PENDAHULUAN
Kelapa sawit (Elaeis guineesis) termasuk produk yang banyak diminati oleh investor
karena nilai ekonominya cukup tinggi. Para investor menanam modalnya untuk
membangun perkebunan dan pabrik pengolahan kelapa sawit. Pada tahun 1990-an luas
perkebunan kelapa sawit mencapai lebih dari 1,6 juta ha yang tersebar di berbagai
sentra produksi seperti Sumatera. Sumatera Utara merupakan sentra produksi terbesar
mencapai 2.951.537 ton/ha pada tahun 2009. Rata-rata produktivitas kelapa sawit
Indonesia selama periode 2003-2009 adalah sebesar 3,27 ton/ha. Saat ini Indonesia
adalah negara dengan luas areal kelapa sawit terbesar di dunia, yaitu sebesar 34,18%
dari luas areal kelapa sawit dunia. Pencapaian produksi rata-rata kelapa sawit Indonesia
tahun 2004-2008 tercatat sebesar 75,54 juta ton tandan buah segar (TBS) atau 40,26%
dari total produksi kelapa sawit dunia (Yan, 2012).
Limbah cair harus diolah dalam Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL)
sebelum dilepas ke saluran perairan terbuka atau perairan umum agar tidak
mempengaruhi kualitas air permukaan. Jika kualitas air limbah yang dilepas ke perairan
terbuka masih di atas baku mutu, dikhawatirkan akan mempengaruhi populasi dan
keragaman flora dan fauna perairan.
Sedangkan limbah padat yang dihasilkan adalah tandan kosong kelapa sawit
(TKKS). TKKS merupakan limbah terbesar yang dihasilkan oleh perkebunan kelapa
sawit. Jumlah TKKS mencapai 30-35% dari berat TBS setiap pemanenan. Namun
hingga saat ini, pemanfaatan TKKS belum dilakukan secara optimal (Hambali, 2008).
Sampai saat ini, TKKS masih dibakar pada Inneceator dan abunya dipergunakan
sebagai pupuk kalium di perkebunan kelapa sawit. Pembakaran ini telah dilarang oleh
karena pencemaran yang ditimbulkan, serta membutuhkan biaya operasi dan
pemeliharaan yang tinggi (Nainggolan, 2011).
TKKS merupakan bahan baku non kayu yang memiliki rerata panjang serat
pendek sampai sedang (0,76-1,2 mm) dan diameter kecil sampai sedang (14,34-15,01
mm). Kadar -seluosa TKKS adalah 38,76% sehingga TKKS dapat diolah menjadi pulp
dengan mutu yang cukup baik (Darnoko, 1995).
-selulosa atau serat panjang potensial untuk dikembangkan menjadi pulp putih,
serat panjang selama ini masih diimpor. Pulp ini dapat digunakan sebagai substitusi
serat panjang untuk pembuatan kertas saring dan kertas foto kopi. Dengan sifat serat
panjang dan langsing, dapat digunakan untuk kertas khusus seperti kertas saring teh
celup, kertas dasar stensil, kertas rokok dan kertas yang memerlukan ketahanan daya
simpan seperti kertas uang, kertas surat berharga, kertas dokumen, dan kertas peta.
Selain itu kandungan selulosa yang tinggi dapat digunakan sebagai bahan baku rayon.
Selulosa dapat diesterifikasi dengan asetat anhidrida dengan adanya asam sulfat
sebagai katalisator menghasilkan selulosa asetat (Sastrohamidjojo, 2009). Selulosa
asetat adalah selulosa yang gugus hidroksilnya diganti oleh gugus asetil berbentuk
padatan putih , tidak beracun, tidak berasa, dan tidak berbau (SNI, 1991).
Dari sejumlah ester asam karboksilat alifatik selulosa komersial yang paling baik
adalah selulosa asetat yang mempunyai stabilitas termal yang baik (Klemm, 1998).
Selulosa asetat dapat larut dalam pelarut metilen klorida-alkohol, jika pelarutnya
diuapkan akan diperoleh serat yang halus yang disebut asetat rayon. Asetat rayon
digunakan sebagai bahan tekstil (Sastrohamidjojo, 2009). Selain mempunyai nilai
komersial yang cukup tinggi, selulosa asetat juga memiliki beberapa keunggulan
diantaranya karakteristik fisik dan optik yang baik sehingga banyak digunakan sebagai
serat untuk tekstil, filter rokok, plastik, dan film fotografi, pelapis kertas dan membran,
serta kemudahan dalam pemprosesan lebih lanjut (Savitri, 2004). Di samping itu,
selulosa asetat juga mempunyai daya tarik yang cukup tinggi karena sifatnya yang
biodegradabel sehingga ramah lingkungan.
Savitri (2004) telah menentukan kondisi optimum sintesis selulosa asetat dengan
variabel kecepatan pengadukan, waktu esterifikasi dan jumlah pelarut, dimana yield
akan cenderung turun jika waktu esterifikasi dinaikkan. Penurunan yield selulosa ini
disebabkan pada waktu yang semakin panjang kemungkinan terdegradasinya struktur
selulosa menjadi glukosa dan selulosa asetat menjadi asam glukosa karena proses
hidrolisis dalam suasana asam semakin besar. Kenaikan jumlah pelarut juga
menurunkan yield selulosa karena dengan bertambahnya pelarut maka konsentrasi
selulosa dan asam asetat menjadi semakin kecil sehingga menurunkan kecepatan reaksi
esterifikasi sehingga produk yang dihasilkan semakin berkurang. Jika kecepatan
pengadukan dinaikkan maka yield akan cenderung turun. Kecenderungan ini
disebabkan ketika kecepatan pengadukan diperbesar maka selain kecepatan reaksi
esterifikasi meningkat, kecepatan hidrolisis selulosa dan selulosa asetat juga meningkat,
sehingga produk yang dihasilkan semakin berkurang. Lindu (2010) telah mensintesis
selulosa asetat dari nata de coco dimana gugus fungsi karbonil (C=O) dari selulosa
asetat yang diperoleh diidentifikasi dengan menggunakan Fourier Thermal Infrared
(FTIR). Gugus karbonil muncul pada panjang gelombang 1752,52 cm-1.
Dari uraian di atas, penulis bermaksud mengisolasi -selulosa TKKS, dimana
-selulosa yang telah diperoleh diesterifikasi dengan asetat anhidrat sehingga diperoleh
selulosa asetat yang akan dianalisa kadar air, kadar asetil, gugus fungsi, morfologi, dan
degradasi termal.
1.2. Permasalahan
1.3.Pembatasan Masalah
1.4.Tujuan Penelitian
1.
Upaya pemanfaatan limbah padat industri kelapa sawit berupa TKKS untuk
meningkatkan nilai jualnya.
2.
sehingga
: - Suhu
- Waktu
Variabel terikat
- Analisa termal
- Analisa permukaan