Anda di halaman 1dari 6

Peran opioid dalam penatalaksanaan nyeri: fokus pada nyeri kanker

Aznan Lelo
Bagian Farmakologi dan Terapeutik, Fakultas Kedokteran,
Universitas Sumatera Utara
Abstrak
Nyeri kanker sering merupakan kombinasi nyeri nosiseptif dan nyeri neuropatik. Nyeri
,kanker selalu ditanggulangi dengan memberikan analgetik opioid dan non-opioid atau
kombinasinya. Analgetik opioid merupakan pilihan utama, bergantung keparahan nyeri dapat
diberikan opioid lemah (codein, tramadol) untuk nyeri ringan sampai sedang atau opioid kuat
(morfin, fentanil) untuk nyeri sedang sampai berat.
Pemberian analgetik opioid tidak selalu memberikan hasil yang tuntas oleh karena
luasnya variasi parameter farmakodinamik dan farmakokinetik akibat polimorfism. Oleh karena
biotransformasi kodein menjadi morfin sangat bergantung dengan aktivitas CYP2D6,
penggabungan codein dengan analgetik atau sediaan lain yang memerlukan enzim yang sama
akan memberikan hasil yang kurang menguntungkan.
Oleh karena opioid memiliki berbagai mekanisme kerja diluar kerja utamanya sebagai
analgetik, maka pada pengobatan kanker semua hal menjadi sesuatu yang sangat amat penting
untuk dipertimbangkan.
Pendahuluan
Nyeri sebagai pengalaman yang tak menyenangkan pada penderita kanker, maka dalam
penanggulangannya diupayakan dengan merubah pengalaman penderita sendiri terhadap nyeri
yang dipersepsinya. Nyeri kanker umumnya ditanggulangi dengan pendekatan farmakologi,
dengan menggunakan opioid tunggal atau kombinasinya dengan analgetik lain sesuai dengan
analgesic ladder yang dikeluarkan Badan Kesehatan Dunia di tahun 1986 (Leppert, 2011).
Analgetik opioid morfin masih tetap sebagai baku emas dalam penanggulangan nyeri kanker
(Finco dkk, 2012). Opioid lemah digunakan utuk mengatasi nyeri ringan sampai sedang dan
opioid kuat digunakan untuk mengatasi nyeri sedang sampai berat. Selain itu obat-obat supportif
haruslah digunakan dengan benar untuk mencegah atau mengobati efek samping opioid, seperti
konstipasi (Leppert, 2011). Bila nyeri neuropatik dijumpai pada penderita kanker dan tidak
memberikan respon terhadap morfin, maka diperlukan penambahan analgetik ajuvan tertentu
(antidepresan, antikonvulsan, gabapentin dan sebagainya) (Lickiss, 2001).
Kanker umumnya menyerang penderita lanjut usia (lansia), yang rentan untuk mengalami
banyak kondisi klinis lain seperti rematik, hipertensi dan penyakit kronis lainnya. Kenyataan ini
mengisyaratkan akan adanya terapi polifarmasi dan interaksi obat yang merugikan. Memahami
farmakokinetik, farmakodinamik, interaksi obat dengan sediaan opioid yang digunakan dapat
membantu pemilihan opioid yang tepat untuk penderita kanker (Leppert, 2011).
Mekanisme kerja opioid sebagai analgetik

Opioid merupakan analgetik sentral yang dapat menghambat transduksi syaraf di medulla
spinalis sebelum sampai ke otak. Morfin merupakan baku emas dalam terapi nyeri dan salah satu
sediaan yang paling efektif mengatasi nyeri kanker yang berat. Morfin merupakan komponen
utama opium, dengan nama kimia 7,8-didehydro-4,5-epoxy-17-methyl-(5, 6)-morphinan-3,6diol. Khasiat analgetiknya diperantarai melalui reseptor opioid (, , and ) yang terdapat di
otak. Morfin harus digunakan dengan benar, termasuk pengaturan dosis morfin yang diberikan
(hendaknya dibawah kadar sedasi).
Meskipun morfin bekerja langsung pada susunan syaraf pusat dalam meredakan nyeri,
aktivitasnya di jaringan perifer bertanggung jawab terhadap efek sampingnya seperti konstipasi
dan immunosupresi (Gach dkk, 2011).
Mekanisme kerja opiod yang berkaitan dengan keganasan
Selain sebagai analgetik yang sangat poten, morfin kelihatannya berperan penting dalam
banyak hal, yaitu dalam hal regulasi perkembangan tumor (Gach dkk, 2011). Hasil kajian efek
morfin terhadap perkembangan tumor masih kontradiksi, bisa merangsang atau menghambat
pertumbuhan. Kejadian ini bergantung pada dosis yang digunakan. Pada dosis rendah
merangsang mitogenesis dan pada dosis besar menghambat pertumbuhan. Pemberian infuse
antagonis reseptor opioid- dapat menekan pertumbuhan tumor. Fakta ini sangat mendukung
hipotesis adanya peran reseptor opioid- pada pertumbuhan dan metastase tumor.
Sebaliknya, dari jalur berbeda morfin memicu apoptosis dan menghambat pertumbuhan sel
kanker.
Pemberian kronis morfin meningkatkan kadar nitric oxide synthase (NOS), NO, dan
cyclooxygenase-2 (COX-2). NO merangsang aktivitas enzim COX-2 dikuti dengan
meningkatnya produksi prostaglandin E2. Prostaglandin E2 merangsang angiogenesis dan
progresifitas tumor (Gach dkk, 2011). Bila angiogenesis tidak dihambat, proses inflamasi terus
berlanjut diikuti dengan perjalanan nyeri kanker menjadi kronis dan lebih parah.
Ekspresi gen reseptor opioid- di sel neuron diatur oleh sitokin yang dibebaskan dari selsel sistem imu. Sebaliknya, reseptor opioid- juga terekspresi di sel-sel sistem imun limfosit dan
makrofag. Fakta ini menerangkan bahwa morfin dapat menghambat berbagai fungsi sel imun dan
menyebabkan immunosupresi (Gach dkk, 2011).
Opioid untuk nyeri kanker ringan-sedang
Beberapa sediaan tergolong opioid lemah dan digunakan untuk mengatasi nyeri kanker
ringan sampai sedang, yaitu:
Tramadol
Tramadol memiliki sifat opioid dan juga bekerja pada neurotransmisi noradrenalin dan
serotonin. Tramadol adalah sediaan rasemik, dimana keduanya secara sinergis berkhasiat
analgetik tanpa meningkatkan efek samping. Sediaan ini dimetabolisme dihati menghasilkan
metabolit utama O-desmethyltramadol (M1). Metabolit M1 ini berikatan 300-400 kali lebih kuat
dengan reseptor opioid-u dibandingkan tramadol. Waktu paruh tramadol (5-6 jam) lebih pendek
daripada metabolit M1 (8 jam). Pasien dengan aktivitas CYP2D6 yang rendah (poor
metabolizers) memerlukan dosis yang lebih besar. Pemberiannya bersama penghambat aktivitas
CYP2D6 seperti cimetidin, akan mengurangi metabolisme tramadol.

Serotonin syndrome dapat terjadi pada penderita yang menggunakan tramadol bersama
selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs) seperti, fluoxetine, paroxetine, dan sertraline.
Serotonin syndrome bisa juga muncul bila tramadol digunakan bersama monoamine oxidase
(MAO) inhibitors, olanzapine, risperidone, and venlafaxine. (Leppert, 2011)
Dihydrocodeine
Dihydrocodeine (DHC) adalah semisintetik codeine. Selain memiliki khasiat analgetik
dan antitusisf, DHC juga digunakan dalam penanggulangan addiksi opioid. Khasiat analgetik 30
mg DHC yang diberikan secara suntikan subkutan setara dengan 10 mg morfin dan dua kali lebih
poten daripada codeine. Sementara metabolismenya tidak memerlukan CYP2D6 (Leppert, 2011).
Codeine
Codeine adalah methylated morphine yang ditemukan secara alamai bersama morfin di
tanaman opium. Codeine dimetabolisme di hati menjadi morfin dan ketersediaan hayatinya
sekitar 30%-40% bila diberikan peroral. Kadar puncaknya tercapai setelah 1-2 jam pemberian
dengan waktu paruh 2.5 3.5 jam, namun masa kerja analgetiknya adalah 4-6 jam. Khasiat
analgetik codeine adalah 1/10 khasiat analgeik morfin. Perubahan codeine menjadi morfin sangat
bergantung pada polimorfisme CYP2D6 (Leppert, 2011)
Opioid untuk nyeri kanker sedang-berat
Beberapa sediaan tergolong opioid kuat dan digunakan untuk mengatasi nyeri kanker
sedang (moderate) sampai berat (severe), yaitu:
Morphine
Morfin adalah opioid yang hidrofilik dan murni sebagai agonis opioid, terutama bekerja
pada reseptor opioid-. Morfin dimetabolisme secara glukuronidasi, sehingga sedikit
kemungkinannya untuk berinteraksi dengan obat-obat lain. Metabolit aktifnya yang berkhasiat
analgetik adalah morphine-6-glucuronide (M-6-G). Efek samping morfin dan metabolitnya
adalah mual, muntah dan akhirnya depresi pernafasan. Pada mereka dengan gangguan ginjal,
morfin sebaiknya diganti dengan opioid lain seperti fentanil, metadon atau bupernofin. Seperti
opioid lain, morfin sering menyebabkan konstipasi, sehingga pemberian laxansia sebagai
profilaksis sangat dianjurkan. Dosis morfin yang diberikan secara injeksi (SC or IV) adalah
sepertiga dosis oral (Leppert, 2011).
Fentanyl
Fentanil adalah agonis opioid yang lipofilik dengan khasiat analgetiknya sekitar 100 kali
lebih poten dibandingkan morfin. Pada kasus nyeri kronis, tersedia sediaan dalam bentuk patch
transdermal fentanyl dengan berbagai dosis yang dilepaskan per-jam (12, 25, 50, 75, dan
100 g/h) yang setara dengan 2.1-, 4.2-, 8.4-, 12.6-, dan 16.8-mg fentanyl dose per hari. Patch ini
harus diganti tiap 72 jam. Pasien diharuskan menggunakan sediaan short acting opioid untuk
mengatasi episode breakthrough-pain. Fentanil dimetabolisme menjadi bentuk yang tidak aktif
melalui enzim CYP3A4. Efek samping mual, konstipasi dan mengantuknya jauh lebih ringan
dibanding morfin (Leppert, 2011).
Oxycodone
Oxycodone adalah semisintetik tebain bekerja pada reseptor opioid- dan .
Dibandingkan dengan morfin, oxycodone memiliki affinitas yang lebih rendah pada reseptor
opioid-, meskipun memiliki kelarutan dalam lemak yang sama. Oxycodone dapat menembus
sawar darah otak dengan sangat cepat, mengalahkan opioid lain sehingga memberikan khasiat
analgetik yang lebih kuat. Opioid ini tidak memiliki efek immunosupresi. Ketersediaan hayati
3

oralnya cukup baik (60%87%) dengan waktu paruh sekitar 3 jam. Oxycodone dimetabolisme
menjadi berbagai metabolit yang tidak aktif melalui enzim CYP3A4 dan CYP2D6. Efek samping
sedasi oxycodone akan makin nyata bila digabungkan dengan benzodiazepine, neuroleptik, dan
antidepressant (Leppert, 2011)
Buprenorphine
Buprenorphine adalah partial agonist receptor opioid- dan antagonist receptor-. Opioid
ini mengikuti efek mengatap pada dosis tinggi (15 mg); namun dosis tinggi ini tidak pernah
digunakan di klinik. Potensi analgetik buprenorphine adalah sekitar 100 kali lebih besar dari
morfin oral. Buprenophine bisa diberikan secara sublingual oleh karena ketersediaan hayati
oralnya rendah, juga bisa diberikan secara injeksi SC atau IV. Buprenorphine dimetabolisme
menjadi metabolit aktif norbuprenorphine via CYP3A4, selanjutnya mengalami konjugasi
dengan glucuronidasi. Dibandingkan dengan morfin, buprenorphine kurang memicu konstipasi,
mual dan muntah (Leppert, 2011).
Hydromorphone
Hydromorphone 5 sampai 10 kali lebih poten efek analgetiknya dibandingkan morfin,
meskipun memiliki kesamaan dalam sifat farmakodinamiknya yaitu sebagai agonis reseptor
opioid-. Masa kerja analgetiknya (4-6 jam) lebih lama daripada waktu paruhnya (2,5 jam).
Hydromorphone berguna untuk pasien yang memerlukan dosis besar opioid (Leppert, 2011)
Methadone
Methadone adalah opioid sintetik yang tersedia sebagai sediaan rasemik. D-methadone
mengaktifkan reseptor opioid-, , dan ; S-methadone menghambat reuptake serotonin dan
noradrenalin di susunan syaraf pusat. Kedua enantiomer memberikan efek antagonis pada
reseptor NMDA. Selain itu dalam dosis besar methadone memblok kanal kalium yang
diperlukan untuk repolarisasi otot jantung, dengan demikian berisiko untuk terjadinya aritmia
ventrikular. Methadone selalu diberikan pada penderita yang sedang menggunakan opioid akan
menukarnya ke opioid lain. Dibandingkan morfin lebih sedikit yang memerlukan pencahar dan
kejadian mual muntahnya.
Methadone sangat larut dalam lemak dan sangat besar volume distribusinya (4.1 L/kg
0.65 L/kg) serta sangat tinggi affinitasnya dengan jaringan, sehingga berakumulasi pasca
penggunaan berulang di otak, paru, hati, usus, ginjal dan otot. Ketersediaan hayati pasca
pemberian oral adalah 70% sampai 90% dengan waktu paruh sekitar 24 jam (8 120 jam).
Methadone dimetabolisme di hati dan dinding usus menjadi metabolit tidak aktif terutama oleh
CYP3A4 dan sedikit oleh CYP1A2, CYP2D6 serta CYP2B6. Penggunaannya di klinis relatif
susah akibat farmakokinetiknya yang rumit, banyak interaksi yang mungkin terjadi dan efek
samping pada jantung (Leppert, 2011).
Tapentadol
Tapentadol adalah opioid dengan dua mekanisme analgetik yaitu sebagai agonis reseptor
opioid-u dengan affinitasnya 50 kali lebih lemah daripada morfin dan penghambat reuptake
noradrenalin. Ketersediaan hayati oralnya sekitar 30% dan dimetabolisme menjadi metabolit
yang tidak aktif dengan cara glucuronidasi. Sediaan ini bekhasiat mengatasi nyei nosiseptif dan
neuropatik dengan kejadian efek samping saluran cerna minimal (Leppert, 2011)
Kombinasi opioid dengan sediaan lain untuk nyeri kanker
Opioid tunggal umumnya cukup efektif dalam mengatasi nyeri kanker. Namun
penggunaan opioid sebagai analgetik pada nyeri kanker selalu memberikan hasil yang tak pasti.
4

Hal ini berkaitan dengan variasi yang luas dalam parameter farmakodinamik dan farmakokinetik
akibat polimorfism (Finco dkk, 2012). Pada nyeri kanker yang membandal diperlukan
penggabungannya dengan analgetik non-opioid anti-inflamasi non-steroid (AINS) atau analgetik
ajuvan (tricyclic antidepressant, antikonvulsan, N-methyl-D-aspartic acid receptor antagonist dan
anestesi lokal).
Secara teoritis, gabungan analgetik opioid (codein, morfin dan lainnya) dengan analgetik
non-opioid AINS dengan akan meningkatkan keberhasilan penanggulangan nyeri kanker.
Beberapa pertimbangan perlu dikemukakan sebelum menggabungkan kodein dengan AINS,
diantaranya biotransformasi kodein menjadi morfin yang sangat bergantung dengan aktivitas
enzyme CYP2D6 yang berbeda antar individu (polimorfisme). Sekitar 7-10% ras Kaukasian
kekurangan CYP2D6, tapi sampai 29% bangsa Ethiopia memetabolisir dengan sangat cepat.
Polimorfisme CYP2D6 dapat meningkatkan atau menurunkan laju eliminasi suatu obat. Populasi
dengan fenotip CYP2D6 lambat jarang dijumpai pada orang Asia (Thailand 1%) dibandingkan
orang Barat (Kaukasian 10%) (Kitada, 2003). Hasil kajian Ismail dkk (2000) menunjukkan
bahwa msyarakat Melayu dengan fenotip CYP2D6 lambat lebih banyak daripada masyarakat
turunan Cina.
Dari kajian farmakologi diketahui ada beberapa obat-obatan yang dapat mengurangi kerja
CYP2D6 (Cascorbi, 2003). Salah satu sediaan yang mampu menghambat kerja CYP2D6 adalah
AINS celecoxib. Gabungan celecoxib dengan kodein (substrat CYP2D6) akan tercegah
biotransformasi kodein menjadi morfin.
Kesimpulan
Nyeri kanker selalu ditanggulangi dengan memberikan analgetik opioid dan non-opioid
atau kombinasinya. Analgetik opioid merupakan pilihan utama, bergantung keparahan nyeri
dapat diberikan opioid lemah (codein, tramadol) untuk nyeri ringan sampai sedang atau opioid
kuat (morfin, fentanil) untuk nyeri sedang sampai berat.
Oleh karena opioid memiliki berbagai mekanisme kerja diluar kerja utamanya sebagai
analgetik, maka pada pengobatan kanker semua hal menjadi sesuatu yang sangat amat penting
untuk dipertimbangkan.
Rujukan
Beyth RJ, Shorr RI. Epidemiology of adverse drug reactions in the elderly by drug class. Drugs
Aging 14(3):231-9,1999
Cascorbi I. Pharmacogenetics of cytochrome P4502D6: genetic background and clinical
implication. Eur J Clin Invest. 33 Suppl 2:17-22,2003.
Finco G, Pintor M, Sanna D, Orr G, Musu M, De Conno F, Marchi A, Paribello F, D'Aloja E. Is
target opioid therapy within sight? Minerva Anestesiol. 2012;78(4):462-72.
Gach K, Wyrbska A, Fichna J, Janecka A. The role of morphine in regulation of cancer cell
growth. Naunyn Schmiedebergs Arch Pharmacol. 2011;384(3):221-30.
Ismail R, Hussein A, Teh LK, Nizam Isa M. CYP2D6 phenotypes among Malays in Malaysia. J
Clin Pharm Ther. 25(5):379-83,2000.
Kitada M. Genetic polymorphism of cytochrome P450 enzymes in Asian populations: focus on
CYP2D6. Int J Clin Pharmacol Res. 23(1):31-5,2003.

Ladner E, Plattner R, Friesenecker B, Berger J, Javorsky F. Non-opioid analgesics--irreplaceable


in cancer pain therapy? Anasthesiol Intensivmed Notfallmed Schmerzther. 35(11):67784,2000.
Leppert W. Pain management in patients with cancer: focus on opioid analgesics. Curr Pain
Headache Rep. 2011;15(4):271-9.
Lickiss JN. Approaching cancer pain relief. Eur J Pain. 5(Suppl A):5-14,2001.
Werner U, Werner D, Rau T, Fromm MF, Hinz B, Brune K. Celecoxib inhibits metabolism of
cytochrome P450 2D6 substrate metoprolol in humans. Clin Pharmacol Ther. 74(2):1307,2003.

Anda mungkin juga menyukai

  • Jurnal THT
    Jurnal THT
    Dokumen10 halaman
    Jurnal THT
    Mageswari Selvarajoo
    Belum ada peringkat
  • Lapkas Keratopati
    Lapkas Keratopati
    Dokumen5 halaman
    Lapkas Keratopati
    Mageswari Selvarajoo
    Belum ada peringkat
  • PCO
    PCO
    Dokumen2 halaman
    PCO
    Mageswari Selvarajoo
    Belum ada peringkat
  • Fobia Sosial
    Fobia Sosial
    Dokumen17 halaman
    Fobia Sosial
    Mageswari Selvarajoo
    100% (2)
  • Status Orang Sakit
    Status Orang Sakit
    Dokumen12 halaman
    Status Orang Sakit
    Mageswari Selvarajoo
    Belum ada peringkat
  • CHF
    CHF
    Dokumen30 halaman
    CHF
    Mageswari Selvarajoo
    100% (1)
  • CHF
    CHF
    Dokumen30 halaman
    CHF
    Mageswari Selvarajoo
    100% (1)