Disusun oleh:
Kriswatin Marifah
201310401011007
Danys Aulia Fahcrulita 201310401011026
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2015
STATUS KEDOKTERAN INDUSTRI
I. STATUS UMUM TEMPAT KERJA
A. IDENTITAS:
1.
2.
3.
4.
Nama Perusahaan
Alamat
Jenis usaha
Jumlah tenaga kerja
Unit Kerja
Jenis
Bahan
Bahan Baku
1.
UGD
Alat Kerja
Pemeriksaan
Pemasangan
1. Infus Set
1. Standart Infus
2. Cairan Infus 2. Tourniquet
Infus
3. Jarum/ wing 3. Gunting
4. Bengkok
needle/
Cara Kerja
1. Membaca Basmalah
2. Menusuk jarum infuse
Berbahaya
- Jarum/ wings
/
IV
needle/ abocath
Catheter pada vena yang telah di - Gunting
tentukan. Bila IV Cateter sudah
abocath
4. Plester
5. Sarung tangan
bersih
6. Kapas
Alkohol
7. Bidai Infus/
alas infus
8. Kassa steril
perlahan-lahan.
3. Sambungkan IV Cateter dengan
selang infus
4. Melakukan
menutup
fiksasi
bagian
yang
dengan
ditusuk
Hecting
1. Sarung tangan 1.
2.
steril
2. Benang jahit
3. Kassa steril
3.
4. Cairan
4.
Duk lubang
Set alat bedah
minor
Jarum jahit
Korentang steril
Normal saline
dan tempatnya
5. Cairan
5. Perlak
dan
antiseptik
pengalasnya
6. Obat anastesi 6. Gunting plester
7. Plester
7. Kom steril
8. Larutan
8. Tempat sampah
H2O2/perhidr
ol
9. Masker
medis
9. Disposible
syringe
10. Celemek
11. Trolly
bedah minor
3. Gunting
plester
menggunakan
cairan antiseptik
5. Ganti sarung tangan
dengan
klem,
dengan
kemudian
(untuk
jahitan
dalam),
Triage
Label
1. Label warna
pada jahitan
17. Tutup dengan kassa steril
18. Pasang plester/hipafix
Pelaksana tugas
hijau
2. Label warna
kuning
3. Label warna
merah
4. Label warna
biru
label
sesuai
tingkat
kegawatan
- Label warna Hijau: penderita
yang tidak gawat dan tidak
-
darurat
Label warna kuning: penderita
Pemakaian obat
Obat Gawat
Gawat Darurat
Darurat
gawat darurat
Label warna biru: penderita
Tepat obat
Tepat dosis
Waspada terhadap efek
samping
Perhatian:
-
Resusitasi
Oksigen
1. Urobag
2. Nasopharyngeal
tube
3. Oropharyngeal
mungkin
tube
4. Laringsocope
agar
dapat
dilakukan
sesuai keperluan.
set anak
Meliputi tindakan:
5. Laringoskop set
- Stabilisasi nafas
dewasa
Pemukaan jalan nafas bila ada
6. Nasotrakeal
sumbatan baik sebagian maupun total
tube
- Perbaikan
ventilasi
stabilisasi
7. Orotracheal
sirkulasi
tube
- Pemasangan IV line
8. Suction-manual
- Terapi cairan sesuai kebutuhan
- Pemberian
obat-obatan
sesuai
otomatik
9. Trakeostomi set
keperluan
10. Bag.valve mask - Mengatasi atau memperkecil resiko
(dewasa/anak)
11. Kanal oksigen
12. Oksigen mask
dewasa
13. Chest tube
atau
hypoventilasi
akan
yang
14. Cricothyroidekt
omi
tracheostomi set
15. Ventilator
trsnport
16. Vital
sign
monitor
17. Infusion pump+
syringe pump
18. ECG+defibrilat
Syok
or
19. Vena section
20. Gluko stick
21. Stetoskop
22. Termometer
23. Nebulizer
24. Warmee
1. Adrenalin
1. Tourniquet
9. Jarum/ wing
2. Standart
1. Membaca basmalah
Spuit
2. Adrenaline 1:1000 dengan dosis Jarum/
wing
Anafilaktik
needle/
abocath
2. Spuit
3. Kapas
infuse
3. Gunting
4. Bengkok
(gigitan
serangga,
alkohol
4. Dypenhydra
mine
5. Infus set
6. Cairan infus
suntikan obat)
4. Beri adrenaline
0,1-0,3
ml
bila
allergen
telah
NaCl 0,9%
7. Hidrokortik
osteroid/
metilprednis
olone/
hidrokortiso
ne
hipotensi
atau
tekanan
ekspander
lain
10-20
Hidrokortikosteroid
4-7
mg/KgBB
secara
IV,
dilanjutkan
dengan
4-7
metilprednisolone
1/5
dosis
hidrokortisone
atau
deksametasone
1/25
dosis
hidrokortisone
11. Beri aminofilin bila ada tandatanda obstruksi jalan nafas bagian
bawah (asma) dengan dosis 7
mg/kgbb dilarutkan dalam 10-20
menit,
dilanjutkan
dengan
Spuit steril
Kapas
alkohol
Torniquet
Wadah/botol
bersih
2. Lingkungan Kerja:
No
1.
Unit Kerja
UGD
Ling. Fisik
Ling. Biologi
Ling. Kimia
Ling. Sos-Bud
Luas
ruangan - Risiko penularan SPAL
(Sarana Penempatan
11x12
meter. Luas
ruangan
memadai
yang
dengan
penyakit
sampel
specimen
dari Pembuangan
Ling. Ergonomi
Durasi jam kerja selama 7-10
jumlah
(darah)
sistematis. Melalui
- Penempatan satu
cukup banyak.
wastafel
Bahan
- jumlah ventilasi
alat dengan alat
dan alat yang telah
benrjumlah
20
lain
saling
terpakai
di
ventilasi.
berdekatan, tiak
- Penyusunan tata
sterlisasi.
adanya wadah
ruang belum rapi dan
khusus sehingga
belum memadai
- Penataan alat yang
beresiko
tidak rapi
alat
yang
terdapatanya
kecelakaaan
kerja yang dapat
membahayakan
dokter atauapun
perawat
meningkat.
bertepatan
parkiran
dengan (ex.perawat)
melakukan
Mobil
motor
bersebelahan
dengan
kasir.
cara
duduk
dengan
3. Karyawan:
No.
1
Unit kerja
UGD
Juml. Populasi
L
P
Dokter
6
Perawa
t
5
Dokter
3
Perawat
5
Rata-rata
Lama kerja
7-10 jam/ hari
Status
Kesehatan
Normal
Resiko Kesehatan
1. Penyakit menular
seperti : HIV,
Hepatitis Virus
(Hepatitis Virus B
dan C), TB
2. Dermatitis: DKA
dan DKI
Penanganan Resiko
Tersedianya jaminan BPJS
kesehatan
4. Sistem Manajemen:
Upaya atau kebijakan pimpinan pada kegiatan K3
No
Problem K3
Komponen
.
1
Kebijakan Manajemen
Eksternal
alat Risiko penularan penyakit Proses dan alat kerja sesuai dengan K3 yang
Internal
Penyediaan
UGD
pelindung
tidak
diri
sesuai
indikasi,
seperti
contoh
penggunaan
handscoon
pemasangan
VT.
Yang
seharusnya
kesemuaannya
tersebut
menggunakan handscoon
steril.
Penataan alat dan ruang
yang
tidak
rapid
dan
belum memadai.
Luas ruangan yang tidak
memenuhi standar
Lingkungan Kerja:
Lingkungan fisik
masuk
UGD
memenuhi standar
seharusnya
bebas
dr
- Penyusunan tata ruang dan
kendaraan keluar masuk
alat belum rapi dan belum
untuk parkir, sehingga
Persyaratan
bangunan
dengan PERMENKES
menyesuaikan
5. Regulasi/Undang-Undang
Regulasi yang diterapkan oleh industri yang bersangkutan yaitu berdasarkan
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 129/Menkes/SK/II/2008 tentang Standar
Pelayanan Minimal Rumah Sakit. Keputusan Menteri Kesehatan tentang Standar
Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit, dimana Dinas Kesehatan Provinsi dan
Dinas
Kesehatan
Kabupaten/Kota
melakukan
pembinaan
dan
pengawasan
pelaksanaan Standar Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit dengan melibatkan
organisasi Profesi terkait sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing
(KepMenkes, 2009).
Rumah sakit sebagai salah satu fasilitas pelayanan kesehatan perorangan
merupakan bagian dari sumber daya kesehatan yang sangat diperlukan dalam
mendukung penyelenggaraan upaya kesehatan. Penyelenggaran pelayanan kesehatan
di rumah sakit mempunyai karakteristik dan organisasi yang sangat kompleks.
Berbagai jenis tenaga kesehatan dengan perangkat keilmuan yang beragam,
berinteraksi satu sama lain. Ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran yang
berkembang sangat pesat yang perlu diikuti oleh tenaga kesehatan dalam rangka
pemberian pelayanan yang bermutu standar, membuat semakin kompleksnya
permasalahan di rumah sakit. Pada hakekatnya rumah sakit berfungsi sebagai tempat
penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan. Fungsi dimaksud memiliki makna
tanggung jawab yang seyogyanya merupakan tanggung jawab pemerintah dalam
meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat (Kepmenkes, 2009).
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Depkes, pada
tahun 2007 jumlah rumah sakit di Indonesia sebanya 1.319 yang terdiri atas 1.033
5. Pasien gawat darurat harus di tangani paling lama 5 menit setelah sampai di
IGD
6. Organisasi Instalasi Gawat Darurat (IGD) didasarkan pada organisasi
multidisiplin, multiprofesi dan terintegrasi, dengan struktur organisasi
fungsional yang terdiri dari unsur pimpinan dan unsur pelaksana, yang
bertanggungjawab dalam pelaksanaan pelayanan terhadap pasien gawat
darurat di Instalasi Gawat Darurat (IGD), dengan wewenang penuh yang
dipimpin oleh dokter.
7. Setiap rumah sakit wajib berusaha untuk menyesuaikan pelayanan gawat
daruratnya (KepMenkes, 2009).
II.
III.
PEMBAHASAN
Rumah sakit sebagai salah satu fasilitas pelayanan kesehatan perorangan
merupakan bagian dari sumber daya kesehatan yang sangat diperlukan dalam
mendukung penyelenggaraan upaya kesehatan. Penyelenggaran pelayanan kesehatan
setara dengan satu orang setiap 15 detik, atau 2,2 juta orang per tahun akibat sakit
atau kecelakaan yang berkaitan dengan pekerjaan mereka. Jumlah pria yang
meninggal dua kali lebih banyak ketimbang wanita, karena mereka lebih mungkin
melakukan pekerjaan berbahaya. Secara keseluruhan, kecelakaan di tempat kerja
telah menewaskan 350.000 orang. Sisanya meninggal karena sakit yang di derita
dalam pekerjaan seperti membongkar zat kimia beracun (Rahayuningsih : 2010).
Di Indonesia, sampai saat ini belum banyak peraturan keselamatan dan
kesehatan kerja dilaksanakan di rumah sakit. Adanya asumsi bahwa tenaga kerja di
rumah sakit dianggap sudah tahu dan dapat mempertahankan kesehatan dan
melindungi dirinya serta dianggap lebih mudah melakukan konsultasi dengan dokter
dan mendapatkan fasilitas perawatan secara informal, menjadikan penerapan
keselamatan dan kesehatan kerja di rumah sakit seolah-olah dipinggirkan. Mengingat
besarnya paparan dirumah sakit maka rumah sakit sebagai tempat pelayanan
kesehatan sangat perlu untuk diterapkan Manajemen Keselamatan dan Kesehatan
Kerja (MK3) untuk memberikan perlindungan kepada para pegawai (Rahayuningsih,
2010).
Petugas kesehatan terutama dokter IGD, perawat, dan pekerja medis lainnya
berada pada peningkatan risiko terkena darah dan cairan tubuh yang dapat
menyebabkan berbagai transmisi infeksi. Transmisi minimal 20 patogen yang berbeda
dengan jarum suntik dan tajam cedera telah dilaporkan, dan virus hepatitis B (HBV),
virus hepatitis C (HCV), dan human immunodeficiency virus (HIV) adalah patogen
melalui darah yang paling signifikan dan sering. Infeksi oleh virus ini dapat
menyebabkan serius dan bahkan penyakit fatal. Dengan peningkatan jumlah pasien
Banyak cara yang diduga menjadi cara penularan virus HIV, namun hingga
kini cara penularan HIV yang diketahui adalah melalui :
1. Transmisi Seksual
Penularan
melalui
hubungan
seksual
baik
Homoseksual
maupun
b. Heteroseksual
HIV masih mungkin ditularkan melalui air susu ibu, namun masih termasuk
penularan dengan resiko rendah (Siregar, 2004) (CDC, 2010).
B. Hepatitis
Hepatitis virus adalah radang hati yang disebabkan oleh virus. Hepatitis
terdiri dari hepatitis A, B, C, D dan E. Hepatitis A dan E ditularkan secara fecal
oral dan biasanya berhubungan dengan perilaku hidup bersih dan sehat, bersifat
akut dan dapat sembuh dengan baik. Sedangkan hepatitis B, C dan D (jarang)
ditularkan secara parenteral, dapat menjadi kronis dan menimbulkan cirrhosis
dan lalu kanker hati (Infodatin, 2014).
Virus hepatitis yang transmisinya melalui darah yaitu terdiri atas virus
hepatitis B (HBV), virus hepatitis D (HDV), dan virus hepatitis C (HCV).
1. Virus Hepatitis B
Virus hepatitis B adalah virus DNA hepatotropik, hepadnaviridae terdiri atas
6 genotip (A sampai H), terkait dengan derajat beratnya dan respon terhadap
terapi. Terdiri dari 42 nm partikel sferis dengan inti nukleokapsid, densitas
elektron, diameter 27 nm, selubung luar lipoprotein dengan ketebalan 7 nm.
Inti HBV mengandung ds DNA partial (3,2 kb) dan :
Transmisi seksual
Asam) positif. Setiap detik ada satu orang yang terinfeksi tuberkulosis di dunia ini,
dan sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis. Jumlah terbesar
kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia,
namun bila dilihat dari jumlah pendduduk, terdapat 182 kasus per 100.000
penduduk.Di Afrika hampir 2 kali lebih besar dari Asia tenggara yaitu 350 per
100.000 penduduk (PDPI, ).
Diperkirakan terdapat 2 juta kematian akibat tuberkulosis pada tahun 2002.
Jumlah terbesar kematian akibat TB terdapat di Asia tenggara yaitu 625.000 orang
atau angka mortaliti sebesar 39 orang per 100.000 penduduk. Angka mortalitas
tertinggi terdapat di Afrika yaitu 83 per 100.000 penduduk, dimana prevalensi HIV
yang cukup tinggi mengakibatkan peningkatan cepat kasus TB yang muncul.
Prevalensi TB di Indonesia dan negara-negara sedang berkembang lainnya
cukup tinggi. Pada tahun 2006, kasus baru di Indonesia berjumlah >600.000 dan
sebagian besar diderita oleh masyarakat yang berada dalam usia produktif (1555
tahun). Angka kematian karena infeksi TB berjumlah sekitar 300 orang per hari
dan terjadi >100.000 kematian per tahun. Hal tersebut merupakan tantangan bagi
semua pihak untuk terus berupaya mengendalikan infeksi ini. Salah satu upaya
penting untuk menekan penularan TB di masyarakat adalah dengan melakukan
diagnosis dini yang definitif (PPTI, 2012).
Tuberkulosis merupakan infeksi bakteri kronik yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis dan ditandai oleh pembentukan granuloma pada
jaringan yang terinfeksi dan oleh hipersensitivitas yang diperantarai sel (cellmediated hypersensitivity). Penyakit biasanya terletak di paru, tetapi dapat
mengenai organ lain. Dengan tidak adanya pengobatan yang efektif untuk penyakit
yang aktif, biasanya terjadi perjalanan penyakit yang kronik, dan berakhir dengan
kematian. Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang
di jaringan paru, dimana ia akan membentuk suatu sarang pneumonik, yang
disebut sarang primer atau afek primer. Pemeriksaan bakteriologis untuk
menemukan kuman TB mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan
diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologis ini dapat berasal dari dahak,
cairan pleura, bilasan bronkus, liquor cerebrospinal, bilasan lambung, kurasan
bronkoalveolar, urin, faeces, dan jaringan biopsi (Faunci, 2008).
Penyakit TBC biasanya menular melalui udara yang terkontaminasi oleh
bakteri Mycobacterium tuberculosis yang dilepaskan pada saat si penderita TBC
batuk. Pada anak-anak sumber infeksi umumnya berasal dari penderita TBC
dewasa. Bakteri yang sering masuk akan terkumpul dan berkembang biak di dalam
paru-paru dan dapat menyebar melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening.
Itulah alasan mengapa infeksi TBC dapat menginfeksi hampir seluruh organ tubuh
seperti: paru-paru, otak, ginjal, saluran pencernaan, tulang, kelenjar getah bening,
dan lain-lain. Namun organ yang sering terkena adalah paru-paru (Faunci, 2008) .
Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa petugas kesehatan di UGD merupakan
lini pertama yang menangani pasien dimana mempunyai resiko yang cukup tinggi
tertular langsung oleh penderita TBC.
3. Penyakit akibat pajanan bahan kimia atau akibat bahan Latex
Dermatitis Kontak
Kulit merupakan organ pemisah antara bagian di dalam tubuh dengan
lingkungan di luar tubuh. Kulit secara terus menerus terpajan terhadap faktor
lingkungan, berupa fisik, kimiawi maupun biologik. Oleh karena itu apabila terjadi
kerusakan yang melampaui kapasitas toleransi daya penyembuhan maka akan
terjadi penyakit. hampir 90-95% dari dermatosis yang berhubungan dengan
pekerjaan adalah dermatitis kontak. Ada dua jenis dermatitis kontak, yaitu
dermatitis kontak iritan dan dermatitis kontak alergik . Dermatitis kontak iritan
mempunyai persentase sebesar 80% dan 10-20% mengalami dermatitis kontak
alergik. Salah satu pekerjaan yang berisiko tinggi adalah pekerja perawat kesehatan.
Diantara petugas kesehatan, perawat mengalami prevalensi tertinggi. Banyak agent
atau bahan iritan di rumah sakit yang menyebabkan dermatitis kontak iritan seperti
air, pekerjaan basah, frekuensi mencuci tangan, cairan antiseptik dan sabuk,
mengeringkan kulit menggunakan handuk kertas, menggunakan sarung tangan
oklusif untuk waktu yang lama dan bubuk sarung tangan ( Utami : 2015)
Menurut Utami menyatakan bahwa semakin lama seseorang bekerja maka
semakin banyak dia telah terpapar bahan yang ditimbulkan oleh lingkungan kerjanya.
Pekerja yang lebih lama terpajann dan berkontak dengan bahan kimia menyebabkan
kerusakan sel kulit bagian luar, semakin lama semakin terpajan maka semakin
merusak sel kulit hingga bagian dalam dan memudahkan utuk terjadinya dermatitis
kontak. Dalam penelitian Utami disebutkan gejala atau masalah kulit yang banyak
dialami oleh perawat secara berurutan adalah kering (66,3%), mengelupas (44,2%)
dan kulit terasa panas atau perih (38,9%) serta didapatkan sebesar 40% lokasi
kejadian dermatitis kontak iritan terletak di telapak tangan. Selain itu sekitar 60%
perawat mengalami masalah atau gejala saat terpapar dengan cairan antiseptik
pembersih tangan atau handrub dan 41,1% karena bubuk sarung tangan.
keperawatan (Haryanti et al: 2013). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Haryanti
didapatkan bahwa kondisi kerja memperlihatkan kontribusi paling besar terhadap
terjadinya stres kerja kemudian tipe kepribadian dan beban kerja. Akibat negatif dari
meningkatnya beban kerja adalah kemungkinan timbul emosi perawat yang tidak
sesuai yang diharapkan pasien. Beban kerja yang berlebihan ini sangat berpengaruh
terhadap produktifitas tenaga kesehatan dan tentu saja berpengaruh terhadap
produktifitas perawat. (Haryanti et al: 2013).
IV.
disebabkan oleh pemajanan di lingkungan kerja. Terdapat banyak hal yang mendasari
faktor- faktor terjadinya penyakit akibat kerja diantaranya adalah kurangnya
kewaspadaan pada petugas medis maupun minimnya sarana APD yang ada sehingga
memudahkan terjadinya penyakit akibat kerja. Untuk mengatasi permasalah ini maka
langkah awal adalah pengenalan / identifikasi bahaya yang bisa timbul dan evaluasi
kemudian
dilakukan
pengendalian
untuk
mengantisipasi
dan
mengetahui
hanya
beberapa
petugas
saja
yang
belum
2. Lingkungan Kerja
Berbagai masalah yang terjadi di lingkungan kerja adalah :
a. Tata ruang sudah tersekat dan rapi dan cukup luas akan tetapi hendaknya
akses menuju UGD haruslah bebas atau dengan kata lain tidak ada
hambatan. Di depan UGD masih dipergunakan sebagai parkir kendaraan
sehingga akses menuju UGD sedikit terhambat bagi pasien yang
membutuhkan tindakan emergency. Hendaknya akses menuju pintu UGD
diperluas dan dibebaskan dari segala kendala yang dapat mengurangi
mobilisasi pasien menuju UGD.
b. Resiko dermatitis kontak akibat bahan kimia yang berasal dari reagen dan
bahan pembersih (handscrub) atau penggunaan handscoon .
c. Resiko tertularnya petugas medis dengan spesimen sampel pasien dari
darah saat pengambilan darah maupun saat pemasangan cairan secara
parenteral. Resiko tertusuk jarum saat injeksi maupun saat hecting juga
menjadi perhatian khusus dalam hal ini. Selain itu perlunya pemberian
vaksin pada petugas medis guna mencegah adanay penularan penyakit.
Pemeriksaan kesehatan pada petugas medis secara berkala juga dapat
meningkatkan kewaspadaan petugas terhadap penyakit akibat kerja
3. Kondisi Karyawan
Hingga saat ini masih belum ditemukan maslah yang berkaitan dengan
kesehatan kerja baik dari penularan penyakit yang berasal dari media darah
mauapun udara dan adanya keluhan mengenai dermatitis kontak. Namun
terdapat kemungkinan terjadinya stress akibat beban kerja yang terjadi pada
petugas medis. Seringkali para petugas medis menambah jumlah jam kerjanya
menjadi 2x hingga 3x lipat . hal ini dapat meningkatkan bebabn kerja para
petugas medis dan dapat menimbulkan kelelahan pada petugas medis
sehingga hal ini mempengaruhi kinerja dan status kesehatan fisik dari
paetugas medis. Hendaknya diatur maksimal jam kerja yang dapat di lakukan
oleh petugas medis sehingga dapat meminimalisir adanya kecelakaan kerja.
4. Kebijakan Manajemen
Mensosialisasikan mengenai undang-undang yang mengatur perlindungan
kesehatan kerja, dan mewajibkan seluruh karyawan untuk mentaati peraturan
sesuai standar permenkes tahun 2009 tentang Unit Gawat Darurat.
5. Regulasi yang Berlaku
Regulasi yang dipakai spesifik tentang pemeriksaan kesehatan tenaga kerja
dalam penyelenggaraan keselamatan kerja disini adalah Peraturan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi No 02/MEN/1980 .Selain itu juga dipakai strategi
penatalaksanaan dalam regulasi ini yaitu dengan mengusulkan untuk ditinjau
kembali kelengkapan alat, fasilitas, dan alat kebutuhan serta keamanan dan
keselamatan kerja sesuai peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No
411/MENKES/PER/98/2010.
DAFTAR PUSTAKA
Askew, Shana. Occupational Exposure to Blood and Body Fluid. September 2007,
Vol 55 no.9
Communication Disease Control. Blood or Body Fluid Exposure Option. January:
2013
Communication Disease Control. Blood and Body Fluid Exposure Management.
March: 2010
Communication Disease Control. Blood and Body Fluid Exposure Management.
May: 2009
Communication Disease Control.HIV AIDS. March : 2004
Faunci, Braunwald, Kasper et al. 2008. Acute Viral Hepatitis. in Harrisons Princples
of Internal Medicine 17th edition ch 298. USA : McGraw-Hill Companies.
Faunci, Braunwald, Kasper et al. 2008. Human Immunodeficiency Virus Disease:
AIDS and Related Disorders. in Harrisons Princples of Internal Medicine
17th edition ch 1076, 2372-2390. USA : McGraw-Hill Companies.
Faunci, Braunwald, Kasper et al.2008. Tuberculosis. in Harrisons Princples of
Internal Medicine 17th edition ch 158,. USA : McGraw-Hill Companies.
Gourni, Paraskeui. Occupational Exposure to Blood and Body Fluids of nurses at
Emergency Department. Health Science Journal Volume 6 Issue 1 ( January
March 2012)
Harrianto,Ridwan. Stres akibat kerja dan penatalaksanaannya. Universa Medicina :
2015
Haryanti Et al . Hubungan Antara Beban Kerja Dengan Stres Kerja Perawat Di
Instalasi Gawat Darurat Rsud Kabupaten Semarang. Jurnal Managemen
Keperawatan . Volume 1, No. 1, Mei 2013; 48-56
ILO. The Prevention of Occupational Disease. World Day for Safety and Health at
Work 28 april 2013
Infodatin. 2014. Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI. Jakarta
Selatan: Kemetrian Kesehatan RI.
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 129/Menkes/SK/II/2008 tentang Standar
Pelayanan Minimal Rumah Sakit