Anda di halaman 1dari 22

Jurnal Anestesiologi Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA
Awareness dan Recall Intraoperatif
Aunun Rofiq*, Witjaksono*, Widya Istanto Nurcahyo*
*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

ABSTRACT
ASA reports the latest on intraoperative awareness conducted by the ASA is centered
around the postoperative recall. As can be inferred from this chapter, introperatif
awareness and postoperative recall is not a phenomenon that is not related at all, thereby
allowing clinicians and researchers to use one of the two partially substitute for the other.
Recall that typically do not provide actual estimates of the incidence of intraoperative
awareness and simply represents the peak of the iceberg phenomenon. Monitor brain
function can not be predicted with less recall very well, but better than the traditional
autonomic parameters in knowing lost or the emergence of consciousness. Monitor brain
function represents the rapid developments in anesthesia practice management. The ability
to recognize intraoperative awareness and prevention by maintaining a depth of hypnosis
level, offers great potential to prevent postoperative recall.
ABSTRAK
Laporan ASA terbaru mengenai awareness intraoperatif yang dilakukan oleh ASA
dipusatkan seputar recall postoperative. Seperti dapat disimpulkan dari Bab ini,
awareness introperatif dan recall postoperative bukanlah
fenomena yang tidak
berhubungan sama sekali, sehingga membolehkan para klinisi dan peneliti untuk
menggunakan salah satu di antara keduanya sebagia substitusi bagi yang lain.
Recall secara khas memberikan estimasi yang tidak sebenarnya terhadap insidensi
awareness intraoperatif dan hanya merepresentasikan puncak dari fenomena gunung es.
Monitor fungsi otak tidak dapat memprediksi recall dengn sangat baik, tetapi lebih baik
dari parameter otonom yang tradisional dalam mengetahui hilang atau timbulnya
kesadaran. Monitor fungsi otak merepresentasikan perkembangan yang pesat dalam
manajemen praktek anestesi. Kemampuan untuk mengenali awareness intraoperatif dan
pencegahannya dengan mempertahankan kedalaman tingkat hypnosis, menawarkan
potensi yang besar untuk mencegah recall postoperative.
_________________________________________________________________________
PENDAHULUAN
Pernah nonton film Awake besutan
Joby Harold tahun 2007? Film itu
mengisahkan tentang seorang yang harus
menjalani operasi transplantasi jantung di
bawah pengaruh obat bius, tetapi tersadar
pada saat operasi berlangsung tanpa bisa
bergerak atau bicara. Serunya, dia bisa
Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

mendengar semua percakapan yang


terjadi selama dia dibius, dan menjumpai
bahwa dokter yang sekaligus temannya
ternyata
memiliki
rencana
buruk
terhadapnya. Tulisan kali ini agak lain
dari sebelumnya, yaitu mencoba

51

Jurnal Anestesiologi Indonesia

mengangkat
tentang
peristiwa
anesthesia
awareness,
yaitu
tersadarnya pasien pada saat operasi di
bawah pengaruh obat bius, sehingga ia
bisa menyadari apa yang terjadi selama
operasi.
Ada lagi suatu cerita, dimana seorang
wanita, 30 tahun, terdaftar di sebuah
rumah sakit untuk tindakan bedah
sterilisasi dengan anestesi general.
Setelah induksi yang baik dan lancar
pasien bangun dan mengeluh tidak dapat
bergerak. Pasien mendengar dokter
ginekolog, yang datang terlambat, dan
bertengkar dengan dokter anestesi, yang
berkata padanya, kemana saja engkau
dokter, pasienmu sudah siap sejak satu
jam yang lalu!!. Pasien tersebut
kemudian merasa ada sensasi nyeri
seperti ditusuk pisau di perutnya. Dia
panik, dan menjadi ketakutan terhadap
hal apa lagi yang akan terjadi padanya,
takut akan rasa sakit yang lebih berat.
Di dalam Recovery Room, pasien gelisah.
Staf yang menjaganya mengatakan bahwa
kegelisahannya merupakan efek samping
yang umum terjadi dari tindakan anestesi,
sehingga pasien sebaiknya tetap tenang.
Karena dia mengingat hal-hal yang
terjadi padanya selama operasi, dia
memutuskan untuk bertanya lebih jauh
tentang keadaan dirinya. Namun, sang
perawat kurang menanggapinya, sehingga
dia merasa diabaikan dan putus asa.
Maka kemudian, dia merasa kecewa,
marah,
dan
memutuskan
untuk
menghadap kepada dokter anestesi. Sang
dokter, juga pada awalnya tidak
membenarkan apa yang ia rasakan,
karena melihat tanda vital pada pasien ini
normal sepenuhnya. Namun, ketika sang
pasien dapat mengulangi dengan sama
persis kata-kata yang diucapkan dokter
anestesi tersebut saat operasi ketika
bertengkar dengan dokter ginekologi,
sang dokter anestesi pun mulai berubah

52

pikiran. Setelah mendengarkan dan


menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi,
sang dokter anestesi kemudian meminta
maaf dan memberitahu dokter ginekologi.
Setelah melakukan diskusi berulang kali
dan dua kali pertemuan psikoterapi,
pasien kemudian mengurungkan niatnya
untuk membawa perkara ini ke meja
hukum, dan memaafkan para dokter
tersebut.
Bangkitnya kesadaran adalah sebuah
outcome yang tidak diinginkan, sebuah
komplikasi dari sebuah manajemen
anestesi yang menjadi hal yang sangat
berpotensi untuk menimbulkan masalah
hukum. Pasien yang mampu mengingat
tindakan opreasi yang dilakukan padanya,
khususnya ketika pasien merasa nyeri,
berpotensi
untuk
mengakibatkan
morbiditas yang lebih lama. Pengalaman
ini sangat tidak baik bagi pasien, yang
dapat melemahkan dirinya dalam
menjalani aktivitas sehari-hari dalam
kehidupannya.
Tulisan
ini
akan
membahas
tentang
kejadian
dan
memahamkan pasien maupun praktisi
medis, serta mempresentasikan seni
teknologi monitoring.
Pada
operasi-operasi
besar
yang
membutuhkan ketelitian, ketepatan dan
waktu lama, pasien umumnya mendapat
anestesi umum untuk menghilangkan
kesadaran dan rasa sakit. Anestesi umum
yang modern menggunakan tiga golongan
obat untuk memberikan efek pembiusan,
yaitu: obat yang menyebabkan tertidur
dan menghapuskan memori selama
operasi
(obat
bius),
obat yang
melemaskan otot untuk mencegah
kontraksi otot yang tidak diinginkan
selama operasi (pelemas otot), dan obat
penghilang rasa sakit yang kuat
(analgesik kuat) seperti obat golongan
morfin. Obat pelemas otot menyebabkan
pasien tidak bisa bergerak, termasuk tidak
bisa bicara, atau bahkan bernafas,

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

Jurnal Anestesiologi Indonesia

sehingga seringkali dibantu dengan alat


bantu pernafasan.
DEFINISI
Istilah kesadaran (awareness) masih
kontroversial. Sejauh ini, laporan dari
ASA yang didiskusikan di akhir tulisan
ini belum dapat menjawab kerumitan
mengenai awareness ini. Salah satu yang
membuat kontroversi adalah istilah
awareness yang masih ditujukan pada
consciousness. Tentu saja, hilangnya
consciousness merupakan periode klinis
yang umum, dan merupakan endpoint
yang penting pada intraoperatif. Tetapi,
apa yang sebenarnya hilang ketika pasien
mulai hilang consciousness-nya? Prinsip
biologi pada keadaan mental ini, atau
keadaan yang semisal dengannya, belum
dapat ditentukan secara pasti walaupun
telah banyak menarik perhatian para
ilmuwan.1 Karena alasan ini, secara
praktis, kita dapat mengadopsi beberapa
definisi.
Umumnya,
awareness
merupakan
keadaan
didapatkannya
pengalaman secara sadar (seperti seorang
yang mengatakan, saya mendengar
seseorang berbicara).2 Namun, pada
anestesi klinik, istilah ini mempunyai
makna yang berbeda, yaitu merujuk pada
adanya memori pada pasien atau mampu
mengingat
tindakan
bedah
yang
dilakukan (recall) (seperti, pasien
berkata: Saya mendengar dokter bedah
bicara). Oleh karena itu, ketika
mendiskusikan mengenai awareness
selama anestesi, kita tidak hanya merujuk
pada pengalaman subjektif, tetapi juga
memori yang ada. Perbedaan yang
signifikan ini, yaitu antara pengertian
awareness dari literatur dan yang
digunakan dalam anestesi klinis, akan
menjadi jelas ketika kita membicarakan
tentang teknik monitoring (lihat Bab
tentang apakah terdapat tanda
peringatan
selama
anestesi
yang
memberitahu kita bahwa sesuatu yang

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

salah terjadi?). Monitoring yang adekuat


bergantung pada penggambaran yang
benar tentang keadaan pasien, sehingga
akan menimbulkan pertanyaan: apakah
kesadaran intraoperatif ini disertai
memori
postoperatif?
Bagaimana
menguraikan
kedua
hal
yang
berhubungan namun tidak sama ini akan
kita diskusikan pada tulisan ini.
Untuk saat ini, mari kita bedakan
awareness dengan recall dan awareness
tanpa recall. Walaupun konsekuensi dari
awareness tanpa recall tidak diketahui,
namun kami mempertimbangkan adanya
hubungan antara kejadian dan fenomena
awareness dengan recall yang belum
dapat dimengerti sepenuhnya.
Nah, walaupun telah diberi anestesi
dengan perhitungan yang teliti dari dokter
ahli anestesi, dilaporkan 1-2 dari 1000
orang mungkin mengalami anaesthesia
awareness, yaitu tersadar selama
pembiusan, dengan berbagai tingkatan.
Ada yang tersadar penuh, setengah
tersadar, atau hanya sedikit tersadar.
Ada beberapa bentuk kesadaran ini,
antara lain:
1. Pasien sadar, dapat bergerak, tapi
tidak merasakan sakit. Pasien
semacam ini mungkin mendapatkan
analgesik yang cukup, tetapi kurang
cukup obat untuk melemaskan otot
dan obat biusnya.
2. Pasien sadar, tapi tidak bisa bergerak
atau berteriak, dan tidak merasakan
sakit.
Pasien
ini
mungkin
mendapatkan obat analgesik dan
pelemas otot dengan dosis yang
cukup, tetapi kurang dalam obat
biusnya.
3. Yang paling mengerikan buat pasien
adalah jika pasien sadar, merasakan
sakitnya operasi, tetapi tidak bisa
bergerak
atau
berteriak,
atau

53

Jurnal Anestesiologi Indonesia

mengerjakan apapun. Ini dapat


disebabkan karena kurangnya dosis
analgesik dan obat biusnya, tetapi
cukup mendapatkan pelemas otot. Ini
merupakan situasi yang cukup
mengerikan dan kadang membuat
trauma pasien terhadap operasi.
Mestinya keadaan seperti ini bisa
segera disadari oleh dokternya, tapi
kadang2 karena pasien tidak bisa
bereaksi, maka hal ini tidak disadari
dan pasien akan sangat menderita.
Selain itu, fungsi otak pasien yang
tersadar ini umumnya abnormal
karena di bawah pengaruh anestesi,
dan ketambahan lagi dengan efek dari
obat-obat lain, maka seringkali dapat
menimbulkan efek-efek yang aneh
seperti seolah-olah jatuh ke dalam
neraka, merasa jiwanya keluar dari
badannya, atau merasa akan mati.
INSIDENSI
Sebagaimana
fenomena
kompleks
lainnya, tidak banyak data statistik
tunggal yang menyebutkan angka
insidensi kejadian ini. Sangat penting
untuk mengetahui konteks dari data
statistik yang ada. Dalam konteks tataran
klinis misalnya, perlu dipertimbangkan
penyebab insidensi awareness dengan
recall ini, yaitu meliputi variable
intraoperatif,
seperti
respon
kardiovaskular. Kita akan melihat kondisi
klinis lebih dekat ketika kita berbicara
mengenai faktor risiko (lihat Bab, Siapa
saja yang Berisiko?). Konteks penting
kedua adalah standar pelayanan, yang
selalu berubah dan meningkat. Sehingga,
estimasi insidensi awareness dengan
recall akan menurun. Sebagai contoh,
insidensi dilaporkan pada pasien trauma
pada tahun 1980an yaitu 43%3, dan
sebuah observasi yang serupa 15 tahun
kemudian
hasilnya
sebesar
1%4.
Peningkatan yang luar biasa ini terjadi
karena adanya kemajuan dalam hal

54

resusitasi di lapangan yang telah


ditambahkan dalam manajemen anestesi
kasus berisiko tinggi di kamar operasi.
Oleh sebab itu, penelitian-penelitian
modern yang terus dilakukan akan dapat
menurunkan angka insidensi.
Selain peningkatan standar pelayanan,
metode penelitian juga sekarang ini
semakin akurat.
Pada
penelitianpenelitian sebelumnya, sebagai contoh,
beberapa bukti anekdot dari recall post
operasi telah ditemukan sebagai fakta
pada munculnya awareness intraoperatif.
3
Beberapa keterangan dramatis tentang
insidensi lainnya juga pernah dilaporkan
di masa lalu. Karena obat-obat sedatif
dapat mengubah persepsi terhadap
waktu,5 pasien dapat merasa sadar selama
operasi, walaupun memori mereka
sebenarnya terbentuk di waktu yang lain
selama periode perioperatif. Mereka
dapat bingung mendengar suara sebelum
atau sesudah ektubasi serta mendengar
suara selama operasi. Untuk menghindari
adanya kemungkinan kekeliruan laporan
karena subjektivitas pasien, ketika obat
sedasi telah diberikan, kita harus dapat
memeriksa memori dengan hati-hati.
Penilaian yang benar, secara spesifik
dapat menggambarkan dengan spesifik
apa yang terjadi selama periode anestesi.
Dalam bentuk yang sangat sederhana,
sebuah sistematika wawancara (lihat tabel
26-1) dipaparkan untuk mengeksplorasi
memori selama periode intraoperatif, dan
telah diterima dengan baik di klinik dan
penelitian
komunitas.
Dengan
menanyakan kepada pasien 5 pertanyaan
yang sederhana dan kurang spesifik
setelah recovery, kita menemukan hanya
1% insidensi recall setelah operasi, bukan
43%.4
Beberapa penelitian meneliti fungsi
memori selama anestesi dengan mengetes
adanya stimuli spesifik selama anestesi,
seperti
daftar
kata-kata
yang

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

Jurnal Anestesiologi Indonesia

diperdengarkan lewat headphone. Setelah


recovey, stimuli yang sama dimunculkan
lagi, bersama dengan stimuli lain yang
tidak
diberikan
selama
anestesi.
Penelitian ini menunjukan adanya respon
pasien terhadap stimulasi yang lama
maupun baru, dengan beberapa jenis
stimulasi yang dites. Tulisan ini akan
focus pada explicit memory (memori
yang
jelas),
dimana
dilakukan
pengumpulan kembali informasi dalam
kesadaran. 6,7

7 senter kesehatan di negara tersebut.8


Semua pasien diberi anestesi general,
mempunyai status mental normal,
berkemampuan
untuk
memberikan
informed
consent,
dan
dapat
diwawancara setelah operasi. Pasien
diwawancara pertama di PACU (Post
Anestesi Care Unit), dan wawancara
lanjutan dilakukan 1 minggu kemudian.
Peneliti mengetahui bahwa recall dapat
terjadi
terlambat,
sehingga
oleh
karenanya dilakukan wawancara lanjutan.

Tabel 1. Kuosioner Inisial Postoperatif

Sebagai pengganti penelitian luas


lainnya,9 peneliti mengklasifikasikan
setiap individu ke dalam 4 kelompok
berikut:
1. Tidak ada awareness (tidak ada
laporan atau deskripsi yang samar,
atau apa yang dilaporkan sering
terjadi dalam periode preoperasi dan
postoperasi, seperti musik, orang
yang berbicara, pakaian yang dipakai)
2. Dreaming:
Bermimpi
(mungkin
berhubungan dengan kesadaran)
3. Possible awareness (pasien tidak
dapat mengingat kejadian-kejadian
yang terjadi dengan jelas yang
menunjukkan kesadaran)
4. Awareness (jika event yang dapat
diingat
dikonfirmasi
kepada
seseorang yang hadir atau peneliti
diyakinkan bahwa memori tersebut
benar tetapi tidak ada konfirmasi
yang bisa didapat)

1.

Apa hal terakhir yang anda ingat sebelum


tidur?

2.

Apa hal pertama yang anda ingat ketika


bangun dari tidur?

3.

Apakah anda ingat apa yang terjadi pada


waktu di antara anda mulai tidur hingga
bangun dari tidur?

4.

Apakah anda bermimpi selama operasi?

5.

Apakah hal yang paling buruk mengenai


operasi yang dilakukan pada anda?

Sistematika wawancara singkat untuk


mengetahui kesadaran dan recall (tabel 1)
dapat membantu, di mana pasien
biasanya enggan untuk melaporkan
kesadarannya. Jika pasien mengakui
mengingat sesuatu selama intraoperasi,
strategi yang lain dapat digunakan adalah
seperti telah diberi contoh dan
didiskusikan di Bab Apa yang Harus
Dilakukan?. Penting untuk diperhatikan
bahwa kelima pertanyaan ini adalah
untuk menilai kesadaran intraoperatif
dengan cara yang sederhana, terbuka dan
tidak berbias.
Menggunakan kuesioner ini, insidensi
awareness dengan recall ditemukan
terbaru adalah 0,13% di US pada
penelitian kohort-prospektif dengan
sampel sebanyak 20.000 pasien dewasa di

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

Di dalam Recovery room, 0,3% pasien


yang diwawancara dilaporkan mengingat
sesuatu di antara waktu akan tidur hingga
bangun (menjawab ya untuk pertanyaan
3, tabel 26-1). Selama periode follow-up
satu
minggu
kemudian,
angka
kejadiannya meningkat (0.6% dilaporkan
mempunyai
memori
intraoperatif).
Sebaliknya, dreaming dilaporkan lebih
sering terjadi (6% menjawab ya pada
pertanyaan no.4), dan menurun pada
pariode
follow-up
(3,4%).
Pada

55

Jurnal Anestesiologi Indonesia

wawancara dasar, 25 kasus awareness


(0,13%) teridentifikasi. Pada semua
kasus, kejadian yang dapat diingat
terkonfirmasi
atau
dianggap
kemungkinan besar benar-benar terjadi.
Insidensi recall setelah anestesi general di
US dapat dibandingkan dengan yang
diobservasi secara luas di negara-negara
lain 9,10,11,12 Oleh karena itu, awareness
dengan recall muncul sebagai fenomena
yang terjadi di mana-mana dengan
insidensi 1-2 per 1000 kasus, tidak
bergantung pada lokasi geografis, dan
perbedaan teknik anestesi. Dengan sekitar
200 juta anestesi general yang dilakukan
di United State setiap tahunnya, kira-kira
sebanyak 26.000 kasus terjadi awareness
dengan recall terjadi setiap tahun, atau
100 setiap hari kerja.
Mengapa Saya Harus Peduli?
Kebalikan dengan sebagian orang yang
berpikir angka kejadian ini yang sudah
cukup tinggi untuk memicu dilakukannya
usaha
yang
terus-menerus
untuk
mencegah terjadinya awareness, sebagian
lain berfikir bahwa kejadian recall
postoperasi sangat jarang terjadi dan
bukan merupakan kesulitan yang berarti.
Jika anda berpikir sama, perhatikan
bahwa banyak pasien yang dikhawatirkan
akan mendapat outcme yang buruk ini.
Sebelum anestesi, hingga 54% khawatir
terhadap terjadinya nyeri, paralisis, dan
distress
mental
selama
operasi.
Selanjutnya, ketika sakit, terjadinya
awareness merupakan sebab utama
ketidakpuasan
pasien.10
Tidak
mengherankan jika terdapat perasaan dan
pengalaman subjektif pada orang yang
sadar selama operasi. Walaupun tidak
semua kejadian awareness intraoperatif
perlu ditakuti, pembahasan tentang recall
yang terjadi pada pasien berikut dapat
mewakilkan pola berpikir yang berbeda.
Memori pasien
56

Pasien dengan recall dan awareness


kemungkinan besar mampu mengingat
suara dan percakapan (30-90%), namun
tidak melihat, merasa, dan menghidu
sesuatu.14
Sejumlah
angka
yang
signifikan (hingga 40%) dapat mengingat
adanya nyeri, sebuah pengalaman yang
dapat memediasi munculnya efek
samping yang lebih besar (adverse
aftereffect). Wawancara yang telah
dilakukan memberi kesan bahwa
kesadaran yang banyak mengganggu
pasien tidaklah penting, tetapi yang lebih
penting adalah ketidakmampuan untuk
bergerak dan berkomunikasi (awake
paralisis).
Walaupun
nyeri
tidak
dirasakan, namun kurangnya kontrol
tubuh akan memberikan perasaan
terhadap hal yang lebih buruk akan
muncul kemudian. Kebanyakan pasien
yang mengalami awake paralisis (7090%) merasa panik dan gelisah, di mana
sebagian lain merasa lemah dan putus
asa. Kejadian ini seperti mengubur orang
hidup-hidup, dengan trauma mental yang
memuncak terutama ketika nyeri muncul.
Sejumlah kecil pasien (15%) dapat
merasakan pengalaman berupa mati
lemas, ancaman kematian, atau percaya
bahwa mereka sedang koma dan tidak
akan pulih dari anestesi. Sekitar dua per
tiga pasien melaporkan perubahan
perilaku setelah anestesi atau setelah
terjadi awareness.
Hingga 70% pasien yang mengalami
awareness dengan recall akan mengalami
pengalaman tidak menyenangkan yang
berlanjut, seperti kesulitan tidur, mimpi
buruk yang berulang, mangingat sesuatu
yang sudah lalu (flashback), gelisah di
waktu siang, dan penderitaan. Pasienpasien ini juga akan merubah persepsi
mereka tentang anestesi dan menjadi
lebih takut dan khawatir dengan prosedur
anestesi. Pasien menghindari rumah sakit
dan dokter untuk menghindari teringatnya
pada pengalaman yang membuatnya

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

Jurnal Anestesiologi Indonesia

trauma, suatu keadaan yang dapat


membahyakan keberhasilan pengobatan.
Jika simptom menetap selama 1 bulan
yang sangat mempengaruhi perasaan,
perilaku, dan fungsi pasien, dapat
berkembang menjadi Post Traumatic
Stress Disorder (PTSD) (lihat tabel 262). Bergantung pada pengalaman
awareness dan reaksi dari staf rumah
sakit, sebanyak 15% dari pasien dengan
recall membutuhkan fisioterapi, di mana
10% diantaranya berkembang menjadi
PTSD.14,15
Bahkan beberapa tahun
setelah kejadian tersebut, 50% pasien
dapat tetap menderita dengan pengalaman
tersebut dan dapat menderita lumpuh
yang berat karena efek psikiatri ikutan.16
Karena itu, walaupun kejadian ini jarang
terjadi, awareness dengan recall ini dapat
merubah hidup pasien. Pada Bab Apa
Yang Harus Dilakukan? menyajikan halhal yang dapat anda lakukan, selama intra
dan postoperatif, ketika anda menjumpai
suspek awareness.
Tabel 2. Gangguan stress postTraumatik
Pengalaman menetap terhadap kejadian-kejadian
(mimpi buruk, gelisah, kesukaran yang sangat)
Penghindaran secara menetap tehadap stimuli
yang berhubungan (dokter, rumah sakit, check
up)
Pengalaman yang meningkat timbulnya dan
menetap
Respon general yang membeku
Durasi simptom lebih dari 1 bulan

Penting untuk diperhatikan bahwa sekuel


ini berhubungan erat dengan penggunaan
obat-obat muscle relaksan. Penelitian
terhadap 14 pasien yang mengalami
awareness dan diberikan obat muscle
relaxan, 11 diantaranya dilaporkan
mengalami efek ikutan yang tidak
menyenangkan.9 Sebagai perbandingan,
dari 4 orang yang nonparalisis tidak ada
Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

yang mengalami pengalaman awareness


postoperasi.
Siapakah yang Berisiko?
Faktor Klinik
Penelitian pada penduduk Amerika,
awareness
dengan
recall
terjadi
berhubungan dengan prosedur tindakan
bedah (abdominal/thoraks, kardiak, dan
oftalmologi, dll), dan kondisi pasien yang
sakit (ASA III-V). 8 Penelitian terbaru
menemukan kemungkinan hubungan
penggunaan dosis obat anestesi yang
rendah, yang merupakan sebab umum
yang mengakibatkan awareness dengan
recall. Insidensi yang lebih tinggi
dilaporkan pada operasi Caesar, trauma
dan bedar kardiak, yaitu 1-4%. 17,18,19
Penggunaan obat muscle relaksan dapat
meningkatkan kejadian recall. Pada studi
di Swedia, banyak pasien mengalami
apisode awareness dengan paralisis dua
kali lebih besar dibandingkan dengan
pasien yang mendapat anestesi general
tanpa muscle relaksan.9 Jika obat muscle
relaksan tidak diberikan, pasien dapat
mengalami awareness dan mampu
bergerak, dan anestesi sebaiknya
diperdalam. Pada penemuan dasar dari
penelitian
ini,
kewaspadaan
dan
penggunaan muscle ralksan yang
bijaksana harus diperhatikan. Obat
muscle relaksan harus diberikan hanya
jika diperlukan oleh pasien, misalnya
untuk intubasi endotrakea, dan selama
ventilasi.
Namun,
menghindari
penggunaan muscle relaksan tidak
bermanfaat untuk mencegah timbulnya
awareness. Sebagai contoh, beberapa
pasien tidak berusaha untuk bergerak
meskipun kesadaran mereka telah pulih.
Sementara pengguanan muscle relaksan
mengakibatkan
insidensi
awareness
dengan recall, sebaliknya benzodiazepine
tidak. Karena efek sedatif yang

57

Jurnal Anestesiologi Indonesia

dimilikinya, obat ini baik untuk


menghilangkan ansietas postopeartif,
sehingga umum digunakan. Karena efek
sedatifnya, obat ini juga sering digunakan
untuk mencegah pasien untuk mengalami
memori yang tidak menyenangkan. Obat
ini juga memiliki efek anterogard yang
besar, sehingga secara spesifik akan
mengacaukan memori yang baru dibentuk
daripada memori yang sudah lama.20
Seseorang yang diberi benzodiazepine
akan menerima dan memproses informasi
secara akurat, dan dapat merespon
terhadap pertanyaan atau komentar
dengan benar, namun hanya sedikit dari
pengalaman ini yang disimpan dalam
memorinya. Efek amnesia anterogard
setelah obat diberikan ini dapat
diharapkan ketika adanya efek samping
(seperti
nyeri)
ingin
dihindari.
Sebaliknya, penggunaan untuk profilaksis
tidaklah umum, dan hanya sedikit
pertimbangan mengenai isu etik yang
muncul, yaitu: ke mana efek samping
akan pergi jika tidak ke dalam memori?.21
Namun, berkebalikan dengan efek
samping
yang
diakibatkannya,
benzodiazepine sering diberikan setelah
sebuah efek samping muncul untuk
memperbaiki memori
yang tidak
menyenangkan. Pemberian obat ini untuk
target memori retrogard kurang berguna
karena fakmakkokinetik obat ini, serta
dapat menjelaskan mengapa tidak ada
bukti dalam literatur yang memberi kesan
bahwa benzodiazepine dan skopolamin
lebih berhasil untuk menginduksi
amnesia diandingkan dengan anestesi
biasa. Serupa dengan anestesi biasa,
benzodiazepine
dapat
mengganggu
memori dengan menginduksi sedasi,
tetapi tidak ada penelitian yang
mengesankan bahwa obat jenis ini juga

58

secara langsung mencampuri memori


yang sudah terbentuk. Walaupun
diberikan sebelum dan selama intibasi,
benzodiazepine tidak dapat mengurangi
insidensi awareness dengan recall.
ASA mengevaluasi lebih dari 4000
tuntutan dari sejumlah Perusahaan
Asuransi penduduk Amerika terhadap
terjadinya efek samping anestesi yang
terjadi antara tahun 1961-1995.15
Sebanyak 70% tuntutan terjadi selama
tahun 1980-1990. Tuntutan karena
awareness terjadi sebanyak 2%, di mana
terbagi dalam 2 kategori:
1. Awake Paralisis (18 tuntutan) dan
2. Recall (61 tuntutan)
Sebagian besar tuntutan awake paralisis
ditemukan
berhubungan
dengan
kesalahan infuse (56%), atau siring pump
(44%): bag atau syringe yang megandung
obat muscle relaksan tidak berlabel, ada
kesalahan dalam label, atau pelabelan
yang sudah benar namun tidak diperiksa
sebelum pemberian obat. Periode dengan
kerentanan
tertinggi
adalah
saat
preinduksi dan selama induksi ketika obat
muscle relaksan diberikan sebagai
pengganti obat hipnosis atau sedatif.
Sebuah analisa menemukan bahwa
injeksi benzodiazepine setelah muscle
relaksan merupakan usaha yang tidak
menghasilkan hasil yang baik untuk
mendapatkan amnesia retrogard. Para ahli
menduga sebagian besar kasus awake
paralisis
(94%)
merepresentasikan
pelayanan yang di bawah standar, dan
karenanya pembebasan biasa pengobatan
seringkali diberikan (78%). Laporan yang
dibuat tidak menyebutkan adanya awake
paralisis ikutan.

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tabel 3. Penyebab Recall


Dosis obat anestesi yang tidak adekuat
Kegagalan peralatan, kebocoran (vaporizer yang kosong atau tidak tersambung)
Opiod-based anestesi (opioid bukanlah anestesi general)
Intubasi sulit (ingat untuk memberikan dosis ulang obat anestesi i.v)
Hipotensi (perlu dihentikan pemberian agen anestesi)
Adanya faktor risiko (dosis obat yang inadekuat mungkin dibutuhkan untuk menghindari efek
samping)

Recall seringkali terjadi dalam fase


maintenance dari anestesi (80-85%), dan
sejumlah
faktor-faktor
yang
mempengaruhi telah teridentifikasi (lihat
tabel 26-3). Di sisni, pelayanan anestesi
di bawah standar menjadi penyebab
sebagian kecil kasus (43%), dan
pembiayaan
pengobatan
pasien
dibebaskan pada sekitar setengah dari
kasus yang ada. Sebanyak 84% dari
penuntut terhadap kasus recall menderita
ditress emosional yang sementara, di
mana 10% di antaranya akan berkembang
menjadi PTSD.
Sebuah penelitian tertutup yang lebih
jauh
menunjukkan
bahwa,
tidak
bergantung pada standar pelayanan,
opiod-based anestesi intraoperatif, muscle
relaksan, dan tidak adanya agen anestesi
inhalasi atau dalam konsentrasi rendah
meningkatkan jumlah tuntutan untuk
recall setelah anestesi general.15 Variabel
yang lain, seperti usia, status ASA,
petugas
anestesi,
penggunaan
benzodiazepine,
perbedaan
teknik
induksi, dan agen inhalasi atau intravena,
secara umum tidak mempengaruhi
kejadian recall. Jenis kelamin perempuan
juga berhubungan dengan peningkatan
jumlah tuntutan terhadap kejadian recall,
walaupun tidak jelas apakah peningkatan
faktor risiko internal ini menggambarkan
perbedaan metabolism obat yang berbeda

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

pada individu laki-laki dan perempuan


atau tidak,23 atau kecenderungan yang
lebih besar pada wanita dalam
penyimpanan
obat
dalam
tubuh.
Penelitian yang luas mengenai awareness
pada gender yang berbeda belum
memberikan hasil yang bermakna.8,9
Perbedaan individu
Persyaratan anestesi yang berbeda untuk
setiap individu yang satu dengan yang
lain, dapat mencegah efek anestesi seperti
munculnya awareness. Pertanyaan apakah
beberapa orang lebih mudah mangalami
awareness daripada sebagian orang
lainnya jarang disebutkan. Laporan kasus
yang
ada
umumnya
tidak
menggambarkan pola yang umum pada
pasien yang mengalami awareness
postoperative, namun faktor risiko
lainnya telah banyak didiskusikan
dibandingkan dengan karakter individu.
Sedikit pengecualian adalah adanya
riwayat
depresi 11 dan riwayat
mengalami awareness sebelumnya18,
kedua faktor ini dapat membuat orangorang tertentu mempunyai risiko yang
lebih besar mengalami awareness.
Pengaruh dari ansietas dan distress
preoperatif 11 pada terjadinya awareness
intraoperatif masih controversial 12,
walaupun stress menimbulkan pengaruh
neuromodulatori
yang
meregulasi

59

Jurnal Anestesiologi Indonesia

konsolidasi beberapa bentuk memori.


Efek regulatori ini tidak dapat dikenali
dengan baik karena lebih fokus pada selfreporting
daripada
ukuran
stress
psikologi. Akhirnya, penelitian kami
mengesankan bahwa pasien dengan
memori postoperatif yang baik sering
berkembang memorinya selama anestesi
24
. Jangkauan efek implisit ini sering
masih
menetap
daripada
efek
eksplisitnya. Sifat lainnya, seperti
kecepatan proses informasi, merupakan
predictor memori yang tidak berhasil.
Pada Preoperatif
Pasien jarang diberi informasi bahwa
mereka akan dapat mengalami paralisis
karena anestesi, yang akan menambah
kebingungan mereka ketika mereka
terbangun selama anestesi. Pada saat itu,
mereka hanya mendapatkan mereka tidak
dapat bergerak, berbicara, atau bernapas
dengan
spontan.
Pasien
dapat
membayangkan
kejadian
yang
mengejutkan
itu
sebagai
sebuah
pengalaman. Ini menimbulkan pertanyaan
apakah kejadian awareness harus
didiskusikan terlebih dahulu saat
preoperatif, khususnya pada pasien
dengan
risiko
tinggi
dan
jika
direncanakan akan menggunakan obat
muscle ralaksan secara continue.
Prevalensi ketakutan pasien akan nyeri
dan paralisis sebelum anestesi adalah
alasan yang lain mengapa persoalan
awareness harus diedukasikan selama
konsultasi
preoperatif,
walaupun
sebenarnya dokter anestesi harus
menghindari munculnya ketakutan yang
tidak perlu. Anda dapat menjelaskan
memori
postoperatif
yang
tidak
menyenangkan seperti pengalaman akan
nyeri. Jika muscle relaksan tidak
digunakan, pasien dapat diiberitahu
bahwa mereka dapat bergerak jika mau.
Dengan berkomunikasi dengan pasien
sebelum operasi, anda dapat menjawab

60

kegelisahan yang umum pada pasien,


serta dapat mereduksi ketakutan yang
terjadi.
Pada Intraoperatif
Jika awareness dan paralisis tidak
diedukasikan pada preoperatif, maka
bersiaplah untuk berkomunikasi dengan
pasien anda ketika awareness terjadi
intraoperatif. Adanya feedback dari dunia
luar akan menolong pasien untuk
menguasai situasi yang mengejutkan
tersebut, seperti telah ditemukan pada
penelitian kami yang terbaru.25 Pada
pasien dengan obat sedasi yang dalam
pada operasi elektif, kita perlu memonitor
kesadaran pasien dengan memintanya
memegang tangan kita secara periodik.
Ketika pasien merespon dengan baik,
berikan feedback dengan menjelaskan
apa yang sedang terjadi dan apa yang
diharapkan.
Beberapa
pasien
membutuhkan anestesi yang lebih dalam.
Pada
postoperatif,
pasien
yang
mengalami awareness akan mengingat
feedback yang kita berikan. Walaupun
kemungkinan terjadinya awareness telah
diedukasikan pada preoperatif sebagai
bagian dari prosedur persetujuan,
feedback yang kita berikan akan
membantunya
menghilangkan
pengalaman
buruk
tersebut.
Bab
mengenai perpindahan dengan tujuan
tertentu (lihat Bab Apakah Ada Tanda
Peringatan Selama Anestesi Yang
Memberitahu Kita Bahwa Sesuatu Yang
Salah Terjadi?) memaparkan dengan
detail komunikasi kepada pasien anda
selama anestesi dengan menggunakan
gerakan tangan.
Pada Postoperatif
Jika awareness tidak tercover dengan
tindakan
pada
preoperatif
dan
postoperatif,
pertimbangkan
untuk
menanyakan kepada pasien anda 5
pertanyaan standar (tabel 1) setelah
Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

Jurnal Anestesiologi Indonesia

anestesi general. Beritahu pasien bahwa


awareness dengan recall dapat terjadi
terlambat atau mungkin absen sementara
karena residu obat sedasi dan obat yang
menginduksi
amnesia.
Idealnya,
pertanyaan tersebut diajukan selama di
PACU atau sebelum penghentian
anestesi. Ini akan menjamin kevalidan
penilaian terhadap memori. Ketika
berhadapan dengan pasien yang mungkin
akan mengalami awareness, penting
untuk mengobati pasien dengan benar
(lihat tabel 4). Respon empati kita,
dengan penjelasan yang baik, akan
membantu Pasien memahami apa yang
terjadi dan memaklumi kesalahan yang
mungkin terjadi. Sebaliknya, pengabaian
terhadap pasien, penolakan terhadap
pengalaman yang dirasakannya atau

episode awareness yang berat dapat


memicu pasien menjadi marah dan
kecewa. Ajukan pertanyaan tambahan
(tabel 5) untuk mengeksplor pengalaman
yang dirasakannya, atau minta orang lain
melakukannya, jika anda tidak leluasa
melakukannya. Jangan mengabaikan
pasien, dan pastikan untuk terus
mengelola
pasien.
Ditambah,
mewawancarai
pasien
sebelum
meninggalkan PACU atau rumah sakit
adalah penting untuk memfasilitasi
adanya diskusi dan penjelasan yang
dibutuhkan. Jika simptom menetap,
PTSD (tabel 2) dapat berkembang, dan
penting untuk merujuknya pada dokter
psikiatri
atau
psikoterapis
untuk
mengobatinya.

Tabel 4. Mengelola Pengaruh yang Terjadi


Jaga komunikasi dan bagaimana mengelola pasien dengan penuh rasa hormat
Mewawancarai pasien setelah operasi
Dapatkan pengalaman yang dirasakan pasien dengan detail, jika ada
Jika awareness terjadi, mintalah maaf kepada pasien
Memberikan simpati kepada pengalaman yang tidak menyenangkan
Percaya pada kebenaran apa yang dikeluhkan pasien
Jelaskan apa yang (mungkin) terjadi, dan mengapa
Tawarkan diskusi ulangan dan rujukan ke psikiatri
Beritahu dokter bedah dan sejawat lain yang berhubungan
Buatlah keluhan yang dilaporkan pasien dalam grafik
Follow-up atau rencanakan untuk melakukan follow-up (1 minggu/1 bulan) setelah penghentian anestesi

Tabel 5. Pertanyaan Tambahan Untuk Pasien Dengan Recall Postoperatif


Apakah yang anda keluhkan (nyeri, paralisis, suara, penglihatan)?
Apakah anda merasakan sesuatu dalam mulut atau tenggorokan anda?
Apakah anda mampu bergerak?
Apa yang ada dalam pikiran anda?
Apakah anda berpikir bahwa anda bermimpi?
Berapa lama ini terjadi?
Apakah anda mencoba memberitahu seseorang?
Apakah anda memberitahu dokter anestesi/staf rumah sakit?
Apakah terdapat konsekuensi lain?
Apakah anda tidur lelap tadi malam?

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

61

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Catatan pada CM pasien akan


mempersiapkan tindakan apa yang akan
dilakukan untuk meperbaiki keadaan
pasien. Selain itu, jika komunikasi di
antara staf di ruang operasi yang hanya
berisi hal-hal yang professional dan
menghormati pasien, memori buruk yang
potensial akan berkembang tidak perlu
ditakuti.

muncul dalam jumlah yang cukup (76%)


dari kasus awareness, dan pada kasus
control sebanyak 21%. Penelitian lain
mengesankan tanda klinis bukanlah
parameter yang sensitif dan spesifik
untuk mengukur tinggi rendahnya
kemungkinan terjadinya awareness.

Tanda Klinis

Insiden recall serupa telah diteliti pada


populasi yang luas dari pasien yang
mendapatkan muscle relaksan, yang tidak
bergantung pada monitoring konsentrasi
gas anestesi end-tidal. 9 Berdasarkan
Penelitian terhadap kasus individu
maupun penelitian prospekstif yang luas
terhadap konsentrasi gas end-tidal tidak
direkomendasikan sebagai metode untuk
mendeteksi terjadinya awareness.

Kontras dengan yang telah banyak


dipercaya, awareness dengan recall sering
tidak mengikuti pada pasien dengan
riwayat hipertensi, takikardi, atau tanda
klinis lain yang biasa kita cari saat
intraoperatif. Pada analisis terhadap
tuntutan legal, tidak ada tanda klinis pada
anestesi ringan pada sebagian besar
kasus, yaitu: hipertensi ditemukan
sebanyak 15% dari kasus recall dan
takikardi hanya 7%. Sebagian besar
pasien yang diberi muscle ralaksan,
terjadinya gerakan sangat jarang. Pada
pasien yang tidak diberikan muscle
relaksan, perhatikan bahwa gerakan tidak
membuat pasien mendapatkan kesadaran
kembali; ini hanyalah representasi dari
gerakan reflex tubuh.
Sebuah
penelitian
memperlajari
kemungkinan kasus awareness dapat
diidentifikasi dengan melihat catatan
anestesi.
Mereka
menanyakan
pengalaman dokter anestesi tentang
kemungkinan
terjadinya
awareness
dengan recall berdasarkan catatan medik
pasien yang pernah mengalami ini.14
Untuk setiap kasus awareness, dua kasus
yang mirip dipilih di mana tidak ada
memori yang dilaporkan. Kemudian
dilakukan pengambilan seluruh kasus
secara random, dan dipilih 3 kasus, di
mana salah satunya mengalami kasus
awareness.
Peneliti
mengemukakan
kesulitan mengidentifikasi mana kasus
awareness yang sesungguhya. Pada
penelitian ini, hipertesi dan takikardi
62

Konsentrasi Gas End-Tidal

Gerakan Bertujuan
Metode yang bermanfaat adalah menilai
gerakan tangan pasien dalam merespon
perintah selama anestesi general atau
sedasi (lihat gambar 26-1). Gerakan yang
berulang
dan
konsisten
dapat
mengindikasikan sangat baik bahwa
pasien anda bangun. Jangan mengambil
tindakan untuk memberikan tambahan
muscle realaksan, tetapi nilailah dulu
status kesadaran pasien. Feedback yang
anda berikan akan dihargai ketika pasien
bangun (lihat bagian Apa yang Harus
Dilakukan?)
Pegang tangan pasien, dan hindari untuk
terus menulis. Mulailah menilai secara
periodik, dengan memanggil nama depan
pasien, sehingga pasien anda akan
mengetahui bahwa mereka dikenali.
Tanpa memanggil namanya, pasien
sebenarnya mendengar anda namun tidak
merespon karena ia berpikir anda sedang
bicara denagn orang lain. Setelah
memanggil namanya, minta pasien untuk
memegang tangan anda jika ia dapat
mendengar suara anda, dan tunggu sekitar

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

Jurnal Anestesiologi Indonesia

10 detik. Jika tidak ada respon, ulangi


perintah untuk memastikan pasien
memang tidak merespon. Selain itu, jika
pasien tidak memegang tangan anda,
minta ia untuk memegang tangan anda
dua kali. Tidak adanya respon terhadap
perintah mungkin diakibatkan oleh
respon yang tidak adekuat yang
menggambarkan munculnya kelemahan
(pasien merespon, tetapi tidak cukup
kuat), atau ini mungkin adalah reflex dari

stilmuasi auditori. Untuk contoh seperti


ini, kami merekomendasikan untuk
mengulang memerintahkan pasien untuk
memegang tangan anda dua kali dan lihat
apa yang terjadi. Jika ada respon, ulangi
lagi beberapa saat kemudian (dalam 5-10
menit). Jika pasien kembali sadar, ia akan
merespon dengan baik dalam 5-10 menit.

Pegang tangan saya 1x

Tidak ada respon

Respon 1x

Pegang tangan saya 2x

Tidak ada respon tidur

Respon 2 sentuhan

Pegang tangan saya 1x

Respon yang lemah

Secara umum, disepakati bahwa respon


terhadap perintah untuk memegang
tangan dua kali yang didapatkan dengan
jelas, membuktikan bahwa pasien dalam
keadaan awareness. Ketika pasien
memegang dua kali terhadap perintah
yang diberikan, (gambar 26-1), tegaskan
bahwa ia telah bangun dan lanjutkan
dengan mengeksplor apa yang ia rasakan.
Minta ia untuk memegang dua kali lagi
(atau tiga kali!) untuk melihat apakah
keadaannya baik-baik saja, atau untuk
meregangkan jari-jarinya. Kita menilai
perasaan pasien selama ia menerima infus
sedasi yang dalam. 25 Selain itu, anda
juga dapat mengeksplor keinginan
mereka untuk mendapatkan anestesi yang
lebih dalam atau untuk melihat apakah ia

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

Respon yang kuat

sedang merasakan nyeri. Jangan kaget


mendapatkan beberapa pasien baik-baik
saja padahal mereka dalam keadaan
setengah bangun (partially awake). Kita
harus membandingkan dengan pasien
yang merespon perintah dengan jelas dan
konsisten tetapi tidak menginginkan
anestesi yang lebih dalam.
Dua catatan akhir pada gerakan. Pertama,
pastikan untuk menjawab gerakan ketika
anda melihatnya, baik dengan respon
gerakan yang jelas, samar, atau tak
teratur. Karena pasien dapat kehilangan
kemampuan
untuk
memonitor
keinginannya untuk bergerak di bawah
pengaruh obat sedatif (lhat bagian, Apa
yang harus Dilakukan? dalam subbagian
intraoperatif), menjawab gerakan akan
63

Jurnal Anestesiologi Indonesia

memberitahu pasien bahwa mereka telah


berhasil. Kedua, prosedur memeriksa
gerakan yang bertujuan seperti yang
dideskripsikan di sini dapat digunakan
untuk semua paralisis neuromuscular
yang
muncul.
Ini
membutuhkan
peningkatan tekanan tourniquet (sampai
25 mmHg) di sekitar lengan bawah
sebelum pemberian obat muscle relaksan,
dan ini merupakan teknik isolasi
formarm.26,27 Ini akan menghindari satu
tangan lainnya dari paralisis, yang dapat
digunakan sebagai tanda awareness, baik
spontan maupun dengan perintah. Teknik
ini dapat digunakan pada awal operasi
yang lama, dengan menyediakan cuff
yang mengempis secara berulang, atau
alat yang dapat membuat iskemi lainnya
setelah
25-30
menit.
Ketika
musclerelaksan
diberikan
kembali,
tourniquet akan kembali mengembang.
Penelitian dengan menggunakan respon
terhadap perintah selama anestesi
menunjukkan secara konsisten bahwa
lebih banyak pasien yang bangun pada
saat anestesi daripada hasil yang
didapatkan
melalui
wawancara
postoperatif. Pada salah satu penelitian
terbaru kami, sebanyak 66% pasien
merespon terhadap perintah, tetapi hanya
satu dari empat orang yang ingat

melakukan
hal
tersebut
ketika
25
diwawancarai kemudian. Begitu pula,
pasien dengan sengaja bangun selama
prosedur neurosurgikal tertentu dan
hanya mengingat sedikit dari apa yang
terjadi.28 Penelitian ini menunjukkan
bahwa awareness tidak bermakna untuk
merefleksikan memori, dan ilustrasi yang
telah dilakukan menunjukkan bahwa
awareness intraoperatif dan recall
postoperatif mempunyai hubungan yang
tidak erat. Wawancara postoperatif
cenderung
underestimate
terhadap
insidensi awareness, di mana akan
menghentikan
perubahan
perbaikan
selama
monitoring
intraoperatif.
Keterbatasan penggunaan wawancara
postoperatif dalam memonitoring dan
mendeteksi awareness tidak berarti
bahwa wawancara postoperatif ini harus
diabaikan. Sebaliknya, kita dapat
memperoleh sumber informasi yang tidak
terhingga dan mengidentifikasi pasien
yang mengalami awareness yang dapat
dipercaya. Labih jauh, wawancara
postoperatif
memberikan
pasien
kesempatan
untuk
meringankan
kekacauan pikiran dan mentalnya dengan
adanya dokter yang untuk kedua kalinya
bersedia mengatasi apapun yang ada
maupun hilang padanya.

Tabel 6. Penilaian Pencegahan


Kunjungan Preoperatif, menyebutkan possible awareness, khususnya kasus dengan risiko tinggi: section
cesarean, trauma, bedah thoraks, obesitas, penyalahgunaan obat atau alcohol, riwayat awareness sebelumya
Mengecek mesin penghantar anestesi sebelum memulai anestesi
Pertimbangkan untum meminimalisasi muscle relaksan
Nilai respon pasien terhadap peritah verbal (gambar 26-1)
Nilai kedalaman anestesi dengan EEG

64

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Walaupun awakeness intraoperatif dan


recall
postoperatif
menunjukkan
hubungan yang tidak erat, terdapat bukti
yang kuat bahwa memori post operatif
muncul dari periode singkat saat
terjadinya kelemahan. Pada penelitian
kami pada pasien dengan sedasi yang
dalam, sebagai contoh, pasien tanpa
recall postoperative (n=47) merespon
rata-rata 10% terhadap perintah yang
diberikan selama anestesi, di mana pasien
denagn recall (n=9) merespon sebesar
30%. 25 Dugaan ini memberikan potensi
yang besar bagi monitoring awareness
intraoperatif dan membawa para ahli
untuk berpendapat bahwa pasien harus
dimonitor
untuk
mendeteksi
dan
mengenali terjadinya awareness secara
efektif (lihat tabel 26-6 untuk Penilaian
Pencegahan)
EEG
Telah banyak upaya dilaukan beberapa
tahun ini untuk mengembangkan metode
monitoring terhadap anestesi yang
adekuat untuk mencegah awareness
intraoperatif. Dengan diketahuinya otak
sebagai target efek samping dari agen
anestesi dan telah terdemostrasikannya
perubahan yang jelas dengan peningkatan
konsentrasi obat, upaya yang dilakukan
kini berkonsentrasi pada aktivitas EEG.
Dengan beberapa pengecualian (seperti
tidur dengan gerakan mata cepat: rapid
eye movement sleep), otak yang sadar
menghasilkan sinyal elektrik dengan
gambaran yang tidak beraturan, gerakan
yang cepat (dengan frekunsi tinggi) dan
amplitudo yang rendah (voltase). Monitor
EEG pada fase hipnosis menunjukkan
fakta bahwa obat sedatif menyebabkan
penurunan
yang
menyolok
pada
amplitudo. Gambaran karakter EEG
memberikan informasi yang sangat
berguna pada status hypnosis.

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

Beberapa perubahan terkait waktu pada


sinyal dapat dikonversi menjadi 9 elemen
gelombang dan dikonversi menjadi
frekuensi dan amplitudo yang mewakili,
yang
dikenal
dengan
Fourier
Transformation.
Jumlah
kekuatan
spektrum adalah rangkaian nilai yang
terpisah, komponen frekuensi, dan
kekuatan yang berhubungan. Pada
spectrum kekuatan, frekuensi ikatan (, ,
, ) dapat dipisahkan, sebagaimana
frekuensi di bawah 50 atau 95% dari
kekuatan EEG reside (median frekuensi
(MF) dan spectral edge frekuensi (SEF),
secara
berturut-turut).
Semua
ini
berhubungan
dengan
status
psikofisiologi, seperti tingkat kesadaran
atau tidur, dengan keberhasilan yang
moderate. Variable kekuatan tidak
diperlukan untuk menampilkan respon
yang sama untuk setiap obat, yang
menghambat aplikasi klinis. Mereka juga
dapat menunjukkan respon bifasik yang
tidak mudah diterjemahkan ke dalam
suatu status khusus. Anestesi mengiduksi
ledakan kekuatan variable, yang merujuk
pada periode aktivitas isoelektrik voltase
tinggi versus rendah, dan analisis spectral
tidak dapat mengukur jumlah fase
coupling dalam EEG.
Fase coupling merujuk pada sinkronisasi
dari komponen frekuensi dan merupakan
karakter penting dari system nonlinier
seperti otak.29 Pengertian fisiologi dari
fase relationship ini tidak sepenuhnya
dimengerti, tetapi sinkronisasi aktivitas
otak telah berimplikasi pada mekanisme
anestesi yang bervariasi.30 Frekuensi
relationship ini dapat diukur dengan
bispektral analisis dari EEG dan, untuk
tujuan klinik, sebuah index linier, yaitu
bispectral index (BIS)-yang berkembang
dengan rentang dari 0 (otak dalam
keadaan isoelektrik) sampai 100 (sadar
pebuh). BIS menggabungkan kekuatan
dan fase dari EEG, yang merupakan
abstraksi
matematik,
sebagaimana

65

Jurnal Anestesiologi Indonesia

parameter proses lainnya. Secara empiris,


ini diperoleh dari estimasi parameter
EEG yang memisahkan dengan baik
status sedasi pada database yang luas dari
subjek yang mendapatkan obat hipnosis
dan opioid. Unit monitoring dan sensor
elektroda pertama menerima persetujuan
dari FDA (Food and Drug Association)
untuk sebuah izin marketing untuk
indikasi awareness telah disahkan pada
pertengahan tahun 1990 dan 2003.
Untuk mengevalusi teknologi monitoring
untuk mendeteksi awareness, kriteria
standar harus dibuat untuk menentukan
apakah pasien dalam keadaan sadar.
Secara eksperimental, ini hanya dapat
diterima pada pasien yang tidak
terstimulasi, sehingga banyak penelitian
terhadap kegunaan parameter EEG
bergantung pada subjek sukarelawan atau
pasien pada periode preinsisi. Seperti
kriteria yang direkomendasikan, sebagian
besar menggunakan respon terhadap
perintah verbal (lihat bagian Apakah
Terdapat Tanda Peringatan Selama
Anestesi Yang Memberitahu Kita Bahwa
Sesuatu Yang Salah Terjadi? sub bagian
Gerakan Bertujuan) atau stimulasi taktil.
Beberapa menggunakan stimulasi noksius
untuk mengeksplorasi efek sedasi pada
seluruh rentangnya. Namun, dengan
menggunakan respon terhadap stimulasi
verbal, peneliti menyatakan bahwa
kesadaran lebih dari sekedar gerakan
karena stimulasi nyeri (seperti intubasi
dan insisi). Secara khas, dosis obat atau
titrasi berhubungan dengan status sedasi,
yang berhubungan dengan pengukuran
nilai SEF, MF, dan/ atau BIS secara
kontinue.
Penemuan
utama
dari
penelitian terhadap teknologi monitoring
ini adalah superioritas pengukuran EEG
melebihi heart rate dan tekanan darah
dalam
memprediksi
hilang
atau
timbulnya kesadaran. Hal ini menjelaskan
bahwa tanda autonomik tidak cukup baik
merefleksikan status otak, yang membuat

66

sensasi
yang
sempurna,
yang
memberikan representasi system saraf.
Secara klinis, ini mendorong petugas
anestesi
untuk
berpedoman
pada
perubahan fisiologi sentral yang terjadi.
Ketika perbedaan pengukuran EEG
dibandingkan, BIS cenderung berbeda
dari SEF dan MF. Pada pembandingan
langsung dari ketiganya, kita akan
menemukan hanya BIS yang dapat
membedakan antara subjek yang
nonresponsif dengan yang merespon
secara
tegas
terhadap
perintah.25
Penelitian lainnya, dengan menggunakan
agen yang bervariasi, mendukung
supeioritas
BIS
sebagai
monitor
awareness.31-35
Penemuan juga ini
senada dengan dugaan bahwa BIS
memberikan informasi EEG yang lebih
banyak daripada variable lain, seperti
SEF dan MF, sehingga sebagai
konsekuensinya, BIS dapat diharapkan
sebagai parameter yang lebih akurat
untuk mendeteksi hilang atau timbulnya
kesadaran.
Berdasarkan data dari database, BIS
memberikan nilai probabilitas yang tidak
sempurna. Ini berarti bahwa perbedaan
output dari monitor otak intraindividu
dan interindividu diobservasi pada saat
kehilangan dan kembalinya kesadaran.
Walaupun
monitor
fungsi
otak
menampilkan hasil yang baik, tetap
muncul teka-teki dalam observasi yang
dilakukan (beberapa atribut atau artefak
atau kurang tepatnya interpretasi dari
tanda-tanda yang ada).36 Kesempurnaan
mungkin sulit, jika tidak impossible,
untuk mencapai standar biologis dari
consciousness, dan sedikit lebih luas,
yaitu awareness. Sangat berguna bila kita
mengenali parameter tambahan daripada
hanya bergantung pada satu parameter.
Walaupun BIS meningkatkan monitoring
terhadap sedasi, penelitian yang ada juga
telah menyoroti keterbatasan ini ketika ia
Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

Jurnal Anestesiologi Indonesia

digunakan untuk memprediksi memori.


Pada penelitian kami terhadap pasien
trauma, walaupun BIS merupakan satusatunya predictor yang signifikan, ia
hanya dilengkapi dengan score memori
yang sempit4, sehingga, walaupun kami
telah menggambarkan dengan jelas,
hubungan non-random antara dalamnya
hipnosis yang diukur dengan BIS dengan
memori postoperatif, variasi yang luas
pada skor memori tidak terjelaskan. Ini
menunjukkan bahwa terdapat banyak
faktor selain kedalaman hipnosis yang
berkontribusi kepada memori, yang
menggambarkan
kekomplekan
dan
keanekaragaman sifat dari memori. Kami
juga
telah
melakukan
observasi
membandingkan pembacaan BIS pada
pasien dengan recall selama anestesi yang
dalam dengan kelompok pasien tanpa
recall.25 Didisain sebagai monitor untuk
menilai
kesadaran,
BIS
dapat
memberikan sinyal awareness selama
intraoperatif, tetapi bukan pada saat
postoperatif. Dengan mengobservasi
hubungan
terhadap
awareness
intraoperatif dan recall postoperative,
muncul bahwa monitoring fungsi otak
akan mempengaruhi recall secara tidak
langsung melalui kejadian awareness
yang
lebih
rendah
jika
status
unconsciousness dipertahankan secara
terus-menerus.
Monitor Elektro Encephalo Gram
yang lain
Alternatif alat yang dijadikan parameter
lain yang sedang marak dikembangkan
adalah AER (auditory evoked Response),
yaitu sinyal elektrik lain yang didapatkan
dari otak. Tidak seperti EEG yang
meletakkan bispektral analisis pada
jantung, AER diinduksi oleh bunyi klik
dari ayunan auditori. Pada jenis stimulasi
khusus ini, EEG menampilkan respon
yang khas yang merepresentasikan
lintasan sinyal neuron dari koklea ke

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

korteks auditori. Ketika sejumlah cukup


bunyi klik didapatkan, rata-rata sinyal
memberikan gambaran gelombang AER
yang terdiri atas rangkaian puncak dan
lembah dengan latensi yang berbeda
(diekspresikan
dalam
beberapa
milisekon) dan amplitude selama fase
bangun. Potensial midlatensi yang
muncul setelah 10-100 ms menunjukkan
perbedaan grade dari konsentrasi obat
anestesi, sehingga ini sangat baik untuk
memonitor
kedalaman
anestesi.37
Keuntungan yang besar dari teknologi
AER adalah bahwa ia didapatkan dari
otak individual bukan dari status database
otak, dengan demikian menawarkan
akurasi prediksi yang lebih besar. Selain
itu, kuantifikasi sinyal real-time tidak
mungkin sampai adanya perkembangan
teknologi fast-tracking38, dan meliputi
teknologi yang diimplementasikan pada
peralatan monitoring di ruang operasi.
Indeks terbaru yang tersedia adalah (Aline (Danmeter A/S, Odense, Denmark),
dan AA-Line ARX index (AAI) atau
Auto Regrssive Model dengan algoritma
Exogenous Input (ARX) untuk tujuan
akademik dapat dibandingkan dengan
BIS, yang sering digunakan sebagai
referensi
penelitian
yang
mudah
dilakukan. Keduanya memonitor stautus
sedasi dengan akurasi yang baik (8595%) dan berkorelasi baik dengan efek
samping bergantung konsentrasi obat
yang terkalkulasi.
Terdapat dua monitor lain yang secara
esensi tidak berbeda dengan teknologi
berbasis EEG yang telah dideskripsikan.
Entropi spectral didapatkan dari kekuatan
analisis EEG dan
menunjukkan
keterbatasan paparan yang terdahulu
(lihat bagian EEG).42,43 Narcotrent
mengklasifikasikan gambaran EEG pada
status sedasi yang berbeda (yaitu dari AF)44,45, dengan keberhasilan yang
terbatas.46,47

67

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Epiphenomena: Apakah yang Ada di


dalam Monitor?
Hasil Jangka Pendek dan Jangka
panjang
Monitoring status hipnosis dengan
menggunakan teknologi mutakhir (EEG)
mungkin bukan hanya bermanfaat saat
anestesi, tetapi juga mempunyai implikasi
pada prosedur operasi. Dibandingkan
dengan
prosedur
yang
tidak
menggunakan monitor, titrasi sampai
mencapai level hipnosis yang optimal
(cukup untuk mencegah awareness
namun tidak terlalu dalam), dapat
mengurangi semua efek samping obat
dan secara umum mempercepat proses
recovery, sebagai contoh penghentian di
PACU.48,49 Sebagian besar bukti datang
dari penelitian dengan menggunakan BIS,
tetapi efek sekunder sekarang juga
ditemukan pada AER dan pengukuran
spectral.
Lebih jauh, ini juga berguna untuk
merubah
pengalaman
dramatis.
Manajemen anestesi selama operasi
sementara ini berimplikasi terhadap
angka mortalitas dalam 1 tahun lebih.
Setelah laporan postoperative inisial,50
dua buah penelitian prospektif di Eropa51
dan US52 terbaru memperkenalkan
masalah ini pula. Keduanya menemukan
angka yang signifikan (lebih dari 1000
dan 4000) pasien nonkardiak dan hasil
observasi terhadap angka kematian dalm
1 tahun post operatif adalah sekitar 5,5%.
di antara banyak faktor yang telah
dilaporkan yang berhubungan dengan
kematian, kedua kelompok ini dikenali
dengan durasi dari anestesi yang dalam
(waktu kumulatif), seperti diukur dengan
BIS<45, melengkapi faktor risiko yang
independen. Setiap jam dari anestesi
dalam, memberikan peningkatan 24%
risiko kematian dalam 1 tahun post
operasi, dibandingkan dengan durasi total
anestesi. Risiko yang tidak signifikan

68

juga telah tercatat pada hipotensi sistolik


intraoperatif. Namun, faktor komorbiditas
tetap muncul sebagai faktor risiko
terbesar. Penelitian ini mengesankan
penyebab yang mungkin dan telah
terkonfirmasinya hubungan efek antara
dalamnya
sedasi
dan
mortalitas,
monitoring terhadap kedalaman anestesi
membuktikan pentingnya manajemen
pasien, sehingga hasil observasi ini
membutuhkan penelitian yang lebih jauh.
Insidensi yang Lebih Rendah
Tes tolok terhadap monitoring efikasi
adalah untuk mengetahui apakah
teknologi
yang
digunakan
dapat
menurunkan insidensi awareness, yaitu
apakah teknologi dapat mereduksi
kejadian recall postoperative pada
penelitian control random. Karena recall
setelah anestesi jarang terjadi, jumlah
sampel yang besar dibutuhkan untuk
menggambarkan
perbedaan
antara
kelompok yang dimonitor menggunakan
teknologi dan kelompok yang dimonitor
dengan alat pengukur lainnya. Pada saat
ini, penelitian control random hanya
dilakukan dengan menggunakan BIS 18.
Di US, penelitian tentang awareness
dengan menggunakan BIS, dengan
kehadiran dokter anestesi selama
penelitian, menemukan tidak adanya
hubungan antara penggunaan BIS dengan
insidensi awareness yang ditemukan.8
Pada penelitian control random yang
dilakukan di Australia pada orang dewasa
dengan risiko tinggi terhadap terjadinya
awareness, sekitar 2500 pasien diberikan
anestesi dengan monitor BIS di mana
ketika diberikan anestesi dilakukan
penyesuaian untuk memepertahankan
BIS pada 40-60 di antara laringoskop dan
penutupan luka, atau untuk perawatan
rutin, di mana sensor EEG digunakan
tetapi unit monitoring BIS tidak
diaktifkan.
Observasi
blind
pada
kelompok ini melakukan folow-up
terhadap awareness dengan menggunakan
Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

Jurnal Anestesiologi Indonesia

sistematika kuesioner yang sudah


dijelaskan sebelumnya.8,9 (tabel 26-1).
Seperti sebelumnya, hasil pengukuran
yang utama adalah insidensi awareness
yang terkonfirmasi. Anestesi dengan
menggunakan BIS mengurangi insidensi
sebanyak 82% (dari 11 menjadi 2 kasus),
sebuah
angka
yang
menyerupai
penemuan pada penelitian control
nonrandom di Swedia, dengan pasien
nonkardiak risiko rendah.53 penelitian
control trial di Australia, menemukan
potensi yang jelas untuk mereduksi recall
postoperative dengan menggunakan
teknik monitoring cerebral dibandingkan
dengan monitoring tradisional. Pada
kelompok ynag dimonitor dengan BIS,
awareness terjadi pada nilai di atas 55,
yang sebanding dengan nilai dari
observasi terhadap respon yang jelas pada
perintah, yaitu 55-6025,26, mirip dengan
petunjuk
dari
pabrik
untuk
mempertahankan nilai di bawah 60 untuk
menghindari awareness intraoperatif.
Bagaimana
Anak-Anak?

awareness

Mengenai

Kejadian dan pencegahan awareness pada


anak-anak lebih controversial daripada
pada
dewasa.
Mungkin
karena
pengambilan informasi yang lebih rumit,
penelitian tentang awareness pada anak
ini jarang dilakukan. Sebuah penelitian
prospektif
terbaru,
menunjukkan
insidensi sebanyak 0,8%, mengesankan
bahwa anak lebih berisiko 4-8 kali
daripada
dewasa,
sehingga
perlu
55
diperhatikan. saat ini, tidak jelas apakah
insidensi yang lebih besar ini adalah
sesuatu
yang unik pada
anaksebagaimana peningkatan persyaratan
anestesi-, atau apakah ini merefleksikan
sebuah overestimate karena spesifiknya
penelitian dan prosedur penilaian yang
dilakukan.
Monitoring
intraoperatif
terhadap
awareness pada anak juga menjadi

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

tantangan baru, karena EEG normal pada


anak sangat berbeda dengan dewasa tidak
hanya pada jumlah yang besar, yang
menampilkan variasi yang besar.
Parameter EEG ini seperti BIS kurang
dapat dipercaya pada anak (tetapi lihat
penelitian sebelumnya57). Secara umum,
perubahan aktivitas elektrik pada otak
selama pertumbuhan dan perkembangan
membutuhkan pertimbangan kespesifikan
usia
dan
kehati-hatian
dalam
menginterpretasikan data EEG pada anak.
Poin Kunci
1. Laporan ASA terbaru mengenai
awareness
intraoperatif
yang
dilakukan oleh ASA58 dipusatkan
seputar recall postoperative. Seperti
dapat disimpulkan dari Bab ini,
awareness introperatif dan recall
postoperative bukanlah fenomena
yang tidak berhubungan sama sekali,
sehingga membolehkan para klinisi
dan peneliti untuk menggunakan
salah satu di antara keduanya sebagia
substitusi bagi yang lain.
2. Recall secara khas memberikan
estimasi yang tidak sebenarnya
terhadap
insidensi
awareness
intraoperatif
dan
hanya
merepresentasikan
puncak
dari
fenomena gunung es.
3. Monitor fungsi otak tidak dapat
memprediksi recall dengn sangat
baik, tetapi lebih baik dari parameter
otonom yang tradisional dalam
mengetahui hilang atau timbulnya
kesadaran.
Monitor fungsi otak merepresentasikan
perkembangan yang pesat
dalam
manajemen
praktek
anestesi.
Kemampuan untuk mengenali awareness
intraoperatif dan pencegahannya dengan
mempertahankan kedalaman tingkat
hypnosis, menawarkan potensi yang
besar
untuk
mencegah
recall
postoperative.

69

Jurnal Anestesiologi Indonesia

DAFTAR PUSTAKA
1.

2.

3.

4.

5.

6.
7.

8.

9.

10.

11.

12.

13.

14.

15.

70

Crick F, Koch C. A framework for


consciousness.
Nat
Neurosci.
2003;6:119.
Tassi P, Muzet A. Defining the states of
consciousness. Neurosci Biobehav Rev.
2001;25:175.
Bogetz MS, Katz JA. Recall of surgery
for major trauma. Anesthesiology.
1984;61:6.
Lubke GH, Kerssens C, Phaf RH, et al.
Dependence of explicit and implicit
memory on hypnotic state in trauma
patients. Anesthesiology. 1999;90:670.
Crystal JD, Maxwell KW, Hohmann
AG. Cannabinoid modulation of
sensitivity to time. Behav Brain Res.
2003;144:57.
Andrade J. Learning during anaesthesia:
A review. Br J Psychol. 1995;86:479.
Kerssens C, Sebel PS. BIS and memory
during anesthesia. In: Ghoneim MM, ed.
Awareness during anesthesia. Woburn:
Butterworth-Heinemann; 2001:103.
Sebel PS, Bowdle TA, Ghoneim MM, et
al. The incidence of awareness during
anesthesia: A multicenter United States
study. Anesth Analg. 2004;99:833.
Sandin RH, Enlund G, Samuelsson P, et
al. Awareness during anaesthesia: A
prospective
case
study.
Lancet.
2000;355:707.
Myles PS, Williams DL, Hendrata M, et
al. Patient satisfaction after anaesthesia
and surgery: Results of a prospective
survey of 10 811 patients. Br J Anaesth.
2000;84:6.
Ranta SO, Laurila R, Saario J, et al.
Awareness with recall during general
anesthesia: Incidence and risk factors.
Anesth Analg. 1998;86:1084.
Liu WH, Thorp TAS, Graham SG, et al.
Incidence of awareness with recall
during general anaesthesia. Anaesthesia.
1991;46:435.
Klafta JM, Roizen MF. Current
understanding of patients' attitudes
toward and preparation for anesthesia: A
review. Anesth Analg. 1996;83:1314.
Moerman N, Bonke B, Oosting J.
Awareness and recall during general
anesthesia.
Facts
and
feelings.
Anesthesiology. 1993;79:454.
Domino KB, Posner KL, Caplan RA, et
al. Awareness during anesthesia: A
closed claims analysis. Anesthesiology.
1999;90:1053.

16. Lennmarken C, Bildfors K, Enlund G, et


al. Victims of awareness. Acta Anaesth
Scand. 2002;46:229.
17. Phillips AA, McLean RF, Devitt JH, et
al. Recall of intraoperative events after
general
anaesthesia
and
cardiopulmonary bypass. Can J Anaesth.
1993;40:922.
18. Myles PS, Leslie K, McNeil J, et al.
Bispectral index monitoring to prevent
awareness during anaesthesia: The BAware randomised controlled trial.
Lancet. 2004;363:1757.
19. Lyons G, Macdonald R. Awareness
during caesarean section. Anaesthesia.
1991;46:62.
20. Buffett-Jerrott
SE,
Stewart
SH.
Cognitive and sedative effects of
benzodiazepine use. Curr Pharm Des.
2002;8:45.
21. Hope MD. Pain and forgetting. JAMA.
2003;289:617.
22. Myles PS, Leslie K, Forbes A, et al. A
large randomized trial of BIS monitoring
to prevent awareness in high risk
patients:
The
B-Aware
trial.
Anesthesiology. 2003;99:A320.
23. Ciccone GK, Holdcroft A. Drugs and
sex differences: A review of drugs
relating to anaesthesia. Br J Anaesth.
1999;82:255.
24. Kerssens C, Lubke GH, Klein J, et al.
Memory function during propofol and
alfentanil anesthesia: Predictive value of
individual differences. Anesthesiology.
2002;97:382.
25. Kerssens C, Klein J, Bonke B.
Awareness:
Monitoring
versus
remembering
what
happened.
Anesthesiology. 2003;99:570.
26. Russell IF, Wang M. Absence of
memory for intraoperative information
during surgery with total intravenous
anaesthesia. Br J Anaesth. 2001;86:196.
27. Tunstall ME. Detecting wakefulness
during general anaesthesia for caesarean
section. Br Med J. 1977;1:1321.
28. Nordstrom O, Sandin R. Recall during
intermittent propofol anaesthesia. Br J
Anaesth. 1996;76:699.
29. Rampil IJ. A primer for EEG signal
processing
in
anesthesia.
Anesthesiology. 1998;89:980.
30. Mashour GA. Consciousness unbound:
Toward a paradigm of general
anesthesia.
Anesthesiology.
2004;100:428.

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

Jurnal Anestesiologi Indonesia

31. Katoh T, Suzuki A, Ikeda K.


Electroencephalographic derivatives as a
tool for predicting the depth of sedation
and anesthesia induced by sevoflurane.
Anesthesiology. 1998;88:642.
32. Liu J, Singh H, White PF.
Electroencephalographic
bispectral
analysis predicts the depth of midazolam
induced
sedation.
Anesthesiology.
1996;84:64.
33. Liu J, Singh H, White PF.
Electroencephalographic
bispectral
index correlates with intraoperative
recall and depth of propofol-induced
sedation. Anesth Analg. 1997;84:185.
P.375
34. Iselin-Chaves IA, Flaishon R, Sebel PS,
et al. The effect of the interaction of
propofol and alfentanil on recall, loss of
consciousness and the bispectral index.
Anesth Analg. 1998;87:949.
35. Glass PS, Bloom M, Kearse L, et al.
Bispectral analysis measures sedation
and memory effects of propofol,
midazolam, isoflurane, and alfentanil in
healthy volunteers. Anesthesiology.
1997;86:836.
36. Rampil I, Mychaskiw GI, Horowitz M.
False negative BIS? Maybe, maybe not!
Anesth Analg. 2001;93:798.
37. Thornton C, Sharpe RM. Evoked
responses in anaesthesia. Br J Anaesth.
1998;81:771.
38. Jensen EW, Nygaard M, Henneberg
SW. On-line analysis of middle latency
auditory evoked potentials (MLAEP) for
monitoring depth of anaesthesia in
laboratory rats. Med Eng Phys.
1998;20:722.
39. Struys MM, Jensen EW, Smith W, et al.
Performance of the ARX-derived
auditory evoked potential index as an
indicator
of
anesthetic
depth.
Anesthesiology. 2002;96:803.
40. Struys MM, Vereecke H, Moerman A, et
al. Ability of the bispectral index,
autoregressive
modelling
with
exogenous
input-derived
auditory
evoked potentials, and predicted
propofol concentrations to measure
patient responsiveness during anesthesia
with
propofol
and
remifentanil.
Anesthesiology. 2003;99:802.
41. Vereecke HE, Vasquez PM, Jensen EW,
et al. New composite index based on
midlatency auditory evoked potential
and electroencephalographic parameters
to optimize correlation with propofol

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

42.

43.

44.

45.

46.

47.

48.

49.

50.

effect site concentration: Comparison


with bispectral index and solitary used
fast extracting auditory evoked potential
index. Anesthesiology. 2005;103:500.
Vanluchene AL, Struys MM, Heyse BE,
et al. Spectral entropy measurement of
patient responsiveness during propofol
and remifentanil. A comparison with the
bispectral index. Br J Anaesth.
2004;93:645.
Vanluchene AL, Vereecke H, Thas O, et
al.
Spectral
entropy
as
an
electroencephalographic measure of
anesthetic drug effect: A comparison
with bispectral index and processed
midlatency auditory evoked response.
Anesthesiology. 2004;101:34.
Kreuer S, Biedler A, Larsen R, et al. The
NarcotrendTM-a new EEG monitor
designed to measure the depth of
anaesthesia: A comparison with
bispectral index monitoring during
propofol-remifentanil-anaesthesia.
Anaesthesist. 2001;50:921.
Kreuer S, Bruhn J, Larsen R, et al.
Application of bispectral index and
narcotrend index to the measurement of
the electroencephalographic effects of
isoflurane with and without burst
suppression.
Anesthesiology.
2004;101:847.
Russell IF. The Narcotrend depth of
anaesthesia monitor cannot reliably
detect consciousness during general
anaesthesia: An investigation using the
isolated forearm technique. Br J
Anaesth. 2006;96:346.
Schneider G, Kochs EF, Horn B, et al.
Narcotrend does not adequately detect
the transition between awareness and
unconsciousness in surgical patients.
Anesthesiology. 2004;101:1105.
Johansen JW, Sebel PS, Sigl JC.
Clinical impact of hypnotictitration
guidelines based on EEG bispectral
index (BIS) monitoring during routine
anesthetic care. J Clin Anesth.
2000;12:433.
Johansen JW, Sebel PS. Development
and
clinical
application
of
electroencephalographic
bispectrum
monitoring.
Anesthesiology.
2000;93:1336.
Weldon BG, Mahla ME, Van der Aa
MT, et al. Advancing age and deeper
intraoperative anesthetic levels are
associated with increased first year death
rates. Anesthesiology. 2002;96:A1097.

71

Jurnal Anestesiologi Indonesia

51. Lennmarken
C,
Lindholm
M,
Greenwald SD, et al. Confirmation that
low intraoperative BISTM levels predict
increased
risk
of
post-operative
mortality.
Anesthesiology.
2003;99:A303.
52. Monk TG, Saini V, Weldon BC, et al.
Anesthetic management and one-year
mortality after noncardiac surgery.
Anesth Analg. 2005;100:4.
53. Ekman A, Lindholm ML, Lennmarken
C, et al. Reduction in the incidence of
awareness using BIS monitoring. Acta
Anaesthesiol Scand. 2004;48:20.
54. Flaishon R, Windsor A, Sigl J, et al.
Recovery of consciousness after
thiopental or propofol: Bispectral index

72

55.

56.

57.

58.

and the isolated forearm technique.


Anesthesiology. 1997;86:613.
Davidson AJ, Huang GH, Czarnecki C,
et al. Awareness during anesthesia in
children: A prospective cohort study.
Anesth Analg. 2005;100:653.
Davis PJ. Goldilocks: The pediatric
anesthesiologist's dilemma. Anesth
Analg. 2005;100:650.
Kerssens C, Sebel PS. To BIS or not to
BIS? That is the question. Anesth Analg.
2006;102:380.
Practice advisory for intraoperative
awareness
and
brain
function
monitoring: A report by the American
Society of Anesthesiologists task force
on
intraoperative
awareness.
Anesthesiology.
104:847,
2006

Volume IV, Nomor 1, Tahun 2012

Anda mungkin juga menyukai