
pembuluh darah 1 1,5 cm
5. Lalu hisap dengan spuit
6. Tarik spuit dan lakukan penekanan
pada bekas penusukan jarum
Lepas jarum dari spuit dan masukkan ke
dalam wadah/botol

2. Lingkungan Kerja:
No
1.

Unit Kerja
UGD

Ling. Fisik
Ling. Biologi
Ling. Kimia
Ling. Sos-Bud
Luas
ruangan - Risiko penularan SPAL
(Sarana Penempatan

11x12

meter. Luas

ruangan
memadai

yang
dengan

penyakit
sampel
specimen

dari Pembuangan

Ling. Ergonomi
Durasi jam kerja selama 7-10

Air bangunan UGD di jam.


Posisi kerja yang tidak
dan Limbah) dari bagian paling depan
ergonomis. Petugas kesehatan
UGD ini sudah dari rumah sakit

jumlah

(darah)
sistematis. Melalui
- Penempatan satu
cukup banyak.
wastafel
Bahan
- jumlah ventilasi
alat dengan alat
dan alat yang telah
benrjumlah
20
lain
saling
terpakai
di
ventilasi.
berdekatan, tiak
- Penyusunan tata
sterlisasi.
adanya wadah
ruang belum rapi dan
khusus sehingga
belum memadai
- Penataan alat yang
beresiko
tidak rapi

alat

yang

terdapatanya
kecelakaaan
kerja yang dapat
membahayakan
dokter atauapun
perawat
meningkat.

bertepatan
parkiran

dengan (ex.perawat)

melakukan

kendaran tindakan infus, ambil dara, dll

Mobil

ataupun dalam posisi berdiri, yang

motor

dan seharusnya dilakukan dengan

bersebelahan
dengan
kasir.

cara

duduk

tempat menggunakan kursi.

dengan

3. Karyawan:
No.
1

Unit kerja
UGD

Juml. Populasi
L
P
Dokter
6
Perawa
t
5

Dokter
3
Perawat
5

Rata-rata
Lama kerja
7-10 jam/ hari

Status
Kesehatan
Normal

Resiko Kesehatan
1. Penyakit menular
seperti : HIV,
Hepatitis Virus
(Hepatitis Virus B
dan C), TB
2. Dermatitis: DKA
dan DKI

(Profil UGD RSM Gresik, 2015)

Penanganan Resiko
Tersedianya jaminan BPJS
kesehatan

4. Sistem Manajemen:
Upaya atau kebijakan pimpinan pada kegiatan K3

No

Problem K3

Komponen
.
1

Kebijakan Manajemen
Eksternal
alat Risiko penularan penyakit Proses dan alat kerja sesuai dengan K3 yang

Internal

Proses Industri/ Kerja:

Penyediaan

UGD

pelindung
tidak

(APD) dari pasien

diri

sesuai

diterapkan pada KMK Tahun 2010

indikasi,

seperti

contoh

penggunaan

handscoon

tidak steril pada tindakan


hecting,
kateter,

pemasangan
VT.

Yang

seharusnya
kesemuaannya

tersebut

menggunakan handscoon

steril.
Penataan alat dan ruang
yang

tidak

rapid

dan

belum memadai.
Luas ruangan yang tidak
memenuhi standar

Lingkungan Kerja:
Lingkungan fisik

- Luas ruangan yang sudah Pintu

masuk

UGD

memenuhi standar
seharusnya
bebas
dr
- Penyusunan tata ruang dan
kendaraan keluar masuk
alat belum rapi dan belum
untuk parkir, sehingga

Persyaratan

bangunan

dengan PERMENKES

menyesuaikan

5. Regulasi/Undang-Undang
Regulasi yang diterapkan oleh industri yang bersangkutan yaitu berdasarkan
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 129/Menkes/SK/II/2008 tentang Standar
Pelayanan Minimal Rumah Sakit. Keputusan Menteri Kesehatan tentang Standar
Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit, dimana Dinas Kesehatan Provinsi dan
Dinas

Kesehatan

Kabupaten/Kota

melakukan

pembinaan

dan

pengawasan

pelaksanaan Standar Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit dengan melibatkan
organisasi Profesi terkait sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing
(KepMenkes, 2009).
Rumah sakit sebagai salah satu fasilitas pelayanan kesehatan perorangan
merupakan bagian dari sumber daya kesehatan yang sangat diperlukan dalam
mendukung penyelenggaraan upaya kesehatan. Penyelenggaran pelayanan kesehatan
di rumah sakit mempunyai karakteristik dan organisasi yang sangat kompleks.
Berbagai jenis tenaga kesehatan dengan perangkat keilmuan yang beragam,
berinteraksi satu sama lain. Ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran yang
berkembang sangat pesat yang perlu diikuti oleh tenaga kesehatan dalam rangka
pemberian pelayanan yang bermutu standar, membuat semakin kompleksnya
permasalahan di rumah sakit. Pada hakekatnya rumah sakit berfungsi sebagai tempat
penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan. Fungsi dimaksud memiliki makna
tanggung jawab yang seyogyanya merupakan tanggung jawab pemerintah dalam
meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat (Kepmenkes, 2009).
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Depkes, pada
tahun 2007 jumlah rumah sakit di Indonesia sebanya 1.319 yang terdiri atas 1.033

RSU dengan jumlah kunjungan ke RSU sebanyak 33.094.000, sementara data


kunjungan ke IGD sebanyak 4.402.205 (13,3% dari total seluruh kunjungan di
RSU), dari jumlah seluruh kunjungan IGD terdapat 12,0% berasal dari rujukan
(KepMenkes, 2009).
Pasien yang masuk ke IGD rumah sakit tentunya butuh pertolongan yang cepat
dan tepat untuk perlu adanya standar dalam memberikan pelayanan gawat darurat
sesuai dengan kompetensi dan kemampuannya sehingga dapat menjamin suatu
penanganan gawat darurat dengan response time yang cepat dan penanganan yang
tepat Semua itu dapat dicapai antara lain dengan meningkatkan sarana, prasarana,
sumberdaya manusia dan manajemen Instalasi Gawat darurat Rumah Sakit sesuai
dengan Standar (KepMenkes, 2009).
Untuk itu di daerah harus dapat menyusun perencanaan di Bidang Kesehatan
khusunya pelayanan Gawat Darurat yang baik dan terarah agar mutu pelayanan
kesehatan tidak menurun, sebaliknya meningkat dengan cepat (KepMenkes, 2009).
Oleh karena itu Dekpes perlu membuat Standar yang baku dalam pelayanan
gawat darurat yang dapat menjadi acuan bagi daerah dalam mengembangkan
pelayanan gawat darurat khususnya Instalasi Gawat Darurat RS (KepMenkes, 2009).
Prinsip Umum:
1. Setiap Rumah Sakit wajib memiliki pelayanan gawat darurat yang memiliki
kemampuan:
a. Melakukan pemeriksaan awal kasus-kasus gawat darurat
b. Melakukan resusitasi dan stabilisasi (life saving).
2. Pelayanan Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit harus dapat memberikan
pelayanan 24 jam dalam sehari dan tujuh hari dalam seminggu.
3. Berbagai nama untuk instalasi/unit pelayanan gawat darurat di sumah sakit
diseragamkan menjadi INSTALASI GAWAT DARURAT (IGD)
4. Rumah Sakit tidak boleh meminta uang muka pada saat menangani kasus
gawat darurat

5. Pasien gawat darurat harus di tangani paling lama 5 menit setelah sampai di
IGD
6. Organisasi Instalasi Gawat Darurat (IGD) didasarkan pada organisasi
multidisiplin, multiprofesi dan terintegrasi, dengan struktur organisasi
fungsional yang terdiri dari unsur pimpinan dan unsur pelaksana, yang
bertanggungjawab dalam pelaksanaan pelayanan terhadap pasien gawat
darurat di Instalasi Gawat Darurat (IGD), dengan wewenang penuh yang
dipimpin oleh dokter.
7. Setiap rumah sakit wajib berusaha untuk menyesuaikan pelayanan gawat
daruratnya (KepMenkes, 2009).

II.

OCCUPATIONAL DIAGNOSIS (DIAGNOSIS KESEHATAN KERJA)


1. Penyakit menular seperti :
a. penyakit yang ditularkan melaui darah seperti HIV, Hepatitis Virus
(Hepatitis Virus B dan C)
b. penyakit yang ditularkan melalui udara seperti Tuberkulosis
2. Penyakit akibat pajanan bahan kimia :
Penyakit akibat pajanan latex atau bahan kimia seperti handscrub :
Dermatitis Kontak.
3. Penyakit yang berhubungan dengan perilaku : stres akibat beban kerja
(ILO: 2013)

III.

PEMBAHASAN
Rumah sakit sebagai salah satu fasilitas pelayanan kesehatan perorangan

merupakan bagian dari sumber daya kesehatan yang sangat diperlukan dalam
mendukung penyelenggaraan upaya kesehatan. Penyelenggaran pelayanan kesehatan

di rumah sakit mempunyai karakteristik dan organisasi yang sangat kompleks.


Berbagai jenis tenaga kesehatan dengan perangkat keilmuan yang beragam,
berinteraksi satu sama lain. Ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran yang
berkembang sangat pesat yang perlu diikuti oleh tenaga kesehatan dalam rangka
pemberian pelayanan yang bermutu standar, membuat semakin kompleksnya
permasalahan di rumah sakit. Pada hakekatnya rumah sakit berfungsi sebagai tempat
penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan. Fungsi dimaksud memiliki makna
tanggung jawab yang seyogyanya merupakan tanggung jawab pemerintah dalam
meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat (Kepmenkes, 2009).
Instalasi gawat darurat sebagai salah satu pelayanan di rumah sakit merupakan
pelayanan yang berkesinambungan dalam perawatan dan pelayanan, pelayanan
tersebut mencakup pelayanan pra rumah sakit dan rumah sakit. Pelayanan pra rumah
sakit atau pelayanan sebelum pasien masuk ke rumah sakit, yaitu tindakan yang
mencakup dukungan, instruksi, perawatan serta tindakan yang di berikan kepada
pasien sampai pasien diserahkan ke rumah sakit. Pelayanan rumah sakit yaitu semua
aspek perawatan dan tindakan yang diberikan oleh petugas gawat darurat termasuk
pemindahan pasien (dirujuk, dirawat inap, atau dipulangkan), tanggapan dan tindakan
atas bencana massal serta keadaan darurat dalam masyarakat lainnya seperti bencana
alam dan mempersiapkan dukungan medik untuk pelayanan gawat darurat terpadu
(Rahayuningsih : 2010)
Kecelakaan dan sakit di tempat kerja dapat membunuh dan memakan lebih
banyak korban jika di bandingkan dengan perang dunia. Riset yang di lakukan badan
dunia ILO menghasilkan kesimpulan, setiap hari rata-rata 6.000 orang meninggal,

setara dengan satu orang setiap 15 detik, atau 2,2 juta orang per tahun akibat sakit
atau kecelakaan yang berkaitan dengan pekerjaan mereka. Jumlah pria yang
meninggal dua kali lebih banyak ketimbang wanita, karena mereka lebih mungkin
melakukan pekerjaan berbahaya. Secara keseluruhan, kecelakaan di tempat kerja
telah menewaskan 350.000 orang. Sisanya meninggal karena sakit yang di derita
dalam pekerjaan seperti membongkar zat kimia beracun (Rahayuningsih : 2010).
Di Indonesia, sampai saat ini belum banyak peraturan keselamatan dan
kesehatan kerja dilaksanakan di rumah sakit. Adanya asumsi bahwa tenaga kerja di
rumah sakit dianggap sudah tahu dan dapat mempertahankan kesehatan dan
melindungi dirinya serta dianggap lebih mudah melakukan konsultasi dengan dokter
dan mendapatkan fasilitas perawatan secara informal, menjadikan penerapan
keselamatan dan kesehatan kerja di rumah sakit seolah-olah dipinggirkan. Mengingat
besarnya paparan dirumah sakit maka rumah sakit sebagai tempat pelayanan
kesehatan sangat perlu untuk diterapkan Manajemen Keselamatan dan Kesehatan
Kerja (MK3) untuk memberikan perlindungan kepada para pegawai (Rahayuningsih,
2010).
Petugas kesehatan terutama dokter IGD, perawat, dan pekerja medis lainnya
berada pada peningkatan risiko terkena darah dan cairan tubuh yang dapat
menyebabkan berbagai transmisi infeksi. Transmisi minimal 20 patogen yang berbeda
dengan jarum suntik dan tajam cedera telah dilaporkan, dan virus hepatitis B (HBV),
virus hepatitis C (HCV), dan human immunodeficiency virus (HIV) adalah patogen
melalui darah yang paling signifikan dan sering. Infeksi oleh virus ini dapat
menyebabkan serius dan bahkan penyakit fatal. Dengan peningkatan jumlah pasien

yang terkena HIV-positif, hepatitis B (HBsAg) -positif, dan HCV-positif, yang


dikarenakan peningkatan prevalensi penduduk pengguna obat suntik, akan ada minat
yang besar untuk menentukan risiko pajanan dan meningkatkan kewaspadaan (Farsi,
2012).
Penyakit- penyakit yang berkaitan erat dengan para petugas medis di instalasi
gawat darurat diantaranya adalah penyakit penyakit menular yang meliputi
penyakit- penyakit yang ditularkan melalui darah seperti Hepatitis, HIV. Selain itu
dapat juga penyakit yang ditularkan melalui udara seperti Tuberkulosis. Resiko
pajanan yang berlebihan terhadap bahan kimia maupin bahan latex seperti handscoon
dapat menimbulkan iritasi maupun alergi kulit seperti dermatitis. Selain itu adanya
beban kerja yang cukup berat atau banyak bila dibandingkan dengan rasio jumlah
tenaga medis dapat menimbulkan stress akibat beban kerja berlebih dimana hal ini
dapat menurunkan kinerja dari para petugas medis.
1. Bloodborne Pathogen Disease ( penyakit yang ditularkan melalui darah )
Bloodborne Pathogen merupakan adanya patogen yang dapat ditularkan
dari satu orang ke orang lain salah satunya melalui darah. Kuman Patogen bisa
juga ditularkan oleh cairan tubuh lainnya, dan sangat bervariasi tergantung pada
jenis kuman patogen dan jenis cairan tubuh (CDC, 2010).
Ketika melakukan aktivitasnya sebagai tenaga kesehatan, para petugas
medis mempunyai resiko besar untuk occupational exposure dimana dapat
disebabkan karena luka tusuk jarum suntik luka akibat benda tajam lainnya yang
mengandung cairan tubuh maupun darah pasien yang kontak dengan kulit.
(Ribeiro, 2014) (Gourni, 2012).

Sekitar 60 pathogen yang dapat bertransmisi melalui occupational exposure


yaitu diantaranya adalah virus bakteri, parasit, jamur dan Hepatitis B (HBV),
hepatitis C (HCV) dan HIV virus yang merupakan kasus penyakit akibat
kecelakaan kerja terbanyak di dunia. Tingkat transmisi dari HBV sekitar 6 %
hingga 30 % (CDC, 2004) (Askew, 2007) (Ribeiro, 2014). Individu yang
mempunyai resiko terkena hepatitis harus melakukan vaksin profilaksis dimana
tingkat keefektifannya sekitar 90 % dalam mencegah infeksi (Askew, 2007).
A. HIV ( Human Immunodeficiency Virus)
Penyakit AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan suatu
syndrome/kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh Retrovirus yang
menyerang sistem kekebalan atau pertahanan tubuh. Dengan rusaknya sistem
kekebalan tubuh, maka orang yang terinfeksi mudah diserang penyakit-penyakit
lain yang berakibat fatal, yang dikenal dengan infeksi oportunistik. Kasus AIDS
pertama kali ditemukan oleh Gottlieb di Amerika Serikat pada tahun 1981 dan
virusnya ditemukan oleh Luc Montagnier pada tahun 1983 (Siregar, 2004) (WHO,
2005).
Penyakit AIDS dewasa ini telah terjangkit dihampir setiap negara didunia
(pandemi), termasuk diantaranya Indonesia. Hingga November 1996 diperkirakan
telah terdapat sebanyak 8.400.000 kasus didunia yang terdiri dari 6,7 juta orang
dewasa dan 1,7 juta anak-anak. Di Indonesia berdasarkan data-data yang
bersumber dari Direktorat Jenderal P2M dan PLP Departemen Kesehatan RI
sampai dengan 1 Mei 1998 jumlah penderita HIV/AIDS sebanyak 685 orang yang
dilaporkan oleh 23 propinsi di Indonesia. Data jumlah penderita HIV/AIDS di

Indonesia pada dasarnya bukanlah merupakan gambaran jumlah penderita yang


sebenarnya. Pada penyakit ini berlaku teori Gunung Es dimana penderita yang
kelihatan hanya sebagian kecil dari yang semestinya. Untuk itu WHO
mengestimasikan bahwa dibalik 1 penderita yang terinfeksi telah terdapat kurang
lebih 100-200 penderita HIV yang belum diketahui (Siregar, 2004).
Penyebab AIDS adalah sejenis virus yang tergolong Retrovirus yang disebut
Human Immunodeficiency Virus (HIV). Virus ini pertama kali diisolasi oleh
Montagnier dan kawan-kawan di Prancis pada tahun 1983 dengan nama
Lymphadenopathy Associated Virus (LAV), sedangkan Gallo di Amerika Serikat
pada tahun 1984 mengisolasi (HIV) III. Kemudian atas kesepakatan internasional
pada tahun 1986 nama virus dirubah menjadi HIV. Virus ini mempunyai dua tipe
yaitu: HIV-1 dan HIV-2 (Siregar, 2004).
Transmisi virus HIV terutama melalui kontak seksual. Kontak seksual utama
yang menyebabkan kasus HIV yaitu pada populasi heteroseksual dan
homoseksual. Transmisi HIV utama lainnya terjadi di antara pengguna narkoba
suntik. Pada anak-anak, penularan HIV terutama melalui placcuta (Faunci et al,
2008). Pada pengguna Narkoba Suntik yang penularannya langsung secara
sistemik setelah HIV masuk ke dalam tubuh, virus menuju ke kelenjar limfe dan
berada pada sel dendritik selam beberapa hari. Kemudian terjadi syndrome
retrovival acut seperti flu (serupa infeksi mononucleosis). Pada tubuh timbul
respon immune humoral maupun seluler. Pasien kemudian akan memasuki tahapan
tanpa gejala. Dalam tahap ini terjadi penurunan dalam jumlah CD4+ (Faunci et al :
2008).

Banyak cara yang diduga menjadi cara penularan virus HIV, namun hingga
kini cara penularan HIV yang diketahui adalah melalui :
1. Transmisi Seksual
Penularan

melalui

hubungan

seksual

baik

Homoseksual

maupun

Heteroseksual merupakan penularan infeksi HIV yang paling sering terjadi.


Penularan ini berhubungan dengan semen dan cairan vagina atau serik. Infeksi
dapat ditularkan dari setiap pengidap infeksi HIV kepada pasangan seksnya.
Resiko penularan HIV tergantung pada pemilihan pasangan seks, jumlah
pasangan seks dan jenis hubungan seks. Pada penelitian Darrow (1985)
ditemukan resiko seropositive untuk zat anti terhadap HIV cenderung naik pada
hubungan seksual yang dilakukan pada pasangan tidak tetap. Orang yang sering
berhubungan seksual dengan berganti pasangan merupakan kelompok manusia
yang berisiko tinggi terinfeksi virus HIV (CDC, 2010).
a. Homoseksual
Didunia barat, Amerika Serikat dan Eropa tingkat promiskuitas homoseksual
menderita AIDS, berumur antara 20-40 tahun dari semua golongan rusial.
Cara hubungan seksual anogenetal merupakan perilaku seksual dengan resiko
tinggi bagi penularan HIV, khususnya bagi mitra seksual yang pasif menerima
ejakulasi semen dari seseorang pengidap HIV. Hal ini sehubungan dengan
mukosa rektum yang sangat tipis dan mudah sekali mengalami pertukaran pada
saat berhubungan secara anogenital (Siregar, 2004).

b. Heteroseksual

Di Afrika dan Asia Tenggara cara penularan utama melalui hubungan


heteroseksual pada promiskuitas dan penderita terbanyak adalah kelompok umur
seksual aktif baik pria maupun wanita yang mempunyai banyak pasangan dan
berganti-ganti.
2. Transmisi Non Seksual
a. Transmisi Parenteral
Yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya (alat tindik)
yang telah terkontaminasi, misalnya pada penyalah gunaan narkotik suntik yang
menggunakan jarum suntik yang tercemar secara bersama-sama. Disamping
dapat juga terjadi melalui jarum suntik yang dipakai oleh petugas kesehatan
tanpa disterilkan terlebih dahulu. Resiko tertular cara transmisi parental ini
kurang dari 1%.
Transmisi melalui transfusi atau produk darah terjadi di negara-negara barat
sebelum tahun 1985. Sesudah tahun 1985 transmisi melalui jalur ini di negara
barat sangat jarang, karena darah donor telah diperiksa sebelum ditransfusikan.
Resiko tertular infeksi/HIV lewat trasfusi darah adalah lebih dari 90% (Siregar,
2004) (CDC, 2010).
b. Transmisi Transplasental
Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak mempunyai resiko
sebesar 50%. Penularan dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan dan sewaktu
menyusui. Transmisi HIV-1 dari ibu ke janin dapat mencapai 30% sedangkan
HIV-2 hanya 10%. Penularan secara ini biasanya terjadi pada akhir kehamilan
atau saat persalinan. Bila antigen P24 ibu jumlahnya banyak, dan atau jumlah
reseptor CD4 kurang dari 700/ml, maka penularan lebih mudah terjadi. Walaupun

HIV masih mungkin ditularkan melalui air susu ibu, namun masih termasuk
penularan dengan resiko rendah (Siregar, 2004) (CDC, 2010).
B. Hepatitis
Hepatitis virus adalah radang hati yang disebabkan oleh virus. Hepatitis
terdiri dari hepatitis A, B, C, D dan E. Hepatitis A dan E ditularkan secara fecal
oral dan biasanya berhubungan dengan perilaku hidup bersih dan sehat, bersifat
akut dan dapat sembuh dengan baik. Sedangkan hepatitis B, C dan D (jarang)
ditularkan secara parenteral, dapat menjadi kronis dan menimbulkan cirrhosis
dan lalu kanker hati (Infodatin, 2014).
Virus hepatitis yang transmisinya melalui darah yaitu terdiri atas virus
hepatitis B (HBV), virus hepatitis D (HDV), dan virus hepatitis C (HCV).
1. Virus Hepatitis B
Virus hepatitis B adalah virus DNA hepatotropik, hepadnaviridae terdiri atas
6 genotip (A sampai H), terkait dengan derajat beratnya dan respon terhadap
terapi. Terdiri dari 42 nm partikel sferis dengan inti nukleokapsid, densitas
elektron, diameter 27 nm, selubung luar lipoprotein dengan ketebalan 7 nm.
Inti HBV mengandung ds DNA partial (3,2 kb) dan :

Protein polimerase DNA dengan aktivasi reserve transkriptase

Antigen hepatitis B core (HbcAg) merupakan protein struktural

Anti hepatitis B e (HbeAg) merupakan protein non-struktural yang


berkorelasi secara tidak sempurna dengan replikasi anti HBV

Masa inkubasi HBV 15 180 hari (rata-rata 60 90 hari). Viremia


berlangsung selama beberapa minggu sampai bulan setelah infeksi akut.
Sebanyak 1-5% dewasa, 990% neonatus dan 50% bayi akan berkembang
menjadi hepatitis kronis dan viremia yang persisten. Infeksi persisten
dihubungakan dengan hepatitis kronik, sirosis dan kanker hati. HBV
ditemukan di darah, semen, sekret servikovaginal, saliva, cairan tubuh
lainnya.
Cara transmisi:

Melalui darah : penerima produk darah, IVDU, pasien hemodialisis,


pekerja kesehatan, pekerja yang terpapar darah

Transmisi seksual

Penetrasi jaringan (perkutan) atau permukosa : tertusuk jarum,


penggunaan ulang peralatan medis yang terkontaminsi, penggunaan
bersama pisau cukur dan silet, tato, akupuntur, tindik, penggunaan
sikat gigi bersama.

Transmisi maternal neonatal, maternal infant

Tak ada bukti penyebaran fekal oral (Faunci et al, 2008)

2. Penyakit yang ditularkan melalui udara :


Tuberkulosis
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting
di dunia ini. Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus
baru tuberkulosis pada tahun 2002, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan

Asam) positif. Setiap detik ada satu orang yang terinfeksi tuberkulosis di dunia ini,
dan sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis. Jumlah terbesar
kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia,
namun bila dilihat dari jumlah pendduduk, terdapat 182 kasus per 100.000
penduduk.Di Afrika hampir 2 kali lebih besar dari Asia tenggara yaitu 350 per
100.000 penduduk (PDPI, ).
Diperkirakan terdapat 2 juta kematian akibat tuberkulosis pada tahun 2002.
Jumlah terbesar kematian akibat TB terdapat di Asia tenggara yaitu 625.000 orang
atau angka mortaliti sebesar 39 orang per 100.000 penduduk. Angka mortalitas
tertinggi terdapat di Afrika yaitu 83 per 100.000 penduduk, dimana prevalensi HIV
yang cukup tinggi mengakibatkan peningkatan cepat kasus TB yang muncul.
Prevalensi TB di Indonesia dan negara-negara sedang berkembang lainnya
cukup tinggi. Pada tahun 2006, kasus baru di Indonesia berjumlah >600.000 dan
sebagian besar diderita oleh masyarakat yang berada dalam usia produktif (1555
tahun). Angka kematian karena infeksi TB berjumlah sekitar 300 orang per hari
dan terjadi >100.000 kematian per tahun. Hal tersebut merupakan tantangan bagi
semua pihak untuk terus berupaya mengendalikan infeksi ini. Salah satu upaya
penting untuk menekan penularan TB di masyarakat adalah dengan melakukan
diagnosis dini yang definitif (PPTI, 2012).
Tuberkulosis merupakan infeksi bakteri kronik yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis dan ditandai oleh pembentukan granuloma pada
jaringan yang terinfeksi dan oleh hipersensitivitas yang diperantarai sel (cellmediated hypersensitivity). Penyakit biasanya terletak di paru, tetapi dapat
mengenai organ lain. Dengan tidak adanya pengobatan yang efektif untuk penyakit

yang aktif, biasanya terjadi perjalanan penyakit yang kronik, dan berakhir dengan
kematian. Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang
di jaringan paru, dimana ia akan membentuk suatu sarang pneumonik, yang
disebut sarang primer atau afek primer. Pemeriksaan bakteriologis untuk
menemukan kuman TB mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan
diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologis ini dapat berasal dari dahak,
cairan pleura, bilasan bronkus, liquor cerebrospinal, bilasan lambung, kurasan
bronkoalveolar, urin, faeces, dan jaringan biopsi (Faunci, 2008).
Penyakit TBC biasanya menular melalui udara yang terkontaminasi oleh
bakteri Mycobacterium tuberculosis yang dilepaskan pada saat si penderita TBC
batuk. Pada anak-anak sumber infeksi umumnya berasal dari penderita TBC
dewasa. Bakteri yang sering masuk akan terkumpul dan berkembang biak di dalam
paru-paru dan dapat menyebar melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening.
Itulah alasan mengapa infeksi TBC dapat menginfeksi hampir seluruh organ tubuh
seperti: paru-paru, otak, ginjal, saluran pencernaan, tulang, kelenjar getah bening,
dan lain-lain. Namun organ yang sering terkena adalah paru-paru (Faunci, 2008) .
Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa petugas kesehatan di UGD merupakan
lini pertama yang menangani pasien dimana mempunyai resiko yang cukup tinggi
tertular langsung oleh penderita TBC.
3. Penyakit akibat pajanan bahan kimia atau akibat bahan Latex
Dermatitis Kontak
Kulit merupakan organ pemisah antara bagian di dalam tubuh dengan
lingkungan di luar tubuh. Kulit secara terus menerus terpajan terhadap faktor

lingkungan, berupa fisik, kimiawi maupun biologik. Oleh karena itu apabila terjadi
kerusakan yang melampaui kapasitas toleransi daya penyembuhan maka akan
terjadi penyakit. hampir 90-95% dari dermatosis yang berhubungan dengan
pekerjaan adalah dermatitis kontak. Ada dua jenis dermatitis kontak, yaitu
dermatitis kontak iritan dan dermatitis kontak alergik . Dermatitis kontak iritan
mempunyai persentase sebesar 80% dan 10-20% mengalami dermatitis kontak
alergik. Salah satu pekerjaan yang berisiko tinggi adalah pekerja perawat kesehatan.
Diantara petugas kesehatan, perawat mengalami prevalensi tertinggi. Banyak agent
atau bahan iritan di rumah sakit yang menyebabkan dermatitis kontak iritan seperti
air, pekerjaan basah, frekuensi mencuci tangan, cairan antiseptik dan sabuk,
mengeringkan kulit menggunakan handuk kertas, menggunakan sarung tangan
oklusif untuk waktu yang lama dan bubuk sarung tangan ( Utami : 2015)
Menurut Utami menyatakan bahwa semakin lama seseorang bekerja maka
semakin banyak dia telah terpapar bahan yang ditimbulkan oleh lingkungan kerjanya.
Pekerja yang lebih lama terpajann dan berkontak dengan bahan kimia menyebabkan
kerusakan sel kulit bagian luar, semakin lama semakin terpajan maka semakin
merusak sel kulit hingga bagian dalam dan memudahkan utuk terjadinya dermatitis
kontak. Dalam penelitian Utami disebutkan gejala atau masalah kulit yang banyak
dialami oleh perawat secara berurutan adalah kering (66,3%), mengelupas (44,2%)
dan kulit terasa panas atau perih (38,9%) serta didapatkan sebesar 40% lokasi
kejadian dermatitis kontak iritan terletak di telapak tangan. Selain itu sekitar 60%
perawat mengalami masalah atau gejala saat terpapar dengan cairan antiseptik
pembersih tangan atau handrub dan 41,1% karena bubuk sarung tangan.

4. Stress Akibat Beban Kerja


Pekerjaan merupakan bagian yang memegang peranan penting bagi kehidupan
manusia yang dapat memberikan kepuasan dan tantangan, sebaliknya dapat pula
merupakan gangguan dan ancaman. Terjadinya gangguan kesehatan akibat
lingkungan kerja fisik yang buruk telah lama diketahui, juga telah pula dipahami
bahwa desain dan organisasi kerja yang tidak memadai seperti kecepatan dan beban
kerja yang berlebihan merupakan faktorfaktor lain yang dapat menimbulkan
gangguan kesehatan akibat kerja. Tetapi beberapa penelitian membuktikan bahwa
faktor-faktor penyebab gangguan kesehatan tersebut tidak murni faktor fisik tetapi
disertai juga unsur psikologis. (Harrianto: 2015)
Kelelahan kerja adalah aneka keadaan yang disertai penurunan efisiensi dan
ketahanan kerja. Kelelahan dapat menurunkan kinerja. Kelelahan kerja bahkan
memberikan kontribusi sampai 60% terhadap beberapa kejadian kecelakaan kerja
ditempat kerja. Stress kerja perawat merupakan salah satu masalah dalam
manajemen sumber daya pada Rumah Sakit. Stress merupakan respon adaptif
terhadap situasi yang dirasakan mengancam kesehatan seseorang. (Rembang :
2014). Menurut hasil survei dari PPNI ( Persatuan Perawat Nasional Indonesia)
tahun 2006, sekitar 50,9% perawat yang bekerja di empat provinsi di Indonesia
mengalami stres kerja, sering pusing, lelah, tidak bisa beristirahat karena beban
kerja terlalu tinggi dan menyita waktu (Rembang : 2014).
Faktor yang mempengaruhi beban kerja perawat adalah kondisi pasien yang
selalu berubah, jumlah rata-rata jam perawatan yang di butuhkan untuk memberikan
pelayanan langsung pada pasien melebihi dari kemampuan seseorang, keinginan
untuk berprestasi kerja, tuntutan pekerjaan tinggi serta dokumentasi asuhan

keperawatan (Haryanti et al: 2013). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Haryanti
didapatkan bahwa kondisi kerja memperlihatkan kontribusi paling besar terhadap
terjadinya stres kerja kemudian tipe kepribadian dan beban kerja. Akibat negatif dari
meningkatnya beban kerja adalah kemungkinan timbul emosi perawat yang tidak
sesuai yang diharapkan pasien. Beban kerja yang berlebihan ini sangat berpengaruh
terhadap produktifitas tenaga kesehatan dan tentu saja berpengaruh terhadap
produktifitas perawat. (Haryanti et al: 2013).

IV.

INTERVENSI (menggunakan 5 langkah penatalaksanaan gangguan


kesehatan akibat kerja)
Penyakit akibat kerja atau penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan dapat

disebabkan oleh pemajanan di lingkungan kerja. Terdapat banyak hal yang mendasari
faktor- faktor terjadinya penyakit akibat kerja diantaranya adalah kurangnya
kewaspadaan pada petugas medis maupun minimnya sarana APD yang ada sehingga
memudahkan terjadinya penyakit akibat kerja. Untuk mengatasi permasalah ini maka
langkah awal adalah pengenalan / identifikasi bahaya yang bisa timbul dan evaluasi
kemudian

dilakukan

pengendalian

untuk

mengantisipasi

dan

mengetahui

kemungkinan bahaya dilingkungan kerja yang ditempuh dalam 3 langkah utama


yaitu :
a. Pengenalan lingkungan kerja
Pengenalan lingkungan kerja ini biasanya dilakukan dengan cara melihat
dan mengenal dan ini merupakan langkah dasar yang pertama- tama yang
dilakukan dalam upaya kesehatan kerja. Di dalam maslah ini para petugas
medis di UGD hendaknya peru mengenal lingkungan kerja UGD dimana
menaruh spuit habis pakai menaruh ampul- ampul obat yang telah

digunakan agar tidak tercecer di mana- mana. Di UGD RSM Gresik


seluruh petugas medis sudah mengenal dengan baik lingkungan UGD
sehingga potensi kecelakaan kerja akibat kurang mengenalnya lingkungan
kerja dapat diminimalisir.
b. Evaluasi Lingkungan kerja
Merupakan tahap penilaian karakteristik dan besarnya potensi- potensi
bahaya yang mungkin timbul, sehingga bisa menentukan prioritas daam
mengatasi lingkungan kerja . hal ini diimplementasikan dengan evaluasi
tempat pembuangan spuit yang telah habsi pakai apakah penuh atau tidak
kemudian evaluasi barang- barang disekitar UGD yang sekiranya dapat
menimbukan cedera seperti penempatan kursi roda, brankard maupun
tensimeter yang tidak pada tempatnya. Pada RSM Gresik penempatan
barang- barang yang dirasa membahayakan kinerja petugas medis dirasa
terlalu berdekatan sehingga dapat menggangu aktivitas dari petugas medis.
Selain itu sampah infeksius juga dibedakan menurut jenis dan dibuang
secara rutin oleh petugas khusus dengan menggunakan sarung tangan.
c. Pengendalian lingkungan kerja
Pengendalian lingkungan kerja merupakan faktor terpenting
dalam mengurangi penyakit akibat kerja diantaranya adalah penggunaan
alat perlindungan pribadi dalam melakukan segala intervensi di UGD.
Pembatasan waktu selama pekerja terpajan terhadap zat tertentu yang
berbahaya dapat menurunkan resiko terkenanya bahaya kesehatan di
lingkungan kerja. Kebersihan perorangan dan pakaiannya merupakan hal
yang penting

terutama untuk para petugas medis yang dalam

pekerjaannnya berhubungan dengan bahan kimia serta partikel lain.


Dalam hal ini para petugas RSM Gresik sudah cukup baik dalam
menggunakan APD

hanya

beberapa

petugas

saja

yang

belum

menggunakan APD dengan baik. Dan untuk maslaah kebersihan pakaian


hal ini cukuplah sulit untuk dievaluasi mengingat faktor ini tergantung
pada kesadaran individu masing- masing.
Selain 3 langkah diatas terdapat 5 tahapan penatalaksaan gangguan kesehatan
akibat kerja yang meliputi diantaranya adalah :
1. Proses Kerja
Masalah yang terjadi di UGD RSMG adalah Penyusunan atau penataan alat
alat kerja UGD yang belum rapi dan jarak antar alat- alat terlalu dekat sehingga
dapat menggangu mobilitas dari petugas kesehatan. Penggunan APD belum
sepenuhnya di lakukan oleh petugas medis di UGD RSM Kalitidu. Terdapat
beberapa petugas yang tidak memakai APD dalam melakukan intervensi yang
dilakukan ke pasien. Selain itu terdapat beberapa intervensi atau tidakan yang
dilakukan oleh petugas medis yang belum sesuai dengan protap diantaranya yaitu
menutup spuit bekas suntikan ke penutupnya dengan dua tangan satu tangan
memegang spuit dan tangan lainnya memegang penutup spuit. Hal ini dapat
meningkatkan penyakit akibat kecelakaan kerja. Hal ini harus disesuaikan dengan
peraturan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 129/Menkes/SK/II/2008 tentang
Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit tentang Standar Instalasi Gawat Darurat
(IGD) Rumah Sakit.

2. Lingkungan Kerja
Berbagai masalah yang terjadi di lingkungan kerja adalah :
a. Tata ruang sudah tersekat dan rapi dan cukup luas akan tetapi hendaknya
akses menuju UGD haruslah bebas atau dengan kata lain tidak ada
hambatan. Di depan UGD masih dipergunakan sebagai parkir kendaraan
sehingga akses menuju UGD sedikit terhambat bagi pasien yang
membutuhkan tindakan emergency. Hendaknya akses menuju pintu UGD
diperluas dan dibebaskan dari segala kendala yang dapat mengurangi
mobilisasi pasien menuju UGD.
b. Resiko dermatitis kontak akibat bahan kimia yang berasal dari reagen dan
bahan pembersih (handscrub) atau penggunaan handscoon .
c. Resiko tertularnya petugas medis dengan spesimen sampel pasien dari
darah saat pengambilan darah maupun saat pemasangan cairan secara
parenteral. Resiko tertusuk jarum saat injeksi maupun saat hecting juga
menjadi perhatian khusus dalam hal ini. Selain itu perlunya pemberian
vaksin pada petugas medis guna mencegah adanay penularan penyakit.
Pemeriksaan kesehatan pada petugas medis secara berkala juga dapat
meningkatkan kewaspadaan petugas terhadap penyakit akibat kerja

3. Kondisi Karyawan

Hingga saat ini masih belum ditemukan maslah yang berkaitan dengan
kesehatan kerja baik dari penularan penyakit yang berasal dari media darah
mauapun udara dan adanya keluhan mengenai dermatitis kontak. Namun
terdapat kemungkinan terjadinya stress akibat beban kerja yang terjadi pada
petugas medis. Seringkali para petugas medis menambah jumlah jam kerjanya
menjadi 2x hingga 3x lipat . hal ini dapat meningkatkan bebabn kerja para
petugas medis dan dapat menimbulkan kelelahan pada petugas medis
sehingga hal ini mempengaruhi kinerja dan status kesehatan fisik dari
paetugas medis. Hendaknya diatur maksimal jam kerja yang dapat di lakukan
oleh petugas medis sehingga dapat meminimalisir adanya kecelakaan kerja.
4. Kebijakan Manajemen
Mensosialisasikan mengenai undang-undang yang mengatur perlindungan
kesehatan kerja, dan mewajibkan seluruh karyawan untuk mentaati peraturan
sesuai standar permenkes tahun 2009 tentang Unit Gawat Darurat.
5. Regulasi yang Berlaku
Regulasi yang dipakai spesifik tentang pemeriksaan kesehatan tenaga kerja
dalam penyelenggaraan keselamatan kerja disini adalah Peraturan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi No 02/MEN/1980 .Selain itu juga dipakai strategi
penatalaksanaan dalam regulasi ini yaitu dengan mengusulkan untuk ditinjau
kembali kelengkapan alat, fasilitas, dan alat kebutuhan serta keamanan dan
keselamatan kerja sesuai peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No
411/MENKES/PER/98/2010.

DAFTAR PUSTAKA

Askew, Shana. Occupational Exposure to Blood and Body Fluid. September 2007,
Vol 55 no.9
Communication Disease Control. Blood or Body Fluid Exposure Option. January:
2013
Communication Disease Control. Blood and Body Fluid Exposure Management.
March: 2010
Communication Disease Control. Blood and Body Fluid Exposure Management.
May: 2009
Communication Disease Control.HIV AIDS. March : 2004

Faunci, Braunwald, Kasper et al. 2008. Acute Viral Hepatitis. in Harrisons Princples
of Internal Medicine 17th edition ch 298. USA : McGraw-Hill Companies.
Faunci, Braunwald, Kasper et al. 2008. Human Immunodeficiency Virus Disease:
AIDS and Related Disorders. in Harrisons Princples of Internal Medicine
17th edition ch 1076, 2372-2390. USA : McGraw-Hill Companies.
Faunci, Braunwald, Kasper et al.2008. Tuberculosis. in Harrisons Princples of
Internal Medicine 17th edition ch 158,. USA : McGraw-Hill Companies.
Gourni, Paraskeui. Occupational Exposure to Blood and Body Fluids of nurses at
Emergency Department. Health Science Journal Volume 6 Issue 1 ( January
March 2012)
Harrianto,Ridwan. Stres akibat kerja dan penatalaksanaannya. Universa Medicina :
2015
Haryanti Et al . Hubungan Antara Beban Kerja Dengan Stres Kerja Perawat Di
Instalasi Gawat Darurat Rsud Kabupaten Semarang. Jurnal Managemen
Keperawatan . Volume 1, No. 1, Mei 2013; 48-56
ILO. The Prevention of Occupational Disease. World Day for Safety and Health at
Work 28 april 2013
Infodatin. 2014. Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI. Jakarta
Selatan: Kemetrian Kesehatan RI.
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 129/Menkes/SK/II/2008 tentang Standar
Pelayanan Minimal Rumah Sakit

Persatuan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan


Tuberkulosis di Indonesia : Pedoman Penatalaksanaan TB (Konsensus TB).
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 411/MENKES/PER/98/2010.
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No 02/MEN/1980
Rahayuningsih, Puji Winarni. Penerapan Manajemen Keselamatan Dan Kesehatan
Kerja (Mk3) Di Instalasi Gawat Darurat Rsu Pku Muhammadiyah
Yogyakarta. FKM Univ. Ahmad dahlan Yogyakarta.
Rembang Et al . Hubungan Antara Kelelahan Kerja Dengan Stres Kerja Pada
Perawat Di Unit Gawat Darurat (UGD) Dan Intensive Care Unit (ICU)
Rumah Sakit Umum Daerah Datoe Binangkang Kabupaten Bolaang
Mongondow. 2014.
Ribeiro, Fernanda. Occupational Exposures To Body Fluids And Behaviors
Regarding Their Prevention And Post-Exposure Among Medical And
Nursing Students At A Brazilian Public University Rev. Inst. Med. Trop. Sao
Paulo 56(2):157-163, March-April, 2014
Utami, Monika Febrianti. Analisis Faktor Risiko Yang Berhubungan Dengan
Kejadian Dermatitis Kontak Iritan Pada Perawat Rsup Dr. Moh. Hoesin
Palembang Tahun 2014. FKM Unsri : 2015

Anda mungkin juga menyukai